bab ii clear -...

25
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellitus 1. Definisi Smeltzer dan Bare (2002) mendefinisikan Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Sedangkan Price dan Wilson (2006) mengatakan bahwa diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifesasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh defisiensi dan resistensi insulin. 2. Etiologi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas Diabetes Melitus. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi Diabetes Mellitus yaitu (Ismail,2008): a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin. b. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan. c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel sel antibodi

Upload: trinhnga

Post on 04-Oct-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi

Smeltzer dan Bare (2002) mendefinisikan Diabetes Mellitus adalah

sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar

glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Sedangkan Price dan Wilson

(2006) mengatakan bahwa diabetes melitus merupakan gangguan

metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan

manifesasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Dari definisi di atas

dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus adalah gangguan

metabolisme dalam tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar

glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh defisiensi

dan resistensi insulin.

2. Etiologi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai

lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik

biasanya memegang peranan penting pada mayoritas Diabetes Melitus.

Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi Diabetes

Mellitus yaitu (Ismail,2008):

a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai

kegagalan sel beta melepas insulin.

b. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara

lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan

karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan

kehamilan.

c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh

autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi

8

antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel - sel penyekresi

insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.

d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan

jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang

terdapat pada membran sel yang responsif terhadap insulin.

3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus

a. Diabetes tipe I:

Menurut American Associatio of Clinical Endocrinologist (2007)

Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe I ialah

1. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus

2. Penyakit jantung

3. Obesitas

4. Gaya hidup yang tidak baik

5. Hipertensi.

6. Sebelumnya diidentifikasi terjadi gangguan intoleransi glukosa

dan gangguan glukosa puasa.

b. Diabetes tipe II

Menurut WHO (2002) Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe II ialah

1. Usia >45 tahun

2. Obesitas

3. Hipertensi ( TD > 140/90 mmHg)

4. Riwayat diabetes dalam garis keturunan

5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir

bayi> 4.000 gram

6. Riwayat Diabetes Melitus Gestasional

7. Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah

glokosa terganggu (GDPT)

8. Penderita penyakit jantung koroner,tuberkolosis, hipertiroidisme

9. Kolesterol HDL <0.38 g/L dan atau trigliserida ≥2.0 g/L.

10. Kurang aktifitas fisik

9

c. Diabetes Mellitus Gestasional:

Menurut American Associatio of Clinical Endocrinologist (2007)

Faktor Resiko Diabetes Mellitus Gestasional ialah

1. Usia >25 tahun

2. Obesitas

3. Riwayat keluarga dengan diabetes tipe II

4. Riwayat metabolisme glukosa yang abnormal

5. Pernah melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 4 kg.

6. Riwayat intoleransi glukosa dan glikosuria.

4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

WHO (2002) membagi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya, yaitu

diabetes mellitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes mellitus bentuk

khusus (diabetes tipe lain), dan diabetes mellitus gestasional.

a. Diabetes Mellitus Tipe I

Dikenal dua bentuk yaitu auotoimun dan idiopatik, di mana

ditemukan kerusakan sel beta dan mengakibatkan terjadinya

defisiensi insulin yang absolut.

b. Diabetes mellitus tipe II

Diabetes tipe II dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau maturity onset

dan tipe nondependen insulin. Diabetes tipe II terjadi karena

kegagalan sekresi insulin dan resistensi insulin.

c. Diabetes mellitus tipe lain

Diabetes mellitus tipe lain yang terjadi antara lain:

1. Defek genetik fungsi sel beta

2. Defek genetik insulin: sindrom resistensi insulin berat

3. Penyakit eksokrin pankreas: Fibrocalculous pancreatopathy,

Pancreatitis, Trauma/pancreatectomy, Neoplasia, Cystic fibrosis

dan Haemochromatosis

10

4. Endokrinopati: sindrom Cushing, Phaeochromocytoma,

Glucagonoma,Hyperthyroidism,Somatostatinoma dan

akromegali.

5. Karena obat / zat kimia

6. Karena infeksi

7. Penyebab imunologi yang jarang ; antibodi ; antiinsulin.

8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus:

Down's syndrome, Friedreich's ataxia, Huntington's chorea,

Klinefelter's syndrome, Lawrence-Moon-Biedel syndrome,

Myotonic dystrophy, Porphyria, Prader-Willi syndrome,

Turner's syndrome dan Wolfram's syndrom.

d. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

Diabetes mellitus gestasional diartikan sebagai intoleransi glukosa

yang ditemukan pada saat hamil dan diperkirakan insidens sebesar

1-3%. Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester

kedua atau ketiga, pada saat itu terjadi keadaan resistensi insulin.

Kriteria GDM oleh O’Sulivan dan Mahan menyebutkan bahwa

GDM terjadi bila terdapat dua atau lebih dari nilai berikut ini

ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75 g glukosa oral:

puasa, 105 mg/dl; 1 jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165 mg/dl; 3 jam 145

mg/dl. Masalah yang terjadi karena GDM adalah perubahan lama

kehamilan, plasenta previa, hipertensi, preeklamsi dan bayi lahir

dengan berat badan yang tinggi (American Associatio of Clinical

Endocrinologist, 2007).

5. Patofisiologi Diabetes Mellitus

a. Diabetes Mellitus tipe 1

Pasien diabetes mellitus tipe 1 mengalami ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan

oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi

glukosa yang tidak teratur oleh hati. Glukosa yang berasal dari

11

makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada

dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi postprandial (sesudah

makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal

tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,

akibatnya terjadi glukosuria yang juga disertai pengeluaran cairan

dan elektrolit yang berlebihan (deuresis osmotik). Sebagai akibat

dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami

peningkatan dalam berkemih (poliuri) dan rasa haus (polidipsi)

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak

yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami

peningkatan selera makan (polifagi) akibat menurunnya simpanan

kalori. Secara normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) glukoneogenesis (pembentukan

glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain). Namun

pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa

hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemi.

Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan

peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping

pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu

keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan

(ketoasidosis) (Smeltzer dan Bare, 2002).

b. Diabetes Mellitus tipe II

Masalah utama klien diabetes mellitus tipe II yaitu resistensi insulin

dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan

reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terkaitnya

insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam

metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin disertai

penurunan reaksi intrasel sehingga insulin menjadi tidak efektif

untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk

12

mengatasi resistensi insulin dengan mencegah terbentuknya glukosa

dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

disekresikan. Penderita mengalami toleransi glukosa yang terganggu,

keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar

glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit

meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi penigkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar

glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes melitus tipe II

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang

adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan

keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak

terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II

yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang

dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK)

(Smeltzer dan Bare, 2002).

c. Diabetes Mellitus Gestasional

Kehamilan adalah kondisi diabetogenik dengan karakteristik

resistensi insulin serta meningkatnya mekanisme kompensasi respon

sel-β dan hiperinsulinemia. Di masa akhir kehamilan kebutuhan

insulin sangat tinggi dan hanya sedikit berbeda antara wanita normal

dan wanita yang menderita GDM. GDM mulai pada trimester kedua

sampai akhir masa kehamilan, sensitivitas insulin menurun 80%.

Penyebab potensial dari kurang adekuatnya fungsi sel-β cukup

banyak dan masih belum dapat dijabarkan dengan jelas (Gonta,

2007).

Mayoritas wanita dengan GDM nampaknya memiliki gangguan

fungsi sel-β yang terjadi dengan dasar resistensi insulin yang kronis.

13

Normalnya resistensi insulin pada kehamilan merupakan hal yang

bersifat tambahan. Tetapi wanita hamil dengan GDM cenderung

untuk memiliki resistensi insulin yang lebih besar daripada wanita

hamil normal. Perbedaan sensitifitas insulin seluruh tubuh cenderung

untuk lebih kecil pada trimester ketiga. Pada Trimester III terdapat

resistensi berlebihan terhadap kemampuan insulin dalam

menstimulasi penggunaan glukosa dan untuk menekan baik produksi

glukosa serta kadar asam lemak. Setelah proses kelahiran, ketika

resistensi insulin yang didapat selama kehamilan menghilang, wanita

penderita GDM rata-rata berakhir dengan ambang resistensi insulin

yang lebih besar dari pada wanita hamil normal (Gonta,2007).

Sekresi insulin pada wanita yang menderita GDM dapat meningkat

selama beberapa minggu atau bulan sesuai dengan keadaan resistensi

insulin yang didapatkannya oleh karena kehamilan. Tetapi,

peningkatan tersebut terjadi bersamaan dengan sekresi insulin

sensitif yang lebih rendah sekitar 50% (50% lebih sedikit insulin dari

resistensi insulin manapun) daripada wanita normal. Respon jangka

pendek ini muncul didasari oleh disfungsi sel-β yang selama

beberapa tahun menjurus ke arah hiperglikemia progresif dan

diabetes (Gonta,2007).

6. Manifestasi Klinis Diabetes mellitus

Gejala dari diabetes adalah letargi yang ditandai dengan hiperglikemi,

poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan, penglihatan kabur dan

kerentanan terhadap infeksi (WHO,2002). Sedangkan Price dan Wilson

(2006) menjelaskan manifestasi klinis diabetes melitus sebagai berikut:

a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urine)

Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar

glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan.

Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal

14

(konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan

timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap

kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis

osmotik yang menyebabkan peningkatan pengeluaran urine (poliuri).

Poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat.

b. Polidipsi (peningkatan rasa haus)

Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Volume

urin yang sangat besar dan keluarnya air menyebabkan dehidrasi

ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air

intrasel akan berdifui keluar sel mengikuti penurunan gradien

konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi

intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus.

c. Polifagi (peningkatan rasa lapar)

Glukosa yang hilang bersama urin mengakibatkan pasien mengalami

keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar

yang semakin tinggi akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori.

Rasa lapar meningkatkan nafsu makan sehingga orang akan sering

makan (polifagi).

Selain manifestasi di atas Ismail (2008) menyebutkan manifestasi

yang lain, yaitu:

1. Astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat

telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau

hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan

karbohidrat untuk energi.

2. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis,

penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer.

Ini akan memudahkan terjadinya ulkus diabetikum.

d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam

otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan

glukosa sebagai energi.

15

e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di

sekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah

pada penderita diabetes kronik.

7. Komplikasi Diabetes Mellitus

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) komplikasi diabetes mellitus bisa

berupa komplikasi akut dan komplikasi kronis jangka panjang.

a. Komplikasi akut

1. Hipoglikemia

Suatu keadaan klinis yang disebabkan penurunan glukosa

darah. Hipoglikemia terjadi bila kadar glukosa turun dibawah

50-60 mg/dl. Gejala hipoglikemia berupa gejala adrenergik

(penurunan respon hormonal) dan sistem saraf pusat (Smeltzer

dan Bare, 2002).

2. Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh tiga penyebab utama,

yaitu tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin,

keadaan sakit atau infeksi dan manifestasi pertama pada

diabetes yang tidak terdiagnosis dan terobati dengan baik.

Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein. Ada tiga gambaran klinis yang

penting pada ketoasidosis diabetik, yaitu: dehidrasi, kehilangan

elektrolit dan asidosis (Smeltzer dan Bare, 2002).

3. Hiperosmolar non ketotik (HONK atau HHNK)

Hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan yang didominasi

oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan

tingkat kesadaran. Kelainan ini disebabkan karena kekurangan

jumlah insulin efektif, namun jumlah insulin yang sedikit dapat

mencegah terjadinya pemecahan lemak. Pada Hiperosmolar

non ketotik tidak terjadi ketosis dan asidosis (Smeltzer dan

Bare, 2002).

16

b. Komplikasi Jangka Panjang

1. Komplikasi makrovaskuler

Pada diabetes mellitus sering terjadi perubahan aterosklerotik

dalam pembuluh darah besar. Berbagai tipe penyakit

makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi

aterosklerotik. Penyakit yang sering terjadi adalah arteri

koroner, penyakit serebrovaskuler dan vaskuler perifer.

Penyakit vaskuler perifer merupakan perubahan aterosklerotik

dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah, dapat

menyebakan ulkus diabetikum dan amputasi ektremitas bawah

(Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Komplikasi mikrovaskuler

Penyakit mikrovaskuler diabetik (mikroangiopati) ditandai oleh

penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada dua tempat

dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius, yaitu

mikrosirkulasi retina mata dan ginjal. Gangguan fungsi kapiler

di retina menyebabkan retinopati diabetik. Sedangkan

gangguan fungsi kapiler di ginjal mengakibatkan nefropati

(Smeltzer dan Bare, 2002).

3. Neuropati

Neuropati pada diabetes mengacu pada sekelompok penyakit

yang menyerang semua tipe saraf. Tipe neuropati diabetik yang

sering terjadi adalah neuropati perifer dan neuropati otonom.

Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf,

khususnya saraf pada ekstremitas bawah. Kelainan ini

mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan

secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Neuropati

pada sistem saraf otonom mengakibatkan berbagai disfungsi

yang hampir mengenai semua sistem organ tubuh (Smeltzer

dan Bare, 2002).

17

8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Penatalaksanaan diabetes berdasarkan pada regimen diabetik, yang

meliputi diet, olahraga, obat-obatan, edukasi mengenai diabetes,

manajemen diri dan pemantauan kadar glukosa di rumah (Price dan

Wilson, 2006). Penatalaksanaan penderita diabetes tipe I, penekanannya

adalah pada suntikan insulin harian atau yang berfrekuensi lebih sering

yang diseimbangkan secara seksama dengan olah raga dan diet. Untuk

penderita diabetes tipe II, penekanannya adalah pada diet, pengendalian

berat badan dan olah raga Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik)

untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging,

berenang, bersepeda, dan lain-lain. Frekuensi : jumlah olahraga per

minggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5x/minggu, Durasi : 30-60

menit dan Intensitas : sedang. Pengobatan seperti agen antidiabetes dan

insulin digunakan seperlunya (Price dan Wilson, 2006). Pada diabetes

gestasional diatasi dengan diet dan insulin (jika diperlukan) untuk

mempertahankan secara ketat kadar glukosa dalam darah normal (Gonta,

2007).

B. Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus

1. Praktik Pengelolaan diabetes melitus

Menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan praktik ialah suatu sikap yang

belum otomatis terwujud dalam bentuk praktik. Untuk mewujudkannya

sikap agar menjadi perbuatan nyata (praktik) diperlukan faktor pendukung

atau kondisi yang memungkinkan. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)

menyatakan pengelolaan diabetes (pengendalian diabetes mellitus) ialah

pengendalian glukosa yang intensif terhadap proses timbulnya dan

perkembangan komplikasi diabetes mellitus.

Menurut Arif (2006) menyatakan dalam melakakukan praktik pengelolaan

diabetes mellitus ada dua segi perlu diperhatikan: yaitu tujuan jangka

pendek untuk menghilangkan keluhan dan gejala tujuan jangka panjang

18

untuk mencegah komplikasi, yaitu mikroangiopati dan neuropati. Kedua

tujuan ini sebaiknya dijelaskan sejak awal kepada pasien, sehingga pasien

mempunyai persepsi yang sama dengan dokter. Yang perlu menjadi

perhatian bagi klien diabetes mellitus adalah dengan menjalankan tiga

Pilar Utama Pengelolaan DM, yaitu:

a. Perencanaan Makan

Perencanaan makan Istilah ini sangat relevan, karena pasien DM

memang harus mampu memilih dan menetapkan santapan dengan

komposisi seimbang. Kemampuan ini diberikan lewat penyuluhan

dengan semboyan 4 sehat, 5 lengkap dan tidak terlalu sulit dipahami

karena pola makan tetap sesuai dengan pola makan umum yaitu:

karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%, sesuai jumlah

kalori, pertumbuhan, status gizi, umur. Menurut Kristanti (2002) tujuan

penatalaksanaan diet pada diabetes adalah mencapai dan

mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencapai dan

mempertahankan lipid mendekati normal, mencegah komplikasi akut

dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup. Dalam membuat

perencanaan makanan yang cocok untuk tiap pasien DM, harus

dilakukan individualisasi, disesuaikan dengan cara hidupnya, pola jam

kerjanya, latar belakang kulturnya, tingkat pendidikan dan

penghasilannya.

Menurut Gibney (2009) setiap jenis diet dapat membantu penderita

mengurangi pemasukan kalori setiap hari dan digabung dengan

peningkatan aktivitas fisik akan menyebabkan penurunan berat badan

selama kurang lebih satu tahun. Menurut Jauhari (2007) pola diet pada

pasien diabetes mellitus ada 6 yaitu :

1) Kurangi energi

Jumlah energi disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,

stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal.

19

2) Kurangi lemak

Makanan lemak tinggi dapat meningkatkan kadar kolesterol, selain

membuat kerja insulin menjadi tidak efesien, juga dapat

mempertinggi resiko penyakit jantung. Menurut Instansi gizi RSCM

(2006) bahwa asupan lemak jangan lebih dari 30% dan kolesterol

kurang dari 300 mg/hari.

3) Karbohidrat

Karbohidrat jenis itu terdapat pada bakery seperti cake, roti halus

cepat sekali diserap dan akan meningkatkan kadar glukosa darah.

Dengan diet tinggi karbohidrat dan tinggi serat menjadi kadar

kolesterol dan trigliserida akan menjadi baik.

4) Pemanis

Gula pasir dan es krim adalah penyebab masalah besar bagi

penderita diabetes. Makanan yang manis-manis tetapi bahannya

tidak seluruh dari gula pasir atau gula buah yang sederhana,

kombinasinya dengan protein, lemak dan karbohidrat dapat

memperlambat penyerapan gula sederhana.

5) Serat

Menurut Instansi gizi RSCM (2006) menunjukkan bahwa pasien

diabetes untuk konsumsi seratnya 30-40 g/hari dan serat pada

diabetes lebih banyak berasal dari sayur-sayuran yang mengandung

lebih banyak serat tak larut dibandingkan dengan serat yang berasal

dari buah-buahan.

Penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh (IMT) dan

rumus Broca. Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB ( Kg ) / TB ( M2 ). IMT Normal Wanita = 18.5 – 23.5; IMT

Normal Pria = 22.5 – 25 dan BB kurang = < 18.5. Dan BB lebih,

Dengan resiko = 23.0- 24.9; Obes I = 2.5.0 - 29.9 dan Obes II = 30.0.

Setelah IMT dihitung maka kebutuhan kalori, dapat ditentukan jenis

dietnya. Menurut Instansi gizi RSCM (2006) jenis diet ada 2 yaitu :

20

1. Jenis diet Diabetes Mellitus I (1700 Kalori)

Kandungan energi dari jenis diet Diabetes Mellitus I adalah 1700

kalori dan jumlah kandungan zat gizi karbohidrat 275 gram, protein

55,5 gram dan lemak 36,5 gram.

2. Jenis diet Diabetes Mellitus II (1900 Kalori)

Kandungan energi dari jenis diet Diabetes Mellitus II adalah 1900

Kalori dan jumlah kandungan zat gizi karbohidrat 299 gram, protein

60 gram dan lemak 48 gram.

b. Latihan Jasmani

Pilar ini sangat dianjurkan karena tujuan latihan Jasmani ialah

meningkatkan kepekaan insulin, mencegah kegemukan, memperbaiki

aliran darah, merangsang pembentukan glikogen baru dan mencegah

komplikasi lebih lanjut tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan

dan kondisi penyakit lain pada pasien (Arif, 2006). Bila mungkin

latihan teratur (3-4 kali seminggu ± 1,5 jam) dijalankan menurut

pedoman CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,

Endurance training), Continuous yaitu Latihan jasmani harus

berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti.

Contoh: Jogging 30 menit , maka pasien harus melakukannya selama 30

menit tanpa henti; Rhytmical yaitu Latihan olah raga dipilih yang

berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur,

contoh berlari, berenang, jalan kaki; Interval yaitu Latihan dilakukan

selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan cepat

diselingi jalan lambat, jogging diselangi jalan; Progressive yaitu

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas

ringan sampi sedang selama mencapai 30 – 60 menit, sasaran HR =

75 – 85 % dari maksimal HR dan maksimal HR = 220 – (umur) dan

Endurance training yaitu Latihan daya tahan untuk meningkatkan

kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan jogging dan sebagainya.

21

Peran aktivitas fisik untuk mencegah penyakit tidak menular yang

kronik sangat penting, namun data yang berguna untuk

menginformasikan hal tersebut masih kurang. Oleh karena itu, WHO

mengembangkan Global Physical Activity Questionnaairre (GPAQ)

untuk pengawasan aktivitas fisik di negara-negara terutama negara yang

sedang berkembang. GPAQ merupakan instrumen yang mutakhir dan

terbaik yang dirancang untuk menyediakan data valid tentang pola

aktivitas yang dapat digunakan untuk pengumpulan data nasional

(Kristanti, 2002). GPAQ telah mengalami sebuah program penelitian

yang menunjukkan bahwa GPAQ adalah valid dan reliabel, tetapi juga

mudah beradaptasi dengan perbedaan budaya yang ada di negara-negara

berkembang (WHO, 2002).

GPAQ mencakup 4 area aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik pada hari-

hari kerja, aktivitas fisik di luar pekerjaan, dan olahraga, transportasi,

pekerjaan rumah tangga, dan merawat anak/orangtua (Kristanti,2002).

Berikut ini adalah paparan cakupan 4 area dari aktivitas fisik tersebut :

Aktivitas fisik pada hari-hari kerja membutuhkan energi lebih banyak

daripada energi yang dikeluarkan dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas

fisik di luar pekerjaan dan olahraga. Berikut ini adalah tabel nilai MET

(metabolic energy turnover) dari sejumlah aktivitas fisik yang sering

dilakukan :

Tabel 1.1

Nilai MET (metabolic energy turnover) dari sejumlah aktivitas fisik

yang sering dilakukan

Aktivitas Nilai MET Konstruksi umum luar gedung 5,5 Tukang kayu, umum 3,5 Membawa barang berat 8,0 Kehutanan, umum 8,0 Duduk, pekerjaan kantor yang ringan, pertemuan, perakitan/perbaikan yang ringan

1,5

Berdiri, ringan (penjaga toko, piñata rambut, dll) 2,5 Berdiri sedang (pedagang, mengangkat barang yang ringan) 3,5

22

Aktivitas Nilai MET Membersihkan, umum (sambil berdiri) 3,5 Mencuci piring (sambil berdiri) 2,3 Memasak (sambil berdiri) 2,5 Menyetrika 2,3 Menggosok lantai 5,5 Lebih dari satu pekerjaan rumah tangga 3,5 Bermain musik, umum 2,5 Merawat anak 2,5 Berbaring atau duduk diam (sambil menonton TV, mendengarkan, musik)

1,0

Memperbaiki rumah, mereparasi kendaraan 3,0 Mereparasi rumah, mencuci dan memoles mobil 4,5 Memotong rumput dengan alat potong manual 4,5 Memetik buah dari pohon 3,0 Berkebun, umum Menanam tanaman

6,5 4,0

Mengemudikan kendaraan 2,0 Mengendarai bus, kereta api 1,5 Mengemudikan sepeda motor 2,5 Menarik becak 6,5 Bersepeda umum, pergi – pulang tempat kerja (<16km/jam) 4,0 Bersepeda (<16 – 22 km/jam ) 6,5 Bersepeda (<22 km/jam ) 10,0 Berjalan, perlahan (< 3,2 km/jam) 2,0 Berjalan, sedang (4,8 km/jam) 3,5 Berjalan, cepat (6,4 km/jam) 4,0 Bola basket, umum 6,0 Bola basket, pertandingan 8,0 Bowling 3,0 Golf, umum 4,5 Berkuda, umum 4,5 Bermain skateboard 5,0 In-line skating 7,0 Sepak bola, pertandingan 10,0 Sepak bola, umum 7,0 Squash 10,0 Tenis meja 4,0 Bola voli, pertandingan 8,0 Berlari (8 – 10 km/jam) 8,0 – 10,5 Berlari (11 – 13 km/jam) 11,5 – 14,0 Berlari (14 – 16 km/jam) 14,5 – 17,0 Mendaki bukit 16,0 Enuruni bukit, umum 6,0 Berenang, umum 4,0

Sumber : WHO

Penilaian intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh responden,

GPAQ dikelompokkan intensitas menjadi 3 tingkatan menurut nilai

METs (menit), yaitu :

23

1. Nilai MET 1500 MET-menit/3 hari mendapat kriteria tinggi. 2. Nilai MET minimal 600 MET-menit/3hari mendapat kriteria

sedang. 3. Nilai tidak memenuhi dari kriteria diatas mendapat kriteria rendah

Pengelompokkan intensitas aktivitas fisik ini mempermudah kita

mengklasifikasikan setiap aktivitas fisik yang dilakukan responden

sesuai dengan intensitasnya (ringan, sedang, atau berat) pada saat

menilai kuesioner GPAQ yang telah diisi oleh responden.

c. Farmakologi

Menurut Gibney (2009) tujuan penatalaksanaan pengobatan pada

diabetes adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah

mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta

meningkatkan kualitas hidup. Dalam membuat perencanaan pengobatan

harus dilakukan secara teratur dalam mengkonsumsi obat anti diabetes

berdasarkan dosis dan waktu minum obat dalam sehari. Semakin baik

praktik pengelolaan pengobatan pasien diabetes mellitus maka resiko

terjadinya komplikasi sangat rendah sedangkan semakin buruk praktik

pengelolaan pengobatan pasien diabetes mellitus maka resiko terjadinya

komplikasi sangat tinggi.

Menurut Arif (2001) ada 3 obat antidiabetes (OAD) yang ada di

Indonesia yaitu :

1. Tipe I (Short Acting)

Jenis ini memiliki paruh waktu sekitar 4 jam, daya kerjanya cepat,

diberikan 1-3 kali sehari (pagi-siang-sore).yang termasuk

kelompok ini adalah : rastinon, orinase, nadisan, dymelor,

tolynase, glymidine.

2. Tipe 2 (Intermediate Acting)

Memiliki paruh waktu antara 5-8 jam, diberikan 1-2 kali sehari

(pagi dan siang jangan pagi dan sore) apabila diberikan cukup

24

sekali sehari, berikanlah pada pagi hari saja.Termasuk golongan

ini adalah glibenclamide (euglukon, daonil), Golongan gliclazide

(diamicron), Golongan gliquidone (glurenorm) dan golongan

glipizide (minidiab).

3. Tipe 3 (Long Acting)

Mempunyai paruh waktu antara 24-36 jam, diberikan sekali saja

setiap pagi jangan diberikan dalam dosis terbagi.

C. Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus

Dalam hal ini faktor yang mempengaruhi praktik pengelolaan diabetes

mellitus yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat

(Green, 1988, dalam Notoatmodjo, 2003).

a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)

Faktor ini mencakup sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal – hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat social ekonomi dan sebagainya.

b. Faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat, misalnya fasilitas pelayanan kesehatan seperti

Puskesmas, Rumah Sakit, fasilitas umum seperti media massa dan

pendidikan kesehatan.untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan

sarana dan prasarana pendukung.

c. Faktor Penguat (reinforcing factors)

Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh agama,

tokoh masyarakat dan keluarga. Untuk berperilaku sehat, masyarakat

kadang – kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap dan dukungan

positif saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari tokoh

masyarakat, tokoh agama, keluagra lebih – lebih petugas kesehatan.

Disamping itu undang – undang juga diperlukan untuk memperkuat

perilaku masyarakat tersebut.

25

D. Pendidikan Kesehatan Terstruktur

1. Definisi pendidikan kesehatan terstruktur

Pendidikan kesehatan ialah segala upaya yang direncanakan untuk

mempegaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat

sehingga mereka melakukan apa yang dharapkan oleh pelaku pendidikan

(Notoatmodjo, 2003). Sedangkan menurut Suliha (2002) pendidikan

kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri seseorang yang

dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan

masyarakat. Pendidikan kesehatan terstruktur ialah pendidikan kesehatan

yang dilakukan secara runtut dari perencanaan, pembuatan satuan acara

pembelajaran, persiapan materi dan media, pelaksanaan pendidikan

kesehatan menggunakan media lembar balik dan pemberian leaftlet setelah

pendidikan kesehatan dan dilakukan evaluasi praktik yang dilakukan klien

setelah pendidikan kesehatan.

2. Tujuan pendidikan kesehatan terstruktur

Secara umum, tujuan dari pendidikan kesehatan ialah mengubah perilaku

individu atau masyarakat dibidang kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Tujuan

ini dapat diperinci lebih lanjut menjadi :

a. Menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai dimasyarakat.

b. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok

mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.

c. Mendorong perkembangan dan penggunaan secara tepat sarana

pelayanan kesehatan yang ada.

Secara operasional, tujuan kesehatan diperinci oleh Notoatmodjo

(2003)sebagai berikut :

a. Agar klien memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada

kesehatannya, keselamatan lingkungan dan masyarakat.

b. Agar klien melakukan langkah – langkah positif dalam mencegah

berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan

26

ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh

penyakit.

c. Agar klien memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensinya

dan perubahan – perubahan system dan cara memanfaatkan dengan

efisien dan efektif.

d. Agar klien mempelajari apa yang dapat dilakukan sendiri dan

bagaimana caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada system

pelayanan kesehatan formal.

3. Proses pendidikan kesehatan terstruktur

Kegiatan pendidikan kesehatan terstruktur terdapat tiga persoalan pokok,

yaitu persoalan masukan (input), proses dan persoalan keluaran (out put).

Persoalan masukan berupa sasaran belajar (sasaran didik) yaitu individu,

kelompok atau masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan berbagai

latar belakang, persoalan proses berupa mekanisme dan interaksi yang

terjadinya perubahan perilaku atau kemampuan pada diri subyek belajar

dan dalam proses terjadi pengaruh timbal balik antar berbagai faktor antara

lain subyek belajar, pengajar (pendidik atau fasilitator) metode dan teknik

mengajar, alat bantu dan materi atau bahan yang dipelajari. Sedangkan

keluaran berupa hasil belajar itu sendiri, yaitu berupa kemampuan atau

perubahan perilaku dari subyek belajar.

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses belajar dikelompokkan

menjadi 4 faktor besar yaitu faktor materi (bahan belajar), lingkungan,

instrumental, dan subjek belajar. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah

membuat satuan acara pembelajaran dan membuat materi. Metode yang

digunakan adalah ceramah dan diskusi karena menurut peneliti metode ini

lebih efektif digunakan karena setelah diberi penjelasan responden dapat

bertanya (berinteraksi langsung) kepada penyuluh. Design pendidikan

kesehatan yang digunakan adalah secara mandiri tidak berkelompok, jadi

pendidikan kesehatan dilakukan pada setiap responden. Setelah pendidikan

27

kesehatan selesai dilakukan maka dilakukan evaluasi dengan catatan untuk

mengetahui praktik pengelolaan yang sudah dilakukan responden.

4. Pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik pengelolaan

diabetes melitus.

Salah satu kelompok terbesar yang membutuhkan pendidikan kesehatan

terstruktur dewasa ini adalah mereka yang menderita penyakit Diabetes

Melitus dan yang belum menderita penyakit tersebut. Banyak ahli

kesehatan berkeyakinan bahwa orang – orang yang menderita penyakit

tersebut berhak atas informasi pelayanan kesehatan untuk melibatkan

mereka berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab terhadap perawatan

mereka sendiri. Pendidikan kesehatan terstruktur dapat membantu individu

– individu tersebut untuk beradabtasi dengan lingkungan, merubah diet,

menerapkan informasi yang sudah didapat dan belajar untuk memecahkan

masalah baru dalam situasi yang baru. Disamping itu manfaat dari

pendidikan kesehatan terstruktur dipandang sebagai strategi menerapkan

praktik pengelolaan diabetes mellitus, menurunkan kasus penyakit

Diabetes Melitus mulai dari kesehatan diri sendiri dan kesehatan

lingkungan masyarakat untuk meningkatkan kepuasan masyarakat

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Pendidikan kesehatan terstruktur terutama untuk masyarakat yang

menderita penyakit Diabetes Mellitus harus direncanakan dan

dimplementasikan pada waktu yang tepat, serta mempertimbangkan

masyarakat sebagai individu, dengan mempertimbangkan keunikan

ansietas, kebutuhan dan harapan – harapannya. Apabila pendidikan

kesehatan terstruktur dilakukan dengan tanpa adanya observasi,

masyarakat mungkin tidak ingat apa yang telah diberikan dan jika

diberikan dengan tanpa adanya tindak lanjut dari penyuluh mungkin

masyarakat akan banyak tidak melakukan tindakan dari apa yang sudah

diberikan oleh peneliti. Idealnya pendidikan kesehatan dibagi dalam

28

berbagai periode waktu untuk memungkinkan masyarakat

mengasimilasikan informasi dan mengajukan pertanyaan ketika timbul

pertanyaan. Sering kali, pendidikan kesehatan terstruktur ini bersamaan

dengan berbagai persiapan prosedur untuk memudahkan aliran informasi.

Syarat – syarat pendidikan kesehatan terstruktur harus melebihi deskripsi

tentang berbagai langkah – langkah prosedur dan harus mencakup

penjelasan tentang kebutuhan masyarakat.

29

E. Kerangka Teori

Skema 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Lawrence Green (1988) dalam Notoatmodjo (2003).

Faktor Pemudah (Predisposing Factor) :

a. Pendidikan. b.Pengetahuan. c. Lingkungan. d.Ekonomi. e. Sikap.

Faktor Pemungkin (Enabling Factor) :

a. Fasilitas Fisik : Kesehatan: Puskesmas, Rumah Sakit.

b.Fasilitas Umum : Media Massa ( TV, Koran, Radio).

c. Pendidikan Kesehatan

Faktor Penguat (Reinforcing factor) :

a. Dukungan Anggota Keluarga.

b.Dukungan Tenaga Kesehatan.

Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus

30

F. Kerangka Konsep

Skema 2.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

G. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini dikemukakan dua variabel yaitu :

1. Variabel bebas (independent) : Variabel yang menjadi sebab

timbulnya atau berubahnya variabel dependent (terikat) jadi variabel

independent adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel bebas

(independent) dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan

terstruktur. Dalam penelitian ini variabel independent juga berfungsi

sebagai kontrol, yang dimaksud kontrol ialah perlakuan pada

responden kode ganjil sesuai definisi operasional.

2. Variabel terikat (dependent) : Variabel terikat merupakan variabel

yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel

bebas. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah praktik

pengelolaan diabetes mellitus.

H. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis minor, yaitu :

1. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik

pengelolaan diet pada klien diabetes mellitus di wilayah kerja

Puskesmas Srondol Semarang.

2. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik

pengelolaan latihan jasmani pada klien diabetes mellitus di wilayah

kerja Puskesmas Srondol Semarang.

Praktik Pengelolaan Diabetes Mellitus

Pendidikan Kesehatan Terstruktur

31

3. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terstruktur terhadap praktik

pengelolaan pengobatan pada klien diabetes mellitus di wilayah kerja

Puskesmas Srondol Semarang.