ulkus dekubitus dan pemvigus vulgaris
DESCRIPTION
Referat Rehabilitasi MedikTRANSCRIPT
Presentasi Kasus
REHABILITASI MEDIK
SEORANG WANITA USIA 30 TAHUN DENGAN ULKUS DEKUBITUS DAN
PEMVIGUS VULGARIS
Oleh :
Rabi’atul Adawiyah
G99142009
Pembimbing :
dr. Trilastiti Widowati, M.Kes., Sp.KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2015
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. SW
2. Usia : 30 tahun
3. Jenis Kelamin : Wanita
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Swasta
6. Alamat : Prandon RT/RW: 004/002 Karang Tengah-Prandon
Ngawi, Jawa Timur
7. Status Pernikahan : Sudah menikah
8. Tanggal Masuk : 18 Juni 2015
9. Tanggal Periksa : 28 Juli 2015
10. No. RM : 01305041
B. Keluhan Utama
Panas di bagian punggung, gatal.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Kurang lebih 1 tahun yang lalu pasien mengeluh muncul luka lepuh di wajah
dan dada. Kemudian pasien berobat ke dokter umum namun lesi hilang timbul
tidak pernah betul-betul membaik.
Kurang lebih 1 bulan yang lalu muncul lepuhan-lepuhan dalam jumlah banyak
di bagian dada dan meluas hingga ke wajah dan punggung. Selanjutnya pasien
berobat ke dokter spesialis kulit dan kelamin, dan dirawat selama 4 hari di
RSUD Ngawi. Oleh dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut, pasien
akhirnya di rujuk ke RSDM.
2
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : (+) 1 tahun terakhir kambuh-kambuhan
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : tidak berolahraga
Pasien makan sehari tiga kali, porsi sedang dengan nasi lauk pauk tempe, sayur
dan terkadang ikan dan telur.
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang wanita yang sudah menikah. Saat ini pasien mondok di
RS Dr Moewardi dengan menggunakan fasilitas BPJS.
3
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan kurang.
B. Tanda Vital (28 Juli 2015)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98 x / menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 18x / menit, teratur
Suhu : 35,7º C per aksiler
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-); ikterik (-); petechie (-); venectasi (-); spider
naevi (-); hiperpigmentasi (-); hipopigmentasi (-); erosi (+); plakat eritema
multiple diskret; krusta; ulkus di regio occipital, scapula, elbow, sacrum,
lumbal, femur, cruris
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam, mudah
rontok, mudah dicabut, atrofi otot (-), moonface (-)
E. Mata
Strabismus (+/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
4
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah simetris, lidah tremor (-), stomatitis (-),
mukosa pucat (-), gusi berdarah (-)
I. Leher
Simetris, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar
J. Thorax
a. Retraksi -, simetris
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBK (-/-), wheezing (-/-)
K. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal, bising (+)
5
L. Ektremitas
Oedem Akral dingin
- - - -
- - - -
- Pada ekstremitas atas terdapat ulkus di regio elbow
- Pada ekstremitas bawah terdapat ulkus di regio femur dan cruris
M. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Wanita, tampak sesuai umur, perawatan diri cukup
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif
4. Pembicaraan : Normal
5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
Afek dan Mood
Afek : Appropiate
Mood : Eutimik
Gangguan Persepsi
Halusinasi : (-)
Ilusi : (-)
Proses Pikir
Bentuk : realistik
Isi : waham (-)
Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
Daya konsentrasi : baik
Orientasi : Orang : baik
6
Waktu : baik
Tempat : baik
Daya Ingat : Jangka panjang : baik
Jangka pendek : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : Baik
N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Koordinasi : dalam batas normal
Fungsi Otonom : terpasang IV line; BAB dan BAK normal, disadari
Nervus Cranialis : N. III : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor
N III, IV, VI : dalam batas normal
N V : reflek kornea (+/+)
N. VII : dalam batas normal
N XII : dalam batas normal
Meningeal Sign : Kaku kuduk : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski II : (-)
Tanda Brudzinski III : (-)
Tanda Brudzinski IV: (-)
Tanda Kernig : (-)
Fungsi Sensorik
- Rasa Ekseteroseptik Lengan Tungkai
Suhu ( + / + ) ( + / + )
Nyeri ( + / + ) ( + / + )
Rabaan ( + / + ) ( + / + )
- Rasa Propioseptik Lengan Tungkai
7
Rasa Getar tidak dilakukan
Rasa Posisi ( + / + ) ( + / + )
Rasa Nyeri Tekan ( + / + ) ( + / + )
Rasa Nyeri Tusukan ( + / + ) ( + / + )
Fungsi Motorik dan Reflek
Kekuatan : 5 5
5 5
Tonus : N N
N N
Reflek fisiologis: +2 +2
+2 +2
Reflek patologis: - -
- -
O. Range of Motion
NECK ROM Pasif ROM AktifFleksi 0 - 70º 0 - 70ºEkstensi 0 - 40º 0 - 40ºLateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60ºLateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60ºRotasi kanan 0 - 90º 0 - 90ºRotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º
Ektremitas Superior ROM Pasif ROM AktifDekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºEktensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºAbduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180º
8
Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75ºEksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºInternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Elbow
Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150ºEkstensi 0-150 º 0-150 º 0-150 º 0-150 ºPronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºSupinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Wrist
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºEkstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70ºUlnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºRadius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºMCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºDIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºPIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0-100ºMCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Trunk
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºEkstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºRight Lateral Bending
0-35º 0-35º 0-35º 0-35º
Left Lateral Bending
0-35º 0-35º 0-35º 0-35º
Ektremitas Inferior ROM Pasif ROM AktifDekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Hip
Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120ºEktensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºAbduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45ºAdduksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºEksorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºEndorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Knee Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120ºEkstensi 0 º 0 º 0 º 0 º
Ankle
Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºPlantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºEversi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºInversi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º
9
P. Manual Muscle Testing (MMT)
NECKFleksor M. Sternocleidomastoideum 5Ekstensor M. Sternocleidomastoideum 5
TRUNKFleksor M. Rectus Abdominis 5
Ektensor Thoracic group 5Lumbal group 5
Rotator M. Obliquus Eksternus Abdominis 5Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris 5
Ektremitas Superior Dekstra Sinistra
Shoulder
Fleksor M. Deltoideus anterior 5 5M. Bisepss anterior 5 5
Ekstensor M. Deltoideu 5 5M. Teres Mayor 5 5
Abduktor M. Deltoideus 5 5M. Biseps 5 5
Adduktor M. Latissimus dorsi 5 5M. Pectoralis mayor 5 5
Internal Rotasi M. Latissimus dorsi 5 5M. Pectoralis mayor 5 5
Eksternal Rotasi
M. Teres mayor 5 5M. Infra supinatus 5 5
Elbow
Fleksor M. Biseps 5 5M. Brachilais 5 5
Eksternsor M. Triseps 5 5Supinator M. Supinatus 5 5Pronator M. Pronator teres 5 5
Wrist
Fleksor M. Fleksor carpi radialis 5 5Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5Abduktor M. Ekstensor carpi radialis 5 5Adduktor M. Ekstensor carpi ulnaris 5 5
Finger Fleksor M. Fleksor digitorum 5 5Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5
Ektremitas Inferior Dekstra SinistraHip Fleksor M. Psoas mayor 5 5
Ekstensor M. Gluteus maksimus 5 5
10
Abduktor M. Gluteus medius 5 5Adduktor M. Adduktor longus 5 5
Knee Fleksor Hamstring muscle 5 5Ekstensor Quadriceps femoris 5 5
Ankle Fleksor M. Tibialis 5 5Ekstensor M. Soleus 5 5
Q. Pengukuran Skor ADL (Activity Daily Living) menurut Indeks Barthel
NO FUNGSI SKOR KETERANGAN
1 Mengendalikan rangsang
pembuangan tinja
2 Dapat mengendalikan rangsang
pembuangan tinja
2 Mengendalikan rangsang
berkemih
2 Dapat mengendalikan rangsang
berkemih
3 Membersihkan diri (seka muka,
sisir rambut, sikat gigi)
1 mandiri
4 Penggunaan jamban, masuk dan
keluar (melepaskan, memakai
celana, membersihkan, menyiram)
0 Dependent (bergantung)
5 Makan 1 Membutuhkan bantuan
6 Berubah sikap dari berbaring ke
duduk
1 Bantuan dari 1-2 orang untuk bisa
duduk
7 Berpindah/ berjalan 0 Immobile atau berjalan < 50 yards
8 Memakai baju 1 Sebagian dibantu
9 Naik turun tangga 0 Tidak dapat
10 Mandi 0 Dependent
Total Skor ADL: 8, Status ambulasi: ketergantungan berat
11
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah
Tanggal: 16 Juli 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan RujukanHb
HctALATAE
11.4338.22524.15
g/dL%
ribu/uLribu/uLjuta/uL
12.0 – 15.633 – 45
4.5 – 11.0150-4504.10-5.10
NatriumKaliumKlorida
1283.493
mmol/Lmmol/Lmmol/L
136 – 1453.3 – 5.198-106
MCVMCH
MCHC
80.227.534.3
/umpg
g/dl
80.0-96.028.0-33.033.0-36.0
EosinofilBasofil
NeutrofilLimfositMonosit
0.20.0087.108.203.70
%%%%%
0.00-4.000.00-2.00
55.00-80.0022.00-44.000.00-7.00
SGOTSGPT
49168
u/lu/l
<31<34
albumin 3.2 g/dl 3.5-5.2
B. Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi (18 Juni 2015)
Eritrosit : normokrom, normosit, polikromasi, eritroblast (+)
Leukosit : jumlah meningkat, neutrofilia, hipergranulasi neutrofil
sel blas (-), metamyelosit
Trombosit : jumlah dalam batas normal, trombosit besar, penyebaran merata
Kesimpulan : Anemia normokromik normositik dengan shift to the left dan
neutrofilia absolut suspek ec proses kronis DD defisiensi Fe
disertai proses infeksi
12
Gambar 1. Ulkus dekubitus dan pemvigus vulgaris
E. ASSESSMENT
1. Ulkus dekubitus grade II regio occipital, scapula, elbow, lumbal, sacrum,
femur, cruris
2. Pemvigus vulgaris
F. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis : Ulkus dekubitus grade II regio occipital, scapula, elbow,
lumbal, sacrum, femur, cruris; pemvigus vulgaris
Problem Rehabilitasi Medik
13
1. Fisioterapi : adanya deconditioning syndrome akibat tirah baring
lama
2. Speech Terapi : -
3. Ocupasi Terapi : keterbatasan melakukan kegiatan sehari-hari
4. Sosiomedik : terkadang membutuhkan bantuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari
5. Ortesa-protesa : -
6. Psikologi : kecemasan pasien dan keluarga dalam menghadapi
penyakit pasien
G. PLAN
Medikamentosa
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam
3. Colcept tab 2-0-2
4. Curcuma tab 3x1
5. NAC 3x200 mg
6. Cetirizine tab 1x10 mg (1-0-0)
7. Metil prednisolon 32 mg/hari
Medikasi:
Kompres NaCl 0,9% 15 menit + asam fusidat + intrasite gel + woundress
Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi :
a. Alih baring tiap 2 jam
b. General ROM exercise
c. Strengthening
d. Mobilisasi bertahap (latihan duduk)
2. Terapi wicara : -
3. Okupasi terapi : latihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
14
4. Sosiomedik :
- Menilai situasi kehidupan pasien
- Mengembalikan peran social pasien dalam keluarga dan lingkungan
- Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita
dengan selalu berusaha menjalankan program di RS dan Home program
5. Ortesa-Protesa : -
6. Psikologi : Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan pasien
dan keluarga dalam menghadapi penyakit pasien.
Planning :
Planning terapi : perbaikan keadaan umum, pasien mondok untuk
penatalaksanaan bagian kulit kelamin dan rehabilitasi
medik
Planning monitoring : evaluasi hasil medika mentosa dan rehabilitasi medik
TUJUAN
Jangka Pendek
1. Perbaikan keadaan umum
2. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama, pneumonia, atrofi
otot, hipotensi ortostatik dan lain sebagainya.
Jangka Panjang
1. Mengurangi impairment, disabilitas, dan handicap yang dialami pasien
2. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot
3. Meningkatkan dan memelihara ROM
4. Meningkatkan ADL
5. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang diderita
pasien
IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
15
Impairment : Ulkus dekubitus grade II region occipital, scapula, elbow, lumbal,
sacrum, femur, cruris; pemvigus vulgaris
Disability : Mobilisasi terganggu, keterbatasan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari (membersihkan diri, mandi, penggunaan jamban, dll)
Handicap : Kesulitan dalam melakukan pekerjaan, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungan
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
16
1. PEMVIGUS VULGARIS
Pendahuluan
Pemphigus berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata pemphix yang artinya
gelembung atau bula. Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimmune berupa
bula yang bersifat kronik, dapat mengenai membran mukosa maupun kulit dan
ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel
keratinosit, menyebabkan timbulnya suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis
diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini
disebut akantolisis dan akhirnya terbentuknya bula di suprabasal.
Etiologi
Pemfigus vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan perbandingan yang
sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya dan jarang terjadi pada anak-
anak. Tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih banyak terjadi pada usia muda.
Ras Yahudi, terutama Yahudi Ashkenazi memiliki kerentanan terhadap pemfigus
vulgaris. Di Afrika Selatan, pemfigus vulgaris lebih banyak terjadi pada populasi
India daripada warga kulit hitam dan kaukasia. Kasus pemfigus lebih jarang
ditemukan di negara-negara barat.
Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga generasi
pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini daripada
kelompok kontrol dan memiliki antibodi antidesmoglein sirkulasi yang lebih tinggi.
Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien pemfigus vulgaris dari
semua ras. Alela subtype HLA-DRB1 0402 dan DRB1 0503 memberi risiko
terjadinya pemfigus dan menyebabkan adanya perubahan struktural pada ikatan
peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan pengenalan oleh sel T. Di Inggris
dan India, pasien dengan haplotip desmoglein tertentu juga memiliki risiko pemfigus
vulgaris dan hal ini tampaknya menambah efek yang diakibatkan oleh HLA-DR.
Kerentanan juga dapat disebabkan pengkodean immunoglobulin oleh gen atau oleh
gen dalam pemrosesan pada antigen HLA kelas I.
17
Terdapat beberapa klasifikasi pemfigus yang dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
Gambar 2 Klasifikasi Pemfigus
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition
Identifikasi target antigen spesifik untuk autoantibodi pada penyakit bula autoimun
melibatkan penelitian mengenai berbagai komponen desmosome dan kompleks
adhesi yang menghubungkan dermis-epidermis. Pemfigus dapat terjadi pada pasien
yang memiliki berbagai jenis gangguan lainnya yang dikarakteristikkan dengan
gangguan iminologis tertentu. Timoma atau miastenia gravis dilaporkan terdapat pada
beberapa pasien pemfigus. Pemfigus juga dapat terjadi pada pasien lupus
eritematosus. Pemfigus dilaporkan terjadi pada pasien dengan penyakit
limfoproliferatif seperti tumor Castleman. DNA virus terdeteksi pada beberapa
biopsy kulit atau sel mononuclear dari sampel darah perifer pasien pemfigus dan
18
dapat muncul bersamaan dengan infeksi HIV. Penelitian epidemiologis pada pasien
pemfigus vulgaris di Iran menunjukkan adanya korelasi positif dengan penggunaan
kontrasepsi oral dan paparan pestisida serta kemungkinan efek protektif dari
kebiasaan merokok terhadap kejadian pemfigus vulgaris.
Epidemiologi
a. Insidensi
Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2 kasus per
100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari seluruh kasus
pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di negara-negara
timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah. Insidensi PV meningkat
pada populasi keturunan Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan
familial ini merupakan faktor predisposisi genetik pada kejadian pemfigus
vulgaris. Predominansi etnis ini tidak ada dalam kasus pemfigus foliaseus (PF).
Karena itu, di area dimana terdapat dominasi kelompok keturunan Yahudi, Timur
Tengah, dan Mediterania, rasio PV : PF cenderung lebih tinggi. Sebagai contoh, di
New York, Los Angeles, dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di Iran 12:1,
sedangkan di Finlandia hanya 0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1. Insidensi pemfigus
vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem, insidensi PV diperkirakan
1,6 kasus per 100.000 populasi per tahun dan di Iran 10 kasus per 100.000
populasi, Finlandia jauh lebih rendah 0,76 kasus per per juta populasi. Di Prancis
dan Jerman, 1 kasus per juta populasi per tahun.
b. Mortalitas dan Morbidias
Pemfigus vulgarisa dalah penyakit mukokutaneus autoimun yang berpotensi
mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas pasien pemfigus
vulgaris tiga kali lebih tinggi daripada populasi pada umumnya, Komplikasi
sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi. Morbiditas dan
mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum steroid sistemik yang
19
diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit penyerta. Prognosis semakin
buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris ekstensif dan pasien usia tua.
Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan mukosa pada 50-70% pasien. Hal
ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi karena disfagia. Bula dan erosi akibat
bula yang pecah bersifat nyeri sehingga membatasi aktivitas penderita.
Gambaran klinis
➢ Keadaan umum penderita umumnya jelek.
➢ Membran mukosa
Lesi pada pemphigus vulgaris pertamakali berkembang pada membran
mukosa terutama pada mulut, yang terdapat pada 50 – 70 % pasien. Bula
yang utuh jarang ditemukan pada mulut disebabkan bula mudah pecah dan
dapat timbul erosi.
Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, dengan bentuk
yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi dapat meluas ke
larynx yang menyebabkan sakit tenggorokan dan pasien kesulitan untuk
makan ataupun minum. Permukaan mukosa lain yang dapat terlibat yaitu
konjungtiva, esophagus, labia, vagina, cervix, penis, urethra, dan anus.
➢ Kulit
Kelainan kulit dapat bersifat lokal ataupun generalisata, terasa panas, sakit
tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan, umbilicus, kulit
kepala, wajah, ketiak, daerah yang terkena tekanan dan lipat paha.
Timbul pertama kali berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi
cairan jernih pada kulit normal atau dengan dasar erithematous. Bula
mudah pecah dan yang utuh jarang di jumpai disebabkan atap bula terdiri dari
sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemudian timbul erosi yang sakit,
mudah berdarah dan cenderung meluas, kemudian erosi ditutupi krusta yang
menyebabkan lambat untuk menyembuh. Lesi yang menyembuh
meninggalkan daerah hiperpigmentasi tanpa terjadi parut.
Pada bula yang aktif dapat di temukan Nikolsky sign yang menggambarkan
20
tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan cara :
- menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari,
mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas.
- Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan bula akan
melebar dari tempat penekanan disebut bulla spread phenomenon.
Gambar 3 Bula mudah pecah pada kulit yang tampak normal
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
Gambar 4 Erosi pada Membran mukosa (bibir dan dinding esophagus)
21
Sumber : American Association of Family Physician, 2013
Gambar 5 Erosi Mudah Berdarah dan Sukar Menyembuh
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6 th
Edition
Patogenesis
22
Antibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglein 3 pada
permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya
plasminogen activator sehingga merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin
yang terbentuk menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi penarikan
tonofilamen dari sitoplasma keratinosit, akibatnya terjadi pemisahan sel–sel
keratinosit (tidak adanya kohesi antara sel-sel) proses ini disebut akantolisis.
Kemudian terbentuk celah di suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang
sebenarnya .
Histopatologis
Biopsi kulit dilakukan dengan cara punch biopsi pada bula yang baru timbul atau
pada kulit yang berdekatan dengan bula.
Perubahan awal ditandai dengan pembengkakan intersellular dan hilangnya
jembatan interselluler pada bagian paling bawah epidermis. Mengakibatkan
hilangnya hubungan antara sel-sel epidermis yang disebut akantolisis, hal ini
menyebabkan terbentuknya celah dan akhirnya membentuk bula di suprabasal.
Sel basal walaupun terpisah satu dengan lainnya yang disebabkan oleh hilangnya
jembatan antar sel, tetap melekat pada dermis (basement membran) seperti susunan
batu nisan (row of tombstones).
Di dalam rongga bula mengandung sel akantolisis yang dapat di lihat dengan
pemeriksaan sitologi yaitu Tzanck smear (pewarnaan giemsa), yang diambil dari
dasar bula atau erosi pada mulut. Sel yang akantolisis mempunyai inti yang kecil
dan hiperkromatik, sitoplasmanya sering dikelilingi halo.
Pada perbatasan epidermis adakalanya menunjukkan spongiosis dengan eosinophil
yang masuk kedalam epidermis disebut eosinophilic spongiotic.
Immunopatologi
➢ Immunofluorescen langsung
Menunjukkan endapan antibodi IgG, C3 di substansi interselluler epidermis.
➢ Immunofluorescen tidak langsung
Serum : dideteksi sirkulasi antibodi IgG interselluler, terdapat pada 80 - 90 %
23
penderita.
Diagnosis
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :
1) Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan :
a. Nikolsky Sign : penekanan datau penggosokan pada lesi menyebabkan
terbentuknya lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.
b. Bullae spread phenomenon : bula ditekan isinya tampak menjauhi tekanan
2) Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa tampak sel
akantolitik atau sel tzanck
3) Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh. Dicari
adanya bula intraepidemal.
4) Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik : Leukositosis,, Eosinofilia, Serum
protein rendah, Gangguan elektrolit, Anemia, Peningkatan laju endap darah
5) Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Autoantibodi ditemukan pada
serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan kemudian dengan
imunofloresensi direk pada kulit pasien. Pemeriksaan dengan ELISA
memberikan hasil yang lebih sensitive dan spesifik daripada imunofloresensi
(dapat membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. DIbandingkan
dengan imunofolresensi, pemeriksaan ELISA juga memiliki korelasi lebih baik
dengan aktivitas penyakit
Diagnosis Banding
Pemphigus vulgaris dapat di diagnosa banding dengan :
➢ Pemfigoid bulosa
Letak bula : subepidermal
Immunofluorescen : IgG berbentuk seperti pita di membran basalis.
24
➢ Dermatitis herpetiformis
Letak vesikel : subepidermal.
Immunofluorescen : IgA berbentuk granular di papilla dermis.
Terapi Pemfigus Vulgaris
Penatalaksanaan pemfigus vulgaris terutama pada fase akut, harus di bawah
pengawasan yang ketat untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi
antimikroba sistemik diperlukan untuk pasien dengan infeksi sekunder. Untuk terapi
topikal, dilakukan kompres dengan Aluminium Diasetat 5%, perak nitrat 0.005%,
atau solusio kalium permanganate 0,01% pada area yang terkena setiap 4 jam. Hal ini
diperlukan untuk melepaskan debris kulit dari area bula dan mengurangi risiko
infeksi sekunder. Kortikosteroid dosis tinggi diperlukan untuk mengontrol kondisi
pasien. Dosis harus diturunkan perlahan-lahan ketika sudah terjadi stabilisasi hingga
mencapai dosis terendah untuk memelihara remisi. Prednisolon atau prednisone oral
dapat digunakan sebagai pilihan terapi. Tambahan obat-obatan imunosupresif seperti
Azathioprine atau Cyclophosphamid digunakan apabila pasien tidak dapat
menoleransi kortikosteroid dosis minimum untuk menjaga kondisi remisi. Efek
imunosupresif muncul perlahan-lahan dan biasanya tidak terdeteksi sampai 4-6
minggu setelah dosis awal. Kortikosteroid harus sudah dihentikan sebelum
penghentian terapi imunosupresif.
Penatalaksanaan penderita Pemfigus Vulgaris berdasarkan Pedoman Diagnosis dan
Terapi RSUD dr.Soetomo adalah sebagai berikut :
1) Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan perawatan
yang tepat.
2) Topikal :
a. Lesi Basah : kompres garam faali (NaCl0.9%)
b. Lesi Kering : talcum Acidum Salicylicum 2%.
3) Sistemik :
25
a. Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder, dengan sebelumnya dilakukan:
pemeriksaan gram, kultur dan tes sensitivitas, Antibiotik spectrum luas 7-10
hari
b. Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris, diberikan
Dexamethasone atau sejenisnya. Dosis : bila keras dapat diberikan 3-4 mg
Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak timbul bula baru, dosis
dapat diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan Azathioprine untuk
mencegah relaps, sampai dengan dosis terandah yang tidak menimbulkan bula
baru.
c. Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat diberikan
Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1 tablet.
Prognosis
Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi, tetapi mayoritas
pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi kortikosteroid sendiri
telah dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang
yang tidak mendapatkan terapi adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan
terhadap infeksi serta gangguan yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada tahun-tahun awal munculnya
gejala, dan jika pasien dapat bertahan lebih dari 5 tahun, prognosisny akan lebih baik.
Pemfigus vulgaris pada stadium awal akan lebih mudah dikontrol daripada yang
sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas akan meningkat apabila terjadi
keterlamabatan terapi.
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis kortikosteroid maksimum
yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan adanya penyakit penyerta. Prognosis
akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia lanjut dan yang disertai penyakit
lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada anak-anak. Pada sebagian kecil kasus
pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi pemfigus foliaseus.
Komplikasi
26
Infeksi sekunder, baik yang bersifat sistemik maupun terlokalisasi pada kulit dapat
terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi multipel. Infeksi
kutaneus dapat memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan risiko
timbulnya jaringan parut. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat berakibat pada
infeksi dan keganasan sekunder ( seperti Kaposi Sarkoma), karena adanya gangguan
imunitas. Retardasi pertumbuhan dilaporkan terjadi pad aanak-anak yang
mendapatkan terapi kortikosteroid dan imunosupresan sistemik. Supresi sumsum
tulang dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan.
Peningkatan insidensi leukemia dan limfoma juga dilaporkan terjadi pada
imunosupresan jangka panjang. Gangguan respon imun yang disebabkan oleh
kortikosterod dan agen imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan penyebaran
infeksi secara luas. Kortikosteroid menekan tanda-tanda infeksi sehingga berakibat
terjadinya septicemia. Osteoporosis dan insufisiensi adrenal dilaporkan terjadi setelah
penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
Edukasi
Pasien dan keluarganya harus diberikan edukasi mengenai :
a. Meminimalisasi kemungkinan terjadinya trauma pad akulit karena kulit pasien
sangat rapuh akibat penyakitnya sendiri maupun efek samping dari steroid
sistemik dan topikal.
b. Pemahaman bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit yang bersifat kronis.
c. Terapi yang diberikan dosis obat, efek samping, dan gejala toksisitas obat
sehingga jika terjadi dapat segera menghubungi dokter.
d. Perawatan luka yang adekuat.
27
Kesimpulan
Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimmune berupa bula bersifat kronik yang
dapat mengenai membran mukosa dan kulit dengan karakteristik histopatologis di
jumpai adanya akantolisis disebabkan tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis,
sel akantolisis ini dapat dilihat dengan Tzanck smear dan dengan pemeriksaan
immunofluorescen secara langsung maupun tidak langsung dapat dijumpai antibodi
IgG yang bersirkulasi dan berikatan dipermukaan sel keratinosit dan akhirnya akan
terbentuk bula di suprabasal.
2. ULKUS DEKUBITUS
Dekubitus adalah kerusakan/ kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area
yang secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah
setempat. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan
tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum, trokanter
mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan siku (Pranarka, 2009).
Umumnya ulkus dekubitus terjadi pada penderita dengan penyakit kronik yang
berbaring lama. Ulkus dekubitus sering disebut sebagai ischemic ulcer; pressure
ulcer, pressure sore, bed sore. Masalah ini menjadi problem yang cukup serius baik
di negara maju maupun di negara berkembang, karena mengakibatkan
meningkatnya biaya perawatan dan memperlambat program rehabilitasi bagi
penderita. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel
kulit, elastisitas kulit yang berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif,
sejumlah penyakit yang seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler
perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan
sehingga tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun, status gizi underweight
atau kebalikannya overweight, anemia, hipoalbuminemia, penyakit-penyakit
28
neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, keadaan dehidrasi.
Sedangkan faktor ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus antara lain kebersihan
tempat tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan posisi yang kurang,
alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan
penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya
dekubitus. Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi
predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu:
Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan
beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang
sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap
nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan
tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi,
mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.
Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap
dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah
posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan
peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis
terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien
yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi
luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8%
populasi ini (Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).
Perubahan tingkat kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak
mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau
disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami
bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan
dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang
29
mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa
contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan
intensif dengan pemberian sedasi.
Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang
menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi
eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik
kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat
dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.
Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien
yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus marupakan
potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan
plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang
diberikan oleh emapt jenis penyangga leher yang berbeda dengan subjek berada
posisi terlentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan
bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler.
Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang
menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang berada di
bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain untuk
mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005).
Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan.
Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka
dekubitus yang terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter
& Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus
antara lain:
Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel
terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2005). Gaya ini
terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat tempat
30
tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada posisi fowler
yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel
pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan
arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada
kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Kapiler jaringan
yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya,
tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian
menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu,
terdapat penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak
subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang
berada di bawahnya.akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai
drainase dari area nekrotik. Perlu di ingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan
jaringan bagian dalam dan paling sering dimulai dari kontrol, seperti berada di
bawah jaringan rusak. Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat tidur
dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya gesek
(AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992 dalam Potter &
Perry, 2005 mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi.
Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada
permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter &
Perry, 2005) . Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi
mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika
pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit
(Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Karena cara terjadi luka
seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar seprei ”sheet burns” (Bryant
et el, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Cedera ini terjadi pada pasien gelisah,
pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang, dan pasien yang
kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan
posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Tindakan
31
keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut:
memindahkan klien secara tepat dengn mengunakan teknik mengangkat siku dan
tumit yang benar, meletakkan benda-benda dibawah siku dan tumit seperti
pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan
hidrokoloid untuk melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk
mempertahankan hidrasi epidermis (Potter & Perry, 2005) .
Kelembaban
Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya
kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko
pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam
Potter & Perry, 2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor
fisik lain seperti tekenan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2005).
Pasien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri,
tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat
harus memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat
berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan
oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti
urine, feses, dan inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko
terjadi luka akibat tekanan pada pasien (Potter & Perry, 2005).
Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang
serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan
diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan
meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya
pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak
sembuh (Hanan & scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Pasien yang
mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen
negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam
Potter & Perry, 2005). Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai
32
berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status
nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah
3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983 ; Steinberg 1990 dalam Potter & Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status
protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi.
Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka
(Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). Walaupun kadar albumin serum
kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan
prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Hanan &
Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level total
protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan
menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan (Hanan &
Scheele 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit
dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek.
Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang
menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry, 2005).
Anemia
Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin
mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah
oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel
dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai
kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti
kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko
luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan
jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan
( Potter & Perry, 2005).
33
Obesitas
Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil
berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan.
Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang
buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya
semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi (Potter & Perry, 2005).
Demam
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami
demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat
jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi
akibat (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu demam
menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang
selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter & Perry,
2005).
Gangguan Sirkulasi Perifer
Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami
kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit
vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter
& Perry, 2005).
Usia
Studi yang dilakukan oleh kane et el (1989) mencatat adanya luka dekubitus
yang terbasar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai
potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan
kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring
pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya
dekubitus pada lansia. Imobilsasi berlangsung lama hampir pasti dapat
menyebabkan dekubitus menurut pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab
dekubitus pada lansia yaitu:
34
a. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-
penyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh).
b. Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan
c. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan
medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan tindakan medik
sesuai dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium pada dekubitus beserta
penatalaksanaanya (Pranarka, 2009) :
1. Dekubitus derajat I
Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas pada
epidermis. Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan
sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2 sampai 3 kali/hari.
Gambar 1.
Ulkus dekubitus derajat I
2. Dekubitus derajat II
Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan luka
harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan
digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk
meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk
35
merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan salep ini
jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan
yang diharapkan.
Gambar 2. Ulkus dekubitus derajat 2
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot
dan sering sudah ada infeksi. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat
diusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya
transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-
sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik
sistemik mungkin diperlukan.
Gambar 3.
Ulkus Dekubitus derajat 3
36
4. Dekubitus derajat IV
Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai jaringan
nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik
yang ada harus dibersihkan, sebab akan menghalangi pertumbuhan
jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini,
dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga
merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih,
penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Usaha untuk mempercepat
penyembuhan luka antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah
luka, tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh
darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus
derajat IV ini dapat mencapai 40%.
Gambar 4. Ulkus Dekubitus derajat 4
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana
terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu,
punggung dan kepala bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan yang
terjadi pada bagian tubuh melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada
usaha untuk mengurangi atau memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan jaringan
yang menetap. Bila tekanan yang terjadi kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk
memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat dicegah.
37
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus
dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus
dapat dibagi menjadi tiga (Pranarka, 2009):
1. Tipe Normal
Mempunyai beda temperatur ≤ 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan
akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Terjadi karena iskemia jaringan
setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah
sebenarnya baik.
2. Tipe Arteriosklerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan
kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat
penyakit pada pembuluh darah (arterosklerotik) ikut perperan untuk terjadinya
dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan
sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe Terminal
Terjadi pada pasien dengan tingkat keparahan tinggi, sulit untuk sembuh.
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain:
a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik.
c. Septikimia
d. Animea
e. Hipoalbuminea
f. Kematian.
38
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah
terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya
dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk
meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor
Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya
dekubitus, skor 12-13 memiliki risiko sedang, skor < 12 berkaitan dengan
peningkatan risiko 50 kali lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus,
sedangkan skor > 14 memiliki risiko yang sangat kecil. Skor tersebut meliputi
(Pranarka, 2009) :
Item Skor
Kondisi fisik
Baik
Sedang
Buruk
Sangat Buruk
4
3
2
1
Kesadaran
Komposmentis
Apatis
Konfus/soporus
Stupor/koma
4
3
2
1
Aktivitas
Ambulan
Ambulan dengan bantuan
Hanya bisa duduk
Tiduran
4
3
2
1
Mobilitas
Bergerak bebas
Sedikit terbatas
4
3
39
Sangat terbatas
Tak bisa bergerak
2
1
Inkontinensia
Tidak
Kadang-kadang
Sering inkontinensia urin
Inkontinensia alvi dan urin
4
3
2
1
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit,
dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok
dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang.
Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua
ekskret/sekret harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet
pada kulit penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah
terjadinya dekubitus meliputi:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita, misalnya mengatasi anemia,
mengoreksi hipoalbuminemia, nutirisi dan hidrasi yang cukup, pemberian
vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn), serta mencoba mengatasi/mengoabati
penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah,
melalui:
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
b. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh
penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun,
kasur air yang temperatur airnya dapat diatur (kasur dekubitus).
c. Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi
darah setempat terganggu.
40
Pencegahan ulkus dekubitus adalah hal yang utama karena pengobatan ulkus
dekubitus membutuhkan waktu dan biaya yang besar.
Tindakan pencegahan dapat dibagi atas
a) Umum :
Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf medis, penderita
dan keluarganya.
Pemeliharaan keadaan umum dan higiene penderita.
b) Khusus :
Mengurangi/menghindari tekanan luar yang berlebihan pada daerah tubuh
tertentu dengan cara : perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur
sepanjang 24 jam. melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di
kursi roda. pemakaian berbagai jenis tempat tidur, matras, bantal anti
dekubitus seperti circolectric bed, tilt bed, air-matras; gel flotation pads,
sheepskin dan lain-lain.
Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore),
tetapi dapat lebih sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus
dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan sendiri, dengan bantuan
penderita lain ataupun keluarganya.Perawatan kulit termasuk pembersihan
dengan sabun lunak dan menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urin dan
feces. Bila perlu dapat diberikan bedak, losio yang mengandung alkohol
dan emolien.
Pengobatan ulkus dekubitus dengan pemberian bahan topikal, sistemik
ataupun dengan tindakan bedah dilakukan sedini mungkin agar reaksi
penyembuhan terjadi lebih cepat. Pada pengobatan ulkus dekubitus ada
beberapa hal yang perlu diperhatkan antara lain:
a) Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.
41
Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah dibicarakan di
tas. Pengurangan tekanan sangat penting karena ulkus tidak akan sembuh
selama masih ada tekanan yang berlebihan dan terus menerus.
b) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya.
Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat
dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian,
pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan
NaC10,9%,larutan H202 3% dan NaC10,9%,larutan plasma dan larutan
Burowi serta larutan antiseptik lainnya.
c) Mengangkat jaringan nekrotik.
Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari
bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan
jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan
nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan ulkus.
Terdapat 3 metode yang dapat dilakukan antara lain :
Sharp debridement (dengan pisau, gunting dan lain-lain).
Enzymatic debridement (dengan enzim proteolitik, kolagenolitik, dan
fibrinolitik).
Mechanical debridement (dengan tehnik pencucian, pembilas-an,
kompres dan hidroterapi)
d) Menurunkan dan mengatasi infeksi.
Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat
diberikan bila penderita mengalami sepsis, selulitis. Ulkus yang terinfeksi
hams dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti
larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet
(terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal.
e) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi.
Hal ini dapat dicapai dengan pemberian antara lain :
42
Bahan-bahan topikal misalnya : salep asam salisilat 2%, preparat seng
(Zn 0, Zn SO4).
Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap
sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah
jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular.
Radiasi infra merah, short wave diathermy, dan pengurutan dapat
membantu penyembuhan ulkus karena adanya efek peningkatan
vaskularisasi.
Terapi ultrasonik; sampai saat ini masih terus diselidiki manfaatnya
terhadap terapi ulkus dekubitus.
f) Tindakan bedah
tindakan ini selain untuk pembersihan ulkus juga diperlukan untuk
mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus
stadium III & IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit ataupun
myocutaneous flap
43
DAFTAR PUSTAKA
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Anhalt GJ, Pemphigus Vulgaris and the Phemphigus Disease Spektrum in Cutaneus
Medicine and Surgery, vol 2A,W.B. Saunders Company, 1996 : 651-55
Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC
Barbara, CL. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Bandung
Bergfeld F.W Maichel B, Intraepidermal Vesikular Bullous and pustuler
Dermatoses, Farmer R. Evan, Hood F.A editor in Pathology of the skin,
United State of America, Predice- Hall Internasional Inc, 1990 : 128-31.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo
Burton JL, Rook, Bullous Eruption in :Textbook of Dermatology, vol 3, 6th edition,
Blackwell Science, 1998 : 1849-65.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa:
Tim PSIK UNPAD Edisi-6. EGC : Jakarta
De Carvalho Parahym AM, De Melo Luciana RB, De Morais Vera LL, Neves RP.
44
2009. Candidiasis in pediatric patients with cancer interned in a university hospital.
Brazilian J Microbiology; 40(2).
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M.. Jakarta : EGC
Domonkos AN, Arnold HN, Odom RD, Chronik Blistering Dermatoses in Andrews
Disease of the skin, 7th edition , Philadelphia, W.B. Saunders Company, 2000
: 574-79.
Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed.31. Jakarta : EGC
Habif T.P, Pemphigus in A color guide to diagnosis and therapy , 3th edition, St
Louis, Mosby–year Book , 1996 : 508-13.
Kariosentono H, Epidermolisis Bulosa dalam Harahap M, Penyunting Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Jakarta, Hipokrates, 2000 : 134-37.
Lever W.F, Pemphigus Vulgaris, Histopatology of the skin, 6thedition, Philadelphia,
JB Lipincott company, 1983 :104-9.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius.
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By
Mosby-Year book.Inc,Newyork
Moshella SL, Autoimmune Bullous Disease in Textbook of Dermatology, vol 2,
2ndedition, New York, W.B.Saunders Company, 1992 :656-63.
Potter & Perry. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan. Edisi Keempat. Vol.2.
Jakarta: EGC.
Pranarka, K. Dekubitus. 2009. Dalam : Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar
Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 272-83
Saanin S. 2005. Peningkatan tekanan intracranial. In Neurosurgery (topic ilmu) M.
Djamil hospital. FK UNAD Padang. http:/www.angelfire.com/nc/neurosurgery
(diakses 18 Maret 2015)
45
Soebroto, Ikhsan. 2009. Cara Mudah Menghadapi Problem Anemia. Yogyakarta:
Bangkit!
Stanley Jr, Pemphigus in Dermatology in General medicine, 4th edition, MC Graw-
Hill, 1993 : 606-13.
The Ohio State University, Temple University. 2005. Oral candidiasis: current concepts
In the diagnosis and management in the institutionalized elderly patient a review.
Dental Forum; 2(33) : 65-70.
Wiryadi E Benny, Dermato Vesikobulosa Kronik dalam : Djuanda A dkk editor, Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke3, FKUI,1999 :186-90.
46