virtika ayu
TRANSCRIPT
TESIS
PEMBERIAN MINYAK BIJI RAMI (Linum usitatissimum) PER ORAL MENINGKATKAN
JUMLAH OSTEOBLAS DAN KEPADATAN TULANG PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
GALUR SPRAGUE DAWLEY DENGAN PERIODONTITIS
KETUT VIRTIKA AYU
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
TESIS
PEMBERIAN MINYAK BIJI RAMI (Linum usitatissimum) PER ORAL MENINGKATKAN
JUMLAH OSTEOBLAS DAN KEPADATAN TULANG PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
GALUR SPRAGUE DAWLEY DENGAN PERIODONTITIS
KETUT VIRTIKA AYU NIM : 1290761037
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
PEMBERIAN MINYAK BIJI RAMI (Linum usitatissimum)
PER ORAL MENINGKATKAN JUMLAH OSTEOBLAS DAN KEPADATAN TULANG PADA TIKUS PUTIH JANTAN
(Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY DENGAN PERIODONTITIS
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
KETUT VIRTIKA AYU NIM : 1290761037
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 26 Nopember 2014
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro Dr. dr. I Dw. Made Sukrama,M.Si.,Sp.MK(K) NIP.194612311969021001 NIP. 195810101987021002
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. W. Pangkahila, Sp.And.,FAACS. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 194612131971071001 NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 26 Nopember 2014
Penguji Tesis Berdasarkan SK. Rektor Universitas Udayana, No : 4162/UN.14.4/HK/2014
Tanggal 31 Oktober 2014
Ketua : Prof. Dr. dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro
Anggota :
1. Dr. dr. I Dw. Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K) 2. Prof. dr. IGM. Aman, Sp.FK 3. Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si 4. dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, Sp.MK, Ph.D
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, TuhanYang Maha Esa, karena atas karunia-NYA lah, penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul : “Pemberian Minyak Biji Rami (Linum
usitatissimum) Meningkatkan Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang pada
TikusPutih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley dengan
Periodontitis”.
Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan dorongan,
petunjuk, bimbingan dan bantuan baik materi, tenaga, fasilitas maupun hasil
pemikiran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu dengan penuh rasa hormat dan
segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro, selaku pembimbing
pertama dan Dr. dr. I Dw. Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K), selaku
pembimbing kedua atas segala bimbingan dan arahannya yang diberikan
dengan penuh perhatian dan kesabaran, serta memberikan motivasi dari awal
hingga akhir tugas ini, sehingga penulis dapat terus belajar dan melakukan
yang terbaik.
2. Prof. dr. IGM. Aman, Sp.FK ; Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si ; dan
dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, Sp.MK, Ph.D selaku penguji tesis yang telah
memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi yang sangat membangun
sehingga tesis ini dapat terwujud.
3. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM),
Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka
Sudewi, SpS(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan
Ketua Program Biomedis Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS.,
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
4. Rektor Universitas Mahasaraswati Tjok. Istri Sri Ramaswati, SH., MM, dan
drg. Putu Ayu Mahendri, M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati atas ijin dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti program magister.
5. Kepala Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu dan Kepala Bagian
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
yang telah memberikan kesempatan mempergunakan fasilitas yang ada
sehingga membantu penulis menyelesaikan penelitian ini.
6. Seluruh dosen dan staf pada Program Magister Biomedik Universitas Udayana
yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan selama perkuliahan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada
teman-teman mahasiswa Ilmu Kedokteran dasar yang selalu memberikan motivasi
dan doanya. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayah (alm) dan Ibu
tercinta yang telah penuh kasih, mengantarkan penulis menerima semua karunia
Tuhan dengan penuh rasa syukur.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta, A.A.Gd.
Putera Mahendra serta putra kecilku A.A.Gd. Jyota Mahottama yang dengan
penuh pengorbanan telah memberikan kesempatan, dukungan dan semangat
kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Penulis juga
ingin menyampaikan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa Ilmu
Kedokteran Dasar yang selalu memberikan motivasi, doa dan dukungan selama
melewati masa-masa sulit.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan secara lengkap satu
persatu. Jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan tesis ini mohon
mendapat perhatian agar disampaikan kritik dan sarannya.
Denpasar, Oktober 2014
Penulis
ABSTRAK
PEMBERIAN MINYAK BIJI RAMI (Linum usitatissimum) PER ORAL MENINGKATKAN JUMLAH OSTEOBLAS DAN
KEPADATAN TULANG PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY
DENGAN PERIODONTITIS
Pada dekade terakhir perawatan ortodonti banyak dilakukan dalam praktek kedokteran gigi untuk memperbaiki maloklusi dan untuk memperbaiki penampilan seseorang. Namun perawatan tersebut sulit dilakukan bila terjadi kelainan pada periodontal yang melibatkan resorpsi tulang alveolar. Periodontitis merupakan penyakit inflamasi kronis yang apabila tidak dilakukan perawatan akan menyebabkan kehilangan gigi. Minyak biji rami mengandung omega-3 yang tinggi yang dapat menurunkan aktivitas inflamasi sehingga menurunkan resorpsi tulang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pemberian minyak biji rami meningkatkan jumlah osteoblas dan kepadatan tulang tikus yang periodontitis.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan Randomized Post Test Only Control Group Design. Subjek penelitian terdiri dari 32 tikus putih jantan galur Sprague Dawley berumur 8-12 minggu dibagi 2 kelompok yakni kelompok kontrol mendapatkan pemberian plasebo (glycerin) per oral selama 21 hari dan kelompok perlakuan dengan pemberian minyak biji rami 700 mg/200grBB per oral selama 21 hari. Pada hari ke-30 tikus dieutanasia untuk pengambilan jaringan tulang alveolar pada rahang bawah untuk dibuat preparat histologi dengan pengecatan HE (Harris Hematoxylin-Eosin). Data yang diperoleh dianalisis, dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk dan dilanjutkan dengan independent t-test.
Hasil menunjukkan bahwa rerata jumlah osteoblas kelompok perlakuan dengan pemberian minyak biji rami (64,62 ± 4,288 sel per 5 lapang pandang) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (36,56 ± 3,483 sel per 5 lapang pandang). Rerata kepadatan tulang yang ditentukan dengan mengukur lebar struktur trabekulae kelompok perlakuan dengan pemberian minyak biji rami (662,51 ± 5,495 µm per 5 lapang pandang) secara statistik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (360,01 ± 4,523 µm per 5 lapang pandang). Hasil penelitian berdasarkan uji perbandingan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan minyak biji rami dengan independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna jumlah osteoblas dan kepadatan tulang tikus putih jantan galur Sprague Dawley (p<0,05).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian minyak biji rami per oral dapat meningkatkan jumlah osteoblas dan kepadatan tulang pada tikus putih
jantan galur Sprague Dawley dengan periodontitis.
Kata kunci : minyak biji rami, periodontitis, osteoblas, kepadatan tulang
ABSTRACT
ORAL ADMINISTRATION OF FLAXSEED OIL (Linum usitatissimum) ENHANCE THE OSTEOBLASTS NUMBER AND
BONE DENSITY IN WHITE MALE SPRAGUE DAWLEY RATS WITH PERIODONTITIS
In the last decade orthodontic treatments are done in the practice of dentistry to correct malocclusions and improve appearance. However, these treatments are difficult to do when there are periodontal disorders involving alveolar bone resorption. Periodontitis is a chronic inflammatory disease leading to tooth loss. Flaxseed oil contains high omega-3 that can reduce inflammatory activity thereby reducing bone resorption. This study was conducted to prove the flaxseed oil enhance the osteoblasts number and bone density in periodontitis rats. This study was a purely experimental research with Randomized Post Test Only Control Group Design. Research subjects consisted of 8-12 week 32 white male rats of Sprague Dawley strain were divided into 2 groups ; a control group were given placebo (glycerin) orally for 21 days, whereas the treatment group were given flaxseed oil 700 mg/200grBW orally for 21 days. On the 30th day, mice were euthanized for mandibula alveolar bone tissue sampling and histological preparations were made by HE (Harris Hematoxylin-Eosin) staining. The data were analyzed using SPSS program processed using Shapiro-Wilk for normality test and then continued using the independent t-test.
The results showed that the mean of osteoblasts number at the treatment group by oral administration of flaxseed oil (64.62 ± 4.288 cells per 5 field of view) was significantly higher than the control group (36.56 ± 3.483 cells per 5 field of view). The mean of bone density determined by trabecular structure thickness at group treated with flaxseed oil (662.51 ± 5.495 µm per 5 field of view) was statistically significant higher than the control group (360.01 ± 4.523 µm per 5 field of view). Test results based on comparison between the control group and the group treated with flaxseed oil with independent t-test showed that significant differences in the osteoblasts number and bone density of white male Sprague Dawley rats (p<0.05).
This study concluded that oral administration of flaxseed oil enhance the osteoblasts number and bone density in white male rats of Sprague Dawley strain with periodontitis.
Keywords : flaxseed oil, periodontitis, osteoblasts, bone density
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ................................................................. HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................... i PERSYARATAN GELAR ........................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v ABSTRAK ................................................................................................ viii ABSTRACT .............................................................................................. ix DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 5
1.3.1 Tujuan umum ......................................................... 5 1.3.2 Tujuan khusus ........................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................. 6 1.4.1 Manfaat akademis .................................................. 6 1.4.2 Manfaat praktis ...................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 8 2.1 Jaringan Periodontal .......................................................... 8
2.1.1 Dento gingival junction .......................................... 8 2.1.2 Sementum .............................................................. 9 2.1.3 Ligamen periodontal .............................................. 9 2.1.4 Tulang alveolar ...................................................... 9
2.2 Definisi Penyakit Periodontal ............................................ 10 2.2.1 Gingivitis ................................................................ 10 2.2.2 Periodontitis ........................................................... 10
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Terjadinya Periodontitis .......... 12 2.4 Tulang ............................................................................... 13
2.4.1 Osteoblas ............................................................... 14 2.4.2 Kepadatan tulang ................................................... 17 2.4.3 Osteoimunologi ..................................................... 20
2.5 Patogenesis Resorpsi Tulang Alveolar pada Periodontitis .. 22 2.5.1 Mekanisme LPS dalam resorpsi tulang alveolar
pada periodontitis .................................................. 29 2.6 Minyak Biji Rami .............................................................. 33
2.6.1 Asam lemak .......................................................... 35 2.6.2 Manfaat minyak biji rami ...................................... 43 2.6.3 Kandungan minyak biji rami ................................. 43 2.6.4 Uji toksisitas minyak biji rami ............................... 50
2.7 Mekanisme Minyak Biji Rami Meningkatkan Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang ....................................... 50
2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus) ......................................... 55 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ........................................................................ 57
3.1 Kerangka Berpikir .............................................................. 57 3.2 Konsep Penelitian ............................................................... 59 3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................ 59
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................ 60 4.1 Rancangan Penelitian ........................................................ 60 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 61 4.3 Sumber Data Populasi dan Sampel .................................... 61
4.3.1 Kriteria sampel ...................................................... 61 4.3.2 Besar sampel .......................................................... 61
4.4 Variabel Penelitian ............................................................ 62 4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel ....................... 62 4.4.2 Hubungan antar variabel ........................................ 63
4.5 Definisi Operasional ........................................................... 63 4.6 Prosedur Penelitian ............................................................ 64
4.6.1 Minyak biji rami .................................................... 64 4.6.2 Hewan coba ........................................................... 65 4.6.3 Pembuatan sediaan mikroskopis dan observasi ....... 67 4.6.4 Dosis konversi dari manusia ke tikus ...................... 68
4.7 Bahan dan Alat .................................................................. 71 4.7.1 Bahan .................................................................... 71 4.7.2 Alat-alat ................................................................. 72
4.8 Alur Penelitian .................................................................. 72 4.9 Analisis Data ..................................................................... 73
BAB V. HASIL PENELITIAN .............................................................. 74 5.1 Analisis Deskriptif ............................................................. 74 5.2 Uji Normalitas Data............................................................ 75 5.3 Uji Homogenitas Data Antar Kelompok ............................ 75 5.4 Analisis Komparabilitas .................................................... 76 5.4.1 Analisis komparabilitas jumlas osteoblas ................. 76 5.4.2 Analisis komparabilitas kepadatan tulang ................. 76 5.5 Gambaran Histologis Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang antar Kelompok ..................................................... 77
BAB VI. PEMBAHASAN ...................................................................... 79 6.1 Data Hasil Penelitian ........................................................ 79
6.2 Pengaruh Minyak Biji Rami terhadap Peningkatan Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley ............................................ 80
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 86 7.1 Simpulan ........................................................................... 86 7.2 Saran ................................................................................. 86 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 87
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Data biologi tikus putih ............................................................. 54 Tabel 5.1 Analisis deskriptif jumlah osteoblas dan kepadatan tulang antar kelompok .......................................................................... 73 Tabel 5.2 Uji normalitas jumlah osteoblas ................................................. 74 Tabel 5.3 Uji normalitas data kepadatan tulang ......................................... 74 Tabel 5.4 Uji homogenitas data jumlah osteoblas dan kepadatan tulang .... 75 Tabel 5.5 Rerata jumlah osteoblas antar kelompok .................................... 75 Tabel 5.6 Rerata kepadatan tulang antar kelompok .................................... 76
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Penampang sagital struktur jaringan periodontal pada gigi .. 8 Gambar 2.2 Penumpukan plak dan kalkulus pada periodontitis kronis ...... 11 Gambar 2.3 Awal osifikasi intramembranosa .......................................... 16 Gambar 2.4 Osifikasi endokondral ........................................................... 16 Gambar 2.5 Massa dan matriks protein tulang yang rendah pada lumbar vertebra ............................................................................... 19 Gambar 2.6 Diferensiasi dan perkembangan osteoklas ............................ 21 Gambar 2.7 Tulang alveolar pada keadaan homeostatik dan yang terinflamasi dikaitkan dengan ratio RANKL dan OPG ......... 22 Gambar 2.8 Peran inflamasi sitokin pada resorpsi tulang alveolar ............ 27 Gambar 2.9 Makanisme LPS dalam resorpsi tulang alveolar pada periodontitis ........................................................................ 29 Gambar 2.10 Intervensi sistem imun oleh kerja bakteri dalam meresorpsi tulang pada periodontitis ...................................................... 31 Gambar 2.11 Tanaman rami ...................................................................... 33 Gambar 2.12 Kandungan asam lemak berbagai makanan ........................... 37 Gambar 2.13 Struktur kimia dari asam lemak jenuh dan tak jenuh ............ 38 Gambar 2.14 Kandungan minyak biji rami ................................................. 43 Gambar 2.15 Jalur konversi ALA............................................................... 44 Gambar 2.16 Jalur konversi omega-3 dan omega-6, kompetensi enzim desaturase ............................................................................. 50 Gambar 2.17 Omega-3 (EPA dan DHA) menghambat sintesis AA menjadi PGE2 dan LTB4 .................................................................... 52 Gambar 2.18 Posisi AA dapat digeser / diganti oleh omega-3 (EPA dan DHA) dalam membran fosfolipid ......................................... 53 Gambar 3.1 Konsep penelitian ................................................................ 58 Gambar 4.1 Rancangan penelitian ............................................................ 59 Gambar 4.2 Hubungan antar variabel ...................................................... 62 Gambar 4.3 Pemilihan dan penempatan tikus .......................................... 68 Gambar 4.4 Anestesi pada tikus ............................................................... 68 Gambar 4.5 Induksi LPS ......................................................................... 69 Gambar 4.6 Minyak biji rami .................................................................. 69 Gambar 4.7 Eutanasia dan pengambilan jaringan tulang .......................... 70 Gambar 5.1 Gambaran histologis sel osteoblas pada kelompok kontrol dan perlakuan ....................................................................... 77 Gambar 5.2 Gambaran histologis kepadatan tulang pada kelompok kontrol dan perlakuan ........................................................... 77
DAFTAR SINGKATAN AA : Arachidonic Acid ALA : Alpha Linolenic Acid ALP : Alkaline Phosphatase BMC : Bone Mineral Content BMD : Bone Mineral Density CD14 : Cluster of Differentiation-14 CFU-GM : Colony Forming Unit for Granulocytes and Macrophages COX : Cyclooxygenase / siklooksigenase DEXA : Dual Energy X-Ray Absorptiometry DHA : Docosahexaenoic Acid EPA : Eicosapentaenoic Acid HE : Harris Hematoxylin-Eosin IBD : Inflammatory Bowel Disease IL : Interleukin LBP : LPS Binding Protein LOX : Lipoxygenase / Lipoksigenase LPS : Lipopolisakarida M-CSF : Macrophage Colony Stimulating Factors MUFA : Monounsaturated Fatty Acid OPG : Osteoprotegerin OVX : Ovariectomy PGE2 : Prostaglandin E2 PKD : Polycistic Kidney Disease PUFA : Polyunsaturated Fatty Acid RANKL : Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa B Ligand RANK : Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa B SFA : Saturated Fatty Acid, TLR : Toll-Like Receptor TNF : Tumor Necrosis Factor TRAP : Tartrate Resistant Acid Phosphatase
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical clearance .................................................................. 91
Lampiran 2 Hasil penelitian pendahuluan .................................................. 92
Lampiran 3 Perhitungan dosis konversi manusia ke tikus .......................... 93
Lampiran 4 Hasil analisis data dengan SPSS ............................................. 94
Lampiran 5 Product spesification (Minyak biji rami W530238) ................ 98
Lampiran 6 Product spesification (LPS E.coli 0111:B4, L2630) ............... 99
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resorpsi tulang banyak ditemui pada penyakit periodontal, rheumatoid
arthritis, osteoporosis dan tumor. Pada bidang kedokteran gigi, resorpsi tulang
dapat mengakibatkan tulang mudah fraktur, gigi mudah tanggal, dan sulitnya fase
perawatan dan retensi pasca perawatan ortodontik.
Akhir-akhir ini banyak masyarakat dewasa muda ingin melakukan
perawatan ortodonti untuk merawat maloklusi dan memperbaiki penampilan
mereka, namun bila gigi yang mengalami kerusakan pada periodontal diberi gaya,
maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang cepat. Kerusakan jaringan berupa
kehilangan dukungan tulang maupun perlekatan yang terjadi karena pemberian
gaya ortodonti ini dapat dicegah dengan perawatan periodontal dan pemeliharaan
yang teratur (Yovela dan Krisnawati, 2009).
Penyakit pada jaringan periodontal yang diderita manusia hampir di
seluruh dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa. Di Asia dan
Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih tinggi daripada
di Eropa, Amerika dan Australia. Di Indonesia penyakit periodontal menduduki
urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat. Menurut
hasil survai kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun 1995, penyakit periodontal
terjadi pada 459 orang diantara 1000 penduduk (Wahyukundari, 2009).
Penumpukan bakteri plak pada permukaan gigi merupakan penyebab
utama penyakit periodontal. Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis, bila
tidak terawat bisa berkembang menjadi periodontitis dimana terjadi kerusakan
jaringan periodontal berupa kerusakan jaringan ikat, ligamen periodontal dan
tulang alveolar (Wahyukundari, 2009).
Kelainan periodontal sering disebabkan oleh beberapa kuman dari
golongan bakteri Gram negatif anerob. Bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin
Lipopolisakarida (LPS) yang selanjutnya toksin ini dapat menginduksi kejadian-
kejadian seluler di jaringan periodontal khususnya pada tulang alveolar.
Rangsangan ini menjadi sebuah induksi pengaktifan fungsi dan aktivitas osteoklas
yang meningkat dan penurunan jumlah osteoblas, yang selanjutnya akan
menyebabkan rusaknya mineral anorganik dari tulang alveolar dan terjadilah
resorpsi tulang alveolar. Apabila proses resorpsi ini tidak terkendali maka tulang
alveolar yang mendukung gigi akan berkurang dan menyebabkan gigi goyang dan
akibat yang lebih fatal lagi adalah rasa sakit dan lepasnya gigi dari soketnya
(Amin et al., 2010).
Meskipun penyakit periodontal diawali oleh kolonisasi bakteri pada
permukaan gigi dan sulkus gingiva, respon tubuh terhadap infeksi tersebut
mempunyai peranan dalam kerusakan jaringan ikat dan tulang melalui mediator
dan sitokin pro-inflamasi (Kajiya et al., 2010). Selain inflamasi disebabkan oleh
karena bakteri, diet berlebihan omega-6 juga akan meningkatkan jumlah
Arachidonic Acid (AA) dalam tubuh yang jika disintesis oleh enzim
siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin (PGE2) yang merupakan
mediator terjadinya inflamasi. Mediator dan sitokin pro-inflamasi ini akan
mengaktifkan osteoklastogenesis pula sehingga terjadi resorpsi tulang alveolar
(Calder, 2006).
Asam lemak esensial omega-3 yakni Alpha Linolenic Acid (ALA) yang
terkandung dalam tanaman maupun Eicosapentaenoic Acid (EPA) dan
Docosahexaenoic Acid (DHA) pada ikan air dingin atau minyak ikan, akhir-akhir
ini banyak digunakan dalam diet seseorang untuk mengatasi osteoporosis atau
resorpsi tulang. Minyak biji rami (Linum usitatissimum) mengandung ALA yang
tinggi dimana ALA sebagian kecil akan diubah oleh tubuh menjadi EPA dan
DHA (Indahyani et al., 2010, Kim dan Ilich, 2011).
Asam lemak esensial dalam minyak biji rami dapat memulihkan kesehatan
dan fungsi kekebalan tubuh. Konsentrasi asam lemak esensial yang luar biasa
dalam minyak biji rami tersebut dinilai dapat memenuhi semua kebutuhan asam
lemak esensial seseorang seumur hidupnya. Minyak biji rami yang mengandung
omega 3, 6, dan 9, merupakan alternatif yang akan memberikan manfaat yang
sama seperti minyak ikan tanpa perlu waspada terhadap bahaya racun (Mayasari,
2012).
Di Indonesia masih sangat sedikit kesadaran untuk mengkonsumsi
makanan yang kaya akan omega-3 seperti ikan salmon maupun ikan tuna padahal
tubuh sangat membutuhkan omega-3 baik dari ikan maupun tumbuhan seperti
minyak biji rami. Para vegetarian maupun yang alergi ikan juga memerlukan
omega-3 bagi tubuh sehingga minyak biji rami sangat baik dijadikan diet sehari-
hari. Minyak biji rami pun relatif lebih murah dibandingkan dengan minyak ikan
dan juga mudah didapat di supermarket.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa omega-3 dapat menurunkan
mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1β
dan interleukin-6 (IL-6) (Caughey et al., 1996; Cornish dan Chilibeck, 2009).
Selain itu omega-3 dapat menghambat metabolisme AA menjadi prostaglandin
(PGE2) yang dapat merangsang terjadinya inflamasi dan AA akan digantikan
posisinya oleh omega-3, sehingga omega-3 dikatakan sebagai anti-inflamasi
(Calder, 2006; Mozaffarian dan Wu, 2011). Oleh karena penurunan mediator pro-
inflamasi mengakibatkan pembentukan dan aktivitas osteoklas terhambat
sehingga osteoblas melakukan proliferasi dan diferensiasi untuk menjadi osteoblas
yang matur sehingga jumlah osteoblas meningkat dan kepadatan tulang akan
meningkat pula (Indahyani et al., 2010).
Tulang secara kontinyu dibentuk oleh osteoblas dan secara kontinyu
diresorpsi ketika osteoklas menjadi aktif. Osteoblas dijumpai di permukaan luar
tulang dan di rongga-rongga tulang. Sejumlah kecil aktivitas osteoblastik terjadi
secara kontinyu di semua jaringan tulang yang hidup sehingga sedikitnya
sejumlah tulang baru dibentuk secara konstan (Guyton dan Hall, 2008).
Pada pasien dengan adanya periodontitis yang mengalami resorpsi tulang
alveolar terjadi peningkatan aktivitas dari osteoklas. Tinggi dan kepadatan tulang
alveolar pada keadaan normal memiliki keseimbangan antara besarnya
pembentukan dan resorpsi yang diatur oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Saat
nilai resorpsi lebih besar dari nilai pembentukan tulang, tinggi dan kepadatan
tulang alveolar dapat menurun (Carranza dan Takei, 2006). Belum ada penelitian
minyak biji rami yang dimanifestasikan pada rongga mulut yang dipublikasi,
maka dari itu peneliti ingin melihat sejauh mana peranan dari minyak biji rami
terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan peningkatan kepadatan tulang alveolar
sehingga akan terjadi penurunan resorpsi tulang alveolar.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan pada
bulan Maret – Mei 2014 menunjukkan bahwa peningkatan dosis pemberian
minyak biji rami pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague
Dawley juga berpengaruh terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan
bertambahnya kepadatan tulang alveolar. Dosis minyak biji rami yang paling
efektif adalah 700 mg/200gr BB (setara dengan 1,5 ml), oleh karena itu akan
dilakukan penelitian sesungguhnya (Ayu, 2014). Hasil penelitian pendahuluan
pada Lampiran 2.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas timbul suatu permasalahan :
1. Apakah pemberian minyak biji rami per oral meningkatkan jumlah
osteoblas tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan periodontitis ?
2. Apakah pemberian minyak biji rami per oral meningkatkan kepadatan
tulang tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan periodontitis ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan peran minyak biji rami dalam
meningkatkan pembentukan tulang dan kemampuannya sebagai anti-inflamasi
pada periodontitis.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk membuktikan pemberian minyak biji rami meningkatkan
jumlah osteoblas tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan
periodontitis.
2. Untuk membuktikan pemberian minyak biji rami meningkatkan
kepadatan tulang tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan
periodontitis.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan peran minyak biji
rami dalam patomekanisme untuk meningkatkan jumlah osteoblas dan kepadatan
tulang alveolar.
1.4.2. Manfaat Praktis
Dengan diketahui pengaruh minyak biji rami terhadap peningkatan jumlah
osteoblas dan kepadatan tulang alveolar maka diharapkan diet minyak biji rami
sehari-hari sebagai alternatif penguat tulang secara alami, murah dan relatif
mudah didapat.
Selain itu minyak biji rami diharapkan sebagai alternatif untuk pencegahan
resorpsi pada tulang alveolar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Jaringan Periodontal
Jaringan periodontal tersusun dari komponen matriks ekstraseluler yaitu
kolagen yang berperan dalam proses regenerasi dan kerusakan jaringan. Kolagen
interstisial jaringan periodontal berfungsi untuk penyembuhan dan pembentukan
jaringan baru (Wahyukundari, 2009).
Gambar 2.1 Penampang sagital struktur jaringan periodontal pada gigi (Newman, 2006) 2.1.1 Dento gingival junction
Dento gingiva junction adalah gingiva yang melapisi gigi. Dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu jaringan epitel dan komponen jaringan ikat. Epitelium
ini dibentuk oleh sel basal, sel superbasal dan sel permukaan yang terdiri dari
basal lamina yang merupakan sel perlekatan. Sel-sel tersebut memiliki banyak
sitoplasma, retikulum endoplasma, dan badan golgi. Jaringan ikat terdiri dari dua
bagian, yaitu pada daerah permukaan dan bagian dalam. Terletak bersebelahan
dengan junctional epithelium yang berfungsi untuk menyokong epitelium. Selain
itu jaringan ikat memiliki peranan untuk memulihkan dento gingival junction
setelah pembedahan periodontal (Carranza, 2006).
2.1.2 Sementum
Sementum merupakan bagian jaringan periodontal yang menyelimuti akar
gigi. Bersifat keras, tak berpembuluh darah, serta merupakan perlekatan utama
ligamen periodontal (Carranza, 2006).
2.1.3 Ligamen periodontal
Sebagian besar ligamen periodontal bersifat lunak, terutama jaringan yang
berada diantara sementum yang menyelimuti akar gigi dan tulang. Fungsi dari
ligamen periodontal adalah menjaga gigi pada tempatnya yang disesuaikan
dengan kekuatan mengunyah, dan sebagai sensori reseptor pada rahang selama
pengunyahan, serta sebagai cadangan sel untuk regenerasi (Carranza, 2006).
2.1.4 Tulang alveolar
Adalah tulang yang berongga, tepatnya di samping ligamen periodontal.
Lapisan luar terdiri dari compact bone, lapisan tengah spongiosa bone, serta
lapisan dasar adalah alveolar bone. Lapisan luar (compact bone) dan lapisan
tengah (spongiosa/ trabecular bone) tersusun atas lamela-lamela dengan sistem
havers (Newman, 2006).
2.2 Definisi Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan
pendukung gigi (periodontium). Penyakit periodontal dapat hanya mengenai
gingiva (gingivitis) atau dapat menyerang struktur yang lebih dalam
(periodontitis). Gambaran klinis yang membedakan antara gingivitis dan
periodontitis adalah ada tidaknya kerusakan jaringan periodontal destruktif
umumnya dihubungkan dengan keberadaan dan atau meningkatnya jumlah bakteri
patogen spesifik dan adanya kerusakan tulang (Widyastuti, 2009).
2.2.1 Gingivitis
Karena plak berakumulasi dalam jumlah sangat besar di regio interdental
yang terlindungi, inflamasi gingiva cenderung dimulai pada daerah papilla
interdental dan menyebar ke sekitar leher gigi (Eley dan Manson, 2004).
Histopatologi dari gingivitis kronis dijabarkan dalam beberapa tahapan lesi
awal timbul 2-4 hari diikuti gingivitis tahap awal, dalam waktu 2-3 minggu akan
menjadi gingivitis yang cukup parah (Eley dan Manson, 2004).
2.2.2 Periodontitis
Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan
migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang dan resorpsi
tulang alveolar. Pada pemeriksaan klinis terdapat peningkatan kedalaman probing,
perdarahan saat probing (ditempat aktifnya penyakit) yang dilakukan dengan
perlahan dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan kemerahan,
pembengkakan gingiva dan biasanya tidak ada rasa sakit (Cobb, 2008).
Periodontitis adalah hasil dari respon host pada agregasi bakteri di
permukaan gigi. Mengakibatkan kerusakan irreversible pada jaringan perlekatan,
yang menghasilkan pembentukan poket periodontal dan kehilangan tulang
alveolar pada akhirnya. Terjadinya periodontitis pada orang dewasa muda
memiliki dampak buruk terhadap gigi mereka (Mullaly, 2004).
Karakteristik yang ditemukan pada pasien periodontitis yang belum
ditangani meliputi akumulasi plak pada supragingiva dan subgingiva, inflamasi
gingiva, pembentukan poket, kehilangan perlekatan periodontal hingga
kehilangan tulang alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi (Carranza dan
Takei, 2006).
Pada pasien dengan oral hygiene yang buruk, gingiva membengkak dan
warnanya antara merah pucat hingga magenta. Hilangnya gingiva stippling dan
adanya perubahan topografi pada permukaannya seperti menjadi tumpul dan rata
(cratered papila) (Carranza dan Takei, 2006).
Gambar 2.2 Penumpukan plak dan kalkulus pada periodontitis (Carranza dan Takei, 2006).
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Terjadinya Periodontitis
Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor utama terjadinya periodontitis adalah terdapatnya akumulasi plak pada gigi
dan gingiva. Ada beberapa faktor yang ikut berkontribusi dalam peningkatan
risiko terjadinya penyakit, antara lain :
1. Faktor lokal. Akumulasi plak pada gigi dan gingiva pada dento gingival
junction merupakan awal inisiasi agen pada etiologi periodontitis. Bakteri
biasanya memberikan efek lokal pada sel dan jaringan berupa inflamasi.
2. Faktor sistemik. Kebanyakan periodontitis terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektifan respon host. Diabetes
merupakan contoh penyakit yang dapat meningkatkan keganasan penyakit ini.
3. Lingkungan dan perilaku merokok dapat meningkatkan keganasan penyakit ini.
Pada perokok, terdapat lebih banyak kehilangan perlekatan pada periodontal dan
resorpsi tulang, lebih banyak furkasi dan pendalaman poket. Stres juga dapat
meningkatkan prevalensi dan keganasan penyakit ini.
4. Genetik. Biasanya kerusakan periodontal sering terjadi di dalam satu keluarga,
ini kemungkinan menunjukkan adanya faktor genetik yang mempengaruhi
periodontitis ini (Carranza dan Takei, 2006).
Gingiva yang meluas penyebab utama kerusakan tulang pada penyakit
periodontal adalah perluasan inflamasi marginal gingiva ke jaringan penyokong.
Invasi dari inflamasi gingiva ke permukaan tulang dan permulaan dari kehilangan
tulang merupakan ciri utama transisi dari gingivitis ke periodontitis. Meskipun
periodontitis merupakan suatu penyakit jaringan gingiva, perubahan yang terjadi
pada tulang alveolar sangat berperan penting karena kehilangan tulang dapat
menyebabkan kehilangan gigi (Carranza dan Takei, 2006).
Periodontitis selalu didahului oleh gingivitis, sedangkan tidak semua
gingivitis berkembang menjadi periodontitis. Faktor yang menyebabkan perluasan
inflamasi ke jaringan penyokong dan menginisiasi perubahan gingivitis menjadi
periodontitis belum diketahui, namun dikaitkan dengan komposisi bakterial yang
terdapat pada plak (Carranza dan Takei, 2006).
2.4 Tulang
Sebagai unsur pokok kerangka orang dewasa, jaringan tulang menyangga
struktur berdaging, melindungi organ-organ vital seperti yang terdapat di dalam
tengkorak dan rongga dada, dan menampung sumsum tulang, tampak sel-sel darah
dibentuk. Tulang juga berfungsi sebagai cadangan kalsium, fosfat dan ion lain
yang dapat dilepaskan atau disimpan dengan cara terkendali untuk
mempertahankan konsentrasi ion-ion penting ini di dalam cairan tubuh (Junqueira
dan Carneiro, 2007).
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antarsel
berkapur, yaitu matriks tulang dan tiga jenis sel : osteosit, yang terdapat di
rongga-rongga (lakuna) di dalam matriks; osteoblas, yang menyintesis unsur
organik matriks, dan osteoklas, yang merupakan sel raksasa multinuklear yang
terlibat dalam resorpsi dan remodeling jaringan tulang (Junqueira dan Carneiro,
2007).
Tulang dapat dibentuk dengan 2 cara yaitu dengan mineralisasi langsung
dari matriks yang disekresi osteoblas (osifikasi intramembranosa) atau oleh
deposisi matriks tulang pada matriks tulang rawan yang sudah ada (osifikasi
endokondral) (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Pada kedua proses, jaringan tulang mula-mula tampak sebagai tulang
primer atau tulang anyaman. Tulang primer merupakan jaringan temporer dan
segera diganti oleh tulang berlamela definitif atau sekunder. Selama pertumbuhan
tulang, daerah tulang primer, daerah resorpsi dan daerah tulang sekunder terlihat
berdampingan. Kombinasi sintesis tulang dan penghancurannya (remodeling)
tidak hanya terjadi pada tulang yang tumbuh namun juga berlangsung seumur
hidup meskipun kecepatan perubahannya pada orang dewasa sudah sangat
menurun (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Meskipun keras, struktur internal tulang dapat berubah, bergantung pada
berbagai stres yang dialaminya. Misalnya posisi gigi dalam rahang dapat
dimodifikasi oleh tekanan lateral yang dihasilkan alat ortodontik. Tulang dibentuk
pada sisi terjadinya traksi, dan diresorpsi di tempat adanya tekanan (pada sisi yang
berlawanan). Dengan cara ini, gigi bergerak di dalam tulang rahang, saat tulang
alveolar mengalami remodeling (Junqueira dan Carneiro, 2007).
2.4.1 Osteoblas
Osteoblas adalah sel mononuklear yang berasal dari sel mesenkim yang
mensintesis protein matriks tulang kolagenous dan nonkolagenous. Deposisi
komponen anorganik dari tulang juga bergantung pada adanya osteoblas aktif.
Osteoblas hanya terdapat pada permukaan tulang, dan letaknya bersebelahan
mirip epitel selapis. Bila osteoblas aktif menyintesis matriks, osteoblas memiliki
bentuk kuboid sampai silindris dengan sitoplasma basofilik. Bila aktivitas
sintesisnya menurun sel tersebut menjadi gepeng dan sifat basofilik pada
sitoplasmanya akan berkurang (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Osteoblas berfungsi untuk mensisntesis komponen organik dari matriks
tulang (kolagen tipe I, proteoglikan dan glikoprotein) mengendapkan unsur
organik matriks tulang baru yang disebut osteoid. Osteoid adalah matriks tulang
yang belum terkalsifikasi serta belum mengandung mineral namun tidak lama
setelah deposisi osteoid akan segera mengalami mineralisasi dan menjadi tulang
(Guyton dan Hall, 2007).
Pada osifikasi intramembranosa yang terjadi kebanyakan tulang pipih,
disebut demikian karena terjadi di dalam kondensasi jaringan mesenkim. Tulang
frontal dan parietal tengkorak selain bagian tulang oksipital dan temporal,
madibula serta maksila, dibentuk melalui osifikasi intramembranosa. Proses ini
juga ikut dalam pertumbuhan tulang-tulang pendek dan penebalan tulang panjang.
Pada Gambar 2.3 merupakan awal osifikasi intramembranosa terlihat sel-sel
mesenkim membulat dan membentuk blastema yang kemudian menghasilkan
osteoblas menjadi jaringan tulang primer (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Gambar 2.3 Awal osifikasi intramembranosa (Junqueira dan Carneiro, 2007). Pada osifikasi endokondral terjadi di dalam sepotong tulang rawan hialin
yang bentuknya mirip miniatur tulang yang akan dibentuk. Jenis osifikasi ini
(Gambar 2.4a dan b) pada dasarnya bertanggung jawab atas pembentukan tulang
panjang dan pendek. Pada Gambar 2.4a terlihat sebagian kecil lempeng epifisis
yang memperlihatkan osifikasi endokondral. Sisa matriks tulang rawan berkapur
(ungu tua) tampaknya ditutupi jaringan tulang terpilas-teras. Tulang yang baru
terbentuk dikelilingi osteoblas. Beberapa osteoblas yang terperangkap oleh
matriks tulang berubah menjadi osteosit (mata panah) (Junqueira dan Carneiro,
2007).
a b Gambar 2.4 a dan b. Osifikasi endokondral (Junqueira dan Carneiro, 2007)
Tulang rawan epifisis dibagi dalam 5 zona yang dimulai dari sisi epifisis
tulang yakni zona istirahat, zona proliferasi, zona hipertrofi tulang rawan, zona
kalsifikasi dan zona osifikasi. Pada Gambar 2.4b terlihat pada bagian atas terdapat
sebaris osteoblas dengan sitoplasma yang basofilik gelap, suatu ciri yang terdapat
dalam sel yang menyintesis glikoprotein (kolagen). Terdapat osteoblas yang
terperangkap dalam matriks tulang (panah). Diantara lapisan osteoblas dan
matriks tulang berkapur terdapat daerah pucat yang terdiri atas matriks tulang tak
berkapur yang disebut osteoid (Junqueira dan Carneiro, 2007).
2.4.2 Kepadatan tulang
Kepadatan tulang adalah rasio massa tulang dengan volume, menunjukkan
kekompakan tulang. Kepadatan tulang meningkat pesat sampai remaja, lebih
lambat sampai usia 35 dan kemudian mendatar dan menurun. Kepadatan tulang
paling sering diukur di tulang belakang, pinggul, lengan, pergelangan tangan dan
tumit untuk mendeteksi dan mendiagnosis osteoporosis. Kepadatan tulang
(kepadatan mineral tulang) adalah istilah medis yang biasanya mengacu pada
jumlah materi mineral per sentimeter persegi tulang (National Library of
Medicine, 2011).
Kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density, BMD) digunakan dalam
kedokteran klinis sebagai indikator tidak langsung dari osteoporosis dan risiko
patah tulang. Kepadatan tulang medis akan dihitung sebagai massa per volume.
Hal ini diukur dengan prosedur yang disebut densitometri, sering dilakukan dalam
radiologi atau departemen kedokteran nuklir rumah sakit atau klinik. Pengukuran
tidak menimbulkan rasa sakit dan non-invasif dan melibatkan paparan radiasi
yang rendah. Pengukuran yang paling sering dilakukan melalui tulang belakang
lumbar dan di atas bagian atas pinggul (Cole, 2008; Forstein et al., 2013).
Kekuatan tulang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas tulang. Kuantitas
yaitu kepadatan tulang sedangkan kualitas yaitu ukuran (massa) tulang,
kandungan mineral dan mikroarsitektur tulang. Kepadatan (densitas) mineral
tulang dapat dicapai maksimal pada usia 18 tahun dan tidak ada perbedaan jenis
kelamin. Stabilitas tulang ditentukan oleh arsitektur tulang dan kepadatan mineral
tulang (Baziad, 2003).
Pengukuran pengeroposan tulang biasanya dilakukan foto rontgen DEXA
(Dual Energy X-Ray Absorptiometry), SXA (Single Energy X-Ray
Absorptiometry) dan SPA (Single Photon Absorptiometry), QUS (Quantitative
Ultrasound), QCT (Quantitative Computed Tomography) (Cosman, 2009). Selain
pengukuran dengan sinar-X, pemeriksaan resorpsi tulang juga dapat diamati
berdasarkan histopatologis dengan pengecatan HE (Harris Hematoxylin-Eosin)
menggunakan mikroskop Olympus BX51 dengan perbesaran 100x dilanjutkan
400x dan mengukur ketebalan struktur trabekulaenya (Pratomo et al., 2012).
Pengukuran ketebalan trabekula pada tulang mandibula tikus juga dilakukan oleh
Maysitha (2006) secara histomorfometri dengan pengecatan Trikrom (Maysitha,
2006).
Histomorfometri tulang merupakan pengukuran untuk menilai sel dan
struktur dari tulang yang dilakukan secara histologis merupakan suatu teknik yang
esensial untuk dapat memahami mekanisme tingkatan jaringan dari fisiologi
tulang. Walaupun serum dan urin dapat dipakai sebagai penanda biokimia yang
secara cepat dan relatif tidak mahal untuk mengatasi laju pembentukan tulang dan
resorpsi atau keseimbangan antara proses-proses tersebut. Histomorfometri pada
biopsi tulang adalah standar utama penilaian klinis aktivitas jaringan tulang-
tingkat. Pada manusia, prosedur tersebut yang paling sering dicadangkan untuk
menilai patologi, oleh karena pengumpulan sampel bersifat invasif. Penilaian
histologis tulang dari laboratorium hewan lebih mudah dilakukan koleksi jaringan
dan digunakan sebagai pengukuran dalam penelitian (Allen dan Burr, 2014).
Pengukuran kepadatan tulang dapat diukur secara histologi dengan
mengamati struktur trabekula seperti ketebalannya, jumlah maupun jarak
pemisahannya. Seiring dengan perkembangan teknologi pengukuran tulang secara
hsitologi semakin jarang dilakukan, dan saat ini dapat dilakukan dengan teknik
seperti micro-computed tomography / micro CT. Beberapa penelitian
membandingkan pengukuran kepadatan tulang menggunakan CT dan secara
histologis memberikan hasil yang valid dan representatif terhadap parameter
struktur dari tulang (Allen dan Burr, 2014).
Gambar 2.5 Massa dan matriks protein tulang yang rendah pada lumbar vertebra (Sacco, 2011).
Pada Gambar 2.5 menunjukkan bahwa volume tulang yang lebih besar, jumlah
trabekulae tinggi, tebalnya trabekula dan pemisahan trabekulae yang lebih rendah
merupakan karakteristik dari vertebra yang sehat (A) sementara volume tulang
yang lebih rendah, jumlah trabekulae, tipisnya trabekula dan pemisahan
trabekulae yang besar merupakan ciri khas dari vertebra dengan massa tulang dan
matriks protein yang rendah merupakan gambaran yang khas pada osteoporosis
(B) (Sacco, 2011).
2.4.3 Osteoimunologi
Istilah osteoimunologi adalah berkaitan dengan sistem imun dan
metabolisme tulang. Baik sistem imun dan metabolisme tulang akan melibatkan
regulasi sitokin dan molekul-molekul lainnya dalam jumlah banyak. Saat ini
regulasi dari molekul-molekul tersebut dikaitkan dengan Receptor Activator of
Nuclear Factor Kappa B Ligand (RANKL), Receptor Activator of Nuclear Factor
Kappa B (RANK) dan Osteoprotegerin (OPG) (Bartold et al., 2010).
Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF), adalah salah satu
sinyal molekul paling awal yang diidentifikasi pada perkembangan dan aktivasi
osteoklas (Bartold et al., 2010). Sel-sel prekursor osteoklas berasal dari
hematopoietic stem cell yang berdiferensiasi menjadi colony forming unit for
granulocytes and macrophages (CFU-GM) mengekspresikan RANKL dengan
stimulasi oleh M-CSF (Kajiya, et al., 2010). M-CSF dihasilkan terutama oleh
osteoblas atau sel stromal sumsum tulang dan mengikat reseptor pada pre-
osteoklas yang disebut cFms anggota dari tyrosine kinase receptor (Bartold et al.,
2010).
RANKL adalah mediator kunci terjadinya pembentukan osteoklas.
RANKL merupakan membrane-bound protein adalah anggota dari TNF (tumor
necrosis factor) yang diekspresikan oleh bermacam sel seperti osteoblas, fibroblas
dan sel limfosit. Pada metabolisme tulang normal, RANKL diekspresikan oleh
osteoblas (Bartold et al., 2010). Pada inflamasi, RANKL juga diekspesikan oleh
sel imun adaptif seperti sel limfosit T dan sel limfosit B yang teraktivasi (Kajiya
et al., 2010). Ekspresi RANKL juga diregulasi oleh modulator metabolisme
tulang seperti paratiroid hormon, vitamin D dan IL-11 (Interleukin-11). Ikatan
RANKL dengan reseptornya yaitu RANK mengaktifkan osteoklastogenesis.
(Bartold et al., 2010).
OPG adalah inhibitor alami untuk menghambat ikatan RANKL dengan
RANK. Reseptor RANK terdapat pada pre-osteoklas maupun pada osteoklas.
OPG merupakan pecahan dari TNF receptor-like molecule dengan bertindak
sebagai perangkap dan memblokir ikatan RANKL dan RANK mencegah
osteoklastogenesis. OPG diproduksi oleh sel-sel ligamen periodontal, fibroblas
gingiva dan sel-sel epitel dan ekspresi OPG di modulasi oleh sitokin inflamasi.
Hambatan ikatan RANKL dengan RANK oleh OPG dapat memicu apoptosis dari
osteoklas sehingga menurunkan proses resorpsi tulang (Bartold et al., 2010).
Diferensiasi dan perkembangan osteoklas menjadi osteoklas matur maupun yang
mengalamai apoptosis dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Diferensiasi dan perkembangan osteoklas (Cochran, 2008).
2.5 Patogenesis Resorpsi Tulang Alveolar pada Periodontitis
Tinggi dan kepadatan tulang alveolar pada keadaan normal memiliki
keseimbangan antara besarnya pembentukan dan resorpsi yang diatur oleh faktor
sistemik dan faktor lokal dalam proses remodeling. Saat nilai resorpsi lebih besar
dari nilai pembentukan tulang, tinggi dan kepadatan tulang alveolar dapat
menurun (Carranza dan Takei, 2006). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Tulang alveolar pada keadaan homeostatik dan yang terinflamasi dikaitkan dengan ratio RANKL dan OPG (Carranza dan Takei, 2006).
Pada Gambar 2.7 terlihat tulang alveolar dalam keadaan homeostatik
(fisiologis) maupun yang terinflamasi. Secara fisiologis, aktivasi osteoklas pada
resorpsi tulang diawali dengan adanya pengeluaran M-CSF (macrophage-colony
stimulating factor) oleh sel stromal. M-CSF akan berikatan dengan c-Fms yang
terdapat pada permukaan prekursor osteoklas sehingga merangsang diferensiasi
dan proliferasi progenitor hematopoetik menjadi pre-osteoklas yang kemudian
mengekspresikan RANK. Mekanisme aksi dari M-CSF adalah dengan
meningkatkan regulasi RANK pada sel progenitor osteoklas dan menurunkan
ekspresi OPG sehingga dapat meningkatkan pembentukan dan aktivasi osteoklas
(Salari et al., 2008).
RANKL dan OPG berperan pada survival dan apoptosis osteoklas.
Reseptor RANKL adalah RANK, kontak antara osteoblas atau sel stromal dan
progenitor osteoklas menyebabkan interaksi antara RANKL dengan RANK yang
berperan penting pada pembentukan dan aktivasi osteoklas. Osteoblas dan sel
stromal juga memproduksi OPG yang akan mengikat RANKL. Ikatan OPG dan
RANKL menghambat ikatan antara RANKL dengan RANK, sehingga tidak
terjadi pembentukan osteoklas (Salari et al., 2008).
Pada kondisi patologis, sitokin pro-inflamasi dan prostaglandin dapat
meningkatkan osteoklastogenesis dengan cara memproduksi sekresi M-CSF bebas
atau yang terikat pada membran sel dan RANKL. PGE2 yang dikeluarkan oleh
osteosit dan osteoblas matur dan juga hasil dari sintesis AA dari diet omega-6
maupun sitokin pro-inflamasi menstimulasi peningkatan produksi RANKL oleh
osteoblas dan menekan produksi OPG. Sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6
dan TNF-α berperan dalam diferensiasi dan aktivasi osteoklas, sedangkan
prostaglandin bekerja melalui metabolit prostaglandin yang secara aktif ditranspor
menuju sel untuk selanjutnya mengatur fungsi sel. Selain itu, prostaglandin
berikatan dengan reseptor yang menginduksi transduksi sinyal dan selanjutnya
mengatur fungsi sel. PGE2 menginduksi secara intensif terjadinya resorpsi tulang
(Salari et al., 2008; Maggio et al., 2009).
Penyakit periodontal disebabkan karena reaksi inflamasi lokal terhadap
infeksi bakteri gigi dan dimanifestasikan oleh rusaknya jaringan pendukung gigi.
Gingivitis merupakan bentuk dari penyakit periodontal dimana terjadi inflamasi
gingiva, tetapi kerusakan jaringan ringan dan dapat kembali normal. Periodontitis
merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri subgingiva, mengakibatkan
kerusakan jaringan periodontal irreversible sehingga dapat berakibat kehilangan
gigi. Pada tahap perkembangan awal, keadaan periodontitis sering menunjukkan
gejala yang tidak dirasakan oleh pasien. Periodontitis didiagnosis karena adanya
kehilangan perlekatan antara gigi dan jaringan pendukung (kehilangan perlekatan
klinis) ditunjukkan dengan adanya poket dan pada pemeriksaan radiografis
terdapat penurunan tulang alveolar. Penyebab periodontitis adalah multifaktor,
karena adanya bakteri patogen yang berperan saja tidak cukup menyebabkan
terjadi kelainan. Respon imun host terhadap mikroba dan inflamasi merupakan hal
yang juga penting dalam perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan
juga dipengaruhi oleh pola hidup, lingkungan dan faktor genetik dari penderita
(Ekaputri dan Masulili, 2010).
Inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang normal untuk
memproteksi host dari infeksi. Diawali dengan pengerusakan oleh patogen dan
kemudian diikuti oleh proses perbaikan jaringan dan pengembalian keadaan
homeostasis pada daerah yang rusak dan terinfeksi. Inflamasi ditandai dengan
adanya kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri atau sakit dan hilangnya fungsi
dan juga adanya interaksi dari beberapa jenis sel terhadap mediator kimia. Respon
inflamasi yang terjadi diharapkan dapat diregulasi secara normal yang bertujuan
agar tidak menyebabkan kerusakan berlebihan terhadap host. Adanya self-
regulation melibatkan umpan balik negatif dari mekanisme sekresi sitokin anti-
inflamasi, hambatan kaskade sinyal pro-inflamasi, berkurangnya mediator-
mediator inflamasi dan pengaktifan sel-sel regulasi. Dengan demikian respon
inflamasi harus dapat dikontrol dengan baik untuk keadaan tubuh yang
homeostasis dan bila tidak inflamasi secara patologis dan berlebihan akan
mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbulnya suatu penyakit (Calder, 2009).
Pada periodontitis, terdapat plak mikroba Gram negatif yang berkolonisasi
dalam sulkus gingiva (plak subgingiva) dan memicu respon inflamasi kronis.
Sejalan dengan bertambah matangnya plak, plak menjadi lebih patogen dan
respon inflamasi host berubah dari keadaan akut menjadi keadaan kronis. Apabila
terjadi kerusakan jaringan periodontal, akan ditandai dengan terdapatnya poket.
Semakin dalamnya poket, semakin banyak terdapatnya bakteri subgingiva yang
matang. Hal ini dikarenakan poket yang dalam terlindungi dari pembersih
mekanik (penyikatan gigi) (Ekaputri dan Masulili, 2010).
Meskipun penyakit periodontal diawali oleh kolonisasi bakteri pada
permukaan gigi dan sulkus gingiva, respon tubuh terhadap infeksi tersebut
mempunyai peranan dalam kerusakan jaringan ikat dan tulang. Patogenesis
penyakit periodontal merupakan suatu proses inflamasi yang melibatkan respon
imun bawaan (innate immunity) dan imun adaptif / didapat (adaptive immunity)
(Kajiya et al., 2010). Sistem imun bawaan adalah suatu mekanisme yang paling
awal memberikan perlindungan segera untuk melawan infeksi atau inflamasi.
Sistem imun alami beraksi melalui perekrutan sel-sel imun, pengaktifan sistem
komplemen, identifikasi dan penyingkiran zat-zat asing dan pengaktifan sistem
imun adaptif. Sel-sel fagosit, seperti polimorfonuklear neutrofil, monosit, dan
makrofag yang merupakan sel-sel imun bawaan, memicu pelepasan mediator-
mediator kimia seperti sitokin yaitu TNF dan IL yang mengaktifkan berbagai
sistem seperti sistem komplemen dan respon fase akut. Natural Killer Cell juga
merupakan sistem imun bawaan. Imunitas bawaan tidak hanya berfungsi
memberikan respon dini terhadap mikroba tetapi juga memegang peran penting
dalam menginduksi respon imum adaptif. Ia memberikan sinyal yang secara
bersamaan dengan antigen merangsang proliferasi dan diferensiasi limfosit T dan
B yang spesifik antigen (Kresno, 2010).
Pada reaksi inflamasi maupun imunologik banyak substansi berupa
hormon dan faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun
oleh sel-sel lain yang berfungsi sebagai sinyal interselular yang mengatur aktivitas
sel yang terlibat dalam respon imun dan respon inflamasi lokal maupun sistemik
terhadap rangsangan dari luar. Sekresi substansi itu dibatasi sesuai kebutuhan.
Substansi-substansi tersebut secara umum dikenal dengan nama sitokin (cytokine).
Substansi yang dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan yang
disekresikan oleh monosit disebut monokin. Sitokin diketahui berperan dalam
patofisiologi inflamasi berbagai jenis penyakit (Kresno, 2010).
Prinsip inflamasi yang menyebabkan kehilangan tulang pada periodontitis
dan ditambah dengan aktivitas osteoklas, tanpa diikuti dengan pembentukan
tulang oleh osteoblas. Osteoklas adalah multisel yang berasal dari monosit atau
makrofag dan merupakan sel penting yang berperan terhadap resorpsi tulang.
Penelitian tentang kekurangan osteoklas pada tikus, menunjukkan peran sangat
penting dari sel dalam resorpsi tulang. Osteoklas multinuklear telah menunjukkan
resorpsi tulang alveolar pada hewan dan manusia akibat penyakit periodontitis.
Pembentukan osteoklas didorong oleh keberadaan sitokin pada jaringan
periodontal yang telah terinflamasi dan terjadi secara lokal pada daerah
permukaan tulang melalui beberapa mekanisme. Fibroblas dan limfosit (sel T dan
sel B yang teraktivasi) akan memproduksi RANKL distimulasi oleh adanya
sitokin pro-inflamasi. Sitokin ini pula secara langsung mengaktifkan monosit
berdiferensiasi menjadi makrofag dan juga pre-osteoklas untuk selanjutnya
menjadi osteoklas matur melalui ikatan RANKL dengan RANK. Gambar 2.8
menunjukkan sitokin inflamasi yang terlibat dalam resorpsi tulang alveolar
(Bartold et al., 2010).
Gambar 2.8 Peran sitokin inflamasi pada resorpsi tulang alveolar (Bartold et al., 2010). Faktor yang berpengaruh pada kerusakan tulang adalah bakteri dan host.
Produk bakterial plak meningkatkan diferensiasi sel progenitor tulang menjadi
osteoklas dan merangsang sel gingiva untuk mengeluarkan suatu mediator yang
memicu terjadinya hal tersebut. Produk plak dan mediator inflamasi untuk
menghambat kerja dari osteoblas dan menurunkan jumlah sel-sel tersebut
(Carranza dan Takei, 2006). Jadi, aktivitas resorpsi tulang meningkat, sedangkan
proses pembentukan tulang terhambat sehingga terjadilah kehilangan tulang.
Terdapat 2 faktor yang menyebabkan resorpsi tulang alveolar oleh karena
adanya suatu inflamasi yaitu :
1. Keberadaan konsentrasi dari mediator dan sitokin pro-inflamasi harus cukup
untuk mengaktivasi jalur (pathway) untuk meresorpsi tulang.
2. Mediator-mediator inflamasi harus mampu berpenetrasi pada jaringan gingiva
untuk mencapai tulang alveolar (Srinivasan, 2013).
Pada periodontitis terdapat akumulasi bakteri Gram negatif yang akan
mengeluarkan endotoksin yang disebut Lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan
salah satu faktor lokal yang mampu menyebabkan peningkatan jumlah dan
aktivitas osteoklas dan penurunan jumlah osteoblas (Indahyani et al., 2010).
2.5.1 Mekanisme LPS dalam resorpsi tulang alveolar pada periodontitis
LPS merupakan struktur utama dinding sel bakteri Gram negatif yang
berfungsi untuk integritas struktur bakteri dan melindungi bakteri dari sistem
pertahanan imun host terdiri atas lipid A, antigen O dan oligosakarida yang terikat
bersama. Lipid A dapat memicu respon inflamasi. LPS binding protein (LBP)
adalah reaktan pada fase akut yang disintesis oleh hepatosit yang mengkatalase
LPS, sehingga LPS dapat terikat pada reseptornya kemudian terikat pada
membran Cluster of Differentiation-14 (CD14). LPS bersifat endotoksin karena
LPS mengikat reseptor CD14 yang merupakan reseptor permukaan sel pada
monosit atau makrofag. LPS mampu mengaktivasi sitem imun bawaan dengan
menstimulasi Toll-Like Receptor-4 (TLR4) yang merupakan protein pada
permukaan sel yang dapat mengenali produk bakteri (Bascones-Martinez et al.,
2009). TLR diekspresikan oleh bermacam-macam sel yakni sel limfoid dan sel
nonlimfoid termasuk sel dendritik. TLR2, TLR3, TLR4 dan TLR5 dapat
diekspresikan pada rongga mulut, bronkial, dan gastrointestinal (Mariano et al.,
2010).
Saat LPS memasuki sirkulasi darah terjadi respon biologis seperti demam,
syok, koagulasi intravaskular bahkan kematian. Beberapa penulis mengemukan
bahwa konsentrasi LPS pada periodontitis dapat meningkatkan risiko penyakit
sistemik seperti penyakit jantung (Page, 1998). LPS berpengaruh pada jaringan
periodontal seperti makrofag, limfosit, fibroblas dan osteoblas / osteoklas
(Bascones-Martinez et al., 2009).
Aktivasi reseptor CD14 mengaktivasi monosit dan sel endotel melalui
jalur TLR4-dependent menghasilkan molekul / sitokin pro-inflamasi seperti IL-1,
TNF dan prostaglandin E2 (PGE2) dan IL-6. Molekul-molekul ini kemudian
memproduksi platelet activation factor (PAF), aminase bioaktif (bradikinin dan
histamin) dan prostaglandin. PGE2 dan sitokin pro-inflamasi dapat memicu
osteoklastogenesis (Bascones-Martinez et al., 2009). Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Mekanisme LPS dalam resorpsi tulang alveolar pada periodontitis (Page, 1998).
Mediator dan sitokin pro-inflamasi tersebut memacu terbentuknya
osteoklas dari sel stromal / osteoblas melalui ikatan sel ke sel yaitu RANKL pada
osteoblas dengan RANK pada progenitor osteoklas. M-CSF, IL-1 dan RANKL
akan menyebabkan prekursor osteoklas berdiferensiasi dan mengalami fusi
kemudian aktif menjadi osteoklas multinuklear (Indahyani et al., 2010). Ada
beberapa klasifikasi molekul-molekul yang dapat mengaktifkan
osteoklastogenesis baik secara langsung maupun tidak langsung. Molekul-
molekul ini termasuk diantaranya adalah molekul berbasis lemak (lipid-based
molecules) seperti prostaglandin dan leukotrien, sitokin pro-inflamasi seperti IL-1,
IL-6, IL-11 dan IL-17, TNF-α, leukimia inhibitory factor (LIF), dan oncostatin M.
Dari golongan kinin seperti bradikinin, kallidin dan trombin serta berbagai
kemokin juga dapat menyebabkan resorpsi tulang (Srinivasan, 2013). Sebaliknya,
ekspresi dari mediator dan sitokin anti-inflamasi seperti IL-4, IL-10, IL-12, IL-13
dan IL-18 serta interferon-beta (IFN-β) dan interferon-gamma (IFN-γ) dapat
menghambat resorpsi tulang (Cochran, 2008).
Ada dua pengaktifan osteoklastogenesis yakni pertama diaktifkannya M-
CSF melalui reseptornya c-Fms. Dan yang kedua diaktifkan oleh RANKL melalui
reseptor RANK. Osteoklastogenesis terjadi oleh adanya interaksi antara 3 anggota
superfamili dari TNF (protein) yaitu OPG (Osteoprotegerin), RANKL, dan
RANK. RANKL diekspresikan paling banyak oleh osteoblas, fibroblas dan sel-sel
T dan sel-sel B yang teraktivasi. Aksi dari osteoklastogenesis dapat dihambat oleh
receptor OPG. Bersama dengan M-CSF, RANKL adalah kunci dari sitokin dalam
menginduksi terjadinya osteoklastogenesis. RANKL berikatan dengan RANK di
permukaan preosteoklas dan osteoklas menstimulasi terjadinya proses diferensiasi
dari progenitor osteoklas dan aktivitas osteoklas menjadi matur (Srinivasan,
2013). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Selama proses inflamasi, sitokin pro-inflamasi seperti IL-1β, IL-6, IL-11,
IL-17 dan TNF-α dapat menginduksi osteoklastogenesis dengan cara
meningkatkan ekspresi RANKL sementara produksi OPG akan menurun pada
osteoblas / sel stroma, sebaliknya mediator anti-inflamasi sperti IL-13 dan IFN-γ
dapat menurunkan ekspresi RANKL dan atau meningkatkan ekspresi OPG untuk
menghambat osteoklastogenesis (Cochran, 2008).
Beberapa penelitian pada jaringan gingiva atau cairan sulkus gingival pada
penderita dengan periodontitis menunjukkan bahwa konsentrasi RANKL
mengalami peningkatan sementara OPG tidak berubah dibandingkan dengan
individu sehat. Namun ada pula yang menunjukan peningkatan RANKL dan
penurunan OPG (Cochran, 2008).
Gambar 2.10 Intervensi sistem imun oleh kerja bakteri dalam meresorpsi tulang pada periodontitis (Kajiya et al., 2011).
2.6 Minyak Biji Rami
Tanaman rami / haramay, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru
bagi para petani kita, namun kurang begitu serius dikembangkan. Sekarang,
setelah ditemukan mesin pengolah serat rami menjadi halus, tanaman ini menjadi
populer lagi. Umur panennya pendek, dan masa produktivitas tanaman cukup
lama. Tanaman yang satu ini, akan mengingatkan kita tentang pengembangan
rami pada sekitar tahun 1985-an. Pada tahun itu, rami sempat populer di Jawa
Barat. Apalagi karena Gubernur Yogi SM menerbitkan SK bernomor 521/Kep.
1221-Binprod/1985, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Rami di Jawa
Barat yang melibatkan kalangan perguruan tinggi dan para pengusaha tekstil,
dimana sebagian besar adalah untuk pembuatan kain linen. Tahun 1987, luas areal
tanaman rami di Jawa Barat diperkirakan tidak lebih dari 400 ha, yang tersebar di
daerah Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Majalengka, dan Ciamis, yang
hampir semuanya adalah kebun rakyat. Respon masyarakat terhadap rami itu
begitu tinggi, sehingga di setiap daerah banyak yang mengembangkan tanaman
rami (Yang, 2012).
Rami adalah tanaman tahunan yang tumbuh sampai ketinggian 40-91 cm
(16-36 inci), tergantung pada varietas, kerapatan tanaman, kesuburan tanah dan
kelembabannya. Pada tanaman rami terjadi penyerbukan sendiri, tetapi 0,3-2%
silang dapat terjadi dalam keadaan normal. Serangga adalah agen utama silang.
Siklus hidup tanaman rami terdiri dari 45 - 60 hari periode vegetatif, 15 – 25 hari
untuk periode berbunga dan periode pematangan dari 30 sampai 40 hari. Stres air,
suhu tinggi dan penyakit dapat mempersingkat setiap periode pertumbuhan
tersebut. Meskipun ada periode berbunga intens, sejumlah kecil bunga dapat terus
muncul sampai saatnya panen (Flax Council of Canada, 2007). Gambar 2.11
memperlihatkan tanaman biji rami pada periode berbunga dan siap panen.
c d Gambar 2.11 Tanaman biji rami pada periode berbunga (a), tanaman biji rami sudah siap panen (b), biji rami (c), dan minyak biji rami (d) (Hicks, 2013).
Selama ribuan tahun, sampai 1883, rami adalah tanaman pertanian terbesar
di dunia. Pada umumnya rami terdapat di daerah Asia, seperti China, Kamboja,
Thailand, Vietnam, Filipina, Taiwan, India, dan juga Indonesia. Negara penghasil
rami dengan jumlah yang sangat besar pada waktu ini adalah China, Canada,
Filipina, Mesir dan Brazil dengan produksi sebagian besar serat, kain, sabun,
a b
minyak lampu, kertas, dupa, dan obat-obatan yang diproduksi. Selain itu, tanaman
rami adalah sumber utama minyak dan protein bagi manusia dan hewan. Biji rami
mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan bagi kesehatan. Minyak
dari biji rami memiliki persentase tertinggi dari asam lemak esensial dan
persentase terendah lemak jenuh (Yang, 2012).
Belakangan tahun terakhir banyak penelitian tentang manfaat asam lemak
omega-3 polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang terkandung dalam minyak ikan
digunakan untuk kesehatan tulang. Namun vegetarian tidak dapat
mengkonsumsinya dan beralih ke tanaman penghasil omega-3 seperti kacang-
kacangan maupun biji-bijian (biji rami).
2.6.1 Asam lemak
Lemak merupakan kelompok substansi yang tidak larut dalam air yang
disebut lipid. Lipid sangat penting karena lipid adalah komponen utama dari
membran sel. Kelompok lain dalam lipid adalah sterol, fosfolipid, trigliserida dan
wax. Lemak terdapat dalam makanan dan juga dalam tubuh yang disimpan dalam
komposisi sebagai asam lemak. Lemak dibedakan oleh kombinasi yang spesifik
terhadap asam lemak yang membentuknya. Asam lemak memiliki 3 tujuan
penting terhadap tubuh yakni menyediakan energi, dinding pertahanan bagi
membran sel, dan bertindak sebagai bahan dasar yang dapat dikonversikan pada
substansi lain dengan tugas khusus pada tubuh seperti misalnya hormon (Mercola,
2011).
Lemak dan asam lemak tergantung dari derajat saturasi hidrogen dan
panjang molekul atau panjang rantai pembentuknya. Secara kimia asam lemak
memiliki rantai atom karbon dengan ikatan ganda atom hidrogen disertai dengan
grup asam yang menempel pada salah satu akhiran dari molekul (Mercola, 2011).
Asam lemak merupakan rantai karbon (C) dengan gugus karboksil (COOH) pada
salah satu ujungnya dan dapat berikatan dengan molekul lain (Tuminah, 2009).
Asam lemak memilki panjang rantai yang berbeda-beda ada yang terdiri dari 6
atom karbon biasanya disebut rantai pendek, ada yang terdiri dari 12 aton karbon
yang dikenal dengan rantai sedang, dan yang terdiri dari 18 lebih atom karbon
disebut rantai panjang. Dan hampir semua jenis lemak hewani dan nabati
termasuk dalam asam lemak rantai panjang (Wardlaw. 2003).
Berdasarkan derajat kejenuhan, asam lemak dibagi menjadi 3 yakni :
1. Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid, SFA). Rantai hidrokarbonnya
tidak memiliki ikatan ganda contohnya asam stearat (18:0). Sifat asam
lemak jenuh lebih stabil, tidak mudah teroksidasi dan tidak mudah berubah
menjadi asam lemak trans dan senyawa berbahaya lainnya. Asam lemak
jenuh terkandung dalam minyak hewani seperti daging sapi, keju dan susu
full cream, cokelat maupun minyak nabati minyak kelapa dan minyak
kelapa sawit. Mengkonsumsi asam lemak jenuh harus seimbang dan sesuai
kebutuhan (Tuminah, 2009).
2. Asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid, MUFA).
Rantai hidrokarbonnya memiliki 1 ikatan ganda. Sebagian besar terdapat
pada minyak zaitun dan canola oil (omega-9), lemak sapi dan lemak babi
(omega-7). MUFA dapat menurunkan LDL (Low-Density Lipoprotein)
tanpa mempengaruhi kadar HDL (High-Density Lipoprotein) dalam darah
(Tuminah, 2009).
3. Asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA). Rantai
hidrokarbonnya mempunyai 2 atau lebih ikatan ganda Asam lemak tak
jenuh jamak bersifat tidak stabil dan mudah teroksidasi. Contohnya adalah
minyak biji rami, minyak jagung, minyak kedelai, minyak biji bunga
matahari, safflower oil, dan minyak ikan (Tuminah, 2009).
Asam lemak tak jenuh dibagi menjadi 2 yaitu Cis dan Trans. Asam lemak
tak jenuh cis bila atom-atom hidrogen pada ikatan ganda terletak disisi sama dari
rantai hidrokarbon, contohnya adalah asam oleat sedangkan asam lemak jenuh
Trans adalah bila atom-atom hidrogen pada ikatan ganda terletak disisi
berlawanan dari rantai hidrokarbon contohnya adalah asam elaidat. Minyak yang
masih segar mengandung asam lemak dengan struktur cis jauh lebih banyak
dibandingkan asam lemak dengan struktur trans. Namun setelah minyak
digunakan untuk menggoreng dengan suhu tinggi serta mengalami kontak dengan
oksigen, struktur cis akan berubah menjadi struktur trans (Dhaka et al., 2011).
Asam lemak trans banyak ditemukan pada makanan yang diolah dengan
menggunakan panas tinggi, antara lain makanan cepat saji, snack, gorengan, dan
makanan yang dipanggang. Asam lemak tak jenuh trans dapat meningkatkan LDL
dan menurunkan HDL sehingga dapat meningkatkan risiko aterosklerosis
koronaria (Tuminah, 2009). Pada Gambar 2.12 memperlihatkan kandungan asam
lemak berbagai makanan. Minyak biji rami memiliki kandungan omega-3 PUFA
tertinggi dan kandungan asam lemak jenuh yang terendah. Tingginya kandungan
omega-3 pada minyak biji rami diharapkan dapat mengimbangi diet omega-6
yang saat ini jumlahnya berlebihan yang didapat dari makanan-makanan cepat
saji, konsumsi daging merah yang berlebihan, minyak jagung dan lain sebagainya.
Gambar 2.12 Kandungan asam lemak berbagai makanan (Morris, 2007).
Penamaan asam lemak yaitu simbol C (Carbon) diikuti angka
menunjukkan banyaknya atom C yang menyusunnya : angka di belakang titik dua
menunjukkan banyaknya ikatan ganda di antara rantai C-nya. Contoh : C18:1,
berarti asam lemak berantai C sebanyak 18 dengan satu ikatan ganda. Lambang
omega (ω) menunjukkan posisi ikatan ganda dihitung dari ujung (atom C gugus
metil) sehingga omega-3 ALA adalah C18:3ω3 (Mercola, 2011). Pada Gambar
2.13 menunjukkan struktur kimia dari asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Gambar 2.13 Struktur kimia dari asam lemak jenuh dan tak jenuh (Jump, 2008).
Tubuh memerlukan Linoeic Acid (omega-6, n-6, ω-6, LA) dan Alpha-
Linolenic Acid (omega-3, n-3, ω-3, ALA) yakni merupakan asam lemak esensial
berasal dari makanan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan. Disebut esensial
oleh karena tubuh tidak dapat membuatnya sehingga diperlukan asupan dari
makanan (Morris, 2007). Dalam diet 2500 kcal pada 1 sendok makan minyak dari
tumbuhan setiap hari dengan mudah kita mendapatkannya dari mayonnaise, salad
dressing dan makanan yang lain. Konsumsi sehari-hari akan biji-bijian maupun
sayuran juga akan mencukupi kebutuhan akan asam lemak esensial. Tubuh pun
memerlukan omega-9 namun omega-9 bukanlah asam lemak esensial karna tubuh
dapat memproduksinya dari lemak tak jenuh tunggal. Omega-9 dapat meregulasi
kolesterol jahat dan mendukung sistem imun. Asam lemak omega-9 dapat
menjaga tubuh kita tetap hangat (Wardlaw, 2003).
Secara umum kandungan omega-3 ALA yang tinggi terdapat dalam
minyak biji-bijian yang non-hydrogenated seperti minyak biji rami (flaxseed oil
juga dikenal dengan linseed oil), canola oil (rapeseed), perilla, chia dan hemp oil.
Kacang kedelai, walnut dan berbagai sayuran berdaun hijau tua juga merupakan
sumber ALA yang baik. Saat ini biji rami maupun minyak biji rami siap tersedia
dalam diet di Amerika oleh karena seringnya bekerjasama dengan produk-produk
makanan komersial seperti sereal, roti, makanan ringan dan minyak. Sehubungan
dengan banyaknya laporan penelitian tentang manfaat biji rami, makanan yang
mengandung biji rami maupun minyak biji rami meningkat tiga kali lipat sejak
tahun 2003 dan terus meningkat sampai saat ini (Kim dan Ilich, 2011).
Konsumsi minyak dari tumbuhan dan ikan terjadi penurunan secara drastis
pada awal dan akhir abad ke-20 dan ini berakibat pada ratio omega-6 : omega-3
pada diet di Amerika. Pada tahun 1935-1939 dilaporkan rationya adalah 8,4:1 dan
meningkat hingga 23% yakni 12,4:1 pada tahun 1985. Sekarang ini diperkirakan
rationya adalah sekitar 10:1 hingga 20:1 dan dapat mencapai 25:1 pada individu
tertentu (Kresser, 2010).
Masih menjadi perdebatan tentang diet ratio omega-6 : omega-3. Pada
tahun 2001 pada konferensi National Institutes of Health menyimpulkan bahwa
konsumsi kedua asam lemak esensial tersebut adalah dengan ratio omega-6 :
omega-3 yaitu 1:1, namun pada tahun 2007 pemerintah Jepang merekomendasi
konsumsinya adalah 4:1 sedangkan pemerintah Swedia adalah 5:1 dan Institutes
of Medicines of the National Academy of Science di Amerika Serikat
merekomendasikan ratio 10:1. Ratio tersebut bertujuan terhadap hubungannya
dengan interaksi tubuh (Weiss et al., 2005).
Dosis optimal untuk ratio omega-6 : omega-3 bervariasi antara 1:1 sampai
4:1 tergantung dari pertimbangan penyakitnya. Ratio 4:1 dapat menurunkan angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung hingga 70%. Ratio 2,5:1 dapat
mengurangai proliferasi sel rektal pada colorectar cancer. Ratio omega-6 dan
omega-3 yang lebih rendah juga menurunkan risiko kanker payudara pada wanita.
Ratio 2-3:1 menekan inflamasi pada penyakit rheumathoid arthritis dan ratio 5:1
mempunyai efek terhadap asma (Simopoulos, 2004).
Apabila kita kurang mengkonsumsi asam lemak esensial, kulit akan terasa
kering, gatal-gatal dan dapat menyebabkan diare dan banyak terlihat gejala-gejala
infeksi. Terjadi gangguan terhadap penyembuhan luka dan dapat terjadi anemia
(Wardlaw, 2003). Selain itu, kekurangan asupan omega-3 akan terjadi
peningkatan aktivitas inflamasi, depresi, bertambahnya berat badan, diabetes,
alergi dan eksim serta adanya gangguan ingatan dan disleksia (Mercola, 2012).
Tingginya ratio omega-6 terhadap omega-3 dapat meningkatkan penyakit dengan
inflamasi seperti penyakit jantung dan cancer yang mengancam jiwa (Kresser,
2010).
Omega-3 sangat dibutuhkan dalam perkembangan janin. Pada anak-anak
omega-3 didapatkan dari ASI dimana komposisi utama omega-3 dari ASI adalah
ALA. ASI mengandung ALA 3-10 kali DHA tergantung dari diet ibu. ASI
vegetarian mengandung DHA lebih sedikit daripada yang omnivora (Morris,
2007).
Omega-3 bukanlah lebih baik daripada omega-6. Keduanya merupakan
asam lemak esensial yang bekerjasama seperti sebuah konser Belakangan ini
sering dianjurkan mengkonsumsi omega-3 untuk mengimbangi diet omega-6 yang
berlebihan. Kesehatan akan tercapai bila ratio omega-6 : omega-3 seimbang
(Anonim, 2013).
Penelitian akhir-akhir ini juga menyatakan perlunya asupan dari ALA
merupakan satu dari asam lemak omega-3 selain EPA dan DHA. EPA dan DHA
banyak didapatkan dari konsumsi lemak ikan seperti salmon, tuna, sarden,
herring, mackeral, ikan putih, swordfish dan halibut sedikitnya dua kali seminggu.
Diperlukan juga asupan dari canola oil, soybean oil, mengkonsumsi walnut dan
juga flaxseeds (biji rami) untuk memenuhi kebutuhan omega-3 ALA. Semuanya
adalah sumber dari asam lemak omega-3 (Wardlaw, 2003).
Biji rami menjadi perhatian akhir-akhir ini karena merupakan sayuran
yang kaya akan omega-3 ALA. Direkomendasikan kira-kira 2 sendok makan biji
rami perhari sebagai sumber omega-3 dalam tubuh. Biji rami dapat dibeli di
berbagai toko makanan dengan harga tidak terlalu mahal. Sekarang pun juga
banyak yang menyediakan minyak biji rami di toko-toko makanan terdekat,
namun minyak biji rami cepat sekali rusak oleh karena itu biasanya dikemas
dalam botol yang gelap atau opak dan penyimpanan di kulkas (Wardlaw, 2003).
2.6.2 Manfaat minyak biji rami
Dari beberapa penelitian akhir-akhir ini minyak biji rami juga digunakan
untuk penyakit polycistic kidney disease (PKD), diabetes militus, menurunkan
kolesterol dan menjaga kesehatan tulang. Biji rami maupun minyak biji rami yang
kaya akan kandungan ALA banyak memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh.
Minyak biji rami yang baunya tidak amis sebagai alternatif minyak ikan
digunakan untuk mencegah penyakit jantung. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa minyak biji rami dapat menurunkan kolesterol dan tekanan
darah. Selain itu penyakit auto imun seperti Sjogren’s Syndromes juga dapat
diatasi dengan diet minyak biji rami begitu juga dengan penyakit lupus. Ada satu
studi yang menunjukkan bahwa dosis 1-2 gram minyak biji rami setiap hari dapat
memperbaiki gejala mata kering pada Sjogren’s Syndromes. Minyak biji rami juga
efektif untuk mengobati bipolar disorder bila dikombinasikan dengan obat-obatan
konvensional, namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa minyak biji rami
tidak efektif untuk perawatan bipolar disorder pada anak-anak (Kim dan Ilich,
2011; NYU Langone Medical Center, 2013).
2.6.3 Kandungan minyak biji rami
Komponen utama dari biji rami adalah minyak (lemak), protein dan serat
dan lignan (antioksidan dan pitoestrogen) (Morris, 2007). Namun serat dan juga
lignan akan hilang seiring dengan proses biji rami menjadi minyak biji rami.
Pembuatan minyak biji rami adalah dengan proses dingin. Proses panas pada
minyak biji rami akan merusak komponen di dalamnya oleh karena itu minyak
biji rami tidak tahan dalam suhu panas, cahaya dan oksigen apalagi digunakan
dalam memasak (NYU Langone Medical Center, 2013).
Milled flax mengandung kira-kira 36 kcal/sdm. Minyak biji rami (flax oil)
mengandung 124 kcal/sdm. Ground flax mengandung karbohidrat yang sangat
rendah yakni hanya 0,1 g/sdm merupakan salah satu alasan mengapa biji rami
sangat populer terhadap orang-orang yang mengikuti program penurunan berat
badan dengan diet tinggi protein, rendah karbohidrat (Morris, 2007).
Komposisi dari minyak biji rami yang tertinggi adalah Alpha-Linolenic
Acid (ALA, omega-3) sebesar 57%, diikuti oleh Oleic Acid (omega-9) 18%,
Linolenic Acid (LA, omega-6) 16% dan saturated fatty acid 9% (Morris, 2007).
Jalur Metabolik ALA
Konversi ALA pada manusia terjadi di hati (Gambar 2.15), namun pada
primata dapat terjadi di jaringan yang lain. Studi-studi menunjukkan ~5% ALA di
Gambar 2.14 Kandungan minyak biji rami (Morris, 2007)
metabolisme menjadi EPA dan <0,5% menjadi DHA pada individu yang sehat
(Kim dan Ilich, 2011).
Kapasitas ALA untuk biosintesis turunan dari omega-3 dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti genetika, jenis kelamin, usia dan beberapa nutrisi. Secara
umum proses metabolisme lebih efisien pada wanita dibandingkan pria karena
jumlah kecil ALA digunakan sebagai bahan bakar dan estrogen dapat digunakan
untuk meningkatkan proses konversi pada wanita (Kim dan Ilich, 2011).
Aktivitas dari ∆6 desaturase yakni enzim pada proses konversi ALA akan
menurun seiring dengan bertambahnya usia dan pada individu dengan diabetes
Gambar 2.15 Jalur konversi ALA (Kim dan Ilich, 2011)
dan hipertensi Nutrisi juga penting dalam proses konversi ini. Kurangnya
makronutrien seperti piridoksin, biotin, kalsium, tembaga, magnesium dan zinc
dapat mengganggu proses konversi. Selain itu konsumsi berlebihan akan trans-
fatty acid dan juga alkohol dapat menghambat aktivitas enzim-enzim ∆5 dan ∆6
desaturase (Kim dan Ilich, 2011).
PENELITIAN MENGGUNAKAN MINYAK BIJI RAMI
Pada Manusia
Pada orang dewasa yang sehat, diet kaya akan kandungan ALA diberikan
dengan menambahkan minyak biji rami dan walnut secara signifikan mampu
menurunkan serum NTx dan menjaga aktivitas bone-spesific alkaline
phosphatase. Berdasarkan pengamatan terhadap NTx erat hubungannya dengan
sitokin pro-inflamasi yakni TNF-α dimana mereka berasumsi bahwa resorpsi
tulang dapat dimediasi oleh TNF-α (Griel et al., 2007). Pada masa periode
training (latihan), pada subyek orang dewasa tua menunjukkan kepadatan mineral
tulang (Bone Mineral Density, BMD) dan Bone Mineral Content (BMC) lebih
tinggi pada tulang panggul setelah mengkonsumsi minyak biji rami dengan dosis
14 g per hari selama 12 minggu. Pada studi ini juga terjadi penurunan interleukin
(IL-6) secara signifikan (Cornish dan Chilibeck, 2009).
Diet minyak biji rami yang diberikan pada pria berusia 24-44 tahun di
Australia selama 4 minggu mampu menghambat Tumor Necrosis Factor α (TNF-
α) dan interleukin 1β (IL-1β) (Caughey et al., 1996). Hal ini dapat dihubungkan
dengan penyakit inflamasi seperti penyakit jantung.
Pada Hewan Coba
Beberapa jenis hewan dicobakan pada penelitian untuk menentukan peran
diet minyak biji rami terhadap kesehatan tulang. Hewan ini bervariasi dalam
spesies, tahap pertumbuhan dan juga adanya keadaan osteoporosis yang
disebabkan oleh polycistic kidney disease (PKD), inflamasi usus (inflammatory
bowel disease, IBD), obesitas maupun gangguan insulin.
Percobaan yang dilakukan oleh Lau et al. (2010) pada tikus dewasa jantan
(6 sampai 15 bulan) dengan memberikan diet minyak biji rami (tinggi lemak)
selama 65 hari. Terdapat peningkatan kekuatan tulang femur (Lau et al., 2010).
Tikus betina dewasa diberikan diet minyak biji rami (diet rendah ratio omega-6 :
omega-3) selama periode perinatal menunjukkan parameter dari femoral cortical
bone (BMD) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tikus dengan diet omega-6
PUFA dimana hal ini menunjukkan pengaruh dari minyak biji rami terhadap
mekanisme regulasi tulang (Korotkova et al., 2004).
Berbeda dengan hewan coba yang sehat, kondisi patologis terlihat seperti
ditunjukkan pada penelitian tikus dengan ovariectomy (OVX) selama 4 minggu,
minyak biji rami dapat mengurangi aktivitas dari parameter tulang trabekulae
(Alkaline Phosphatase, ALP dan Tartrate Resistant Acid Phosphatase, TRAP).
Terlihat pula adanya perbaikan mikroarsitektur dari tulang (Boulbaroud et al.,
2008). Boulbaroud et al. (2012) kembali melakukan percobaan pada tikus ovx
dengan memberikan diet minyak biji rami dan minyak wijen selama 4 minggu
menurunkan kolesterol plasma dan menurunkan aktivitas ALP dan TRAP yang
merupakan biomarker dari resorpsi tulang (Boulbaroud et al., 2012). Percobaan
pada tikus dengan OVX yang lain dilakukan oleh Wahba dan Al-Zahrany dengan
memberikan diet minyak biji rami (dan juga minyak kedelai dan minyak wijen)
selama 6 minggu dapat menurunkan berat uterine dan femur dan menormalkan
tingkatan serum dari lipid, Ca, P, b-ALP dan Osteocalcin. Minyak ini juga
meningkatkan kepadatan tulang femur dan calcium content. Mereka
menyimpulkan bahwa diet minyak-minyak ini dapat menimbulkan aktivitas
hipolipidemik dan anti-osteoporotik pada tikus betina dengan ovariectomy
(Wahba dan Al-Zahrany, 2013).
PKD biasanya disertai dengan hipertiroidisme dan tingginya tingkat
pengeroposan tulang (higher bone turnover) (Kim dan Ilich, 2011). Tikus jantan
dan betina dengan PKD dilakukan uji BMD dan BMC seluruh tubuh terlihat
adanya peningkatan karena diet minyak biji rami selama 12 minggu (Weiler, et
al., 2007). Pada penelitian pada mencit jantan dan betina dengan kondisi inflamasi
usus atau IBD selama 9 minggu diberikan diet minyak biji rami terlihat
peningkatan BMD pada tulang femur dan vertebrae, meningkatkan BMC dan
kekuatan tulang (bone strenght / peak load) pada tulang femur. Terjadi penurunan
pula terhadap tingkat TNF-α ke tingkat normal. Pasien dengan keadaan IBD
memiliki 40% insiden mengalami fraktur tulang belakang dan tulang panggul
dibandingkan dengan populasi sehat (Cohen et al., 2005).
Pada keadaan diabetes melitus tipe 1, penelitian dilakukan oleh Elwassef
et al. (2009) pada tikus betina ovariectomy dan diabetes melitus tipe 1 selama 60
hari diberikan diet minyak biji rami menormalkan BMD dan BMC, menurunkan
aktivitas ALP dan osteocalcin, menormalkan Insulin-like growth factor-1 dan
Deoxypyridinoline (Elwassef et al., 2009).
Ada pula beberapa penelitian dengan menggunakan ukuran volume
(mililiter) seperti pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Saudi Arabia,
Wahba dan Ibrahim memberikan diet minyak biji rami sebanyak 1ml/tikus, 500
mg/kg pada tikus jantan yang terpapar KbrO3 untuk menginduksi stres oksidatif.
Minyak biji rami dan Vit E diberikan selama 8 minggu dapat meningkatakan berat
badan tikus yang mengalami penurunan karena stres oksidatif. Hasil juga tampak
dengan adanya perbaikan fungsi hepatorenal, mengurangi tissue lipid
peroxidation dan menormalkan aktivitas dari enzim antioksidan dalam hati dan
ginjal pada tikus yang diinduksi KbrO3 (Wahba dan Ibrahim, 2013). Kaithwas et
al. (2011) peneliti dari India melakukan percobaan pada tikus memberikan diet
minyak biji rami sebanyak 1 ml/kg, 2 ml/kg dan 3 ml/kg per oral, intramuscular
dan parenteral untuk melihat efek anti-inflamasi, analgesik dan juga anti-
piretiknya. Pemberian minyak biji rami sebanyak 3 ml/kg secara oral dapat
menghambat mediator inflamasi dimana sebelumnya tikus diinduksi dengan
carageenan dan PGE2 (Kaithwas et al., 2011).
Omega-3 dan omega-6 dalam sel darah merah merupakan indikator
obyektif dari PUFA yang dapat dihubungkan dengan risiko fraktur tulang
panggul. Penelitian ini dilakukan oleh Orchard et al. (2013) pada wanita
menopause. Hasil didapat bahwa tingginya kadar ALA dalam sel darah merah dan
juga EPA dapat memprediksikan risiko fraktur tulang panggul lebih rendah.
Secara kontras terlihat pada sel darah merah dengan kandungan tinggi ratio
omega-6/omega-3 dapat memprediksi tingginya risiko fraktur tulang panggul pada
wanita menopause (Orchard et al., 2013).
2.6.4 Uji toksisitas minyak biji rami
Uji toksisitas dari minyak biji rami pernah dilakukan oleh Kaithwas et al.
(2011) dimana tikus albino Swiss diberikan minyak biji rami 20 ml/kg
intraperitoneal dan dibiarkan puasa namun tetap diberikan akses minum air. Tidak
terjadi kematian pada tikus-tikus tersebut (Kaithwas et al., 2011).
2.7 Mekanisme Minyak Biji Rami Meningkatkan Jumlah Osteoblas dan
Kepadatan Tulang
Pada dekade tahun terakhir, omega-3 mendapatkan perhatian terhadap
perannya pada penyakit yang melibatkan inflamasi dan juga termasuk gangguan
tulang. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa minyak ikan (fish oil) yang kaya
akan EPA dan DHA yang bermanfaat untuk kesehatan tulang terutama karena
kemampuan EPA dan DHA untuk memodulasi osteoklastogenesis,
osteoblastogenesis dan produksi eikosanoid, proses inflamasi dan metabolisme
kalsium. Akan tetapi kurang banyak yang diketahui tentang pengaruh ALA dalam
minyak biji rami yang merupakan prekursor metabolik EPA dan DHA (Kim dan
Ilich, 2011).
Dalam sistem mamalia, ALA yang tertelan dimetabolisme menjadi EPA
dan DHA melalui serangkaian proses elongasi dan desaturase dan membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk mengkonversi menjadi EPA (~5%) dan DHA
(<0,5%), terlebih lagi enzim-enzim dalam proses konversi tersebut juga terjadi
kompetisi oleh omega-6 untuk mengkonversikannya menjadi AA dan derivatnya
sebagai pro-inflamasi (Gambar 2.17). Untuk alasan inilah diperlukan penelitian
yang berkesinambungan apakah prosentase dominan ALA dapat menggantikan
EPA dan DHA yang sangat sedikit pada minyak biji rami dalam modulasi
beberapa kondisi seperti pertumbuhan dan perkembangan, metabolisme tulang
(Kim dan Ilich, 2011).
Gambar 2.16 Jalur konversi omega-3 dan omega-6, kompetisi enzim desaturase (Sacco, 2011).
Periodontitis merupakan penyakit inflamasi kronis yang diawali dengan
bakteri yang berkolonisasi pada permukaan gigi dan sulkus gingiva, respon tubuh
dipercaya berperan penting dalam pengerusakan jaringan ikat dan tulang. LPS
yang merupakan endotoksin dari bakteri mampu menginduksi terjadinya
osteoklastogenesis sehingga terjadi resorpsi tulang alveolar (Kajiya et al., 2010).
Selain inflamasi disebabkan oleh karena bakteri, diet berlebihan akan
omega-6 juga akan meningkatkan jumlah AA dalam tubuh yang jika disintesis
oleh enzim sikloogsigenase akan menghasilkan prostaglandin (PGE2) yang
merupakan mediator terjadinya inflamasi. Mediator dan sitokin pro-inflamasi ini
akan mengaktifkan osteoklastogenesis sehingga terjadi resorpsi tulang alveolar
(Calder, 2006).
Dalam tulang, PGE2 merupakan mediator resoprsi tulang dengan
mempengaruhi osteoklas matur, diferensiasi dan fusi prekursor osteoklas. Sitokin
pro-inflamasi menstimulasi resorpsi tulang dengan memacu proliferasi dan
diferensiasi progenitor osteoklas dan mengaktifkan serta mempengaruhi
pembentukan osteoklas yang baru (Indahyani et al., 2003).
Dari beberapa penelitian tentang minyak biji rami terhadap kesehatan
tulang, dimana minyak biji rami mampu menghambat aktivitas mediator pro-
inflamasi seperti (TNF-α) dan interleukin 1β (IL-1β) serta IL-6 dan PGE2 dan
juga mampu menurunkan aktivitas ALP dan TRAP dimana hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap resorpsi tulang (Kim dan Ilich, 2011).
Minyak biji rami berpengaruh terhadap penurunan aktivitas dari mediator
pro-inflamasi sehingga mampu menurunkan aktivitas osteoklas yang akan
mengakibatkan peningkatan aktivitas pembentukan tulang oleh osteoblas. Hal ini
juga dapat terlihat dari penelitian secara in vitro oleh Fang (2008) dimana ALA
pada minyak biji rami memiliki efek langsung pada osteoblast-like cells dengan
meningkatkan kelangsungan hidup sel, DNA konten, aktivitas alkali fosfatase, dan
ekspresi gen penanda pembentukan tulang termasuk osteocalcin, osteonectin dan
kolagen tipe 1 (Sacco, 2011). Formasi tulang baru pun akan terbentuk karena
adanya peningkatan jumlah dan aktivitas dari osteoblas sehingga kepadatan tulang
akan meningkat. Hal ini juga banyak ditunjukkan pada beberapa penelitian
dimana minyak biji rami mampu meningkatkan BMD dan BMC (Kim dan Ilich,
2011).
Omega-3 (EPA dan DHA) mampu menghambat metabolisme AA menjadi
prostaglandin (PGE2) dan LTB4 yang dapat merangsang terjadinya inflamasi
(pada Gambar 2.18), omega-3 juga dapat menggantikan posisi AA dalam
membran fosfolipid (pada Gambar 2.18) sehingga omega-3 dikatakan sebagai
anti-inflamasi. Oleh karena penurunan mediator pro-inflamasi mengakibatkan
pembentukan dan aktivitas osteoklas terhambat sehingga osteoblas melakukan
proliferasi dan diferensiasi untuk menjadi osteoblas yang matur sehingga jumlah
osteoblas meningkat dan kepadatan tulang akan meningkat pula (Calder, 2006;
Indahyani et al., 2010; Mozaffarian dan Wu, 2011).
Gambar 2.17 Omega-3 (EPA dan DHA) menghambat sintesis AA menjadi PGE2 dan LTB4 (Calder, 2006).
Gambar 2.18 Posisi AA dapat digeser / diganti oleh omega-3 (EPA dan DHA) dalam membran fosfolipid (Mozaffarian dan Wu, 2011).
Pada minyak biji rami, sangat sedikit sekali kandungan EPA dan DHA
oleh hasil konversi dari ALA. Masih sedikit penelitian tentang pengaruh zat aktif
ALA terhadap anti inflamasi. Namun ada penelitian baru-baru ini oleh Anand dan
Kaithwas (2014) mereka menguji bahan aktif ALA dan LA pada hewan coba tikus
putih yang diinduksi arthritis kemudian dilakukan tes terhadap sikloogsigenase
(COX-1), sikloogsigenase 2 (COX-2) dan 5-lipoksigenase (5-LOX) secara in
vitro. Didapat hasil bahwa ALA dibandingkan dengan LA mampu menghambat
jalur siklooksigenasi 1 (COX-1) dan siklooksigenase 2 (COX) namun tidak
terdapat perbedaan bermakna pada jalur 5-LOX sehingga dikatakan ALA
memiliki sifat anti-inflamasi (Anand dan Kaithwas, 2014).
2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus putih lebih besar dari famili tikus umumnya dimana tikus ini
panjangnya dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor, dan
berat 140-500 gr. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dari
tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih panjang dari
tubuhnya. Data biologi tikus disajikan pada tabel berikut (Kusumawati, 2004).
Tabel 2.1 Data Biologi Tikus Putih
No Kondisi Biologi Jumlah 1 Berat badan
Jantan Betina
300-400 gr 250-300 gr
2 Lama hidup 2,5-3 tahun 3 Temperatur tubuh 37,5oC 4 Kebutuhan air
Kebutuhan makanan 8-11 ml/100 grBB 5 gr/100 grBB
5 Umur dewasa 50-60 hari 6 Volume darah 57-70 ml/kg 7 Tekanan darah
Sistolik Diastolik
84-174 mmHg 58-145 mmHg
8 Frekuensi jantung 330-480 / menit 9 Frekuensi respirasi 66-114 / menit 10 Tidal volume 0,6-1,25 mm
Klasifikasi tikus Putih :
Kingdom : Animalia
Fillum : Chordata
Klas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus Sprague Dawley merupakan jenis tikus albino serbaguna digunakan
secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan
kemudahan penanganannya. Tikus jenis ini pertama kali diproduksi oleh
peternakan Sprague Dawley (kemudian menjadi Perusahaan Animal Sprague
Dawley) di Madison, Wisconsin. Fasilitas penangkaran dibeli pertama kali oleh
Gibco dan kemudian oleh Harlan (sekarang Harlan Sprague Dawley) pada bulan
Januari 1980. Rata-rata ukuran berat tubuh tikus Sprague Dawley dewasa adalah
250-300g bagi betina, dan 450-520g untuk jantan. Hidup yang khas adalah 2,5-3,5
tahun. Tikus ini biasanya memiliki ekor yang lebih panjang dibandingkan dengan
tikus Wistar (Kusumawati, 2004).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Pada tahun belakangan ini perawatan ortodonti banyak dilakukan dalam
praktek kedokteran gigi untuk memperbaiki maloklusi dan untuk memperbaiki
penampilan seseorang. Namun keberhasilan perawatan akan sulit dicapai bila
terdapat kelainan pada periodontal. Karakteristik yang ditemukan pada pasien
periodontitis kronis yang belum ditangani meliputi akumulasi plak pada
supragingiva dan subgingiva, inflamasi gingiva, pembentukan poket, kehilangan
perlekatan pada periodontal dan resorpsi tulang alveolar.
Periodontitis merupakan suatu penyakit jaringan pendukung gigi,
perubahan yang terjadi pada tulang alveolar sangat berperan penting karena
kehilangan tulang dapat menyebabkan kehilangan gigi. Tinggi dan kepadatan
tulang alveolar pada keadaan normal memiliki keseimbangan antara besarnya
pembentukan dan resorpsi yang diatur oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Saat
nilai resorpsi lebih besar dari nilai pembentukan tulang, tinggi dan kepadatan
tulang alveolar dapat menurun.
Prinsip inflamasi yang menyebabkan kehilangan tulang pada periodontitis
dan ditambah dengan aktivitas osteoklas, tanpa diikuti dengan pembentukan
tulang oleh osteoblas. LPS merupakan endotoksin bakteri yang dapat merusak
dinding sel dan mampu menginduksi kejadian seluler di daerah yang terlokalisir
sehingga mengaktifkan aktivitas osteoklas untuk lebih meresorpsi tulang sehingga
jumlah osteoblas akan menurun dan kepadatan tulang akan menurun.
Osteoblas adalah sel mononuklear yang berasal dari masenkim yang
mensintesis protein matriks tulang kolagenous dan nonkolagenous. Osteoblas
berfungsi untuk mensintesis komponen organik dari matriks tulang,
mengendapkan unsur organik matriks tulang baru yang disebut osteoid. Tidak
lama setelah deposisi osteoid akan segera mengalami mineralisasi dan menjadi
tulang.
Kandungan omega-3 dari minyak biji rami terbukti mencegah resorpsi
tulang dengan terjadinya penurunan jumlah dan aktivitas osteoklas. Omega-3
memiliki sifat anti-inflamasi yang dapat menurunkan sitokin pro-inflamasi
maupun eikosanoid dari metabolisme AA menyebabkan prekursor osteoblas
melakukan proliferasi dan diferensiasi untuk menjadi osteoblas yang matur
sehingga osteoklas akan menurun dan osteoblas akan meningkat dan kepadatan
tulang akan meningkat pula.
Jumlah osteoblas dan kepadatan tulang juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen dapat ditinjau
dari aspek hormonal, psikologis, genetik dan sistem kekebalan tubuh, sedangkan
faktor eksogen berupa lingkungan, adanya stres, infeksi, merokok dan juga
pengaruh dari obat-obatan.
Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruhnya
terhadap minyak biji rami terhadap kesehatan tulang dimana minyak biji rami
yang kaya akan omega-3 ALA mampu menurunkan aktivitas mediator inflamasi
dan meningkatkan kepadatan mineral tulang.
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas ditetapkan hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1. Pemberian minyak biji rami per oral meningkatkan jumlah osteoblas tikus
putih jantan galur Sprague Dawley dengan periodontitis.
2. Pemberian minyak biji rami per oral meningkatkan kepadatan tulang tikus
putih jantan galur Sprague Dawley dengan periodontitis.
Minyak Biji Rami
Faktor Endogen
- Hormonal - Psikologis - Genetik - Sistem
kekebalan
Faktor Eksogen
- Lingkungan - Stres - Infeksi - Merokok - Obat
Tikus dengan Periodontitis
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini bersifat eksperimental murni (true experiment),
memakai kelompok kontrol dengan menggunakan randomized post test only
control group design (Pocock, 2008). Bagan rancangan penelitian sebagai berikut:
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan :
P = Populasi (tikus dengan periodontitis)
S = Sampel penelitian
RA = Random Alokasi
P0 = Kontrol, diinduksi dengan LPS tanpa pemberian minyak biji rami (dengan
plasebo glycerin 1,5 ml)
P1 = Perlakuan dengan minyak biji rami 700 mg/200gr BB (1,5 ml)
O1 = Nilai observasi jumlah osteoblas dan kepadatan tulang pada kelompok P0
O2 = Nilai observasi jumlah osteoblas dan kepadatan tulang pada kelompok P1
RA
O2
O1
P S
P1
P0
60
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian
Terpadu Universitas Gajah Mada (LPPT-UGM) Yogyakarta. Waktu penelitian
dilakukan pada bulan Maret sampai Oktober 2014.
4.3 Sumber Data Populasi dan Sampel
4.3.1 Kriteria sampel
Dalam penelitian ini digunakan sampel dengan kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi:
a. Tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley
dengan periodontitis
b. Umur 2-3 bulan
c. Berat badan 180-200 gr
2. Kriteria eksklusi
Tikus dengan penyakit tulang pada mandibula dan sakit saat masa
adaptasi.
3. Kriteria Drop Out
Sampel dianggap drop out apabila selama penelitian dilaksanakan tikus
putih jantan mati.
4.3.2 Besar sampel
Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan pengulangan sesuai dengan
rumus Federer (2008) :
(n-1)(t-1) ≥ 15
n = jumlah replikasi
t = jumlah perlakuan, dalam hal ini ada 2 (P0, P1)
(n-1) (2-1) ≥ 15
(n-1) (1) ≥ 15
n-1 ≥ 15/1
n-1 ≥ 15
n ≥ 15+1
≥ 16
Jadi banyaknya kelompok pada penelitian ini adalah sebanyak 2, sehingga
jumlah sampel keseluruhan adalah 32 sampel. Diperlukan penambahan jumlah
sampel drop out sebesar 10% yakni menjadi 36 sampel.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel
Dalam penelitian menggunakan 3 variabel yaitu :
1. Variabel Bebas : Minyak biji rami 100% (Sigma Aldrich W530238)
2. Variabel Tergantung : jumlah osteoblas dan kepadatan tulang pada
tulang alveolar.
3. Variabel Kendali : jenis kelamin tikus, berat badan tikus, umur tikus,
galur tikus, makanan standar tikus
4.4.2 Hubungan antar variabel
4.5
Gambar 4.2 Hubungan antar variabel
4.6 Definisi Operasional
1. Minyak biji rami adalah minyak dari biji rami yang kaya akan
kandungan omega-3 ALA yang diproduksi oleh Sigma Aldrich
(W530238).
2. Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditimbulkan
oleh injeksi LPS E. coli selama 8 hari dengan tanda klinis kemerahan
dan pembengkakan pada gingiva, kehilangan perlekatan gingiva
VARIABEL BEBAS
Pemberian minyak biji rami
VARIABEL TERGANTUNG
Jumlah osteoblas dan kepadatan
VARIABEL KENDALI
Jenis kelamin tikus Berat badan tikus Umur tikus
Variabel Tergantung
Variabel Bebas
Variabel Kendali
terhadap tulang alveolar dan poket yang dalam. Secara histologis
adanya penurunan jumlah osteoblas dan kepadatan tulang alveolar.
3. LPS E.coli merupakan endotoksin dari bakteri gram negatif E.coli
yang didapat dari Sigma Aldrich (LPS E.coli 0111:B4, L2630) dengan
bentuk sediaan bubuk kemudian diencerkan dengan PBS (Phosphate
Buffer Saline) steril dengan dosis 5µg dalam 0,05 ml PBS.
4. Osteoblas adalah jumlah osteoblas pada tulang alveolar berupa sel
berinti satu dan pipih yang berada di endosteum, dengan sitoplasma
yang basofilik dibuat preparat atau sediaan mikroskopis dengan
pengecatan HE (Harris Hematoxylin - Eosin) dan dilihat pada 5 lapang
pandang dengan menggunakan mikroskop elektrik Olympus CX35
dengan perbesaran 400x.
5. Kepadatan tulang adalah rasio massa tulang dengan volume diukur
secara histomorfometri dengan pengecatan HE menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 100x dilanjutkan 400x dilihat pada 5
lapang pandang kemudian diamati kepadatan atau ketebalan struktur
trabekulae dengan Software Image Master dalam satuan mikrometer
yang telah dikalibrasi dengan mikroskop elektrik Olympus CX35.
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Minyak biji rami
Minyak biji rami adalah minyak dari biji rami diproduksi dari Sigma
Aldrich.
4.6.2 Hewan coba
1. Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague
Dawley dengan berat 180-200 gr berumur 2-3 bulan diadaptasikan selama
satu minggu di tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan.
2. Tiga puluh dua ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley dibagi secara
random menjadi 2 kelompok yakni P0 (kontrol yang diinduksi dengan LPS
dan dengan pemberian glycerin sebagai plasebo sebanyak 1,5 ml) dan P1
(diinduksi dengan LPS dan dengan pemberian minyak biji rami 700 mg/kg
BB atau setara dengan 1,5 ml). Pada kelompok P0, dan P1 dilakukan
induksi LPS pada sulkus gingiva pada daerah bukal incisivus sentral
rahang bawah tikus putih jantan galur Sprague Dawley sebanyak 5 µg
dalam 0,05 ml PBS satu kali sehari selama delapan hari (Indahyani et al.,
2010) dimana sebelumnya tikus dianestesi dengan kombinasi Ketamine
(80 mg/kgBB) dan Xylazine (10 mg/kgBB) yang disuntikkan pada daerah
kaki belakang sebelah kiri di musculus quadricep / tricep (Amin et al.,
2010). Dalam delapan hari diharapkan akan terjadi periodontitis (resorpsi
pada tulang alveolar) (Indahyani et al., 2010). Pada penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan, dalam delapan hari induksi LPS terjadi
penurunan jumlah osteoblas dan kepadatan tulang alveolar secara
histologis (mikroskopis) dibandingkan dengan tikus normal (Ayu, 2014).
Setelah itu dilakukan pemberian minyak biji rami dan plasebo sekali sehari
per oral dengan sonde lambung selama 21 hari.
3. Tikus putih jantan galur Sprague Dawley ditempatkan pada kandang yang
bersih dengan ventilasi yang baik dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 40
cm, tinggi 40 cm dengan suhu 25 - 27°C, kelembaban 7 - 75% dan cahaya
12 jam terang dan 12 jam gelap. Bedding pada hewan coba adalah dengan
sekam steril yang disebelumnya disterilkan dengan autoclave. Bedding
setiap 3 hari diganti dan tikus-tikus tersebut diberikan konsumsi makanan
standar AD II pellets dan air minum RO (Reverse Osmosis) ad libitum.
Kesehatan lingkungan dan juga monitoring hewan coba dilakukan secara
berkala setiap 6 bulan sekali oleh laboratorium parasitologi dan
mikrobiologi FKH UGM.
4. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap berat badan tikus putih jantan
galur Sprague Dawley dan kondisi kesehatannya selama penelitian
berlangsung.
5. Pemberian minyak biji rami per oral selama 21 hari. Langkah pertama
dimulai dengan penyedotan minyak biji rami menggunakan sonde yang
ujungnya terbuat dari karet. Tikus dipegang pada kulit bagian kepala
sehingga mulut menghadap ke atas. Selanjutnya sonde dimasukkan
melalui mulut secara perlahan sampai mencapai lambung. Kemudian
minyak biji rami disemprotkan. Pemberian minyak biji rami ini dilakukan
satu kali sehari pada jam 08.00 – 09.00 WIB.
6. Pada hari ke-30 setelah pemberian minyak biji rami per oral pada tikus
yang telah diinduksi LPS, tikus dieutanasia dengan chloroform secara
inhalasi. Kapas dibasahi chloroform diletakkan dalam toples berukuran
sedang (diameter 20 cm) kemudian hewan dimasukkan ke dalam toples
dan toples ditutup hingga tikus mati. Tikus difiksasi pada meja kerja lalu
dilakukan pengambilan jaringan tulang mandibula dengan scalpel atau
gunting dan ditempatkan dalam wadah tertutup berisi buffer formalin 10%
dan dikirim ke laboratorium untuk dibuat sediaan mikroskopis. Sisa dari
tikus kemudian diinsenerator di LPPT Unit IV UGM.
4.6.3 Pembuatan sediaan mikroskopis dan observasi
Mandibula yang diambil dilakukan fiksasi dengan buffer formalin 10%
selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam automatic tissue processor
untuk menyempurnakan fiksasi. Sampel kemudian dicuci dengan air mengalir
kemudian dilakukan dekalsifikasi dengan Plank-Rychlo’s Solution selama 4 hari
(Shibata et al, 2000). Setelah proses dekalsifikasi, sampel mandibula dilakukan
dehidrasi dengan menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat yaitu alkohol 70%,
80%, 90%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II. Proses penjernihan dilakukan
setelah dehidrasi selesai dengan menggunakan larutan xylol I dan xylol II. Proses
pencetakan atau parafinisasi dilakukan pendinginan selama 24 jam, selanjutnya
sampel dipotong dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan berkisar 3-6
µm, lalu peletakan sayatan pada water bath, setelah menempel didiamkan selama
24 jam dan dilakukan pewarnaan dengan menggunakan Harris Hematoxylin –
Eosin (HE).
Sediaan dicelup dalam larutan xylol bak I dan bak II selama 2 menit
kemudian dicelupkan dalam alkohol bak I dan bak II selama masing-masing 1
menit, lalu celupkan lagi dalam alkohol 95% dalam bak masing-masing 1 menit,
cuci dalam air mengalir selama 10 menit. Masukkan dalam eosin selama 15 detik
sampai 2 menit, kemudian masukkan dalam alkohol 95% dalam 2 bak selama
masing-masing 1 menit. Masukkan dalam larutan alkohol absolut 3 bak selama
masing-masing 1 menit. Terakhir masukkan dalam larutan clearing xylol untuk
memberikan warna bening pada jaringan dan dilakukan prosedur mounting agar
preparat awet dan menambah kejernihan, kemudian ditutup deck glass dan diberi
label.
Setelah pembuatan preparat selesai dilakukan observasi jumlah osteoblas
dan kepadatan tulang. Osteoblas dilihat pada 5 lapang pandang menggunakan
mikroskop elektrik Olympus CX35 dengan perbesaran 400x. Kepadatan tulang
dilihat dengan mikroskop elektrik Olympus CX35 dengan perbesaran 100x
dilanjutkan dengan 400x pada 5 lapang pandang diamati ketebalan struktur
trabekulae dengan Software Image Raster dalam satuan mikrometer yang telah
dikalibrasi dengan mikroskop tersebut.
4.6.4 Dosis konversi dari manusia ke tikus
Untuk menghitung dosis konversi dari manusia ke tikus berdasarkan
Laurence dan Bacharach (1993) adalah sebagai berikut :
Dosis minyak biji rami yang diberikan pada manusia (berat 70 kg) adalah
2 sendok makan perhari (setara dengan 30 ml) mengandung 14 g minyak biji rami
(Cornish dan Chilibeck, 2009). Kemudian dikonversikan pada tikus (200 gr BB)
dilihat pada tabel yakni 0,018 sehingga menjadi 252 mg/200grBB tikus.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, dosis yang paling efektif adalah 700
mg/200grBB (Ayu, 2014). Perhitungan dosis konversi terdapat pada lampiran 3.
a b Gambar 4.3 Pemilihan dan penempatan tikus. Tikus dipilih yang sehat dan ditimbang (a), penempatan tikus pada kandang yang bersih dengan ventilasi yang cukup baik (b).
Gambar 4.4 Anestesi pada tikus. Tikus dianestesi dengan Ketamine (80 mg/kgBB) dan Xylazine (10 mg/kgBB) yang disuntikkan pada daerah kaki belakang sebelah kiri di musculus quadricep (i.m)
a b c
Gambar 4.5 Induksi LPS. LPS E. coli (Sigma Aldrich 0111:B4, L2630) (a), tikus dibuat periodontitis dengan injeksi LPS pada sisi bukal mandibula regio incisivus sentral (b), Setelah induksi LPS 8 hari dengan tanda klinis periodontitis (c).
a b
Gambar 4.6 Minyak biji rami (Sigma Aldrich W530238) (a), pemberian minyak biji rami per oral dengan sonde lambung selama 21 hari (b).
a b Gambar 4.7 Eutanasia dan pengambilan jaringan tulang. Setelah eutanasia dengan chloroform, tikus disiapkan pada meja kerja (a), pengambilan jaringan mandibula (b).
4.7 Bahan dan Alat
4.7.1 Bahan
a. Tikus putih jantan galur Sprague Dawley usia 2-3 bulan dengan berat
badan 180-200gr
b. Makanan standar untuk tikus
c. Minyak biji rami
d. Glycerin
e. Ketamine
f. Xylazine
g. PBS steril
h. Chloroform
i. Buffer formalin 10%
j. Bahan pengecatan HE
k. Plank-Rychlo’s Solution
l. Alkohol
m. Xylol
4.7.2 Alat-alat
a. Kandang tikus ukuran 50 cm X 40 cm X 40 cm
b. Electrical scale
c. Spuit 1 cc untuk injeksi LPS dan anestesi
d. Sonde lambung
e. Alat bedah minor (scalpel dan gunting)
4.8 Alur Penelitian
32 ekor tikus putih jantan Sprague Dawley diadaptasi 1 minggu
2 kelompok tikus dibuat periodontitis
random
Kelompok 1 : Tikus diinduksi LPS selama 8 hari Plasebo 21 hari
Kelompok 2 : Tikus diinduksi LPS selama 8 hari Minyak biji rami 21 hari
Eutanasia dan pengambilan tulang mandibula pada hari ke-30
Pembuatan preparat dengan pengecatan HE
4.9 Analisis Data
a. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk analisis statistik (uji
hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki.
b. Uji normalitas
Uji normalitas data tiap kelompok dengan Shapiro-Wilk test karena data
kurang dari 30. Data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05.
c. Uji homogenitas
Uji homogenitas data dilakukan dengan Levene’s Test. Varian data
homogen dengan nilai p>0,05.
d. Uji komparabilitas
Oleh karena data berdistribusi normal maka menggunakan uji antar
kelompok dengan independent t-test.
Pemeriksaan jumlah sel osteoblas dan
kepadatan tulang dari tulang alveolar mandibula
Analisis Data
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 32 ekor tikus putih jantan
berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200gr/BB yang terbagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok kontrol P0 (glycerin) dan kelompok P1 (minyak biji
rami 700mg/200grBB) masing-masing berjumlah 16 ekor. Pembahasan ini
meliputi uji normalitas, uji homogenitas dan uji komparabilitas.
5.1 Analisis Deskriptif
Analisa deskriptif kedua sampel menggambarkan rerata, range dan
simpang baku dari jumlas osteoblas dan kepadatan tulang tikus putih jantan yang
diberi perlakuan selama 21 hari. Analisa ini disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Analisis deskriptif jumlah osteoblas dan kepadatan tulang antar kelompok
Variabel n Minimal Maksimal Rerata SB
Jumlah osteoblas (Sel)
Kontrol 16 33 47 36,56 3,483
Perlakuan 16 60 71 64,62 4,288
Kepadatan tulang (µm)
Kontrol 16 350,09 366,76 360,01 4,523
Perlakuan 16 653,66 670,67 662,51 5,495
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rerata jumlah osteoblas kelompok kontrol
adalah 36,56 ± 3,483 sel per 5 lapang pandang, rerata kelompok perlakuan
minyak biji rami adalah 64,62 ± 4,288 sel per 5 lapang pandang. Rerata kepadatan
tulang kelompok kontrol 360,01 ± 4,523 µm per 5 lapang pandang, rerata
kelompok perlakuan minyak biji rami adalah 662,51 ± 5,495 µm per 5 lapang
pandang.
5.2 Uji Normalitas Data
Data jumlah osteoblas dan kepadatan tulang pada kelompok kontrol
maupun perlakuan diuji normalitasnya dengan Shapiro-Wilk. Hasilnya
menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2 dan
5.3.
Tabel 5.2 Hasil uji normalitas data jumlah osteoblas (sel) antar kelompok
Kelompok Subyek n p Keterangan
Kontrol
Perlakuan
16
16
0,794
0,552
Normal
Normal
Tabel 5.3
Hasil uji normalitas data kepadatan tulang (µm) antar kelompok
Kelompok Subyek n p Keterangan Kontrol
Perlakuan
16
16
0,469
0,479
Normal
Normal
5.3 Uji Homogenitas Data antar Kelompok
Data jumlah osteoblas dan kepadatan tulang tikus putih jantan pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diuji homogenitasnya dengan
menggunakan Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05),
disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Hasil uji homogenitas data jumlah osteoblas dan kepadatan tulang
Variabel F p Keterangan
Jumlah Osteoblas (Sel)
Kepadatan Tulang (µm)
1,109
1,838
0,301
0,185
Varian homogen
Varian homogen
5.4 Analisis Komparabilitas
5.4.1 Analisis komparabilitas jumlah osteoblas
Analisis komparabilitas diuji berdasarkan rerata jumlah osteoblas tikus
putih jantan antar kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan
dengan independent t-test disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Rerata jumlah osteoblas antar kelompok
Kelompok
Subyek n Rerata Jumlah Osteoblas (Sel) SB Beda
Rerata t p
Kontrol
Perlakuan
16
16
36,56
64,62
3,483
4,288 28,06 20,321 0,001
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rerata jumlah osteoblas kelompok kontrol
adalah 36,56 ± 3,483 sel per 5 lapang pandang, rerata kelompok perlakuan
minyak biji rami adalah 64,62 ± 4,288 sel per 5 lapang pandang. Analisis
kemaknaan dengan independent t-test nilai p = 0,001 berarti rerata jumlah
osteoblas antar kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
5.4.2 Analisis komparabilitas kepadatan tulang
Analisis komparabilitas diuji berdasarkan rerata kepadatan tulang tikus
putih jantan antar kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan
dengan independent t-test disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Rerata kepadatan tulang antar kelompok
Kelompok
Subyek n Rerata Kepadatan Tulang (µm) SB Beda
Rerata t p
Kontrol
Perlakuan
16
16
360,01
662,51
4,523
5,498 302,50 169,958 0,001
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rerata kepadatan tulang kelompok kontrol
adalah 360,01 ± 4,523 µm per 5 lapang pandang, rerata kelompok perlakuan
minyak biji rami adalah 662,51 ± 5,498 µm per 5 lapang pandang. Analisis
kemaknaan dengan independent t-test nilai p = 0,001 berarti bahwa rerata
kepadatan tulang antar kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
5.5 Gambaran Histologis Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang antar
Kelompok
a
b Gambar 5.1 Gambaran histologis sel osteoblas (anak panah ) pada kelompok kontrol (a), dan pada kelompok perlakuan (b), dengan perbesaran 400x. Pada Gambar 5.1 terlihat jumlah osteoblas pada kelompok perlakuan lebih banyak
dibanding dengan kelompok kontrol.
a b Gambar 5.2 Gambaran histologis kepadatan tulang (anak panah ) pada kelompok kontrol (a), dan pada kelompok perlakuan (b), dengan perbesaran 400x.
Pada Gambar 5.2 terlihat kepadatan tulang dengan struktur trabekulae pada
kelompok perlakuan lebih lebar dibandingkan dengan kelompok kontrol.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Data Hasil Penelitian
Penelitian ini menggunakan 32 ekor tikus putih jantan berumur 2-3 bulan
dengan Galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi dua kelompok yakni
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan minyak bjij rami (700
mg/200grBB). Umur tikus 2-3 bulan bila dikonversikan ke manusia merupakan
umur dewasa muda dimana banyaknya orang-orang melakukan perawatan
ortodontik untuk mengkoreksi maloklusi maupun memperbaiki penampilan pada
usia ini. Digunakan galur Sprague Dawley oleh karena galur ini memiliki sifat
yang lebih tenang saat diberi perlakuan dan lebih baik dalam menangani stres
karena penelitian ini membutuhkan waktu yang agak lama yakni 30 hari. Pada
penelitian ini hanya memakai tikus jantan agar tidak ada pengaruh dari hormon
seperti hormon estrogen.
Induksi LPS untuk membuat periodontitis pada tikus sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Indahyani et al. (2010) dan juga
dibuktikan pada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa
dalam 8 hari induksi LPS pada sulkus gingiva tikus terjadi periodontitis secara
klinis dan secara histologis terdapat penurunan jumlah osteoblas dan kepadatan
tulang dibandingkan dengan tikus normal. Pada awalnya penelitian ini direncakan
memberi perlakuan minyak biji rami selama 30 hari sesuai penelitian oleh
Boulbaroud et al. (2012) namun pada penelitian pendahuluan yang telah
dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa dalam 21 hari, tikus dengan
perlakuan minyak biji rami terlihat mengalami penyembuhan secara klinis
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Uji perbandingan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan
minyak biji rami menggunakan independent t-test. Rerata jumlah osteoblas
kelompok kontrol adalah 36,56 ± 3,483 sel per 5 lapang pandang, rerata kelompok
perlakuan minyak biji rami adalah 64,62 ± 4,288 sel per 5 lapang pandang. Rerata
kepadatan tulang kelompok kontrol adalah 360,01 ± 4,523 µm per 5 lapang
pandang, rerata kelompok perlakuan minyak biji rami adalah 662,51 ± 5,498 µm
per 5 lapang pandang. Uji perbandingan antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan minyak biji rami dengan independent t-test menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna jumlah osteoblas dan kepadatan tulang tikus putih
jantan (p<0,05).
6.2 Pengaruh Minyak Biji Rami terhadap Peningkatan Jumlah Osteoblas
dan Kepadatan Tulang Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley
Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa terjadi peningkatan
jumlah osteoblas dan kepadatan tulang tikus putih jantan secara bermakna pada
kelompok perlakuan yang diberi minyak biji rami per oral disebabkan minyak biji
rami memiliki efek anti-inflamasi. (Kaithwas et al., 2011). Anti-inflamasi pada
minyak biji rami dapat menurunkan mediator dan sitokin pro-inflamasi sehingga
menurunkan aktivitas osteoklastogenesis yang kemudian mengakibatkan jumlah
osteoblas dan kepadatan tulang meningkat.
Penyakit periodontal disebabkan karena reaksi inflamasi lokal terhadap
infeksi bakteri pada gigi dan dimanifestasikan oleh rusaknya jaringan pendukung
gigi. Periodontitis merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri
subgingiva, mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal irreversible sehingga
dapat berakibat kehilangan gigi (Ekaputri dan Masulili, 2010). Periodontitis
merupakan penyakit inflamasi kronis yang diawali oleh kolonisasi bakteri pada
permukaan gigi dan sulkus gingiva. Respon tubuh terhadap infeksi tersebut
mempunyai peranan dalam kerusakan jaringan ikat dan tulang. LPS yang
merupakan endotoksin dari bakteri mampu menginduksi terjadinya
osteoklastogenesis sehingga meningkatkan osteoklas dan menurunkan osteoblas
dan kemudian terjadi resorpsi tulang alveolar (Indahyani et al., 2010; Kajiya et
al., 2010). Jadi terjadinya resorpsi tulang alveolar pada periodontitis tidak hanya
disebabkan oleh endotoksin bakteri berupa LPS namun respon host terhadap
inflamasi juga memegang peranan penting terhadap kerusakan tulang alveolar.
Selain inflamasi disebabkan oleh karena bakteri, diet berlebihan omega-6
juga akan meningkatkan jumlah AA dalam tubuh yang bila disintesis oleh enzim
sikloogsigenase akan menghasilkan prostaglandin (PGE2) yang merupakan
mediator terjadinya inflamasi. Mediator dan sitokin pro-inflamasi ini akan
mengaktifkan osteoklastogenik sehingga terjadi resorpsi tulang alveolar (Calder,
2006). Prostaglandin dalam jumlah sedikit sampai sedang dapat menjaga
homeostasis namun pada keadaan inflamasi kronis oleh karena adanya induksi
bakteri maupun hasil sintesis AA pada diet omega-6, prostaglandin (PGE2)
mampu menstimuli mediator maupun sitokin pro-inflamasi dalam proses
osteoklastogenesis (Calder, 2010).
Minyak biji rami mengandung omega-3 ALA yang akan dimetabolisme
oleh tubuh menjadi EPA dan DHA dimana EPA dan DHA maupun ALA dapat
dikatakan sebagi anti-inflamasi karena dapat menurunkan mediator inflamasi.
Omega-3 (EPA dan DHA) mampu menghambat metabolisme AA menjadi
prostaglandin (PGE2) dan LTB4 yang dapat merangsang terjadinya inflamasi
dengan memblokir enzim siklooksigenase, omega-3 juga dapat menggantikan
posisi AA dalam membran fosfolipid sehingga omega-3 dikatakan sebagai anti-
inflamasi. Oleh karena penurunan mediator pro-inflamasi mengakibatkan
pembentukan dan aktivitas osteoklas terhambat sehingga osteoblas melakukan
proliferasi dan diferensiasi untuk menjadi osteoblas yang matur sehingga jumlah
osteoblas meningkat dan kepadatan tulang akan meningkat pula (Calder, 2006;
Indahyani et al., 2010; Mozaffarian dan Wu, 2011). Pada minyak biji rami, sangat
sedikit sekali kandungan EPA dan DHA oleh hasil konversi dari ALA. Masih
sedikit penelitian tentang pengaruh zat aktif ALA terhadap anti-inflamasi. Namun
ada penelitian baru-baru ini oleh Anand dan Kaithwas (2014) mereka menguji
bahan aktif ALA mampu sebagai anti inflamasi secara in vitro.
Minyak biji rami sebagai anti-inflamasi dapat menurunkan mediator pro-
inflamasi seperti TNF-α, IL-1β , IL-6 dan menghambat PGE2 ditunjukkan pada
penelitian oleh Cornish dan Chilibeck (2009), pada masa periode training
(latihan), pada subyek orang dewasa tua menunjukkan kepadatan tulang BMD dan
BMC lebih tinggi pada tulang panggul setelah mengkonsumsi minyak biji rami
dengan dosis 14 g per hari selama 12 minggu. Pada studi ini juga terjadi
penurunan interleukin (IL-6) secara signifikan (Cornish dan Chilibeck, 2009).
Diet minyak biji rami yang diberikan pada pria berusia 24 - 44 tahun di Australia
selama 4 minggu mampu menghambat (TNF-α) dan interleukin 1β (IL-1β)
(Caughey et al., 1996). ALA dari minyak biji rami dapat menghambat jalur COX1
dan COX2 sehingga menghambat sintesis AA menjadi PGE2 secara in vitro
menunjukkan bahwa minyak biji rami sebagai anti-inflamasi (Anand dan
Kaithwas, 2014). Penurunan mediator inflamasi dapat pula menurunkan aktivitas
osteoklastogenesis sehingga jumlah osteoblas dapat meningkat begitu pula dengan
kepadatan tulang sesuai dengan hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 5.1
dan 5.2
Pada Gambar 5.1 yang ditandai oleh anak panah terlihat jumlah osteoblas
pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan kelompok perlakuan
sehingga pembentukan tulang diharapkan akan meningkat. Pada Gambar 5.2 yang
ditandai oleh anak panah terlihat bahwa kepadatan tulang kelompok perlakuan
lebih padat dibandingkan dengan kelompok kontrol ditandai dengan lebih
lebarnya struktur trabekulae dari tulang.
Penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian secara in vitro oleh Fang
(2008) dimana minyak biji rami yang mengandung ALA yang tinggi memiliki
efek langsung pada osteoblast-like cells dengan meningkatkan kelangsungan
hidup sel, DNA konten, aktivitas alkali fosfatase, dan ekspresi gen penanda
pembentukan tulang termasuk osteocalcin, osteonectin dan kolagen tipe 1 (Sacco,
2011).
Adanya resorpsi tulang juga dapat dilihat dari aktivitas dari ALP maupun
TRAP. Penelitian tikus dengan ovariectomy (OVX) selama 4 minggu, minyak biji
rami dapat mengurangi aktivitas dari parameter tulang trabekulae (ALP dan
TRAP). Terlihat pula adanya perbaikan mikroarsitektur dari tulang (Boulbaroud et
al., 2008). Penurunan aktivitas ALP menunjukkan bahwa adanya peningkatan dari
pembentukan tulang oleh osteoblas sehingga kepadatan tulang meningkat.
Kepadatan tulang pada penelitian ini dengan mengukur ketebalan
trabekulae dengan histopometri. Peningkatan kepadatan tulang didukung pula
oleh penelitian yang telah dilakukan pada tikus dengan OVX dilakukan oleh
Wahba dan Al-Zahrany (2013) dengan memberikan diet minyak biji rami selama
6 minggu menurunkan berat uterine dan femur dan menormalkan tingkatan serum
dari lipid, Ca, P, b-ALP dan Osteocalcin. Minyak ini juga meningkatkan
kepadatan tulang femur dan calcium content. Mereka menyimpulan bahwa diet
minyak ini dapat menimbulkan aktivitas anti-osteoporotik pada tikus betina
dengan ovariectomy (Wahba dan Al-Zahrany, 2013).
Pengamatan secara radiografis dengan DEXA pada tikus jantan dan betina
dengan PKD (Polycistic Kidney Disease) dilakukan uji BMD dan BMC seluruh
tubuh terlihat adanya peningkatan karena diet minyak biji rami selama 12 minggu.
PKD biasanya disertai dengan hipertiroidisme dan tingginya tingkat pengeroposan
tulang (higher bone turnover) (Weiler et al., 2007).
Pada penelitian pada mencit jantan dan betina dengan kondisi inflamasi
usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) selama 9 minggu diberikan diet
minyak biji rami terlihat peningkatan BMD pada tulang femur dan vertebrae,
meningkatkan BMC dan kekuatan tulang (bone strenght / peak load) pada tulang
femur. Terjadi penurunan pula terhadap tingkat TNF-α ke tingkat normal. Pasien
dengan keadaan IBD memiliki 40% insiden mengalami fraktur tulang belakang
dan tulang panggul dibandingkan dengan populasi sehat (Cohen et al., 2005).
Pada keadaan diabetes melitus tipe 1, penelitian dilakukan oleh Elwassef
et al. (2009) pada tikus betina ovariectomy dan diabetes melitus tipe 1 selama 60
hari diberikan diet minyak biji rami menormalkan BMD dan BMC, menurunkan
aktivitas ALP dan osteocalcin, menormalkan Insulin-like growth factor-1 dan
Deoxypyridinoline (Elwassef et al., 2009).
Kandungan tertinggi dari minyak biji rami adalah omega-3 ALA. Minyak
biji rami mampu meningkatkan kepadatan tulang didukung pula oleh penelitian
oleh Orchard et al. (2013) pada wanita menopause. Hasil didapat bahwa tingginya
kadar ALA dalam sel darah merah dan juga EPA dapat memprediksikan risiko
fraktur tulang panggul lebih rendah (Orchard et al., 2013).
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa pemberian minyak biji rami per
oral dengan dosis 700 mg/200grBB merupakan dosis yang paling efektif dalam
meningkatkan jumlah osteoblas dan kepadatan tulang tikus putih jantan galur
Sprague Dawley dengan periodontitis.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan simpulan sebagai berikut :
1. Pemberian minyak biji rami per oral dapat meningkatkan jumlah
osteoblas tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan
periodontitis.
2. Pemberian minyak biji rami per oral dapat meningkatkan kepadatan
tulang tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan periodontitis.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah :
1. Disarankan melakukan penelitian lebih lanjut terhadap peran minyak biji
rami sebagai anti-inflamasi.
2. Diperlukan penelitian terhadap zat aktif minyak biji rami sehingga peran
masing-masing dalam peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan tulang
menjadi jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, M.R., Burr, D.B. 2013. Techniques in Histomorphometry. In : Burr, D.B.,
Allen, M.R., editors. Basic and Applied Bone Biology. 1st Ed. London. Elsevier Science and Technology Books. p. 135 – 7.
Amin, M.N., Meilawaty, Z., Sandrasari, D. 2010. Prospek Probiotik dalam Pencegahan Agresivitas Resorpsi Osteoklastik Tulang Alveolar yang Diinduksi Lipopolisakarida pada Penyakit Periodontal. Dentika Dental Journal. 15(2) : 150 - 3.
Anand, R., Kaithwas, G. 2014. Anti-inflammatory Potential of Alpha-Linolenic Acid Mediated Through Selective COX Inhibition : Computational and Experimental Data. Inflammation. 37(4) : 1297 - 306.
Anonim. 2013. Omega-6 Omega-3 Ratio. [cited 2013 Des. 7]. Available at : http://omega6.wellwise.org/omega-6-omega-3-ratio.
Ayu, K.V. 2014. “Pemberian Minyak Biji Rami Per Oral (Linum usitatissimum) Meningkatkan Jumlah Osteoblas dan Kepadatan Tulang pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley dengan Periodontitis” (Unpublished).
Bartold, P.M., Cantley, M.D., Haynes, D.R. 2010. Mechanism and Control of Pathologic Bone Loss in Periodontitis. Periodontology 2000. 53 : 55 - 69.
Bascones-Martinez, A., Munoz-Corcuera, M., Noronha, S., Mota, P., Bascones-Ilundain, C., Campo-Trapero, C. 2005. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 14(12) : 680 – 5.
Baziad, A. 2003. Menopause dan Andropause. Jakarta. Sagung Seto. p. 44 - 7. Boulbaroud, S., El-Hessni, A., Azzaoui, F.Z., Mesfioui, A. 2012. Sesame Oil and
Flaxseed Oil Affect Plasma Lipid Levels and Biomarkers of Bone Metabolism in Ovariectomized Wistar Rats. BM. 4(3) : 102 - 10.
Boulbaroud, S., Mesfioui, A., Arfaoui, A., Ouichou, A., El-Hessni, A. 2008. Preventive Effects of Flaxseed and Sesame Oil on Bone Loss in Ovariectomized Rats. PJBS. 11 : 1696 - 701.
Calder, P.C. 2006. N-3 Polyunsaturated Fatty Acids, Inflammation, and Inflammatory Diseases. Am J Clin Nutr. 83 (Suppl.) : 1505S - 19S.
Calder, P.C. 2009. Polyunsaturated Fatty Acid and Inflammatory Processes : New Twist in an Old Tale. Biochimie. 91 : 791 – 5.
Carranza, F.A, Takei, H.H. 2006. Bone Loss and Patterns of Bone Destruction. In : Carranza, F.A., Forrest, J.L., Kenney, E.B., Klokkevold, P.R., Newman, M.G., Novak, M.J., Preshaw, P., Taeki, H.H., editors. Carranza’s. Clinical Periodontology. 10th Ed. St. Louis. Saunder Elsevier. p.456 - 60.
Carranza, F.A. 2006. The Periodontal Disease. In : Carranza, F.A., Forrest, J.L., Kenney, E.B., Klokkevold, P.R., Newman, M.G., Novak, M.J., Preshaw, P., Taeki, H.H., editors. Carranza’s. Clinical Periodontology. 10th Ed. St. Louis. Saunder Elsevier. p.154 - 7.
Caughey, G.E., Mantzioris, E., Gibson, R.A., Cleland, L.G., James, M.J. 1996. The Effect on Human Tumor Necrosis Factor-α and Interleukin 1β Production of Diets Enriched in n-3 Fatty Acids from Vegetable Oil or Fish Oil. Am J Clin Nutr. 63(1) : 16 - 22.
Cobb, C.M. 2008. Microbes, Inflammation, Scaling and Root Planing, and the Periodontal Condition. Int J Dent Hygiene. 82 (Suppl. 2) : 4 - 9.
Cochran, D.L. 2008. Inflammation and Bone Loss in Periodontal Disease. J Periodontol. 79(8) (Suppl) : 1569 – 76.
Cohen, S.L., Moore, A.M., Ward, W.E. 2005. Flaxseed Oil and Inflammation-Associated Bone Abnormalities in Interleukin-10 Knockout Mice. JNB. 16 : 368 - 74.
Cole, R.E. 2008. Improving Clinical Decisions for Women at Risk of Osteoporosis: Dual-Femur Bone Mineral Density Testing. JAOA. 108(6) : 289 - 95.
Cornish, S.M., Chilibeck, P.D. 2009. Alpha-Linolenic Acid Supplementation and Resistance Training in Older Adults. Appl Physiol Nutr Metab. 34(1) : 49 - 59.
Cosman, F. 2009. Osteoporosis. Jakarta, Bentang Pustaka. p.37 - 42. Dhaka, V., Gulia, N., Ahlawat, K.S., Khatkar, B.S. 2011. Trans fats—Sources,
Health Risks and Alternative Approach - A Review. J Food Sci Technol. 48 : 534 – 41.
Ekaputri, S., Masulili, S.C. 2010. Cairan Sulkus Gingiva Sebagai Indikator
Keadaan Jaringan Periodontal. Majalah Kedokteran Gigi. 17(1) : 12 – 15. . Eley, B.M., Manson, J.D. 2004. Periodontics. Fifth Edition. United Kingdom.
Elsevier. P.154 – 8. Elwassef, M., Anwar, M., Harvi, M., El-Moneim, M.M.A., El-Saeed, G.S., Salem,
S.I., Wafay, H. 2009. Impact of Feeding Flaxseed Oil on Delaying the Development of Osteoporosis in Ovariectomised Diabetic Rats. IJFSNPH. 2(2) : 189 - 201.
Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation. Ed. Ke-2. New York. Markel Deker.
Flax Council of Canada. 2007. Weed Control. Available from : http://www.flaxcouncil.ca/english/index.jsp?p=growing5&mp=growing.
Forstein, D.A., Bernardini, C., Cole, R.E., Harris, S.T., Singer A. 2013. Before the Breaking Point: Reducing the Risk of Osteoporotic Fracture. JAOA. 113(2) (Suppl. 1) : S5 - S24.
Griel, A.F., Kris-Etherton, P.M., Hilpert, K.F., Zhao, G., West, S.G., Corwin, R.L. 2007. An Increase in Dietary n-3 Fatty Acids Decreases a Marker of Bone Resorption in Humans. Nutr J. 6(2) : 2 - 10.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. (Irawati, Ramadhani, D., Indriyani, F., Dany, F., Nuryanto, I., Rianti, S.S.P., Resmisari, T., Suyono, Y.J., Pentj) Ed 11, 1032 - 5.
Hicks, R., 2013. Flaxseeds. [cited 2014 April 23] Available from : http://www.webmd.boots.com/vitamins-and-minerals/flaxseed.
Indahyani, D.E., Pudnyani, P.S., Santoso A, Jonarta, A.L. 2003. Pengaruh Diet Minyak Jagung dan Minyak Ikan terhadap Ekspresi Osteoklas Periapikal Gigi pada Tikus. JDI. 10(3) : 31 - 6.
Indahyani, D.E., Santoso, A., Utoro, T., Soesatyo M.H. 2010. Fish Oil Regulates Bone Sialoprotein and Osteopontin in Alveolar Bone Resorption. Naskah Lengkap Joint Scientific Meeting in Dentistry (JSMiD). Surabaya 15 – 16 Mei 2010.
Jump, D.B. 2008. What’s Good About Dietary Fat?. [cited 2014 Okt. 4]. Available from : http://lpi.oregonstate.edu/ss08/fat.html.
Junqueira, L.C., Carneiro, J. 2007. Histologi Dasar : Teks & Atlas. (Tambayong, J., Pentj) Ed 10, 134 - 6.
Kaithwas, G., Mukherjee A., Chaurasia, A.K., Majumdar, D.K. 2011. Antiinflamatory, Analgesic and Antipyretic Activities of Linum usitatissimum L. (Flaxseed / Linseed) Fixed Oil. IJEB. 49 : 932 - 8.
Kajiya, M., Giro, G., Taubman, M.A., Han, X., Mayer, M.P.A., Kawai, T. 2010. Role of Periodontal Pathogenic Bacteria in RANKL-Mediated Bone Destruction in Periodontal Disease. J Oral Microbiol. 2 : 5532 – 48.
Kim, Y., Ilich, J.Z. 2011. Implications of Dietary α-Linolenic Acid in Bone Health. Nutr J. 27(11) : 1101 - 7.
Korotkova, M., Ohlsson, C., Hanson, L.A., Strandvik, B. 2004. Dietary n-6 : n-3 Fatty Acid Ratio in the Perinatal Period Affects Bone Parameters ini Adult Female Rats. BJN. 92 : 643 - 8.
Kresno, S.B. 2010. Imunologi. Jakarta. Badan Penerbit FKUI. p. 95, 215-25. Kresser, C. 2010. How Too Much Omega-6 and Not Enough Omega-3 is Making
Us Sick. [cited 2013 Des. 7]. Available from : http://chriskresser.com/how-too-much-omega-6-and-not-enough-omega-3-is-making-us-sick.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. p. 38 - 45.
Lau, B.Y., Fajardo, V.A., McMeekin, L., Sacco, S.M., Ward, W.E., Roy, B.D., Peters, S.J., LeBlanc, P.J. 2010. Influence of High-Fat Diet From Differential Dietary Sources on Bone Mineral Density, Bone Strenght, and Bone Fatty Acid Composition in Rats. Appl Physiol Nutr Metab. 35(5) : 598 - 606.
Laurence, D.R., Bacharach, A.L. 1993. Evaluation of Drug Activities and Pharmacometrics. London and New York. Academic Press London and New York. p.160 – 1.
Maggio, M., Artoni, A., Lauretani, F., Borghi, L., Nouvenne A., Valenti, G.,
Ceda, GP. 2009. The Impact of Omega-3 Fatty Acids on Osteoporosis. Current Pharmaceutical Design. 15 : 4157 – 64
Mariano, F.S., Sardi, J.C.O., Duque, C., Hofling, J.F., Goncalves, R.B. 2010. The Role of Immune System in the Development of Periodontal Disease : a Brief Review. Rev Odonto Cienc. 25(3) : 300 – 5.
Masyitha, D. 2006. Struktur Mikroskopik Tulang Mandibula pada Tikus Ovariektomi dan Pemberian Pakan Rasio Fosfat / Kalsium Tinggi. Media Kedokteran Hewan. 22(2) : 112 - 7
Mayasari, L. 2012. Minyak Sehat Baru yang Ditemukan dalam Biji Rami. [cited 2013 Nov. 22]. Available from : http://health.detik.com/read/2012/06/04/093415/1931771/763/minyak-sehat-baru-yang-ditemukan-dalam-biji-rami.
Mercola, J. 2011. The Science is Practically Screaming, Don’t Make This Trendy Fat Mistake. [cited 2013 Des. 7] Available from : http://articles.mercola.com/sites/articles/archive/2011/11/11/everything-you-need-to-know-about-fatty-acids.aspx.
Mercola, J. 2012. Major Trouble Ahead – If You Don’t Fix This Deadly Deficiency. [cited 2013 Des. 7]. Availabe from : http://articles.mercola.com/sites/articles/archive/2012/01/12/aha-position-on-omega-6-fats.aspx.
Morris, D.H. 2007. Flax-a Health and Nutrition Primer, Flax Council of Canada. 4th Ed. Canada. Winnipeg MB. p. 6 - 9, 54 – 5.
Mozaffarian, D., Wu, J.H.Y. 2011. Omega-3 Fatty Acids and Cardiovascular Diseases, Effects on Risk Factor, Molecular Pathway, and Clinical Events. J Am Coll Cardiol. 58(20) : 2047 – 67.
Mullaly, B.H. 2004. The Influence of Tobacco Smoking on the Onset of Periodontitis in Young Persons. Tobacco Induced Diseases. 2(2) : 53 - 65.
National Library of Medicine. 2011. Bone Density. Available from : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bonedensity.html.
Newman, M.G. 2006. The Normal Periodonsium. In : Carranza, F.A., Forrest, J.L., Kenney, E.B., Klokkevold, P.R., Newman, M.G., Novak, M.J., Preshaw, P., Taeki, H.H., editors. Carranza’s. Clinical Periodontology. 10th Ed. St. Louis. Saunder Elsevier. p.57 - 70.
NYU Langone Medical Center. 2013. Flaxseed Oil. [cited 2013 Des. 2]. Availabe from : http://www.med.nyu.edu/content?ChunkIID=21715.
Orchard, T.S., Ing, S.W., Lu, B., Belury, M.A., Johnson, K., Wacktawski-Wende, J., Jackson, R.D. 2013. The Association of Red Blood Cell n-3 and n-6 Fatty Acids with Bone Mineral Density and Hip Fracture Risk in The Woman’s Health Initiative. JBMR. 28(3) : 505 - 15.
Page, R.C. 1998. The Pathobiology of Periodontal Disease May Affect Systemic Diseases : Inversion of Paradigm. Ann Periodontol. 3 : 108 – 20.
Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials : A Practical Approach. New York: John Wiley & Sons. p.128.
Pratomo, F.A., Padaga, M.C., Pramana, A.W.M. 2012. “Efek Pemberian Tepung
Tulang Ikan Tuna Madidihang (Thunus albacares) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Ovariektomi Berdasarkan Histopatologis Tulang Femur dan Ekspresi TNF-α” (skripsi). Malang : Universitas Brawijaya.
Sacco, S.M. 2011. “Flaxseed and Lower-Dose Estrogen : Studies on Their Protective Actions and Mechanisms in Bone Using the Ovariectomized Rat Model” (dissertation). Toronto. University of Toronto.
Salari, P., Rezale, A., Larijani, B., Abdollahi, M. 2008. A Systematic Review of
the Impact of n-3 Fatty Acids in Bone Health and Osteoporosis. Med Sci Monit. 14(3) : 37 – 44.
Shibata, Y., Fujita, S., Takahashi H., Yamaguchi, A., Koji, Takehiko. 2000. Assessment of Decalcifying Protocols for Detection of Spesific RNA by Non-Radioactive In Situ Hybridization in Calcified Tissues. Histochem Cell Biol. 113 : 153 - 9.
Simopoulos, A.P. 2004. Omega-6/Omega-3 Essential Fatty Acid Ratio and Chronic Disease. Food Reviews International. 20(1) : 77 – 90.
Srinivasan, P.C. 2013. The Role of Inflammatory Cytokines and the RANKL-RANK-OPG Molecular Triad in Periodontal Bone Loss-A Review. J Clin Cell Immunol. 007 (Suppl. 13) : 1 - 8.
Tuminah, S. 2009. Efek Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh “Trans” terhadap Kesehatan. Media Penelit dan Pengembang Kesehat. 19 (Suppl. 2) : S13 - S20.
Wahba, H.M.A., Al-Zahrany, S.H. 2013. Effect of Feeding on Diets Supplemented by Some Vegetable Oils on Blood Lipids and Bone Mineral Content in Osteoporotic Rats. Life Sci J. 10(1) : 1458 - 65.
Wahba, H.M.H., Ibrahim, T.A.A. 2013. Protective Effect of Flaxseed Oil and Vitamin E on Potassium Bromate-Induced Oxidative Stress in Male Rats. IJCMAS. 2(9) : 299 - 309.
Wahyukundari, M.A. 2009. Perbedaan Kadar Matrix Metalloproteinase-8 Setelah Scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI. 58(1) : 1 - 6.
Wardlaw, G.M. 2003. Contemporary Nutrition : Issues and Insight. 5th Edition. New York. McGraw-Hill Higher Education. p.159 - 61.
Weiler, H.A., Kovacs, H., Nitschmann, E., Bankovic-Calic, N., Aukema, H., Ogborn, M. 2007. Feeding Flaxseed Oil but not Secoisolariciresinol Diglucoside Results in Higher Bone Mass in Healthy Rats and Rats with Kidney Disease. PLEFA. 76(5) : 269 - 75.
Weiss, L.A., Barrett-Conor, E., Muhlen, D.V. 2005. Ratio of n-6 to n-3 Fatty Acids and Bone Mineral Density in Older Adults : the Rancho Bernardo Study. Am J Clin Nutr. 81 : 934 – 8.
Widyastuti, R. 2009. Periodontitis : Diagnosis dan Perawatannya. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi. 6(1) : 20 - 5.
Yang, T.C. 2012. Serat Rami Tidak Sulit Jadi Uang. [cited 2013 Nov. 27]. Available from: http://tekyang.blogspot.com/2012/07/rami.html.
Yovela, Krisnawati. 2009. Penatalaksanaan Kasus Protrusif Gigi Anterior Atas dengan Kelainan Periodontal pada Pasien Dewasa. Indonesian Journal of Dentistry. 16(1) : 25 - 31.
Lampiran 1
Lampiran 2. Hasil Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan menggunakan 10 ekor tikus. 1 ekor tikus normal. 1
ekor tikus dilakukan induksi LPS E. coli selama 8 hari untuk melihat apakah
dalam 8 hari telah terjadi periodontitis dengan ditandai penurunan osteoblas dan
kepadatan tulang alveolar dibandingkan tikus normal. 2 ekor tikus sebagai
kelompok kontrol (placebo aquadest). 2 ekor tikus dengan perlakuan pemberian
minyak biji rami 0,6 ml (280 mg/200grBB), 2 ekor tikus dengan pemberian
minyak biji rami 1 ml (467 mg/200grBB), 2 ekor tikus dengan pemberian minyak
biji rami 1,5 ml (700 mg/200grBB). Didapatkan hasil bahwa dosis efektif adalah
700 mg/200grBB.
Jumlah Osteoblas (Sel)
Kepadatan Tulang (µm)
Normal 76 680,94
Induksi (LPS 8 hari) 31 258,02
Kontrol 37 371,39
P1 (0,6 ml) 51 501.36
P2 (1 ml) 58 562,23
P3 (1,5 ml) 65 667,34
Lampiran 3. Perhitungan Dosis Konversi Manusia ke Tikus
Pada manusia (70 kg) : 14 g = 14.000 mg/kg BB
Untuk konversi dosis manusia (70 kg) ke tikus (200 gr) dilihat pada tabel
didapatkan 0,018 sehingga : 0,018 x 14.000 = 252 mg/200grBB tikus.
252 mg/200grBB setara dengan 0,54 ml.
Pada penelitian pendahuluan yang peneliti menggunakan dosis 0,6 ml, 1 ml, 1,5 ml. Dosis yang paling efektif adalah 1,5 ml atau setara dengan 700 mg/200grBB.
Lampiran 4 : Hasil analisis data dengan SPSS
Descriptives
kelompok Statistic Std. Error
osteoblas kontrol Mean 36.56 .871
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 34.71
Upper Bound 38.42
5% Trimmed Mean 36.46
Median 36.00
Variance 12.129
Std. Deviation 3.483
Minimum 31
Maximum 44
Range 13
Interquartile Range 6
Skewness .464 .564
Kurtosis -.170 1.091
perlakuan Mean 64.62 1.072
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 62.34
Upper Bound 66.91
5% Trimmed Mean 64.69
Median 65.00
Variance 18.383
Std. Deviation 4.288
Minimum 57
Maximum 71
Range 14
Interquartile Range 8
Skewness -.308 .564
Kurtosis -1.035 1.091
Case Processing Summary
kelompok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
osteoblas kontrol 16 100.0% 0 .0% 16 100.0%
perlakuan 16 100.0% 0 .0% 16 100.0%
Tests of Normality
kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
osteoblas kontrol .127 16 .200* .967 16 .794 perlakuan .148 16 .200* .954 16 .552
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
osteoblas kontrol 16 36.56 3.483 .871
perlakuan 16 64.62 4.288 1.072
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
osteoblas Equal variances assumed
1.109 .301 -20.321 30 .000 -28.062 1.381 -30.883 -25.242
Equal variances not assumed
-
20.321 28.790 .000 -28.062 1.381 -30.888 -25.237
Descriptives
kelompok Statistic Std. Error
kepadatantulang kontrol Mean 3.6001E2 1.13063
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 3.5760E2
Upper Bound 3.6242E2
5% Trimmed Mean 3.6019E2
Median 3.6046E2
Variance 20.453
Std. Deviation 4.52252
Minimum 350.09
Maximum 366.76
Range 16.67
Interquartile Range 5.41
Skewness -.776 .564
Kurtosis .522 1.091
perlakuan Mean 6.6251E2 1.37462
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 6.5958E2
Upper Bound 6.6544E2
5% Trimmed Mean 6.6255E2
Median 6.6362E2
Variance 30.233
Std. Deviation 5.49849
Minimum 653.66
Maximum 670.67
Range 17.01
Interquartile Range 10.03
Skewness -.127 .564
Kurtosis -1.208 1.091
Case Processing Summary
kelompok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kepadatantulang kontrol 16 100.0% 0 .0% 16 100.0%
perlakuan 16 100.0% 0 .0% 16 100.0%
Tests of Normality
kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
kepadatantulang kontrol .145 16 .200* .949 16 .469
perlakuan .126 16 .200* .949 16 .479 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
kepadatantulang kontrol 16 3.6001E2 4.52252 1.13063
perlakuan 16 6.6251E2 5.49849 1.37462
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variance
s t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean Differenc
e
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
kepadatantulang
Equal variances assumed
1.838
.185
-169.95
8 30 .000
-302.5018
8 1.77986
-306.1368
4
-298.8669
1
Equal variances not assumed
-
169.958
28.923 .000
-302.5018
8 1.77986
-306.1425
2
-298.8612
3