bab iv hasil dan pembahasan 4.1 pengolahan data...
TRANSCRIPT
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengolahan Data Citra
4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009
dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk memetakan sebaran lamun. Citra
yang digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik secara sistematik.
Selain itu, tujuan dari koreksi geometrik ini untuk melakukan pemulihan citra
(restoration) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi. Sistem
koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik ini adalah proyeksi UTM
(Universal Transverse Mercator) zone 50 Selatan (Gambar 11) dengan datum
WGS 1984.
Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia
(Sumber: kampungminers.blogspot.com)
Koreksi geometrik dilakukan dengan cara memilih titik kontrol lapangan
(Ground Control Point/GCP) yang tersebar merata pada citra agar memperoleh
ketelitian yang lebih baik. Titik kontrol lapangan yang dipilih diutamakan
merupakan titik-titik yang permanen seperti perpotongan jalan, sungai, muara
34
sungai, pulau kecil dan titik-titik lain yang dianggap tidak berubah posisi dalam
jangka waktu yang lama.
Penentuan GCP minimal 4 titik secara otomatis akan dapat diketahui nilai
RMS (Root Mean Square) Error (Lampiran 1), sehingga dapat dilihat GCP yang
memiliki nilai kesalahan terbesar dan dapat dihitung kesalahan rata-rata (RMS
rata-rata) dari semua GCP. Nilai rata-rata RMS tidak boleh melebihi dari limit
kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi (2010) RMS error secara umum
nilainya kurang dari 0,5 pada setiap pixel (Image cell). Sedangkan koreksi
radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang
seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai
sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek
dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai
aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil
karena proses serapan.
4.1.2 Pemotongan Citra (Cropping) dan Kombinasi Band
Citra hasil koreksi kemudian dilakukan cropping sesuai dengan lokasi
penelitian dengan tujuan memfokuskan area penelitian yang ingin dikaji. Proses
pengolahan data citra, cropping untuk memfokuskan wilayah perairan di Nusa
Lembongan yang secara visual terdeteksi adanya padang lamun.
Tahun 2007 Tahun 2010
Gambar 12. Posisi Ground Control Point pada Citra
35
Gambar 13. Cropping Citra Tahun 2007
Gambar 14. Cropping Citra Tahun 2009
Gambar 15. Cropping Citra Tahun 2010
36
Penampakan citra visual yang lebih tajam menggunakan komposit citra.
Citra komposit warna merupakan paduan citra dari tiga saluran yang berbeda.
Penyusunan citra komposit warna dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
visual yang lebih baik sehingga pengenalan obyek dan pemilihan sampel dapat
dilakukan. Pembuatan citra komposit warna dilakukan dengan memberi warna
dasar merah, hijau dan biru pada tiga saluran spektral yang dipilih.
Citra komposit warna yang dibuat dalam penelitian ini adalah citra
komposit RGB (Red-Green-Blue) dengan pemilihan kanal (band) 3-2-1 pada citra
ALOS AVNIR2. Pemilihan ketiga kanal (band) ini dilakukan karena komposit
band tersebut paling sesuai untuk melihat penampakan dari tutupan lahan.
Komposit red menggunakan band 3 yang sesuai untuk mendeteksi lahan/tanah
kering. Semakin tinggi nilai digitalnya maka kenampakan di citra akan berwarna
semakin merah. Komposit green menggunakan band 2 yang sesuai untuk
mendeteksi klorofil pada vegetasi. Klorofil yang tinggi di daratan akan
memberikan nilai digital pantulan yang tinggi dan ditunjukkan dengan warna
hijau tua. Daerah yang berair dideteksi dengan menggunakan band 1 pada
komposit blue sehingga daerah perairan digambarkan dengan warna biru. Biru
muda menunjukkan perairan dangkal dengan kandungan sedimentasi yang cukup
tinggi dan biru tua menunjukkan perairan yang lebih dalam dan cenderung lebih
jernih (Amran 2010).
4.1.3 Masking dan Algoritma Lyzenga
Tahap awal pemrosesan citra, setelah menggabungkan tiga band citraRGB
(Red-Green-Blue) pada citra satelit ALOS AVNIR2 dilakukan masking. Tujuan
dilakukannya masking ini untuk memisahkan batas wilayah antara darat dan laut
dengan menggunakan band 4 (infrared). Masking dalam penelitian ini dilakukan
secara manual dengan menggunakan file vektor. Teknik ini digunakan karena
band 4 pada citra tidak tersedia. Penggunaan algoritma Lyzenga untuk
mengetahui kondisi lamun yang diawali dengan pembuatan training area
berjumlah minimal 30 region. Penentuan ketiga puluh region tersebut dilakukan
pada obyek atau area pada citra yang secara visual dapat diduga atau diidentifikasi
sebagai bagian dari ekosistem padang lamun. Hal ini memerlukan bimbingan
37
seorang interpreter, memiliki dasar pengetahuan interpretasi citra, juga perlu
memahami sifat atau karakteristik padang lamun, terutama tentang sebarannya
(Bintar dkk. 2005).
Hasil dari pemilihan training area, dicari nilai ragam (varian) dan peragam
(covarian) dari band 1 dan band 2. Dalam melakukan perhitungan statistik ini
dapat dibantu dengan menggunakan perangkat lunak MS Excel. Kemudian, dalam
mencari koefisien attenuasi untuk memperjelas hasil data citra kelas lamun (ki/kj),
berdasarkan hasil perhitungan ragam dan peragam maka digunakan formula :
dimana :
Hasil dari proses ini didapatkan nilai rasio koefisien band 1 dan band 2
(ki/kj) dimana nilai yang diperoleh untuk setiap cropping citra (Tabel 6), antara
lain :
Tabel 6. Nilai Rasio Koefisien Band 1 dan Band 2 (ki/kj)
No. Tahun Nilai ki/kj
1 2007 0,505
2 2009 0,610
3 2010 0,672
Nilai ki/kj pada cropping citra di pulau Nusa Lembongan mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Menurut Setiawan (2012) bahwa perbedaan nilai (ki/kj)
tergantung terhadap panjang gelombang band dan tingkat kekeruhan airnya.
Setelah mendapatkan nilai ki/kj, kemudian nilai tersebut di masukkan ke
dalam formula Lyzenga. Penerapan algoritma ini dimaksudkan untuk memperoleh
38
gambaran visual lebih baik untuk obyek-obyek bawah permukaan air, termasuk
padang lamun (Lampiran 3). Metode yang digunakan mengacu pada metode asli
yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Adapun formulanya sebagai berikut:
Lyzenga (Y) = (log(b1))+(nilai ki/kj*log(b2))
Keterangan :
b1 = band 1(biru)
b2 = band 2 (hijau)
ki/kj = nilai koefisien atenuasi
(Lyzenga 1981)
Hasil dari algoritma Lyzenga berupa tampilan citra baru yang
menampakkan kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada
histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan
(Lampiran 2). Citra hasil hasil transformasi disajikan dalam colour LUT Rainbow.
Kunci interpretasi citra yang digunakan sebagai acuan dalam membantu
mengindentifikasi fitur dan menentukan warna pada transformasi algoritma
Lyzenga adalah colour LUT Rainbow. Kunci interpretasi dibagi menjadi 7 (tujuh)
kelas berdasarkan transformasi yang dilakukan COREMAP (2001) yaitu :
Warna Ungu gelap adalah daratan
Warna biru dan ungu adalah laut
Warna kuning adalah pasir
Warna cyan – hijau tegas adalah terumbu karang hidup
Warna merah adalah karang mati
Warna cyan – biru menyebar adalah kekeruhan perairan
Warna coklat bercak – bercak atau orange adalah lamun
Berdasarkan hasil algoritma Lyzenga tersebut untuk citra tahun 2007
mengalami banyak kekeliruan, warna hijau yang mengindikasikan untuk terumbu
karang hidup dan warna kuning untuk pasir namun secara visual merupakan
kekeruhan pada gambar citra yang ditangkap oleh satelit. Pada citra tahun 2009
terjadi kekeliruan dalam interpretasi, sebagian laut berwarna hijau dan sedikit
39
warna kuning karena secara visual juga terjadi kekeruhan pada citra. Sedangkan
pada citra tahun 2010 tidak terjadi banyak kekeliruan dalam interpretasi hanya
saja terdapat awan yang ditunjukkan warna ungu gelap sehingga dapat
mempengaruhi nilai spektral saat identifikasi citra terhadap warna daratan.
Keterbatasan penggunaan metode algoritma Lyzenga menurut Green et al. (2000)
adalah adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga bayangan awan akan
mempengaruhi nilai spektral citra. Namun, dimana sifat air cukup konstan,
metode algoritma Lyzenga sangat baik untuk meningkatkan interpretasi visual
citra dan akurasi pada saat klasifikasi.
4.1.4 Klasifikasi Citra
Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang
didasarkan pada algoritma Lyzenga sebagai kunci interpretasi. Kelas yang
dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral yaitu kelas
didasarkan pada nilai natural spektral citra (Lampiran 3). Setiap kelas habitat
dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda.
Klasifikasi citra dibagi menjadi 100 kelas agar lebih memudahkan dalam
penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang dihasilkan cukup banyak dan
warna yang ditampilkan terlalu beragam yang selanjutnya di reclass menjadi 6
kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, darat dan laut dalam
sesuai kunci interpretasi yang digunakan COREMAP (2001) (Lampiran 4). Proses
klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang sama dengan
menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software Arc GIS 9.3
berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan pengeditan
warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan untuk
memperbaiki keakuratan perhitungan luasan dan menghilangkan fitur yang tidak
diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan dan kekeruhan (Lampiran 5). Hasil
tersebut masih perlu diakurasikan keakuratannya dengan survei lapangan sehingga
hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai informasi
sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan. Dalam penelitian ini survei lapangan
sebagai validasi pada klasifikasi citra tahun 2007, 2009 dan 2010.
40
4.2 Survei Lapangan (Ground Check)
Kegiatan survei lapangan pada penelitian ini dilakukan di sekitar perairan
Nusa Lembongan selama 3 hari (12,13,14 April 2013). Pengamatan kondisi lamun
dengan transek kuadrat dan pengukuran parameter lingkungan perairan dilakukan
pada sore hari ketika air laut sudah surut agar mempermudah dalam pengambilan
data survei lapangan. Survei lapangan dilakukan untuk melengkapi dan
membuktikan hasil interpretasi citra satelit yang masih meragukan. Survei yang
dilakukan dengan memilih beberapa titik sampel secara acak dan perlu dibuktikan
kebenarannya dan melakukan pengukuran mengenai posisi objek dengan
menggunakan GPS (Global Positioning System), kemudian hasil dari survei
lapangan untuk melihat kesesuaian hasil pengecekan dilapangan dengan hasil
interpretasi dari citra satelit ALOS AVNIR2 yang dituliskan pada form validasi
data (Lampiran 5). Karakteristik citra ALOS AVNIR2 dengan resolusi spasial 10
meter cukup akurat dalam mendeteksi geomorfologi padang lamun dengan baik.
Lokasi penelitian terbagi dalam lima stasiun yang menyebar diseluruh
daerah perairan Nusa Lembongan, titik stasiun I (08o39'48.8'' LS dan 115
o27'21.5''
BT), titik stasiun II (8°41'27.4" LS dan 115o27'11.8'' BT), titik stasiun III
(8°41'40.5" LS dan 115o26'15.3'' BT), titik stasiun IV (08
o40'57.7'' LS dan
115o25'58.3'' BT) dan titik stasiun V (08
o40'45.4'' LS dan 115
o26'43.9'' BT).
Berdasarkan pengamatan lapangan selama penelitian, Nusa Lembongan
memiliki karakteristik pantai yang beragam, diantaranya:
1. Pantai berpasir halus yang merupakan perairan pantai dangkal dan relatif
tenang.
2. Pantai berpasir bercampur pecahan karang (coral rubble) yang merupakan
daerah yang perairan pantainya mendapatkan aksi gelombang yang besar
sehingga mengakibatkan pecahan-pecahan karang.
3. Pantai bertebing terjal merupakan dasar perairan pantai yang dalam, tidak
dipengaruhi oleh pasang surut dan mendapatkan aksi gelombang yang
besar.
4. Pantai bermangrove merupakan pantai dangkal dan landai yang
dipengaruhi oleh pasang surut.
41
4.3. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan
Parameter fisik kimia suatu perairan memegang peranan yang penting
dalam menunjang kehidupan organisme di suatu perairan, terutama ekosistem
lamun karena kondisi parameter fisik kimia perairan secara langsung atau tidak
langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.
Karakteristik fisik kimia pada suatu habitat akan mendukung suatu struktur
komunitas biota yang hidup di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka
pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan untuk mengetahui
bagaimana kondisi perairan yang ditumbuhi ekosistem lamun di perairan Nusa
Lembongan (Tabel 7).
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan
No. Parameter Stasiun
I II III IV V
1 Suhu (oC) 25,5 26,3 26,6 27,2 27,1
2 Kecerahan (%) 100 100 100 100 100
3 Kecepatan Arus (m/det) 0,043 0,057 0,051 0,086 0,077
4 Kedalaman (cm) 44,4 58,7 62,1 83,3 76,5
5 Salinitas (o/oo) 30 31 31 34 32
6 pH 7,91 8,34 8,23 8,21 8,10
4.3.1 Suhu
Gambar 16. Diagram Suhu Perairan
25.5
26.3
26.6
27.227.1
24.5
25
25.5
26
26.5
27
27.5
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Su
hu
Pera
iran
(oC
)
Suhu
Perairan
42
Berdasarkan hasil pengukuran suhu pada kelima stasiun pengamatan
diperoleh nilai yang berkisar antara 25 - 27 oC. Suhu daerah tersebut tergolong
dengan temperatur yang cukup rendah dikarenakan pengamatan dilakukan pada
bulan April yang merupakan musim peralihan dari musim Barat ke musim Timur .
Nilai-nilai tersebut terlihat bahwa suhu perairan di setiap lokasi pengamatan
relatif sama dan berada dalam kisaran yang normal di perairan tropis. Suhu
terendah terjadi pada stasiun I, yaitu 25,5 oC dan suhu tertinggi pada stasiun IV,
yaitu 27,2 oC.
Kondisi suhu di perairan pesisir pada umumnya selalu berfluktuasi karena
dipengaruh oleh faktor oseanografi lautan. Pada saat terjadi surut suhu perairan
relatif lebih tinggi dibanding pada saat pasang, sebaliknya pada saat air pasang
suhu perairan pesisir relatif lebih rendah (Alhanif 1996).
4.3.2 Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan perairan pada kelima stasiun lokasi
pengamatan menunjukkan nilai kecerahan mencapai 100 % karena perairan relatif
dangkal berkisar antara 44,4 - 83,3 cm dan dapat memberikan informasi yang
lebih tepat. Menurut Sunnudin (2012), kecerahan mempengaruhi pertumbuhan
lamun, kecerahan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke perairan.
Lamun dapat beradaptasi dengan perairan keruh selama masih terdapat sinar
matahari masih mencukupi untuk kelangsungan hidupnya. Kerusakan lamun dapat
terjadi karena kekurangan cahaya akibat terjadinya kekeruhan atau banyaknya
sedimen sehingga menyebabkan lamun sulit untuk berfotosintesis.
4.3.3 Kecepatan Arus
Arus air daerah tubir (daerah yang dalam di laut) sampai ke tengah di
sekitar perairan Nusa Lembongan relatif keras karena berkaitan dengan letak
geografis perairan dalam Indonesia di sebelah utara. Faktor yang cukup dominan
yang mempengaruhi gerak arus adalah angin dan gelombang. Disamping itu,
dangkalnya perairan dan keberadaan komunitas lamun juga mempunyai pengaruh
yang besar dalam memperlambat gerak arus (Hamid 1996).
43
Gambar 17. Diagram Kecepatan Arus Perairan
Hasil pengukuran kecepatan arus pada kelima lokasi stasiun pengamatan
menunjukkan nilai dengan kisaran antara 0,043 - 0,086 m/det. Kecepatan arus
terendah pada stasiun I, yaitu 0,043 m/det. Sedangkan kecepatan arus pada stasiun
IV lebih tinggi dibandingkan keempat stasiun lainnya. Hal ini terjadi disebabkan
karena lokasi stasiun IV merupakan daerah yang langsung menghadap ke selat
Badung yang memisahkan Pulau Nusa Penida dengan Nusa Lembongan.
Berdasarkan penelitian Alhanif (1996) bahwa selat Badung memiliki arus yang
sangat kuat terutama pada saat terjadi perubahan air dari pasang menjadi surut
atau sebaliknya.
Bagi padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh nyata terutama
tinggi rendahnya produktivitas padang lamun. Turtle grass mempunyai
kemampuan maksimal menghasilkan biomassa pada saat kecepatan arus sekitar
0,5 m/det (Berwick 1983).
4.3.4 Kedalaman
Kedalaman perairan pesisir sangat berkaitan dengan fenomena pasang
surut. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman saat survei lapangan diperoleh
kedalaman rata-rata dibawah 1 m. Kedalaman perairan lokasi penelitian berturut-
turut dari stasiun I sampai V diantaranya 44,4 cm; 58,7 cm; 62,1 cm; 83,3 cm dan
0.043
0.0570.051
0.086
0.077
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
0.1
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Kece
pat
an A
rus
Pera
iran
(m
/det)
Kecepatan
Arus
Perairan
44
76,5 cm. Menurut Sitania (1998), kisaran kedalaman tersebut merupakan
kedalaman ideal untuk pertumbuhan vegetasi lamun karena komunitas lamun
berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu
dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Pengukuran kedalaman
dilakukan ketika keadaan surut, yaitu sore hari yang bertujuan agar perhitungan
persentase tutupan dan jumlah tegakan lamun dapat dilakukan dengan mudah.
Gambar 18. Diagram Kedalaman Perairan
4.3.5 Salinitas
Gambar 19. Diagram Salinitas Perairan
44.4
58.762.1
83.3
76.5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Ked
alam
an P
era
iran
(cm
)
Kedalaman
Perairan
30
31 31
34
32
28
29
30
31
32
33
34
35
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Salin
itas
Pera
iran
(o/ o
o)
Salinitas
Perairan
45
Nilai salinitas optimum untuk lamun adalah 35 o
/oo (Berwick 1983).
Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan pertumbuhan
(Berwick 1983). Hasil pengukuran salinitas pada kelima stasiun pengamatan
diperoleh nilai masing-masing 30 o
/oo, 31 o
/oo, 31 o
/oo, 34 o
/oo dan 32 o
/oo.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa fluktuasi salinitas tidak terlalu
besar dan merupakan kisaran yang menunjang laju pertumbuhan pada lamun.
Salinitas di perairan dipengaruhi oleh penguapan dan jumlah curah hujan.
Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan yang turun di suatu perairan rendah yang
menyebabkan penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka
penguapan berkurang dan salinitas menjadi rendah (Berwick 1983). Kegiatan
survei lapangan di Nusa Lembongan dilakukan saat curah hujan cukup tinggi
sehingga mengakibatkan nilai pengukuran salinitas pada kelima stasiun cukup
rendah.
4.3.6 Derajat Keasaman (pH)
Nilai derajat keasaman (pH) pada suatu perairan sering kali dijadikan
acuan untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan karena memiliki pengaruh
yang besar terhadap organisme perairan. Air laut mempunyai kemampuan untuk
menyangga (buffer) yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan
pH dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga, hal ini
dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat
membahayakan kehidupan biota laut (Fardiaz 1992).
Nilai derajat keasaman (pH) yang terdapat pada lima stasiun pengamatan
berkisar antara 7,90 - 8,34. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pH perairan
cenderung bersifat basa dan termasuk kisaran normal bagi pH air laut di Indonesia
yang pada umumnya bervariasi antara 6,0 - 8,5 (Fardiaz 1992). Pada kisaran pH
tersebut dapat disimpulkan bahwa perairan yang menjadi lokasi pengamatan
termasuk dalam nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan lamun.
46
Gambar 20. Diagram Derajat Keasaman Perairan
4.4 Karakteristik Substrat
Padang lamun mampu tumbuh pada hampir seluruh tipe substrat mulai
dari substrat lumpur sampai substrat keras seperti batuan dan karang, namun pada
umumnya jenis-jenis tertentu hanya dapat tumbuh dengan baik pada satu tipe
substrat saja (Irfania 2009).
Berdasarkan hasil analisis besar butir substrat yang terdapat pada kelima
stasiun pengamatan yang kemudian diolah dengan software Kummod dapat dilihat
pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Analisis Besar Butir Substrat dengan Software Kummod
Stasiun Kerikil
(%)
Pasir
(%)
Lanau
(%)
Lempung
(%) Tipe Substrat
I 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan
II 1,6 98,4 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan
III 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan
IV 2,5 97,5 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan
V 14,1 85,9 0,0 0,0 Pasir kerikilan
Tipe substrat pada kelima stasiun pengamatan di perairan Nusa
Lembongan sebagian besar terdiri dari pasir. Secara umum seluruh stasiun
memiliki komposisi pasir yang besar, yaitu sekitar 85,9 % - 98,4 % dan sedikit
komposisi kerikil yang berkisar antara 1,6 % - 14,1 %. Pada kelima stasiun
7.91
8.34
8.23 8.21
8.1
7.6
7.7
7.8
7.9
8
8.1
8.2
8.3
8.4
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Dera
jat K
eas
aman
Pera
iran
Derajat
Keasaman
Perairan
47
pengamatan tidak terdapat komposisi lanau dan lempung. Klasifikasi tipe substrat
seperti berbatu, berpasir, pasir berkerikil dan kerikil berpasir dan lainnya didasari
oleh komposisi partikel yang terkandung pada substrat.
4.5 Sebaran Lamun di Perairan Nusa Lembongan
Penyebaran lamun di Perairan Nusa Lembongan dalam penelitian ini
berupa peta tematik dari hasil interpretasi citra lamun dan klasifikasi lainnya. Peta
tematik digunakan untuk mewakili informasi tertentu mengenai suatu daerah, peta
tematik yang dihasilkan berupa peta klasifikasi dasar perairan dangkal tahun 2007,
2009 dan 2010 (Gambar 21 - 23).
Tabel 9. Luas Perubahan Kelas di Nusa Lembongan Tahun 2007 - 2010
Kelas Area (Ha) Area Perubahan
2007 2010 Ha %
Lamun 177,7 130,9 46,8 26,3 -
Karang Hidup 49,2 37,4 11,8 23,9 -
Karang Mati 37,8 68,7 30,9 81,7 +
Pasir 139,7 167,4 27,7 19,8 +
Keterangan : (+) peningkatan; (-) penurunan
Luasan citra yang terklasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2010 mengalami
perubahan luasan, baik peningkatan dan penurunan. Pada kelas lamun dan karang
hidup terjadi penurunan luasan sedangkan kelas karang mati dan pasir mengalami
peningkatan luasan.
Hasil klasifikasi dan interpretasi citra didapatkan luasan padang lamun di
perairan Nusa Lembongan pada tahun 2007 mencapai 177,7 ha sedangkan pada
tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 130,9 ha. Dari hasil analisis area
perubahan, dapat dilihat bahwa penurunan luasan padang lamun sebesar 46,8 ha
atau terjadi penurunan persentasenya sebesar 26,3 %. Perubahan luasan padang
lamun pada peta akibat terdegradasinya lamun menjadi karang hidup, karang mati
atau pasir dan begitu juga sebaliknya. Hasil dari peta wilayah keberadaan jenis
ekosistem di harapkan dapat digunakan sebagai langkah awal acuan sebagai
penentuan kawasan konservasi.
48
Gambar 21. Peta Sebaran Lamun Tahun 2007
Gambar 22. Peta Sebaran Lamun Tahun 2009
49
Gambar 23. Peta Sebaran Lamun Tahun 2010
Perubahan padang lamun yang disebabkan baik oleh aktivitas manusia
disekitar tumbuhnya lamun di perairan Nusa lembongan seperti jalur navigasi,
budidaya rumput laut dan kegiatan lainnya maupun akibat perubahan kondisi alam
yang menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya ekosistem dan
keanekaragaman hayati yang dikandungnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan
deteksi perubahan padang lamun dengan menggunakan teknologi penginderaan
jauh yang memiliki fungsi untuk merekam data dan informasi secara luas,
berulang dan lebih terinci dalam mendeteksi perubahan suatu ekosistem.
Deteksi perubahan padang lamun yang terjadi di perairan Nusa
Lembongan dapat dilihat secara visual dengan melakukan perbandingan peta
sebaran lamun antara tahun 2007, 2009 dan 2010 (Gambar 21 - 23). Ekosistem
padang lamun terdapat mengelompok di utara dan barat Nusa Lembongan.
Keberadaan padang lamun berkaitan erat dengan keberadaan substrat dasar pasir,
50
karena pada umumnya lamun tumbuh pada perairan dengan substrat pasir halus
(Kiswara dan Hutomo 1985).
Perubahan padang lamun di perairan Nusa Lembongan dari tahun 2007
sampai tahun 2010 mengalami perubahan klasifikasi dengan kelas lain. Pada peta
terlihat perubahan luasan lamun, disebelah selatan akibat terdegradasinya lamun
sehingga menjadi tempat terbentuknya terumbu karang, baik karang mati maupun
karang hidup. Terdegradasinya ekosistem lamun yang tergambar pada peta hanya
menunjukkan pasir/substrat dasar perairan. Adapun hilangnya karang hidup dan
karang mati yang disebabkan oleh faktor fisik dan kimia suatu perairan yang tidak
mendukung pertumbuhan terumbu karang sehingga menjadi tempat yang baik
untuk pertumbuhan lamun.
Terdegradasinya ekosistem lamun yang terdapat pada peta sehingga
menjadi tempat pertumbuhan terumbu karang sangat tidak memungkinkan dalam
periode waktu 2 tahun karena pembentukan karang memerlukan proses yang
cukup lama dan kompleks. Hal tersebut kemungkinan karena kesalahan klasifikasi
pada citra yang diakibatkan karena adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga
bayangan awan yang mempengaruhi nilai spektral citra. Perubahan ilmiah yang
memungkinkan apabila sebaran pasir/substrat dasar perairan ditumbuhi oleh
ekosistem lamun yang menunjukkan adanya pertumbuhan lamun maupun
sebaliknya. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki
daya tembus rendah, sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami
kekeliruan (Setiawan 2012).
Padang lamun pada peta sebaran lamun di Nusa Lembongan menyebar
hampir diseluruh perairan tetapi sangat sedikit dan semakin berkurang bahkan
menghilang disebelah timur yang berdekatan dengan tumbuhnya padang
mangrove. Hal ini diduga lokasi tersebut merupakan lokasi endapan lumpur yang
kaya akan bahan organik yang terdapat di dalam tanah, terutama berasal dari sisa
tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove. Kondisi tanah seperti ini sangat baik
untuk tumbuhnya padang mangrove tetapi tidak untuk lamun karena dari endapan
lumpur dan adanya bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya
lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik yang berupa plankton dan
51
mikroorganisme lain mengakibatkan kekeruhan air. Kekeruhan air juga
mengurangi intensitas cahaya yang masuk sehingga akan menghambat proses
fotosintesis oleh tumbuhan air yang berakibat turunnya produktivitas primer pada
ekosistem lamun.
4.6 Komunitas Lamun
4.6.1 Komposisi Jenis
Tabel 10. Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan
No. Jenis Lamun Stasiun
I II III IV V
1 Thalassia hemprichii * - * * *
2 Enhalus acoroides * - - - *
3 Halophila ovalis * * * * -
4 Cymodocea serrulata - - - * -
5 Halodule pinifolia - - - *
6 Syringodium isoetifolium - - - * *
7 Halodule uninervis - - - - *
Keterangan : (*) Ada; (-) Tidak Ada
Berdasarkan hasil pengamatan pada kelima lokasi stasiun, ditemukan tujuh
spesies lamun yang termasuk dalam dua famili, yaitu Hydrocharitaceae terdapat
tiga spesies diantaranya Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis sedangkan dari famili Potamogetonaceae terdapat empat spesies
diantaranya Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium
dan Halodule uninervis.
Penyebaran ketujuh spesies tersebut tidak merata dan tidak terdapat pada
semua stasiun pengamatan, hanya jenis Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis
saja yang ditemukan pada empat stasiun pengamatan. Sedangkan spesies lamun
yang jarang dijumpai adalah Cymodocea serrulata dan Halodule uninervis yang
hanya ditemukan pada satu lokasi pengamatan saja.
Meskipun secara keseluruhan pada kelima stasiun ditemukan tujuh
spesies, akan tetapi pada tiap plot transek memiliki komposisi kombinasi spesies
yang berbeda-beda. Misalnya apabila antar transek dijumpai jumlah spesies yang
sama, yaitu dua atau tiga spesies, tetapi jenisnya belum tentu sama. Dapat dilihat
pada kelima stasiun, variasi spesies pada stasiun empat paling beragam dibanding
52
keempat stasiun lainnya sedangkan pada stasiun dua hanya ditemukan satu spesies
saja.
Keberadaan tiap spesies lamun sangat erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan terutama substrat dasar perairannya. Substrat memegang peranan yang
penting, dan berdasarkan pengamatan survei lapangan ditemukan beberapa jenis
lamun tidak mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang tidak sesuai.
Beberapa faktor lingkungan dan aktivitas manusiapun sangat mempengaruhi
terhadap keberadaan lamun pada tiap stasiunnya (Arthana 2004).
4.6.2 Kerapatan Lamun
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerapatan jenis lamun (Tabel 11)
dengan tipe daun normal (Thalassia hemprichii) umumnya memiliki kerapatan
tinggi pada setiap transeknya. Jenis ini ditemukan pada empat stasiun pengamatan
mempunyai kerapatan paling tinggi pada stasiun III dengan kisaran kerapatan 100
- 300 ind/m2. Spesies Enhalus acoroides dengan tipe daun berbentuk pita besar
ditemukan dengan kerapatan yang cukup kecil pada plot transek yang hanya
ditemukan pada stasiun I dan V, yaitu 1 - 40 ind/m2. Kerapatan jenis lamun
berdaun kecil (Halophila ovalis) ditemukan pada stasiun I - IV dengan kisaran 10
- 150 ind/m2. Jenis ini merupakan satu-satunya lamun yang ditemukan pada
stasiun II. Spesies lamun Cymodocea serrulata dan Halodule pinifolia hanya
ditemukan pada stasiun IV dengan kerapatan bervariasi, yaitu 5 - 150 ind/m2.
Syringodium isoetifolium yang mempunyai tipe daun kecil panjang memiliki
kerapatan cukup tinggi, yaitu 100 - 500 ind/m2. Jenis Halodule uninervis hanya
ditemukan pada stasiun V, yaitu 10 - 200 ind/m2.
Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi bergantung kepada tipe
substrat dan jenis lamun, karena jenis-jenis lamun mempunyai morfologi daun
yang berbeda. Misalnya, jenis lamun yang mempunyai morfologi daun berbentuk
pita besar, daun berbentuk pita ukuran sedang, daun berbentuk pita kecil dan
bentuk daun normal (Nienhuis et al. 1989 dalam Kiswara 1994).
53
Tabel 11. Kerapatan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan
No. Jenis Stasiun
I II III IV V
1 Thalassia hemprichii 266 - 274 129 8
2 Enhalus acoroides 9 - - - 3
3 Halophila ovalis 23 109 18 112 -
4 Cymodocea serrulata - - - 69 -
5 Halodule pinifolia - - - 31 -
6 Syringodium isoetifolium - - - 73 265
7 Halodule uninervis - - - - 94
Total 298 109 292 414 370
Gambar 24. Diagram Kerapatan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun
Pengamatan
Pengamatan pada stasiun I ditemukan 3 spesies lamun dengan kerapatan
total 298 ind/m2. Jenis Thalassia hemprichii merupakan jenis yang memiliki
kerapatan tertinggi, yaitu 266 ind/m2. Jenis Enhalus acoroides dan Halophila
ovalis memiliki kerapatan yang cukup rendah, yaitu masing-masing sebesar 9
ind/m2 dan 23 ind/m
2.
Total kerapatan lamun pada stasiun II diperoleh sebesar 109 ind/m2 yang
hanya terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Hal tersebut
disebabkan karena pada stasiun ini telah dilakukan pembersihan daerah yang
ditumbuhi ekosistem lamun yang mengganggu kegiatan budidaya rumput laut.
0
50
100
150
200
250
300
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Kera
pa
tan
(in
d/m
2) Thalassia hemprichii
Enhalus acoroides
Halophila ovalis
Cymodocea serrulata
Halodule pinifolia
Syringodium
isoetifolium
54
Pada stasiun III memiliki kerapatan lamun sebesar 292 ind/m2 yang terdiri
dari dua spesies, yaitu Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Thalassia
hemprichii memiliki kerapatan yang sangat tinggi, yaitu sebesar 274 ind/m2
dibandingkan dengan jenis Halophila ovalis sebesar 18 ind/m2. Tingginya jenis
Thalassia hemprichii karena memiliki kemampuan bertoleransi dalam kondisi
lingkungan yang cukup drastis yang memungkinkan jenis ini dapat tumbuh
dengan baik meskipun hanya mampu bertahan dalam waktu singkat.
Pada stasiun IV merupakan nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan
kelima stasiun pengamatan lainnya, yaitu sebesar 414 ind/m2, dan pada stasiun ini
terdapat spesies terbanyak yaitu lima spesies diantaranya Thalassia hemprichii,
Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium
isoetifolium. Tingginya kerapatan lamun pada stasiun IV dan keanekaragaman
jenis yang banyak karena didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok bagi
tumbuhan lamun dan juga masih sedikitnya aktivitas manusia seperti budidaya
rumput laut dan aktivitas wisata setempat maupun untuk pariwisata. Suhu pada
stasiun ini, yaitu 27,2 oC dan salinitas nya sebesar 34
o/oo yang merupakan suhu
dan salinitas optimum bagi lamun untuk melakukan proses fotosintesis. Interaksi
antara parameter fisik kimia terhadap padang lamun di stasiun ini menyebabkan
lamun dapat bertoleransi dengan baik. Menurut Supriyadi (2009) bahwa kondisi
perairan dan lingkungan sangat mempengaruhi bagi pertumbuhan lamun, seperti
suhu yang mempengaruhi proses metabolisme bagi lamun, salinitas yang
mempengaruhi kerapatan dan produktivitas lamun serta kondisi perairan dan
lingkungan lainnya yang cocok bagi lamun untuk tumbuh.
Jenis lamun yang ditemukan pada stasiun V adalah Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis dengan
kerapatan total 370 ind/m2. Jenis Syringodium isoetifolium dengan kerapatan 265
ind/m2. Total kerapatan lamun dan tingginya keanekaragaman jenis pada stasiun
V hampir sama dengan stasiun IV, hal ini disebabkan karena karakteristik kondisi
fisik dan kimia (Tabel 7) perairan pada kedua stasiun relatif sama yang
mendukung tumbuhnya lamun. Sunnudin (2012) menyatakan bahwa beberapa
55
faktor Lingkungan fisik kimia yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah
suhu, kecerahan, salinitas, substrat, arus, kedalaman, nutrien dan gelombang.
4.6.3 Persentase Tutupan Lamun
Penutupan menggambarkan tingkat penutupan ruang oleh komunitas
lamun. Persentase tutupan komunitas lamun pada lokasi penelitian relatif tinggi
dengan kisaran penutupan 47 - 90 % dari keseluruhan area yang potensial
ditumbuhi lamun. Penutupan tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V (90 %) dan
penutupan terendah terdapat pada stasiun II (47 %). Hasil pengamatan nilai
persentase penutupan masing-masing jenis lamun pada lima stasiun dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12. Persentase Tutupan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan
No. Jenis Stasiun
I II III IV V
1 Thalassia hemprichii 75,86 - 75,87 33,69 1,52
2 Enhalus acoroides 2,42 - - - 0,69
3 Halophila ovalis 5,72 47 7,13 22,16 -
4 Cymodocea serrulata - - - 17,42 -
5 Halodule pinifolia - - - 7,29 -
6 Syringodium isoetifolium - - - 9,44 64
7 Halodule uninervis - - - - 23,79
Total 84 47 83 90 90
Gambar 25. Diagram Persentase Tutupan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun
Pengamatan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Perse
nta
se t
utu
pa
n (
%)
Thalassia hemprichii
Enhalus acoroides
Halophila ovalis
Cymodocea serrulata
Halodule pinifolia
Syringodium
isoetifolium
56
Persentase tutupan total lamun pada stasiun I adalah 84 % yang
didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii, yaitu sebesar 75,86 %. Kondisi
tutupan lamun pada stasiun I cukup merata dan menyebar karena kegiatan
budidaya rumput laut masih sedikit dan tidak mengganggu keberadaan komunitas
lamun tersebut. Pada stasiun ini dengan kedalaman perairan 44,4 cm, intensitas
cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat memungkinkan sehingga sangat
membantu dalam proses fotosintesis lamun serta kecepatan arus pada stasiun ini
tergolong paling rendah, yaitu sebesar 0,043 m/det sehingga tidak banyak lamun
yang rusak akibat gelombang atau arus dari laut.
Di stasiun II diperoleh nilai persentase tutupan sebesar 47 % yang hanya
terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Persentase tutupan lamun
di stasiun II yang relatif kecil disebabkan karena terus-menerusnya kegiatan
budidaya rumput laut di daerah ini yang cukup meluas. Kondisi perairan di stasiun
ini cukup dangkal, dengan kedalaman 58,7 cm dan kondisi arus lautnya yang
rendah, yaitu 0,057 m/det sehingga sangat mendukung untuk aktivitas budidaya
rumput laut. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa lamun merupakan alang-
alang yang menjadi penghalang bagi tumbuhnya budidaya rumput laut
disekitarnya sehingga dilakukan pengerukan agar tidak mengganggu pertumbuhan
rumput laut. Tujuan lain dikeruknya dasar perairan adalah untuk mendapatkan
kedalaman optimal agar rumput laut tumbuh dengan baik dan mencegah
kekeringan pada saat surut. Lamun jenis Halophila ovalis ini dibiarkan tumbuh
karena ukurannya yang sangat kecil dan menempel pada substrat sehingga para
masyarakat budidaya rumput laut beranggapan bahwa jenis ini tidak mengganggu
aktivitas budidaya rumput laut.
Persentase tutupan pada stasiun III mencapai 83 % yang didominasi oleh
jenis Thalassia hemprichii sebesar 75,87 % seperti yang terdapat pada stasiun I.
Bagian 17 % yang tidak tertutupi lamun adalah pasir dan kerikil yang menjadi
substrat tumbuhnya lamun pada stasiun ini. Kondisi lamun pada stasiun ini cukup
mendapat perhatian karena aktivitas para masyarakat pesisir budidaya rumput laut
dan menambatkan perahunya baik menangkap ikan maupun mengambil hasil
budidaya rumput laut.
57
Sedangkan pada stasiun IV dan V merupakan persentase tutupan terbesar
yang mencapai 90 %. Pada stasiun IV terdapat lima spesies lamun sedangkan
stasiun V terdapat empat spesies lamun. Kesamaan total persentase penutupan
pada kedua stasiun ini dimungkinkan karena kondisi fisik dan kimia (Tabel 7)
yang hampir sama hanya saja komunitas lamun pada stasiun IV lebih menyebar
luas.
Kelima stasiun tersebut sangat jarang bahkan hampir tidak ada
ditemukannya jenis Enhalus acoroides karena jenis ini tumbuh pada substrat
berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau
mendominasi komunitas padang lamun. Begitu juga pada jenis Halophila ovalis
yang berdaun kecil-kecil memiliki penyebaran yang sama dengan Enhalus
acoroides, namun keberadaannya hanya terbatas pada bagian perairan dangkal,
sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat
mencapai dasar perairan yang tetap memberikan kesempatan lamun jenis ini untuk
tumbuh dan berfotosintesis.
Komposisi penutupan pada jenis-jenis lamun memiliki tingkat penutupan
yang berbeda-beda pada tiap stasiun, hal tersebut dikarenakan penyebaran tiap
spesies yang terbatas pada kondisi substrat dan aktivitas manusia yang merusak
keberadaan ekosistem lamun tersebut. Komposisi jenis, luas tutupan dan sebaran
lamun dapat juga dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak
merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu (Dahuri 2003).
4.7 Status Kondisi Padang lamun
Penelitian ini memberikan analisis skala kondisi (skoring) sementara
mengenai keadaan komunitas padang lamun dari komponen ekosistemnya seperti
jumlah jenis/kerapatan jenis dan persentase tutupan lamunnya yang sangat
bermanfaat dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun di perairan Nusa
Lembongan.
58
Tabel 13. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Kerapatan di Perairan Nusa
Lembongan
Stasiun Skala Kerapatan (ind/m2) Kondisi
I 5 298 Sangat rapat
II 3 109 Rapat
III 5 292 Sangat rapat
IV 5 414 Sangat rapat
V 5 370 Sangat Rapat
Tabel 14. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Persentase Tutupan di
Perairan Nusa Lembongan
Stasiun Skala Persentase Tutupan
(%) Kondisi
I 5 84 Sangat bagus
II 3 47 Agak bagus
III 5 83 Sangat bagus
IV 5 90 Sangat bagus
V 5 90 Sangat bagus
Berdasarkan tabel skala (Tabel 13 - 14) kondisi padang lamun baik
berdasarkan kerapatan maupun persentase Tutupan menunjukkan bahwa kondisi
padang lamun di perairan Nusa Lembongan berada pada stasiun I, III, IV dan V
memiliki tingkat kerapatan > 175 ind/m2 yang masuk dalam kategori "sangat
rapat" dan persentase tutupan > 75 % dengan kategori "sangat bagus". Sedangkan
kondisi lamun pada stasiun II memiliki tingkat kerapatan 109 ind/m2 yang masuk
dalam kategori "rapat" dan persentase tutupan 47 % yang termasuk dalam kategori
"agak bagus". Kategori "sangat bagus" dengan pengertian bahwa keanekaragaman
jenis, persentase tutupan dan tingkat kerapatan relatif masih tinggi Informasi data
spasial yang diperoleh dapat dilakukan identfikasi awal calon yang dapat
diusulkan untuk kepentingan perlindungan lamun dan biota asosiasinya. Skala
kondisi lamun pada stasiun I dan IV merupakan lokasi yang cocok untuk penetuan
kawasan konservasi ekosistem lamun karena didukung kondisi perairan dan masih
sedikitnya aktivitas masyarakat yang merusak keberadaan lamun.
Penelitian yang dilakukan oleh Amran (2010) menyatakan bahwa, peta
kondisi sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan dapat digunakan sebagai
dokumen status dan pengujian terhadap perubahan padang lamun dalam jangka
panjang terutama perubahan luas, keragaman dan sebaran jenisnya. Penilaian
59
kondisi ekosistem lamun yang dilakukan dengan metode skoring ini diterapkan
untuk penentuan calon lokasi konservasi.
Hasil penelitian mengenai kondisi lamun dan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan
Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, maka perlu dilakukan penzonaan
ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan agar dapat dipertahankan
kelestariannya mengingat pentingnya keberadaan ekosistem lamun ini sebagai
produsen primer organik utama dibandingkan dengan ekositem perairan dangkal
lainnya dan semakin menurunnya luasan ekosistem lamun yang semakin
terdegradasi akibat aktivitas manusia, terutama kegiatan budidaya rumput laut dan
pengerukan pantai untuk pembangunan yang digunakan sebagai daerah
pariwisata.
Kegiatan budidaya lamun yang dapat dilakukan adalah transplantasi lamun
dengan tujuan untuk restorasi habitat. Mengingat adanya kegagalan dan
keberhasilan transplantasi lamun memerlukan beberapa tahap penelitian
pendahuluan untuk memperkecil kemungkinan gagalnya proyek transplantasi.
Hal-hal yang perlu dipelajari antara lain adalah karakteristik perairan, tipe
substrat, kecepatan tumbuh spesies dan berbagai parameter lain yang harus
dipelajari.