bab iv hasil dan pembahasan 4.1 kandungan metabolit...

18
32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang 0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk masing-masing 6 perlakuan uji fitokimia, yaitu uji alkaloid, uji flavonoid, uji saponin, uji tanin, uji steroid, uji triterpenoid. Hasil uji fitokimia yang telah dilakukan pada sampel rumput laut Sargassum crassifolium diperoleh hasil kandungan metabolit sekunder sebagai berikut : 4.1.1 Alkaloid Identifikasi alkaloid pada sampel rumput laut Sargassum crassifolium menunjukkan nilai negatif, dengan kata lain Sargassum crassifolium tidak mengandung senyawa alkaloid. Pereaksi yang digunakan dalam pengujian senyawa alkaloid dalam rumput laut Sargassum crassifolium menggunakan pereaksi meyer, dan hasilnya tidak terbentuk endapan. Hasil positif uji alkaloid jika terbentuk endapan putih. Pereaksi meyer digunakan sebagai pereaksi pengendapan, artinya berdasarkan kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggiseperti merkuri, bismuth atau iood (Sastrohamidjojo 1996 dalam Sari 2013). Kelarutan dan sifat lain alkaloid sangat berbeda, cara penjaringan umum untuk alkaloid dalam tumbuhan tidak akan berhasil mendeteksi senyawa khas. Alkaloid pada umumnya tidak ditemukan pada gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah (Harborne, 1987). Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

Upload: vuongliem

Post on 25-Jun-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium

Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang

0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk masing-masing 6

perlakuan uji fitokimia, yaitu uji alkaloid, uji flavonoid, uji saponin, uji tanin, uji

steroid, uji triterpenoid. Hasil uji fitokimia yang telah dilakukan pada sampel

rumput laut Sargassum crassifolium diperoleh hasil kandungan metabolit

sekunder sebagai berikut :

4.1.1 Alkaloid

Identifikasi alkaloid pada sampel rumput laut Sargassum crassifolium

menunjukkan nilai negatif, dengan kata lain Sargassum crassifolium tidak

mengandung senyawa alkaloid. Pereaksi yang digunakan dalam pengujian

senyawa alkaloid dalam rumput laut Sargassum crassifolium menggunakan

pereaksi meyer, dan hasilnya tidak terbentuk endapan. Hasil positif uji alkaloid

jika terbentuk endapan putih. Pereaksi meyer digunakan sebagai pereaksi

pengendapan, artinya berdasarkan kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan

logam yang memiliki berat atom tinggiseperti merkuri, bismuth atau iood

(Sastrohamidjojo 1996 dalam Sari 2013). Kelarutan dan sifat lain alkaloid sangat

berbeda, cara penjaringan umum untuk alkaloid dalam tumbuhan tidak akan

berhasil mendeteksi senyawa khas. Alkaloid pada umumnya tidak ditemukan pada

gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah (Harborne, 1987).

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

33

4.1.2 Flavonoid

Identifikasi senyawa flavonoid pada rumput laut Sargassum crassifolium

dilakukan dengan menggunakan 3 pereaksi, yaitu pereaksi pertama menggunakan

H2SO4 2N, pereaksi kedua menggunakan NaOH 10% dan pereaksi ketiga

menggunakan HCl+Mg. Senyawa flavonoid dapat diidentifikasi dalam suasana

basa dan asam. Hasil uji flavonoid menunjukkan bahwa pada pereaksi pertama

dan kedua terjadi perubahan warna, sedangkan pada pereaksi yang ketiga tidak

mengalami perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi adalah garam

benzolpirilum atau garam flavilium (Achmad 1986 dalam Sari 2013). Hasil yang

berbeda ditunjukkan pada pereaksi ketiga yang tidak terjadi perubahan warna.

Pereaksi ketiga menggunakan campuran asam kuat dan logam, hal ini

menunjukkan senyawa yang dihasilkan pada pereaksi ini merupakan senyawa

kompleks yang dapat bereaksi dengan logam (Mg). Sehingga dapat dikatakan

bahwa Sargassum crassifolium positif mengandung senyawa flavonoid dengan

pereaksi asam dan basam.

(a) (b) (c)

Gambar 11. Hasil Uji Flavonoid Pereaksi Sargassum crassifolium

Hasil positif Pereaksi H2SO4 2N (a) dan Pereaksi NaOH 10% (b), Hasil negatif

Pereaksi HCl+Mg (c)

4.1.3 Saponin

Identifikasi uji saponin pada rumput laut Sargassum crassifolium

menuunjukkan nilai positif, dengan terdapat buih stabil saat pengocokan

dilakukkan. Hal ini menandakan bahwa dalam Sargassum crassifolium

mengandung senyawa saponin. Menurut Rusyid dan Marina dkk (1990) dalam

Sari (2013) menyatakan bahwa busa yang terdapat dalam pengujian senyawa

saponin menunjukkan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam air,

34

senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon. Saponin sendiri

merupakan senyawa glikosida yang termasuk kelompok aglikon. Glikosida

saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin (Cheek, 2005 dalam

Sari 2013).

Gambar 12. Hasil Positif Saponin Sargassum crassifolium

4.1.4 Tanin

Identifikasi uji tanin pada Sargassum crassifolium menunjukan hasil

positif, hal ini dibuktikan dengan adanya endapan berwarna kecoklatan.

Sargassum crassifolium memiliki senyawa tanin yang bereaksi dengan protein

yang ada dalam Sargassum crassifolium dan membentuk kopolimer yang tidak

larut dalam air, dan hal ini sudah dibuktikan dalam uji tanin dengan adanya

endapan yang menandakan adanya kopolimer.

Gambar 13. Hasil Positif Tanin Sargassum crassifolium

4.1.5 Triterpenoid / Steroid

Identifikasi senyawa triterpenoid/steroid pada rumput laut Sargassum

crassifolium menunjukkan nilai positif pada uji steroid dan nilai negatif pada uji

triterpenoid. Karena pada uji steroid, saat ditetesi pereaksi asam sulfat pekat

terjadi perubahan warna biru kehijauan yang mengindikasi senyawa steroid dalam

suatu bahan alam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) yang

35

menyatakan bahwa sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan rendah, tetapi

kadang-kadang terdapat dalam tumbuhan tinggi. Misalnya fukosterol, yaitu

steroid utama pada alga coklat dan kelapa.

Gambar 14. Hasil Positif Steroid Sargassum crassifolium

Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Sargassum crassifolium

Uji Fitokimia Sampel Rumput Laut

Sargassum crassifolium

Alkaloid -

Flavonoid

H2SO4 2N

NaOH 10%

HCl + Mg

+

+

-

Saponin ++

Tanin ++

Steroid +

Triterpenoid -

Keterangan :

- = Negatif

+ = Positif

++ = Positif Kuat

36

Tujuan dilakukannya analisis fitokimia ialah untuk menentukan ciri

senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat yang ditunjukkan

dalam suatu bahan dengan sistem biologi (Harborne 1987).

4.2 Ekstraksi Rumput Laut Sargassum crassifolium

Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa yang terkandung dalam

suatu bahan dengan menggunakan pelarut sesuai dengan kepolaran senyawa yang

diinginkan. Ekstraksi ini bertujuan untuk mendapatkan komponen senyawa yang

terkandung di dalam suatu bahan sesuai kepolaran senyawa tersebut (Harborne

1987). Proses maserasi rumput laut Sargassum crassifolium yang dilakukan dalam

penelitian ini yaitu selama 2x24 jam dengan 3 kali pengulangan, dimana pada

ulangan ke-4, sampel tidak menunjukkan warna hijau. Hal ini dikarenakan

senyawa yang terkandung dalam sampel sudah tidak terdapat lagi pada ulangan

keempat. Proses evaporasi menghasilkan filtrat hasil ulangan tiga kali maserasi

sebanyak 1,2 L pelarut. Jenis ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

eksraksi tunggal yaitu ekstraksi yang hanya menggunakan pelarut metanol, ini

berdasarkan penelitian Sarastani (2002) dan Prabowo (2009) dalam Sari (2013)

yang menunjukkan bahwa rendemen ekstrak dari hasil ekstraksi tunggal jauh lebih

besar dibandingkan dengan ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dalam

proses ekstraksi ini menggunakan pelarut polar berupa metanol. Pelarut polar

dapat menarik senyawa-senyawa polar yang terkandung dalam suatu bahan.

Selain itu, metanol secara umum dapat melarutkan kandungan metabolit sekunder

dari bahan alam dengan berbagai kepolaran (Syahputri, 2012). Metabolit sekunder

target diantaranya senyawa flavonoid penyusun senyawa aktif dalam rumput laut

Sargassum crassifolium.

Suhu yang dipakai pada proses ekstraksi dengan menggunakan rotary

evaporator yaitu dengan suhu 400C dibawah suhu titik didih dari pelarut metanol

yaitu 650C. Hal ini dimaksudkan agar pada saat ekstraksi, senyawa-senyawa yang

terkandung dalam bahan alam tidak rusak akibat suhu tinggi. Hal ini sesuai

dengan pernyatakan Harborne (1987) yang menyatakan bahwa yang biasa

dilakukan dalam penguap putar yang akan memekatkan larutan menjadi volume

37

kecil tanpa terjadi percikan yaitu pada suhu antara 30 dan 400C. Setelah hasil

ekstrak didapat dari ekstraksi, ekstrak ditempatkan pada botol vial kemudian

dimasukkan kedalam lemari es, untuk mencegah kerusakan senyawa yang ada

pada ekstrak. Sebagai tindakan pencegahan untuk kehilangan senyawa, ekstrak

pekat harus disimpan dalam lemari es (Harborne 1987).

Gambar 15. Proses Pemekatan Filtrat Menggunakan Rotary Evaporator

4.2.1 Rendemen Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium

Pada penelitian ini berat sampel kering rumput laut Sargassum

crassifolium yang sudah dihaluskan berjumlah 113,3 gram sedangkan jumlah hasil

ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium adalah 2,58 gram. Rendemen

merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang diperoleh dari suatu bahan terhadap

awal berat bahan simplisia. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil rendemen

merupakan hasil senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan simplisia

tersebut sesuai dengan berat awal simplisia yang diperoleh. Semakin tinggi hasil

persentase rendemen menunjukkan semakin banyak senyawa bioaktif yang

terkandung dalam suatu bahan (Rohmansyah 2011).

Berikut merupakan perhitungan nilai rendemen menurut (SNI-19-1705-

2000 dalam Prabowo 2009) :

38

R = Berat Ekstrak

Berat Sampel 100%

R = 2,58

113,3 100%

= 2,27 %

Dalam 113,3 gram sampel kering rumput laut Sargassum crassifolium

terkandung sekitar 2,27% senyawa bioaktif dalam rumput laut tersebut. Hasil

rendemen ekstrak rumput laut ini salah satunya dipengaruhi oleh jumlah pelarut

yang digunakan dan lama waktu maserasi.

4.3 Hasil Uji LC50 Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium Selama

24 Jam Terhadap Udang Windu

Uji LC50 dilakukan untuk mengetahui batas toleransi udang windu

terhadap ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium dapat menyebabkan 50%

kematian pada hewan uji udang windu. Berikut adalah hasil uji LC50-24 Jam

ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium terhadap larva udang windu, dimana

tiap perlakuannya terdapat 5 larva udang windu dengan umur Post Larva (PL) 22

yang berada di wadah kaca (keller) dengan volume 1 liter :

Tabel 5. Hasil Uji LC50-24 Jam

Waktu Dedah

Konsentrasi

( ppm )

0

(A)

50

(B)

200

(C)

400

(D)

1 2 1 2 1 2 1 2

15 menit

30 menit

1 jam

2 jam

4 jam

6 jam

8 jam

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

1

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

2

-

1

-

-

-

-

-

1

-

-

-

-

-

1

1

-

-

-

-

-

-

-

1

1

-

39

16 jam

24 jam

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

-

-

2

Total Udang

yang Mati

- - 2 1 3 2 3 4

Dilihat dari hasil pengamatan LC50-24 jam, ekstrak pada konsentrasi 50

ppm memberikan 70% kelangsungan hidup udang windu. Ini merupakan

konsentrasi yang paling banyak menunjukkan kelangsungan hidup udang windu

yang tinggi, dikarenakan konsentrasi yang relatif rendah bagi udang windu dan

tidak menjadikan konsentrasi ini menjadi toksik yang dapat mematikan lebih dari

50% hewan uji. Sehingga dapat dikatakan ekstrak rumput laut Sargassum

crassifolium dengan konsentrasi 50 ppm aman bagi kelangsungan hidup udang

windu. Pada konsentrasi 200 ppm, kelangsungan hidup udang windu memberikan

nilai 50% kematian hewan uji. Hidayat (2011) juga menunjukan bahwa ekstrak

rumput laut Sargassum sp. Sebesar 316,228 µg/ml masih dapat ditolerir oleh

udang windu dan pada konsentrasi 10 µg/ml sampai dengan 100 µg/ml

memberikan hasil kelangsungan hidup udang windu yang tinggi. Pada konsentrasi

400 ppm hasil nilai 30% untuk kelangsungan hidup udang windu. Hal ini

dikarenakan pada konsentrasi lebih dari 300 ppm ekstrak rumput laut Sargassum

sp dapat menjadikkan ekstrak tersebut menjadi toksik bagi udang windu karena

konsentrasi yang melebihi ambang batas (Hidayat 2011).

Berikut merupakan hasil analisis LC50 menggunakan program EPA Probit

1.5 dengan konsentrasi 50 ppm, 200 ppm dan 400 ppm dengan 2 kali pengulangan

dan terdapat 5 udang windu untuk tiap perlakuan.

Tabel 6. Hasil Analisis EPA Probit 1.5 Ekstrak Rumput Laut

Sargassum crassifolium Terhadap Larva Udang Windu Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure Point Conc.

LC/EC 1.00 3.570 LC/EC 5.00 11.827

40

LC/EC 10.00 22.401 LC/EC 15.00 34.473 LC/EC 50.00 213.201 LC/EC 85.00 1318.550 LC/EC 90.00 2029.134 LC/EC 95.00 3843.223 LC/EC 99.00 12733.703

Data hasil analisis EPA Probit, menunjukkan bahwa hasil LC50

memberikan nilai sebesar 213,201 ppm, yaitu ekstrak rumput laut Sargassum

crassifolium yang dapat menyebabkan kematian udang windu sebesar 50% yaitu

pada konsentrasi 213 ppm dan dibulatkan menjadi 200 ppm. Berdasarkan

konsentrasi tersebut, maka konsentrasi yang digunakan dalam media

pemeliharaan udang windu adalah perlakuan A = 50 ppm (25% dari 200 ppm),

perlakuan B = 100 ppm (50% dari 200 ppm), perlakuan C = 150 ppm (75% dari

200 ppm), perlakuan D = 200 ppm (100% dari 200 ppm).

4.4 Kelangsungan Hidup Udang Windu Selama Masa Perlakuan

Penambahan Campuran Ekstrak dan Pakan

Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu

bertahan hidup hingga waktu yang ditentukan dalam suatu penelitian atau

percobaan. Tingkat kelangsungan hidup organisme dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

merupakan faktor yang berhubungan dengan organisme itu sendiri seperti umur

dan genetika yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan

dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang

berkaitan dengan lingkungan tempat hidup yang meliputi sifat fisika dan kimia

air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas

(Mudjiman, 1998 dalam Rohman 2013).

Waktu yang digunakan dalam masa perlakuan pemberian pakan dan

ekstrak terhadap udang windu adalah 20 hari. Hal ini berdasarkan masa

pertumbuhan udang yang lebih kurang membutuhkan waktu 20 hari dalam masa

pergantian dari fase mysis ke fase postlarva, dimana pada fase ini sistem imun

41

udang windu sedang berkembang menghasilkan hemosit yang memiliki peranan

penting dalam sistem pertahanan udang. Hemosit bekerja aktif mengeluarkan

partikel asing dalam hemocoel melalui fagositosis (Rodriguez dan Lee Moullac

2000 dalam Rohman 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian Citarasu dkk (2006)

yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak lima jenis tanaman obat (Cyanodon

dactylon, Eagle marmelos, Tinospora corditolia, Picrorizha kuroa dan Eclipta

alba) selama 25 hari pemberian pakan yang ditambahkan ekstrak sebanyak

800mg/kg pakan secara signifikan mampu meningkatkan kelangsungan hidup

udang windu hingga 74%. Pemberian campuran ekstrak dan pakan dimaksudkan

dapat efektif dalam meningkatkan ketahanan tubuh udang windu sebelum

diinfeksikan bakteri Vibrio harveyi. Pada perlakuan pemberian pakan udang

windu yang dicampur dengan ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium,

ditemukan tiap perlakuannya jumlah udang windu berkurang, diduga udang windu

mengalami kanibalisme, sebab tidak ditemukan tubuh udang windu yang mati

tetapi jumlahnya berkurang. Hal ini disebabkan luas penampang yang tidak terlalu

luas yaitu dalam keller, kurangnya jumlah shelter dalam tiap perlakuan dan

kurangnya frekuensi pemberian pakan selama 20 hari masa perlakuan. Selama

penelitian, frekuensi pemberian pakan dilakukan pada rentang pukul 10.00-12.00

dan 15.00-17.00 ini tidak sesuai dengan frekuensi pemberian pakan terhadap

udang yang idealnya dilakukan pada rentang empat jam sekali dan dilakukan

pemberian pakan pada malam hari. Karena pada malam hari udang lebih agresif

dibanding siang hari.

Pada perlakuan kontrol dengan pemberian pakan tidak dicampur ekstrak,

kelangsungan hidup pada masa perlakuan sebesar 86,6%. Perlakuan A dengan

konsentrasi 50 ppm dalam media pemeliharaan udang windu, memberikan

kelangsungan hidup sebesar 83,33%. Perlakuan B dengan konsentrasi 100 ppm,

memberikan kelangsungan hidup sebesar 83,3%. Perlakuan C dengan 150 ppm,

memberikan kelangsungan hidup sebesar 80%. Pada perlakuan D dengan 200

ppm, memberikan kelangsungan hidup sebesar 76,6%. Hal ini dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan hidup udang windu selama masa perlakuan, sifat kanibalisme

udang windu itu sendiri dan kurangnya frekuensi pemberian pakan terhadap

42

udang windu, memicu terjadinya kanibalisme dalam 20 hari masa perlakuan. Sifat

kanibalisme pada udang disebabkan karena lingkungan hidup udang windu yang

tidak sesuai dengan keadaan alamnya (tambak). Selama masa perlakuan, terdapat

stok yang perlakuannya sama dengan penambahan pakan dengan konsentrasi

ekstrak yang berbeda-beda. Keberadaan stok ini berguna mengganti udang windu

yang kurang dalam tiap perlakuan, sebelum masa kohabitasi atau penginfeksian

bakteri Vibrio harveyi. Sehingga jumlah udang windu yang nantinya di uji in vivo

jumlahnya sama dengan jumlah awal masa perlakuan.

Tabel 7. Mortalitas Udang Windu Selama Perlakuan Pemberian Campuran

Ekstrak dan Pakan

Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan

A (50 ppm) 5

B (100 ppm) 5

C (150 ppm) 6

D (200 ppm) 7

Kontrol 4

Gambar 16. Grafik Mortalitas Udang Windu Selama Perlakuan Pemberian

Campuran Pakan dan Ekstrak

0

1

2

3

4

5

6

7

8

A B C D K

Mo

rtal

itas

Perlakuan

Total Mortalitas Udang Windu

Mortalitas

43

4.5 Gejala Klinis Udang Windu Selama Masa Perlakuan

Pada masa uji in vivo udang windu yang diamati memiliki perubahan

gejala klinis jika dibandingkan dengan masa perlakuan pemberian campuran

pakan dan ekstrak. Perubahan gejala klinis tersebut meliputi perubahan respon

udang terhadap pakan, perubahan fisik dan pergerakan udang windu. Terjadi

penurunan respon udang windu terhadap pakan. Hal ini dibuktikan dengan

pergerakan udang windu yang tidak agresif pada saat pemberian pakan. Jika

dibandingkan dengan sebelum uji in vivo, respon udang windu terhadap pakan

yang dicampur ekstrak sangat baik. Respon makan yang baik terlihat saat

pemberian pakan, udang windu bergerak untuk berenang ke atas mengambil

pakan yang belum tenggelam atau pakan yang masih berada dipermukaan air.

Perubahan juga terjadi pada perubahan fisik udang windu. Udang windu yang

diamati pada saat uji in vivo berenang lambat dan selalu berada di dasar air. Hal

ini berbeda pada saat perlakuan pemberian pakan, udang windu lebih agresif

dengan seringnya berenang ke atas permukaan air dan mengelilingi keller.

Informasi dari petambak udang windu, menyatakan bahwa indikasi udang

windu yang tidak sehat diantaranya adalah terdapat udang yang terlihat menempel

pada tempat wadah (keller/akuarium) itu menandakan udang yang stres. Hal ini

disebabkan pengaruh kondisi lingkungan udang yang tidak sesuai dengan kondisi

alaminya (tambak). Tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat udang yang

menempel di pinggir tempat wadah pada saat perlakuan pemberian penambahan

pakan dan ekstrak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada perlakuan pemberian

pakan dan ekstrak tidak memberikan pengaruh buruk dari penambahan ekstrak.

Penambahan ekstrak tidak bersifat toksik terhadap udang windu. Hal ini

dibuktikan dengan tidak ditemukannya udang mati pada saat perlakuan.

44

Gambar 17. Udang windu mati karena Vibrio harveyi

4.6 Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Uji In Vivo

Pada uji in vivo atau uji tantang yaitu penginfeksian terhadap udang windu

dengan kepadatan bakteri Vibrio harveyi sebesar 104 cfu/ml kelangsungan hidup

udang windu mencapai 100% pada semua perlakuan (konsentrasi ekstrak dalam

media pemeliharaan, yaitu 50, 100, 150 dan 200 ppm) kecuali perlakuan kontrol

yaitu perlakuan pemberian pakan tanpa ekstrak, dengan kelangsungan hidup

mencapai 93,3%. Hal ini diduga penginfeksian dengan kepadatan bakteri 104

cfu/ml tidak bersifat patogen terhadap udang windu. Penelitian ini tidak sesuai

dengan pernyataan Roza dan Zafran (1993) dalam Noiborhu (2002) yang

menyatakan bahwa kepadatan bakteri Vibrio harveyi dalam air yang mencapai

8.35 x 104 cfu/ml bersifat patogen bagi larva udang windu. Hal ini juga diduga

pada penelitian ini konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam campuran pakan

cukup tinggi, yaitu pada perlakuan A (50 ppm dalam media pemeliharaan)

konsentrasi ekstrak yang digunakan pada percampuran pakan sebesar 49,98

ppm/10gr pakan. Perlakuan B (100 ppm dalam media pemeliharaan) sebesar

99,86 ppm/10gr pakan. Perlakuan C (150 ppm dalam media pemeliharaan)

sebesar 149,97 ppm/10 gr pakan. Perlakuan D (200 ppm dalam media

pemeliharaan) sebesar 199,98 ppm/10 gr pakan.

Pada penelitian ini dilakukan penginfeksian kembali dengan peningkatan

konsentrasi Vibrio harveyi mencapai 107 cfu/ml. Hal ini diperkuat dengan

pernyataan Anonim (2007) dalam Azis (2011) yang menyatakan bahwa informasi

dosis infeksi bakteri terhadap udang windu sangat dibutuhkan bagi pembudidaya

udang windu. Dalam proses budidaya udang windu kriteria air tambak yang baik

45

adalah dengan jumlah bakteri Vibrio tidak melebihi 102 cfu/ml pada saat

penebaran dan 104 cfu/ml pada pertengahan dan akhir pemeliharaan. Pada

penginfeksian ini, umur udang windu yang digunakan sudah mencapai PL 35,

sehingga dapat dikatakan bahwa sistem imun dari udang windu sendiri sudah

semakin kompleks dengan seiring bertambahnya umur udang windu, karena pada

fase ini udang windu mulai beralih dari fase postlarva menuju pada fase juvenil

yaitu awal fase udang dewasa. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa Sargassum

crassifolium mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin dan steroid.

Senyawa flavonoid merupakan salah satu senyawa yang dikategorikan senyawa

yang memiliki aktivitas imunomodulator (Collegate 1993 dalam Syarifah 2006).

Pada penelitian senyawa flavonoid yang terkandung dalam Sargassum

crassifolium yang dicampur dengan pakan, memiliki aktivitas imunomodulator

pada udang windu. Pada penelitian ini udang windu yang sudah diberi perlakuan

pemberian penambahan campuran ekstrak Sargassum crassifolium dan pakan

selama 20 hari dapat mentoleransi bakteri Vibrio harveyi dengan kepadatan 104

cfu/ml. Sehingga perlunya penginfeksian lanjutan dengan kepadatan melebihi 104

cfu/ml untuk melihat toleransi imunomodulasi udang windu dari ekstrak

Sargassum crassifolium terhadap ketahanan udang windu.

Tabel 8. Mortalitas Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio harveyi Kepadatan

104 cfu/ml

Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan

A (50 ppm) -

B (100 ppm) -

C (150 ppm) -

D (200 ppm) -

Kontrol 2

46

Gambar 18. Grafik Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Penginfeksian

Vibrio harveyi Kepadatan 104 cfu/ml

4.6.1 Uji In vivo dengan Penginfeksian Peningkatan Konsentrasi Vibrio

harveyi Kepadatan 107 cfu/ml

Penginfeksian udang windu dengan kepadatan bakteri Vibrio harveyi 107

cfu/ml menghasilkan kelangsungan hidup mencapai 100% baik perlakuan kontrol

tanpa penambahan ekstrak Sargassum crassifolium maupun perlakuan yang diberi

penambahan ekstrak. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak Sargassum

crassifolium yang terkandung dalam pakan udang windu yang digunakan cukup

tinggi yaitu 49,98 ppm/10 gr pakan, 99,86 ppm/10 gr pakan, 149,97 ppm/10 gr

pakan, 199,98 ppm/10 gr pakan dan campuran ekstrak pakan ini memiliki

aktivitas sebagai imunomodulator pada tubuh udang windu dibuktikan dengan

kelangsungan hidup udang windu pada masa perlakuan. Selama uji in vivo udang

windu tetap diberi campuran ekstrak dan pakan sehingga diduga campuran ekstrak

Sargassum crassifolium pada pakan juga memiliki aktivitas antibakteri sebagai

probiotik alami dalam lingkungan perairan udang windu. Hasil positif senyawa

saponin dan tanin pada Sargassum crassifolium, memperkuat dugaan bahwa

ekstrak yang terkandung dalam campuran ekstrak memiliki aktivitas antibakteri.

Hal ini dibuktikan dengan uji TPC bakteri Vibrio harveyi, yaitu

perhitungan jumlah koloni bakteri dalam cawan petri. Perbandingan hasil TPC

88%

90%

92%

94%

96%

98%

100%

102%

A B C D K

Pe

rse

nta

se S

R

Perlakuan

Survival Rate Udang Windu

SR

47

bakteri Vibrio harveyi sebelum direndam dengan campuran ekstrak pakan dan

hasil TPC bakteri yang sudah direndam selama 24 jam, menghasilkan TPC yang

sebelum direndam 344 koloni, dan yang sudah direndam 237 koloni (Lampiran

17). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri Vibrio harveyi

pada saat perendaman dengan campuran ekstrak dan pakan. Pernyataan ini

diperkuat dengan Penelitian Hidayat (2012) menunjukan bahwa Ekstrak

Sargassum sp. pada konsentrasi 237,102 µg/ml efektif menghambat pertumbuhan

bakteri Vibrio harveyi kepadatan 107 cfu/ml. Pada penginfeksian ini, umur udang

windu yang digunakan sudah mencapai PL 38, artinya udang windu mulai beralih

dari fase post larva (PL) ke fase juvenil.

Tabel 9. Mortalitas Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio Harveyi

Kepadatan 107 cfu/ml

Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan

A (50 ppm) -

B (100 ppm) -

C (150 ppm) -

D (200 ppm) -

Kontrol -

Gambar 19. Grafik Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Penginfeksian

Vibrio Harveyi Kepadatan 107 cfu/ml

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

A B C D K

Pe

rse

nta

se S

R

Perlakuan

Kelangsungan Hidup Udang Windu

SR

48

4.7 Parameter Kualitas Air

4.7.1 Salinitas

Salinitas atau kadar garam air selama penelitian, dikategorikan baik atau

sesuai dengan masa hidup udang windu di tambak. Hal ini dikarenakan air yang

dipakai selama proses penelitian merupakan air laut, bukan air tawar yang

ditambahkan garam krosok. Selama proses penelitian ditemukan perubahan

salinitas yang signifikan, dimana stok akuarium yang diberi pengatur suhu

(Heater) dengan pengaturan suhu 30-320C mempengaruhi nilai salinitas. Semakin

tinggi suhu dalam penelitian, semakin tinggi nilai salinitasnya. Nilai salinitas

dalam penelitian adalah 30-38 ppt. Udang windu dapat hidup dengan salinitas 5-

40 ppt dan kisaran optimumnya adalah 30 ppt. Hal ini diperkuat dengan

pernyataan Rakhmatun dan Mudjiman (2003) yang menyatakan bahwa udang

windu tumbuh paling baik pada kadar garam 15-35 ppt.

4.7.2 Suhu

Suhu selama penelitian berkisar 25-280C dan masih berada dalam

kelayakan pemeliharaan udang windu. Suhu dalam perlakuan dikategorikan cukup

rendah, hal ini dikarenakan tiap perlakuan tidak menggunakan pengatur suhu.

Tetapi dalam pelaksanaan penelitian, terdapat stok air laut dalam akuarium yang

diaerasi dan diberi pengatur suhu (Heater). Sehingga dalam pelaksanaan

penelitian, setelah proses sipon yaitu pembersihan tempat pemeliharaan udang

windu. Pengganti air buangan sipon adalah stok air laut yang di akuarium

tersebut. Sehingga suhunya masih terjaga. suhu optimum udang windu adalah 28-

320C. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suyatno (2001) yang menyatakan

bahwa kisaran suhu yang baik di kawasan tambak budidaya udang windu adalah

kisaran 280 – 320 C.

49

4.7.3 DO (Oksigen Terlarut)

Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar 6,5 – 8,3 mg/L.

Nilai tersebut masih dikategorikan layak untuk kelangsungan hidup udang windu.

Dimana kisaran yang aman untuk kelangsungan hidup udang windu adalah

dengan nilai DO diatas 3. Dan oksigen terlarut yang optimum pada udang windu

adalah 4-8 mg/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyanto (2004) bahwa kisaran

oksigen terlarut yang baik untuk budidaya udang windu adalah 4-8 mg/L.

4.7.4 pH

Derajat keasaman atau pH selama penelitian berkisar antara 6,90 – 7,14.

Nilai pH ini masih layak bagi kelangsungan hidup udang windu. Walaupun bukan

dikategorikan pH yang optimum bagi kehidupan udang windu. pH yang optimum

bagi kehidupan udang windu adalah dengan kisaran 7 – 8. Hal ini diperkuat

dengan pernyataan Ghufron (1997) bahwa pH yang optimal bagi kehidupan dan

pertumbuhan udang windu adalah 6,8 - 8,7 .