bab ii tinjauan pustaka a. praktik perawatan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Praktik Perawatan Dekubitus
1. Pengertian praktik
Praktik merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan apa yang
diketahui atau yang disikapinya (dinilai baik). Praktik merupakan perilaku
terbuka (Notoatmodjo, 2007). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu
perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Praktik dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya
(Notoatmodjo, 2007), yaitu :
a. Praktik terpimpin (Guided response)
Subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung
pada tuntunan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (Mechanism)
Subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis.
c. Adopsi (Adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan tersebut tidak sekedar rutinitas atau
mekanisme saja, tetapi sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
2. Tanggung jawab perawat dalam praktik
Perawat sebagai tenaga profesional bertanggung jawab dan
berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kewenangannya, terutama terkait dengan lingkup praktik dan
wewenang perawat. Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri
perawat profesional melalui kerjasama bersifat kolaborasi dengan
klien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan
7
keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Lingkup
perawat dalam praktik keperawatan profesional meliputi sistem klien
(individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat) dalam rentang
sehat-sakit sepanjang daur kehidupan (Asmadi, 2008).
Standar praktik keperawatan merupakan salah satu perangkat yang
diperlukan setiap tenaga profesional, dan mengidentifikasi harapan yang
minimal bagi para perawat profesional dalam memberi asuhan
keperawatan yang aman, efektif dan etis. Dengan adanya standar praktik
keperawatan, profesi keperawatan dapat mewujudkan tanggung jawab atau
kebulatan tekadnya untuk melindungi masyarakat (Priharjo, 2008).
Standar praktik keperawatan membantu dan menuntun perawat dalam
menjalankan tugasnya memberi asuhan keperawatan.
SK Menkes No.674/Menkes/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000
tentang registrasi dan praktik keperawatan dengan tegas meyebutkan
bahwa dalam menjalankan praktiknya, perawat dapat bekerja secara
perorangan atau kelompok (Asmadi, 2008). Dengan disepakatinya
kewenangan perawat dalam menjalankan praktik keperawatannya dalam
SK Menkes ini, secara hukum perawat mempunyai tanggung jawab
sebagai berikut :
a. Melaksanakan asuhan keperawatan mandiri
Dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan, perawat
diharapkan dalam memberi asuhan ini mampu menegakkan diagnosis
keperawatan dan memberi asuhan sesuai standar yang disusun oleh
organisasi profesi.
b. Menjalankan tindakan dari profesi lain
Secara konseptual, sebelum menjalankan pesanan dokter
(mis,,memberi obat) perawat harus yakin dulu bahwa pesanan yang
diberikan benar-benar jelas dan dapat dilaksanakan. Perawat harus pula
mengikuti pesanan dari waktu ke waktu, dalam arti perawat harus
tahu kapan pesanan mulai diberikan, dihentikan atau diganti.
8
3. Pengertian dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit
normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan
tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu biasa (Potter, 2006).
. a. Faktor Resiko Dekubitus
Berbagai faktor resiko dapat menjadi presdiposisi terjadinya luka
dekubitus pada kilen (Potter, 2006), antara lain :
1) Gangguan input sensorik
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap
nyeri dan tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas
kulit.
2) Gangguan fungsi motorik
Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko
tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan
tetapi tidak mampu mengubah posisi mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut.
3) Perubahan tingkat kesadaran
Klien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya dari dekubitus, klien
bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan
tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan
itu. Klien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu
mengubah ke posisi yang lebih baik.
4) Gips, traksi dan peralatan lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi klien dan ekstremitasnya,
klien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus
karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips
yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekana
yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat atau jika
ekstremitasnya bengkak.
9
Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan
akibat utama tekanan. Tetapi ada faktor-faktor tambahan yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya dekubitus yang lebih lanjut pada
pasien. Termasuk diantaranya gaya gesek dan friksi, kelembaban,
nutrisi yang buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi
perifer, obesitas, kakeksia dan usia.
b. Patogenesis dekubitus
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadi dekubitus adalah,
intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler, durasi dan
besarnya tekanan, dan toleransi jaringan.
Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah
sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberositis
iskial. Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan
tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, semakin besar pula
insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat
mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar
daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan
aliran darah kedalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi
hipoksia sehingga terjadi cedera.
c. Klasifikasi Dekubitus
Salah satu cara yang paling awal untuk mengklasifisikan
dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan
(Potter, 2006).
1) Tahap I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi kulit yang diperbesar,
kulit tidak berwarna, hangat atau keras juga dapat menjadi
indikator.
10
2) Tahap II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau
dermis, ulkus superfisial dan secara klinis terlihat seperti abrasi
lecet atau lubang yang dangkal.
3) Tahap III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringa subkutan yang
rusak atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah, tapi
tidak melampaui yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
4) Tahap IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai dekstruksi ekstensif,
kerusakan jaringan atau kerusakan otot, atau struktur penyangga
seperti tendon, kapsul sendi, dll.
Metode lain klasifikasi luka adalah warna luka, yang
memperlihatkan fase penyembuhan. Luka nekrotik diklasifikasikan
dengan luka hitam, luka disertai eksudat dan debris berserat kuning
diklasifikasikan dengan luka kuning, dan luka pada fase penyembuhan
aktif dan bersih disertai dengan granulasi berwarna merah muda
hingga merah dan jaringan epitel diklasifikasikan dengan warna
merah. Tidak ada konsensus mengenai cara terbaik dalam
mengklasifikasi luka dekubitus, tapi secara umum disepakati bahwa
diperlukan lebih dari sekedar klasifikasi tahapan atau warna untuk
memberi gambaran dekubitus yang lengkap dan komprehensif.
4. Perawatan dekubitus
a. Pengkajian dan identifikasi masalah
Dapat dilakukan pengkajian/assessment pada dekubitus menurut
Ayello (Potter, 2006) yaitu sebagai berikut :
11
Tabel 2.1 Pengkajian Karakteristik Dekubitus
Karakteristik Keterangan
Anatomical location, age of wound
Luka kronik penyembuhannya lebih lambat,
luka yang berada dekat anus perlu
diobservasi secara teratur
Size, shape,stage Menentukan panjang dan lebar ulkus,
gunakan lidi kapas untuk mengukur
kedalaman luka
Sinus tract Secara hati-hati gunakan lidi kapas steril
untuk menentukan lokasi keluarnya nanah
Eksudat Catat jumlah, warna, dan karakteristik
Sepsis Semua dekubitus dianggap koloni kuman,
diperhatikan adanya eksudat purulen,
berbau, eritema, edema, nyeri, demam, dan
peningkatan sel darah putih
Surounding skin Melindungi kulit sekitarnya dari kerusakan
Margin, maserasi Mengidentifikasi batas luka , evaluasi
maserasi dan tentukan tindakan untuk
melindungi kulit
Eritema, Epitelialisasi, Eskar Evaluasi penyembuhan luka yang ditandai
dengan beberapa perubahan pada ulkus,
tonus kulit
Nekrotik, Novaskularisasi, Nose Jaringan nekrotik harus dibuang untuk
menetapkan tahap dan penyembuhan ulkus,
bila mungkin dilakukan debridemen
Tension, Tenderness to Touch,
Tissue bod
Mengidentifikasi bagian dasar jaringan dan
mengobati rasa nyeri
Setiap perawat harus melakukan evaluasi setiap karakteristik luka
dekubitus dengan cara membuat lembar/format status dekubitus.
Dokumentasikan kedalam asuhan keperawatan tentang kondisi luka dan
berikan intervensi yang tepat sesuai dengan hasil pengkajian.
Identifikasi masalah dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab
langsung dari luka, dan segala patofisiologi yang mendasari merupakan
12
suatu persyaratan dalam merencanakan perawatan yang tepat dan juga
untuk mencegah kekambuhan luka dalam jangka panjang.
Penyebab utama dari kebanyakan dekubitus adalah adanya tekanan
yang terus menerus, yang seringkali disertai dengan gesekan dan
kekuatan menggosok. Hilangnya sensoris yang berhubungan dengan
stroke, paraplegi, multiple sklerosis atau diabetes, dapat turut serta
membantu terjadinya dekubitus dan harus diperhitungkan ketika
merencanakan perawatan yang segera dan merencanakan pencegahan
dekubitus di masa yang akan datang. Dalam kasus ulkus tungkai
penyebab langsungnya dapat tanpa cedera traumatis ringan, tetapi
masalah utama yang mendasarinya biasanya adalah masalah vaskuler.
Jika masalah yang mendasarinya tidak diperhatikan, maka
penyembuhan luka tidak mungkin berhasil.
Ulkus tungkai pada diabetes dapat secara langsung disebabkan oleh
penggunaan alas kaki yang terlalu sempit, tetapi lambatnya
penyembuhan sebagian dapat disebabkan oleh mikro-angiopati.
Penatalaksanaan diabetes dan efek sampingnya, paling tidak sama
pentingnya dengan pemilihan balutan luka yang terbaik untuk
meningkatkan penyembuhan. Jika penyebab suatu luka dan semua
patofisiologi yang mendasarinya diabaikan, maka pengobatan hanya
akan diarahkan untuk meringankan gejala-gejala masalah tersebut.
Bahkan bila lukanya telah sembuh, masih terdapat kemungkinan besar
nantinya akan kambuh.
b. Prinsip perawatan dekubitus
Prioritas dalam perawatan luka lokal pada dasarnya adalah sama
dengan luka apapun juga yaitu dengan menggunakan SOP (standar
operasional prosedur) yang sudah baku, yaitu : mengatasi perdarahan
(hemostasis) ; mengeluarkan benda asing, yang dapat bertindak sebagai
fokus infeksi ; melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi,
13
krusta yang tebal, dan pus ; menyediakan temperature, kelembaban,
dan pH yang optimal untuk sel-sel yang berperan dalam proses
penyembuhan ; meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan
epitilialisasi dan melindungi luka dari trauma lebih lanjut serta
masuknya mikroorganisme patogen (Morison,2003).
Tujuannya adalah untuk melindungi individu dari kerusakan
fisiologis lebih lanjut, untuk menyingkirkan penyebab aktual atau
potensial yang memperlambat penyembuhan, dan untuk menciptakan
suatu lingkungan lokal yang optimal juga untuk rekonstruksi dan
epitelialisasi vaskular dan jaringan ikat.
Beberapa prinsip perawatan luka secara lokal meliputi debridemen,
pembersihan, dan pemberian balutan. Ulkus dengan jaringan nekrotik
harus dilakukan debridemen. Prinsip perawatan luka menurut Morison
(2003) adalah :
1) Membuang jaringan mati
Adanya jaringan nekrotik dapat memperlambat penyembuhan
serta mendorong terjadinya infeksi, dan seringkali menutupi luas
yang sebenarnya dari kerusakan jaringan. Debridemen bedah
dengan anestesi umum atau lokal merupakan metode yang paling
cepat untuk memperoleh lapisan luka yang bersih. Meskipun
demikian tindakan tersebut mungkin tidak perlu bagi lansia atau
pasien yang sangat lemah, dimana metode lain dapat dicoba
dilakukan.
Debridemen adalah pembuangan jaringan nekrotik sehingga
jaringan sehat dapat bergenerasi. Pembuangan jaringan nekrotik
diperlukan untuk menghilangkan ulkus yang menjadi sumber
infeksi, agar lebih mudah melihat bagian dasar luka sehingga
dapat menentukan tahap ulkus secara akurat, dan memberikan
14
dasar yang bersih yang diperlukan untuk proses penyembuhan
(Potter, 2006).
Metode debridemen yang digunakan harus tergantung dengan
metode yang paling sesuai dengan kondisi klien dan tujuan
perawatan. Perlu diingat bahwa selama proses debridemen
beberapa observasi luka normal yang mungkin terjadi antara lain
adalah adanya peningkatan eksudat, bau dan bertambahnya
ukuran luka.
Setelah dekubitus berhasil dilakukan debridemen dan mempunyai
bagian dasar granulasi bersih, maka tujuan perawatan luka lokal
selanjutnya adalah memberikan lingkungan yang tepat untuk
penyembuhan luka dengan kelembaban dan mendukung
pembentukan jaringan granulasi baru.
2) Perawatan luka yang terinfeksi
Kebanyakan luka terbuka kronis didiami oleh mikroorganisme
yang sangat banyak yang tampaknya tidak memperlambat proses
penyembuhan. Sehingga hanya diperlukan pengambilan hapusan
luka guna mengidentifikasi mikroorganisme dan menentukan
sensitivitas mikroorgansme terhadap antibiotik, apabila luka
tersebut memperlihatkan tanda dan gejala klinis infeksi, seperti
nyeri setempat dan eritema, edema lokal, eksudat berlebihan, pus
dan bau busuk.
3) Perawatan luka dengan banyak eksudat
Sekalipun jaringan nekrotik dan jaringan yang tampak jelas
terinfeksi telah diangkat dari bidang luka, luka dapat terus
menghasilkan eksudat dalam jumlah banyak yang dapat
menembus non-oklusif dan meningkatkan resiko infeksi luka.
Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai stadium
15
tersebut diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak
melekat.
4) Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat
Bila jumlah eksudat sudah berkurang, maka silastic foam
merupakan suatu cara pembalutan yang sangat bermanfaat
khususnya pada luka dalam yang bersih dan berbentuk cawan,
atau dekubitus luas di daerah sakrum.
5) Perawatan luka superfisial yang bersih dengan sedikit eksudat
Banyak balutan yang sesuai untuk menangani luka superficial
yang bersih. Memberikan lingkungan yang lembab dengan terus
menerus akan dapat mendorong epitelialisasi yang cepat dan
mengurangi rasa nyeri serta melindungi permukaan luka dari
kerusakan mekanis lebih lanjut dan kontaminasi. Balutan yang
ideal adalah balutan yang dapat dibiarkan tidak terganggu selama
beberapa hari.
c. Metode pembersihan luka
Ada dua metode dasar untuk pembersihan luka secara mekanik :
irigasi dan menyikat langsung dengan bola kapas atau kasa.
Kesulitan dari irigasi adalah bagaimana caranya untuk memakai
larutan pembersih dengan tekanan yang cukup sehingga dapat
meluruhkan debris tanpa merusak jaringan yang ada di bawahnya.
Untuk luka yang yang tidak terlalu terkontaminasi, air steril atau
larutan 0,9% adalah agens pembersih pilihan. Pada keadaan dimana
terdapat resiko tinggi terhadap infeksi luka, maka keadaan tersebut
merupakan indikasi untuk pengunaan larutan antiseptik (Morison,
2003).
Karakteristik antiseptik yang ideal (Morison, 2003) antara lain,
mampu membunuh mikroorganisme dalam rentang yang luas, tetap
efektif terhadap berbagai macam pengenceran, non toksik terhadap
16
jaringan tubuh manusia, tidak mudah menimbulkan reaksi
sensitivitas, baik lokal maupun sistemik. Bekerja secara efisien,
meski terdapat bahan-bahan organik (misal, pus dan darah) dan
bereaksi secara cepat, tidak mahal serta awet.
Jika luka sangat terkontaminasi oleh bahan-bahan asing atau
jaringan nekrotik, pembersihan luka diperlukan setiap kali
mengganti balutan. Namun bila lukanya bersih, hanya terdapat
sedikit eksudat, dan bergranulasi sehat, pembersihan yang berulang
dapat lebih membahayakan dibandingkan keuntungannya.
Pembersihan berulang dapat mengakibatkan trauma pada jaringan
halus yang baru terbentuk, mengurangi suhu permukaan luka, dan
mengangkat eksudat yang mempunyai sifat bakterisida.
d. Pemberian balutan
Jika ada kulit yang rusak maka biasanya diperlukan balutan
untuk melindungi jaringan yang berada di bawahnya dari sebuah
kerusakan yang lebih lanjut dan untuk menggantikan sementara
beberapa fungsi kulit yang utuh (Morison, 2003).
Karakteristik balutan luka yang ideal (Morison, 2003) antara
lain, tidak melekat dan impermeable terhadap bakteri, mampu
mempertahankan kelembaban yang tinggi pada tempat luka
sementara juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan. Sebagai
penyekat suhu, non toksik dan non alergenik, nyaman dan mudah
disesuaikan, awet. Mampu melindungi luka dari trauma lebih lanjut
dan tidak perlu sering mengganti balutan serta murah harganya.
Rencana perawatan akan berubah sesuai dengan tingkat
penyembuhan ulkus. Contoh ; pada luka nekrotik, sebelumnya
penggunaan balutan membran untuk mendebrid luka dengan cara
autolisis. Kemudian pada tahap-tahap dekubitus (tahap III dan IV)
yang menghasilkan eksudat memerlukan balutan yang mampu
17
menyerap eksudat tersebut. Pada daerah kemerahan atau yang
mengalami kerusakan integritas kulit, maka direkomendasikan
penggunaan produk perawatan kulit yang memberi lubrikasi dan
melindungi serta meningkatkan penyembuhan luka. Jika ulkus
berwarna merah muda dan disertai granulasi pada seluruh bagian
maka ulkus tersebut perlu dibalut untuk meningkatkan
penyembuhan. Lingkungan lembab dan bersih akan meningkatkan
migrasi sel epitel ke seluruh permukaan ulkus.
Metode lain untuk mengobati luka lokal antara lain, seperti
metode energi elektromagnetik, telah digunakan untuk membantu
proses penyembuhan luka. The Agency For Health Care Policy and
Research/AHCPR, 1994 dalam Potter (2006) merekomendasikan
tindakan elektoterapy untuk mengobati dekubitus tahap III dan IV
yang tidak berespon dengan tindakan konvensional. Ketersediaan
fasilitas kesehatan dan melibatkan tim kesehatan lain juga ikut
mempengaruhi keberhasilan perawatan dekubitus.
B. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan
pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2010).
18
2. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan dalam aspek kognitif menurut Notoatmodjo (2007),
dibagi menjadi 6 (enam) tingkatan yaitu :
a. Tahu ( know )
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, dari seluruh bahan yang dipelajari. Tahu ini merupakan
tingkat pengertian yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami ini diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi ke kondisi sebenarnya.
c. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen - komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
3. Pengukuran Pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang
menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden
(Notoatmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan ini berkaitan dengan
pengetahuan perawat tentang teori dan praktik perawatan dekubitus.
19
4. Sumber – sumber pengetahuan
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang
berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media
elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat
dan sebagainya.
5. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007) faktor yang mempengaruhi pengetahuan
adalah :
a. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi
respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang
berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional
terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana
keuntungannya, mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan mudah
mengenali dekubitus baik dari tanda, gejala, cara penanganan serta
efek yang ditimbulkan, oleh sebab ini faktor pendidikan sangat
mempengaruhi tingkat pengetahuan seorang perawat dalam menyikapi
suatu kejadian dekubitus.
b. Media massa
Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagai
informasi dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih
sering terpapar media massa (TV, internet, radio, majalah, pamflet, dan
lain-lain) akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan
dengan orang yang tidak pernah terpapar informasi media. Ini berarti
paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang. Media masa sebagai jendela informasi dapat
menjadi salah satu sumber bagi para perawat untuk memahami
dekubitus dan perawatannya.
20
c. Hubungan sosial
Manusia adalah makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling
berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat
berinteraksi secara continue akan lebih besar terpapar informasi.
Sementara faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan
individu sebagai komunikasi untuk menerima pesan menurut model
komunikasi media dengan demikian hubungan sosial dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tentang suatu hal.
d. Pengalaman
Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh
dari lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya, misalnya
sering mengikuti kegiatan. Kegiatan yang mendidik misalnya seminar
organisasi dapat memperluas jangkauan pengalamannya, karena dari
berbagai kegiatan tersebut informasi tentang suatu hal dapat diperoleh.
Pengetahuan yang berkaitan dengan dekubitus sangat penting
diketahui oleh seorang perawat antara lain tentang pengertian
dekubitus, faktor-faktor resiko apa saja yang dapat menyebabkan
dekubitus, karakteristik dekubitus, dan yang terpenting mengetahui cara
melakukan perawatan dekubitus. Setelah perawat memiliki pengetahuan
yang benar tentang dekubitus, maka diharapkan perawat mampu
melakukan praktik perawatan dekubitus sesuai dengan standar
operasional prosedur, sehingga dapat mengurangi angka kejadian
dekubitus.
C. Sikap
1. Pengertian sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb salah
21
seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif
tertentu. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan
reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi
bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).
2. Tingkatan sikap
Menurut Notoatmodjo (2007) sikap mempunyai 4 tingkatan dari yang
terendah hingga yang tertinggi yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang
terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian itu terhadap
ceramah-ceramah.
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu benar atau
salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap
tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap
menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
(Azwar, 2002), yaitu :
22
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang dialami seseorang akan ikut membantu
dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Pada umumya individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformasi atau searah dengan orang lain yang dianggap penting.
c. Pengaruh kebudayaan.
Seseorang hidup dan dibesarkan dari suatu kebudayaan, dengan
demikian kebudayaan yang diikutinya mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap orang tersebut.
d. Media massa.
Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang, sehingga terbentuklah arah sikap yang
tertentu.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem
yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap.
f. Pengaruh faktor emosional.
Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh
emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
g. Pendidikan
Kurangnya pengetahuan seseorang akan mudah terpengaruh dalam
bersikap.
D. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Praktik Perawatan
Dekubitus
Seseorang setelah mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses
selanjutnya diharapkan akan dapat melaksanakan atau mempraktikkan apa
23
yang diketahui atau disikapi. Hal inilah yang disebut dengan praktik
kesehatan. Oleh karena itu pengetahuan, sikap dan praktik ini memliki
indikator yang sama yaitu sehubungan dengan penyakit, pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan serta kesehatan lingkungan (Notoatmodjo, 2007).
Secara teori perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu
mengikuti tahap-tahap yang meliputi perubahan pengetahuan, perubahan
sikap hingga perubahan praktik. Beberapa peneliti telah membuktikan hal
tersebut, namun penelitian lain juga membuktikan hal yang sebaliknya,
artinya terdapat seseorang yang telah berperilaku positif, meskipun
pengetahuan dan sikapnya masih negatif (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari
dalam maupun dari luar. Perilaku terdiri dari 3 domain yaitu pengetahuan,
sikap dan tindakan. Faktor yang membentuk perilaku ini disebut determinan.
Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing-masing berdasarkan
pada asumsi-asumsi yang dibangun. Salah satu teori determinan perilaku
menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisa bahwa
faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), adalah faktor-faktor
yang mempermudah atau membentuk terjadinya perilaku seseorang, antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, norma sosial dan budaya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors ), adalah faktor-faktor yang
memungkinkan terjadinya sebuah perilaku, hal ini berupa sarana dan
prasarana kesehatan, sumber-sumber khusus yang mendukung dan
keterjangkaunan fsilitas kesehatan.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang
menjadi pendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, yaitu sikap dan
perilaku petugas kesehatan.
24
E. Kerangka Teori
Faktor Pemungkin :
Fasilitas / sarana dan
prasarana kesehatan
Gambar 2.1 Kerangka Teori Green
Sumber : Notoatmodjo (2010)
F. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Keyakinan
4. Norma Sosial
5. Budaya
Praktik perawatan
dekubitus
Faktor Penguat :
Sikap dan Perilaku
Petugas Kesehatan
Variabel terikat
Variabel bebas
Praktik penanganan
dekubitus
Pengetahuan
Sikap
25
G. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap perawat
tentang dekubitus.
2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah praktik perawatan dekubitus.
H. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara pengetahuan perawat dengan praktik perawatan
dekubitus di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.
2. Ada hubungan antara sikap perawat dengan praktik perawatan dekubitus
di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.
6