bab iv hasil dan pembahasan 4.1 pengolahan data...

27
33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk memetakan sebaran lamun. Citra yang digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik secara sistematik. Selain itu, tujuan dari koreksi geometrik ini untuk melakukan pemulihan citra (restoration) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi. Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik ini adalah proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zone 50 Selatan (Gambar 11) dengan datum WGS 1984. Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) Koreksi geometrik dilakukan dengan cara memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) yang tersebar merata pada citra agar memperoleh ketelitian yang lebih baik. Titik kontrol lapangan yang dipilih diutamakan merupakan titik-titik yang permanen seperti perpotongan jalan, sungai, muara

Upload: ngothuy

Post on 15-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan Data Citra

4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik

Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009

dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk memetakan sebaran lamun. Citra

yang digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik secara sistematik.

Selain itu, tujuan dari koreksi geometrik ini untuk melakukan pemulihan citra

(restoration) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi. Sistem

koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik ini adalah proyeksi UTM

(Universal Transverse Mercator) zone 50 Selatan (Gambar 11) dengan datum

WGS 1984.

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia

(Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Koreksi geometrik dilakukan dengan cara memilih titik kontrol lapangan

(Ground Control Point/GCP) yang tersebar merata pada citra agar memperoleh

ketelitian yang lebih baik. Titik kontrol lapangan yang dipilih diutamakan

merupakan titik-titik yang permanen seperti perpotongan jalan, sungai, muara

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

34

sungai, pulau kecil dan titik-titik lain yang dianggap tidak berubah posisi dalam

jangka waktu yang lama.

Penentuan GCP minimal 4 titik secara otomatis akan dapat diketahui nilai

RMS (Root Mean Square) Error (Lampiran 1), sehingga dapat dilihat GCP yang

memiliki nilai kesalahan terbesar dan dapat dihitung kesalahan rata-rata (RMS

rata-rata) dari semua GCP. Nilai rata-rata RMS tidak boleh melebihi dari limit

kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi (2010) RMS error secara umum

nilainya kurang dari 0,5 pada setiap pixel (Image cell). Sedangkan koreksi

radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang

seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai

sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek

dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai

aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil

karena proses serapan.

4.1.2 Pemotongan Citra (Cropping) dan Kombinasi Band

Citra hasil koreksi kemudian dilakukan cropping sesuai dengan lokasi

penelitian dengan tujuan memfokuskan area penelitian yang ingin dikaji. Proses

pengolahan data citra, cropping untuk memfokuskan wilayah perairan di Nusa

Lembongan yang secara visual terdeteksi adanya padang lamun.

Tahun 2007 Tahun 2010

Gambar 12. Posisi Ground Control Point pada Citra

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

35

Gambar 13. Cropping Citra Tahun 2007

Gambar 14. Cropping Citra Tahun 2009

Gambar 15. Cropping Citra Tahun 2010

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

36

Penampakan citra visual yang lebih tajam menggunakan komposit citra.

Citra komposit warna merupakan paduan citra dari tiga saluran yang berbeda.

Penyusunan citra komposit warna dimaksudkan untuk memperoleh gambaran

visual yang lebih baik sehingga pengenalan obyek dan pemilihan sampel dapat

dilakukan. Pembuatan citra komposit warna dilakukan dengan memberi warna

dasar merah, hijau dan biru pada tiga saluran spektral yang dipilih.

Citra komposit warna yang dibuat dalam penelitian ini adalah citra

komposit RGB (Red-Green-Blue) dengan pemilihan kanal (band) 3-2-1 pada citra

ALOS AVNIR2. Pemilihan ketiga kanal (band) ini dilakukan karena komposit

band tersebut paling sesuai untuk melihat penampakan dari tutupan lahan.

Komposit red menggunakan band 3 yang sesuai untuk mendeteksi lahan/tanah

kering. Semakin tinggi nilai digitalnya maka kenampakan di citra akan berwarna

semakin merah. Komposit green menggunakan band 2 yang sesuai untuk

mendeteksi klorofil pada vegetasi. Klorofil yang tinggi di daratan akan

memberikan nilai digital pantulan yang tinggi dan ditunjukkan dengan warna

hijau tua. Daerah yang berair dideteksi dengan menggunakan band 1 pada

komposit blue sehingga daerah perairan digambarkan dengan warna biru. Biru

muda menunjukkan perairan dangkal dengan kandungan sedimentasi yang cukup

tinggi dan biru tua menunjukkan perairan yang lebih dalam dan cenderung lebih

jernih (Amran 2010).

4.1.3 Masking dan Algoritma Lyzenga

Tahap awal pemrosesan citra, setelah menggabungkan tiga band citraRGB

(Red-Green-Blue) pada citra satelit ALOS AVNIR2 dilakukan masking. Tujuan

dilakukannya masking ini untuk memisahkan batas wilayah antara darat dan laut

dengan menggunakan band 4 (infrared). Masking dalam penelitian ini dilakukan

secara manual dengan menggunakan file vektor. Teknik ini digunakan karena

band 4 pada citra tidak tersedia. Penggunaan algoritma Lyzenga untuk

mengetahui kondisi lamun yang diawali dengan pembuatan training area

berjumlah minimal 30 region. Penentuan ketiga puluh region tersebut dilakukan

pada obyek atau area pada citra yang secara visual dapat diduga atau diidentifikasi

sebagai bagian dari ekosistem padang lamun. Hal ini memerlukan bimbingan

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

37

seorang interpreter, memiliki dasar pengetahuan interpretasi citra, juga perlu

memahami sifat atau karakteristik padang lamun, terutama tentang sebarannya

(Bintar dkk. 2005).

Hasil dari pemilihan training area, dicari nilai ragam (varian) dan peragam

(covarian) dari band 1 dan band 2. Dalam melakukan perhitungan statistik ini

dapat dibantu dengan menggunakan perangkat lunak MS Excel. Kemudian, dalam

mencari koefisien attenuasi untuk memperjelas hasil data citra kelas lamun (ki/kj),

berdasarkan hasil perhitungan ragam dan peragam maka digunakan formula :

dimana :

Hasil dari proses ini didapatkan nilai rasio koefisien band 1 dan band 2

(ki/kj) dimana nilai yang diperoleh untuk setiap cropping citra (Tabel 6), antara

lain :

Tabel 6. Nilai Rasio Koefisien Band 1 dan Band 2 (ki/kj)

No. Tahun Nilai ki/kj

1 2007 0,505

2 2009 0,610

3 2010 0,672

Nilai ki/kj pada cropping citra di pulau Nusa Lembongan mengalami

kenaikan setiap tahunnya. Menurut Setiawan (2012) bahwa perbedaan nilai (ki/kj)

tergantung terhadap panjang gelombang band dan tingkat kekeruhan airnya.

Setelah mendapatkan nilai ki/kj, kemudian nilai tersebut di masukkan ke

dalam formula Lyzenga. Penerapan algoritma ini dimaksudkan untuk memperoleh

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

38

gambaran visual lebih baik untuk obyek-obyek bawah permukaan air, termasuk

padang lamun (Lampiran 3). Metode yang digunakan mengacu pada metode asli

yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Adapun formulanya sebagai berikut:

Lyzenga (Y) = (log(b1))+(nilai ki/kj*log(b2))

Keterangan :

b1 = band 1(biru)

b2 = band 2 (hijau)

ki/kj = nilai koefisien atenuasi

(Lyzenga 1981)

Hasil dari algoritma Lyzenga berupa tampilan citra baru yang

menampakkan kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada

histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan

(Lampiran 2). Citra hasil hasil transformasi disajikan dalam colour LUT Rainbow.

Kunci interpretasi citra yang digunakan sebagai acuan dalam membantu

mengindentifikasi fitur dan menentukan warna pada transformasi algoritma

Lyzenga adalah colour LUT Rainbow. Kunci interpretasi dibagi menjadi 7 (tujuh)

kelas berdasarkan transformasi yang dilakukan COREMAP (2001) yaitu :

Warna Ungu gelap adalah daratan

Warna biru dan ungu adalah laut

Warna kuning adalah pasir

Warna cyan – hijau tegas adalah terumbu karang hidup

Warna merah adalah karang mati

Warna cyan – biru menyebar adalah kekeruhan perairan

Warna coklat bercak – bercak atau orange adalah lamun

Berdasarkan hasil algoritma Lyzenga tersebut untuk citra tahun 2007

mengalami banyak kekeliruan, warna hijau yang mengindikasikan untuk terumbu

karang hidup dan warna kuning untuk pasir namun secara visual merupakan

kekeruhan pada gambar citra yang ditangkap oleh satelit. Pada citra tahun 2009

terjadi kekeliruan dalam interpretasi, sebagian laut berwarna hijau dan sedikit

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

39

warna kuning karena secara visual juga terjadi kekeruhan pada citra. Sedangkan

pada citra tahun 2010 tidak terjadi banyak kekeliruan dalam interpretasi hanya

saja terdapat awan yang ditunjukkan warna ungu gelap sehingga dapat

mempengaruhi nilai spektral saat identifikasi citra terhadap warna daratan.

Keterbatasan penggunaan metode algoritma Lyzenga menurut Green et al. (2000)

adalah adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga bayangan awan akan

mempengaruhi nilai spektral citra. Namun, dimana sifat air cukup konstan,

metode algoritma Lyzenga sangat baik untuk meningkatkan interpretasi visual

citra dan akurasi pada saat klasifikasi.

4.1.4 Klasifikasi Citra

Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang

didasarkan pada algoritma Lyzenga sebagai kunci interpretasi. Kelas yang

dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral yaitu kelas

didasarkan pada nilai natural spektral citra (Lampiran 3). Setiap kelas habitat

dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda.

Klasifikasi citra dibagi menjadi 100 kelas agar lebih memudahkan dalam

penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang dihasilkan cukup banyak dan

warna yang ditampilkan terlalu beragam yang selanjutnya di reclass menjadi 6

kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, darat dan laut dalam

sesuai kunci interpretasi yang digunakan COREMAP (2001) (Lampiran 4). Proses

klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang sama dengan

menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software Arc GIS 9.3

berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan pengeditan

warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan untuk

memperbaiki keakuratan perhitungan luasan dan menghilangkan fitur yang tidak

diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan dan kekeruhan (Lampiran 5). Hasil

tersebut masih perlu diakurasikan keakuratannya dengan survei lapangan sehingga

hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai informasi

sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan. Dalam penelitian ini survei lapangan

sebagai validasi pada klasifikasi citra tahun 2007, 2009 dan 2010.

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

40

4.2 Survei Lapangan (Ground Check)

Kegiatan survei lapangan pada penelitian ini dilakukan di sekitar perairan

Nusa Lembongan selama 3 hari (12,13,14 April 2013). Pengamatan kondisi lamun

dengan transek kuadrat dan pengukuran parameter lingkungan perairan dilakukan

pada sore hari ketika air laut sudah surut agar mempermudah dalam pengambilan

data survei lapangan. Survei lapangan dilakukan untuk melengkapi dan

membuktikan hasil interpretasi citra satelit yang masih meragukan. Survei yang

dilakukan dengan memilih beberapa titik sampel secara acak dan perlu dibuktikan

kebenarannya dan melakukan pengukuran mengenai posisi objek dengan

menggunakan GPS (Global Positioning System), kemudian hasil dari survei

lapangan untuk melihat kesesuaian hasil pengecekan dilapangan dengan hasil

interpretasi dari citra satelit ALOS AVNIR2 yang dituliskan pada form validasi

data (Lampiran 5). Karakteristik citra ALOS AVNIR2 dengan resolusi spasial 10

meter cukup akurat dalam mendeteksi geomorfologi padang lamun dengan baik.

Lokasi penelitian terbagi dalam lima stasiun yang menyebar diseluruh

daerah perairan Nusa Lembongan, titik stasiun I (08o39'48.8'' LS dan 115

o27'21.5''

BT), titik stasiun II (8°41'27.4" LS dan 115o27'11.8'' BT), titik stasiun III

(8°41'40.5" LS dan 115o26'15.3'' BT), titik stasiun IV (08

o40'57.7'' LS dan

115o25'58.3'' BT) dan titik stasiun V (08

o40'45.4'' LS dan 115

o26'43.9'' BT).

Berdasarkan pengamatan lapangan selama penelitian, Nusa Lembongan

memiliki karakteristik pantai yang beragam, diantaranya:

1. Pantai berpasir halus yang merupakan perairan pantai dangkal dan relatif

tenang.

2. Pantai berpasir bercampur pecahan karang (coral rubble) yang merupakan

daerah yang perairan pantainya mendapatkan aksi gelombang yang besar

sehingga mengakibatkan pecahan-pecahan karang.

3. Pantai bertebing terjal merupakan dasar perairan pantai yang dalam, tidak

dipengaruhi oleh pasang surut dan mendapatkan aksi gelombang yang

besar.

4. Pantai bermangrove merupakan pantai dangkal dan landai yang

dipengaruhi oleh pasang surut.

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

41

4.3. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan

Parameter fisik kimia suatu perairan memegang peranan yang penting

dalam menunjang kehidupan organisme di suatu perairan, terutama ekosistem

lamun karena kondisi parameter fisik kimia perairan secara langsung atau tidak

langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Karakteristik fisik kimia pada suatu habitat akan mendukung suatu struktur

komunitas biota yang hidup di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka

pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan untuk mengetahui

bagaimana kondisi perairan yang ditumbuhi ekosistem lamun di perairan Nusa

Lembongan (Tabel 7).

Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

No. Parameter Stasiun

I II III IV V

1 Suhu (oC) 25,5 26,3 26,6 27,2 27,1

2 Kecerahan (%) 100 100 100 100 100

3 Kecepatan Arus (m/det) 0,043 0,057 0,051 0,086 0,077

4 Kedalaman (cm) 44,4 58,7 62,1 83,3 76,5

5 Salinitas (o/oo) 30 31 31 34 32

6 pH 7,91 8,34 8,23 8,21 8,10

4.3.1 Suhu

Gambar 16. Diagram Suhu Perairan

25.5

26.3

26.6

27.227.1

24.5

25

25.5

26

26.5

27

27.5

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Su

hu

Pera

iran

(oC

)

Suhu

Perairan

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

42

Berdasarkan hasil pengukuran suhu pada kelima stasiun pengamatan

diperoleh nilai yang berkisar antara 25 - 27 oC. Suhu daerah tersebut tergolong

dengan temperatur yang cukup rendah dikarenakan pengamatan dilakukan pada

bulan April yang merupakan musim peralihan dari musim Barat ke musim Timur .

Nilai-nilai tersebut terlihat bahwa suhu perairan di setiap lokasi pengamatan

relatif sama dan berada dalam kisaran yang normal di perairan tropis. Suhu

terendah terjadi pada stasiun I, yaitu 25,5 oC dan suhu tertinggi pada stasiun IV,

yaitu 27,2 oC.

Kondisi suhu di perairan pesisir pada umumnya selalu berfluktuasi karena

dipengaruh oleh faktor oseanografi lautan. Pada saat terjadi surut suhu perairan

relatif lebih tinggi dibanding pada saat pasang, sebaliknya pada saat air pasang

suhu perairan pesisir relatif lebih rendah (Alhanif 1996).

4.3.2 Kecerahan

Hasil pengukuran kecerahan perairan pada kelima stasiun lokasi

pengamatan menunjukkan nilai kecerahan mencapai 100 % karena perairan relatif

dangkal berkisar antara 44,4 - 83,3 cm dan dapat memberikan informasi yang

lebih tepat. Menurut Sunnudin (2012), kecerahan mempengaruhi pertumbuhan

lamun, kecerahan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke perairan.

Lamun dapat beradaptasi dengan perairan keruh selama masih terdapat sinar

matahari masih mencukupi untuk kelangsungan hidupnya. Kerusakan lamun dapat

terjadi karena kekurangan cahaya akibat terjadinya kekeruhan atau banyaknya

sedimen sehingga menyebabkan lamun sulit untuk berfotosintesis.

4.3.3 Kecepatan Arus

Arus air daerah tubir (daerah yang dalam di laut) sampai ke tengah di

sekitar perairan Nusa Lembongan relatif keras karena berkaitan dengan letak

geografis perairan dalam Indonesia di sebelah utara. Faktor yang cukup dominan

yang mempengaruhi gerak arus adalah angin dan gelombang. Disamping itu,

dangkalnya perairan dan keberadaan komunitas lamun juga mempunyai pengaruh

yang besar dalam memperlambat gerak arus (Hamid 1996).

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

43

Gambar 17. Diagram Kecepatan Arus Perairan

Hasil pengukuran kecepatan arus pada kelima lokasi stasiun pengamatan

menunjukkan nilai dengan kisaran antara 0,043 - 0,086 m/det. Kecepatan arus

terendah pada stasiun I, yaitu 0,043 m/det. Sedangkan kecepatan arus pada stasiun

IV lebih tinggi dibandingkan keempat stasiun lainnya. Hal ini terjadi disebabkan

karena lokasi stasiun IV merupakan daerah yang langsung menghadap ke selat

Badung yang memisahkan Pulau Nusa Penida dengan Nusa Lembongan.

Berdasarkan penelitian Alhanif (1996) bahwa selat Badung memiliki arus yang

sangat kuat terutama pada saat terjadi perubahan air dari pasang menjadi surut

atau sebaliknya.

Bagi padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh nyata terutama

tinggi rendahnya produktivitas padang lamun. Turtle grass mempunyai

kemampuan maksimal menghasilkan biomassa pada saat kecepatan arus sekitar

0,5 m/det (Berwick 1983).

4.3.4 Kedalaman

Kedalaman perairan pesisir sangat berkaitan dengan fenomena pasang

surut. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman saat survei lapangan diperoleh

kedalaman rata-rata dibawah 1 m. Kedalaman perairan lokasi penelitian berturut-

turut dari stasiun I sampai V diantaranya 44,4 cm; 58,7 cm; 62,1 cm; 83,3 cm dan

0.043

0.0570.051

0.086

0.077

0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

0.08

0.09

0.1

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Kece

pat

an A

rus

Pera

iran

(m

/det)

Kecepatan

Arus

Perairan

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

44

76,5 cm. Menurut Sitania (1998), kisaran kedalaman tersebut merupakan

kedalaman ideal untuk pertumbuhan vegetasi lamun karena komunitas lamun

berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu

dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Pengukuran kedalaman

dilakukan ketika keadaan surut, yaitu sore hari yang bertujuan agar perhitungan

persentase tutupan dan jumlah tegakan lamun dapat dilakukan dengan mudah.

Gambar 18. Diagram Kedalaman Perairan

4.3.5 Salinitas

Gambar 19. Diagram Salinitas Perairan

44.4

58.762.1

83.3

76.5

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Ked

alam

an P

era

iran

(cm

)

Kedalaman

Perairan

30

31 31

34

32

28

29

30

31

32

33

34

35

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Salin

itas

Pera

iran

(o/ o

o)

Salinitas

Perairan

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

45

Nilai salinitas optimum untuk lamun adalah 35 o

/oo (Berwick 1983).

Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan pertumbuhan

(Berwick 1983). Hasil pengukuran salinitas pada kelima stasiun pengamatan

diperoleh nilai masing-masing 30 o

/oo, 31 o

/oo, 31 o

/oo, 34 o

/oo dan 32 o

/oo.

Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa fluktuasi salinitas tidak terlalu

besar dan merupakan kisaran yang menunjang laju pertumbuhan pada lamun.

Salinitas di perairan dipengaruhi oleh penguapan dan jumlah curah hujan.

Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan yang turun di suatu perairan rendah yang

menyebabkan penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka

penguapan berkurang dan salinitas menjadi rendah (Berwick 1983). Kegiatan

survei lapangan di Nusa Lembongan dilakukan saat curah hujan cukup tinggi

sehingga mengakibatkan nilai pengukuran salinitas pada kelima stasiun cukup

rendah.

4.3.6 Derajat Keasaman (pH)

Nilai derajat keasaman (pH) pada suatu perairan sering kali dijadikan

acuan untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan karena memiliki pengaruh

yang besar terhadap organisme perairan. Air laut mempunyai kemampuan untuk

menyangga (buffer) yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan

pH dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga, hal ini

dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat

membahayakan kehidupan biota laut (Fardiaz 1992).

Nilai derajat keasaman (pH) yang terdapat pada lima stasiun pengamatan

berkisar antara 7,90 - 8,34. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pH perairan

cenderung bersifat basa dan termasuk kisaran normal bagi pH air laut di Indonesia

yang pada umumnya bervariasi antara 6,0 - 8,5 (Fardiaz 1992). Pada kisaran pH

tersebut dapat disimpulkan bahwa perairan yang menjadi lokasi pengamatan

termasuk dalam nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan lamun.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

46

Gambar 20. Diagram Derajat Keasaman Perairan

4.4 Karakteristik Substrat

Padang lamun mampu tumbuh pada hampir seluruh tipe substrat mulai

dari substrat lumpur sampai substrat keras seperti batuan dan karang, namun pada

umumnya jenis-jenis tertentu hanya dapat tumbuh dengan baik pada satu tipe

substrat saja (Irfania 2009).

Berdasarkan hasil analisis besar butir substrat yang terdapat pada kelima

stasiun pengamatan yang kemudian diolah dengan software Kummod dapat dilihat

pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Analisis Besar Butir Substrat dengan Software Kummod

Stasiun Kerikil

(%)

Pasir

(%)

Lanau

(%)

Lempung

(%) Tipe Substrat

I 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan

II 1,6 98,4 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan

III 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan

IV 2,5 97,5 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan

V 14,1 85,9 0,0 0,0 Pasir kerikilan

Tipe substrat pada kelima stasiun pengamatan di perairan Nusa

Lembongan sebagian besar terdiri dari pasir. Secara umum seluruh stasiun

memiliki komposisi pasir yang besar, yaitu sekitar 85,9 % - 98,4 % dan sedikit

komposisi kerikil yang berkisar antara 1,6 % - 14,1 %. Pada kelima stasiun

7.91

8.34

8.23 8.21

8.1

7.6

7.7

7.8

7.9

8

8.1

8.2

8.3

8.4

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Dera

jat K

eas

aman

Pera

iran

Derajat

Keasaman

Perairan

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

47

pengamatan tidak terdapat komposisi lanau dan lempung. Klasifikasi tipe substrat

seperti berbatu, berpasir, pasir berkerikil dan kerikil berpasir dan lainnya didasari

oleh komposisi partikel yang terkandung pada substrat.

4.5 Sebaran Lamun di Perairan Nusa Lembongan

Penyebaran lamun di Perairan Nusa Lembongan dalam penelitian ini

berupa peta tematik dari hasil interpretasi citra lamun dan klasifikasi lainnya. Peta

tematik digunakan untuk mewakili informasi tertentu mengenai suatu daerah, peta

tematik yang dihasilkan berupa peta klasifikasi dasar perairan dangkal tahun 2007,

2009 dan 2010 (Gambar 21 - 23).

Tabel 9. Luas Perubahan Kelas di Nusa Lembongan Tahun 2007 - 2010

Kelas Area (Ha) Area Perubahan

2007 2010 Ha %

Lamun 177,7 130,9 46,8 26,3 -

Karang Hidup 49,2 37,4 11,8 23,9 -

Karang Mati 37,8 68,7 30,9 81,7 +

Pasir 139,7 167,4 27,7 19,8 +

Keterangan : (+) peningkatan; (-) penurunan

Luasan citra yang terklasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2010 mengalami

perubahan luasan, baik peningkatan dan penurunan. Pada kelas lamun dan karang

hidup terjadi penurunan luasan sedangkan kelas karang mati dan pasir mengalami

peningkatan luasan.

Hasil klasifikasi dan interpretasi citra didapatkan luasan padang lamun di

perairan Nusa Lembongan pada tahun 2007 mencapai 177,7 ha sedangkan pada

tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 130,9 ha. Dari hasil analisis area

perubahan, dapat dilihat bahwa penurunan luasan padang lamun sebesar 46,8 ha

atau terjadi penurunan persentasenya sebesar 26,3 %. Perubahan luasan padang

lamun pada peta akibat terdegradasinya lamun menjadi karang hidup, karang mati

atau pasir dan begitu juga sebaliknya. Hasil dari peta wilayah keberadaan jenis

ekosistem di harapkan dapat digunakan sebagai langkah awal acuan sebagai

penentuan kawasan konservasi.

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

48

Gambar 21. Peta Sebaran Lamun Tahun 2007

Gambar 22. Peta Sebaran Lamun Tahun 2009

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

49

Gambar 23. Peta Sebaran Lamun Tahun 2010

Perubahan padang lamun yang disebabkan baik oleh aktivitas manusia

disekitar tumbuhnya lamun di perairan Nusa lembongan seperti jalur navigasi,

budidaya rumput laut dan kegiatan lainnya maupun akibat perubahan kondisi alam

yang menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya ekosistem dan

keanekaragaman hayati yang dikandungnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan

deteksi perubahan padang lamun dengan menggunakan teknologi penginderaan

jauh yang memiliki fungsi untuk merekam data dan informasi secara luas,

berulang dan lebih terinci dalam mendeteksi perubahan suatu ekosistem.

Deteksi perubahan padang lamun yang terjadi di perairan Nusa

Lembongan dapat dilihat secara visual dengan melakukan perbandingan peta

sebaran lamun antara tahun 2007, 2009 dan 2010 (Gambar 21 - 23). Ekosistem

padang lamun terdapat mengelompok di utara dan barat Nusa Lembongan.

Keberadaan padang lamun berkaitan erat dengan keberadaan substrat dasar pasir,

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

50

karena pada umumnya lamun tumbuh pada perairan dengan substrat pasir halus

(Kiswara dan Hutomo 1985).

Perubahan padang lamun di perairan Nusa Lembongan dari tahun 2007

sampai tahun 2010 mengalami perubahan klasifikasi dengan kelas lain. Pada peta

terlihat perubahan luasan lamun, disebelah selatan akibat terdegradasinya lamun

sehingga menjadi tempat terbentuknya terumbu karang, baik karang mati maupun

karang hidup. Terdegradasinya ekosistem lamun yang tergambar pada peta hanya

menunjukkan pasir/substrat dasar perairan. Adapun hilangnya karang hidup dan

karang mati yang disebabkan oleh faktor fisik dan kimia suatu perairan yang tidak

mendukung pertumbuhan terumbu karang sehingga menjadi tempat yang baik

untuk pertumbuhan lamun.

Terdegradasinya ekosistem lamun yang terdapat pada peta sehingga

menjadi tempat pertumbuhan terumbu karang sangat tidak memungkinkan dalam

periode waktu 2 tahun karena pembentukan karang memerlukan proses yang

cukup lama dan kompleks. Hal tersebut kemungkinan karena kesalahan klasifikasi

pada citra yang diakibatkan karena adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga

bayangan awan yang mempengaruhi nilai spektral citra. Perubahan ilmiah yang

memungkinkan apabila sebaran pasir/substrat dasar perairan ditumbuhi oleh

ekosistem lamun yang menunjukkan adanya pertumbuhan lamun maupun

sebaliknya. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki

daya tembus rendah, sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami

kekeliruan (Setiawan 2012).

Padang lamun pada peta sebaran lamun di Nusa Lembongan menyebar

hampir diseluruh perairan tetapi sangat sedikit dan semakin berkurang bahkan

menghilang disebelah timur yang berdekatan dengan tumbuhnya padang

mangrove. Hal ini diduga lokasi tersebut merupakan lokasi endapan lumpur yang

kaya akan bahan organik yang terdapat di dalam tanah, terutama berasal dari sisa

tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove. Kondisi tanah seperti ini sangat baik

untuk tumbuhnya padang mangrove tetapi tidak untuk lamun karena dari endapan

lumpur dan adanya bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya

lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik yang berupa plankton dan

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

51

mikroorganisme lain mengakibatkan kekeruhan air. Kekeruhan air juga

mengurangi intensitas cahaya yang masuk sehingga akan menghambat proses

fotosintesis oleh tumbuhan air yang berakibat turunnya produktivitas primer pada

ekosistem lamun.

4.6 Komunitas Lamun

4.6.1 Komposisi Jenis

Tabel 10. Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan

No. Jenis Lamun Stasiun

I II III IV V

1 Thalassia hemprichii * - * * *

2 Enhalus acoroides * - - - *

3 Halophila ovalis * * * * -

4 Cymodocea serrulata - - - * -

5 Halodule pinifolia - - - *

6 Syringodium isoetifolium - - - * *

7 Halodule uninervis - - - - *

Keterangan : (*) Ada; (-) Tidak Ada

Berdasarkan hasil pengamatan pada kelima lokasi stasiun, ditemukan tujuh

spesies lamun yang termasuk dalam dua famili, yaitu Hydrocharitaceae terdapat

tiga spesies diantaranya Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila

ovalis sedangkan dari famili Potamogetonaceae terdapat empat spesies

diantaranya Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium

dan Halodule uninervis.

Penyebaran ketujuh spesies tersebut tidak merata dan tidak terdapat pada

semua stasiun pengamatan, hanya jenis Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis

saja yang ditemukan pada empat stasiun pengamatan. Sedangkan spesies lamun

yang jarang dijumpai adalah Cymodocea serrulata dan Halodule uninervis yang

hanya ditemukan pada satu lokasi pengamatan saja.

Meskipun secara keseluruhan pada kelima stasiun ditemukan tujuh

spesies, akan tetapi pada tiap plot transek memiliki komposisi kombinasi spesies

yang berbeda-beda. Misalnya apabila antar transek dijumpai jumlah spesies yang

sama, yaitu dua atau tiga spesies, tetapi jenisnya belum tentu sama. Dapat dilihat

pada kelima stasiun, variasi spesies pada stasiun empat paling beragam dibanding

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

52

keempat stasiun lainnya sedangkan pada stasiun dua hanya ditemukan satu spesies

saja.

Keberadaan tiap spesies lamun sangat erat kaitannya dengan kondisi

lingkungan terutama substrat dasar perairannya. Substrat memegang peranan yang

penting, dan berdasarkan pengamatan survei lapangan ditemukan beberapa jenis

lamun tidak mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang tidak sesuai.

Beberapa faktor lingkungan dan aktivitas manusiapun sangat mempengaruhi

terhadap keberadaan lamun pada tiap stasiunnya (Arthana 2004).

4.6.2 Kerapatan Lamun

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerapatan jenis lamun (Tabel 11)

dengan tipe daun normal (Thalassia hemprichii) umumnya memiliki kerapatan

tinggi pada setiap transeknya. Jenis ini ditemukan pada empat stasiun pengamatan

mempunyai kerapatan paling tinggi pada stasiun III dengan kisaran kerapatan 100

- 300 ind/m2. Spesies Enhalus acoroides dengan tipe daun berbentuk pita besar

ditemukan dengan kerapatan yang cukup kecil pada plot transek yang hanya

ditemukan pada stasiun I dan V, yaitu 1 - 40 ind/m2. Kerapatan jenis lamun

berdaun kecil (Halophila ovalis) ditemukan pada stasiun I - IV dengan kisaran 10

- 150 ind/m2. Jenis ini merupakan satu-satunya lamun yang ditemukan pada

stasiun II. Spesies lamun Cymodocea serrulata dan Halodule pinifolia hanya

ditemukan pada stasiun IV dengan kerapatan bervariasi, yaitu 5 - 150 ind/m2.

Syringodium isoetifolium yang mempunyai tipe daun kecil panjang memiliki

kerapatan cukup tinggi, yaitu 100 - 500 ind/m2. Jenis Halodule uninervis hanya

ditemukan pada stasiun V, yaitu 10 - 200 ind/m2.

Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi bergantung kepada tipe

substrat dan jenis lamun, karena jenis-jenis lamun mempunyai morfologi daun

yang berbeda. Misalnya, jenis lamun yang mempunyai morfologi daun berbentuk

pita besar, daun berbentuk pita ukuran sedang, daun berbentuk pita kecil dan

bentuk daun normal (Nienhuis et al. 1989 dalam Kiswara 1994).

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

53

Tabel 11. Kerapatan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan

No. Jenis Stasiun

I II III IV V

1 Thalassia hemprichii 266 - 274 129 8

2 Enhalus acoroides 9 - - - 3

3 Halophila ovalis 23 109 18 112 -

4 Cymodocea serrulata - - - 69 -

5 Halodule pinifolia - - - 31 -

6 Syringodium isoetifolium - - - 73 265

7 Halodule uninervis - - - - 94

Total 298 109 292 414 370

Gambar 24. Diagram Kerapatan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun

Pengamatan

Pengamatan pada stasiun I ditemukan 3 spesies lamun dengan kerapatan

total 298 ind/m2. Jenis Thalassia hemprichii merupakan jenis yang memiliki

kerapatan tertinggi, yaitu 266 ind/m2. Jenis Enhalus acoroides dan Halophila

ovalis memiliki kerapatan yang cukup rendah, yaitu masing-masing sebesar 9

ind/m2 dan 23 ind/m

2.

Total kerapatan lamun pada stasiun II diperoleh sebesar 109 ind/m2 yang

hanya terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Hal tersebut

disebabkan karena pada stasiun ini telah dilakukan pembersihan daerah yang

ditumbuhi ekosistem lamun yang mengganggu kegiatan budidaya rumput laut.

0

50

100

150

200

250

300

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Kera

pa

tan

(in

d/m

2) Thalassia hemprichii

Enhalus acoroides

Halophila ovalis

Cymodocea serrulata

Halodule pinifolia

Syringodium

isoetifolium

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

54

Pada stasiun III memiliki kerapatan lamun sebesar 292 ind/m2 yang terdiri

dari dua spesies, yaitu Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Thalassia

hemprichii memiliki kerapatan yang sangat tinggi, yaitu sebesar 274 ind/m2

dibandingkan dengan jenis Halophila ovalis sebesar 18 ind/m2. Tingginya jenis

Thalassia hemprichii karena memiliki kemampuan bertoleransi dalam kondisi

lingkungan yang cukup drastis yang memungkinkan jenis ini dapat tumbuh

dengan baik meskipun hanya mampu bertahan dalam waktu singkat.

Pada stasiun IV merupakan nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan

kelima stasiun pengamatan lainnya, yaitu sebesar 414 ind/m2, dan pada stasiun ini

terdapat spesies terbanyak yaitu lima spesies diantaranya Thalassia hemprichii,

Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium

isoetifolium. Tingginya kerapatan lamun pada stasiun IV dan keanekaragaman

jenis yang banyak karena didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok bagi

tumbuhan lamun dan juga masih sedikitnya aktivitas manusia seperti budidaya

rumput laut dan aktivitas wisata setempat maupun untuk pariwisata. Suhu pada

stasiun ini, yaitu 27,2 oC dan salinitas nya sebesar 34

o/oo yang merupakan suhu

dan salinitas optimum bagi lamun untuk melakukan proses fotosintesis. Interaksi

antara parameter fisik kimia terhadap padang lamun di stasiun ini menyebabkan

lamun dapat bertoleransi dengan baik. Menurut Supriyadi (2009) bahwa kondisi

perairan dan lingkungan sangat mempengaruhi bagi pertumbuhan lamun, seperti

suhu yang mempengaruhi proses metabolisme bagi lamun, salinitas yang

mempengaruhi kerapatan dan produktivitas lamun serta kondisi perairan dan

lingkungan lainnya yang cocok bagi lamun untuk tumbuh.

Jenis lamun yang ditemukan pada stasiun V adalah Thalassia hemprichii,

Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis dengan

kerapatan total 370 ind/m2. Jenis Syringodium isoetifolium dengan kerapatan 265

ind/m2. Total kerapatan lamun dan tingginya keanekaragaman jenis pada stasiun

V hampir sama dengan stasiun IV, hal ini disebabkan karena karakteristik kondisi

fisik dan kimia (Tabel 7) perairan pada kedua stasiun relatif sama yang

mendukung tumbuhnya lamun. Sunnudin (2012) menyatakan bahwa beberapa

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

55

faktor Lingkungan fisik kimia yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah

suhu, kecerahan, salinitas, substrat, arus, kedalaman, nutrien dan gelombang.

4.6.3 Persentase Tutupan Lamun

Penutupan menggambarkan tingkat penutupan ruang oleh komunitas

lamun. Persentase tutupan komunitas lamun pada lokasi penelitian relatif tinggi

dengan kisaran penutupan 47 - 90 % dari keseluruhan area yang potensial

ditumbuhi lamun. Penutupan tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V (90 %) dan

penutupan terendah terdapat pada stasiun II (47 %). Hasil pengamatan nilai

persentase penutupan masing-masing jenis lamun pada lima stasiun dapat dilihat

pada Tabel 12.

Tabel 12. Persentase Tutupan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan

No. Jenis Stasiun

I II III IV V

1 Thalassia hemprichii 75,86 - 75,87 33,69 1,52

2 Enhalus acoroides 2,42 - - - 0,69

3 Halophila ovalis 5,72 47 7,13 22,16 -

4 Cymodocea serrulata - - - 17,42 -

5 Halodule pinifolia - - - 7,29 -

6 Syringodium isoetifolium - - - 9,44 64

7 Halodule uninervis - - - - 23,79

Total 84 47 83 90 90

Gambar 25. Diagram Persentase Tutupan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun

Pengamatan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Perse

nta

se t

utu

pa

n (

%)

Thalassia hemprichii

Enhalus acoroides

Halophila ovalis

Cymodocea serrulata

Halodule pinifolia

Syringodium

isoetifolium

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

56

Persentase tutupan total lamun pada stasiun I adalah 84 % yang

didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii, yaitu sebesar 75,86 %. Kondisi

tutupan lamun pada stasiun I cukup merata dan menyebar karena kegiatan

budidaya rumput laut masih sedikit dan tidak mengganggu keberadaan komunitas

lamun tersebut. Pada stasiun ini dengan kedalaman perairan 44,4 cm, intensitas

cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat memungkinkan sehingga sangat

membantu dalam proses fotosintesis lamun serta kecepatan arus pada stasiun ini

tergolong paling rendah, yaitu sebesar 0,043 m/det sehingga tidak banyak lamun

yang rusak akibat gelombang atau arus dari laut.

Di stasiun II diperoleh nilai persentase tutupan sebesar 47 % yang hanya

terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Persentase tutupan lamun

di stasiun II yang relatif kecil disebabkan karena terus-menerusnya kegiatan

budidaya rumput laut di daerah ini yang cukup meluas. Kondisi perairan di stasiun

ini cukup dangkal, dengan kedalaman 58,7 cm dan kondisi arus lautnya yang

rendah, yaitu 0,057 m/det sehingga sangat mendukung untuk aktivitas budidaya

rumput laut. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa lamun merupakan alang-

alang yang menjadi penghalang bagi tumbuhnya budidaya rumput laut

disekitarnya sehingga dilakukan pengerukan agar tidak mengganggu pertumbuhan

rumput laut. Tujuan lain dikeruknya dasar perairan adalah untuk mendapatkan

kedalaman optimal agar rumput laut tumbuh dengan baik dan mencegah

kekeringan pada saat surut. Lamun jenis Halophila ovalis ini dibiarkan tumbuh

karena ukurannya yang sangat kecil dan menempel pada substrat sehingga para

masyarakat budidaya rumput laut beranggapan bahwa jenis ini tidak mengganggu

aktivitas budidaya rumput laut.

Persentase tutupan pada stasiun III mencapai 83 % yang didominasi oleh

jenis Thalassia hemprichii sebesar 75,87 % seperti yang terdapat pada stasiun I.

Bagian 17 % yang tidak tertutupi lamun adalah pasir dan kerikil yang menjadi

substrat tumbuhnya lamun pada stasiun ini. Kondisi lamun pada stasiun ini cukup

mendapat perhatian karena aktivitas para masyarakat pesisir budidaya rumput laut

dan menambatkan perahunya baik menangkap ikan maupun mengambil hasil

budidaya rumput laut.

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

57

Sedangkan pada stasiun IV dan V merupakan persentase tutupan terbesar

yang mencapai 90 %. Pada stasiun IV terdapat lima spesies lamun sedangkan

stasiun V terdapat empat spesies lamun. Kesamaan total persentase penutupan

pada kedua stasiun ini dimungkinkan karena kondisi fisik dan kimia (Tabel 7)

yang hampir sama hanya saja komunitas lamun pada stasiun IV lebih menyebar

luas.

Kelima stasiun tersebut sangat jarang bahkan hampir tidak ada

ditemukannya jenis Enhalus acoroides karena jenis ini tumbuh pada substrat

berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau

mendominasi komunitas padang lamun. Begitu juga pada jenis Halophila ovalis

yang berdaun kecil-kecil memiliki penyebaran yang sama dengan Enhalus

acoroides, namun keberadaannya hanya terbatas pada bagian perairan dangkal,

sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat

mencapai dasar perairan yang tetap memberikan kesempatan lamun jenis ini untuk

tumbuh dan berfotosintesis.

Komposisi penutupan pada jenis-jenis lamun memiliki tingkat penutupan

yang berbeda-beda pada tiap stasiun, hal tersebut dikarenakan penyebaran tiap

spesies yang terbatas pada kondisi substrat dan aktivitas manusia yang merusak

keberadaan ekosistem lamun tersebut. Komposisi jenis, luas tutupan dan sebaran

lamun dapat juga dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak

merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu (Dahuri 2003).

4.7 Status Kondisi Padang lamun

Penelitian ini memberikan analisis skala kondisi (skoring) sementara

mengenai keadaan komunitas padang lamun dari komponen ekosistemnya seperti

jumlah jenis/kerapatan jenis dan persentase tutupan lamunnya yang sangat

bermanfaat dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun di perairan Nusa

Lembongan.

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

58

Tabel 13. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Kerapatan di Perairan Nusa

Lembongan

Stasiun Skala Kerapatan (ind/m2) Kondisi

I 5 298 Sangat rapat

II 3 109 Rapat

III 5 292 Sangat rapat

IV 5 414 Sangat rapat

V 5 370 Sangat Rapat

Tabel 14. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Persentase Tutupan di

Perairan Nusa Lembongan

Stasiun Skala Persentase Tutupan

(%) Kondisi

I 5 84 Sangat bagus

II 3 47 Agak bagus

III 5 83 Sangat bagus

IV 5 90 Sangat bagus

V 5 90 Sangat bagus

Berdasarkan tabel skala (Tabel 13 - 14) kondisi padang lamun baik

berdasarkan kerapatan maupun persentase Tutupan menunjukkan bahwa kondisi

padang lamun di perairan Nusa Lembongan berada pada stasiun I, III, IV dan V

memiliki tingkat kerapatan > 175 ind/m2 yang masuk dalam kategori "sangat

rapat" dan persentase tutupan > 75 % dengan kategori "sangat bagus". Sedangkan

kondisi lamun pada stasiun II memiliki tingkat kerapatan 109 ind/m2 yang masuk

dalam kategori "rapat" dan persentase tutupan 47 % yang termasuk dalam kategori

"agak bagus". Kategori "sangat bagus" dengan pengertian bahwa keanekaragaman

jenis, persentase tutupan dan tingkat kerapatan relatif masih tinggi Informasi data

spasial yang diperoleh dapat dilakukan identfikasi awal calon yang dapat

diusulkan untuk kepentingan perlindungan lamun dan biota asosiasinya. Skala

kondisi lamun pada stasiun I dan IV merupakan lokasi yang cocok untuk penetuan

kawasan konservasi ekosistem lamun karena didukung kondisi perairan dan masih

sedikitnya aktivitas masyarakat yang merusak keberadaan lamun.

Penelitian yang dilakukan oleh Amran (2010) menyatakan bahwa, peta

kondisi sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan dapat digunakan sebagai

dokumen status dan pengujian terhadap perubahan padang lamun dalam jangka

panjang terutama perubahan luas, keragaman dan sebaran jenisnya. Penilaian

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090029_4_2453.pdf · kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi ... Tabel 6. Nilai Rasio

59

kondisi ekosistem lamun yang dilakukan dengan metode skoring ini diterapkan

untuk penentuan calon lokasi konservasi.

Hasil penelitian mengenai kondisi lamun dan Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan

Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, maka perlu dilakukan penzonaan

ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan agar dapat dipertahankan

kelestariannya mengingat pentingnya keberadaan ekosistem lamun ini sebagai

produsen primer organik utama dibandingkan dengan ekositem perairan dangkal

lainnya dan semakin menurunnya luasan ekosistem lamun yang semakin

terdegradasi akibat aktivitas manusia, terutama kegiatan budidaya rumput laut dan

pengerukan pantai untuk pembangunan yang digunakan sebagai daerah

pariwisata.

Kegiatan budidaya lamun yang dapat dilakukan adalah transplantasi lamun

dengan tujuan untuk restorasi habitat. Mengingat adanya kegagalan dan

keberhasilan transplantasi lamun memerlukan beberapa tahap penelitian

pendahuluan untuk memperkecil kemungkinan gagalnya proyek transplantasi.

Hal-hal yang perlu dipelajari antara lain adalah karakteristik perairan, tipe

substrat, kecepatan tumbuh spesies dan berbagai parameter lain yang harus

dipelajari.