bab ii tinjauan pustaka 2.1 biologi rumput laut...

15
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut Sargassum crassifolium Berikut adalah klasifikasi dari Sargassum crassifolium menurut (Bold dan Wayne 1985) : Kingdom : Plantae Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Fucales Famili : Sargassaceae Genus : Sargassum Spesies : Sargassum crassifolium Gambar 1. Sargassum crassifolium Karakteristik biologi rumput laut Sargassum crassifolium (alga coklat) hidup dan tumbuh di daerah pesisir pantai dengan substrat batu karang. Sargassum crassifolium tumbuh di daerah intertidal, subtidal sampai daerah dengan ombak besar dan arus yang deras. Alga ini tumbuh pada daerah tropis dengan suhu 27-30 0 C, salinitas 32-33 ppt dan kedalaman 0,5-10 m (BONEY 1965 dalam Hidayat 2011). Sargassum crassifolium termasuk alga coklat dengan bentuk khusus, sehingga mudah untuk dibedakan antar-bagiannya. Pangkal keras atau bagian batang umumnya berbentuk silinder dan bercabang, tetapi lebih sederhana dengan segmen yang lebih pendek. Tiap cabang terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut Bladder. Pangkal poros Sargassum

Upload: phamcong

Post on 02-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Rumput Laut Sargassum crassifolium

Berikut adalah klasifikasi dari Sargassum crassifolium menurut (Bold dan

Wayne 1985) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Phaeophyta

Kelas : Phaeophyceae

Ordo : Fucales

Famili : Sargassaceae

Genus : Sargassum

Spesies : Sargassum crassifolium

Gambar 1. Sargassum crassifolium

Karakteristik biologi rumput laut Sargassum crassifolium (alga coklat)

hidup dan tumbuh di daerah pesisir pantai dengan substrat batu karang.

Sargassum crassifolium tumbuh di daerah intertidal, subtidal sampai daerah

dengan ombak besar dan arus yang deras. Alga ini tumbuh pada daerah tropis

dengan suhu 27-300C, salinitas 32-33 ppt dan kedalaman 0,5-10 m (BONEY 1965

dalam Hidayat 2011). Sargassum crassifolium termasuk alga coklat dengan

bentuk khusus, sehingga mudah untuk dibedakan antar-bagiannya. Pangkal keras

atau bagian batang umumnya berbentuk silinder dan bercabang, tetapi lebih

sederhana dengan segmen yang lebih pendek. Tiap cabang terdapat gelembung

udara berbentuk bulat yang disebut Bladder. Pangkal poros Sargassum

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

7

crassifolium tumbuh dengan lambat dan daun tumbuh secara lateral dan

menyamping (Bold dan Wayne, 1985). Ciri umum dari rumput laut spesies

Sargassum crassifolium adalah berwarna coklat karena dominasi pigmen

fikosantin yang menutupi pigmen klorofil sehingga ganggang ini terlihat berwarna

coklat. Percabangan thallus pada Sargassum crassifolium membentuk formasi

dua-dua tidak beraturan yang berlawanan pada sisi sepanjang thallus utama yang

disebut (pinnate alternate). Thallus yang menyerupai daun (blade) tumbuh

melebar dan bergerigi dengan permukaan yang licin. Daun pada ganggang ini

berbentuk oval dengan ukuran panjang sekitar 40 mm dan lebar 10 mm.

Sargassum crassifolium mempunyai thallus berbentuk pipih dengan percabangan

rimbun dan berselang-seling menyerupai tanaman darat. Pada bagian pinggir daun

yang bergerigi mempunyai gelembung yang disebut vesikel. Gelembung udara ini

berfungsi mempertahankan daun agar tetap di permukaan air. Ukuran diameter

gelembung udara sekitar 15 mm dengan bentuk pipih dan bersayap (Atmadja et

al., 1996). Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

reproduksi secara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Reproduksi

vegetatif dilakukan melalui fragmentasi. Secara generatif yaitu perkembangan

individu melalui organ jantan (antherida) dan organ betina (oogenia) (Hidayat,

2011).

2.2 Senyawa Bioaktif Rumput Laut Sargassum crassifolium

Dinding sel rumput laut berisi matriks polisakarida yang berlimpah yang

dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan

darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida yang bersulfat, yang

tidak terdapat pada tumbuhan darat (Pervical 1979 dalam Jasminandar 2009).

Menurut Castro dkk (2006) gula tersebut terbentuk dan dengan adanya kelompok

sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis

termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor, dan aktivitas imunomodulator pada

mamalia. Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktivitas

imunomodulator telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari jenis

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

8

rumput laut dapat menstimulasi respiratory burst dari fagosit turbot, yaitu proses

yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro dkk, 2006).

Sargassum crassifolium merupakan jenis rumput laut dari kelas

Phaeophyceae. Ekstrak Sargassum mengandung air 12,59 %, abu 51,30 %, lemak

22,90 %, serat 0,89 % dan nitrogen 20,94 % menurut penelitian Pujaningsih

(2005). Sargassum crassifolium mengandung protein, mineral, polisakarida,

vitamin dan senyawa dengan jumlah relatif yakni laminaran, fukoidan, selulosa,

manitol, fenolat, kompleks diterpenoid, terpenoid aromatik, saponin dan flavonoid

(Rosweim 1991 dalam Titi 2011). Salah satu kandungan Sargassum adalah

fukoidan. Fukoidan merupakan polisakarida tersulfatasi yang memiliki rata-rata

berat molekul 2000Da dan banyak ditemukan pada beberapa jenis alga coklat.

Fukoidan pada umumnya tersedia dalam dua bentuk, yaitu glikosaminoglikan

(GAGs) yaitu F-fukoidan, yang terdapat lebih dari 95% fukoidan di laut yang

tersusun dari ester tersulfatasi L-fucose dan U-Fukoidan, tersusun sekitar 20%

asam glukoronat. Fulkan tersulfatasi merupakan karakteristik utama fukoidan

(venugopal 2009 dalam Titi 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa

fukoidan mempunyai aktivitas imunomodulator (Zapopozhets, 1995 ; choi 2005

dalam Jasmanindar 2009). Penelitian Handayani (2004) menyatakan bahwa

rumput laut Sargassum crassifolium berpotensi sebagai salah satu bahan mentah

dalam pembuatan alginat. Kadar alginat yang diperoleh dari sampel rumput laut

Sargassum crassifolium kering berkisar 37,91%. Selain kadar alginat yang tinggi,

mutu dari alginat Sargassum crassifolium memiliki mutu alginat sesuai

persyaratan alginat komersil. Berikut merupakan kandungan nutrisi pada

Sargassum crassifolium seperti tercantum pada tabel 1. (Handayani, 2004).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

9

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Sargassum crassifolium

Jenis Nutrisi Rata-rata kadar

(% , b/b)

Keterangan

Protein

Abu dan Mineral

Abu (mineral)

Ca (mg/100 g)

Fe (mg/100 g)

P (mg/100 g)

Vitamin A (µg RE/100 g)

Vitamin C (mg/100 g)

Lemak (%, b/b)

Alginat

Kadar (%,b/b)

Warna

pH

Ukuran Partikel

5,19 ± 0,13

36,93 ± 0,34

1540,66 ± 6,99

132,65 ± 3,47

474,03 ± 1,01

489,55 ± 8,4

49,01 ± 0,75

1,63 ± 0,01

37,91 ± 0,34

Kuning Kecoklatan

6,89 ± 0,005

150 mesh

Berat basah

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

Berat kering

2.3 Senyawa Metabolit Sekunder

2.3.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar, pada

umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau

lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari siklik.

Alkaloid sering beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan

fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang

pengobatan. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat optis aktif,

kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya

nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

10

Gambar 2. Struktur Dasar Alkaloid

2.3.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa turunan fenol, warnanya bisa berubah bila

ditambah basa atau amonia, jadi senyawa flavonoid mudah dideteksi pada

kromatografi atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang

terkonjugasi, oleh karena itu senyawa ini menunjukkan pita serapan kuat pada

daerah spektrum UV dan spektrum tampak (Harborne, 1987). Flavonoid

merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar, namun masih

terdapat senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran rendah. Isoflavon, flavonon,

flavon methyl, flavonol merupakan flavonoid dengan tingkat kepolaran yang

rendah (Anderson dan Markam 2006 dalam karlina 2013 ). Flavonoid pada

umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

(Harborne, 1987).

Gambar 3. Struktur Dasar Senyawa Flavonoid

2.3.3 Saponin

Saponin merupakan golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur

steroid dan mempunyai sifat-sifat khas yang dapat membentuk larutan kolodial

dalam air dan membentuk buih/busa bila dikocok. Saponin merupakan senyawa

aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan

kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

11

dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan primer sapogenin yang mudah

diperoleh (Harborne, 1987).

Gambar 4. Contoh Struktur Senyawa Saponin

2.3.4 Tanin

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae

terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi

dengan proteina membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air

(Harborne, 1987). Sehingga dalam identifikasi senyawa tanin indikasi nilai

positifnya berupa endapan yang berwarna kecoklatan. Bila menggunakan jaringan

kering, hasil tanin mungkin agak berkurang karena terjadinya pelekatan tanin pada

tempatnya di dalam sel. Perkiraan kuantitatif tanin dalam suatu jaringan tumbuhan

tidak akan disadari jika adanya fenol lain yang dapat menganggu cara kimia yang

tidak khas, dalam praktiknya sangat sukar mengekstraksi keseluruhan tanin dalam

tumbuhan terutama jenis tanin terkondensi. Tanin terkondensi tersebar luas

terutama dalam tumbuhan berkayu dan kadar tanin dalam daun lebih dari 2%

bobot keringnya (Harborne, 1987).

Gambar 5. Contoh Struktur Senyawa Tanin

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

12

2.3.5 Triterpenoid / Steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Lieberman-Burchard yang

dengan kebanyakan triterpena dan sterol yang memberikan warna hijau-biru

(Harborne, 1987). Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentana perhidrofenantreana. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa satwa

sebagai hormon kelamin, asam empedu dll) tetapi sekarang ini makin banyak

senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987).

(a) (b)

Gambar 6. Struktur Dasar Senyawa Triterpenoid (a) dan Steroid (b)

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan

pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat bercampur

untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke pelarut lain. Ekstraksi

dapat dilakukan dengan dua fase, yaitu fase akuades dan fase organik. Fase

akuades menggunakan air dan fase organik menggunakan pelarut organik

(Rahayu, 2009). Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik komponen-

komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam. Faktor-faktor yang

mempengaruhi proses ekstraksi adalah lamanya ekstraksi, suhu dan pelarut yang

digunakan. Pelarut yang digunakan tergantung kepada sifat kepolaran komponen

yang akan diisolasi. Ada tiga jenis pelarut yaitu pelarut polar, semi polar dan non

polar. Prinsip pelarut adalah like dissolve like, artinya pelarut polar akan

melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non

polar (Haughton, Achmadi dalam Septirusli 2012). Pemilihan pelarut didasarkan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

13

dari titik didihnya. Pelarut dengan titik didih rendah akan hilang karena

penguapan, sedangkan pada pada pelarut bertitik didih tinggi baru dapat

dipisahkan dengan suhu tinggi (Sabel dan Waren dalam Septirusli 2012). Bahan

dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya.

Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut tersebut (Pelczar

dan Chan 1998 dalam Septirusli 2012).

Tabel 2. Beberapa jenis pelarut dan sifat fisiknya

Pelarut Titik Didih

( 0C )

Titik Beku

( 0C )

Konstanta

Dielektrik

Heksana 68 -94 1,8

Dietil eter 35 -116 4,3

Kloroform 61 -64 4,8

Etil asetat 77 -84 6,0

Aseton 56 -95 20,7

Etanol 78 -117 24,3

Metanol 65 -98 32,6

Air / Akuades 100 0 80,2

2.5 Imunomodulator

Imunomodulator merupakan suatu senyawa atau zat yang dapat

meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Fungsi imunomodulator

adalah memperbaiki sistem imun, yaitu stimulasi (imunostimulan) atau

menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) (Djauzi,

2003). Menurut Collegate (1993) dalam Syarifah (2006), ada beberapa golongan

senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator, yaitu golongan

karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa

senyawa organik lain yang mengandung nitrogen. Faktor-faktor yang

mempengaruhi sistem imunitas antara lain adalah faktor genetis, umur, kondisi

metabolik, anatomi tubuh, status gizi, fisiologi tubuh dan sifat dari benda asing

yang masuk ke dalam tubuh (Bellanti, 1993 dalam Syarifah, 2006).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

14

Menurut Baratawidjadja (2002), Imunomodulator adalah obat yang dapat

mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau

untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Obat golongan imunomodulator

bekerja menurut tiga cara, yaitu melalui imunorestorasi, imunostimulasi dan

imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau

up regulation, sedangkan imunosupresif disebut down regulation. Imunorestorasi

adalah cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan

memberikan berbagai komponen sistem imun. Seperti imunoglobulin dalam

bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG),

plasma dan lainnya. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun

dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan-bahan yang

dapat merubah dan meningkatkan respon imun disebut biological response

modifier (BRM). Imunosupresi adalah cara untuk menekan respon pertahanan

tubuh atau menekan respon imun.

2.6 Udang Windu (Penaeus monodon)

Berikut adalah klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) (Setiawan dkk,

2004).

Kingdom : Animalia

Phyllum : Arthropoda

Class : Crustaceae

Ordo : Decapoda

Famili : Panaeidae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

15

Gambar 7. Morfologi udang windu (Penaeus monodon)

Sumber : Maulidin, 2011

Tubuh udang dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang

menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor

(abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (cerapace) yang di

bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala

(rostrum). Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar

yang mengeras dan terbuat dari chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di

bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, diantara rahang-

rahang (mandibula), dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak

kepala terdapat insang. Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang

berpasang-pasangan, antara lain sungut kecil (antenulla), sirip kepala

(scophocerit), sungut besar (antena), rahang (mandibula), alat pembantu rahang

(maxilla) yang terdiri atas dua pasang, dan maxilliped yang terdiri atas tiga

pasang, serta kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang (Maulidin,

2011).

Udang windu memiliki 19 pasang appendage, 5 pasang terdapat di bagian

kepala, masing-masing antenulla pertama dan antenulla kedua yang berfungsi

untuk penciuman dan keseimbangan, mandibula untuk mengunyah serta maxillula

dan maxilla untuk membantu makan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang

terakhir merupakan kesatuan bagian mulut. Bagian dada memiliki tiga pasang

maxilliped yang berfungsi untuk berenang dan mengonsumsi makanan. Bagian

adan memiliki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang serta

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

16

sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun

(Hidayat, 2011).

Gambar 8. Siklus hidup Udang Windu

Sumber : Sahidir 2011

Daur hidup udang windu menurut Wyben dan Sweeney (1991) dalam Al-

Rozi (2008) adalah udang betina bertelur – telur – naupli – zoeae – mysis –

poslarva – juvenil – udang dewasa. Stadia nauplius merupakan stadia awal yang

terjadi pada saat telur udang windu menetas. Selanjutnya ke stadia zoea, stadia

zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami

perubahan bentuk 3 kali. Berlanjut pada stadia mysis yang dicirikan oleh bentuk

larva yang menyerupai dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva

bergerak mundur. Stadia mysis mengalami perubahan bentuk menjadi poslarva.

Selama 5 hari pertama pada stadia poslarva, udang masih bersifat planktonis dan

pada poslarva-6 udang windu sudah mulai merayap didasar (Toro dan Soegiarto,

1979 dalam Hidayat 2011).

Tahapan pertumbuhan dan perkembangan udang windu secara umum

mengalami pergantian kulit dimulai dati meteas sampai dengan postlarva yang

siap ditebar dalam tambak. Ada 4 fase larva udang windu, yaitu fase nauplius,

zoea, mysis dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat menunjukkan

respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh kelancaran

perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL),maka

diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

17

awal tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan

nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL

13-4 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari. Menurut Djunaidah (1989) dan

Mudjiman. A (1981) dalam Sahidir (2010) perkembangan stadia pada udang

windu yaitu :

1. Naupli; naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan

perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayang-

layang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat demersal. naupli

masih menggunakan cadangan makanan yang dimiliki oleh tubuhnya

sehingga tidak memerlukan asupan pakan dari luar. Akan tetapi, pada

stadia naupli 5 telah diberikan pakan alami berupa fitoplankton (terutama

diatom). Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam

kali pergantian kulit.

2. Zoea; stadia ini merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan

awal mulai makan phytoplankton yang berasal dari lingkungan perairan

sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan

dibandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang

aktif ke lapisan permukaan laut dan menghanyut sebagai plankton. Pada 3

stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. zoea memiliki

kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan

asupan pakan ini didapatkan dari media pemeliharaan berupa fitoplankton.

Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros sp.,

Pavlova lutheri, Nannochloris oculata, Skeletonema costatum,

Thalassiosira pseudonana dan Tetraselmis sp. Periode ini memerlukan

waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali

pergantian kulit.

3. Mysis; stadia ini dikarakteristikan dengan tubuh yang lebih panjang. Pada

stadia mysis, telson dan pleopod sudah mulai tampak. Mysis memiliki

kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

18

pakan diperoleh dari media pemeliharaan berupa Skeletonema costatum

dan artemia. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva

mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4. Post larva; perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan

udang dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan waktu didasar

kolam dan menyukai untuk memakan hewan-hewan kecil yang hidup di

dasar laut (benthos). Udang windu mencapai sub-stadium post larva

sampai 20 tingkatan.

Pertumbuhan optimal udang windu pada salinitas 15 - 30 ppt, tetapi udang

windu dapat bertahan hidup dikisaran salinitas 3 - 45 ppt. Kisaran suhu yang aman

pada udang windu 280C – 320C, pH 7,5 - 8,5 dan oksigen terlarut (DO) lebih dari

nilai 3 (SNI Produksi udang windu, 2009 dalam Hidayat 2011). Selama

pertumbuhan udang windu mengalami pergantian kulit (moulting). Semakin cepat

udang berganti kulit, semakin cepat pula pertumbuhan udang (Hidayat, 2011).

2.6.1 Sistem Imun Udang Windu

Sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea,

dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun

krustasea dalam hal ini udang, merupakan sistem imun non spesifik. Kebanyakan

avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut hemosit atau

coelomocytes (Ratcliffe, 1985).

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu, sistem imun spesifik dan non

spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam

menghadapi serangan mikroorganisme, sehingga dapat memberikan respon

langsung. Sedangkan sistem imun spesifik merupakan pertahanan tubuh terhadap

patogen tertentu yang telah berhasil melewati sistem imun non spesifik. Imunitas

avertebrata tidak memproduksi antibodi spesifik atau dapat dikatakan memiliki

antibodi yang sangat sedikit. Dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi

oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen (Ratcliffe, 1985).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

19

Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya

(akuakultur) baik pada habitat air tawar, laut maupun payau sering rentan terkena

infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Sehingga krustase harus

mampu meningkatkan pertahanan untuk melawan organisme penyerang (antigen).

Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau

hemosit. Hemosit sangat penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk

ke dalam tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang yaitu sel

hialin, semi granular dan granular. Sel ini memiliki morfologi dan fungsinya

masing-masing (Soderhall dan Cerenius, 1992). Sel hialin berfungsi dalam

aktifitas fagositosis, yaitu proses sel darah yang melindungi tubuh dengan

memakan/menghancurkan partikel asing (antigen) (Cornick dan Stewart, 1978

dalam Jasmanindar 2009).

2.7 Vibrio harveyi

Berikut ini merupakan klasifikasi dari bakteri Vibrio harveyi menurut Breed

dkk (1948) dalam Hidayat (2011).

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Famili : Pseudomonadaceae

Genus : Vibrio

Spesies : Vibrio harveyi

Gambar 9. Vibrio harveyi Sumber : http://www.nvh.no/en/Home/News/News-stories/New-findings-about-cold-

water-vibriosis-in-farmed-salmon/

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Rumput Laut …media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090003_2_2375.pdf · Reproduksi Sargassum crassifolium terdiri dari dua cara, yaitu

20

Morfologi Vibrio berbentuk koma atau batang pendek, bengkok atau lurus,

bersel tunggal, mempunyai alat gerak berupa flagella tunggal (monotoric flagel),

termasuk gram negatif, ukuran sel 1-4 µm, tidak membentuk spora. Oksidase

positif, katalase positif, serta proses fermentasi karbohidratnya tidak membentuk

gas (Jawestz dkk, 1984). Bakteri ini ditemukan pada air laut juga pada air payau,

hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penyakit vibriosis pada ikan air payau

(Sunaryanto dkk, 1987 dalam Agung 2010). Penyakit vibriosis dikenal

pembudidaya sebagai penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini

disebabkan oleh berbagai spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap

spesies vibrio memiliki intensitas serangan yang berbeda-beda. Penyakit ini

disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang sampai

100% dalam waktu 1-2 hari (Agung, 2010). Ciri-ciri udang yang terkena vibriosis

antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan

mempunyai bercak merah-merah dan pada pleopod dan abdominal serta pada

malam hari terlihat menyala (Sunaryoto, 1987 dalam Al-Rozi 2008).

Vibrio juga termasuk bakteri yang bersifat halofil, yaitu tumbuh rentang

toleransi salinitas 5-80 ppt dan tumbuh optimal pada salinitas 20-40 ppt (Taslihan,

1992). Vibrio tumbuh pada pH 4-9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5-8,5 atau

kondisi alkali dengan pH 9,0 (Herawati, 1996 dalam Al-Rozi 2008). Menurut

Rheinheimer (1985) dalam Agung (2010) menyatakan bahwa Vibrio menyerang

dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung kitin dikarenakan Vibrio

memiliki chitinase, lipase dan protease. Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh

vibrio ini pada umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal pasca

larva sampai awal pasca larva (Taslihan, 1988). Beberapa spesies Vibrio yang

ditemukan dan sering menimbulkan penyakit pada udang adalah Vibrio harveyi,

Vibrio parahaemolyticus, Vibrio alginolyticus, Vibrio anguillarum, Vibrio

vulvinicus dan Vibrio fluvialis (Boer dan Zafran, 1992 dalam Naiborhu, 2002).