bab iv hasil dan pembahasan 4.1. pemetaan sebaran...
TRANSCRIPT
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemetaan Sebaran Lamun
Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit
menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi
tersebut berguna untuk mempertajam hasil pencitraan dari lamun yang selanjutnya
menghasilkan peta tematik yang berupa hasil peta sebaran lamun.
4.1.1. Klasifikasi Citra
Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang
didasarkan pada algoritma lyzenga sebagai kunci interpretasi. Sebelumnya kita
melakukan praproses citra ( Lampiran 1) sebelum masuk ke klasifikasi citra.
Kelas yang dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral
dimana kelas didasarkan pada nilai natural spektral citra. Banyaknya kelas
diperlihatkan pada histogram hasil algoritma lyzenga yang diwakili oleh puncak-
puncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 4) dan hasil citra dari klasifikasi
algoritma lyzenga (Lampiran 5). Klasifikasi citra dibagi menjadi 20 kelas agar
lebih memudahkan dalam penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang
dihasilkan diperkirakan sekitar 100 kelas yang selanjutnya di reclass menjadi 7
kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, pecahan karang, darat
dan laut dalam sesuai kunci interpretasi yang digunakan (Siregar 1995)
(Lampiran 6).
Proses klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang
sama dengan menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software
Arc GIS 9.3 berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan
pengeditan warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan
untuk memperbaiki keakuratan kondisi sebenarnya dan menghilangkan fitur yang
tidak diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan, pecahan karang, dan karang
mati sehingga pada akhirnya hanya mempunyai 5 kelas. Hasil tersebut masih
perlu diakurasikan dengan pemeriksaan langsung dengan survei lapangan
29
sehingga hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai
informasi sebaran dan kondisi lamun di perairan Bintan Timur.
4.1.2. Peta Tematik Sebaran Ekosistem Lamun
Hasil data citra yang telah di olah dapat dijadikan sebagai informasi sebaran
ekosistem padang lamun di Perairan Bintan Timur dan disajikan dalam bentuk peta
tematik sebaran ekosistem lamun yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS
9.3. (Gambar 7, 8, 9, 10 dan 11). Panjang keseluruhan garis pantai pada peta adalah
25,254 Km dan luas padang lamun adalah 455.132 ha, dimana panjang garis pantai
dan luas lamun dari setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 6. Penghitungan ini di
dapat dari pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3.
Stasiun 1 merupakan stasiun yang memiliki sebaran lamun yang paling luas
dibanding tiga stasiun yang lain yaitu seluas 264,89 ha dan merupakan kondisi
lamun yang baik. Pada peta dapat dilihat adanya seberan terumbu karang yang
berada didepan ekosistem lamun di banding pada stasiun yang lainya hal ini
disebabkan adanya asosiasi antara ekosistem lamun dan ekosistem terumbu
karang yang berjalan dengan baik, berupa ekosistem lamun sebagai penahan
sedimen yang baik sebelum sedimen masuk dan merusak ekosistem terumbu
karang, hal ini menyebabkan pertumbuhan terumbu karang yang baik sehingga
terdapat terumbu karang yang cukup luas. Menurut (Supriadi 2008) ekosistem
terumbu karang sebagai pelindung bagi ekosistem padang lamun dan ekosistem
mangrove dari hempasan gelombang dan arus yang datang dari laut lepas,
sehingga jika kondisi terumbu karang yang baik dan banyak dapat membantu
ekosistem lamun dari hempasan gelombang dan arus.
Pada stasiun 2 masih terdapat terumbu karang walaupun lebih sedikit
dibandingkan dengan stasiun 1, sedangkan pada stasiun 3 dan stasiun 4 tidak
ditemukannya terumbu karang di karenakan luasan lamun yang sedikit yaitu
hanya sebesar 56.572 ha pada stasiun 3 dan 34.107 ha pada stasiun 4 ditambah
lagi dengan kondisi perairan yang sangat buruk seperti salinitas pada stasiun 4
hanya sebesar 25,75‰ jauh dibawah standar baku mutu yaitu antara ±35‰ -
±40‰ (waycot et al 2007). Kadar oksigen terlarut pada stasiun 4 sebesar
30
4,4mgL-1s, sedangkan menurut (Effendi 2003) dimana perairan yang
diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen tidak
kurang dari 5mgL-1, subtrat yang terdapat pada stasiun 4 dan stasiun 3 lebih
berlumpur dibandingkan dengan stasiun 1 dan stasiun 2 yang subtratnya sebagian
besar adalah pasir sehingga kecerahan perairan bisa rendah. Kecerahan
berpengaruh terhadap cahaya yang masuk keperairan untuk kepentingan
fotosintesis lamun, dengan kondisi parameter perairan dan subtrat seperti itu tidak
baik untuk pertumbuhan pada ekosistem lamun maupun ekosistem terumbu
karang.
Tabel 6. Panjang Garis Pantai dan Luas Lamun
Stasiun Panjang Garis Pantai (km) Luas lamun (ha)
Stasiun 1 6.907 264,89
Stasiun 2 6.052 99,563
Stasiun 3 6.061 56,572
Stasiun 4 6.504 34,107
Jumlah 25.254 455,132
Gambar 7. Peta Sebaran Ekosistem Lamun Di Bintan Timur
31
Gambar 8. Peta Sebaran Ekosistem Gambar 9. Peta Sebaran Ekosistem
Lamun Di Stasiun 1 Lamun Di Stasiun 2
Gambar 10. Peta Sebaran Ekosistem Gambar 11. Peta Sebaran Ekosistem
Lamun Di Stasiun 3 Lamun Di Stasiun 4
32
4.2. Kondisi Parameter Perairan
Pengamatan parameter lingkungan fisika dan kimia perairan di lakukan
pada saat perairan pasang yaitu pada kisaran pukul 08.00 -12.00 WIB
pengambilan sampel dilakukan 4 pengulangan di setiap stasiun (Lampiran 10).
Hasil dari penghitungan parameter perairan dilapangan seperti : suhu, salintas,
derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), kecepatan arus, kedalaman,
kecerahan disajikan dalam bentuk grafik yang disatukan dari setiap stasiun agar
lebih muda dianalisis perbedaan setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik Parameter Parairan Setiap Stasiun
Pada stasiun 1 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan didapatkan :
suhu sebesar 30,55 °C, kedalaman 1,22 m, kecerahan sebesar 100%, DO sebesar
6,6 mgL-1, arus sebesar 0.13 ms-1, pH sebesar 7,67, dan salinitas sebesar
35,075‰. Kondisi dari perairan tersebut sangat mendukung untuk pertumbuhan
lamun, dikarenakan nilai-nilai tersebut masih masuk dalam baku mutu yang baik
untuk pertumbuhan lamun.
Pada stasiun 2 dan stasiun 3 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan
hasilnya tidak terlalu berbeda didapatkan berturut-turut : suhu sebesar 32,3 °C dan
1.22 1.34
75
1.11
75 1.80
5
6.6
5.57
5
5.7
4.4
7.67
5
7.12
5 7.77
5
6.27
5
30.5
5
32.3 34
.975
28.0
75
100
100
100
87.5
13 12
8
30
35.0
75
34.3
25
34.1
75
25.7
5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4Stasiun
Parameter Perairan Setiap Stasiun
Kedalaman (m)
DO (mg/L)
pH
Suhu (C)
Kecerahan (%)
Arus (cm/s)
Salinitas (‰)
33
34,9 °C, kedalaman 1,34 m dan 1,11 m , kecerahan sebesar 100% dan 100%, DO
sebesar 5,57 mgL-1 dan 5,7 mgL-1, arus sebesar 0.12 ms-1dan 0.08 ms-1, pH
sebesar 7,12 dan 7,77, dan salinitas sebesar 34,32‰ dan 34,17‰. Dibandingkan
dengan stasiun 1 parameter di stasiun 2 dan stasiun 3 tidak sebagus pada stasiun 1
namun nilai tersebut masih masuk dalam nilai standar baku mutu yang baik untuk
pertumbuhan lamun.
Pada stasiun 4 berdasarkan pengukuran langsung di lapangan didapatkan :
suhu sebesar 28,07 °C, kedalaman 1,8 m, kecerahan sebesar 87,5%, DO sebesar
4,4 mgL-1, arus sebesar 0.3 ms-1, pH sebesar 6,27, dan salinitas sebesar 25,75‰.
Kualitas perairan di stasiun 4 ada beberpa parameter yang di bawah baku mutu
seperti DO hanya 4,4 mgL-1, menurut (Effendi 2003) perairan yang diperuntukkan
bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen tidak kurang dari 5
mgL-1. Salinitas hanya sebesar 25,75‰ menurut (Waycott et al. 2007) Salinitas
yang ideal bagi kehidupan lamun adalah senilai ±35‰ - ±40‰. Sehingga perairan
di stasiun 4 termasuk perairan yang tidak baik untuk pertumbuhan lamun.
Perbedaan kualitas air di setiap stasiun disebabkan karena kondisi
lingkungan yang berbeda dari setiap stasiun seperti adanya muara sungai yg besar
pada stasiun 4 hal ini dapat mempengaruhi parameter salinitas karena perbedaan
salinitas pada air tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan air laut, semakin
besar debit air yang masuk ke perairan laut maka semakin tinggi juga pengaruh ke
salinitasnya. Akitifitas manusia disekitar lingkungan stasiun juga mempengaruhi
perbedaan dari setiap parameter perairan pada stasiun 1 tidak ada ditemukan nya
aktifitas manusia yang mengganggu perairan sehingga keadaan parameter perairan
di stasiun 1 lebih bagus di banding 3 stasiun lainnya.
Berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan substrat pada setiap
stasiun tidak jauh berbeda, sehingga peneliti menggunakan data sekunder dari
Bappeda Kabupaten Bintan (2010) yang menyatakan substrat yang berada pada
perairan Bintan Timur adalah pasir yaitu pada stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3
kecuali di daerah kawal atau stasiun 4 yang merupakan substrat pasir belumpur.
34
4.3. Kondisi Ekositem Lamun
Survei lapangan dilakukan selama 10 hari yaitu pada tanggal 22 april
sampai 2 Mei 2013. Pengambilan dan penghitungan sampel dilakukan saat
perairan surut yaitu sekitar pukul 15.00 – 18.00 WIB. Pemeriksaan lapangan di
lakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun pada empat stasiun yang
berbeda agar dapat digabungkan hasilnya dengan peta sebaran lamun yang telah di
dapat, dimana setiap stasiun ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan sekitar.
Hasil dari pengambilan data kondisi lamun mencakup persentasi jumlah jenis
lamun, persentasi tutupan lamun dan biomassa lamun dapat dilihat pada Table 7.
Tabel 7. Hasil Pengambilan Data Kondisi Lamun
Stasiun Jenis Lamun Biomassa g(m2)-1 Persen Tutupan %
Stasiun 1 5 727.08 66
Stasiun 2 3 370.66 30
Stasiun 3 3 479.08 39
Stasiun 4 2 197.25 3
4.3.1 Persentase Jumlah Jenis Lamun
Berdasarkan pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda,
ditemukan 5 jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi,
Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan Halophila spinulosa. Jenis
lamun yang banyak ditemukan di perairan Bintan Timur adalah jenis Enhalus
acoroide dan Thallasia hemprichi.
Pada stasiun 1 merupakan stasiun yang paling banyak di temukan jenis
lamun dibandingkan dengan stasiun 2, 3 dan 4. Hal ini disebabkan lokasi pada
stasiun 1 merupakan lokasi yang masih dapat dikatakan alami karena belum
terjadinya pencemaran lingkungan disekitar lokasi selain itu juga pada stasiun 1
merupakan lokasi yang sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun karena dari
pengamatan parameter perairan di lapangan hasilnya masuk kedalam standar baku
mutu untuk pertumbuhan lamun.
Pada stasiun 2 dan stasiun 3 sama-sama hanya ditemukan tiga jenis lamun,
hal ini dikarenakan lokasi pada stasiun 2 dan stasiun 3 yang berdekatan hanya
35
berjarak sekitar 3 Km di banding ke stasiun 1 berjarak 9 Km dan ke stasiun 4
berjarah 8 Km. Lingkungan pada stasiun 2 yang berdekatan dengan tempat
penginapan atau hotel sedangkan pada stasiun 3 berdekatan dengan tempat makan
atau restoran dimana hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dari
limbah pembuangan hotel dan restoran yang dapat mempengaruhi kualitas
perairan.
Pada stasiun 4 sangat sedikit ditemukan jenis lamun yaitu hanya terdapat
dua jenis lamun, hal ini di karenakan lokasi pada stasiun 4 merupakan daerah
yang kondisi parametr perairan yg paling buruk dari 3 stasiun lainnya ditambah
lagi lokasi stasiun 4 yang berdekatan dengan pemukiman warga sehingga tingkat
pencemaran di lokasi tersebut lebih tinggi dibanding 3 stasiun lainnya yang tidak
ada pemukiman warga. Pencemaran-pencemaran dapat ditimbulkan dari aktifitas
warga seperti tumpahan bahan bakar minyak dari kapal-kapal nelayan yang
berlabuh disekitar perairan stasiun 4 dan pengecatan kapal yang dilakukan
langsung didekat perairan.
Pada stasiun 1 ditemukan jenis lamun yang paling banyak yaitu Enhalus
acoroides, Thallasia hemprichi, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium
dan Halophila spinulosa (Lampiran 7) . Jenis lamun Enhalus acoroides
merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu dengan persentase sebesar
44,81%, Thallasia hemprichi 26,41%, Cymodocea rotundata 16,03%,
Syringodium isoetifolium 8,0% dan Halophila spinulosa 4,71%. Hasil penelitian
persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 1
45%
26%
16%
8%5% Stasiun 1
Enhalus acoroides
Thalasia hemprichi
Cymodecea rotundata
syringodium isoetifolium
Halophila spinulosa
36
Pada stasiun 2 ditemukan jenis lamun lebih sedikit dibandingkan stasiun 1
hanya tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi dan
Cymodocea rotundata (Lampiran 7). Jenis lamun Enhalus acoroides tetap
merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu dengan persentase sebesar
65,16%, Thallasia hemprichi 24,71% dan Cymodocea rotundata 10,11%. Hasil
penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 2
Pada stasiun 3 ditemukan jenis lamun tidak jauh berbeda dengan stasiun 2
tetapi lebih sedikit dibandingkan stasiun 1. Persentase jenis lamun pada stasiun 3
yaitu Enhalus acoroides 62,59%, Thallasia hemprichi 24,42% dan Cymodocea
rotundata 12,97%. Hasil penelitian persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat
pada Gambar 15.
Gambar 15. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 3
Pada stasiun 4 ditemukan jenis lamun yang paling sedikit dibandingkan
stasiun 1, 2 dan 3 hanya ditemukan dua jenis lamun yaitu Enhalus acoroides dan
Thallasia hemprichi (Lampiran 7) dengan masing-masing persentase Enhalus
65%
25%
10%
Stasiun 2
Enhalus acoroidesThalasia hemprichiCymodecea rotundata
63%
24%
13%
Stasiun 3
Enhalus acoroidesThalasia hemprichiCymodecea rotundata
37
acoroides sebesar 80% dan Thallasia hemprichi sebesar 20%. Hasil penelitian
persentase jumlah jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Presentase Jumlah Jenis Lamun di Stasiun 4
4.3.2. Analisis Data Biomasa Lamun
Berdasarkan data pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda,
ditemukan 5 jenis lamun yang berbeda pula, dimana setiap pengambilan sampel
dilakukan tiga kali pengulangan disetiap stasiun. Penghitungan biomassa lamun
yang digunakan adalah jenis lamun Enhalus acoroides karena jenis lamun
Enhalus acoroides yang paling banyak ditemukan disetiap stasiun dibandingkan
dengan jenis lamun yang lainya.
Pada stasiun 1 dapat kita lihat berat biomassa lamun Enhalus acoroides
sebesar 636,25 g(m2)-1, 684,25 g(m2)-1, dan 860,75 g(m2)-1 dengan rata-rata dari
tiga kali pengulangan tersebut adalah 727,08 g(m2)-1. Pada Stasiun 2 berat
biomassa lamun Enhalus acoroides sebesar 441,75 g(m2)-1, 354,25 g(m2)-1 dan
316 g(m2)-1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut adalah 370,66
g(m2)-1. Pada stasiun 3 tidak jauh berbeda dengan stasiun 2 yaitu sebesar 553,25
g(m2)-1, 391 g(m2)-1 dan 493 g(m2)-1 dengan rata-rata 479,08 g(m2)-1. Pada stasiun
4 berat biomassa lamun yang paling kecil yaitu sebesar 233,5 g(m2)-1, 190,5
g(m2)-1 dan 167,75 g(m2)-1 dengan rata-rata dari tiga kali pengulangan tersebut
adalah 197,25 g(m2)-1 (Lampiran 8). Perbandingan persentase dari ke 4 stasiun di
atas dapat dilihat pada Gambar 17.
80%
20%
Stasiun 4
Enhalus acoroides
Thalasia hemprichi
38
Gambar 17. Presentase Biomassa dari Setiap Stasiun
Dapat dilihat dari gambar di atas bahwa nilai berat biomassa lamun
Enhalus acoroides pada stasiun 1 merupakan nilai biomassa yang tertinggi
dibandingkan dari stasiun lainnya, hal ini di sebabkan daun-daun dari lamun
Enhalus acoroides distasiun 1 masih sangat bagus dan meliliki kerapatan yang
tinggi, sehingga mempunyai berat yang lebih tinggi di banding pada stasiun 2 dan
stasiun 3 yang mempuyai biomassa lebih kecil dibanding stasiun 1 walaupun
demikian perbedaan yang sangat mencolok terdapat pada stasiun 4 dengan
kerapatan yang sangat rendah dan kulitas daun-daun lamun yang tidak bagus. Hal
ini disebabkan karena kondisi lingkungan pada setiap stasiun berbeda-beda dan
lokasi pada stasiun 4 berdekatan dengan permukiman warga dan pelabuhan
nelayan sehingga pengaruh pencemaran yang terjadi juga lebih tinggi.
4.3.3. Persentase Penutupan Lamun
Berdasarkan data pengamatan dilapangan dari empat stasiun yang berbeda,
ditemukan persentase penutupan yang berbeda-beda. Pengambilan data dilakukan
dengan tiga kali pengulangan pada setiap stasiun. Persentase penutupan lamun
dapat kita lihat dari seberapa banyak sub-transek yang tertutupi oleh lamun,
jumlah sub-transek sebanyak 25 sub-transek dimana transek kuadrat tersebut
mempunyai ukuran sebesar 1m x 1m.
41%
21%
27%
11%
Biomassa
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
39
Hasil penghitungan dilapangan menunjukan bahwa nilai persentase
penutupan yang tertingi pada stasiun 1 yaitu sebesar 66% hal ini menunjukan
bahwa lingkungan distasiun 1 sangat mendukung untuk pertumbuhan lamun,
dibandingkan stasiun 2 dan stasiun 3 yang memiliki nilai persentase yang tidak
jauh berbeda yaitu sebesar 30% dan 39% hal ini dikarenakan lokasi pada stasiun 2
dan stasiun 3 yang berdekatan sehingga kondisi lingkungan perairan tersebut tidak
jauh berbeda. Pada stasiun 4 memiliki perbedaan yang signifikan lebih rendah
persentasi penutupan lamun dibandingkan dengan 3 stasiun yang lainnya, dimana
nilai persentase penutupan lamun stasiun 4 hanya sebesar 3% hal ini dikarenakan
kondisi parameter perairan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan lamun dan
pada stasiun 4 lokasinya berdekatan dengan muara sungai yang cukup besar
sehingga perairan tersebut dapat mengalami perubahan dari setiap parameter
perairan dimana perubahan yang secara drastis akan sangat mempengaruhi
terhadap pertumbuhan dan perkembangan lamun.
Pada stasiun 1 jumlah sub-transek yang tertutupi lamun adalah 21, 23, dan
22 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 22 sub transek
yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada
stasiun 1 sebesar 66% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 1
dapat kita lihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 1
Pada stasiun 2 jumlah sub-transek yang tertutupi oleh lamun adalah 20, 11
dan 10 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 13.6 sub
transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun
66%
34%
Stasiun 1Penutupan LamunSisa Penutupan
40
pada stasiun 2 sebesar 30.5% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada
stasiun 2 dapat kita lihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 2
Pada stasiun 3 jumlah sub-transek yang tertupi oleh lamun adalah 12, 18
dan 15 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 15 sub
transek yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun
pada stasiun 3 sebesar 39% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada
stasiun 3 dapat kita lihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 3
Pada stasiun 4 jumlah sub-transek yang tertupi oleh lamun adalah 5, 3 dan
6 dimana dari ketiga pengulangan tersebut mempunyai rata-rata 4,6 sub transek
yang tertutupi lamun dengan begitu hasil persentase penutupan lamun pada
stasiun 4 sebesar 3,2% (Lampiran 9). Persentase penutupan lamun pada stasiun 4
dapat kita lihat pada Gambar 21.
30%
70%
Stasiun 2Penutupan LamunSisa Penutupan
39%
61%
Stasiun 3
Penutupan LamunSisa Penutupan
41
Gambar 21. Presentase Penutupan Lamun pada Stasiun 4
4.3.4. Kondisi Ekosistem Lamun
Kondisi ekosistem lamun yang berada pada perairan Bintan Timur di bagi
menjadi tiga klasifikasi kondisi lamun yaitu buruk, sedang dan baik. Pengamatan
kondisi ekosistem lamun dilakukan di masing-masing stasiun. Hasil pengamatan
tiap stasiun dari kondisi lamun berbeda-beda, di mana stasiun 1 memiliki kondisi
ekosistem lamun baik dengan persentasi IKL 73,33%, stasiun 2 dan stasiun 3
memiliki kondisi lamun yang sama yaitu sedang dengan persentasi IKL 46,66%,
berbeda hal nya dengan stasiun 4 yang memilki kondisi lamun yang buruk dengan
persentasi IKL 20% (Lampiran 11). Meningkatnya lahan terbangun atau lahan
terbuka hasil aktifitas manusia dan kegiatannya di wilayah pesisir pantai dapat
menjadi salah satu ancaman bagi ekosistem lamun terutama akan meningkatkan
suplai sedimen terlarut dan sedimentasi ke perairan dan meningkatnya muatan
nutrien (Duarte 2002).
Penyebab perbedaan kondisi ekosistem lamun dari setiap stasiun
dikarenakan beberapa faktor diantaranya : perbedaan kualitas perairan, aktifitas
masyrakat disekitarnya, pelabuhan nelayan, muara sungai yang besar. Pada
stasiun 4 memiliki nilai persentasi IKL yang paling rendah hal ini dikarenakan
hasil dari perhitungan jumlah jenis, biomassa dan persen penutupan pada stasiun 4
sangat rendah dibandingkan tiga stasiun lainnya, dimana kondisi perairan pada
stasiun 4 banyak nilai yang tidak mencakup nilai baku mutu untuk kondisi yang
baik dalam pertumbuhan lamun. Nilai parameter perairan pada stasiun 4 yang
3%
97%
Stasiun 4
Penutupan LamunSisa Penutupan
42
buruk disebabkan oleh banyaknya aktifitas masyrakat sekitar yang kurang peduli
dengan pencemaran yang dilakukannya seperti diantaranya membuang air limbah
rumah seperti air bekas mandi, pencucian baju yang langsung dibuang ke perairan
laut karena rumah masyarakat sekitar berupa rumah panggung yang berada
langsung di atas perairan langsung dan aktifitas yang paling merusak perairan
yaitu adanya kegiatan nelayan yang memperbaiki kapalnya langsung di perairan
tersebut dari membuang oli-oli bekas sampai pengecatan lambung-lambung kapal,
ditambah lagi lokasi stasiun 4 yang berdekatan dengan muara sungai yang cukup
besar dan membawa air tawar masuk ke perairan laut sekitar. Bandingkan dengan
stasiun 1 yang kondisi ekosistem lamun yang baik, dimana lokasi tersebut sangat
jauh dari aktifitas masyarakat yang dapat merusak dan mencemari perairan
sehingga stasiun 1 sangat cocok dan baik untuk pertumbuhan lamun.
Menurut (Short dan Echeverria 2000) salah satu sebab kerusakan lamun
karena kurangnya kesadaran manusia terhadap nilai dan fungsi ekosistem lamun.
Pembangunan wilayah pesisir dengan konsep “sustainable tourism” dapat
dijadikan alternatif dalam pemecahan masalah pemanfaatan ruang perairan pantai.
Setelah mendapatkan kondisi dari ekosistem lamun dari setiap stasiun pengamatan
maka kita akan mendapatkan hasil peta berupa sebaran dan kondisi ekosistem
lamun di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau (Gambar 22).
43
Gambar 22. Peta Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan
Bintan Timur.