bab iv hasil dan pembahasan 4.1. keadaan umum lokasi...

21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang. Kota Tanjungpinang terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang merupakan transit dan lalu lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia. Selain itu Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan, dan pariwisata. Pulau Bintan mempunyai luas 13.903,75 km² atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau (DKPPKE Kota Tanjungpinang, 2012). Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada 104° 00’ BT - 104° 53’ BTdan 0° 40’ LU - 1° 15’ LU. Adapun batas-batas wilayah Pulau Bintan adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Selat Singapura/Selat Malaka Sebelah Selatan : Provinsi Jambi Sebelah Barat : Provinsi Riau Sebelah Timur : Selat Karimata, Laut Cina Selatan Berdasarkan survei pendahuluan yang sudah dilakukan, maka lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun pengamatan berdasarkan kondisi habitatnya.(Gambar 10).

Upload: vuongcong

Post on 08-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada

di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan

terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang. Kota Tanjungpinang

terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang

merupakan transit dan lalu lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia. Selain itu

Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya,

diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan, dan pariwisata. Pulau Bintan

mempunyai luas 13.903,75 km² atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di

Provinsi Kepulauan Riau (DKPPKE Kota Tanjungpinang, 2012).

Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada 104° 00’ BT - 104° 53’

BTdan 0° 40’ LU - 1° 15’ LU. Adapun batas-batas wilayah Pulau Bintan adalah

sebagai berikut :

Sebelah Utara : Selat Singapura/Selat Malaka

Sebelah Selatan : Provinsi Jambi

Sebelah Barat : Provinsi Riau

Sebelah Timur : Selat Karimata, Laut Cina Selatan

Berdasarkan survei pendahuluan yang sudah dilakukan, maka lokasi

penelitian dibagi menjadi 3 stasiun pengamatan berdasarkan kondisi

habitatnya.(Gambar 10).

Gambar 10. Peta Lokasi Stasiun Pengamatan

a. Pantai Impian

Pantai Impian (Stasiun I) terletak di 0⁰ 53' 52.01" LU dan 104⁰ 27' 35.14"

BT. Koordinat ini berada di wilayah administratif Kelurahan Tanjungpinang

Barat, Kecamatan Tanjungpinang Barat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan

Riau.Lokasi ini telah dibuat tempat untuk konservasi siput gonggong dengan

pemisahan antara zona inti yang sudah dipagari dengan kayu. Lebar zona inti ini

hanya 6 meter dan sepanjang 170 meter dikarenakan wilayah distribusi yang

terbatas. Pada zona ini masyarakat tidak boleh memanfaatkan siput gonggong

yang ada, karena daerah ini sudah dipagar untuk daerah konservasi. Jadi

masyarakat setempat hanya boleh memanfaatkan siput gonggong yang berada di

luar zona inti. Terkadang banyaknya populasi menyebabkan siput gonggong

berada di luar zona inti. Siput gonggong pada zona inti ini sudah berada dalam

habitat aslinya di daerah substrat berlumpur dan ditumbuhi lamun.

a. Pulau Dompak/Sekatap

Pulau Dompak (Stasiun II) terletak di00⁰ 51' 59.6" LU dan 104⁰ 27' 03.5"

BT. Koordinat ini berada di wilayah administratif Kampung Sekatap, Kelurahan

Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan

Riau.Lokasi ini merupakan habitat asli dari siput gonggong. Lokasi ini paling

banyak dijumpai nelayan yang menangkap ikan dan siput gonggong untuk dijual

kembali.

Gambar 11. Lokasi penelitian yang banyak dijumpai nelayan

b. Malang Rapat, Pantai Trikora

Malang Rapat, Pantai Trikora (Stasiun III) terletak di 1⁰ 54' 39.35" LU dan

104⁰ 38' 10.39" BT. Koordinat ini berada di wilayah administratif Pantai Trikora,

Desa Malang Rapat, Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten

Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 12).

Gambar 12. Lokasi Percontohan Pengelolaan Padang Lamun Bintan Timur

Stasiun ini merupakan salah satu wilayah konservasi padang lamun yang

berada di kawasan Pantai Trikora, Bintan Timur. Proyek pengelolaan padang

lamun ini disebut dengn TRISMADES “Trikora Seagrass Managenment

Demonstration Site” yang dilaksanakan di Pantai Trikora, pesisir Timur Pulau

Bintan, Kepulauan Riau, yang difokuskan di tiga desa yakni di Desa Teluk Bakau,

Desa Malang Rapat, dan desa Tanjung Berakit.Di pesisir Timur Pulau Bintan

padang lamun tumbuh di sepanjang Pantai Trikora (25km) sampai Desa Tanjung

Berakit yang meliputi Desa Lagoi, Pengudang, Berakit, Malang Rapat dan Teluk

Bakau dengan luasan 2.600 ha. Ditemukan 10 jenis lamun yaitu: Halodule

uninervis, Halodule pinifolia, Cymodecea rodundata, Cymodocea serrulata,

Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Thalassia

hemprichii, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus acoroides. Lokasi yang

memiliki keanekaragaman jenis lamun yang tinggi adalah di Desa Malang Rapat,

Teluk Bakau dan Desa Pegudang (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010).Namun

karena air yang cukup jernih dan keindahan pantai yang masih terjaga di lokasi ini

banyak didirikan resort-resort dan rumah makan.

4.2. Komposisi dan Kerapatan Jenis Lamun

Berdasarkan pengamatan pada setiap stasiun penelitian ditemukan empat

jenis lamun, yaitu Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides,

dan Thallasia hemprichii. Jenis lamun yang ditemukan pada Stasiun I hanya

Enhalus acoroides dengan rata-rata jumlah tegakan sebesar 41,83 tegakan/m².

Pada Stasiun II ditemukan jenis Enhalus acoroides dan Thallasia

hemprichii dengan rata-rata jumlah tegakan sebesar 172,06tegakan/m². Pada

Stasiun II terdapat kerapatan relative spesies Enhalus acoroides sebesar 23% dan

Thallasia hemprichii sebesar 77%. Seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 13. Presentase penutupan jenis Enhalus acoroides dan Thallasia

hemprichii di Stasuin II

23%

77 %

Enhalus acoroides

Thallasia hemprichii

Pada Stasiun III paling banyak jenis lamun yang ditemukan, jenis

Halodule uninervis, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Enhalus

acoroides dengan rata-rata jumlah tegakan sebesar 193 tegakan/m². Pada stasiun

ini terdapatkerapatan relatif spesies Halodule uninervis 53%, Thallasia hemprichii

33%, Cymodocea rotundata 10%, dan Enhalus acoroides 4% (Gambar 13).

Gambar 14. Presentase penutupan jenis Halodule uninervis, Thallasia hemprichii,

Cymodocea rotundata, dan Enhalus acoroides di Stasiun III.

Pada Stasiun Itidak ditemukan adanya asosiasi lamun dengan jenis lainnya

namun berbeda dengan kedua lokasi lainnya yang ditemukan adanya asosiasi

antar dua sampai empat jenis lamun yang berbeda pada masing-masing stasiun.

Pada Stasiun I tidak terjadi asosiasi karena hanya ditemukan satu jenis lamun

Enhalus acoroides. Pada Stasiun II ditemukan asosiasi antara jenis lamun Enhalus

acoroides dan Thallasia hemprichii. Sedangkan pada Stasiun III ditemukan

asosiasi antara jenis Halodule uninervis, Cymodocea rotundata,Enhalus

acoroides, dan Thallasia hemprichii. Hal ini sesuai dengan literatur yang

menyebutkan bahwa tumbuhan lamun tidak hanya hidup sendiri tetapi

berdampingan dengan tumbuhan lamun jenis yang lain atau biota asosiasi

(Bengen, 2001). Pernyataan tersebut didukung pula Kiswara (1999) yang

menyebutkan bahwa lamun dapat membentuk kelompok-kelompok kecil sampai

berupa padang yang luas. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang

disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi yang disusun mulai 2-12 jenis lamun

yang tumbuh. Komposisi dan kerapatan jenis yang sudah dijelaskan sebelumnya

dapat dilihat pada tabel 5.

53,22 %32,88 %

9,64%4,26%

Halodule uninervis

Thallasia hemprichii

Cymodocea rotundata

Tabel 5. Kerapatan jenis lamun di tiap stasiun

Jenis Lamun Jumlah tegakan

tiap jenis/m²

Jumlah total

tegakan lamun/m²

Stasiun I

Enhalus acoroides 41,83 41,83

Stasiun II

Enhalus acoroides 39,5 172,06

Thallasia hemprichii 132,56

Stasiun III

Halodule uninervis 102,78

193 Cymodocea rotundata 63,5

Enhalus acoroides 185,28

Thallasia hemprichii 8,22

4.3. Sebaran dan Kelimpahan Siput Gonggong

Berdasarkan pengamatan dan pengambilan sampel siput gonggong yang

dilakukan di ketiga stasiun penelitian hanya ditemukan satu jenis siput gonggong

yaitu Strombus turturella. Dimana menurut Dody(2007) sejatinya ada empat jenis

siput dari family Strombidae yang diberi nama siput gonggong Strombus

turturella, Strombus canarium, Strombus luhuanus, dan Strombus urceus. Dua

jenis yang disebut pertama banyak ditemukan di bagian Barat wilayah Indonesia

terutama di perairan Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Sedangkan kedua

jenis yang lainyaitu Strombus luhuanu, dan Strombus urceusberlimpah di wilayah

perairan Indonesia bagian Timur yaitu NTB, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Siput

gonggong yang dijumpai di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 15. Siput gonggong yang dijumpai di lokasi penelitian

Jumlah individu yang ditemukan pada Stasiun I yaitu sebanyak enam

individu dimana pada stasiun ini dekat dengan lokasi konservasisiput

gonggong.Pada stasiun pengamatan ini siput gonggong yang dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat yang berasal dari luar area konservasi. Kerapatan lamun pada

stasiun ini adalah 41,83 tegakan/m².

Jumlah individu pada Stasiun II hanya ditemukan sebanyak empat

individu dimana pada stasiun ini memiliki tingkat kerapatan lamun yang lebih

tinggi dibanding Stasiun I yaitu 172,06 tegakan/m². Kerapatan lamun bukan satu-

satunya faktor penyebab tinggi dan rendahnya kelimpahan siput gonggong namun

didukung juga oleh substratyang ada.Semakin banyak lumpur yang terkandung

dalam substratmaka semakin tinggikandungan bahan organiknya, akibatnya

kelimpahan siput gonggongjuga tinggi.Begitupula dengan Stasiun I yang dapat

dikatakan memiliki kerapatan lamun yang jarang namun mampu didapatkan

kelimpahan siput gonggong terbesar dikarenakan siput gonggong lebih menyukai

substrat yang lunak untuk mendapatkan makanannya.

Pada Stasiun III tidak ditemukan jenis siput gonggong yang hidup di

perairan ini.Hal ini dikarenakan jenis substrat pasir yang lebih mendominasi

dibanding lumpur yang terkandung didalamnya.

Berdasarkan perhitungan statistik maka kelimpahan siput gonggong pada

Stasiun I yaitu terdapat spesies Strombus turturellasebanyak 0,33 ind/m²,

sedangkan pada Stasiun II spesies Strombus turturella sebanyak 0,22 ind/m² dan

tidak didapatkan individu pada Stasiun III (Gambar 14).

Gambar 16. Presentase kelimpahan siput gonggong

Pada ketiga stasiun pengamatan kehadiran jenis Strombus turturella 100%

karena tidak ditemukan siput gonggong jenis lainnya. Kondisi kepadatan rata-rata

siput gonggong di stasiun-stasiun pengamatan secara umum berada dalam kondisi

yang cukup mengkhawatirkan. Mengacu kepada kajian yang dilakukan

sebelumnya oleh Andirato (1989) di wilayah Sekatap/Dompak menemukan

kepadatan rata-rata siput gonggong saat itu adalah 0,64 ind/m², dari hasil kajian

DKPPKE Kota Tanjungpinang (2012) kepadatan gonggong sebesar 0,3 ind/m²,

sedangkan dari hasil kajian ini kepadatan rata-rata gonggong relatif lebih rendah

yaitu hanya sebesar 0,22 ind/m². Menurut DKPPKE Kota Tanjungpinang, kondisi

ini merupakan suatu indikator bahwa tingkat pemanfaatan siput gonggong selama

ini telah mengakibatkan penurunan kelimpahan gonggong secara drastis.

Hadirnya siput gonggong pada beberapa lokasi lainnya seperti yang

terdapat dalam stasiun-stasiun pengamatan ini dengan kepadatan relatif rendah

merupakan informasi penting untuk pengelolaan selanjutnya terhadap upaya

pemulihan dan kelestarian kondisi populasi siput gonggong di Perairan Bintan.

4.4. Pengukuran Morfometrik

Siput gonggong yang ditemukan pada penelitian ini dilakukan pengukuran

dan penimbangan beratnya. Adapun parameter yang diukur yaitu Shell Length

(Panjang cangkang/SL), Shell Width (lebar cangkanng/SW), Shell Depth (Tinggi

cangkang/SD), dan Outer Lip/Lip thickness (ketebalan bibir luar/OL)(Gambar 17.)

0

0,1

0,2

0,3

0,4

Kelimpahan Siput Gonggong

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

Gambar 17. Parameter yang diukur untuk morfometrik siput gonggong

Hasil pengukuran terhadap siput gonggong diketahui pada lokasi studi

panjang siput gonggong berkisar antara 47 – 62 mm dengan rata - rata panjang

54,56 mm. Ketebalan bibir luar (OL) yang ditemukan berkisar antara 1 – 4 mm

dengan rata-rata 2,85 mm. Ketebalan bibir luar ini dapat menunjukkan tingkat

kedewasaan siput gonggong. Siput gonggong yang dewasa bibir luar kerangnya

semakin tebal. Parameter pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil pengukuran terhadap morfometrik siput gonggong

No Parameter Satuan Kisaran Rata-rata

1 Shell Length (panjangcangkang) mm 41,38–52,88 48,12

2 Shell Width (lebar cangkang) mm 27,57 – 35,54 32,32

3 Shell Depth (tinggi cangkang) mm 20,54 – 27,73 25

4 Outer lip (ketebalan bibir luar) mm 2,9 – 5,22 4,07

5 Berat cangkang gr 0,66 – 4,48 1,49

Dari Tabel 6. dapat dilihat kisaran ukuran komponen morfometrik siput

gonggong yang ditemukan di lokasi penelitian. Hubungan antara komponen

morfometrik yang diukur tersebut secara statistik dapat dinyatakan dalam bentuk

persamaan linier. Hubungan antara komponen morfometrik tinggi cangkang dan

Ketebalan bibir luar

tinggi cangkang

Panjangcangkang

Lebar Kerang

lebar cangkang dapat dinyatakan dengan persamaan y = 0,948x + 8,521dan nilai

keeratan hubungan antara kedua komponen tersebut ditunjukkan dengan nilai R² =

0,617. Ini menyatakan laju pertumbuhan antara kedua variabel berjalan

beriringan, semakin besar nilai R2 semakin erat hubungan kedua komponen

tersebut (Gambar 18).

Gambar 18. Grafik hubungan antara komponen morfometrik lebar

cangkang (SW) dantinggi cangkang (SD)

Hal sebaliknya terjadi pada hubungan antara komponen morfometrik

tinggi cangkang dan ketebalan bibir luarcangkang yang dinyatakan melalui

persamaan y= -0,030x + 5,133 dengan R² = 0,009. Dengan adanya nilai R2 yang

sangat kecil (mendekati nilai 0) inimemberikan indikasi bahwa laju pertumbuhan

tinggi cangkang siput gonggong berjalan tidak seiring dengan laju pertumbuhan

ketebalan bibir luar cangkangnya (Gambar 19).

y = 0,948x + 8,521R² = 0,617

05

10152025303540

0 10 20 30

Leb

ar C

angk

ang

(mm

)

Tinggi cangkang (mm)

Gambar 19.Grafik hubungan antara komponen morfometriktinggi cangkang (SD)

dengan ketebalanbibir luar (OL)

Pada Gambar 18 yang menggambarkan keterkaitan antara komponen

morfometrik panjang cangkang dengan berat cangkang. Hubungan ini

menunjukkan tingkat keeratan hubungan antara kedua komponen morfometrik

tersebut yang memberikan indikasi bahwa laju pertumbuhan panjang cangkang

siput gonggong berjalan seiring dengan laju pertumbuhan beratnya.Hal ini

dinyatakan dengan persamaan y = 0,150x - 2,687 dengan nilai keeratan hubungan

R² = 0,882.Sama halnya dengan literatur yang menyatakan bahwa pola

pertumbuhan bergantung kepada ketersediaan makanan, dimana jika makanan

berlimpah maka laju penambahan berat semakin cepat. Selain itu kelompok yang

berukuran besar berada pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan persyaratan

hidup dari siput gonggong dan banyak didapatkan pasokan makanan (Siddik,

2011).

Gambar 20. Grafik hubungan antara komponen morfometrik panjang cangkang

(SL) dengan berat cangkang

y = -0,030x + 5,133R² = 0,009

0

1

2

3

4

5

6

7

0 10 20 30 40kete

bal

an b

ibir

luar

(m

m)

Tinggi cangkang (mm)

y = 0,150x - 2,687R² = 0,882

0

1

2

3

4

5

0 10 20 30 40 50

Ber

at

Can

gkan

g

Panjang Cangkang

4.5. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Lamun

Indeks keanekaragaman dan dominansi merupakan suatu ciri unik pada

suatu komunitas. Indeks-indeks ini menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu

komunitas serta keseimbangan jumlah setiap jenis. Keanekaragaman spesies

menunjukkan keberadaan suatu spesies dalam suatu ekosistem, semakin bear

jumlah jenis serta semakin kaya dan seimbang distribusi diantara jenis akan

meningkatkan kenekaragaman jenis yang diukur dengan indeks tersebut

(Dwianto, 2001).

Berdasarkan data hasil penelitian di Perairan Bintan, maka diperoleh nilai

indeks keanekaragaman dan dominansi di ketiga stasiun penelitian seperti terlihat

pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Jenis Lamun

Stasiun Keanekaragaman Dominansi

Stasiun I 0 1

Stasiun II 0,53 0,64

Stasiun III 1,11 0,39

Berdasarkan tabel diatas maka nilai indeks keanekaragaman pada Stasiun

1 sebesar 0 yang menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut tidak ditemukan

keanekaragaman jenis lamun sama sekali atau pada stasiun tersebut hanya terdiri

dari spesies tunggal lamun yaitu Enhalus acoroides. Pada Stasiun II dan Stasiun

III indeks keanekaragamannya sebesar 0,53 dan 1,11. Ini menunjukkan bahwa

pada kedua stasiun tersebut didapat nilai keanekaragaman jenis yang rendah dan

sedang. Kondisi tersebut karena pada lokasi penelitian ditemukannya perbedaan

jenis substrat sehingga mempengaruhi jenis lamun yang hidup di lokasi penelitian

tersebut.

Pada Stasiun I didapat nilai indeks dominansi sebesar 1, ini menunjukkan

bahwa pada stasiun tersebut memang hanya ditempati oleh satu jenis lamun saja

yaitu Enhalus acoroides. Ini disebabkan pada stasiun tersebut hanya ada satu jenis

lamun saja yang bisa menempati habitat di Stasiun I. Berarti jenis Enhalus

acoroides dapat beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki substrat lumpur

selain itu dapat tetap hidup di perairan yang tidak mendapat cukup cahaya

matahari sehingga dapat diindikasikan bahwa jenis tersebut lebih mampu bertahan

tanpa intensitas cahaya matahari yang cukup.

Pada Stasiun III didapatkan nilai indeks dominasi 0,39. Nilai ini

mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang dominan pada stasun tersebut karena

pada stasiun ini ditemukan 4 jenis lamun yang berbeda. Sedangkan pada Stasiun

II didapat nilai indeks dominansi sebesar 0, 64. Nilai ini mengindikasikan adanya

dua spesies (berimbang) yang mendominansi pada stasiun tersebut yaitu jenis

Enhalus acoroides dan Thallasia hemprichii.

4.6. Hubungan Asosiasi antar Jenis Lamun dan Siput Gonggong yang sering

Dijumpai dalam Petak Ukur

Untuk melihat hubungan keberadaan spesies siput gonggong pada

berbagai jenis lamun yang menjadi habitatnya dapat digunakan nilai asosiasi,

dimana hasil perhitungannya dapat di lihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai E(a), Xi² pada setiap stasiun

Stasun I

Spesies Strombus turturella

E(a) Xi²

Enhalus acoroides 1,78 0,16

Stasiun II

Spesies Strombus turturella

E(a) Xi²

Enhalus acoroides 0,92 3,6

Thallasia hemprichii 1,33 1,23

Stasiun III

Spesies Strombus turturella

E(a) Xi²

Enhalus acoroides 0 0

Thallasia hemprichii 0 0

Cymodocea rotundata 0 0

Halodule uninervis 0 0

Keterangan : = ditemukan asosiasi positif antar 2 spesies (a > E(a))

Berdasarkan perhitungan statistik pada Stasiun I didapatkan nilai a > E(a),

X²hit < X²tab pada spesies jenis lamun Enhalus acoroides dengan siput gonggong

jenis Strombus turturella maka dapat disimpulkan bahwa ada 1 hubungan asosiasi

positif antara jenis lamun Enhalus acoroides dengan siput gonggong jenis

Strombus turturella namun asosiasi/hubunganya tidak erat.

Pada Stasiun II ditemukan juga asosiasi positif antara jenis lamun Enhalus

acoroides dengan siput gonggong jenis Strombus tuturella dengan nilai a > E(a),

X²hit < X²tab ini menunjukkan adanya hubungan asosiasi positif. Hasil ini sesuai

dengan keadaan di lokasi pengamatan dimana hampir setiap subplot ditemukan

jenis lamunEnhalus acoroides ditemukan pula siput gonggong jenis Strombus

turturella. Selain itu ditemukan pula asosiasi positif antara jenis lamunThallasia

hemprichii dengan jenis siput gonggong Strombus turturella namun keduanya

tidak menunjukkan keeratan. Dapat dilihat asosiasi antara siput gonggong dan

lamun pada gambar 21.

Gambar 21. Asosiasi antara siput gonggong dan lamun dalam satu transek

Pada Stasiun III tidak ditemukan adanya asosiasi positif antara semua jenis

lamun dan siput gonggong, karena semua nilai yang didapatkan yaitu a ≤ E(a),

X²hit < X²tab. Sehingga semuanya menunjukkan hubungan asosiasi negatif dan

tidak ada keeratan antar satu sama lain. Di stasiun ini tidak ditemukannya siput

gonggong walaupun di lokasi ini ditemukan lamun dengan keanekaragaman yang

cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena kondisi substrat padang lamun

merupakan pasir dan terlalu kasar untuk perkembangbiakan larva dan habitat siput

gonggong.

4.7. Pengamatan Parameter Lingkungan Fisika dan Kimia Perairan

1. Kedalaman Perairan

Pada ketiga stasiun penelitian didapatkan kedalaman yang tidak berbeda

jauh. Nilai rata-rata kedalaman di Stasiun I yaitu 23,43 cm, Stasiun II yaitu 0,2

cm, Stasiun III yaitu 0. Nilai tingkat kedalaman stasiun II dan III hampir seragam

dikarenakan letak ketiga stasiun yang memiliki kesamaan kontur dasar perairan.

Sedangkan pada Stasiun I terdapat perbedaan yang signifikan diakibatkan

perbedaan waktu pengamatan yang terlalu pagi karena mengikuti kegiatan nelayan

menggunakan sampan untuk sampai ke lokasi penelitian sebelum surut.

Kedalaman perairan yang terukur pada setiap stasiun tidak terlalu ideal

bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun yang merupakan vegetasi perairan

dangkal. Proses fotosintesis yang optimal karena penetrasi cahaya yang cukup

didukung oleh dangkalnya perairan. Namun terlalu dangkalnya perairan ketika

surut terendah membuat lamun mendapatkan sinar matahari yang berlebih dan

lama kelamaan dapat menyebabkan kekeringan terhadap daun lamun yang

kemudian menyebabkan rusaknya ekosistem lamun akibat paparan sinar matahari

yang berlebih.

Berbeda dengan kondisi siput gonggong yang tidak terlalu bergantung

terhadap kedalaman perairan karena siput gonggong lebih tergantung terhadap

substrat hidupnya. Menurut Hynes (1978) dalam Honata (2010) faktor utama

yang menentukan penyebaran, kepadatan, dan komposisi jenis bentik adalah

substrat dasar perairan, yaitu lumpur, pasir tanah liat berpasir, kerikil, dan batu.

Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi penyebaran, kepadatan, dan

komposisi bentos.

Gambar 22. Grafik rata-rata kedalaman di tiap stasiun (cm)

2. Suhu

Suhu dapat mempengaruhi seluruh tahapan dalam siklus hidup suatu

spesies dan dapat membatasi distribusi spesies tersebut melalui pengaruhnya

terhadap kemampuan bertahan, reproduksi, pertumbuhan, dan kompetisi dengan

organisme lainnya pada batas toleransi suhu. Berarti suhu perairan sangat

berpengaruh terhadap proses-proses biologi maupun kimia baik pada biota-biota

maupun pada perairan itu sendiri. Selain itu menurut (Dwianto, 2001),

peningkatan suhu akan mempengaruhi kehidupan di perairan tersebut. Suhu

mempengaruhi baik aktivitas metabolisme, laju fotosintesis, proses fisiologi

hewan dan perkembangan atau faktor reproduksi dari organisme.

Kondisi suhu perairan memiliki pengaruh memiliki pengaruh bagi

kelangsungan hidup lamun maupun siput gonggong. Berdasarkan pengukuran

langsung di lapangan didapatkan suhu rata-rata pada ketiga stasiun yaitu berkisar

antara 29 – 31°C. Suhu air terendah yaitu 29,7°C didapat pada Stasiun I,

sedangkan suhu tertinggi pada Stasiun III yaitu 30,8°C. Nilai parameter suhu

perairan yang didapat tidak jauh berbeda hal ini disebabkan karena tingkat

kedalaman perairan yang tidak jauh berbeda dan waktu pengukuran di setiap

stasiun yang tidak jauh berbeda pula yaitu antara pukul 07.00 – 11.00 WIB.

Dimana cahaya matahari yang masuk ke perairan intensitasnya belum terlalu

tinggi.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan mengindikasikan bahwa suhu

air laut di semua stasiun penelitian cocok dalam kisaran suhu ideal baik bagi

0,00

10,00

20,00

30,00

Kedalaman

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

pertumbuhan dan perkembangan siput gonggong yaitu antara28,5 – 29,9°C.

Menurut (Hyman, 1955), lamun bisa tumbuh dan berkembang hingga kisaran

35°C.

Gambar 23. Grafik rata-rata suhu perairan di tiap stasiun (°C )

2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus pada ketiga stasiun penelitian tidak memiliki perbedaan

yang signifikan yaitu pada Stasiun I sebesar 0,041 ms ֿ ², pada Stasiun II 0,064

ms ֿ ², dan pada Stasiun III sebesar 0,079 ms ֿ ². Hal ini diperkirakan karena

perbedaan penutupan lamun pada ketiga stasiun. Pada Stasiun I ditemukan

vegetasi penutupan lamun dengan tingkat kerapatan sedang dibandingkan kedua

stasiun lainnya. Selain jenis lamun Enhalus acoroidesyang mendominasi, rimbun

dan panjangnya daunEnhalus acoroides menyebabkan arus yang masuk akan

lebih teredam yang menyebabkan kondisi perairan lebih tenang.

Berbeda dengan Stasiun III yang memiliki tingkat kerapatan lamun yang

tinggidiantara stasiun lainnya dan hanya didominasi oleh jenis lamun berdaun

kecil maka arus air laut tidak banyak tereduksi.

Gambar 24. Grafik rata-rata kecepatan arus di tiap stasiun (ms ֿ ²)

29,00

29,50

30,00

30,50

31,00

Suhu

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

0

0,02

0,04

0,06

0,08

Arus

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

4. Kecerahan

Pada kedua stasiun penelitian didapatkan tingkat kecerahan sebesar 100%.

Ini dikarenakan di setiap stasiun pengamatan memiliki tingkat kedalaman yang

hampir seragam kecuali pada Stasiun I yang memiliki tingkat kecerahan sebesar

70% karena selain kedalaman yang tinggi, substratnya berupa

lumpur.Berdasarkan hasil pengukuran maka nilai transparansi pada ketiga stasiun

ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun.

5. Kandungan Oksigen terlarut (DO)

Menurut KepMen LH No 51 tahun 2004, nilai baku mutu air laut yang

optimal yaitu >5 mg/l untuk kandungan Oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut

optimum bagi moluska bentik adalah 4,1 - 6,6 mg/l, sedangkan kadar minimal

yang masih dalam batas toleransi adalah 4 mg/l (Clark, 1974).Ini berarti pada

ketiga stasiun pengamatan tergolong dalam kondisi yang ideal baik bagi

pertumbuhan dan perkembangan lamun serta siput gonggong. Yaitu 5,37 mg/l

pada Stasiun I, 4,86 mg/l pada Stasiun II dan 5,09 mg/l pada Stasiun III.

Gambar 25. Grafik rata-rata DO perairan di tiap stasiun (mg/l)

6. Derajat Keasaman (pH)

Nilai derajat keasaman (pH) pada setiap stasiun memiliki nilai yang

hampir sama yaitu antara 7,53 – 8,06 berarti dari pH netral hingga sedikit basa,

keadaan pH ini menunjukkan homogenitas pH pada tiap stasiun. Umumnya pH air

laut tidak menunjukkan perbedaan yang besar.

4,60

4,80

5,00

5,20

5,40

DO

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

Menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 pH perairan optimal bagi

pertumbuhan lamun yaitu dalam kisaran 7 – 8,5. Ini berarti pada ketiga stasiun

pengamatan tergolong dalam kondisi pH perairan yang ideal baik bagi

pertumbuhan dan perkembangan lamun maupun siput gonggong.

Gambar 26. Grafik rata-rata pH perairan di tiap stasiun

7. Salinitas

Beradasarkan pengukuran langsung di ketiga stasiun penelitian didapatkan

nilai rata-rata salinitas yang berkisar antara 28 – 30 ‰. Dimana kisaran salinitas

tersebut cocok bagi kelangsungan hidup baik lamun maupun siput gonggong.

Lamun memiliki toleransi salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian besar

mempunyai rentang kisaran toleransi salinitas antara 10 – 40 ‰, sedangkan nilai

optimum lamun terhadap salinitas air laut ialah 35 ‰.

Gambar 27. Grafik rata-rata salinitas perairan di tiap stasiun (‰)

6,90

7,00

7,10

7,20

pH

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

27,00

28,00

29,00

30,00

Salinitas

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

7,2

7

7,17

4.8.Pengamatan Substrat

Berdasarkan pengamatan secara visual di ketiga stasiun penelitian, maka

didapatkan tipe substrat :

Stasiun I : Substrat lumpur

Stasiun II : Substrat pasir dengan sedikit lumpur

Stasiun III : Substrat pasir dengan sedikit lumpur

Pengamatan substrat dilanjutkan pada analisis besar butir dan kandungan

unsur hara di Laboratorium Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Padjadjaran Jatinangor, kemudian data diolah kembali menggunakan segitiga

miller. Maka didapatkan hasilnya seperti terlihat pada Tabel

Tabel 9. Analisis besar butir dengan segitiga miller

Jika komposisi substrat di atas dikaitkan dengan kelimpahan siput

gonggong di masing-masing stasiun, maka siput gonggong lebih banyak

ditemukan pada lokasi yang komposisi substratnya didominasi oleh substrat lunak

(lumpur), hal ini diperkuat dengan hasil pada Stasiun III yang didominasi substrat

pasir tidak ditemukan siput gonggong. Sedangkan pasa Stasiun I dan Stasiun II

dimana pada masing-masing stasiun ditemukan 7 dan 4 individu siput gonggong .

Hasil analisis kandungan unsur hara dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kandungan unsur hara

STASIUN

TEKSTUR (%)

Analisis Tekstur Pasir Debu Liat

Stasiun I 33 46 22 Lempung

Stasiun II 56 16 14 Pasir Berlempung

Stasiun III 85 5 10 Pasir Berlempung

STASIUN C – org N – total

Stasiun I 1.86 0.13

Stasiun II 0.38 0.03

Stasiun III 0.42 0.07

Kandungan unsur hara tertiggi berada pada Stasiun I dimana siput gonggong

terbanyak ditemukan. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar siput gonggong

lebih menyukai substrat yang halus karena pada jenis substrat ini siput gonggong

lebih mudah untuk mendapatkan sumber makanannya yang terkandung dalam

endapan di habitatnya (substrat) berupa unsur-unsur hara dan sisa-sisa

pembusukan makhluk hidup.

Substrat dasar suatu perairan sangat berpengaruh terhadap sebaran dan

kelimpahan dari siput gonggong. Siput gonggong mencerna bahan organik yang

terdapat dalam pertikel-partikel substrat tersebut. Berbeda dengan Stasiun III yang

komposisinyadidominasi oleh pasir dan sedikitnya kandungan zat hara pada

substratnya.Pada substrat yang didominasi pasir, larva siput gonggong tidak dapat

bertahan hidup karena siput ini memerlukan substrat yang lebih halus untuk

membenamkan diri dan mendapatkan makanan.