bab iv hasil dan pembahasan 4.1 gambaran...

26
37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh terumbu karang yang berbentuk atol. Iklim di Pulau Biawak banyak dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur. Dimana pada saat musim barat angin bergerak dari barat menuju timur yang biasanya disertai oleh hujan, sedangkan pada musim timur angin bergerak dari timur menuju barat yang biasanya disertai dengan angin yang berhembus kencang. Musim barat berlangsung mulai dari akhir bulan November sampai dengan akhir bulan Februari dan musim timur berlangsung mulai dari akhir bulan Mei sampai dengan akhir bulan Agustus. Musim barat dengan musim timur diselingi oleh musim peralihan yang memiliki kondisi laut yang berubah-ubah tetapi relatif tenang (Pramesti 2011). Luas dari Pulau Biawak ± 120 Ha yang terdiri dari ± 80 Ha hutan bakau dan ± 40 Ha hutan pantai/darat. Panjang pulau dari timur ke barat ± 1 km dan dari utara ke selatan ± 0.5 km (DKP 2006). Lokasi penelitian terletak di bagian selatan, barat, dan barat laut. Perairan dalam Pulau Biawak dapat mencapai kedalaman lebih dari 40 meter dan perairan dangkal dapat mencapai kedalaman kurang dari 5 meter (Dishidros 2003). 4.2 Distribusi Parameter Oseanografi Fisika, Kimia, dan Biologi 4.2.1 Kedalaman Perairan Kedalaman perairan saat pengukuran yang dilakukan secara in situ pada lokasi penelitian didapatkan kedalaman berkisar antara 0.7 m sampai 40 m (Lampiran 2a). Kedalaman perairan tertinggi terdapat pada stasiun 5 dengan kedalaman 40 m dan terendah pada stasiun 1 dan stasiun 6 yang hanya memiliki kedalaman 0.7 m. Perbedaan kedalaman yang nilainya sangat jauh ini dikarenakan karakteristik perairan Pulau Biawak yang memilki topografi landai ke arah laut

Upload: phungnguyet

Post on 10-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi

berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

terumbu karang yang berbentuk atol. Iklim di Pulau Biawak banyak dipengaruhi

oleh musim barat dan musim timur. Dimana pada saat musim barat angin

bergerak dari barat menuju timur yang biasanya disertai oleh hujan, sedangkan

pada musim timur angin bergerak dari timur menuju barat yang biasanya disertai

dengan angin yang berhembus kencang. Musim barat berlangsung mulai dari

akhir bulan November sampai dengan akhir bulan Februari dan musim timur

berlangsung mulai dari akhir bulan Mei sampai dengan akhir bulan Agustus.

Musim barat dengan musim timur diselingi oleh musim peralihan yang memiliki

kondisi laut yang berubah-ubah tetapi relatif tenang (Pramesti 2011).

Luas dari Pulau Biawak ± 120 Ha yang terdiri dari ± 80 Ha hutan bakau

dan ± 40 Ha hutan pantai/darat. Panjang pulau dari timur ke barat ± 1 km dan dari

utara ke selatan ± 0.5 km (DKP 2006). Lokasi penelitian terletak di bagian

selatan, barat, dan barat laut. Perairan dalam Pulau Biawak dapat mencapai

kedalaman lebih dari 40 meter dan perairan dangkal dapat mencapai kedalaman

kurang dari 5 meter (Dishidros 2003).

4.2 Distribusi Parameter Oseanografi Fisika, Kimia, dan Biologi

4.2.1 Kedalaman Perairan

Kedalaman perairan saat pengukuran yang dilakukan secara in situ pada

lokasi penelitian didapatkan kedalaman berkisar antara 0.7 m sampai 40 m

(Lampiran 2a). Kedalaman perairan tertinggi terdapat pada stasiun 5 dengan

kedalaman 40 m dan terendah pada stasiun 1 dan stasiun 6 yang hanya memiliki

kedalaman 0.7 m. Perbedaan kedalaman yang nilainya sangat jauh ini dikarenakan

karakteristik perairan Pulau Biawak yang memilki topografi landai ke arah laut

38

kemudian diikuti tubir yang menjorok tajam ke dasar laut. Kedalaman dari suatu

perairan ditentukan dari relief dasar lautnya (Wibisono 2005).

Kedalaman yang didapatkan pada masing-masing stasiun memiliki kisaran

nilai yang mendukung kegiatan budidaya laut. Pada stasiun 1, 4, dan 6 yang

mendukung untuk teripang dan rumput laut, sedangkan pada stasiun 2,3, dan 5

mendukung untuk KJA. Sesuai dengan pernyataan Ghufron dan Kordi (2005)

budidaya kerapu dengan sistem KJA membutuhkan kedalaman perairan berkisar

antara 7 - 15 m. Teripang membutuhkan kedalaman 0,5 – 1 Budidaya kerapu

menggunakan sistem keramba jaring apung misalnya membutuhkan kedalaman 7-

15 m (Gufron dan Kordi 2005). Teripang membutuhkan kedalaman 0.5 – 1 m

(Martoyo dkk, 2007). Rumput laut membutuhkan kedalaman tidak lebih dari 10 m

(Irstiyanto 2003). Sebaran spasial dari kedalaman perairan dapat dilihat pada

Gambar 9.

Gambar 9. Sebaran Spasial Kedalaman Perairan Pulau Biawak

Pada Gambar 9 terlihat bahwa stasiun 1, 4 dan 6 terletak pada daerah laut

yang memiliki kedalaman rendah di bawah 10 m sedangkan pada stasiun 2, 3, dan

5 terletak pada daerah laut dalam yang memiliki kedalaman lebih dari 10 m.

4.2.2 Suhu Perairan

Variasi suhu yang terdapat di Pulau Biawak pada saat pengukuran

berkisar antara 30 - 31.9ºC (Lampiran 2a). Variasi suhu kemungkinan dapat

39

dikarenakan oleh intensitas cahaya yang diterima oleh badan air. Sesuai dengan

pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa suhu suatu perairan sangat

berkaitan dengan penutupan awan dan musim yang mempengaruhi intensitas

cahaya matahari yang diserap oleh badan air. Suhu perairan yang didapat dari

masing – masing lokasi sampling masih layak untuk dilaksanakannya budidaya

baik teripang, ikan kerapu, maupun rumput laut. Menurut Martoyo dkk (2007)

Teripang memiliki nilai optimum suhu agar tumbuh dengan baik berkisar antara

24 - 30ºC, sedangkan menurut Puslitbangkan (1991) suhu perairan yang

digunakan untuk budidaya rumput laut adalah 20 - 28°C dengan fluktuasi harian

maksimum 4°C. Sementara kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan antara 24 -

32ºC (Ghufron dan Kordi 2005). Suhu sangat berperan dalam kehidupan suatu

organisme karena mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaran

spasial dari suhu perairan di Pulau Biawak dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Sebaran Spasial Suhu Perairan Pulau Biawak

Pada Gambar 10 dapat dlihat bahwa stasiun 1 memiliki nilai suhu yang

tertinggi yaitu 31,9 ºC dan yang terendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai

suhu 30 ºC. Kisaran suhu yang terdapat pada lokasi sampling ini sesuai dengan

kisaran suhu yang tedapat di Laut Jawa yang berkisar antara 22 - 31 ºC Pulau

Biawak terletak di perairan Laut Jawa (Yusniati 2005).

40

4.2.3 Arus

Hasil pengukuran kecepatan arus mendapatkan nilai yang berkisar 0,062-

0,4 m/s (Lampiran 2a). Pada stasiun 4, 5 dan 6 layak untuk budidaya teripang,

ikan kerapu maupun rumput laut karena menurut Ghufron dan Kordi 2005

kecepatan arus yang ideal untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA adalah

0,2 – 0,5 m/s, sedangkan Martoyo dkk (2007) berpendapat bahwa teripang dapat

hidup dengan optimal dengan peairan yang memiliki kecepatan arus berkisar

antara 0,3 – 0,5 m/s. Sementara kecepatan arus yang dibutuhkan untuk budidaya

rumput laut adalah 20 – 30 cm/detik (DKP 2002 dalam Kangkan 2006).

Sedangkan untuk stasiun 1, 2, dan 3 memiliki kecepatan arus yang tidak

mendukung kegiatan tersebut. Arus berperan dalam kegiatan budidaya sebagai

pembawa unsur hara, oksigen, dan berperan dalam pertukaran air dalam suatu

perairan (Ghufron dan Kordi 2005). Kecepatan arus juga berpengaruh terhadap

masa pakai instalasi budidaya, karena arus yang terlalu kencang dapat lebih cepat

merusak sarana budidaya. Sebaran spasial kecepatan dan arah arus dapat dilihat

pada Gambar 11.

Gambar 11. Sebaran Spasial Kecepatan dan Arah Arus Perairan Pulau Biawak

Kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 1 dan kecepatan arus

tertinggi terdapat pada stasiun 6 dimana arus bergerak dari arah tenggara menuju

arah utara. Perbedaan dari kecepatan arus dapat terjadi kerena adanya perbedaan

41

lokasi, selain itu adanya bangunan dapat memperlemah kecepatan arus karena

dapat mengakbatkan terjadinya pembelokan arus pada lokasi yang terdapat

bangunan (Kangkan 2006). Pada stasiun 1 terdapat bangunan dermaga yang

kemungkinan besar mempengaruhi kecepatan arusnya sehingga pada stasiun 1

memiliki nilai kecepatan arus yang rendah.

4.2.4 Kecerahan Perairan

Kecerahan perairan yang didapatkan pada saat pengukuran berkisar antara

0,7 – 10 m (Lampiran 2a). Pada stasiun 1, 4 dan 6 mempunyai nilai kecerahan

100%. Menurut Ketjulan (2010) kecerahan 100% artinya daya tembus dari sinar

matahari dapat mencapai 10 m di bawah permukaan laut. Kecerahan perairan

tinggi dibutuhkan oleh rumput karena berkaitan dengan sinar matahari yang

masuk atau diserap oleh perairan. Sinar matahari sangat dibutuhkan oleh rumput

laut untuk dapat melakukan proses fotosintesis.

Nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran,

kekeruhan, dan muatan padatan tersuspensi selain itu juga di pengaruhi oleh

kedalaman perairan (Effendi 2003). Sebaran spasial dari nilai kecerahan dapat

dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran Spasial Kecerahan Perairan Pulau Biawak

42

Hasil pengukuran dari setiap lokasi sampling didapatkan nilai yang layak

untuk budidaya rumput laut, teripang, maupun ikan kerapu dengan sistem KJA

sesuai dengan pendapat Wibisono (2005) bahwa kecerahan yang diperbolehkan

untuk budidaya perikanan berkisar antara 5 – 10 m. Pada stasiun 1, 4, dan 6

memiliki nilai kecerahan 0,7 m dan 0,8 m dikarenakan kedalaman yang rendah

yaitu 0,7 – 0,8 m yang berarti nilai kecerahan pada stasiun 1, 4, dan 6 adalah

100%.

4.2.5 Tinggi Gelombang

Tinggi Gelombang didapatkan dari data hasil Biawak Research and

Exploration (BIEXRE) 1 dan 2 yang menunjukkan bahwa tinggi gelombang yang

didapatkan pada bulan November memiliki rata-rata tinggi gelombang sebesar

0,602 m. tinggi gelombang yang didapat kurang layak untuk dilakukan budidaya

rumput laut, teripang, dan ikan kerapu dengan sistem KJA karena menurut

Ariyanti (2007) dalam Fatah (2012) tinggi gelombang yang dianjurkan untuk

kegiatan budidaya tidak lebih dari 0,5 m. Pola sebaran dari tinggi gelombang

untuk bulan November dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Sebaran Spasial Tinggi Gelombang Bulan November Tahun 2012

Perairan Pulau Biawak ( Sumber : Purba dkk 2012)

43

Berdasarkan Gambar 13 menunjukkan bahwa tinggi gelombang perairan

Pulau Biawak memiliki nilai tinggi gelombang yang tidak jauh berbeda, itu dapat

dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh atau ruang lingkup yang kecil. Dalam

penentuan suatu lokasi untuk budidaya sebaiknya lokasi terletak di daerah yang

terlindung seperti halnya keterlindungan dari gelombang tinggi.

4.2.6 Pasang Surut

Tipe Pasang surut yang didapatkan untuk bulan November yang masuk

pada musim peralihan adalah pasang surut tipe campuran atau dalam satu hari

terdapat bentuk bentuk pasut yang condong ke bentuk tipe harian tunggal ataupun

condong ke bentuk tipe harian ganda. Dari hasil BIEXRE didapatkan pasang

tertinggi mencapai 0,38 meter dan surut terendah sebesar 0,35 meter. Rentang

pasut rata-rata pada musim ini adalah 0,64 meter. Pola pasang surut di Pulau

Biawak pada bulan November dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Pola Pasang Surut Bulan November Tahun 2012 Perairan

Pulau Biawak

Tipe dari pasang surut tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan

oleh Dahuri (1996) yang menyatakan bahwa karakteristik pasang surut untuk

44

daerah Cirebon dan sekitarnya memiliki tipe pasang surut campuran. Pasang surut

ini sangat berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam lokasi budidaya. Dimana pada

saat air pasang, maka air segar dengan kadar oksigen yang lebih tinggi dan

plankton yang melimpah masuk, sedangkan pada saat air surut terjadi

penggelontoran air lama yang kurang oksigen dan penuh zat metabolit serta gas

terlarut yang bersifat toksik dibuang keluar (Wibisono 2005).

4.2.7 Salinitas Perairan

Nilai salinitas yang didapatkan saat pengukuran berkisar 34 – 36 ppt

(Lampiran 2a). Secara umum nilai salinitas di perairan Pulau Biawak

memperlihatkan kisaran yang mendukung untuk kegiatan budidaya laut. Sesuai

dengan pendapat Martoyo dkk (2007) budidaya teripang membutuhkan salinitas

antara 28 - 34 ppt agar tumbuh optimal, sedangkan salinitas yang optimal untuk

pertumbuhan rumput laut berkisar antara 28 - 35 ppt (Ditjenkan Budidaya 2005

dalam Laporan Akhir BPP-PSPL Universitas Riau 2009) dan untuk budidaya ikan

kerapu 15 - 35 ppt (Ghufron dan Kordi 2005). Sebaran spasial dari salinitas

perairan di Pulau Biawak dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Sebaran Spasial Salinitas Perairan Pulau Biawak

Nilai salinitas terendah terdapat pada stasiun 2, 3 dan 5 yaitu 34 ppt,

sedangkan nilai salinitas pada stasiun 1 sebesar 36 ppt, stasiun 4 sebesar 36 ppt ,

dan stasiun 6 sebesar 35 ppt. Perbedaan salinitas yang tidak signifikan ini dapat

dikarenakan tidak adanya sungai di Pulau Biawak yang dapat membuat nilai

45

salinitas di daerah dekat pantai dan jauh dari pantai berbeda signifikan. Nilai

salinitas yang didapat sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang menjelaskan

bahwa salinitas air laut berkisar antara 30 – 40 ppt.

4.2.8 Material Dasar Perairan

Material dasar perairan yang didapatkan pada saat pengambilan sampel

berupa pasir yang bercampur dengan pecahan karang yang terdapat pada stasiun

1, 2, 4, dan 6. Pada stasiun 3 dan 5 didapatkan material dasar berupa karang. Pada

stasiun 3 dan 5 hanya dilakukan secara visual saja karena material dasarnya

berupa karang yang tidak dapat dilakukan pengambilan contoh sedimen. Pada

stasiun 1,2,4, dan 6 dianalisis lebih lanjut dan didapatkan komposisi tekstur

material dasar perairan (Lampiran 3a). Setelah diketahui komposisi tekstur dari

masing-masing sampel di tentukan jenisnya menggunakan segitiga Millar untuk

menentukan tipe material dasar perairan. Dari analisis segitiga Millar untuk

sampel stasiun 1, 2, 4, dan 6 didapatkan tipe yang sama yaitu material dasar

berupa pasir (Lampiran 3b).

Secara keseluruhan material dasar perairan yang terdapat dari masing-

masing stasiun sampling masih mendukung untuk kegiatan budidaya laut, karena

material yang terdapat berupa berupa pasir dan karang. Material ini sangat cocok

untuk cocok untuk budidaya ketiga kultivan, selain itu material tersebut dapat

mempermudah dalam instalasi tempat budidaya. Material dasar perairan yang

hanya memiliki dua variabel yaitu pasir dengan pecahan karang dan karang maka

untuk sebaran spasial tidak dapat di tampilkan, dikarenakan memerlukan

setidaknya tiga variabel untuk dapat membuat sebaran spasial dari material dasar

perairan.

4.2.9 Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH yang dilakukan di lokasi sampling didapatkan nilai

pH yang berkisar antara 7,5 – 8 (Lampiran 2a). Hasil ini menunjukkan nilai pH

yang layak untuk kegiatan budidaya teripang, rumput laut, dan ikan kerapu.

Sesuai dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa biota akuatik

menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5. Sebaran spasial dari pH perairan Pulau Biawak

dapat dilihat pada Gambar 16.

46

Gambar 16. Sebaran Spasial pH Perairan Pulau Biawak

Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1,2,3,dan 5 dengan nilai pH 8,

sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun 6 dengan nilai 7,5. Nilai pH yang

didapat tidak memiliki perbedaan yang signifikan, kemungkinan hal ini terjadi

karena daerah dari lokasi sampling yang tidak terlalu berjauhan. Besarnya nilai

pH dipengaruhi oleh salinitas dan temperature (Brotowidjoyo dkk 1995).

4.2.10 Dissolved Oxygen (DO)

Hasil dari pengukuran DO menunjukkan nilai yang berkisar antara 5,1 –

6,4 mg/L (Lampiran 2a). Perbedaan nilai DO pada masing-masing stasiun diduga,

disebabkan karena perbedaan waktu pengukuran. Menurut Effendi (2003) kadar

oksigen terlarut berfluktuasi secara harian, musiman, tergantung pada

pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan

limbah yang masuk ke dalam badan air. Sebaran spasial dari DO dapat dilihat

pada Gambar 17.

Gambar 17. Sebaran Spasial DO Perairan Pulau Biawak

47

Nilai DO yang terdapat pada masing - masing stasiun masih mendukung

untuk kegiatan budidaya laut. Menurut KEPMEN LH No 51 tahun 2004

(Lampiran 4) kadar DO untuk biota laut baiknya lebih dari 5 mg/L. Menurut

Brotowidjoyo (1995) kadar oksigen ini berpengaruh terhadap metabolisme, jika

kandungan oksigen rendah, maka laju metabolisme juga akan rendah.

4.2.11 Fosfat

Hasil pengukuran kandungan fosfat berkisar antara 0,155 – 0,19 mg/L

dengan nilai rata-rata 0,1725 mg/L (Lampiran 2b). Kandungan fosfat terendah

terdapat pada stasiun 6 dan kandungan fosfat tertinggi terdapat pada stasiun 1.

Perbedaan dari kandungan fosfat pada masing-masing stasiun diduga disebabkan

oleh adanya masukan bahan organik ataupun pengikisan batuan fosfat oleh aliran

air. Sebaran spasial fosfat dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Sebaran Spasial Fosfat Perairan Pulau Biawak

Brotowidjoyo dkk (1995) menyatakan bahwa sumber fosfat yang berada

dalam perairan juga dapat berasal dari proses pengikisan batuan di pantai. Fosfat

dapat berasal dari mangrove dan lamun yang dilalui melau proses dekomposisi

serasah mangrove maupun lamun. Menurut KepMen LH No 51 tahun 2004

menyatakan bahwa kandungan fosfat yang baik untuk biota akuatik adalah 0,015

mg/L. Fosfat berperan penting bagi kehidupan tumbuhan sebagai zat makanan

bagi tumbuhan. Hasil pengukuran kadar fosfat menunjukkan nilai yang cukup

mendukung bagi kegiatan budidaya laut.

48

4.2.12 Nitrat

Hasil pengukuran kadar nitrat yang terkandung berkisar antara 0,325 –

1,605 mg/L (Lampiran 2b). Kandungan nitrat ini masih mendukung untuk

kegiatan budidaya laut. Kangkan (2006) menyatakan kandungan nitrat yang

berkisar 0.145 mg/l sampai 4.134 mg/l masih mendukung untuk dilakukannya

kegiatan budidaya laut. Banyaknya nitrat di perairan banyak di akibatkan oleh

kegiatan manusia di daratan ataupun kotoran hewan yang masuk ke perairan.

Sebaran spasial dari nitrat dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Sebaran Spasial Nitrat Perairan Pulau Biawak

Perbedaan yang terdapat pada masing-masing lokasi sampling bisa

dikarenakan oleh adanya konsentrasi nitrat yang tinggi pada susbstrat di dasar

perairan. Seperti yang telah di jelaskan oleh Kangkan (2006) dimana perairan

yang cukup dalam dapat memungkinkan terjadinya penguraian terhadap partikel

yang tenggelam menjad nitrogen organik dan pernyataan dari Hutabarat (2000)

dimana kedalaman suatu perairan mempengaruhi konsentrasi dari nitrat.

4.2.13 Kepadatan Plankton

Hasil pengukuran kepadatan plankton yang dilakukan secara ex-situ

mendapatkan nilai 2 – 4 sel/L dengan rata – rata 3 sel/L (Lampiran 2a). Perbedaan

hasil yang didapat diduga dikarenakan perbedaan kandungan nutrien, kedalaman,

dan arus. Menurut Brotowidjoyo dkk (1995) menyatakan bahwa plankton hanya

49

menempati lapisan air laut yang mendapat sinar matahari. Plankton jenis

fitoplankton membutuhkan matahari untuk berfotosintesis dan nutrient yang

dibutuhkan sebagai bahan makan. Sebaran spasial dari kepadatan plankton dapat

dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Sebaran Spasial Kepadatan Plankton Perairan Pulau Biawak

Dari hasil pengukuran pada masing-masing stasiun menunjukkan hasil

yang baik dan sesuai dengan baku mutu KepMen LH No 51 Tahun 2004 karena

tidak terjadinya bloom. Plankton memiliki suatu kebiasaan yang antara lain adalah

migrasi nokturnal yaitu pola migrasi ke arah permukaan pada saat petang dan

kembali bermigrasi ke lapisan dalam bila menjelang fajar (Pratama 2012)

4.2.14 Klorofil-a

Hasil pengukuran klorofil-a yang terkandung dalam perairan pulau biawak

berkisar antara 0,47 - 0,9390 mg/L dengan rata-rata 0,6435 mg/L (Lampiran 2a).

Nilai klorofil-a yang tertinggi di dapat pada stasiun 2 dan yang terendah didapat

pada stasiun 6. Kandungan klorofil-a sangat bergantung pada keberadaan

fitoplankton. Menurut Nontji (2005) perbedaan kandungan klorofil-a pada

dikarenakan perbedaan dari lokasi dan jumlah dari plankton. Sebaran spasial

untuk klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 21.

50

Gambar 21. Sebaran Spasial Klorofil-a Perairan Pulau Biawak

Klorofil-a merupakan salah satu variabel yang menentukan nilai kesuburan

suatu perairan selain dari fosfat dan nitrat. Klorofil –a sebenarnya tidak langsung

mempengaruhi kegiatan budidaya laut, tetapi hanya menjaga keseimbangan dari

perairan tersebut. Hasil dari analisis klorofil-a yang didapatkan memiliki nilai

yang kurang mendukung untuk kegiatan budidaya laut, sesuai dengan pernyataan

Kangkan (2006) nilai klorofil-a yang berkisar 0.033 mg/l sampai 0.037 mg/l kurang

mendukung untuk kegiatan budidaya laut karena jumlah yang kurang dari 4 mg/l.

4.3 Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut

Hasil penelitian yang ditunjukkan pada Lampiran 2a dan 1b digunakan

sebagai data input untuk analisis menggunakan matriks kesesuaian yang tertera

pada Tabel 6, 8, dan 10. Dari hasil analisis menggunakan matriks kesesuaian

didapatkan nilai skor yang digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian bagi

ketiga jenis kultivan yang akan dikembangkan nantinya. Total nilai skor yang di

dapat dengan menggunakan perhitungan yang didapatkan dari Tabel 7, 9, dan 11

terhadap rata-rata hasil dari pengamatan yang terdapat pada Lampiran 2a dan 1b

ditunjukkan pada Tabel 12.

51

Tabel 12. Total Skor dari Rata-Rata Nilai Matriks Kesesuaian Perairan Pulau

Biawak Zona Penyangga dan Zona Budidaya Terbatas

Variabel Kultivan Budidaya

Rumput Laut Ikan Kerapu (KJA) Teripang

Kedalaman 3 15 3

Suhu 2 6 6

Kecepatan Arus 15 15 15

Kecerahan 15 10 2

Tinggi

Gelombang 3 2 2

Tipe Pasang

Surut 3 6 6

Material Dasar

Perairan 3 10 15

pH 5 5 6

DO 3 6 10

Salinitas 6 10 2

Fosfat 9 3 3

Nitrat 15 5 5

Kepadatan

Plankton 1 1 3

Klorofil-a 1 1 1

Total Skor 84 86 79

Total skor yang didapat dari hasil untuk rumput laut adalah 84 menurut

Tabel 6 memiliki kelas kesesuaian layak. Total skor untuk kultivan ikan kerapu

dengan sistem KJA adalah 86 memiliki kelas kesesuaian layak berdasarkan pada

tabel 8, sedangkan total skor yang didapat untuk kultivan teripang adalah 79

memiliki kelas kesesuaian cukup layak berdasarkan tabel 10. Hasil evaluasi

masing-masing kultivan terdapat pada sub bab dibawah ini.

4.3.1 Lokasi Pengembangan untuk Budidaya Rumput Laut

Pada Tabel 12 menunjukkan nilai skor total dari rata-rata nilai untuk

parameter fisik, kimia, dan biologi adalah 84 dimana nilai ini menempati kelas

layak (S2) untuk budidaya rumput laut. Dengan artian dalam melakukan budidaya

rumput laut di lokasi ini memiliki faktor pembatas yang agak berarti dimana

faktor pembatas ini perlu diperhatikan secara khusus. Beberapa parameter sangat

berperan penting dalam pertumbuhan dari rumput laut. Parameter yang harus di

52

perhatikan adalah kedalaman perairan, kecerahan, kecepatan arus, tinggi

gelombang, fosfat, dan nitrat.

Kedalaman perairan dan tinggi gelombang tidak memenuhi syarat

kesesuaian karena hanya menempati angka penilaian 1 yang berarti kurang.

Kecepatan arus, kecerahan, dan fosfat menempati angka penilaian 5 yang berarti

baik, sedangkan untuk nitrat menempati angka penilaian 3 yang berarti cukup.

Kedalaman sangat berpengaruh terhadap konstruksi tempat dipergunakan dalam

kegiatan budidaya. Gelombang berpengaruh juga terhadapa konstruksi budidaya,

karena menurut Ambas (2006) lokasi yang cocok untuk lokasi budidaya adalah

lokasi yang terlindung dari gelombang yang tinggi karena dapat merusak

konstruksi budidaya. Sama halnya dengan gelombang dan kedalaman kecepatan

arus juga berpengaruh terhadap konstruksi budidaya, sedangkan fosfat dan nitrat

merupakan unsur nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut agar dapat tumbuh

optimal. Dalam menentukan daerah yang belum memiliki kelas kesesuaian

dilakukan scoring pada masing-masing titik sampling penelitian untuk selanjutnya

dilakukan proses gridding dan overlay. Total nilai skor pada masing-masing titik

sampling dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Nilai Skor untuk Budidaya Rumput Laut Pada Setiap Titik Sampling

St Kedalaman Suhu Arus Kecerahan Gelombang Pasut Salinitas Klorofil-a

1 15 2 3 3 3 3 2 1

2 3 2 9 15 3 3 10 1

3 3 2 9 15 3 3 10 1

4 3 10 9 15 3 3 2 1

5 15 2 9 3 3 3 10 1

6 15 2 3 3 3 3 2 1

St

Material

Dasar

Perairan

pH DO Fosfat Nitrat Plankton Total

skor

Kelas

kesesuaian

1 3 5 3 9 15 1 68 Cukup

layak

2 3 5 3 9 3 1 70 Cukup

layak

3 5 5 5 9 15 1 86 Layak

4 3 5 5 9 15 1 84 Layak

5 5 5 5 9 15 1 86 Layak

6 3 5 3 9 15 1 68 Cukup

layak

53

Untuk mengetahui daerah yang layak untuk pengembangan lokasi

budidaya rumput laut dapat dilakukan interpolasi dari hasil total skor yang telah

didapat. Peta kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut dapat dilihat pada

Gambar 22.

Gambar 22. Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut

Gambar 26 menunjukkan bahwa lokasi yang layak untuk lokasi budidaya

rumput laut terletak pada sebelah barat dari pulau biawak, dan sebelah barat laut

bagian luar dari Pulau Biawak. Luas wilayah yang memiliki nilai kesesuaian kelas

layak sebesar ± 103 Ha dan cukup layak sebesar ± 694 Ha.

1.3.2 Lokasi Pengembangan untuk Budidaya Ikan Kerapu Sistem Karamba

Jaring Apung (KJA)

Pada Tabel 12 menunjukkan nilai skor total untuk nilai rata-rata hasil

pengamatan adalah 86. Berdaasarkan pada tabel 8 untuk kelas keseuaian budidaya

ikan kerapu menunjukkan bahwa nilai tersebut menempati kelas layak (S2) untuk

54

budidaya tersebut. Dalam artian masih ada beberapa parameter yang harus di

perhatikan secara khusus, karena ada faktor pembatas yang agak berarti. Total

nilai skor dari masing-masing titik sampling dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Nilai Skor untuk Budidaya Ikan Kerapu Sistem Karamba Jaring Apung

(KJA) Pada Setiap Titik Sampling

St Kedalaman Suhu Arus Kecerahan Gelombang Pasut Salinitas Klorofil-a

1 3 6 3 2 2 6 2 1

2 9 10 9 10 2 6 10 1

3 3 6 9 10 2 6 10 1

4 3 10 15 10 2 6 2 1

5 3 10 15 2 2 6 10 1

6 3 6 15 2 2 6 10 1

St

Material

Dasar

Perairan

pH DO Fosfat Nitrat Plankton Total

skor

Kelas

kesesuaian

1 10 6 6 3 5 3 58 Cukup

layak

2 10 6 6 3 1 3 86 Layak

3 10 6 10 3 5 3 90 Layak

4 10 6 10 3 5 3 86 Layak

5 10 6 10 3 5 3 86 Layak

6 10 6 6 3 5 3 78 Layak

Beberapa parameter yang harus di perhatikan dalam budidaya ikan kerapu

sistem KJA antara lain kedalaman perairan, kecepatan arus, dan tinggi

gelombang. Kedalaman perairan merupakan salah satu syarat utama yang harus

diperhatikan dalam budidaya dengan sistem KJA. Kedalam perairan berkaitan erat

dengan setting instalasi tempat budidaya. Sistem KJA membutuhkan ruang yang

ideal antara dasar jaring yang digunakan dengan dasar perairan. Menurut Ghufron

dan Kordi (2005) ruang yang dibutuhkan antara dasar jaring dengan dasar perairan

adalah 1 meter atau jarak dari permukaan air ke dasar berkisar antara 7-15 meter.

Kecepatan arus juga berkaitan dengan instalasi budidaya dan

keberlangsungan hidup dari ikan kerapu. Kecepatan arus mempengaruhi dalam

55

pengangkutan bahan tercemar (Effendi 2003). Arus disini berperan dalam

pengangkutan sisa hasil pakan dan sisa-sisa metabolisme ikan yang terendap di

dasar perairan. Menurut Ghufron dan Kordi (2005) arus berperan dalam proses

pertukarana air dimana air yang banyak mengandung oksigen terlarut terbawa

masuk dan air yang mengandung toksik dapat terbawa keluar, tetapi arus yang

terlalu besar tidak baik karena dapat merubah posisi dari Karamba dan membuat

stress pada ikan. Arus yang ideal adalah 20-50 cm/detik.

Gelombang memiliki peran yang hampir sama dengan arus. Gelombang

berperan dalam proses pertukaran air dalam lokasi budidaya dan gelombang yang

terlalu besar dapat merusak instalasi budidaya. dalam pemilihan lokasi harus

berada di daerah yang telindung dari gelombang yang terlalu besar (Ghufron dan

Kordi 2005). Untuk mengetahui daerah yang layak untuk pengembangan lokasi

budidaya ikan kerapu sistem KJA dapat dilakukan interpolasi dari hasil total skor

yang didapat. Peta kesesuaian lokasi budidaya ikan kerapu sistem Karamba Jaring

Apung dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA

56

Gambar 27 menunjukkan bahwa lokasi yang layak untuk budidaya ikan kerapu

sistem KJA terletak di sebelah barat, barat laut, dan selatan bagian luar dari Pulau

Biawak. Luas wilayah yang memiliki nilai kesesuaian kelas layak sebesar ± 771

Ha dan cukup layak sebesar ± 26 Ha.

4.3.3 Lokasi Pengembangan untuk Budidaya Teripang

Pada Tabel 12 menunjukkan nilai skor total untuk nilai rata-rata hasil

pengamatan adalah 79. Berdaasarkan pada tabel 10 untuk kelas keseuaian

budidaya ikan kerapu menunjukkan bahwa nilai tersebut menempati kelas cukup

layak (S3) untuk budidaya tersebut. Maksud dari cukup layak adalah terdapat

faktor pembatas yang berarti dalam pengembangan budidaya tersebut. Total nilai

skor dari masing-masing titik sampling dapat dilihat pada Tabel 15.

Parameter yang harus di perhatikan dalam budidaya teripang ini adalah

kedalaman perairan, material dasar perairan, tinggi gelombang, kecepatan arus

dan kepadatan plankton. Kedalaman perairan sangat mempengaruhi kehidupan

dari teripang, karena teripang merupakan hewan yang bergerak sangat lambat dan

hampir seluruh hidupnya berada didasar laut. Teripang membutuhkan kedalaman

0,5-1 meter dari surut terendah agar teripang teripang tidak mengalami kekeringan

(Martoyo dkk 2007). Selain itu morfologi dasar perairan dari lokasi budidaya

harus landai.

Material dasar perairan sangat penting bagi kehidupan teripang dimana

yang ideal berupa pasir dengan pecahan karang. Selain itu dasar perairan lebih

baik terdapat lamun ataupun rumput laut karena dapat berfungsi sebagai

perangkap makanan untuk teripang (Martoyo dk 2007). Kecepatan arus berkaitan

dengan pertukaran air di lokasi budidaya dimana arus dapat membawa air yang

mengandung toksik keluar dan membawa masuk air yang mengandung oksigen

dan plankton. Plankton merupakan salah satu sumber makanan bagi teripang.

Karena teripang hewan yang bergerak sangat lambat, teripang membutuhkan

bantuan dari arus yang membawa plankton untuk bisa mendapatkan makanan.

Tabel 15. Nilai Skor untuk Budidaya Teripang Pada Setiap Titik Sampling

57

St Kedalaman Suhu Arus Kecerahan Gelombang Pasut Salinitas Klorofil-a

1 15 6 9 10 2 6 2 1

2 3 10 9 2 2 6 2 1

3 3 6 9 2 2 6 2 1

4 3 10 15 2 2 6 2 1

5 15 10 15 10 2 6 2 1

6 15 6 15 10 2 6 2 1

St

Material

Dasar

Perairan

pH DO Fosfat Nitrat Plankton Total

skor

Kelas

kesesuaian

1 15 6 10 3 5 3 93 Layak

2 15 6 10 3 1 3 73 Cukup

layak

3 15 6 10 3 5 3 73 Cukup

layak

4 15 6 10 3 5 3 83 Cukup

layak

5 15 6 10 3 5 3 103 Layak

6 15 6 10 3 5 3 99 Layak

Total nilai skor dari masing- masing titik sampling dapat di interpolasi.

tujuan dari interpolasi adalah untuk mengetahui daerah yang layak untuk lokasi

budidaya teripang yang belum diketahui total skornya. Peta lokasi untuk budidaya

teripang dapat dilihat pada Gambar 24.

58

Gambar 28. Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Teripang

Gambar 24 menunjukkan bahwa lokasi yang cocok untuk budidaya

teripang terletak di sebelah selatan bagian dalam dan barat laut dari Pulau Biawak.

Luas wilayah yang memiliki nilai kesesuaian kelas layak sebesar ± 148 Ha dan

cukup layak sebesar ± 649 Ha.

1.3.3 Tumpang Susun Peta Lokasi Budidaya Rumput Laut, Ikan Kerapu

Sistem KJA, dan Teripang

Proses tumpang susun merupakan tahapan selanjutnya ketika semua peta

lokasi dari masing-masing kultivan telah diketahui. Hasil dari proses ini dapat

diketahui daerah mana yang potensial untuk dilakukan kegiatan budidaya lebih

dari 1 kultivan, Petal hasil dari tumpang susun tersebut dapat dilihat pada Gambar

25.

59

Gambar 25. Peta Hasil Tumpang Susun Lokasi Budidaya Laut

60

Pada Gambar 25 menunjukkan terdapat daerah yang merupakan irisan dari

beberapa lokasi budidaya. Terdapat irisan antara lokasi budidaya rumput laut, ikan

kerapu sistem KJA, dan teripang dengan luas wilayah ± 33 Ha, untuk irisan

lokasi budidaya rumput laut dengan ikan kerapu sistem KJA memiliki luas

wilyah ± 54 Ha dan untuk irisan lokasi budidaya ikan kerapu sistem KJA dengan

budidaya teripang memiliki luas wilayah ± 87 Ha.

4.4 Korelasi Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu

Hasil pengamatan yang telah didapat dikorelasikan dengan peraturan yang

berlaku yaitu Perda Kabupaten Indramayu No. 14 Tahun 2006. Pada Perda

tersebut terdapat beberapa pasal yang menyangkut tentang zonasi kawasan Pulau

Biawak, yaitu pasal 13, pasal 17 dan pasal 18. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Pasal 13 (d) : Zona lindung perairan pantai dapat ditetapkan sampai

sejauh ± 2 mil dari garis pantai ke arah laut.

2. Pasal 16 (1) : Pada perlindungan sejauh ± 2 mil dari garis pantai

dilarang dilakukan eksploitasi sumberdaya perikanan dengan

menggunakan alat terlarang dan cara-cara terlarang.

3. Pasal 17 (b) : Pemanfaatan yang diperbolehkan dalam zona ini adalah

wisata alam, penelitian dan budidaya laut.

4. Pasal 17 (c) : Zona penyangga meliputi sebelah barat dan sebelah

selatan Pulau Biawak dan sebelah selatan Pulau Gosong

5. Pasal 18 (2) : Kegiatan yang diperbolehkan dalam zona budidaya adalah

wisata alam, penangkapan ikan, dan budidaya laut.

6. Pasal 18 (3) : Zona budidaya meliputi sebelah barat laut Pulau Biawak

bagian dalam, sekitar Pulau Gosong, perairan sekitar Pulau Candikian dan

pesisir Indramayu.

Hasil peta overlay pada Gambar 25 dioverlaykan lagi dengan pasal-pasal

pada Perda yang bersangkutan mengenai zonasi di Pulau Biawak. Hasil dari

analisis tersebut ditunjukkan pada Gambar 26.

61

Gambar 30. Peta Lokasi Budidaya Laut Hasil Korelasi Dengan Perda

62

Dari hasil analisis diatas didapatkan lokasi untuk budidaya rumput laut

yang memiliki kelas kesesuaian layak adalah seluas ± 103 Ha, luas Wilayah

tersebut tidak berubah dari hasil yang didapatkan pada saat belum dilakukannya

korelasi dengan Perda yaitu ± 103 Ha. Untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA

seluas ± 223 Ha, luas wilayah dengan kesesuaian layak mengalami pengurangan

dari yang awalnya memiliki luas ± 771 Ha menjadi ± 223 Ha. Untuk budidaya

teripang seluas ± 82 Ha, luas wilayah dengan kesesuaian layak untuk budidaya

teripang ini pun mengalami pengurangan yang pada awalnya memiliki luas ± 148

Ha menjadi ±82 Ha. Kelas kesesuaian cukup layak untuk budidaya rumput laut

seluas ± 128 Ha, luas ini mengalami pengurangan dimana awalnya lokasi cukup

layak untuk lokasi budidaya rumput laut ini memiliki luas sekitar ± 694 Ha. Untuk

budidaya ikan kerapu sistem KJA seluas ± 4 Ha, luas wilayah untuk lokasi

budidaya ikan kerapu sistem KJA kelas cukup layak juga mengalami pengurangan

yang pada awalnya memiliki luas ± 26 Ha menjadi hanya ± 4 Ha. Untuk budidaya

teripang seluas ± 166 Ha. Sama halnya dengan lokasi untuk kegiatan budidaya

yang lain, lokasi budidaya teripang kelas cukup layak pun mengalami

pengurangan dari yang awalnya memiliki luas ±649 Ha menjadi ± 166 Ha.