bab ii tinjauan pustaka 2.1 biologi rumput laut...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Rumput Laut Sargassum crassifolium
Berikut adalah klasifikasi dari Sargassum crassifolium menurut (Bold dan
Wayne 1985) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Phaeophyta
Kelas : Phaeophyceae
Ordo : Fucales
Famili : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Spesies : Sargassum crassifolium
Gambar 1. Sargassum crassifolium
Karakteristik biologi rumput laut Sargassum crassifolium (alga coklat)
hidup dan tumbuh di daerah pesisir pantai dengan substrat batu karang.
Sargassum crassifolium tumbuh di daerah intertidal, subtidal sampai daerah
dengan ombak besar dan arus yang deras. Alga ini tumbuh pada daerah tropis
dengan suhu 27-300C, salinitas 32-33 ppt dan kedalaman 0,5-10 m (BONEY 1965
dalam Hidayat 2011). Sargassum crassifolium termasuk alga coklat dengan
bentuk khusus, sehingga mudah untuk dibedakan antar-bagiannya. Pangkal keras
atau bagian batang umumnya berbentuk silinder dan bercabang, tetapi lebih
sederhana dengan segmen yang lebih pendek. Tiap cabang terdapat gelembung
udara berbentuk bulat yang disebut Bladder. Pangkal poros Sargassum
7
crassifolium tumbuh dengan lambat dan daun tumbuh secara lateral dan
menyamping (Bold dan Wayne, 1985). Ciri umum dari rumput laut spesies
Sargassum crassifolium adalah berwarna coklat karena dominasi pigmen
fikosantin yang menutupi pigmen klorofil sehingga ganggang ini terlihat berwarna
coklat. Percabangan thallus pada Sargassum crassifolium membentuk formasi
dua-dua tidak beraturan yang berlawanan pada sisi sepanjang thallus utama yang
disebut (pinnate alternate). Thallus yang menyerupai daun (blade) tumbuh
melebar dan bergerigi dengan permukaan yang licin. Daun pada ganggang ini
berbentuk oval dengan ukuran panjang sekitar 40 mm dan lebar 10 mm.
Sargassum crassifolium mempunyai thallus berbentuk pipih dengan percabangan
rimbun dan berselang-seling menyerupai tanaman darat. Pada bagian pinggir daun
yang bergerigi mempunyai gelembung yang disebut vesikel. Gelembung udara ini
berfungsi mempertahankan daun agar tetap di permukaan air. Ukuran diameter
gelembung udara sekitar 15 mm dengan bentuk pipih dan bersayap (Atmadja et
al., 1996). Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu
reproduksi secara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Reproduksi
vegetatif dilakukan melalui fragmentasi. Secara generatif yaitu perkembangan
individu melalui organ jantan (antherida) dan organ betina (oogenia) (Hidayat,
2011).
2.2 Senyawa Bioaktif Rumput Laut Sargassum crassifolium
Dinding sel rumput laut berisi matriks polisakarida yang berlimpah yang
dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan
darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida yang bersulfat, yang
tidak terdapat pada tumbuhan darat (Pervical 1979 dalam Jasminandar 2009).
Menurut Castro dkk (2006) gula tersebut terbentuk dan dengan adanya kelompok
sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis
termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor, dan aktivitas imunomodulator pada
mamalia. Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktivitas
imunomodulator telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari jenis
8
rumput laut dapat menstimulasi respiratory burst dari fagosit turbot, yaitu proses
yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro dkk, 2006).
Sargassum crassifolium merupakan jenis rumput laut dari kelas
Phaeophyceae. Ekstrak Sargassum mengandung air 12,59 %, abu 51,30 %, lemak
22,90 %, serat 0,89 % dan nitrogen 20,94 % menurut penelitian Pujaningsih
(2005). Sargassum crassifolium mengandung protein, mineral, polisakarida,
vitamin dan senyawa dengan jumlah relatif yakni laminaran, fukoidan, selulosa,
manitol, fenolat, kompleks diterpenoid, terpenoid aromatik, saponin dan flavonoid
(Rosweim 1991 dalam Titi 2011). Salah satu kandungan Sargassum adalah
fukoidan. Fukoidan merupakan polisakarida tersulfatasi yang memiliki rata-rata
berat molekul 2000Da dan banyak ditemukan pada beberapa jenis alga coklat.
Fukoidan pada umumnya tersedia dalam dua bentuk, yaitu glikosaminoglikan
(GAGs) yaitu F-fukoidan, yang terdapat lebih dari 95% fukoidan di laut yang
tersusun dari ester tersulfatasi L-fucose dan U-Fukoidan, tersusun sekitar 20%
asam glukoronat. Fulkan tersulfatasi merupakan karakteristik utama fukoidan
(venugopal 2009 dalam Titi 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
fukoidan mempunyai aktivitas imunomodulator (Zapopozhets, 1995 ; choi 2005
dalam Jasmanindar 2009). Penelitian Handayani (2004) menyatakan bahwa
rumput laut Sargassum crassifolium berpotensi sebagai salah satu bahan mentah
dalam pembuatan alginat. Kadar alginat yang diperoleh dari sampel rumput laut
Sargassum crassifolium kering berkisar 37,91%. Selain kadar alginat yang tinggi,
mutu dari alginat Sargassum crassifolium memiliki mutu alginat sesuai
persyaratan alginat komersil. Berikut merupakan kandungan nutrisi pada
Sargassum crassifolium seperti tercantum pada tabel 1. (Handayani, 2004).
9
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Sargassum crassifolium
Jenis Nutrisi Rata-rata kadar
(% , b/b)
Keterangan
Protein
Abu dan Mineral
Abu (mineral)
Ca (mg/100 g)
Fe (mg/100 g)
P (mg/100 g)
Vitamin A (µg RE/100 g)
Vitamin C (mg/100 g)
Lemak (%, b/b)
Alginat
Kadar (%,b/b)
Warna
pH
Ukuran Partikel
5,19 ± 0,13
36,93 ± 0,34
1540,66 ± 6,99
132,65 ± 3,47
474,03 ± 1,01
489,55 ± 8,4
49,01 ± 0,75
1,63 ± 0,01
37,91 ± 0,34
Kuning Kecoklatan
6,89 ± 0,005
150 mesh
Berat basah
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
Berat kering
2.3 Senyawa Metabolit Sekunder
2.3.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar, pada
umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari siklik.
Alkaloid sering beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan
fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang
pengobatan. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat optis aktif,
kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya
nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).
10
Gambar 2. Struktur Dasar Alkaloid
2.3.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa turunan fenol, warnanya bisa berubah bila
ditambah basa atau amonia, jadi senyawa flavonoid mudah dideteksi pada
kromatografi atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang
terkonjugasi, oleh karena itu senyawa ini menunjukkan pita serapan kuat pada
daerah spektrum UV dan spektrum tampak (Harborne, 1987). Flavonoid
merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar, namun masih
terdapat senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran rendah. Isoflavon, flavonon,
flavon methyl, flavonol merupakan flavonoid dengan tingkat kepolaran yang
rendah (Anderson dan Markam 2006 dalam karlina 2013 ). Flavonoid pada
umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida
(Harborne, 1987).
Gambar 3. Struktur Dasar Senyawa Flavonoid
2.3.3 Saponin
Saponin merupakan golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur
steroid dan mempunyai sifat-sifat khas yang dapat membentuk larutan kolodial
dalam air dan membentuk buih/busa bila dikocok. Saponin merupakan senyawa
aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin
11
dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan primer sapogenin yang mudah
diperoleh (Harborne, 1987).
Gambar 4. Contoh Struktur Senyawa Saponin
2.3.4 Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi
dengan proteina membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air
(Harborne, 1987). Sehingga dalam identifikasi senyawa tanin indikasi nilai
positifnya berupa endapan yang berwarna kecoklatan. Bila menggunakan jaringan
kering, hasil tanin mungkin agak berkurang karena terjadinya pelekatan tanin pada
tempatnya di dalam sel. Perkiraan kuantitatif tanin dalam suatu jaringan tumbuhan
tidak akan disadari jika adanya fenol lain yang dapat menganggu cara kimia yang
tidak khas, dalam praktiknya sangat sukar mengekstraksi keseluruhan tanin dalam
tumbuhan terutama jenis tanin terkondensi. Tanin terkondensi tersebar luas
terutama dalam tumbuhan berkayu dan kadar tanin dalam daun lebih dari 2%
bobot keringnya (Harborne, 1987).
Gambar 5. Contoh Struktur Senyawa Tanin
12
2.3.5 Triterpenoid / Steroid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Lieberman-Burchard yang
dengan kebanyakan triterpena dan sterol yang memberikan warna hijau-biru
(Harborne, 1987). Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantreana. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa satwa
sebagai hormon kelamin, asam empedu dll) tetapi sekarang ini makin banyak
senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987).
(a) (b)
Gambar 6. Struktur Dasar Senyawa Triterpenoid (a) dan Steroid (b)
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat bercampur
untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke pelarut lain. Ekstraksi
dapat dilakukan dengan dua fase, yaitu fase akuades dan fase organik. Fase
akuades menggunakan air dan fase organik menggunakan pelarut organik
(Rahayu, 2009). Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik komponen-
komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses ekstraksi adalah lamanya ekstraksi, suhu dan pelarut yang
digunakan. Pelarut yang digunakan tergantung kepada sifat kepolaran komponen
yang akan diisolasi. Ada tiga jenis pelarut yaitu pelarut polar, semi polar dan non
polar. Prinsip pelarut adalah like dissolve like, artinya pelarut polar akan
melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non
polar (Haughton, Achmadi dalam Septirusli 2012). Pemilihan pelarut didasarkan
13
dari titik didihnya. Pelarut dengan titik didih rendah akan hilang karena
penguapan, sedangkan pada pada pelarut bertitik didih tinggi baru dapat
dipisahkan dengan suhu tinggi (Sabel dan Waren dalam Septirusli 2012). Bahan
dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya.
Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut tersebut (Pelczar
dan Chan 1998 dalam Septirusli 2012).
Tabel 2. Beberapa jenis pelarut dan sifat fisiknya
Pelarut Titik Didih
( 0C )
Titik Beku
( 0C )
Konstanta
Dielektrik
Heksana 68 -94 1,8
Dietil eter 35 -116 4,3
Kloroform 61 -64 4,8
Etil asetat 77 -84 6,0
Aseton 56 -95 20,7
Etanol 78 -117 24,3
Metanol 65 -98 32,6
Air / Akuades 100 0 80,2
2.5 Imunomodulator
Imunomodulator merupakan suatu senyawa atau zat yang dapat
meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Fungsi imunomodulator
adalah memperbaiki sistem imun, yaitu stimulasi (imunostimulan) atau
menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) (Djauzi,
2003). Menurut Collegate (1993) dalam Syarifah (2006), ada beberapa golongan
senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator, yaitu golongan
karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa
senyawa organik lain yang mengandung nitrogen. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sistem imunitas antara lain adalah faktor genetis, umur, kondisi
metabolik, anatomi tubuh, status gizi, fisiologi tubuh dan sifat dari benda asing
yang masuk ke dalam tubuh (Bellanti, 1993 dalam Syarifah, 2006).
14
Menurut Baratawidjadja (2002), Imunomodulator adalah obat yang dapat
mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau
untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Obat golongan imunomodulator
bekerja menurut tiga cara, yaitu melalui imunorestorasi, imunostimulasi dan
imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau
up regulation, sedangkan imunosupresif disebut down regulation. Imunorestorasi
adalah cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan
memberikan berbagai komponen sistem imun. Seperti imunoglobulin dalam
bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG),
plasma dan lainnya. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun
dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan-bahan yang
dapat merubah dan meningkatkan respon imun disebut biological response
modifier (BRM). Imunosupresi adalah cara untuk menekan respon pertahanan
tubuh atau menekan respon imun.
2.6 Udang Windu (Penaeus monodon)
Berikut adalah klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) (Setiawan dkk,
2004).
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustaceae
Ordo : Decapoda
Famili : Panaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
15
Gambar 7. Morfologi udang windu (Penaeus monodon)
Sumber : Maulidin, 2011
Tubuh udang dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor
(abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (cerapace) yang di
bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala
(rostrum). Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar
yang mengeras dan terbuat dari chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di
bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, diantara rahang-
rahang (mandibula), dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak
kepala terdapat insang. Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang
berpasang-pasangan, antara lain sungut kecil (antenulla), sirip kepala
(scophocerit), sungut besar (antena), rahang (mandibula), alat pembantu rahang
(maxilla) yang terdiri atas dua pasang, dan maxilliped yang terdiri atas tiga
pasang, serta kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang (Maulidin,
2011).
Udang windu memiliki 19 pasang appendage, 5 pasang terdapat di bagian
kepala, masing-masing antenulla pertama dan antenulla kedua yang berfungsi
untuk penciuman dan keseimbangan, mandibula untuk mengunyah serta maxillula
dan maxilla untuk membantu makan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang
terakhir merupakan kesatuan bagian mulut. Bagian dada memiliki tiga pasang
maxilliped yang berfungsi untuk berenang dan mengonsumsi makanan. Bagian
adan memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta
16
sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun
(Hidayat, 2011).
Gambar 8. Siklus hidup Udang Windu
Sumber : Sahidir 2011
Daur hidup udang windu menurut Wyben dan Sweeney (1991) dalam Al-
Rozi (2008) adalah udang betina bertelur – telur – naupli – zoeae – mysis –
poslarva – juvenil – udang dewasa. Stadia nauplius merupakan stadia awal yang
terjadi pada saat telur udang windu menetas. Selanjutnya ke stadia zoea, stadia
zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami
perubahan bentuk 3 kali. Berlanjut pada stadia mysis yang dicirikan oleh bentuk
larva yang menyerupai dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva
bergerak mundur. Stadia mysis mengalami perubahan bentuk menjadi poslarva.
Selama 5 hari pertama pada stadia poslarva, udang masih bersifat planktonis dan
pada poslarva-6 udang windu sudah mulai merayap didasar (Toro dan Soegiarto,
1979 dalam Hidayat 2011).
Tahapan pertumbuhan dan perkembangan udang windu secara umum
mengalami pergantian kulit dimulai dati meteas sampai dengan postlarva yang
siap ditebar dalam tambak. Ada 4 fase larva udang windu, yaitu fase nauplius,
zoea, mysis dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan
respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran
perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL),maka
diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon
17
awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan
nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL
13-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Menurut Djunaidah (1989) dan
Mudjiman. A (1981) dalam Sahidir (2010) perkembangan stadia pada udang
windu yaitu :
1. Naupli; naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan
perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayang-
layang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat demersal. naupli
masih menggunakan cadangan makanan yang dimiliki oleh tubuhnya
sehingga tidak memerlukan asupan pakan dari luar. Akan tetapi, pada
stadia naupli 5 telah diberikan pakan alami berupa fitoplankton (terutama
diatom). Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam
kali pergantian kulit.
2. Zoea; stadia ini merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan
awal mulai makan phytoplankton yang berasal dari lingkungan perairan
sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan
dibandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang
aktif ke lapisan permukaan laut dan menghanyut sebagai plankton. Pada 3
stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. zoea memiliki
kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan
asupan pakan ini didapatkan dari media pemeliharaan berupa fitoplankton.
Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros sp.,
Pavlova lutheri, Nannochloris oculata, Skeletonema costatum,
Thalassiosira pseudonana dan Tetraselmis sp. Periode ini memerlukan
waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali
pergantian kulit.
3. Mysis; stadia ini dikarakteristikan dengan tubuh yang lebih panjang. Pada
stadia mysis, telson dan pleopod sudah mulai tampak. Mysis memiliki
kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan
18
pakan diperoleh dari media pemeliharaan berupa Skeletonema costatum
dan artemia. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva
mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Post larva; perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan
udang dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan waktu didasar
kolam dan menyukai untuk memakan hewan-hewan kecil yang hidup di
dasar laut (benthos). Udang windu mencapai sub-stadium post larva
sampai 20 tingkatan.
Pertumbuhan optimal udang windu pada salinitas 15 - 30 ppt, tetapi udang
windu dapat bertahan hidup dikisaran salinitas 3 - 45 ppt. Kisaran suhu yang aman
pada udang windu 280C – 320C, pH 7,5 - 8,5 dan oksigen terlarut (DO) lebih dari
nilai 3 (SNI Produksi udang windu, 2009 dalam Hidayat 2011). Selama
pertumbuhan udang windu mengalami pergantian kulit (moulting). Semakin cepat
udang berganti kulit, semakin cepat pula pertumbuhan udang (Hidayat, 2011).
2.6.1 Sistem Imun Udang Windu
Sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea,
dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun
krustasea dalam hal ini udang, merupakan sistem imun non spesifik. Kebanyakan
avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut hemosit atau
coelomocytes (Ratcliffe, 1985).
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu, sistem imun spesifik dan non
spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan mikroorganisme, sehingga dapat memberikan respon
langsung. Sedangkan sistem imun spesifik merupakan pertahanan tubuh terhadap
patogen tertentu yang telah berhasil melewati sistem imun non spesifik. Imunitas
avertebrata tidak memproduksi antibodi spesifik atau dapat dikatakan memiliki
antibodi yang sangat sedikit. Dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi
oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen (Ratcliffe, 1985).
19
Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya
(akuakultur) baik pada habitat air tawar, laut maupun payau sering rentan terkena
infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Sehingga krustase harus
mampu meningkatkan pertahanan untuk melawan organisme penyerang (antigen).
Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau
hemosit. Hemosit sangat penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk
ke dalam tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang yaitu sel
hialin, semi granular dan granular. Sel ini memiliki morfologi dan fungsinya
masing-masing (Soderhall dan Cerenius, 1992). Sel hialin berfungsi dalam
aktifitas fagositosis, yaitu proses sel darah yang melindungi tubuh dengan
memakan/menghancurkan partikel asing (antigen) (Cornick dan Stewart, 1978
dalam Jasmanindar 2009).
2.7 Vibrio harveyi
Berikut ini merupakan klasifikasi dari bakteri Vibrio harveyi menurut Breed
dkk (1948) dalam Hidayat (2011).
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Vibrio
Spesies : Vibrio harveyi
Gambar 9. Vibrio harveyi Sumber : http://www.nvh.no/en/Home/News/News-stories/New-findings-about-cold-
water-vibriosis-in-farmed-salmon/
20
Morfologi Vibrio berbentuk koma atau batang pendek, bengkok atau lurus,
bersel tunggal, mempunyai alat gerak berupa flagella tunggal (monotoric flagel),
termasuk gram negatif, ukuran sel 1-4 µm, tidak membentuk spora. Oksidase
positif, katalase positif, serta proses fermentasi karbohidratnya tidak membentuk
gas (Jawestz dkk, 1984). Bakteri ini ditemukan pada air laut juga pada air payau,
hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penyakit vibriosis pada ikan air payau
(Sunaryanto dkk, 1987 dalam Agung 2010). Penyakit vibriosis dikenal
pembudidaya sebagai penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini
disebabkan oleh berbagai spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap
spesies vibrio memiliki intensitas serangan yang berbeda-beda. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang sampai
100% dalam waktu 1-2 hari (Agung, 2010). Ciri-ciri udang yang terkena vibriosis
antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan
mempunyai bercak merah-merah dan pada pleopod dan abdominal serta pada
malam hari terlihat menyala (Sunaryoto, 1987 dalam Al-Rozi 2008).
Vibrio juga termasuk bakteri yang bersifat halofil, yaitu tumbuh rentang
toleransi salinitas 5-80 ppt dan tumbuh optimal pada salinitas 20-40 ppt (Taslihan,
1992). Vibrio tumbuh pada pH 4-9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5-8,5 atau
kondisi alkali dengan pH 9,0 (Herawati, 1996 dalam Al-Rozi 2008). Menurut
Rheinheimer (1985) dalam Agung (2010) menyatakan bahwa Vibrio menyerang
dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung kitin dikarenakan Vibrio
memiliki chitinase, lipase dan protease. Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh
vibrio ini pada umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal pasca
larva sampai awal pasca larva (Taslihan, 1988). Beberapa spesies Vibrio yang
ditemukan dan sering menimbulkan penyakit pada udang adalah Vibrio harveyi,
Vibrio parahaemolyticus, Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio
vulvinicus dan Vibrio fluvialis (Boer dan Zafran, 1992 dalam Naiborhu, 2002).