bab iv hasil dan pembahasan 4.1 …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090034_4_5949.pdfdi...

24
38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan dan Preparasi Sampel Pengambilan sampel dilakukan di wilayah intertidal Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan, Jawa Barat saat air laut sedang surut, sekitar pukul 09.00- 10.30 WIB. Di pantai Sayang Heulang, lokasi rumput laut terletak setelah komunitas lamun yang cukup luas (Gambar 16). Kondisi perairan di Pantai Sayang Heulang cukup baik karena airnya cukup jernih serta tidak terlihat ada sampah di wilayah intertidal dan pantai. Terdapat beberapa jenis rumput laut yang berada di Pantai Sayang Heulang, diantaranya Gracilaria sp., Sargassum sp., Ulva sp., Euchema sp. dan lain-lain. Pengambilan sampel rumput laut dilakukan dengan cara mengambil langsung dari substratnya menggunakan tangan di daerah intertidal yang tergenang air. Hal ini agar meminimalisir rusaknya metabolit sekunder akibat terlalu lama terpapar sinar matahari. Pengambilan saat air laut sedang surut bertujuan agar lebih memudahkan peneliti saat pengambilan sampel karena ombak di pantai Sayang Heulang sangat deras. Gambar 16. Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan, Jawa Barat Masing-masing jenis sampel dimasukkan ke dalam plastik zipper yang kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang telah diisi oleh es agar saat rumput

Upload: buidan

Post on 17-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengambilan dan Preparasi Sampel

Pengambilan sampel dilakukan di wilayah intertidal Pantai Sayang

Heulang, Garut Selatan, Jawa Barat saat air laut sedang surut, sekitar pukul 09.00-

10.30 WIB. Di pantai Sayang Heulang, lokasi rumput laut terletak setelah

komunitas lamun yang cukup luas (Gambar 16). Kondisi perairan di Pantai

Sayang Heulang cukup baik karena airnya cukup jernih serta tidak terlihat ada

sampah di wilayah intertidal dan pantai.

Terdapat beberapa jenis rumput laut yang berada di Pantai Sayang

Heulang, diantaranya Gracilaria sp., Sargassum sp., Ulva sp., Euchema sp. dan

lain-lain. Pengambilan sampel rumput laut dilakukan dengan cara mengambil

langsung dari substratnya menggunakan tangan di daerah intertidal yang

tergenang air. Hal ini agar meminimalisir rusaknya metabolit sekunder akibat

terlalu lama terpapar sinar matahari. Pengambilan saat air laut sedang surut

bertujuan agar lebih memudahkan peneliti saat pengambilan sampel karena

ombak di pantai Sayang Heulang sangat deras.

Gambar 16. Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan, Jawa Barat

Masing-masing jenis sampel dimasukkan ke dalam plastik zipper yang

kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang telah diisi oleh es agar saat rumput

39

laut dibawa ke laboratorium masih dalam keadaan segar. Sampel yang telah

diambil dari Pantai Sayang Heulang, Garut segera dimasukkan ke dalam freezer

pada suhu -20oC. Sampel yang akan digunakan untuk uji fitokimia dicuci dan

dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel dengan air ledeng. Setelah

bersih kemudian sampel segar direndam dengan aquades sebentar sebagai bilasan

terakhir.

4.2 Uji Fitokimia

Sampel yang telah bersih dipotong kecil-kecil menggunakan pisau

kemudian diblender sampai halus. Sampel Sargassum crassifolium setelah

diblender berbentuk seperti bubur sedangkan Gracilaria coronopifolia masih

berbentuk agak kasar dan butirannya lebih besar daripada Sargassum

crassifolium. Sampel yang telah halus kemudian ditimbang menggunakan

timbangan analitik seberat 5 gram sebanyak untuk 7 macam uji fitokimia yaitu ;

Uji Alkaloid, Flavonoid, Fenolik, Fenol Hidroquinon, Tanin, Saponin, Steroid dan

Triterpenoid.

Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan pada rumput laut Sargassum

crassifolium dan Gracilaria coronopifolia diperoleh hasil kandungan metabolit

sekunder yang disajikan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Sampel Segar Sargassum crassifolium dan

Gracilaria coronopifolia

Uji Sampel

Sargassum crassifolium Gracilaria coronopifolia

Alkaloid - -

Flavonoid

HCl ++ +++

H2SO4 2N +++ +

NaOH 10% + +

Fenolik - -

Saponin - ++

Tanin

FeCl 5% ++ -

Gelatin - -

Steroid +++ +

Triterpenoid - -

Fenol Hidroquinon - - Keterangan : (-) negative, (+) positif lemah, (++) positif sedang, (+++) positif kuat

40

Hasil dari uji fitokimia dapat diketahui senyawa yang terkandung pada

S.crassifolium dan G.coronopifolia serta berbagai senyawa metabolit sekunder

yang dapat dijadikan sebagai agen antipigmentasi dengan cara menginhibisi

enzim tirosinase. Pada S.crassifolium terdapat senyawa flavonoid, steroid dan

tanin sedangkan pada G.coronopifolia terdapat flavonoid, saponin dan steroid.

4.2.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa organik yang ditemukan banyak di

alam.Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan

tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan (Syaputri 2012). Senyawa alkaloid

memiliki atom nitrogen dan biasanya bersifat basa (Syaputri 2012). Senyawa

alkaloid ini ada yang bersifat toksik namun adapula yang bermanfaat sebagai obat

(Syaputri 2012).

Identifikasi alkaloid pada penelitian ini menggunakan prosedur Kiang-

Douglas, sampel direndam dengan larutan encer ammonia yang merupakan

larutan organik sesuai dengan sifat senyawa alkaloid yang yang larut dalam

pelarut organik.Selain itu ditambahkan larutan encer ammonia agar sifat sampel

berubah menjadi basa bebas (Nadjeeb 2006). Hasil yang diperoleh kemudian

diekstrak menggunakan klorofom. Setelah larutan pekat, kemudian ditambahkan

HCl 2N, agar larutan bersifat asam kembali. Langkah terakhir menambahkan

beberapa tetes pereaksi meyer (Nadjeeb 2006).

Hasil uji kualitatif alkaloid menunjukkan bahwa Sargassum crassifolium

dan Gracilaria coronopifolia tidak mengandung senyawa alkaloid karena saat

ditambahkan pereaksi meyer tidak terbentuk endapan. Senyawa alkaloid pada

umumnya memang tidak ditemukan pada gymnospermae, paku-pakuan, lumut

dan tumbuhan rendah (Harborne 1987).

Gambar 17. Hasil Uji Alkaloid (kiri) Sargassum crassifolium (kanan) Gracilaria

coronopifolia

41

4.1.2 Flavonoid

Uji flavonoid dilakukan pada suasana asam dan basa. Hasil uji flavonoid

setelah diberikan HCl pada sampel Sargassum crassifolium menunjukkan hasil

positif karena terjadi perubahan warna menjadi oranye sama seperti saat

ditambahkan pereaksi H2SO4 2N dan NaOH 10%. Hasil uji flavonoid Gracilaria

coronopifolia menunjukkan hasil yang positif pada ketiga pereaksi. Perubahan

warna yang terjadi saat ditambahkan pereaksi H2SO4 2N dan NaOH 10% pada

G.coronopifolia memang tidak berwarna oranye terang seperti saat ditambahkan

HCl, namun masih terjadi perubahan warna menjadi oranye walaupun saat difoto

perubahan warna kurang begitu jelas (Gambar 19). Perbedaan warna yang terjadi

pada berbagai macam pereaksi dikarenakan adanya perbedaan suasana antara

asam dan basa. Dimana, untuk flavonoid pada S.crassifolium dan G.coronopifolia

lebih bereaksi pada suasana asam.

Gambar 18. Uji Flavonoid S.crassifolium (kiri-kanan: HCl, H2SO4 2N, NaOH 10%)

Gambar 19. Uji Flavonoid G.coronopifolia (kiri-kanan: HCl, H2SO4 2N, NaOH 10%)

4.2.3 Fenolik

Fenolik merupakan senyawa aromatik dengan satu atau lebih gugus

hidroksi (-OH). Hasil uji kualitatif fenolik pada Sargassum crassifolium dan

Gracilaria coronopofilia tergolong kategori negatif karena saat ditambahkan FeCl

1% Warna larutannya tetap berwarna oranye tidak berubah menjadi biru atau biru

kehijauan.

42

Gambar 20. Hasil Uji Fenolik (kiri atas) Gracilaria coronopifolia (bawah)

Sargassum crassifolium

4.2.4 Saponin

Hasil uji kualitatif saponin, terlihat bahwa S.crassifolium negatif

mengandung saponin dan G.coronopifolia positif mengandung saponin. Setelah

proses pemanasan kemudian pengkocokkan, larutan Sargassum crassifolium

menimbulkan busa yang sedikit hanya 1 cm dan segera menghilang setelah

beberapa saat. Untuk sampel Gracilaria coronopifolia setelah proses

pengkocokkan busa yang timbul cukup tinggi filtrat : busa (1:1). Hasil

pengkocokkan, disimpulkan bahwa uji saponin Sargassum crassifolium termasuk

kategori negatif (-), sedangkan Gracilaria coronopifolia termasuk kategori positif

sedang (++).

Gambar 21. Hasil Uji Saponin (kiri) Sargassum crassifolium (kanan) Gracilaria

coronopifolia

4.2.5 Tanin

Hasil uji kualitatif tanin pada sampel menujukkan bahwa S.crassifolium

mengandung senyawa tanin, karena saat penambahan FeCl 5% warnanya berubah

menjadi coklat kehitaman. Sedangkan pada uji dengan penambahan gliserin pada

43

kedua sampel terdapat endapan putih, namun endapan putih ini bukan hasil reaksi

gelatin dan sampel melainkan gelatin yang tidak larut dalam sampel (Gambar 22).

Gambar 22. Hasil Uji Tanin (kiri) Penambahan Gliserin (kanan) Penambahan FeCl 5%

4.2.6 Triterpenoid dan Steroid

Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari

enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C3 0

asiklik, yaitu skualena. Penggunaan pereaksi Lieberman-Burchard (anhidrida

asetat-H2SO4 pekat) akan bereaksi dengan kebanyakan triterpena dan sterol

dengan terbentuknya warna hijau-biru (Harborne 1987).

Hasil uji triterpenoid dan steroid didapatkan bahwa kedua sampel positif

mengandung steroid karena terbentuk warna biru kehijauan setelah diteteskan

asam sulfat pekat.Pada S.crassifolium warna biru kehijauan tampak sangat jelas

oleh karena itu digolongkan kategori positif kuat (+++) sedangkan pada

G.coronopofolia warna biru yang terbentuk samar-samar dan digolongkan pada

kategori positif lemah (+).

Gambar 23.Hasil Uji Triterpenoid dan Steroid (kiri) Sargassum crassifolium (kanan)

Gracilaria coronopifolia

44

4.2.7 Fenol Hidroquinon

Hasil uji fenol hidroquinon menunjukkan bahwa kedua sampel baik

Sargassum maupun Gracilaria negatif mengandung senyawa karena tidak terjadi

reaksi setelah diteteskan FeCl3 5% tidak terbentuk warna biru-hijau dan hanya

terbentuk gumpalan berwarna oranye-coklat.

i (kiri) S.crassifolium (kanan)

G.coronopifolia

ii(kiri) S.crassifolium (kanan)

G.coronopifolia Gambar 24. Hasil Uji Fenol Hidroquinon (kiri) Sebelum ditetes FeCl3 5% (kanan) Setelah

diteteskan FeCl3 5%

4.3 Ekstraksi dan Rendemen

Semua sampel dan kontrol positif yang diekstraksi diberi perlakuan yang

sama yaitu maserasi 1x24 jam dengan pengulangan. Pengulangan dilakukan pada

residu hasil penyaringan yang kemudian direndam kembali selama 1x24 jam

dengan pelarut yang sama seperti yang digunakan pada saat awal maserasi. Setiap

sampel dan kontrol positif yang diekstraksi memberikan hasil yang berbeda-beda.

4.3.1 Ekstraksi

Pengulangan evaporasi sampel Sargassum crassifolium pada residu hasil

penyaringan yang telah direndam kembali selama 1x24 jam dilakukan sebanyak 2

kali karena saat maserasi yang ketiga, pelarut sudah terlihat hijau bening baik saat

dimaserasi menggunakan metanol maupun etil asetat. Saat proses ektraksi tidak

ditemukan garam pada filtrat sehingga tidak dilakukan penyaringan berulang.

Ekstrak etil asetat S.crassifolium berwarna coklat pekat dengan ektrak

kasar berbentuk seperti pasta sedangkan ekstrak metanol S.crassifolium berwarna

coklat dan berbentuk seperti pasta namun lebih cair daripada ekstrak etil asetat.

Berdasarkan kuantitas hasil ektrak metanol lebih banyak daripada ekstrak etil

asetat, hal ini menandakan bahwa pada rumput laut S.crassifolium memiliki lebih

45

banyak kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Sesuai

dengan prinsip ekstraksi menggunakan pelarut, yaitu like dissolve like, dimana

pelarut akan melarutkan senyawa berdasarkan kepolarannya (Khopkar 1990).

Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan

melarutkan senyawa non polar sedangkan senyawa semi polar akan tertarik pada

pelarut polar dan non polar.Selain itu, metanol secara umum dapat melarutkan

kandungan metabolit sekunder dari bahan alam dengan berbagai kepolarannya

(Syaputri 2012). Oleh karena itu ekstrak kasar metanol lebih banyak daripada

ekstrak kasar etil asetat.

Proses pengulangan maserasi pada rumput laut G.coronopifolia dilakukan

sebanyak 2x, baik saat maserasi menggunakan metanol maupun etil asetat. Pada

proses pengulangan maserasi yang ketiga, filtrat sudah berwarna hijau bening.

Proses evaporasi daun Carica papaya dilakukan sampai 3x pengulangan

evaporasi karena saat maserasi yang ketiga pelarut masih terlihat pekat. Baru pada

pengulangan keempat filtrat berwarna hijau bening.

Ekstrak kasar daun Carica papaya sangat pekat, terlihat dari hasil ekstrak

yang sangat kental dan padat. Pada hasil evaporasi ekstrak metanol daun Carica

papaya menghasilkan dua warna ekstrak yaitu hijau dan coklat. Ekstrak metanol

daun Carica papaya yang berwarna coklat ini menghasilkan aroma wangi seperti

gula merah namun rasanya sangat pahit. Diduga ekstrak ini merupakan senyawa

metabolit sekunder karena terdapat beberapa senyawa metabolit sekunder yang

memiliki ciri rasa yang pahit (Harborne 1987). Ekstrak etil asetat daun Carica

papaya sangat pekat terlihat dari warnanya yang hijau pekat dan ekstrak daun

Carica papaya yang terkena tangan akan sulit untuk membersihkannya

dibandingkan dengan ekstrak sampel rumput laut.

46

Gambar 25. Hasil Evaporasi Daun Carica papaya (1)Ekstrak Metanol (2)Ekstrak Etil

asetat

Setelah proses evaporasi, masing-masing ekstrak yang diperoleh,

dimasukkan ke dalam botol vial yang telah diberi label dan ditimbang

sebelumnya, untuk penghitungan nilai rendemen. Ekstrak hasil evaporasi yang

kedua maupun ketiga kalinya dimasukkan ke dalam botol vial yang sama dan

ditimbang berat akhir botol ditambah ekstrak.

4.3.2 Rendemen

Rendemen yang paling banyak didapat dari kontrol positif yaitu Daun

Carica papaya oleh pelarut metanol sedangkan hasil rendemen yang paling

sedikit didapat berasal dari sampel Sargassum crassifolium oleh pelarut etil asetat.

Pada semua sampel ekstrak metanol lebih besar daripada etil asetat, hal ini

menandakan pada Sargassum crassifolium, Gracilaria coronopifolia dan Carica

papaya terkandung banyak senyawa polar daripada semipolar. Karena prinsip

ekstraksi menggunakan pelarut adalah like dissolve like, dimana pelarut akan

melarutkan senyawa berdasarkan kepolarannya (Khopkar 1990). Pelarut polar

akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa

non polar sedangkan senyawa semi polar akan tertarik pada pelarut polar dan non

polar. Karena metanol bersifat polar dan etil asetat bersifat semi polar maka

senyawa yang banyak terkandung pada sampel dan Carica papaya adalah

senyawa polar.

47

Berat rata-rata ekstrak metanol yang lebih banyak daripada ekstrak etil

asetat kemungkinan dikarenakan metanol memiliki dua gugus, yaitu polar dan non

polar. Gugus polarnya adalah OH sedangkan gugus non polarnya adalah CH3 oleh

karena itu pelarut metanol dapat juga menarik senyawa non polar.

H

H C OH

H

O

O

Gambar 26. Struktur Kimia (a) metanol (b) etil asetat

Sumber : http:/Wikipedia/

Tabel 5. Rendemen Sampel dan Daun Carica papaya

Sampel Pelarut

Berat

(g) Rumus Rendemen

(%) Bahan Ekstrak

Sargassum

crassifolium

Metanol

100

0,6751 0,6751

Etil

asetat 0,0781 0,0781

Gracilaria

coronopifolia

Metanol

100

1,2476 1,2476

Etil

asetat 0,2288 0,2288

Daun Carica

papaya

Metanol

100

4,5636 4,5636

Etil

asetat 0,9724 0,9724

Persentase rendemen dengan jumlah ekstrak kasar berbanding lurus yaitu

semakin banyak ekstrak kasar yang dihasilkan maka semakin besar pula nilai

rendemen dari bahan alam. Persentase rendemen mengartikan seberapa banyak

kandungan metabolit sekunder yang terkandung pada sampel awal (simplisia).

Nilai rendemen untuk masing-masing sampel bila diurutkan dari yang paling

tinggi ke paling rendah adalah ekstrak metanol daun Carica papaya 4,5636%,

ekstrak metanol Gracilaria coronopifolia 1,2476%, ekstrak etil asetat daun

Carica papaya 0,9724%, ekstrak metanol Sargassum crassifolium 0,6751%,

48

ekstrak etil asetat Gracilaria coronopifolia 0,2288% dan terakhir ekstrak etil

asetat Sargassum crassifolium 0,0781%.

Perbedaan jumlah ekstrak kasar antara ekstrak metanol dan ekstrak etil

asetat menandakan bahwa sebagian besar senyawa yang terkandung pada

Gracilaria coronopifolia adalah senyawa polar, dimana senyawa polar ini tertarik

pada pelarut metanol yang bersifat polar juga.

Nilai rendemen yang tertinggi tidak hanya mengindikasikan banyaknya

metabolit sekunder yang terdapat pada sampel tetapi dapat mengindikasikan

bahwa pada sampel terdapat salah satu senyawa metabolit sekunder yang

mendominasi. Pada Sargassum crassifolium mungkin terdapat salah satu senyawa

metabolit sekunder polar (flavonoid, tanin atau steroid) yang mendominasi hasil

ekstraksi begitupun untuk ekstrak metanol Gracilaria coronopifolia. Walaupun

pelarut metanol dapat melarutkan senyawa non polar, namun berdasarkan sifat

pelarut like dissolve like maka diasumsikan pelarut metanol akan lebih banyak

melarutkan senyawa polar daripada non polar karena pelarut metanol sendiri

bersifat polar.Sedangkan untuk esktrak etil asetat diperkirakan senyawa metabolit

sekunder yang bersifat semi polar yang mendominasi hasil ekstrak.

Gambar 27. Hasil Ekstrak Kasar Sampel dan Kontrol Positif

(kiri-kanan : G.etil asetat, G.metanol, S.etil asetat, S.metanol, C.etil asetat, C.metanol)

4.4 Perolehan Metabolit Sekunder

Dari hasil kualitatif senyawa metabolit sekunder dengan metode uji

fitokimia teridentifikasi bahwa S.crassifolium memiliki senyawa metabolit

sekunder yang flavonoid, tanin dan steroid, sedangkan G.coronopifolia memiliki

kandungan senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid dan saponin.

49

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Namun,

masih terdapat senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran rendah, seperti yang

disebutkan oleh Anderson dan Markham (2006) bahwa isoflavon, flavanon,

flavon methyl dan flavonol merupakan senyawa flavonoid dengan kepolaran yang

rendah dan dapat diekstraksi menggunakan berbagai macam pelarut salah satunya

etil asetat. Pada ekstrak etil asetat S.crassifolium dan G.coronopifolia diduga

terkandung senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran yang rendah. Sedangkan

pada ekstrak metanol S.crassifolium dan G.coronopifolia terkandung pula

senyawa flavonoid yang mempunyai kepolaran yang tinggi.

4.5 Uji Aktivitas Enzim Tirosinase

Jamur merupakan salah satu mikroba yang dapat menghasilkan berbagai

jenis enzim (Wulan 2012). Proses isolasi dan pemurnian enzim pada jamur lebih

mudah dilakukan karena enzim pada jamur disekresikan ke luar sel (Wulan 2012).

Enzim tirosinase pada jamur menyebabkan perubahan warna menjadi coklat

(Wuryanti 2000). Pada penelitian Wuryanti 2000 yang menggunakan sampel

Jamur merang (Volavariella volvaceae) menunjukkan aktivitas spesifik enzim

tirosinase pada fraksi F2 (10-20%) sebesar 6,020 U/mg.

Pada penelitian ini, enzim tirosinase diekstrak dari berbagai jenis jamur,

yaitu jamur kancing (Auricuralia sp.), jamur kuping (Agaricus sp.) dan jamur

tiram (Pleorotus sp.). Masing-masing jamur segar ditimbang sebanyak 50g lalu

dihaluskan menggunakan blender sampai berbetuk seperti bubur bayi. Sampel

yang telah halus ditambahkan aseton p.a sebanyak 30 mL sampai homogen.

Kemudian filtrat dan residu disaring menggunakan kertas saring. Saat proses

pengekstrakan suhu harus dalam keadaan rendah agar enzim yang merupakan

untaian protein tidak rusak saat proses ekstraksi. Proses ekstraksi enzim dilakukan

pada suhu ruang, namun untuk menjaga suhu tetap dalam keadaan rendah semua

proses ekstraksi dilakukan pada nampan yang diberikan es (Lampiran 3).

Proses penyaringan pada sampel jamur kuping sangat sukar karena filtrat

sangat kental sehingga ditambahkan aseton p.a sebanyak 20 mL agar filtrat yang

didapat lebih cair dan dapat disaring. Filtrat yang didapat dari sampel jamur

50

kuping berwarna ungu bening dan memiliki nilai absorbansi 0,216 sedangkan

aktivitas unitnya sebesar 0,0039 U/mL (Lampiran 7).

Proses ekstraksi dari jamur kancing menggunakan jamur dengan tudung

yang berdiameter 2-5 cm. Proses penyaringan pada jamur kancing tidak sesulit

pada jamur kuping sehingga perbandingan sampel dan aseton p.a tetap 5 : 3.

Setelah proses penyaringan menggunakan kertas saring didapat filtrat sebanyak

2,3 mL dan berwarna putih sedikit keruh. Nilai absorbansi jamur kancing 0,037

dan aktivitas unitnya sebesar 0,0025 U/mL.

Jamur tiram yang digunakan untuk ekstraksi enzim tirosinase yaitu jamur

dengan tudung yang berdiameter 7- 11 cm. Proses penyaringan jamur tiram

menghasilkan paling banyak filtrat dari kedua jenis jamur yang lain, yaitu

sebanyak ± 12 mL dengan perbandingan sampel segar dan aseton p.a 5 : 3. Nilai

absorbansi jamur tiram adalah 0,646 dan nilai aktivitas unitnya sebesar 0,0066

U/mL.

Nilai aktivitas unit enzim tirosinase pada ketiga jenis jamur yang diujikan,

jamur tiram memiliki nilai aktivitas tertinggi sebanyak 0,0066 U/mL. Hal ini

menandakan jamur tiram akan lebih cepat mengalami pencoklatan daripada jamur

kancing dan jamur kuping seperti yang dikatakan Wuryanti (2000) pada

penelitiannya bahwa besarnya unit aktivitas enzim tirosinase akan mempengaruhi

kecepatan perubahan warna pada sayur dan buah-buahan. Karena jamur tiram

memiliki aktivitas unit enzim tirosinase yang paling besar dan proses ekstraksi

yang cukup mudah maka untuk tahap uji inhibisi enzim tirosinase akan

menggunakan ekstrak enzim tirosinase dari jamur tiram.

Tabel 6. Aktivitas Unit Enzim Tirosinase

Sampel Nilai Absorbansi Aktivitas Unit

Enzim ( U/mL)

Jamur Kuping

(Auricularia sp.) 0,216 0,0039

Jamur Kancing

(Agaricus sp.) 0,037 0,0025

Jamur Tiram

(Pleurotus sp.) 0,646 0,0066

51

Satu aktivitas unit enzim memiliki arti sejumlah ekstrak yang digunakan

untuk mengkatalisis reaksi oksidasi 1 µmol L-dopa per menit (Zhang 2006). Nilai

aktivitas unit enzim yang terbesar didapat pada jamur tiramsebesar 0,0066 U/mL,

jamur kuping 0,0039 U/mL dan terakhir jamur kancing 0,0025 U/mL (Lampiran

7). Berikut adalah gambar nilai aktivitas unit enzim dimulai dari yang memiliki

aktivitas unit enzim terbesar sampai terkecil.

Gambar 28. Grafik Aktivitas Unit Enzim Tirosinase

Nilai aktivitas unit enzim terbesar didapat pada jamur tiram, walaupun

warna jamur kancing dan kuping lebih coklat daripada jamur tiram yang

cenderung berwarna putih. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai

aktivitas enzim tirosinase jamur tiram lebih tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan

komponen sel pigmentasi jamur tiram lebih cepat terjadi daripada jenis jamur

lainnya setelah proses pemanenan. Setelah proses pemanenan, enzim tirosinase

dan substrat yang ada pada sel jamur tercampur sehingga terjadi reaksi. Fenol

yang merupakan bagian enzim tirosinase yang awalnya tidak berwarna. Setelah

bereaksi menjadi quinon kemudian bertransformasi dan terjadi perubahan warna

dari tidak berwarna menjadi pink, ke ungu, ke coklat. Kecepatan reaksi

pencoklatan (browning) ini bergantung pada kuantitas dan besar aktivitas dari

52

enzim tirosinase yang berkaitan dengan pH dan temperaturoptimal jamur (Nichols

1985 dalam Rai dan Arumugunathan 2008).

Warna coklat dan kecoklatan yang dapat dilihat pada jamur kancing dan

kuping sebagian besar akibat kerja aktif enzim tirosinase. Tirosin dan DOPA

merupakan substrat in vivo untuk enzim tirosinase (Rai dan Arumugunathan

2008), sedangkan pada jamur L-glutaminyl-4-hydroxy benzene (GHB) merupakan

substrat alami bagi mushroom tyrosinase (Stussi dan Rast 1981 dalam Rai dan

Arumugunathan 2008). Menurut Robb dan Gutteridge (1981) dalam Rai dan

Arumugunathan (2008) ditemukan bahwa enzim tirosinase pada Agaricus

bisporus (jamur kancing) mengkatalisis monophenols menjadi diphenols yang

mana diphenols ini akan teroksidasi menjadi quinon yang kemudian warna

polymerase menjadi pigmen coklat yang disebut melanin. Selain enzim tirosinase

terdapat pula faktor lain yang dapat menyebabkan warna coklat pada jamur yaitu

(i) interaksi reduksi gula, asam amino dan protein (ii) reaksi oksidasi asam

askorbat dengan protein atau asam amino (iii) reaksi oksidasi polyunsaturated

asam lemak dengan asam amino dan protein serta (iv) karamelisasi gula

(Swaminathan 1988 dalam Rai dan Arumugunathan 2008).

Menurut Stamets (2005) dalam Rai dan Arumugunathan (2008),

kandungan protein jamur A.bisporus Portobello dan A.bisporus Crimni memiliki

jumlah nutrisi yang lebih besar dibandingkan jamur yang lainnya. A.bisporus

Portobello dan A.bisporus Crimni memiliki masing-masing kandungan protein

sebesar 34,44 g/100 g dw dan 33,48 g/100 g dw, kandungan lemak 3,10 g/100 g

dw dan 2,39 g/100 g dw serta kandungan gula sebesar 22,70 g/100 g dan 21,90

g/100 g (Lampiran 10), sedangkan Pleorotus ostreatus dan Pleoratus pulmonaris

(jamur tiram) memiliki kandungan protein, lemak dan gula yang lebih rendah,

yaitu untuk protein sebesar 27,25 g/100 g dw dan 19,23g/100 g dw, kandungan

lemak 2,75 g/100 g dw dan 2,70 g/100 g dw serta kandungan gula sebesar 22,30

g/100 g dan 11,80 g/100 g (Lampiran 10). Saat sebelum proses pemanenan

mungkin reaksi-reaksi non enzimatis yang paling berpengaruh pada pewarnaan

jamur sedangkan setelah proses pemanenan proses enzimatislah yang sangat

mempengaruhi perubahan warna, dimana enzim tirosinase diketahui aktif bekerja

53

bila terkena oksigen di udara (Rai dan Arumugunathan 2008). Oleh karena itu,

mengapa jamur kancing dan jamur kuping yang berwarna lebih coklat (sebelum

pemanenan) memiliki aktivitas unit enzim yang lebih rendah daripada jamur

tiram.

4.6 Uji Inhibisi Enzim Tirosinase

Inhihibitor enzim merupakan zat yang dapat menghambat kerja enzim

sedangkan inhibisi tirosinase merupakan proses penghambatan kerja enzim

menggunakan zat inhibitor tirosinase.

Aktivitas inhibisi dari ekstrak metanol dan etil asetat dari Sargassum

crassifolium, Gracilaria coronopifolia dan daun Carica papaya diukur

menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 475 nm.

Panjang gelombang 475 nm sesuai dengan prinsip alat yaitu mengukur jumlah

unsur berdasarkan jumlah energi cahaya yang diserap oleh unsur tersebut dari

sumber cahaya yang dipancarkan serta berdasarkan penelitian-penelitian

sebelumnya mengenai enzim tirosinase yang menggunakan panjang gelombang

475 nm. Hal ini berkaitan dengan produk yang ingin diketahui nilai absorbansinya

yaitu dopakrom dimana dopakrom memiliki nilai serapan cahaya pada panjang

gelombang 475 nm dan dopakrom ini merupakan hasil oksidasi antara L-tirosin

dan enzim tirosinase, awal mula proses terbentuknya melanin.

Uji inhibisi tirosinase yang pertama menggunakan metode Miyazawa dan

Tamura dalam Supriyanti (2009), kemudian dilakukan modifikasi dengan

menggunakan konsentrasi 25 μg/mL; 50 μg/mL; 75 μg/mL; 150 μg/mL; 300

μg/mL) dan 100 μL larutan tirosinase dengan pengulangan menghasilkan nilai

inhibisi yang tidak berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda nyata ini dimaksudkan

bahwa nilai persentase inhibisi dari konsentrasi sampel tidak jauh berbeda,

sehingga perubahan yang dihasilkan tidak dapat terlihat. Oleh karena itu pada uji

inhibisi kedua konsentrasi sampel diperbesar menjadi 125 μg/mL, 250 μg/mL,

500 μg/mL dan 1000 μg/mL. Pada uji kedua ini, dilakukan pula eksperimen

mengenai waktu yang paling optimal dalam menginhibisi enzim tirosinase karena

pada uji pertama didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata maka ada

54

kemungkinan bahwa waktu inkubasi belum mencapai optimal. Hasilnya pada

sampel dengan proses inkubasi selama ± 1 jam menghasilkan nilai inhibisi yang

tidak berbeda nyata, kemudian saat proses inkubasi dinaikkan menjadi ± 1,5 jam,

nilai absorbansi yang didapat cukup bagus walaupun masih merupakan nilai yang

fluktuatif dan belum mencapai IC50. Karena nilai absorbansi mulai mengalami

penurunan maka dicoba menambahkan waktu inkubasi menjadi ± 3 jam dan ± 12

jam dengan tujuan untuk mendapatkan nilai inhibisi yang baik. Hasilnya nilai

inhibisi dengan waktu inkubasi selama ± 3 jam menjadi lebih kecil daripada saat

diinkubasi selama ± 1,5 jam. Kemudian waktu inkubasi dinaikkan menjadi ± 12

jam untuk mengetahui apakah nilai inhibisi menurun kembali sama seperti saat

pengujian nilai inhibisi dengan waktu inkubasi ± 3 jam. Hasilnya nilai inhibisi

menjadi lebih kecil, tidak sesuai dengan teori dimana yang seharusnya dengan

penambahan ekstrak maka nilai inhibisi menjadi lebih besar. Indikator terjadinya

proses inhibisi enzim tirosinase terlihat dari nilai absorbansi.

Saat waktu inkubasi ± 12 jam terjadi keunikan, dimana sampel yang diberi

konsentrasi hidroquinon berubah warna menjadi coklat, berbeda dengan larutan

uji sampel dan kontrol positif ekstrak daun Carica papaya, warna larutan uji tetap

berwarna kuning bening serta semakin besar konsentrasi hidroquinon semakin

pekat pula perubahan warnanya (Gambar 29).

Menurut Passi et al. 1981 dalam Maeda dan Fukuda 1991, hidroquinon

pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai substrat enzim tirosinase dan

bersaing dengan tirosin. Sehingga diduga bahwa perubahan warna yang terjadi

pada larutan uji karena saat proses inkubasi dengan waktu yang cukup lama

merupakan kondisi dimana hidroquinon berperan seperti substrat bagi tirosinase

sehingga tirosinase lebih aktif bekerja dan menyebabkan warna larutan uji

berubah menjadi coklat.

55

Gambar 29. Larutan Uji dengan Waktu Inkubasi 12 Jam

Langkah selanjutnya setelah proses inkubasi yaitu proses pendinginan

dengan cara didiamkan pada suhu ruangan selama 15 menit bertujuan untuk

memberikan waktu pada enzim tirosinase yang ada pada larutan uji bereaksi

dengan udara seperti yang dituliskan pada buku Post Harvest Technology Of

Mushroom yang ditulis oleh Rai dan Arumugunathan (2008), bahwa enzim

tirosinase sangat aktif bekerja saat mendapat oksigen di udara.

Proses penentuan konsentrasi dilakukan dengan metode stock dimana

terlebih dahulu membuat larutan dengan konsentrasi 2000 µg/mL kemudian

membuat konsentrasi yang lebih kecil (Lampiran 11). Hasil pengujian inhibisi

tirosinase sangat berfluktuatif dan tidak dapat ditentukan nilai IC50, begitupula

dengan hasil dari pengulangan.

Gambar 30. Grafik Hasil Uji Inhibisi Tirosinase dengan Waktu Inkubasi ± 1,5 Jam

56

Persentase inhibisi enzim tirosinase mengalami nilai yang fluktuatif dan

cenderung menurun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jeon et al. (2005)

enzim tirosinase mempunyai suhu dan pH optimal dimana human tyrosinase

enzyme diujikan pada berbagai besar suhu terdapat nilai yang berfluktuatif serta

setelah melewati suhu dan pH optimal kemampuan enzim tirosinase menurun. pH

optimal untuk human enzyme tyrosinase berkisar antara 6-7 sedangkan untuk

mushroom tyrosinase mencapai aktivitas optimum dalam mengoksidasi L-DOPA

pada pH 7 (Jeon et al. 2005). Suhu optimal human tyrosinase enzyme untuk

mengoksidasi L-DOPA adalah 40-50oC dan mengalami penurunan pada suhu >

60oC sedangkan suhu optimal bagi mushroom tyrosinase adalah 40

oC dan

mengalami penurunan aktivitas pada suhu lebih dari 40oC.

Bila kita melihat dari grafik, nilai absorbansi yang didapat kurang baik,

karena apabila sesuai dengan teori seharusnya semakin tinggi konsentrasi maka

semakin besar pula nilai inhibisi yang didapat. Karena semakin banyak zat

inhibitor tirosinase maka akan semakin kecil kesempatan enzim tirosinase untuk

mengubah tirosin menjadi dopaquinon. Tetapi karena enzim yang digunakan

untuk uji inhibisi memiliki aktivitas yang kecil dan bukan merupakan enzim

murni maka diduga terdapat senyawa-senyawa lain yang ikut bereaksi dan

menyebabkan nilai inhibisi berfluktuatif.

Nilai terbaik untuk uji inhibisi enzim tirosinase mulai dari yang tertinggi

adalah S.crassifolium metanol pada konsentrasi 100 µg/mL, G.coronopifolia

metanol pada konsentrasi 100 µg/mL, daun Carica papaya etil asetat pada

konsentrasi 250 µg/mL, S.crassifolium etil asetat pada konsentrasi 250µg/mL,

daun Carica papaya metanol pada konsentrasi 250 µg/mL, G.coronopifolia etil

asetat pada konsentrasi 250 µg/mL terakhir hidroquinon pada konsentrasi 1000

µg/mL. Mengacu pada teori, seharusnya nilai inhibisi terbaik didapat oleh

hidroquinon, karena senyawa hidroquinon ini sudah diteliti dan sangat berpotensi

sebagai agen inhibitor. Dimana dengan konsentrasi 0,01 mM hidroquinon sudah

mampu menghambat aktivitas enzim tirosinase sampai hampir mencapai nilai 0

(Maeda dan Fukuda 1991), melihat kurva yang berubah-ubah saat perbedaan

57

waktu inkubasi disimpulkan bahwa dalam waktu inkubasi ± 1,5 jam bukan

merupakan waktu inkubasi optimal bagi uji inhibisi tirosinase.

Rata-rata nilai inhibisi terbaik didapat pada konsentrasi 100 µg/mL dan

250 µg/mL dan semakin besar konsentrasi nilai inhibisi makin menurun. Hal ini

dapat disebabkan karena pada uji inhibisi ini digunakan enzim tirosinase yang

aktivitasnya kecil yaitu sebesar 0,0066 U/mL sehingga saat konsentrasi agen

inhibitor yang besar enzim tirosinase tidak dapat “menampung” semua senyawa

dari metabolit sekunder untuk bereaksi sehingga senyawa-senyawa sekunder yang

masih ada bereaksi dan membuat larutan uji menjadi lebih keruh oleh karena itu

pada konsentrasi sampel yang tinggi nilai inhibisi menurun. Pada penelitian-

penelitian sebelumnya mengenai uji inhibisi tirosinase seperti yang dilakukan

Supriyanti (2009) nilai yang dihasilkan cukup baik karena menggunakan enzim

tirosinase yang aktivitasnya tinggi sebesar 524,4 U/mL, juga pada penelitian yang

dilakukan Yagi et al. (1986) dengan menggunakan enzim tirosinase dengan

aktivitas unit sebesar 9 U/mL.

Hasil persentase inhibisi pada penelitian ini dengan waktu inkubasi ± 24

jam menunjukkan hasil yang berbeda daripada hasil persentasi inhibisi pada

waktu inkubasi ± 1,5 jam (Lampiran 13). Berikut merupakan grafik inhibisi

dengan waktu inkubasi ± 24 jam.

Gambar 31. Grafik Hasil Uji Inhibisi Tirosinase dengan Waktu Inkubasi ± 24 Jam

58

Pada konsentrasi tertentu nilai persentase inhibisi, baik sampel maupun

kontrol positif cenderung menurun. Hal ini dikarenakan unit aktivitas enzim yang

digunakan tergolong kecil sehingga saat komponen-komponen enzim yang ada

telah bereaksi dengan molekul sampel terdapat molekul-molekul sampel yang

tersisa dan bereaksi dengan buffer yang menyebabkan larutan uji menjadi keruh,

seperti penelitian yang dilakukan Jeon et al. (2005) terdapat fase naik, fase

optimal dan fase penurunan.

Hasil Uji Inhibisi Tirosinase dengan waktu inkubasi ± 24 jam

menunjukkan bahwa sampel dan kontrol positif yang diekstrak menggunakan

pelarut etil asetat hasilnya lebih baik daripada ekstrak yang dilarutkan dengan

metanol. Hal ini menunjukkan hasil yang sama seperti yang dilakukan oleh

Kamkaen et al. (2007) yang mana ekstrak etil asetat buah tropikal mendapatkan

nilai inhibisi tirosinase yang paling besar daripada ekstrak yang dilarutkan dengan

metanol dan hexane. Pada penelitiannya, kojic acid (kontrol) didapat nilai inhibisi

tirosinase dengan hexane sebesar 87,65%, metanol 65,24% dan etil asetat 96,12%.

Hal ini kemungkinan dikarenakan senyawa metabolit sekunder yang terkandung

pada masing-masing ekstrak berbeda walaupun dari sampel yang sama. Dimana

ekstrak pelarut metanol tidak dapat mengekstrak dengan baik senyawa fenol pada

alga, yang pada penelitian ini sangat berperan sebagai agen inhibitor enzim

tirosinase (Anderson dan Markham 2006). Harus dilakukan ekstraksi awal

menggunakan pelarut non polar agar dapat memecah lipid yang terdapat pada alga

sebelum diekstrak menggunakan pelarut metanol.

Hasil uji menggunakan ekstrak etil asetat lebih baik karena etil asetat

dapat mengekstrak senyawa fenol dan flavonoid dengan kepolaran yang rendah

(Anderson dan Karkham 2006) sehingga diduga senyawa yang lebih banyak

mengandung agen inhibitor tirosinase dari S.crassifolium dan G.coronopifolia

terdapat pada ekstrak etil asetat.

Menurut penelitian yang dilakukan Handayani (2004) Sargassum

crassifolium mengandung asam askorbat sebanyak 49,01±0,75 mg/100g dimana

menurut Chang (2012), asam akorbat dapat mereduksi dopaquinon dan

mengurangi o-dopaquinon ke L-DOPA dengan demikian mengurangi

59

pembentukan dopakrom dan melanin. Dihubungkan dengan hasil uji fitokimia,

dimana S.crassifolium secara kualitatif memiliki kandungan tanin, flavonoid dan

steroid yang lebih tinggi daripada G.coronopifolia. Tidak hanya senyawa tanin

dan flavonoid yang memiliki potensi menjadi inhibitor tirosinase tetapi steroid

pun disinyalir mempunyai kemampuan yang sama. Khan (2007) menyatakan

bahwa senyawa steroid memiliki potensi sebagai agen inhibitor tirosinase. Oleh

karena itu esktrak yang berasal dari S.crassifolium dapat lebih baik menginhibisi

enzim tirosinase daripada G.coronopifolia.

Nilai IC50 didapat dari perhitungan analisis probit (Lampiran 14), dimana

nilai konsentrasi IC50 dari yang paling baik pada sampel dengan waktu inkubasi

±24 jam adalah hidroquinon dengan konsentrasi sampel sebanyak 1,026 µg/mL,

ekstrak etil asetat S.crassifolium 1,517 µg/mL, ekstrak etil asetat daun Carica

papaya 2,335 µg/mL, ekstrak etil asetat G.coronopifolia 6,942 µg/mL, ekstrak

metanol S.crassifolium 22,484 µg/mL. Nilai IC50 untuk sampel ekstrak metanol

G.coronopifolia dan esktrak metanol daun Carica papaya bernilai negatif yang

masing-masing bernilai sama yaitu -32,342 µg/mL.

Dilihat dari grafik hasil uji inhibisi dengan waktu inkubasi ± 24 jam

(Gambar 31) dan nilai IC50, dapat dilihat bahwa hasil sampel yang diekstrak

menggunakan pelarut metanol kurang baik. Hal ini dapat disebabkan oleh

senyawa flavonoid yang merupakan senyawa target tidak terekstrak dengan baik

menggunakan metanol karena terdapat jaringan lipid pada alga (Anderson dan

Karkham 2006) atau dapat juga dikarenakan waktu inkubasi yang tidak optimal

bagi ekstrak metanol.

Hidroquinon telah lama diketahui sebagai agen inhibitor enzim tirosinase

yang sangat baik.Namun, penggunaannya dalam kosmetik telah dilarang karena

memiliki efek negatif seperti iritasi, vitiligo, okronosis eksogen, kelainan pada

ginjal dan dapat menyebabkan kerusakan DNA (Westerhof dan Kooyers 2005).

Pada penelitian inipun, hidroquinon merupakan agen inhibitor tirosinase yang

paling berpotensial tetapi saat diinkubasi dengan waktu lebih dari 12 jam, larutan

yang diberi sampel hidroquinon mengalami perubahan menjadi coklat bening,

berbeda dengan larutan uji sampel lainnya yang tetap berwarna kuning bening

60

(Gambar 29). Perubahan warna terjadi karena hidroquinon memiliki potensi untuk

berikatan dengan protein dan menimbulkan reaksi kimia seperti perubahan warna.

Menurut Westerhof dan Kooyers (2005), hidroquinon dan p-benzoquinone dapat

bereaksi dengan DNA membentuk ikatan kovalen.p-benzoquinon mempunyai

kemampuan untuk membelah DNA in vitro menjadi rantai tunggal, menginhibisi

sintesis DNA/RNA, menstimulasi mitogen dan menginhibisi pertumbuhan

lymphocyte. Stillman et al. (2000) dalam Westerhof dan Kooyers (2005)

menemukan bahwa hidroquinon dapat menyebabkan perubahan genetik 5q31 dan

7 pada manusia. Oleh karena itu, pemakaian hidroquinon dalam kosmetik

(pemutih kulit) sudah dilarang.

Nilai IC50 yang paling baik setelah waktu inkubasi ± 24 jam adalah

hidroquinon, setelah itu ekstrak etil asetat S.crassifolium, hal ini sesuai dengan

hipotesis pada awal penelitian dimana senyawa turunan fenol yang yang lebih

dapat terekstrak oleh pelarut etil berpengaruh besar terhadap proses inhibisi

tirosinase. Walaupun pada hasil uji fitokimia tidak terdeteksi senyawa fenol

hidroquinon dan fenolik, namun masih terdapat senyawa metabolit sekunder

flavonoid, steroid dan tanin yang kemungkinan memiliki senyawa turunan yang

dapat dijadikan sebagai agen antipigmentasi.

4.7 Mekanisme Inhibisi Enzim Tirosinase

Enzim tirosinase merupakan monophenols oksigenase. Pada tumbuhan,

enzim ini terlibat dalam proses perlindungan dari stress lingkungan dan juga

berperan penting dalam perubahan warna menjadi coklat ketika kontak dengan

oksigen (O2) (Lande et al. 2010). Dilihat dari struktur kimia enzim tirosinase

dikategorikan ke dalam tipe III copper enzyme karena adanya dua pasang copper

pada wilayah sisi aktif (Gambar 6) yang berfungsi menginisiasi aktivitas enzim

(Ross et al. 1991 dalam Lande et al. 2010).

Proses reaksi kimia senyawa metabolit sekunder tergantung pada cara

kerja mekanisme senyawa tersebut dalam menginhibit enzim tirosinase.

Mekanisme beberapa senyawa dalam menginhibisi tirosinase adalah dengan

berperan langsung sebagai kompetitif inhibitor yang berkompetisi saat terjadi

61

reaksi L-DOPA oleh mushroom tyrosinase contohnya senyawa benzaldehydes

(Jimenez et al. 2001 dalam Khan 2007). Dengan kata lain senyawa kompetitor ini

dan enzim tirosinase akan saling bersaing untuk dapat berikatan dengan tirosin

sebagai substrat mereka pada reaksi oksidasi monophenols (Khan 2007).

Saat zat inhibitor bersaing untuk berikatan dengan substrat tirosinase yaitu

tirosin maka reaksi oksidasi diphenol tidak terjadi. Saat senyawa lain berikatan

dengan tirosin maka bukan DOPA yang terbentuk melainkan produk lain yang

tidak bersifat browning. Proses pembentukan dan penghambatan melanin

tergantung pada jenis senyawa yang berinteraksi dengan tirosin karena setiap

senyawa mempunyai kecepatan aktivitas yang berbeda-beda (Khan 2007).

Gambar 32. Mekanisme Inhibitor

Mekanisme inhibisi tirosinase pada penelitian ini belum dapat diprediksi

karena masih menggunakan ekstrak kasar mushroom tyrosinase dan ekstrak kasar

sampel. Diperlukan enzim dan senyawa inhibitor murni agar reaksi terjadi benar-

benar dapat diketahui secara pasti. Tetapi berdasarkan Khan (2007), senyawa

inhibitor dari eksogenous biasanya bersifat inhibitor kompetitif sehingga diduga

ekstrak S.sargassum dan G.coronopifolia bersifat inhibitor kompetitif.