bab iv hasil dan pembahasan 4.1 pengambilan dan...

32
29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel 4.1.1 Pengambilan Sampel Sampel lamun Enhalus acoroidesdan Thalassia hemprichii secara lengkap bagian tegakannya diambil saat keadaan surut maupun pasang dengan menggunakan benda tajam serta peralatan snorkling standar, hal ini untuk memudahkan pengambilan.Karena menurut Susetiono (2004) lamun adalah tumbuhan yang sebagian tubuhnya terbenam dalam pasir.Sampel diambil dari empat lokasi yang berbeda dengan tujuan agar dapat mewakili lamun dari seluruh bagian pulau pramuka (Lampiran 1). Sampel selanjutnya dimasukan kedalam wadah plastik yang berisi sedikit air laut dan direkatkan kemudian dimasukkan kedalam kotak styroform kedap udara, serta ditambahkan beberapa es batu.Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kondisi sampeltetap baik dan tidak rusak selama perjalanan dari lapangan sampai laboratorium (Lampiran 2). 4.1.1 Persiapan Sampel/ Pembuatan Simplisia Ketika sampai di laboratorium, dilakukan pembuatan simplisia (Lampiran 2) dari lamun yang telah diambil. Menurut Agoes (2007), pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan : a. Pengambilan/pengumpulan bahan baku b. Sortasi basah :Pada tahap ini sampel lamun yang memiliki penampang baik yang dipilih untuk dijadikan sampel c. Pencucian :Pada tahap ini sampel lamun dicuci dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan garam serta epifit yang menempel ditubuhnya. d. Perajangan : Pada tahap ini dilakukan pemisahan bagian – bagian tegakan dari sampel lamun untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan, dan

Upload: vanduong

Post on 02-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel

4.1.1 Pengambilan Sampel

Sampel lamun Enhalus acoroidesdan Thalassia hemprichii secara lengkap

bagian tegakannya diambil saat keadaan surut maupun pasang dengan

menggunakan benda tajam serta peralatan snorkling standar, hal ini untuk

memudahkan pengambilan.Karena menurut Susetiono (2004) lamun adalah

tumbuhan yang sebagian tubuhnya terbenam dalam pasir.Sampel diambil dari

empat lokasi yang berbeda dengan tujuan agar dapat mewakili lamun dari seluruh

bagian pulau pramuka (Lampiran 1).

Sampel selanjutnya dimasukan kedalam wadah plastik yang berisi sedikit

air laut dan direkatkan kemudian dimasukkan kedalam kotak styroform kedap

udara, serta ditambahkan beberapa es batu.Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk

menjaga kondisi sampeltetap baik dan tidak rusak selama perjalanan dari lapangan

sampai laboratorium (Lampiran 2).

4.1.1 Persiapan Sampel/ Pembuatan Simplisia

Ketika sampai di laboratorium, dilakukan pembuatan simplisia (Lampiran

2) dari lamun yang telah diambil. Menurut Agoes (2007), pada umumnya

pembuatan simplisia melalui tahapan :

a. Pengambilan/pengumpulan bahan baku

b. Sortasi basah :Pada tahap ini sampel lamun yang memiliki penampang baik

yang dipilih untuk dijadikan sampel

c. Pencucian :Pada tahap ini sampel lamun dicuci dengan menggunakan air bersih

untuk menghilangkan garam serta epifit yang menempel ditubuhnya.

d. Perajangan :

Pada tahap ini dilakukan pemisahan bagian – bagian tegakan dari sampel

lamun untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan, dan

30

penggilingan. Namun sebelumnya dilakukan pengeringan pada bagian sampel

lamun secara utuh dengan diangin-anginkan terlebih dahulu selama tiga hari.

e. Pengeringan :Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak dan dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama.

f. Penggilingan/sortasi kering

Pada tahap ini, sampel lamun yang telah kering dihaluskan dengan

menggunakan alat penghalus.Jika derajat kehalusan simplisis belum cukup

baik, maka dilakukan pengeringan ulang selama tiga hari untuk selanjutnya

dihaluskan kembali sampai menjadi serbuk.Pada tahap ini juga dilakukan

pemisahan benda asing yang tidak diinginkan.

g. Pemeriksaan mutu

Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kualitas simplisia

lamun dan menghindari faktor – faktor yang dapat merusaknya.Menurut Agoes

(2007) faktor internal dan eksternal yang dapat merusak atau mengubah

kualitas simplisia diantaranya cahaya, oksigen udara, reaksi kimia internal,

dehidrasi, penguapan air, pengotoran, serangga, dan kapang.

4.2 Kandungan Metabolit Sekunder

Kandungan metabolit sekunder dari tiap bagian tegakan lamun Enhalus

acoroides yaitu daun (E.Daun), rimpang (E.Rimpang), akar (E.Akar), daging buah

(E.Buah), biji (E.Biji), dan bunga (E.Bunga), kemudian Thalassia hemprichii

yang terdiri dari daun (T.Daun) dan Rimpang Akar (T.Rimpang Akar)

diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji

alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenol hidrokuinon, saponin dan tanin.

Analisis fitokimia menurut Harborne (1987) dilakukan untuk

menentukanciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang

ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi.Namun tujuan

utamanya adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif

yang berguna untuk pengobatan (Pedrosa et al.. 1978; Farnsworth 1966; Harborne

1966; dalam Mustarichie 2011). Berikut data hasil uji fitokimia yang diperoleh

(Tabel 4) :

31

Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii

Uji Fitokimia

Sampel

Enhalus Thalassia

Daun Rimpang Akar Buah Biji Bunga Daun Rimpang

Akar

Alkaloid

P.Meyer

P.Wagner

+

+

+

+

-

-

-

-

+

+

-

-

-

-

+

++

Flavonoid

HCl

H2SO4

NaOH

-

-

-

-

-

+

-

-

+

-

-

-

-

-

+

-

-

-

-

-

-

-

-

+

Steroid/

Triterpenoid ++ + + ++ + ++ ++ +

Fenol

Hidrokuinon

++ - + ++ + + ++ +

Saponin - - - + ++ - - ++

Tanin + + - + + + ++ ++

Keterangan tabel :- : Negatif+ : Positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar++ : Positif kuat, warna/busa/endapat terlihat jelas

4.2.1 Alkaloid

Pada prosedur pengujian alkaloid, dilakukan penambahan larutan encer

amonia untuk mengubah garam alkaloid menjadi basa bebas.Kemudiansetelah

diperoleh filtrat kloroform dilakukan penambahan asam klorida 2 N untuk

mengubah menjadi hidrokloridanya, selanjutnya diuji dengan beberapa pereaksi

pengendapan yaitu pereaksi meyer dan wagner yang mengandung unsur logam.

Menurut Sastrohamidjojo (1996) dalam Nadjeb (2006) pereaksi yang digunakan

didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang

memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismuth, atau iood.Pereaksi Meyer

dibuat dengan menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan

diencerkan sampai batas 100 ml labu takar.Pereaksi Wagner dibuat dengan cara

32

2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida dilarutkan dengan 10 ml akuades dan

diencerkan sampai 200 ml.

Hasil dari pengujian alkaloid sampel lamun Enhalus acoroides dan

Thalassia hemprichii dengan menggunakan pereaksi meyerdan pereaksi wagner

(Gambar 11), sampel E.Daun, E.Rimpang, E.Biji, dan T.Rimpang Akar diketahui

positif. MenurutSastrohamidjojo (1996) dalam Nadjeb (2006), pereaksi meyer

relatif memiliki sensitivitas paling rendah bila dibandingkan pereaksi wagner dan

pereaksi dragendroff. Pada Gambar 11 (a) bagian pertama merupakan sampel

yang memberikan respon negatif mengandung senyawa alkaloid dengan

menggunakan pereaksi meyer, dan pada bagian keduamenunjukkan hasil yang

positif terbentuk endapat putih kekuningan namun samar bila dibandingkan

dengan endapat cokelat yang terbentuk dengan mengggunakan pereaksi wagner

(b). Endapan yang terbentuk tersebut menurut Mustarichie (2011) diperkirakan

adalah kalium-alkaloid.

a.Dengan pereaksi meyer

b. Dengan Pereaksi Wagner

E.Akar, E.Buah, E.Bunga, T.Daun

( kiri ke kanan)(Atas :E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, )

(Bawah :E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

E.Daun, E.Rimpang, E.Biji, T.Rimpang Akar

Gambar 11.Hasil Uji Senyawa Alkaloid

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae), berbiji satu

(monokotil)dan tumbuhan tingkat tinggi (Sosetiono 2004). Menurut Cordell

33

(1981) dalam Pranata (1997), sebagian besar sumber alkaloid adalah pada

tanaman berbunga, angiosperma (Familia Leguminoceae, Papavraceae,

Ranunculaceae, Rubiaceae, Solanaceae,Berberidaceae) dan juga pada tumbuhan

monokotil (Familia Solanaceae dan Liliaceae). Hal ini dipertegas dengan

pernyataan Harborne (1987), bahwa senyawa alkaloid biasanya tidak terdapat

dalam Gymnospermae, paku-pakuan, lumut, dan tumbuhan rendah.

Pada hasil uji alkaloid terhadap kedua jenis lamun, tidak semua bagian

tegakan lamun mengandung senyawa alkaloid namun hanya pada beberapa bagian

lamun saja.Hal ini dapat terjadi karena senyawa alkaloid terkonsentrasi (kaya

akanalkaloid) pada bagian tertentu karena dibutuhkan oleh bagian tersebut, namun

belum tentu senyawa alkaloid terbentuk pada bagian tersebut.Fungsi alkaloid bagi

tumbuhan menurut Rohmansyah (2011) adalah sebagai pertahanan diri,

pencegahan infeksi, dan persaingan ruang.

Pada tanaman yang mengandung alkaloid menurut Geissman dan Court

(1969) dalam Pranata (1997), alkaloid mungkin terlokasi dengan jumlah yang

tinggi pada bagian tertentu,sepertispecies Datura dan Nicotiana dihasilkan dalam

akar tetapi ditranslokasi cepat ke daun. Contoh lainnya reserpin terkonsentrasi

pada akarRauvolfia sp ; Quinin terdapat dalam kulitCinchona ledgeriana; morfin

terdapat pada getah atau latex Papaver samniferum, alkaloid secara umum

terdapat dalam biji (Nux vomica, Areca catechu), buah (Piperis nigri), daun

(Atropa belladona), akar & rhizoma (Atrpa belladona & Euphorbia

ipecacuanhae) dan pada kulit batang (Cinchona succirubra).

4.2.2 Flavonoid

Senyawa fenol (flavonoid) dapat diidentifikasi dalam suasana asam atau

basa (Harborne 1987).Oleh karena itu seluruh sampel diuji dengan menggunakan

tiga jenis pereaksi.Peraksi asam pertama yang digunakanadalah asam klorida

(HCl), semua sampel menunjukkan hasil warna putih bening setelah ditambahkan

pereaksi sehingga dikatakan negatif mengandung senyawa flavonoid karena tidak

terjadi perubahan warna orange/jingga ataupun buih dengan intensitas

34

banyak.Berikut hasil yang menunjukkan tidak terjadinya perubahan warna pada

seluruh sampel pada uji flavonoid dengan menggunakan peraksi ini (Gambar 12) :

Gambar 12. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Pereaksi HCl(kiri ke kanan)

(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Pereaksi asam kedua yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4).Pada uji

ini setiap sampel tidak menunjukkan perubahan warna kuning merah namun tetap

berwaran hijau/kuning/bening sesuai warna asalnya sebelum ditambahkan

pereaksi, maka seluruh sampel dikatakan negatif mengandung senyawa

flavonoid.Berikut hasil dari uji flavonoid dengan menggunakan pereaksi ini

(Gambar 13):

Gambar 13. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Pereaksi H2SO4

(kiri ke kanan)(Atas : E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah)

(Bawah : E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Pereaksi terakhir yang digunakan adalahbersifat basa yaitu Natrium

Hidroksida (NaOH) 10%. Berdasarkan pereaksi ini, dari seluruh sampel yang

menunjukkan perubahan warna menjadi kuning yaitu E.Rimpang, E.Akar, E.Biji,

35

T.Rimpang sedangkan sampel lainnya tetap berwarna hijau dan tidak

menunjukkan perubahan warna kuning/merah/coklat . Keempat sampel tersebut

dapat dikatakan positif mengandung senyawa flavonoid.Berikut hasil dari uji

flavonoid dengan menggunakan pereaksi ini (Gambar 14) :

Gambar 14. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Peraksi NaOH(kiri ke kanan)

(Atas : E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah)(Bawah : E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Warna yang terbentuk dalam uji ini adalah garam benzopirilum atau garam

flavilium (Achmad 1986 dalam Mustarichiedkk. 2011).Hasil berbeda yang

ditunjukkandari setiap sampel pada pereaksi yang berbeda dimungkinkan karena

respon dari senyawa flavonoid sampel dapat bereaksi dengan pereaksi cenderung

terjadi dalam suasanan basa dibandingkan dengan suasana asam.

4.2.3 Steroid dan Triterpenoid

Secara kimia, prekursor pembentukan triterpenoid/steroid adalah

kolesterol yangbersifat nonpolar sehingga dapat larut dalam lemak.Senyawa

triterpenoid ini terdapat dalam sel tumbuhan dalam sitoplasma(Harborne 1987).

Sehingga pada proses pengerjaan, sangatlah mungkin untuk steroid/triterpenoid

larut dalam pelarut organik seperti kloroform.

Berdasarkan hasil uji fitokimia, dari delapan sampel yang diuji diketahui

ada lima sampel yang menunjukkan perubahan warna biru-ungu sehingga

dikatakan positif steroid yaitu E.Daun, E.Buah, E.Bunga, T.Daun, dan T.Rimpang

Akar. Sampel yang lainnya menunjukkan perubahan warna kemerahan sehingga

dapat dikatakan positif triterpenoid yaitu E.Rimpang, E.Akar, dan E, Biji.Jika

melihat intensitas warna yang ditunjukkan oleh setiap sampel, maka sampel yang

36

menunjukkan positif senyawa steroid lebih jelas bila dibandingkan sampel yang

menunjukkan positif senyawa triterpenoid. Sampel yang paling jelas

menunjukkan positif senyawa steroid adalah E.Daun, diikuti E.Buah, E.Bunga,

kemudian T.Daun dan T.Rimpang Akar yang paling samar. Sedangkan Sampel

yang menunjukkan poitif triterpenoid menghasilkan warna yang cukup

seragam.Sampel E.Buah dan E.Bunga positif mengandung kedua jenis senyawa

yaitu steroid dan triterpenoid karena tetap menunjukkan dua perubahan warna

biru-ungu serta kemerahan. Berikut (Gambar 15) perubahan warna yang

ditunjukkan oleh tiap sampel pada uji steroid dan triterpenoid :

Gambar 15. Hasil Uji Senyawa Steroid dan Triterpenoid( kiri ke kanan)

(Atas :E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, )(Bawah :E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Pada penelitian Rumiantin (2011) lamun Enhalus acoroides diketahui

mengandung jenis senyawa steroid.Sedangkan penelitian Putri (2011) diketahui

bahwa lamun Thalassia hemprichii mengandung senyawa steroid dan

triterpenoid.Menurut Harborne (1987) Senyawa steroid/triterpenoid biasanya

terdapat pada daun, buah, kulit, batang, dan getah, sehingga kemungkinan

berfungsi untuk menolak serangga dan serangan mikroba bagi organisme

penghasil. Kedua senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi seperti

lamun contohnya, kemungkinan adalah tiga senyawa yang disebut fitosterol yaitu

sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Kegunannya untuk manusia biasanya,

terpenoid sepertiminyak atsiri sebagai dasar wewangian, rempah-rempah serta

37

sebagai cita rasadalam industri makanan.Sedangkan steroid biasanya digunakan

dalam bahan dasar pembuatan obat untuk meningkatkan stamina tubuh.

4.2.4 Fenol Hidrokuinon

Hampir semua sampel positif menunjukkan perubahan warna hijau-biru

pada uji senyawa ini, dan hanya sampel E.Rimpang yang tidak menunjukkan

perubahan warna sehingga dapat dikatakan negatif mengandung senyawa ini.Jika

dilihat dari intensitas warna yang paling jelas adalahE.Buah kemudian diikuti

T.Daun, E.Daun, dan sampel lainnya.Warna yang terbentuk tersebut menurut

Harborne (1987) adalah berasal dari fenolat besi, dan reaksi ini dapat berlangsung

hanya dalam suasana asam lemah atau netral.Berikut hasil uji senyawa fenol

hidrokuinon(Gambar 16) :

Gambar 16. Hasil Uji Senyawa Fenol Hidrokuinon( kiri ke kanan)

(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Senyawa ini tersebar luas namun tidak terlalu bermanfaat dalam warna

tumbuhan tingkat tinggi, sehingga sering terdapat dalam kulit, akar, atau dalam

jaringan lain (misalnya daun) tetapi pada pada jaringan tersebut tertutup oleh

pigmen lain.Senyawa ini diduga berpengaruh dalam perkecambahan dan

pertumbuhan pucuk dan akar (Harborne 1987).

4.2.Saponin

Saponin adalah golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur

steroid dan mempunyai sifat-sifat khas dapat membentuk larutan koloidal dalam

38

air dan membentuk buih/busa bila dikocok (Harborne 1987).Pada hasil uji

fitokimia dari delapan sampel, hanya tiga yang membentuk busa ketika

dikocoksehingga positif mengandung senyawa saponin yaituE.Buah, E.Biji, dan

T.Rimpang Akar.Jika melihat tinggi busa yang ditunjukkan maka sampel E.Biji

adalah yang paling tinggi (3 cm) kemudian diikuti T.Rimpang Akar (2 cm) dan

E.Buah (1 cm).Busa ini terlihat stabil tidak hilang pada penambahan HCl 2 N dan

tetap ada lebih dari 30 menit.Busa tersebut menurut Rusid (1990), Marlina

dkk.(2005) dalam Mustarichie dkk.(2011), menunjukkan adanya glikosida yang

mampu membentuk buih dalam air, senyawa glikosida terhidrolisis menjadi

glukosa dan aglikon.Berikut hasil uji senyawa saponin (Gambar 17) :

Gambar 17. Hasil Uji Senyawa Saponin( kiri ke kanan)

(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Saponin bersama dengan senyawa lainnya yaitu tanin dan fenol merupakan

senyawa glikosida yang termasuk kelompok aglikon.Glikosida saponin adalah

glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.Glikosida saponin bisa berupa

saponin steroid maupun saponin triterpenoid.Saponin ini berasa pahit menusuk

dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir.

Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi

hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya

digunakan sebagai racun ikan (Cheek 2005 dalam Nadjeb 2006) .

39

4.2.6 Tanin

Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa hampir semua sampel

menunjukkan perubahan warna hijau kehitaman sehingga dapat dikatakan positif

mengandung tanin, yaitu E.Daun, E.Rimpang, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun,

dan T.Rimpang Akar. Namun, hanya E.Akar yang menunjukkan warna

kekuningan sehingga dapat dikatan negatif mengandung tanin.Jika melihat

intensitas warna yang ditunjukkan, sampel T.Daun dan T.Rimpang Akar

menunjukkan perubahan warna hijau kehitaman yang paling jelas kemudian

diikuti E.Daun dan sampel lainnya.Warna yang timbul menurut Mustarichie

dkk.(2011) adalah terbentuknya senyawa kompleks Fe3+ -tanin dan Fe3+ -polifenol

karena penambahan FeCl3.Kemungkinan tanin yang terdapat dalam tumbuhan

lamun ini adalah jenis tanin terkondensasi.Berikut hasil uji fitokimia dari senyawa

tanin (Gambar 18) :

Gambar 18. Hasil Uji Senyawa Tanin( kiri ke kanan)

(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin, tanin terkondensasi terdapat

di dalam paku-pakuan dan Gymnospermae, serta tersebar luas dalam

Angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sedangkan jenis tanin

lainnya yaitu tanin terhidrolisis penyebarannya hanya pada tumbuhan berkeping

dua. Kedua jenis tanin tersebut dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang sama

seperti yang terjadi pada kulit dan daun ek, Quercus. Senyawa ini memang

terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae, dan jaringan

40

kayu (Harborne 1987).Tanin dalam tubuh dapat melancarkan sistem pencernaan

(Wijayakusuma 2000 dalam Anwariyah 2011).

4.3 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut (Agoes 2007). Tujuan dari proses ini adalah untuk

mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-

komponen aktif (Harborne 1984). Dalam ekstraksi yang dilakukan pada sampel

lamun mengacu pada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi

tanaman obat menurut Agoes (2007) yaitu :

4.3.1 Jumlah Simplisia yang diekstraksi

Jumlah ini digunakan untuk perhitungan dosis obat/ nilai

rendemen.Rendemen adalah perbandingan berat ekstrak yang terkandung dalam

suatu bahan simplisia dengan berat awalnya.Jumlah simplisia lamun yang

digunakan dalam ekstraksi ini adalah 40 g untuk setiap sampel.Berikut

perhitungan nilai rendemen menurut(SNI-19-1705-2000 dalam Prabowo 2009):

Rendemen = berat ekstrakberat awal x 100%Rendemen yang tinggi menunjukkan banyaknya komponen bioaktif yang

terkandung dalam suatu bahan (Rohmansyah 2011).

4.3.2 Jenis Pelarut yang digunakan

Pemilihan Pelarutdidasarkan pada kemampuannya menarik zat yang

diinginkan sehingga mempengaruhi efisiensi proses penarikan zat berkhasiat

tersebut dari taman obat. Pemilihan pelarut juga didasarkan pada sifat zat yang

akan diekstrak, karena setiap zat memiliki kelarutan yang berbeda pada pelarut

yang berlainan (Achmadi 1992 dalam Agustiningrum 2004). Ekstraksi tunggal

dengan hanya menggunakan pelarut metanol dipilih karena didasarkan menurut

hasil penelitian Sarastani et al. (2002) dalam Permatasari (2011) dengan

menggunakan biji atung dan Penelitian Prabowo (2009) yang menggunakan

keong mata merah, menunjukkan bahwa rendemen ekstrak dari hasil ekstraksi

tunggal jauh lebih besar dibandingkan ekstraksi bertingkat. Sedangkan ekstraksi

41

dengan menggunakan pelarut metanol dipilih berdasarkan kemampuannya sebagai

pelarut polar dalam menarik senyawa-senyawa polar yang diinginkan.

Menurut penelitian Rumiantin (2011) yang menggunakan lamun Enhalus

acoroides dan Putri (2011) yang menggunakan lamun Thalassia hemprichii,

diketahui bahwa hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol memiliki

nilai rendemen paling tinggi dan kandungan senyawa fitokimia yang paling

banyak, sebagian besar adalah senyawa yang bersifat polar. Senyawa tersebut

adalah flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tannin. Hal ini diperjelas

dengan hasil penelitian Rahayu (2009) yang menggunakan daun ketapang,

diketahui bahwa kandungan senyawa polar pada ekstrak etanol lebih banyak yaitu

senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, kuinon dan fenolik bila dibandingkan

dengan kandungan senyawa polar pada ekstrak etil asetat yaitu senyawa

flavonoid, alkaloid, dan saponin.

4.3.3 Lama Perendaman dan Proses Ekstraksi

Prinsip yang bekerja pada proses ekstraksi adalah difusi, yaitu perbedaan

konsentrasi antara larutan didalam sel dan konsentrasi cairan ekstraksi diluar sel.

Bahan pelarut mengalir dari luar (konsentrasi tinggi) ke dalam sel (konsentrasi

rendah) yang menyebabkan protoplasma membengkak sehingga kandungan

senyawa metabolit sekunder yang berada di dalam sel akan mengalir atau

berdifusi keluar sel (Achmadi 1992 dalam Agustiningrum 2004). Prinsip ini

secara tidak langsung dapat mengakibatkan perbedaan banyaknya filtrat yang

dihasilkan dari perendaman dan penyaringan setiap sampel.Perbedaan ini

kemungkinan karena perbedaan keterikatan antara pelarut dengan jaringan sel

setiap sampel berbeda.Hasil perbedaan ini terdapat pada Tabel 5.

Metode maserasi yang digunakan didasarkan pada keunggulan metode ini

bila dibandingkan metode ekstraksi lainnya yaitu karena cara ini merupakan

metode yang mudah dilakukan danmenggunakan alat-alat sederhana dengan

merendam sampel dalam pelarut(Andayani et al. 2008 dalam Rumiantin 2011).

Selain itu metode maserasi juga tidak memerlukan suhu yang tinggi, hal ini

42

berkaitan dengan beberapa sifat senyawa yang terkandung yang memiliki

sensitivitas terhadap suhu tinggi.

Dari delapan sampel lamun masing-masing direndam dengan

menggunakan pelarut metanol dengan rasio perbandingan (1:10) atau (40 g : 400

ml). Perendaman dilakukan selama 3 x 24 jam, setelah disaring dihasilkan filtrat

dan residu.Pada residu dilakukan perendaman berulang sampai filtrate berwarna

bening dengan tujuan untuk memaksimalkan penarikan senyawa yang terkandung

dalam sampel lamun. Menurut Harborne (1987) keberhasilan ektraksi pada

jaringan hijau dengan menggunakan pelarut alkohol, berkaitan dengan seberapa

jauh klorofil tertarik oleh pelarut itu ditunjukkan bila ampas jaringan pada ekstrasi

berulang sama sekali tidak berwarna hijau lagi maka dapat dikatakan semua

senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi. Berikut merupakan filtrat

hasil maserasi (Gambar 19) :

Gambar 19. Filtrat(kiri ke kanan)

(Atas :E.Buah, E.Daun, E.Bunga, T.Daun) (Bawah :E.Rimpang, E.Akar, T.Rimpang Akar, E.Biji)

Berdasarkan hasil pada gambar tersebut, terjadi perbedaan warna filtrat

hasil perendaman yang sangat jelas dari setiap sampel. Perbedaan warna filtrat

tersebut bila diurutkan berdasarkan kepekatan, maka filtrat E.Daun memiliki

43

warna hijau yang paling pekat kemudian diikuti filtrat T.Daun dan filtrat E.Buah

berwarna hijau tua, filtrat E.Rimpang berwarna coklat tua, filtrat

E.Bungaberwarna hijaumuda, selanjutnya adalah E.Akar, T.Rimpang Akar, dan

E.Biji yang berwarna sama hijau kekuningan. Perbedaan warna ini kemungkinan

adalah karena perbedaan kuantitas klorofil/karoten yang terkandung dalam setiap

sampel. Menurut Winarno (1997) dalam Masruroh (2004) terdapat hubungan

langsung antara derajat kehijauan dalam suatu bahan pangan dengan kadar

karoten didalamnya.

4.3.4 Suhu/ Temperatur yang digunakan

Filtrat yang telah diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan

Rotary evaporator.Tujuannya adalah untuk mendapatkan ekstrak pekat. Menurut

Agoes (2007), ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi

tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium

pengekstraksi (menstrum) tertentu pula. Suhu yang digunakan untuk pemekatan

ini bukan suhu titik didih pelarut metanol yaitu 65°C namun berkisar anatar 40-

50°C. Hal ini dilakukan karena berdasarkan Harborne (1987) bahwa beberapa

senyawa fenol terutama flavonoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi

karena senyawa tersebut tidak tahan panas dan mudah teroksidasi.

Setelah mendapatkan ekstrak hasil epavorasi, selanjutnya dilakukan uji

kelarutan dengan tujuan untuk meyakinkan ekstrak dalam keadaan murni hanya

mengandung senyawa yang diinginkan tanpa adanya garam yang ikut

terlarut.Ketika ekstrak metanol sampel tidak dapat larut secara sempurna

(Lampiran 3) maka dilakukan penambahan metanol dan penguapan kembali

dengan tujuan melakukan prinsip kristalisasi garam untuk memisahkan garam dari

ekstrak sampai diperoleh ekstrak pekat yang larut sempurna.

Kristalisasi adalah pelepasan pelarut dari zat terlarutnya dalam sebuah

campuran homogen atau larutan, sehingga terbentuk kristal dari zat terlarutnya.

Caranya adalah dengan penguapan, pendinginan, penambahan senyawa lain dan

reaksi kimia. Kristal dapat terbentuk karena suatu larutan dalam keadaan atau

kondisi lewat jenuh (supersaturated), karena pelarut (dalam hal ini metanol)

44

sudah tidak mampu melarutkan zat terlarutnya (dalam hal ini garam), atau jumlah

zat terlarut (garam) sudah melebihi kapasitas pelarut(metanol). Sehingga kita

dapat memaksa agar kristal dapat terbentuk dengan cara mengurangi jumlah

pelarutnya, maka kondisi lewat jenuh dapat dicapai (Zulfikar 2011).Berikut

merupakan ekstrak pekat yang diperoleh (Gambar 20) :

Gambar 20. Ekstrak Pekat(kiri ke kanan)

(Ekstrak pekat metanol E.Daun, E.Bunga, E.Buah, E.Rimpang, E.Akar, E.Biji, T.Daun, T.Rimpang Akar)

Berdasarkan hasil pada gambar tersebut, ekstrak yang didapat memiliki

bentuk yang seragam yaitu pasta namun memiliki warna yang berbeda. Warna

tersebut terlihat hampir sama bila dibandingkan dengan filtrat awalnya sebelum

dipekatkan. Selain perbedaan warna, berat ekstrak yang dihasilkan oleh setiap

sampel bagian lamun juga berbeda sehingga nilai rendemen berbeda pula.

Berdasarkan Penghitungan nilai rendemen (Lampiran 4), jika nilai diurutkan maka

rendemen paling tinggi yaitu E.Daun sebesar 1,41% diikuti T.Daun 0,94%, E.Biji

0,48%, E.Buah 0,46 %, E.Rimpang 0,27%, E.Akar 0,20%, T.Rimpang Akar

0,14%, dan yang paling kecil adalah E.Bunga 0,07% (Gambar 21).

Gambar 21. Diagram Rendemen Sampel

1.410.94

0.48 0.46 0.27 0.2 0.14 0.070

0.5

1

1.5

Rend

emen

%

Sampel

45

Jika dari delapan sampel ini, E.Daun bukan merupakan sampel yang

memiliki kandungan bioaktif paling banyak ketika identifikasi kandungan

metabolit sekunder pada tahap sebelumnya, tetapi nilai rendemen ekstrak yang

tinggi ini dapat disebabkan karena terdapat suatu jenis komponen bioaktif yang

mendominasi atau berada dalam jumlah lebih besarpada E.Daun.Hal ini dapat

terjadi karena ekstrak yang dihasilkan bukan merupakan ekstrak murni yang

hanya mengandung satu jenis komponen bioaktif namun masih berupa ekstrak

kasar. Menurut Harborne (1987), jumlah rendemen ekstrak bergantung pada

kondisi alamiah senyawa, metode ekstraksi, ukuran partikel sampel, kondisi dan

waktu ekstraksi, kelarutan komponen dalam pelarut serta perbandingan sampel

dengan pelarut. Berikut merupakan data yang diperoleh dari hasil ekstraksi dari

delapan sampel lamun (Tabel 5)

Tabel 5. Hasil Ekstraksi lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichiiNO Sampel Berat

Awal

(g)

Pelarut

(ml)

Filtrat

(ml)

Berat

Ekstrak

(g)

Rendemen

(%)

Warna

ekstrak

1 E.Daun 40 400 370 0,5655 1,41 Hijau

kehitaman

2 E.Rimpang 40 400 380 0,1082 0,27 Hijau

kecoklatan

3 E.Akar 40 400 366 0,0824 0,20 Coklat

4. E.Bunga 40 400 382 0,0304 0,07 Hijau

5. E.Buah 40 400 382 0,1862 0,46 Hijau

kehitaman

6. E.Biji 40 400 386 0,1932 0,48 Hijau

kecoklatan

7. T.Daun 40 400 375 0,3770 0,94 Hijau

8. T.Rimpang

Akar

40 400 381 0,0555 0,14 Coklat

4.4 Aktivitas Antioksidan

Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi

dengan melakukan uji aktivitas antioksidan.Metode DPPH dipilih untuk uji

aktivitas antioksidan ini karena memiliki keunggulan diantaranya sederhana,

46

mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang

singkat (Hanani et al. 2005 dalam Permatasari 2011).Metode uji DPPH juga

merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk

memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan,

dan biasanya dipilih metanol sebagai pelarut yang dapat melarutkan kristal DPPH

(Molyneux 2004).

Uji aktivitas antioksidan dilakukan pada kedelapan ekstrak dengan

membuat larutan stok sebanyak 25 ml dari kedelapan ekstrak tersebut terlebih

dahulu dengan konsentrasi yang tidak seragam antar satu sampel dengan sampel

lainnya diantaranya 1000 ppm, 800 ppm, 500 ppm, dan 200 ppm, hal ini berkaitan

dengan ketersediaan ekstrak yang dihasilkan dari tahap sebelumnya (Lampiran 5).

Setelah itu dilakukan pengenceran dengan metode pengenceran dari stokdengan

cara semua volume yang digunakan untuk membuat konsentrasi baru berasal dari

stok tersebut. Vitamin C juga digunakan sebagai kontrol positif dengan

konsentrasi stoknya adalah 5 ppm.Menurut Andarwulan dan Koswara (1992)

dalam Masruroh (2004), vitamin C telah dikenal memiliki kemampuan sebagai

antioksidan karena memiliki kemampuan sebagai pereduksi yang sangat kuat dan

mudah teroksidasi.

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,

dengan mengikat radikal bebas seperti DPPH dan molekul yang sangat reaktif

(Winarsi 2007). Interaksi antioksidan dengan DPPH (Gambar 22) baik secara

transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akanmembentuk molekul

diamagnetik stabil dan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH (Suratmo

2009 dalam Permatasari 2011).

Gambar 22. Reaksi DPPH dengan Antioksidan (Sumber : Astuti 2009)

47

Adanya aktivitas antioksidan dari suatu senyawa dalam sampel dapat

mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol dari

berwarna violet pekat menjadi kuning (Andayani et al. 2008 dalam Permatasari

2011).Perubahan warna tersebut terjadi karena peredaman radikal DPPH

olehsenyawaantioksidan yang dapat memberikanradikal hidrogen kepada radikal

DPPH sehingga tereduksi menjadi DPPH-H(1,1-difenil-2-pikrilhidrazin).

Perubahan warna ini diukur serapannya menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum

untuk DPPH (Molyneuk 2004).Berikut contoh gambar perubahan warna tersebut

(Gambar 23) :

Gambar 23. Aktivitas Antioksidan Melalui Perubahan Warna

Setelah itu dilakukan penghitungan inhibisi setiap konsentrasi (Lampiran

6) sehingga dapat dibuat grafik linier.Grafik linier ini dapat memperlihatkan

hubungan peningkatan konsentrasi setiap sampel atau vitamin C terhadap nilai

inhibisinya dalam menangkal radikal bebas (Lampiran 7).

Berdasarkan penghitungan inhibisi (Lampiran 6) dan grafik liniernya

(Lampiran 7) dari setiap sampel, terlihat bahwa penambahan konsentrasi sampel

yang mengandung senyawa antioksidan sejalan dengan semakin meningkatnya

kemampuan inhibisi dari sampel tersebut dalam menangkal radikal bebas DPPH.

Namun kemampuan menangkal radikal bebas DPPH tersebut berbeda dari setiap

sampelnya. Sebagai contoh pada batas konsentrasi 200 ppm, hanya sampel ekstrak

E.Daun dan kontrol positif vitamin C yang dapat memberikan peredaman radikal

bebas DPPH melebihi 50%. Sedangkan sampel lainnya, pada batas konsentrasi

48

tersebut masih memberikan peredaman radikal bebas DPPH dibawah 50%.

Seperti ekstrak T.Daun, E.Rimpang, T.Rimpang Akar, E.Biji, dan E.Akar masih

memberikan peredaman radikal bebas DPPH pada rentang 10% sampai 20%, dan

sampel ekstrak E.Buah dan E.Bunga dibawah 10%. Untuk mengetahui konsentrasi

yang tepat dalam menangkal radikal bebas DPPH 50% maka dilakukan

perhitungan nilai EC50(Effecient Concentration50%).

Nilai EC50ini diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan

persamaan regresi linier hasil dari grafik linier sebelumnya (Lampiran 7). Nilai

EC50berikut ini merupakan nilai rata-rata dari dua pengulangan pengukuran yang

dilakukan/duplo(Tabel 6) :

Tabel 6. Nilai EC50 Sampel dan Vitamin CNo Sampel/ Vitamin C Konsentrasi EC50 (ppm)

1 Vitamin C 3,13

2 E.Daun 136,4

3 E.Rimpang 656,47

4 E.Akar 833,18

5 E.Bunga 1.978,22

6 E.Buah 1.610,03

7 E.Biji 695,04

8 T.Daun 465,87

9. T.Rimpang Akar 734,61

Besarnya kemampuan setiap sampel yang dibutuhkan sebagai antioksidan

dalam meredam radikal bebas DPPH sebesar 50% berbeda, diperlihatkan dengan

nilai EC50yang diperoleh. Vitamin C dibutuhkan konsentrasi 3,13 ppm, E.Daun

136,4ppm, E.Rimpang 656,47 ppm, E.Akar 833,18 ppm, E.Bunga 1.978,22 ppm,

E.Buah 1.610,03 ppm, E.Biji 695,04 ppm, T.Daun 465,87 ppm, dan T.Rimpang

Akar 734,61 ppm.

Suatu senyawa dikatakan memiliki kemampuan sebagai antioksidan sangat

kuat apabila nilai EC50 kurang dari 50 ppm (Kategori pertama), kuat apabila nilai

EC50antara 50-100 ppm (kategori kedua), sedang apabila nilai EC50berkisar antara

100-150 ppm (kategori ketiga), lemah apabila nilai EC50berkisar antara 150-200

ppm (kategori ketiga), dan sangat lemah apabila konsentrasi lebih besar daripada

itu (kategori keempat) (Molyneux 2004).

EC50dari kedelapan sampel tersebut (Gambar 25

Gambar 24

Berdasarkan diagram

kedalam tiga kategori antioksidan. Vitamin C dengan nilai E

kategori pertama sebagai antioksidan sangat kuat. Sampel E.D

EC50 136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel

T.Daun, E.Rimpang, E.Biji,

nilai EC50berturut-turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm,

833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai

antioksidan lemah/sangat lemah.

Semakin kecil nilai E

tinggi (Molyneux 2004).

sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun

karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya

ditunjukkan dengan nilai E

menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C

sebagai kontrol positif dengan

E.Daun ini masih sangat jauh. Potensi

dibandingkan dengan hasil penelitian Herawati

3,13136,4

656,47

0

400

800

1200

1600

2000

Kon

sen

tras

i EC

50 (p

pm

)

(Molyneux 2004). Berikut merupakan diagram

lapan sampel tersebut (Gambar 25) :

Keterangan :

Antioksidan sangat kuat

Antioksidan sedang

Antioksidan sangat lemah

Gambar 24. Klasifikasi NilaiEC50 Sampel dan Vitamin C

Berdasarkan diagram nilai EC50 diatas, maka hasil penelitian ini termasuk

kedalam tiga kategori antioksidan. Vitamin C dengan nilai EC503,13 ppm masuk

kategori pertama sebagai antioksidan sangat kuat. Sampel E.Daun dengan nilai

136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel

T.Daun, E.Rimpang, E.Biji, T.Rimpang Akar, E.Akar, E.Buah, E.Bunga dengan

turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm,

833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai

antioksidan lemah/sangat lemah.

Semakin kecil nilai EC50 menunjukkan aktivitas antioksidannya semakin

x 2004). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa

sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun

karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya

dengan nilai EC50paling kecil yaitu 136,34 ppm telah mampu

menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C

sebagai kontrol positif dengan nilai EC503,13 ppm maka nilai EC50sampel ekstrak

E.Daun ini masih sangat jauh. Potensi E.Daun juga masih rendah bila

dibandingkan dengan hasil penelitian Herawati dkk.(2011) menggunakan

656,47 695,04465,87

734,61833,18

1610,031978,22

Sampel

49

klasifikasi

Keterangan :

Antioksidan sangat kuat

Antioksidan sedang

Antioksidan sangat lemah

diatas, maka hasil penelitian ini termasuk

3,13 ppm masuk

aun dengan nilai

136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel

, E.Akar, E.Buah, E.Bunga dengan

turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm,

833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai

aktivitas antioksidannya semakin

Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa

sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun

karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya

yaitu 136,34 ppm telah mampu

menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C

sampel ekstrak

juga masih rendah bila

(2011) menggunakan

50

mangrove Sonneratia alba dengan nilai EC5012,2 ppm. Namun hasil ini lebih baik

bila dibandingkan dengan penelitian Prabowo (2009) yang menggunakan sampel

ekstrak keong mata merah dengan nilai EC50967,89 ppm atau penelitian

Rohmansyah (2011) yang menggunakan karang lunak Sarcophytonsp.hasil

transplantasi dengan nilai EC50 1.225,46 ppm. Terlepas dari perbandingan diatas,

sampel E.Daun ini tetap berpotensi sebagai sumber antioksidan alami dengan

kategori sedang.

Ekstrak E.Daun atau T.Daun memiliki aktivitas antioksidan terbaik

dikelompoknya.Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kandungan metabolit

sekunder yang diproduksi terutama senyawa fenol didalamnya.Seperti yang

diketahui bahwa tumbuhan lamun adalah tumbuhan laut yang sebagian tubuhnya

sangat terbenam didalam pasir.Meskipun ketika air laut pasang ataupun surut,

bagian batang, akar, dan rimpangnya tetap terbenam, sedangkan hanya Daun yang

menegak tumbuh diatas substrat.Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa

E.Daun atau T.Daun lebih sering memproduksi senyawa metabolit sekunder,

karena keduanya membutuhkan pertahanan diri yang lebih terhadap

lingkungannya seperti paparan sinar matahari.Namun bagian yang terbenampun

memiliki peluang yang besar dalam memproduksi metabolit sekunder, mengingat

bagian akar dan rimpang ini terbenam masuk kedalam sedimen perairan sebagai

tegakan kokoh.Menurut Lee et al. (2001) dalam Susetiono (2004) Akar dan

Rimpang pada tumbuhan laut berfungsi sebagai penahan sedimen dari adukan

arus, ombak, dan badai. Sedangkan daun memiliki fungsi sebagai pelindung dasar

perairan berikut flora dan faunanya dari kekeringan dan sengatan matahari

Berkaitan dengan pemaparan sebelumnya, bahwa metabolit sekunder

biasanya diproduksi oleh organisme sebagai bentuk pertahanan diri terhadap

lingkungannya.Hal ini dapat menjadi alasan utama bagian daun baik dari lamun

Enhalus acoroides maupun Thalassia hemprichii menjadi yang terbaik.Namun

jika melihat nilai EC50 kedua sampel, maka E.Daun lebih unggul dibandingkan

dengan T.Daun. Menurut Susetiono (2004), lamun Enhalus acoroidesmerupakan

satu-satunya lamun diantara vegetasi lainnya yang paling tahan terhadap faktor

fisik seperti dasar yang terjal, arus pasang surut, dan tingginya laju siltasi dengan

51

syarat sinar matahari dan unsur-unsur nutrisi masih mencukupi. Lamun Enhalus

acoroidesmemiliki daun yang lebih lebat dan lebih tinggi sehingga dapat

menaungi lamun yang lebih rendah. Hal ini dapat berkaitan dengan persaingan

untuk memperebutkan cahaya, ruang serta nutrisi untuk proses pertumbuhannya.

Pada sampel ekstrak E.Buah dan E.Bunga memiliki aktivitas antioksidan

yang sangat rendah, bahkan sangat jauh dibandingkan sampel lainnya

diperlihatkan dengan nilai EC50yang tinggi.Kedua bagian dari tegakan lamun ini

tidak tumbuh sepanjang tahun seperti bagian tegakan lainnya melainkan hanya

pada saat musim barat tiba misalnya pada tahun 2013 adalah pada bulan Januari-

Maret.Hal ini juga dapat menjadi alasan bahwa produksi senyawa metabolit

sekunder untuk pertahanan diri yang dilakukan oleh kedua bagian ini masih

rendah.

Sampel yang digunakan dalam uji aktivitas antioksidan ini adalah masih

ekstrak kasar, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa kemampuan sebagai

antioksidan yang dimiliki oleh sampel ini hanya dari suatu senyawa tanpa adanya

pengaruh dari senyawa lain. Oleh karena itu dilakukan uji tahap selanjutnya yaitu

Uji Total Kadar Polifenol untuk melihat korelasi peningkatan kemampuan

antioksidan dari empat sampel yang terpilih dengan kadar total Polifenolnya.

Pemilihan ini sebagian berdasarkan nilai EC50yang paling rendah dibanding

sampel lainnya.Sampel tersebut adalah E.Daun, E.Rimpang, T.Daun, dan

T.Rimpang Akar.

4.5 Uji Total Polifenol

Senyawa Fenol yaitu senyawa yang berasal dari tumbuhan yang

mempunyai ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua

gugus hidroksil (Harborne 1987). Senyawa ini memiliki sifat oksidasi dalam

menangkal radikal bebas (Panovska et al.2005 dalam Rahayu 2009). Senyawa

fenoltersebut kemungkinan memberikan elektron atau hidrogennya terhadap

radikal bebas DPPH.Menurut Molyneux (2004) Senyawa DPPH merupakan

senyawa radikal bebas bersifat stabil dan dapat bereaksi dengan atom hidrogen

yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi.

52

Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kandungan semua

fenol pada sampel terpilih dan melihat keterkaitannya dengan aktivitas

antioksidan dari setiap sampel tersebut. Pereaksi Folin ciocalteu yang digunakan

menurut Folin dan Ciocalteu (1944) merupakan larutan kompleks ion polimerik

yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat terbuat

dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium

sulfat, dan bromin.Berikut contoh reaksi senyawa fenol dengan pereaksi Folin-

Ciocalteu (Gambar 26)

Gambar 25. Reaksi Senyawa Fenol dengan Pereaksi Folin-Ciocalteu(Sumber : Singleton dan Rossi 1965)

Menurut Singleton dan Rossi (1965) selama reaksi belangsung, gugus

hidroksil dari fenol bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, membentuk

kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru dengan struktur yang belum

diketahui dan dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Warna biru yang

terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang

terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin

banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru

yang dihasilkan semakin pekat. Berikut hasil pengukuran dan penhitungan kadar

polifenol (Lampiran 8), ditampilkan dalam Tabel 7 :

Tabel 7. Nilai Total Kadar PolifenolNo Sampel Kadar Polifenol (%)

1 E.Daun 13,25

2 E.Rimpang 4,58

3 T.Daun 4,86

4 T. Rimpang Akar 3,60

53

Berdasarkan tabel hasil tersebut diatas, maka kadar polifenol yang paling

tinggi terdapat dalam sampel E.Daun dengan nilai 13,25% kemudian diikuti

T.Daun 4.86%, E.Rimpang 4.58%, dan T.Rimpang Akar 3.60%. Hasil ini dapat

memberikan gambaran dari besaran kandungan senyawa fenol yang diduga

memiliki aktivitas antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas DPPH yang

terdapat dalam sampel.Berdasarkan hasil pada tabel tersebut maka terdapat

hubungan antara besarnya senyawa polifenol dengan nilai EC50 yang telah

diperoleh pada tahap sebelumnya. Dimulai dengan aktivitas antioksidan paling

rendah dari sampel T.Rimpang Akar yang memiliki nilai EC50 paling tinggi

karena memiliki nilai kadar polifenol paling rendah yaitu 3,60%. kemudian diikuti

dengan sampel E.Rimpang yang memiliki nilai kadar polifenol 4,58% dan sampel

T.Daun 4,86%. Sampel yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi karena

memiliki nilai EC50 paling rendah dimiliki oleh sampel E.Daun yang memiliki

nilai kadar polifenol paling tinggi yaiti 13,25%.

Bedasarkan hubungan tersebutmaka memperlihatkan bahwa kemampuan

yang dimiliki antara sampel E.Daun, kemudian diikuti T.Daun, E.Rimpang, dan

T.Rimpang Akar dalam menangkal radikal bebas DPPH mengalami penurunan

diperlihatkan dengan nilai EC50 dari masing-masing sampel tersebutmakin tinggi,

hal tersebut sejalan dengan penurunan nilai kadar polifenolnya. Hubungan

tersebut diperlihatkan seperti grafik dibawah ini (Gambar 27)

Keterangan :

E.Daun

E.Rimpang

T.Daun

T.Rimpang Akar

Gambar 26. Korelasi Nilai EC50 dengan Nilai Total Kadar Polifenol

136,4 ; 13.25

465,87; 4.86 656,47; 4.58734,61;3.60

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

0 200 400 600 800

Kada

r pol

ifeno

l (%

)

Nilai EC50 (ppm)

54

Hasil uji tahap ini maka dapat dikatakan bahwa terjadi korelasi atau

hubungan yang cukup erat antara nilai EC50 aktivitas antioksidan dari setiap

sampel dengan kadar total polifenol yang dimilikinya. Maka meskipun uji total

kadar polifenol ini hanya mengambil empat dari total delapan sampel, namun

dapat mewakili keterkaitan antara aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh delapan

sampel pada pembahasan sebelumnya dengan nilai kadar polifenol sampel

tersebut.

4.6 Evaluasi Aktivitas Antioksidan

Pada evaluasi aktivitas antioksidan, dipilih satu ekstrak pekat yang

memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi yaitu ekstrak pekat E.Daun. Tahap ini

dilakukan dengan tujuan untuk melihat aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak

tersebut sebagai contohnya dalam menghambat oksidasi pada minyak yang akan

menghasilkan radikal hidrogen peroksida.

Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen

dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau

tengik. Selain itu penyebab ketengikan juga dapat karena ketengikan oleh enzim,

dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Oksidasi atau pemanasan minyak oleh

oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak dalam waktu yang

lama akan meningkatkan persentase hidrogen peroksida yang juga mempercepat

proses timbulnya ketengikan tersebut, menurunkan nilai gizi karena kerusakan

vitamin dan asam lemak. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu : lamanya

pemanasan, suhu, adanya akselerator, dan komposisi campuran asam lemak

(Ketaren 1986).

Minyak yang digunakan untuk uji ini adalah sampel minyak ikan, minyak

goreng baru, dan minyak goreng setelah dipakai.Menurut Departemen Kesehatan

RI (1998) penambahan antioksidan pada produk makanan adalah maksimal

sebanyak 200 ppm. Maka dari itu konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada

pemaparan sebelum proses oksidasi adalah 0 ppm (tanpa penambahan ekstrak),

136,40 ppm (nilai EC50) dan 200 ppm (Lampiran 9).Setelah itu dilakukan oksidasi

didalam inkubator dengan suhu 40°C untuk mempercepat proses oksidasi pada

55

sampel minyak ikan selama 14 hari, sedangkan minyak goreng baru dan bekas

pakai diinkubasi selama satu hari.

Dalam titrasi iodometri pada proses ini, terjadi reaksi oksidasi-

reduksi.Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan

bereaksi dengan iodin atau senyawa-senyawa iod. Gliserida pada minyak dengan

tingkat ketidakjenuhan tinggi akan mengikat iod dalam jumlah besar (Ketaren

1986). Penambahan asam asetat glasial dan kloroform sebagai pelarut bertujuan

untuk membuat sistem dalam suasana asam.Dalam suasana asam ini biasanya

kalium iodat lebih mudah mengoksidasi ion iodida menjadi iodin. Penambahan

Kalium Iodida berlebih (jenuh) bertujuan untuk membantu melarutkan Iodin,

karena Menurut (Harjadi 1990 dalam Stefie 2012) Iodin sukar larut dalam air

namun mudah larut dalam I- berlebih.

Selanjutnya jumlah Iod dalam KI yang dibebaskan/direduksi oleh

peroksida dititrasi dengan natrium tiosulfat melalui titrasi iodometri dengan

indikator pati.Indikator patidipilih karena menurut Poedjadi (1994) dalam Stefie

(2012) merupakan indikator spesifik berantai lurus yang dapat bereaksi

membentuk kompleks biru tua dengan iodin.Ketika kompleks biru tua ini terjadi,

molekul-molekul iodin bertahan di permukaan β-amilosa dan rantainnya

mengambil bentuk opisal.

Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk mengikat Iod

bebas dalam g lemak yang diselidiki, dihitung untuk melihat nilai bilangan

peroksida minyak (Ketaren 1986) (Lampiran 10). Berikut hasilnya (Tabel 8):

Tabel 8. Nilai Bilangan Peroksida Pada Evaluasi Aktivitas AntioksidanNO Sampel Konsentrasi Ekstrak Pekat

E.Daun

Nilai Bilangan

Peroksida

1 Minyak Ikan Kontrol (0 ppm) 55 meq/kg

EC50 (136.40 ppm) 19 meq/kg

200 ppm 11 meq/kg

2 Minyak Goreng Baru Kontrol (0 ppm) 4 meq/kg

200 ppm 1 meq/kg

3 Minyak Goreng Bekas

pakai

Kontrol (0 ppm) 10meq/kg

200 ppm 2 meq/kg

56

Berdasarkan hasil pada Tabel 8, dapat dikatakan bahwa penambahan

antioksidan ekstrak E.Daun dapat mengurangi ketengikan dari minyak.Hal ini

diperlihatkan dengan nilai bilangan peroksida yang diperoleh.Pada perlakuan 0

ppm atau tidak adanya penambahan antioksidan ekstrak E.Daun, nilai bilangan

peroksida yang diperoleh menjadi yang paling tinggi yaitu 55 meq/kg. Hal ini

dapat terjadi karena tidak adanya penambahan senyawa antioksidan yang dapat

menangkal radikal bebas/ hidrogen peroksida yang terbentuk melalui proses

oksidasi pada sampel minyak. Berbeda halnya dengan perlakuan kedua dan

ketiga. Pada perlakuan kedua yaitu melalui penambahan antioksidan ekstrak

E.Daun sebesar 136,40 (nilai EC50 nya) sebelum pemaparan proses oksidasi, dapat

mengurangi ketengikan minyak dengan nilai bilangan peroksida yang ditunjukkan

sebesar 19 meq/kg. Nilai bilangan peroksida tersebut diperkirakan akan terus

mengalami penurunan sejalan dengan penambahan konsentrasi antioksidan, hal ini

diperkuat dengan nilai bilangan peroksida yang diperoleh pada perlakuan ketiga

yaitu penambahan antioksidan ekstrak E.Daun sebesar 200 ppm dapat

menurunkan hingga 11 meq/kg.

Bilangan peroksida ini merupakan salah satu parameter dalam menentukan

ketengikan minyak.Minyak yang memiliki kualitas baik adalah maksimal sebesar

5 meq/kg (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2011).Jika bilangan peroksida

dalam bahan pangan lebih besar dari 100 meq/kgmaka akan bersifat sangat

beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai

bau yang tidak enak (Ketaren 1986).

Bilangan peroksida pada minyak ikan perlakuan pertama, kedua, dan

ketiga, masih dapat dikatakan tengiksebagaimana standar yang telah ditetapkan

karena nilai yang diperoleh masih berada diatas angka 5 meq/kg.Secara umum,

minyak pada ketiga perlakuan ini masih dapat dimakan karena nilai bilangan

peroksida masih dibawah batas nilai 100 meq/kg, jika mengesampingkan bau

yang tidak enak.

Pada penambahan antioksidan ekstrak E.Daun yang dilakukan pada

minyak goreng masih baru dan minyak goreng yang sudah dipakai (bekas),

konsentrasi antioksidan yang digunakan adalah 0 ppm dan 200 ppm. Pada sampel

57

minyak goreng baru, penambahan antioksidan ini dapat menurunkan ketengikan

hingga empat kali ditunjukkan dengan nilai peroksida pada penambahan

antioksidan 200 ppm yaitu 1 meq/kg, empat kali lebih kecil bila dibandingkan

dengan tidak dilakukan penambahan antioksidan (0 ppm) yaitu 4 meq/kg.

Sedangkan pada sampel minyak goreng bekas, penambahan antioksidan 200 ppm

dapat menurunkan ketengikan hingga lima kali, diperlihatkan dengan nilai

peroksida pada penambahan antioksidan 200 ppm adalah 2 meq/kg dan tanpa

adanya penambahan antioksidan (0 ppm) adalah 10 meq/kg. Sampel minyak

goreng ini baik dengan penambahan antioksidan (200 ppm) atau tidak (0 ppm)

belum mengalami ketengikan kecuali pada konsentrasi 0 ppm pada minyak

goreng bekas telah mengalami ketengikan.

Nilai bilangan peroksida juga dapat memperlihatkan kualitas

minyak.Kualitas minyak paling tinggi adalah maksimal 2 meq/kg(Badan

Pengawas Obat dan Makanan RI 2011).Maka dengan penambahan antioksidan

pada minyak goreng yang masih baru dapat meningkatkan kualitas minyak, hal ini

ditunjukkan dengan nilai bilangan peroksida pada 0 ppm adalah 4 meq/kg menjadi

1 meq/kg pada penambahan 200 ppm ekstrak E.Daun. Berikut (Gambar 28)

memperlihatkan hubungan penambahan antioksidan ekstrak E.Daun pada ketiga

sampel minyak dapat menghambat oksidasi minyak yang dapat mengakibatkan

ketengikan ditunjukkan dengan penurunan nilai bilangan peroksida :

Gambar 27. Hubungan Penambahan Antioksidan Ekstrak Pekat Metanol E.DaunTerhadap Penurunan Bilangan Peroksida

0; 55

136,4; 19

200; 11

0, 4200; 1

0; 10

200; 20

10

20

30

40

50

60

0 100 200 300Nila

i Bila

ngan

Per

oksi

da (m

eq/k

g)

Konsentrasi Antioksidan (ppm)

Minyak Ikan

Minyak Goreng BaruMinyak Goreng Bekas

58

Selain pengaruh konsentrasi ekstrak E.Daun sebagai antioksidan,

diperkirakan adanya pengaruh lamanya oksidasi pula. Pada sampel minyak ikan

yang mengalami pemaparan oksidasi selama 14 hari setelah ditambahkan 200

ppm ekstrak, nilai bilangan peroksidanya masih tinggi sebesar 11 meq/kg. Pada

sampel minyak goreng baru dan bekas yang mengalami pemaparan oksidasi

selama 1 hari setelah ditambahkan 200 ppm ekstrak, nilai bilangan peroksida

terbilang rendah sebesar 2 meq/kg dan 1 meq/kg. Hal ini juga dapat dilihat pada

perlakuan tanpa penambahan ekstrak (0 ppm) pada minyak ikan sangat tengik

dengan nilai bilangan peroksida 55 meq/kgdibandingkan pada minyak goreng

bekas 10 meq/kg dan minyak goreng baru 4 meq/kg.

Suatu senyawa antioksidan dapat menghambat pembentukan hidrogen

peroksida yang terbentuk akibat proses oksidasi, melaui reaksi pada tahap inisiasi,

propagasi, atau terminasi. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan

peroksida dan hidroperoksida.Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam

lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-

asam lemak bebas(Ketaren 1986).Berikut tiga contoh reaksi pembentukan

hidrogen peroksida dan penghambatannya oleh antioksidan (Ketaren1986, Gordon

1990, Winarno 1997 dalam Prabowo 2009):

Tahap Inisiasi/Pembentukan:

Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal bebas (R*) bila terjadi

kontak antara lemak (RH) dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen(Winarno

1997 dalam Prabowo 2009).Radikal lipid inilah yang akan menjadi awal

memasuki tahap propagansi reaksi radikal berantai. Namun bila pada tahap ini,

radikal lipid tersebut dapat dihambat oleh suatu antioksidan yang memiliki

elektron atau ion hidrogen maka akan terbentuk lemak kembali serta radikal

antioksidan yang stabil (A*) bila dibandingkan dengan radikal lipid. Berikut

gambaran reaksinya :

RH + O*-O* panas/cahaya R*(Lemak) (Oksigen) (Radikal lipid)

Penghambatan : R* + AH RH + A*

(Radikal lipid) (Antioksidan) (Lemak) (radikal antioksidan stabil)

59

Tahap Propagasi/Perambatan :

Tahap selanjutnya yaitu propagansi, bila radikal lipid (R*) yang terbentuk

pada tahap sebelumnya terjadi kontak kembali dengan panas, cahaya, ion metal,

atau oksigen maka akan terbentuk radikal peroksida (ROO*) (Gordon 1990). Jika

radikal peroksida tersebut kontak dengan mengikat ion hidrogen lemak baru maka

akan terbentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan radikal lipida baru (R*). Radikal

baru yang terbentuk inilah yang lebih reaktif untuk melakukan reaksi berulang

hingga berantai. Namun bila suatu antioksidan dapat menghambatnya pada proses

ini dengan memberikan ion hidrogen misalnya maka radikal peroksida (ROO*)

yang terbentuk sebelum mengikat ion hidrogen dari lemak, maka akan

membentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan radikal antioksidan yang stabil (A*).

Berikut gambaran reaksinya :

R* + O*-O* ROO*(Radikal lipid) (Oksigen) (Radikal peroksida)

ROO* + RH ROOH + R*(Radikal peroksida) (Lemak) (Hidrogen peroksida)(Radikal lipid baru)

Penghambatan :

ROO* + AH ROOH+ A*(Radikal peroksida) (Antioksidan) (Hidrogen peroksida)(Radikal antioksidan stabil)

Tahap Terminasi/Penghentian :

Jika radikal lipid (R*) atau radikal peroksida (ROO*) tidak dapat dihambat

pada dua tahap sebelumnya dan memasuki tahap ini yaitu terminasi (penghentian),

radikal-radikal tersebut akan menjadi radikal stabil pula yang tidak memiliki

cukup energi untuk bereaksi kembali jika bertemu dengan sejenisnya. Misalnya

radikal lipid baru (R*) bertemu dengan radikal lipid baru (R*) kembali makaakan

terbentuk RR (radikal stabil) dan A* (radikal antioksidan stabil) jika ditambahkan

AH (antioksidan). Berikut gambaran reaksinya:

R*+R* + AH RR + A*(Radikal llipid baru) (Antioksidan) (Radikal stabil)(Radikal antioksidan stabil)

R* + ROO* + AH ROO + R + A*(Radikal lipidbaru)(Radikal peroksida) (Radikal stabil)

ROO* + ROO*+ AH ROO+ROO + A*(Radikal peroksida) (Antioksidan) (Radikal stabil)

60

Namun jika kedua radikal tersebut bertemu kembali dengan radikal lain

yang belum stabil seperti lemak, radikal lipid, radikal peroksida, tanpa adanya

antioksidan maka akan terbentuk reaksi berantai yang menghasilkan radikal-

radikal baru yang lebih reaktif. Pada tahap terakhir ini juga, hidrogen peroksida

(ROOH) yang sangat tidak stabil dapat terpecah menjadisenyawa organik berantai

pendek seperti aldehid, keton, alkohol, dan asam (Winarno 1997 dalam Prabowo

2009).

Golongan fenol termasuk antioksidan yang banyak digunakan karena tidak

beracun (Ketaren 1986).Oleh karena itu kandungan Polifenol khusunya tanin yang

terdapat pada ekstrak E.Daun ini berpotensi menjadi antioksidan dalam bidang

pangan, karena dapat menurunkan ketengikan melalui bilangan peroksida seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya.Menurut Jati (2008) dalam Rumiantin (2011)

tanin bersama senyawa polifenol lainnya merupakan senyawa yangberfungsi

sebagai antioksidan karena ketiga senyawa tersebut adalah senyawa-

senyawafenol, yaitu senyawa dengan gugus –OH (terikat pada cincinaromatik)

yang dapat memberikan ion hidrogennya terhadap radikal bebas.

Peningkatan kadar tanin dalam suatu bahan kemungkinan dapat ikut

meningkatkan kandungan katekinnya, dimana tanin merupakan senyawa turunan

dari katekin. Penelitian secara epidemiologis, konsumsi teh hijau yang banyak

mengandung senyawa polifenol seperti katekin dan turunannya dapat

meminimalisir kanker (Yu et al. 1995 dalam), mencegah penyakit jantung dan

stroke, menstimulir sistem sirkulasi, memperkuat pembuluh darah, menurunkan

kolesterol dalam darah, dan antidiabetes (Yang dan Landau 2000, McKay dan

Blumberg 2002, Ikeda 2008, Maeta 2007, dalam Damayanthi dkk. 2008).