bagian ayu

Upload: elkuiora

Post on 19-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Daftar Isi

Bab 121.Hakikat dan asal mula2Definisi2Kaidah-kaidah hukum internasional umum dan regional; hukum komunitas3Asal mula dan perkembangan hukum internasional3Status Hukum Internasional Dewasa Ini72. Teori-teori Mengenai Dasar Hukum Internasional8Apakah Hukum Internasional benar-benar hukum?8Teori-teori tentang Hukum Alam10Positivisme11Sanksi-Sanksi Penaatan Hukum Internasional14

Bab 11. Hakikat dan asal mulaDefinisiHukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar-benar ditatai secara umum dalam hubungan-hubungan mereka mereka satu sama lain dan yang meliputi pula:a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; danb. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berakaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

Tujuan utama hukum internasional lebih mengarah pada upaya untuk menciptakan ketertiban daripada sekedar menciptakan sistem hubungan-hubungan internasional yang adil, akan tetapi pada perkembangan-perkembangan selanjutnya telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjamin secara objektif, adanya keadilan diantara negara-negara. Keadilan merupakan suatu tujuan utama hukum bangsa-bangsa menekankan perhatiannya pada hukum negara.

Kaidah-kaidah hukum internasional umum dan regional; hukum komunitasAdanya perbedaan antara kaidah-kaidah hukum internasioal umum dan regional, yaitu antara kaidah-kaidah yang dikatakan secara praktis berlaku universal dan kaidah-kaidah yang berkembang dalam suatu wilayah dunia tertentu diantara negara-negara yang ada di wilayah tersebut.Kaidah-kaidah hukum umum yang berlaku di dalam kerangka kerja huku dan administrasi masyarakat eropa telah berkembang sedemikan rupa sejak tahun 1957 sehingga pantas disebut hukum komunitas. Salah satu karakteristik khusus hukum komunitas ini mungkin adalah penerapannya secara langsung, dalam kasus kasus tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu, dalam sistem hukum nasional setiap anggota masyrakat eropa, untuk mana pengadilan-pengadilan nasional juga bersedia memberlakukan hukum komunitas ini yang keutamaan/supremasinya diakui.Hukum komunitas tidak boleh dipandang sebagai suatu bentuk hukum internasional regional ,melainkan sebagiai hukum internasional sui generis.

Asal mula dan perkembangan hukum internasionalSistem huku internasioanl modern merupakan suatu produk, kasarnya, dari empat ratus tahun terakhir ini. Hukum internasional masih tetap diwarnai dengan konsep-konsep seperti kedaulatan nasional dan kedaulatan territorial dan konsep kesamaan penuh serta kemerdekaan negara-negara, yang meskipun memperoleh kekuatan dari teori-teori politik yang mendasari sistem ketatanegaraan eropa modern, anehnya beberapa konsep ini memperoleh dukungan dari negara-negara non eropa yang baru muncul.Akan tetapi sejarah sistem ini pada mulanya sebenarnya justru berawal pada masa kuno kaidah-kaidah perilaku yang mengatur hubungan-hubungan masyarakat independen itu dipandamg perlu dan muncul dari adat istiadat yang ditaati oleh masyarakat-masyarakat ini dalam hubungan timbal balik mereka.Sumbangan langsung yunani dan romawi terhadap perkembangan hukum internasional relative kurang, kondisi yang mendukung pertumbuhan hukum bangsa-bangsa baru muncul pada abad ke-15, pada saat di Eropa mulai bermunculan negara-negara beradab yang medeka.Selama abad pertengahan, terdapat dua hal yang khusus yang menjadi penghalang evolusi suatu sistem hukum internasional yaitu:a) Kesatuan duniawi dan rohani sebagian besar eropa di bawah imperium romawi suci (holy roman empire), meskipun sampai sebegitu jauh ketentuan ini masih merupakan dugaan dan dibantah oleh sejumlah besar contoh konflik dan ketidak rukunan,b) Strktur feodal eropa barat, yang melekat pada hierarki otoritas yang tidak hanya menghambat munculnya negara-negara merdeka akan tetapi juga mencegah negara-negara pada saat itu memperoleh karakter kesatuan dan otoritas negara-negara berdaulat modern.

Perubahan-perubahan besar terjadi pada abad ke-15 dan abad ke-16. Secara intelektual, konsepsi-konsepi sekuler mengenai negara modern yang berdaulat dan mengenai kedaulatan modern independen secara tegas dijumpai dalam karya-karya Bodin (1530-1596) seorang perancis, Machiavelli (1469-1527) seorang italia dan yang terakhir munculah pada abad ke-17 yaitu Hobes, seorang inggris.

Dengan bermunculannya sejumlah negara merdeka maka diawalilah, seperti pada masa permulaan yunani, proses pembentukan kaidahkaidah kebiasaan hukum Internasional dari adat istiadat dan praktek-praktek yang ditaati oleh negara-negara tersebut dalam hubungan mereka satu sama lain.Pada abad ke-15 dan ke-16 para ahli hukm telah mulai memperhitungkan evolusi suatu masyarakat negara-negara merdeka dan berdaulat dan memikirkan serta menulis tentang berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya serangkaian kaidah guna mengatur aspek-aspek tertentu hubungan-hubungan antara negara-negara tersebut.Diantara penulis pelopor itu yang memberikan sumbangan pentingan terhadap ilmu pengetahuan hukum bangsa-bangsa yang masih dalam tahap belia diantaranya: Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus (1491-1563), Gentilis (1552-1608). Gentilis merupakan orang yang dipandang sebagai peletak dasar sistematika hukum bangsa-bangsa.Tulisan para ahli hukum ini pelopor ini yang terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional pada abad ke-16 adalah hukum perang antar Negara dan dalam kaitan dengan hal ini perlu dicatat bahwa sejak abad ke-15 negara-negara Eropa telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan berkembangnya adat istiadat dan praktek-praktek peperangan yang seragam.Pada umumnya diakui bahwa pelopor penulis terbesar mengenai hukum internasional adalah Grotius (1583-1645), dengan karangan yang sistematis mengenai hukum internasional De Jure Belli ac Pacis (Hukum Perang dan Damai). Baik Gentillis dan Grotius keduanya sama-sama banyak mendapat pengaruh dari penulis pendahulunya.Meskipun Grotius sebagi pelopor penulis hukum internasioanl banyak di kritik dan tidak disetujui namun ia tetap punya pengaruh yang besar terhadap hukum internasional dan terhadap ahli-ahli hukum internasional, meskipun derajat pengaruh ini mengalami fluktuasi pada periode tertentu. Tidak boleh dilupakan bahwa Grotius selama tiga abad dianggap sebagi pencetus standar historis dari doktrin tentang keabsahan di laut, berdasarkan tulisannya dalam Mare Liberum yang diterbitkan 1609.Sejarah hukm bangsa-bangsa selama dua abad setenah Grotius ditandai dengan evolusi terakhir sistem negara modern di eropa, suatu proses yang dipengaruhi oleh traktat Westphalia 1648 yang menandai berakhirnya perang 30 tahun dan oleh perkembangan dari dari adat istiadat dan praktek serangkaina kaidah kebuasaan baru yang penting.Pengaruh ahli hukum terkemuka ini cukup besar perkembangannya terhadap hukum internasional. Hal ini terlihat dari seringnya pendapat mereka dijadikan kutipan oleh pengadilan-pengadilan nasional selama abad ke-19 sampai saat ini.Penulis tekemuka dari abad ke-17 dan ke-18 diantaranya adalah Zounche (1590-1660), Bynkershoek (1673-1743), Wolff (1679-1754). Dalam abad ke-18 ada kecenderungan perkembangan di antara para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk kebiasaan dan traktat dan mengurangi sedikit mungkin kedudukan hukum alam/nalar sebagi sumber dari prinsip-prinsip mereka.

Pada abad ke-19 hukum Internasional berkembang kembali, hal ini dimungkinkan karena adanya sejumlah faktor yang mengakibatkan timbulnya kebutuhan mendesak untuk memiliki sistem kaidah yang mengatur dengan tegas hubungan-hubungan Internasional. Faktor-faktor ini antara lain:Kebangkitan negara-negara baru yang kuatEkspansi peradaban Eropa ke wilayah benua-benua lainModernisasi sarana angkutan duniaPenghancuran akibat peperangan modernPengaruh penemuan-penemuan baru

Pada abad ke-20 dibentuklah Permanent Court of Arbitration dan pada tahun 1921 dibentuk Permanent Court of International Justice sebagai pengadilan yudisial Internasiona yang pada perkembangannya di tahun 1946 menjadi International Court of Justice (ICC). Evolusi paling akhir dari hukum internasional adalah bahwa ahli-ahli hukum internasional lebih banyak menaruh perhatian kepada praktek dan keputusan-keputusan pengadilan dibandingkan dengan penguraian mengenai kaidah-kaidahnya.Lebih lanjut, banyak kaidah-kaidah dan konsep hukum internasional yang telah berlaku sejak lama, tunduk kepada beberapa saringan dan tekanan di bawah pengaruh perkembangan teknologi. Oleh karena itu, Hukum Internasional saat ini menuntut ditemukannya kaidah-kaidah baru untuk mengatur bidang-bidang energi nuklir dan thermonuklir, serta penelitian-penelitian ilmiah lainnya.

Status Hukum Internasional Dewasa IniHukum Internasional merupakan seluruh kaidah yang sangat diperlukan untuk mengatur sebagian besar hubungan-hubungan antar negara, serta persoalan timbal balik antar negara.Apabila sebelumnya masyarakat internasional menyandarkan pada proses kebiasaan yang relatif lambat untuk membentuk kaidah hukum internasional, maka kebutuhan-kebituhan modern menuntut suatu metode pembuatan hukum yang lebih cepat. Akibatnya, muncul sejumlah traktat multilateral dalam kurun waktu 80 tahun terakhir yang menetapkan kaidah-kaidah yang ditaati negara-negara yang dinamakan law making treaties atau perundang-undangan Internasional (International Legislation).Pada kalangan tertentu ada kecenderungan untuk mengecilkan makna hukum internasional, beberapa alasan yang mendasari pandangan ini adalah:Pada umumnya pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional hanya ditunjukan untuk memelihara perdamaianDiabaikannya sebagian besar kaidah yang berbeda dengan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan politik tingkat tinggi, yaitu masalah perdamaian dan perang yang hanya mendapat sedikit publisitas

Sebagian besar hukum internasional sama sekali tidak berkaitan dengan masalah-masalah perdamaian atau perang. Dalam praktek justru Departemen Luar Negeri dan ahli hukum intrenasional menangani berbagai macam masalah, diantaranya berupa klaim-klaim untuk kerugian yang menimpa warga suatu negara di luar negeri, penerimaan atau pengusiran orang-orang asing, ekstradisi, persoalan nasionalitas, berlakunya secara eksta-teritorial beberapa perundang-undangan nasional, serta penafsiran sejumlah traktat.Pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan perang atau konflik dan persoalan seperti terorisme dan pelucutan senjata mendapat perhatian yang tidak memuaskan, dan hal ini salah satunya yang membuat kesimpulan keliru mengenai tidak berfungsinya sama sekali hukum internasional.Dalam hukum nasional, juga terjadi pelanggaran-pelanggaran, gangguan-gangguan atau tindak pidana, akan tetapi tidak ada yang menyangkal mengenai eksistensi hukum yang ditaati oelh semua warga negara itu. Oleh karena itu, tidak benar anggapan bahwa pemeliharaan perdamaian sebagai tujuan keseluruhan hukum intrenasional, akan tetapi cita-cita dari hukum internasional adalah merupakan suatu sistem hukum yang sempurna dimana perang sama sekali akan lenyap.

2. Teori-teori Mengenai Dasar Hukum InternasionalApakah Hukum Internasional benar-benar hukum?Suatu teori menyebutkan bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.Salah satu manifestasi multipatrit yang paling akhir yang mendukung legalitas hukum internasional adalah Deklarasi Helsinski 1 Agustus 1975, dimana lebih dari 30 negara Eropa, Tahta Suci, Amerika Serikat dan Kanada telah menyatakan pengikatan diri kepada ikrar berikut: Negara-negara peserta dengan itikad baik akan memenuhi kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum internasional (termasuk) kewajiban-kewajiban demikian yang timbul dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang diakui umum

Penganut Teori Austin mempertimbangkan perbedaan antara kaidah-kaidah hukum internasional yang sebenarnya dan kaidah-kaidah soapn santun internasional (International comity) yang mengikat berdasarkan kepada hak moral setiap negara untuk memperoleh penghormatan dari negara lainnya. Austin mengatakan bahwa hukum intrenasional yang sebenarnya yaitu hanya nilai moral semata-mata.

Bukti kumulatif yang menentang pandangan Austin tidak semestinya menutup pandangan kita terhadap fakta bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah karena Perangkat legislatif yang ada terbentuk dari konvensi-konvensi, tidak dapat disebandingkan dengan keefisienan perangkat legislatif negara.

Meskipun ada yang kita kenal dengan International Court of Justice, namun sampai saat ini belum ada yuridiksi wajib universal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hukum antar negara-negara. Hal yang sering tidak memeberikan presentasi kecuali sebagai suatu pengumpulan praktek-praktek negara yang tidak tetap.

Teori-teori tentang Hukum AlamHukum alam mempunyai kaitan semi-teologis, menurut Grotius hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia sebagai makhluk berpikir, sebagai serangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam kepada akal budi manusia. Para ahli kemudian berpendapat bahwa hukum internasional memperoleh kekuatan mengikat dari fakta bahwa hukum ini hanyalah suatu penerapan terhadap keadaan-keadaan tertentu dari hukum alam. Dengan kata lain, negara-negara tunduk pada hukum internasional karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam.Menurut Vattel, bahwa asumsi suatu negara atau lebih dapat meninjau kembali atau mengawasi tindakan yang dilakukan negara lain akan bertentanga dengan hukum alam.Penolakan terhadap teori hukum alam ini adalah bahwa masing-masing ahli mempergunakannya sebagai suatu kiasan bagi konsepsi yang lebih konkret seperti nalar, keadilan, kemanfaatan, kepentingan-kepentingan umum masyarakat intrenasional, serta kebutuhan atau perintah-perintah agama. Hal ini menimbulkan banyak kebingungan, khususnya karena penafsiran hukum alam saling berlainan.Jejak teori hukum alam masih bertahan hingga saat ini walaupun dalam bentuk yang kurang begitu dogmatis. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum alam yang dominan selama abad ke 17 dan 18, setelah mengalami kejenuhan pada abad ke 19 telah bangkit kembali pada abad ke 20 sebagai latar depan filsafat sosial dan hukum bersama-sama dengan pemikiran metafisika.Filsafat hukum alam melandasi Rancangan Deklarasi mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara (Draft Declaration on the Rights and Duties of States) tahun 1949 yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa .Hukum alam juga dikemukakan dari pelaku kelalaian dan kebrutalan kejahatan-kejahatan perang.Meskipun konsep hukum alam kurang begitu jelas, namun konsep tersebut cenderung merupakan doktrin yang subyektif dan kurang obyektif, akan tetapi paling sedikit konsep hukum alam telah menanamkan penghargaan terhadap hukum internasional, dan memberikan-landasan landasan moral dan etikan yang tidak dapat di abaikan.Kelemahan utamanya: keterasingan dari realita-realita hubungan internasional yang tampak dalam hal kurangnya penekanan atas paraktek actual yang diikuti Negara-negara dalam hubungan-hubungan timbale-balik mereka, meskipun sebagian besar kaidah hukum internasional berasal dari paraktek seperti ini.

PositivismePenganut-penganut positivis berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum internasional memiliki karakter yang sama dengan hukum nasional (yaitu hukum Negara) positif sepanjang kaidah-kaidah hukum tersebut juga berasal dari kehendak Negara, selain itu mereka juga berpendapat bahwa hukum internasional secara logis dapat dikembalikan kepada suatu sistem kaidah yang untuk validitasnya akan bergantung hanya pada fakta bahwa negara-negara telah menyatakan kesetujuannya.Positivisme mulai dari premis-premis tertentu, bahwa Negara merupakan suatu kenyataan metafisika dengan nilai dan maknanya sendiri, dan bahwa didukung oleh realitas demkian Negara itu juga dipandang mempunyai kehendak.*Pengertian kehendak Negara (state will) berasal dari ahli filsafat Jerman, Hegel.Penganut positivisme menganggap hukum internasional terdiri dari kaidah-kaidah tersebut, di mana berbagai kehendak Negara telah diterima oleh proses pembatasan sukarela (selbstbechrankung), tanpa ada persetujuan hukum internasional tidak akan mengikat terhadap masyarakat Negara-negara.Zorn, salah seorang penganut positivism menanggap bahwa hukum internasional merupakan cabang dari hukum tata Negara , sebagai hukum public eksternal (aussers staatrecht) , dan hanya karena alas an itulah hukum internasional mengikat Negara-negara .Positivis terkenal, yuris Italia Anzilotti berpendapat bahwa kekuatan mengikat hukum internasional dapat ditelusuri ulang sampai suatu prinsip atau norma tertinggi dan fundamental, prinsip ini lebij dikenal sebagai pacta sunt servanda, yang merupakan dalil absolute dari sistem hukum internasional dan dengan cara apapun menjelmakan diri dalam semua kaidah hukum internasional. Seperti halnya dalam traktat-traktat, kaidah-kaidah kebiasaan didasarkan atas persetujuan Negara-negara, dan dalam hal ini terdapat suatu perjanjian implisit.Berikut adalah analisis dari teori Anzilotti: Setiap tata hukum terdiri dari suatu komplek norma yang mendapat karakter mewajibkan dari suatu norma fundamental terhadap mana norma-norma itu, baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan. Normal fundamental menetapkan, sedikit banyak, tentang norma-norma mana yang membentuk suatu tata hukum dan membentuk kesatuan utuh. Tata hukum internasional dibedakan dari fakta bahwa,dalam tata hukum internasional ini prinsip pacta sunt servanda tidak bergantung sebagaimana dalam hukum internasional , pada suatu norma paling tinggi , melainkan pacta sunt servanda itu sendiri merupakan norma tertinggi. Menerapkan kaidah mengenai Negara-negara harus menghormati perjanjian-perjanjian yang dibuat diantara mereka.Kelemahan pokok dari analisis ini adalah bahwa norma pacta sunt servanda hanya merupakan penjelasan sebagian dari kekuatan mengikat hukum internasional , Anzilotti berpendapat bahwa kaidah-kaidah kebiasaan mengikat terhadap Negara-negara karena fakta implisit (atau traktat) kurang meyakinkan dibandingkan argumentasi persetujuan diam-diam (tacit) dari positivis-positivis yang lain .Keberatan-keberatan utama terhadap positivism secara keseluruhan dapat diformulasikan sebagai berikut: Pemikiran mengenai kehendak Negara (State will) semata-mata merupakan kiasan, dan dipakai untuk menyatakan fakta bahwa hukum internasional mengikat terhadap Negara. Sulit untuk menyatukan fakta dengan suatu teori konsensual hukum internasional. Dalam praktek tidak pernah diperlukan seandainya dimintakan suatu kaidah hukum internasional tertentu terhadap Negara tertentu untuk memperlihatkan bahwa Negara tersebut telah menyetujuinya secara diplomati. Terdapat contoh-contoh kongkret saat ini mengenai kaidah-kaidah traktat yang ditetapkan melalui traktat-traktat yang membuat hukum yang berpengaruh terhadap Negara-negara tanpa suatu bentuk persetujuan tegas oleh atau yang diakibatkan oleh mereka . Contoh: ayat 6 pasal 2 CharterPBB harus menjamin bahwa Negara-negara yang bukan anggota akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Charter sejauh akan diperlukan untuk memelihara dan keamanan internasional.Teori positivisme memberikan pengaruh penting terhadap ilmu pengetahuan hukum internasional karena teori ini telah memusatkan perhatian pada praktek nyata Negara-negara dengan menekankan, bahwa hanya kaidah yang benar-benar ditaati Negara-negara yang dapat menjadi kaidah-kaidah hukum internasional. Hal ini menjurus kepada pandangan yang lebih realities dalam karya-karya hukum internasional, dan mengarah pada penghapusan pandangan-pandangan yang sifatnya akademis, mandul, dan doktrinal.Sanksi-Sanksi Penaatan Hukum InternasionalSuatu persoalan controversial adalah sejauh mana sanksi-sanksi, termasuk sanksi-sanksi dengan cara kekuatan ekstern, dapat dikenakan menurut hukum internasional, untuk menjamin penaatan kaidah-kaidah tersebut.Satu pendapat ekstrim mengatakan bahwa hukum internasional merupakan suatu sistem tanpa sanksi-sanksi, namun demikian tidak sepenuhnya benar bahwa tidak ada sarana pemaksa suatu Negara untuk mematuhi hukum internasional , hal tersebut dibuktikan dalam : Bab VII Charter PBB 26 Juni 1945, dalam hal terjadi suatu ancaman terhadap perdamaian , pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi,dapat menetapkan tindakan pemaksaan terhadap Negara tertentu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional ,sejauh Negara yang bersangkutan melanggar hukum internasional,dalam kenyataannya ini merupakan suatu bentuk sanksi kolektif untuk menegakkan hukum internasional Pasal 94 ayat 2 Charter , apabila suatu Negara yang menjadi pihak dalam perkara yang diajukan ke muka International Court of Juctice tidak melaksanakan kewajiban kewajiban yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah , maka Dewan Keamanan atas permohonan Negara lain ,yang menjadi pihak lawan dalam perkara yang sama,dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan mengenai tindakan yang harus diambil untuk terlaksananya putusan tersebut. Pasal 2 ayat 4 Charter , Negara-negara anggota harus menahan diri dari tindakan pengancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu Negara, atau cara-cara lainnya yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB .Kata sanksi dipakai dalam pengertian luas mencakup langkah-langkah , prosedur-prosedur dan sarana-sarana untuk memaksa suatu Negara mematuhi kewajiban-kewajibannya menurut Hukum Internasional, maka berikut adalah contoh-contoh sansksi dalam penaatan Hukum Internasional : Menurut Konstitusi Internasional Labour Organisation ( ILO ) (pasal 23-34) ,suatu prosedur ditetapkan untuk menangani pengaduan-pengaduan berkenaan dengan kelalaian yang dilakukan oleh Negara anggota untuk menjamin penaatan secara efektif atas sebuah Konvensi Buruh Internasional yang mengikat Negara tersebut ,hal ini akan menyebabkan pelimpahan kepada suatu Komisi Penyelidik (Commision of Enquiry) ,atau apabila diperlukan,diajukan kepada International Court of Justice,dan dalam peristiwa di mana suatu Negara anggota tidak melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang dikemukakan pada laporan Komisi atau pada keputusan Internasional Court of Juctice, Badan Pelaksana (Governing Body) Organisasi ini dapat mengusulkan tindakan kepada Konferensi Buruh guna menjamin penaatan rekomendasi-rekomendasi tersebut. Menurut Konvensi Tunggal tentang Obat-obat Narkotika (Single Convention on Narcotic Drugs) tanggal 30 Maret 1961 (pasal 14), apabila suatu Negara atau suatu wilayah tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi, yang bertujuan untuk membatasi kuantitas obat-obat narkotika untuk pemakaian sejumlah yang diperlukan untuk maksud-maksud sah,sebuah badan yang dinamakan Badan Pengawasan Narkotika Internasional (International Narcotics Control Board) diberi wewenang untuk meminta penjelasan dari Negara atau wilayah tersebut,jika penjelasan yang diminta itu tidak memuaskan , Board boleh meminta perhatian dari organ-organ PBB yang berwenang untuk menanganinya dan mengambil tindakan lebih jauh dengan memberikan rekomendasi penghentian impor atau ekspor atau kedua-duanya ke dan dari Negara atau wilayah yang lalai itu . Instrumen-instrumen konstitusi organisasi internasional tertentu menetapkan bahwa Negara-negara anggota yang tidak menaati prinsip-prinsip dasar yang dimuat dalam instrument-instrumen ini dapat diskors atau dipecat keanggotaannya, atau dihapuskan keuntungan-keuntungan dan hak-hak istimewa keikutsertaannya (pasal 6 Charter PBB) Suatu kewajiban internasional kadang-kadang dapat dilaksanakan melalui prosedur-prosedur sistem hukum domestic , tunduk kepada sanksi-sanksi yang sesuai dengan yang berlaku menurut sistem ini, sebagai contoh menurut Pasal 54-55 Konvensi tahun 1965 tentang Penyelsaian sengketa-sengketa Penanaman Modal antara Negara-negara dan warga warga Negara dari Negara lain , setiap peserta harus mengakui suatu putusan arbitrasi yang ditetapkan sesuai dengan konvensi sebagaimana suatu putusan yang mengikat , dan harus melaksanakan kewajiban-kewajiban keuangan yang dibebankan oleh putusan tersebut sebagaimana sebuah keputusan akhir yang ditetapkan pengadilan Negara tersebut . Tindakan-tindakan oleh Negara tertentu, yang melanggar hukum internasional, kadang-kadang dianggap tidak sah dan tidak berlaku oleh Negara-negara lain. Dalam Opini nasihatnya tanggal 21 Juni 1971 mengenai Legal Consequences for States of the Continued Presence of South Africa in Namibia (South West Africa) , International Court of Juctice menetapkan bahwa keberadaan Afrika Selatan secara terus menerus di Namibia (Afrika Barat Daya) adalah tidak sah, dan bahwa Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berkewajiban untuk mengakui tidak sahnya tindakan-tindakan Afrika Selatan yang menyangkut Namibia, dan menghindarkan diri dari tindakan-tindakan dan urusan-urusan dengan Afrika Selatan yang secara implisit dapat dan urusan-urusan dengan Afrika Selatan yang secara implisit dapat dianggap sebagai pengakuan legalitas keberadaannya dan memerintah Namibia , atau memberikan dukungan atau bantuan untuk tindakan-tindakan Afrika Selatan ini .Meskipun sanksi-sanksi dimungkinkan menurut Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, bersama-sama dengan tekanannya yang dapat diterapkan untuk memaksa suatu Negara mematuhi hukum internasional, namun masih tetap merupakan kenyataan bahwa masyarakat internasional belum memberikan kepada PBB suatu kekuasaan tetap untuk menjamin kepatuhan kepada hukum, sama dengan yang ada dalam suatu Negara modern .Perbandingan antara hukum internasional dan hukum kanonik (canon law) (hukum Gereja Katolik): Kekuatan yang mengikat kedua sistem hukum tersebut dilandaskan jauh kepada konsep hukum alam Kedua hukum tersebut tidak didukung oleh kekuasan ekstern yang terorganisasi, meskipun terdapat penghukuman-penghukuman tertentu bagi para pelanggar kaidah-kaidahnya, misalnya , pengucilan (excommunication) dan penolakan sakramen-sakramen . Ditaati karena secara praktis, masyarakat setuju untuk menaati kaidah-kaidah tersebut .Dari teori-teori mengenai dasar-dasar hukum internasional di atas , bahwa suatu penjelasan lengkap mengenai kekuatan mengikat hukum internasional yang mencakup semua hal dan keadaan , sangatlah sulit dilakukan disebabkan karena ada yang sifatnya menonjolkan keilmuan dan pikiran bahwa suatu penjelasan yang komprehensif perlu atau diaharpkan apa adanya.

Berikut adalah unsur-unsur pokok yang memperkuat karakter mewajibkan kaidah-kaidah hukum internasional: Fakta empiris bahwa Negara-negara akan mempertahankan hak-hak berdasarkan kaidah-kaidah tersebut terhadap Negara-negara lain yang mereka pandang sudah seharusnya menaati kaidah-kaidah tersebut Negara-negara mengakui hukum internasional sebagai kaidah yang mengikat terhadap mereka, apabila Negara-negara tidak menghormati kaidah kaidah ini maka hukum internasional tidak akan ada Memiliki sifat memaksa Negara-negara untuk menaati hukum internasional termasuk dalam bidang ilmu politik, dan tidak dapat diterapkan hanya dengan analisis hukum sajaDengan demikian, permasalahan tentang kekuatan mengikat dari hukum internasional mengubah diri menjadi suatu persoalan yang tidak ada bedanya dengan sifat mewajibkan dari hukum pada umumnya.

18 | Page