bab ii tinjauan pustaka a. kesejahteraan psikologis pada...

17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan psikologis pada Remaja 1. Pengertian Kesejahteraan psikologis Peneliti yang pertama kali meneliti tentang kesejahteraan psikologis adalah Ryff pada tahun 1989. Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis merupakan istilah yang menunjuk pada terpenuhinya fungsi psikologi positif seseorang yakni terkait penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Menurut Hauser, dkk (dalam Prabowo, 2016) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai kesejahteraan psikologis individu yang memfokuskan pada upaya realisasi diri (self-realization), pernyataan diri (personal expressiveness) dan aktualisasi diri (self-actualization). Menurut Huppert (2009) “kesejahteraan psikologis adalah tentang kehidupan yang berjalan dengan baik. Kombinasi antara perasaan baik dan berfungsi secara efektif”. Huppert (2009) menambahkan bahwa kesejahteraan yang berkelanjutan tidak mengharuskan individu untuk merasa baik sepanjang waktu; pengalaman emosi yang menyakitkan (misalnya kekecewaan, kegagalan, kesedihan) adalah bagian normal dari kehidupan, dan kemampuan untuk mengelola emosi negatif atau menyakitkan ini sangat penting untuk kesejahteraan jangka panjang. 10

Upload: dokien

Post on 10-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesejahteraan psikologis pada Remaja

1. Pengertian Kesejahteraan psikologis

Peneliti yang pertama kali meneliti tentang kesejahteraan psikologis adalah

Ryff pada tahun 1989. Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis merupakan

istilah yang menunjuk pada terpenuhinya fungsi psikologi positif seseorang yakni

terkait penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian,

penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Menurut Hauser,

dkk (dalam Prabowo, 2016) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis

didefinisikan sebagai kesejahteraan psikologis individu yang memfokuskan pada

upaya realisasi diri (self-realization), pernyataan diri (personal expressiveness)

dan aktualisasi diri (self-actualization). Menurut Huppert (2009) “kesejahteraan

psikologis adalah tentang kehidupan yang berjalan dengan baik. Kombinasi antara

perasaan baik dan berfungsi secara efektif”. Huppert (2009) menambahkan bahwa

kesejahteraan yang berkelanjutan tidak mengharuskan individu untuk merasa baik

sepanjang waktu; pengalaman emosi yang menyakitkan (misalnya kekecewaan,

kegagalan, kesedihan) adalah bagian normal dari kehidupan, dan kemampuan

untuk mengelola emosi negatif atau menyakitkan ini sangat penting untuk

kesejahteraan jangka panjang.

10

11

Remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia,

yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012).

Masa remaja menurut Mönks, dkk (2014) berada pada rentang usia 12 sampai 21

tahun. Masa remaja merupakan suatu periode penting dari rentang kehidupan,

suatu periode transisional, masa perubahan, masa usia bermasalah, masa dimana

individu mencari identitas diri, usia menyeramkan, masa tidak realistis, dan

ambang menuju kedewasaan (Krori dalam Herlina, 2013).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan

psikologis pada remaja merupakan kesejahteraan atas pemenuhan fungsi psikologi

positif dalam diri remaja terkait penerimaan diri, hubungan positif dengan orang

lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan

pribadi. Pada penelitian ini, peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh Ryff

(1989), karena lebih lengkap dan lebih rinci sehingga memudahkan peneliti untuk

menjelaskan kesejahteraan psikologis pada remaja dengan lebih baik dan rinci.

2. Dimensi Kesejahteraan psikologis

Konsep kesejahteraan psikologis yang digambarkan oleh (Ryff, 1989;

1995; 2014; 2017; Ryff & Singer, 2006) terdiri dari enam dimensi, yaitu:

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang untuk menerima

kondisi dirinya apa adanya. Orang dengan penerimaan diri tidak hanya menerima

kelebihannya saja, tetapi juga mampu menerima kekurangan yang ada pada

dirinya (Ryff, 2014).

12

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others)

Hubungan positif dengan orang lain maksudnya adalah seseorang dapat

menjalin hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya. Memiliki rasa

prihatin terhadap kesejahteraan orang lain, mampu berempati, dan menyayangi

orang lain (Ryff, 2014).

c. Otonomi (autonomy)

Otonomi adalah individu dapat menentukan keputusan sendiri dan mandiri,

mampu menahan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu,

mengatur perilaku dari dalam diri sendiri, dan dapat mengevaluasi diri dengan

standar pribadi (Ryff, 2014).

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan maksudnya adalah individu memiliki rasa

penguasaan dan kompetensi dalam mengelola lingkungan, mampu mengendalikan

pelbagai kegiatan eksternal, memanfaatkan kesempatan di sekitarnya secara

efektif serta memiliki dan dapat menciptakan konteks yang sesuai dengan

kebutuhan dan nilai pribadi (Ryff, 2014).

e. Tujuan hidup (purpose in life)

Tujuan hidup maksudnya adalah individu memiliki tujuan dalam hidupnya

dan perasaan yang diarahkan, ada makna untuk masa sekarang dan masa lalu,

memegang keyakinan yang memberi tujuan hidup (Ryff, 2014).

f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Pertumbuhan pribadi yaitu seseorang selalu bertumbuh dan berkembang

terus menerus dalam hidupnya, terbuka untuk pengalaman baru, memiliki

13

kemauan untuk merealisasikan potensinya dan dapat melihat adanya peningkatan

dalam dirinya sendiri (Ryff, 2014).

Jadi, dimensi kesejahteraan psikologis menurut (Ryff, 1989; 1995; 2014;

2017; Ryff & Singer, 2006) ada 6, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif

dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan

pertumbuhan pribadi. Teori Ryff merupakan konstruk teori bagi penelitian-

penelitian sebelumnya dan belum ada teori pembandingnya.

3. Faktor-faktor kesejahteraan psikologis

Faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Ryff

(1995) :

a. Usia

Berdasarkan penelitian Ryff dan Singer (2006) membuktikan bahwa

perbedaan usia memengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Ada perbedaan

antara usia muda, usia menengah dan usia tua terkait kesejahteraan psikologis.

Beberapa aspek menunjukkan profil inkremental/berkembang sedikit demi sedikit

secara teratur dengan usia, misal: otonomi dan penguasaan lingkungan, sementara

yang lain menunjukkan profil menyusut sedikit demi sedikit secara

teratur/decremental yang tajam dari masa dewasa muda sampai usia tua (misal:

tujuan hidup, pertumbuhan pribadi), dan yang lainnya menunjukkan sedikit variasi

usia (misal: hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri - hanya untuk

wanita). Pola ini telah direplikasi di beberapa penelitian, termasuk sampel

masyarakat dan sampel perwakilan nasional (Ryff, 1991; Ryff & Keyes dalam

Ryff & Singer, 2006).

14

Menurut Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) orang dewasa muda lebih fokus

pada pengetahuan diri, kompetensi, dan penerimaan diri, dan orang dewasa yang

lebih tua lebih fokus pada mengatasi perubahan dengan positif. Analisis

longitudinal (selama periode usia yang lebih pendek) telah didokumentasikan

bahwa kesejahteraan psikologis berubah dengan bertambahnya usia, terutama

karena individu menegosiasikan tantangan hidup dan transisi kehidupan, seperti

relokasi pengasuhan atau relokasi masyarakat (Ryff & Singer, 2006).

b. Jenis Kelamin

Penelitian Ryff (1995) menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki

pengaruh pada kesejahteraan psikologis seseorang. Secara konsisten pada semua

usia, wanita ditemukan memiliki skor pada dimensi hubungan positif dengan

orang lain dan pertumbuhan pribadi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini terkait

dengan pola fikir yang berpengaruh terhadap strategi koping dan aktivitas sosial

yang dilakukan, dimana wanita lebih cenderung memiliki kemampuan

interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki (Synder dalam Prabowo, 2016).

Namun, empat dimensi yang lainnya ditemukan tidak ada perbedaan yang

signifikan antara laki-laki dan perempuan (Ryff, 1995). Penelitian lain (Kotar

dalam Waghmare, 2016; Waghmare, 2016; Salleh & Mustaffa, 2016) menemukan

bahwa kesejahteraan psikologis antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki

perbedaan yang signifikan.

c. Tipe Kepribadian

Schmutte & Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) dalam penelitiannya

menemukan bahwa tipe kepribadian extraversion, conscientiousness, dan low

neuroticism dikaitkan dengan dimensi penerimaan diri, penguasaan, dan tujuan

15

hidup; Keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience) dikaitkan

dengan pertumbuhan pribadi; agreeableness dan extraversion terkait dengan

hubungan positif dengan orang lain; dan low neuroticism dikaitkan dengan

otonomi.

d. Budaya

Dimensi-dimensi kesejahteraan yang lebih berorientasi pada diri sendiri,

seperti penerimaan diri atau otonomi, mungkin memiliki arti yang lebih besar

dalam konteks budaya Barat. Sedangkan dimensi kesejahteraan yang berorientasi

pada orang lain, seperti hubungan positif dengan orang lain, mungkin memiliki

signifikansi yang lebih besar di Timur, karena budayanya yang saling bergantung

(Ryff, 1995). Penelitian telah dilakukan pada orang dewasa setengah baya di

Korea dan Amerika serikat. Hasilnya ditemukan bahwa, secara keseluruhan, orang

Amerika jauh lebih mungkin untuk atribut sifat-sifat positif bagi diri mereka

daripada orang Korea, sebuah temuan yang konsisten dengan formulasi yang

mendasari perbedaan budaya dalam presentasi diri. Orang-orang Korea

menunjukkan peringkat diri tertinggi pada ukuran hubungan positif dengan orang

lain, dan penilaian diri terendah untuk penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi.

Di antara responden Amerika serikat, pertumbuhan pribadi dinilai paling tinggi.

Data kualitatif menunjukkan bahwa orang Korea menempatkan penekanan yang

lebih besar pada kesejahteraan orang lain dalam mendefinisikan kesejahteraan

mereka sendiri daripada orang Amerika (Ryff, 1995).

e. Status Sosial Ekonomi

Kesejahteraan psikologis dan tingkat pendidikan seseorang berhubungan

sangat positif, dengan asosiasi yang terutama diucapkan untuk pertumbuhan

16

pribadi dan tujuan hidup, kedua pilar tersebut eudaimonia (Ryff & Singer, 2006).

Seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah tidak hanya

cenderung mengalami penyakit dan kecacatan, namun juga kehilangan

kesempatan untuk memaksimalkan hidup mereka (Marmot dalam Ryff & Singer,

2006).

Selain faktor-faktor yang dipaparkan oleh Ryff, penelitian lain juga telah

menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis sebagai

berikut:

a. Dukungan sosial

Penelitian Nugraheni (2016) menunjukkan adanya hubungan positif antara

dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian Nezar (dalam

Prabowo, 2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

interaksi sosial dengan kesejahteraan psikologis. Adanya interaksi sosial lebih

memungkinkan seseorang mendapatkan dukungan sosial. Jibeen dan Khalid

(dalam Sari, 2015) menyatakan bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka

semakin baik kesejahteraan psikologis yang dirasakan, sebaliknya rendahnya

dukungan sosial mengindikasikan tingginya tekanan psikologis.

b. Religiusitas

Religiusitas berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis (Ismail &

Desmukh, 2013; Park & Millora dalam Harpan, 2015; Amawidyati & Utami,

2007). Penelitian Seligman dan Csikszentmihalyi (dalam Harpan, 2015)

menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama penting

dalam mengatasi pelbagai masalah psikologis, yaitu dengan cara membangun

emosi positif.

17

c. Optimisme

Penelitian Khirunnisa & Ratnaningsih (2016); Penelitian Dyson-

Washington & Geller (dalam Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011) menyatakan

bahwa optimisme dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis individu.

Ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dan kesejahteraan

psikologis. Semakin tinggi optimisme individu maka semakin tinggi juga

kesejahteraan psikologisnya, dan sebaliknya semakin rendah optimisme maka

semakin rendah juga kesejahteraan psikologis individu.

d. Perilaku Prososial

Hasil penelitian Megawati & Herdiyanto (2016); Setyawaty (2015)

menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara perilaku prososial

dengan kesejahteraan psikologis yang berarti semakin tinggi perilaku prososial

semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis remaja.

e. Self-compassion

Penelitian Neff (2004) menunjukkan bahwa self-compassion berasosiasi

sangat signifikan dengan kesehatan mental dan fungsi adaptif. Penelitian Homan

(2016) juga menunjukkan bahwa self-compassion berhubungan positif dan

memiliki hubungan yang unik dengan kesejahteraan psikologis, dan self-

compassion menjadi moderator antara penilaian kesehatan terhadap diri sendiri

dan depresi. Begitu juga dengan penelitian Sun, Chan, & Chan (2016)

menemukan bahwa self-compassion berhubungan positif dengan kesejahteraan

psikologis.

Jadi, faktor-faktor kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1995) adalah

usia, jenis kelamin, tipe kepribadian, budaya, dan status sosial ekonomi.

18

Sedangkan faktor-faktor kesejahteraan psikologis yang diperoleh dari beberapa

peneliti lain adalah dukungan sosial, religiusitas, optimisme, perilaku prososial,

dan self-compassion. Peneliti memilih faktor self-compassion sebagai variabel

bebas dalam penelitian ini. Alasan peneliti memilih self-compassion karena self-

compassion adalah sumber penting kebahagiaan eudaimoni/kesejahteraan

psikologis, yang melibatkan penemuan tujuan dan makna dalam kehidupan

seseorang daripada mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit (Neff &

Knox, 2017). Menurut Neff & Knox (2017) Self-compassion tidak menghindari

rasa sakit melainkan memeluknya dengan cinta kasih dan niat baik, sehingga

menghasilkan rasa kesejahteraan yang berakar pada pengalaman menjadi manusia

sejati.

B. Self-Compassion

1. Pengertian Self-compassion

Definisi self-compassion berhubungan dengan definisi yang lebih umum

yakni compassion itu sendiri (Neff, 2003). Ketika seseorang merasakan belas

kasih pada orang lain, mereka membiarkan diri mereka disentuh oleh pengalaman

penderitaan orang lain. Bila ini terjadi, perasaan kebaikan dan kepedulian akan

kesejahteraan seseorang secara spontan muncul. Compassion melibatkan sikap

terbuka, kesabaran, kebaikan, dan pengertian tanpa menghakimi penderitaan

orang lain, serta mengakui bahwa semua orang tidaklah sempurna dan tentu

pernah membuat kesalahan (Neff, 2003). Self-compassion juga demikian, hanya

saja self-compassion diarahkan ke dalam diri sendiri (Neff, 2003). Neff (2003;

2012; 2016) mendefinisikan bahwa self-compassion adalah bersikap baik dan

19

peduli terhadap diri sendiri ketika mengalami penderitaan, memahami tanpa

menghakimi kekurangan diri dan kegagalan yang dialami, serta mengakui bahwa

kegagalan adalah pengalaman yang juga dialami oleh semua manusia. Germer

(2009) mendefinisikan self-compassion adalah memberikan kebaikan kepada diri

kita sendiri sama seperti yang akan kita berikan kepada orang lain. Menurut

Germer (2009), self-compassion juga berarti bahwa kita merawat diri sendiri sama

seperti kita memperlakukan orang yang kita cintai. Germer (dalam Rananto &

Hidayati, 2017) menjelaskan self-compassion sebagai salah satu bentuk dari

penerimaan yang mengacu pada situasi atau peristiwa yang dialami seseorang

dalam bentuk penerimaan secara emosional dan kognitif.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa

self-compassion adalah bersikap baik dan memahami diri sendiri ketika

mengalami kesulitan, menyadari penderitaan secara tidak berlebihan dan tidak

menghakimi diri sendiri, serta mengakui bahwa penderitaan yang dialami adalah

hal yang juga dirasakan oleh manusia lain pada umumnya. Peneliti memilih

definisi teori yang dikemukakan oleh Neff (2003) karena teorinya lebih lengkap

sehingga peneliti dapat menjelaskan self-compassion secara lebih rinci. Selain itu,

teori ini merupakan konstruk teori yang belum memiliki teori pembanding,

sehingga penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti tentang variabel yang

sama juga menggunakan teori Neff dalam penelitiannya.

20

2. Komponen self-compassion

Self-compassion menurut Neff (2003; 2009; 2012; 2014; 2016) memiliki 3

komponen utama, yakni :

a. Self-kindness vs Self-judgment

Mengacu pada kecenderungan untuk mendukung dan simpatik

terhadap diri kita sendiri ketika melihat kekurangan pribadi daripada

mengkritik dengan kasar (self-judgment) (Neff, 2003). Diri ditawarkan

kehangatan dan penerimaan tanpa syarat daripada menilai diri sendiri

dengan kasar atas kekurangan yang dimiliki, hal ini secara aktif juga

melibatkan menghibur dan menenangkan diri pada saat-saat sulit (Neff,

2016)

b. Common humanity vs Isolation

Common humanity berarti seseorang melihat pengalamannya

sebagai bagian dari pengalaman manusia yang lebih besar daripada

memisahkan dan mengisolasi diri (Neff, 2003). Daripada individu merasa

terisolasi (isolation) oleh ketidaksempurnaan yang secara egosentris

merasa seolah-olah “sayalah” satu-satunya yang telah gagal atau sedang

menderita, lebih baik seseorang mengambil perspektif yang lebih luas dan

lebih terhubung berkenaan dengan kekurangan pribadi dan kesulitan yang

dialami (Neff, 2016). Individu dengan common humanity mengenali dan

menyadari pengalaman bersama manusia, memahami bahwa semua

manusia pernah gagal dan membuat kesalahan, bahwa semua orang

menjalani kehidupan yang tidak sempurna (Neff, 2016).

21

c. Mindfulness vs Over-identification

Mindfulness berarti menahan pikiran dan perasaan yang

menyakitkan dalam kesadaran yang seimbang daripada terlalu

mengidentifikasikan diri (Over-identification) dengan perasaan yang

menyakitkan tersebut (Neff, 2003). Seseorang yang memiliki mindfulness

melihat secara jelas, menerima, dan menghadapi kenyataan tanpa

menghakimi terhadap apa yang terjadi di dalam suatu situasi (Neff, 2003).

Seseorang menyadari penderitaan yang dialami dengan kejernihan dan

keseimbangan, tanpa terperangkap dalam alur cerita yang berlebihan

tentang aspek negatif dari diri sendiri atau pengalaman hidupnya (Neff,

2016).

Jadi, individu yang memiliki self-compassion menurut Neff (2003;

2009; 2012; 2014; 2016) adalah individu yang memiliki self-kindness,

common-humanity, dan mindfulness. Teori Neff merupakan konstruk teori

bagi penelitian-penelitian sebelumnya dan belum ada pembandingnya.

C. Hubungan antara self-compassion dengan kesejahteraan psikologis

Ada bukti yang berkembang bahwa self-compassion adalah sumber

penting kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis (Barnard & Curry dalam Neff

& Costigan, 2014). Neff & Knox (2017) menyatakan bahwa self-compassion

berasosiasi dengan perasaan kepuasan hidup, kebahagiaan, kebijaksanaan,

optimisme, rasa syukur, keingintahuan, kreativitas, dan afek positif. Selain itu,

self-compassion juga berasosiasi dengan kecerdasan emosi yang lebih besar, yakni

bahwa self-compassion merupakan cara yang lebih cerdas untuk berdamai dengan

perasaan yang sulit. Self-compassion adalah sumber penting kebahagiaan

22

eudaimoni/kesejahteraan psikologis, yang melibatkan penemuan tujuan dan

makna dalam kehidupan seseorang daripada mengejar kesenangan dan

menghindari rasa sakit (Neff & Knox, 2017). Menurut Neff (2009) Self-

compassion melibatkan keinginan akan kesehatan dan kesejahteraan diri sendiri,

dan memang demikian terkait dengan inisiatif pribadi yang lebih besar untuk

membuat perubahan yang diperlukan dalam kehidupan seseorang. Karena

individu yang penuh dengan self-compassion tidak mencaci diri saat mereka

gagal, mereka lebih mampu mengakui kesalahan, memodifikasi perilaku tidak

produktif dan mengambil tantangan baru.

Penelitian (Bernard & Curry, 2011; Neely, Diane, Mohammed, Roberts, &

Cheng, 2009; Karakasidou & Stalikas, 2017) membuktikan bahwa self-

compassion berhubungan dengan kesejahteraan. Self-compassion yang tinggi

mewakili faktor psikologis utama untuk kesejahteraan yang lebih baik; self-

compassion sebagai sikap hidup, sebagai kemampuan dan perilaku terpelajar bisa

menjadi alat yang efektif menuju peningkatan kesejahteraan psikologis

(Karakasidou & Stalikas, 2017). Karena self-compassion memperlakukan

pengalaman menyakitkan semua manusia termasuk diri sendiri dengan belas kasih

dan pengertian, itu membantu menjaga integrasi seimbang antara perhatian

terhadap diri sendiri dan orang lain yang oleh para peneliti semakin dikenal

penting untuk fungsi psikologis yang optimal (Deci & Ryan dalam Neff, 2008).

Penelitian (Neff, 2004; Homan, 2016; Sun, Chan, & Chan, 2016) menunjukkan

bahwa self-compassion berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis.

Komponen self-kindness di dalam self-compassion mengacu pada

kecenderungan untuk mendukung dan simpatik terhadap diri kita sendiri ketika

23

melihat kekurangan pribadi daripada mengkritik dengan kasar (Neff, 2003).

Dengan self-kindness, kita membuat penawaran damai berupa kehangatan,

kelembutan, dan simpati dari diri kita terhadap diri kita sendiri, sehingga

penyembuhan yang benar bisa terjadi (Neff & Germer, 2017). Orang dengan self-

kindness cenderung bersikap hangat dan menerima diri mereka sendiri tanpa

syarat (unconditional acceptance) (Neff & Germer, 2017). Dengan demikian

komponen self-kindness ini dapat membantu individu untuk bisa mengalami

penerimaan diri (self-acceptance). Penerimaan diri merupakan kemampuan

seseorang untuk menerima berbagai aspek dalam dirinya termasuk kekurangan

yang dimiliki, yang merupakan salah satu dimensi kesejahteraan psikologis (Ryff,

2014).

Orang dengan self-kindness dapat memahami dan menerima kegagalannya,

bersikap peduli dan membantu dirinya di kala kesusahan (Neff, 2003) yang

menunjukkan individu bersedia terbuka dengan pengalaman-pengalamannya.

Bersedia terbuka dengan pengalaman merupakan ciri dari individu yang mau

bertumbuh (personal growth). Menurut Ryff (2014) orang yang mau bertumbuh

dan berkembang terbuka untuk pengalaman baru, memiliki kemauan untuk

merealisasikan potensinya dan dapat melihat adanya peningkatan dalam dirinya

sendiri (Ryff, 2014).

Komponen common humanity berarti melihat pengalaman diri sendiri

sebagai bagian dari pengalaman manusia umum. Yakni mengakui bahwa semua

orang tidaklah sempurna, mengalami kegagalan, membuat kesalahan, dan

mengalami tantangan hidup (Neff, 2003). Pengakuan akan keterbatasan yang

meningkat dapat menantang perasaan positif terhadap diri (penerimaan diri) dan

24

rasa penentuan nasib sendiri/otonomi seseorang (Homan, 2016). Hal itu

menunjukkan bahwa common humanity memungkinkan individu untuk

meningkatkan kemandirian (autonomy) yang merupakan salah satu dimensi

kesejahteraan psikologis. Individu yang mandiri dapat bersikap dan bertindak

sesuai keputusannya sendiri, mampu bertahan dalam tekanan sosial untuk berpikir

dan bertindak dalam cara-cara tertentu, dan dapat mengevaluasi diri dengan

standar pribadi (Ryff, 2014).

Selain itu, mengakui dan menerima bahwa setiap orang melakukan

kegagalan dan kesalahan membuat individu tidak merasa terisolasi/terasing,

karena individu melihat hal tersebut sebagai bagian dari menjadi manusia pada

umumnya (Neff, 2003). Sehingga common humanity memungkinkan individu

untuk dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain (positive relationship with

others) yang merupakan salah satu dimensi kesejahteraan psikologis. Karena

individu memiliki pengertian akan kegagalan dan penderitaan yang dialami,

memungkinkan individu untuk mengerti juga dengan penderitaan orang lain. Hal

ini dapat membuat individu lebih bersikap memahami orang lain sehingga

hubungannya dengan orang lain terjalin lebih baik. Penelitian Neff (2003)

membuktikan bahwa orang yang memiliki self-compassion dapat bersikap baik

terhadap orang lain sama baiknya terhadap diri sendiri. Neff dan Beretvas (dalam

Neff & Dahm, 2014) juga menemukan bahwa individu yang penuh dengan self-

compassion dideskripsikan oleh pasangan mereka sebagai lebih terhubung secara

emosional, menerima, dan mendukung otonomi sementara kurang terpisah,

kurang mengendalikan, dan secara verbal atau fisik kurang agresif daripada

mereka yang tidak memiliki self-compassion. Demikian pula, penelitian tentang

25

hubungan antara teman sekamar di perguruan tinggi oleh Crocker & Canevello

(dalam Neff & Dahm, 2014) menemukan bahwa siswa dengan self-compassion

memberikan lebih banyak dukungan sosial dan mendorong kepercayaan

interpersonal dengan teman sekamar dibandingkan dengan siswa yang kurang

memiliki self-compassion.

Komponen self-compassion yang lain yakni Mindfulness, merupakan

melihat secara jelas, menerima, dan menghadapi kenyataan tanpa menghakimi

terhadap apa yang terjadi di dalam suatu situasi (Neff, 2003). Baer, dkk (dalam

Savitri & Listiyandini, 2017) mengungkapkan bahwa mindfulness ditemukan

berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian Savitri &

Listiyandini (2017) menunjukan bahwa mindfulness berperan positif secara

signifikan pada setiap dimensi kesejahteraan psikologis pada remaja. Hal itu

berarti mindfulness secara signifikan dapat meningkatkan aspek penerimaan diri,

hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, tujuan hidup, pertumbuhan

pribadi, dan penguasaan lingkungan.

Bishop dkk (dalam Neff & Germer, 2017) menyatakan bahwa mindful

acceptance/penerimaan penuh perhatian melibatkan "pengalaman terbuka"

terhadap realitas saat ini, membiarkan pikiran, emosi, dan sensasi apa pun

memasuki kesadaran tanpa penghakiman, penghindaran, atau penekanan.

Mindfulness mengingatkan akan kecenderungan untuk menghindari pikiran dan

emosi yang menyakitkan, sehingga memungkinkan kita untuk menyaksikan

pengalaman kita bahkan saat tidak menyenangkan (Neff & Germer, 2017).

Penelitian Brown & Ryan (2003) menemukan bahwa praktik mindfulness

26

berhubungan dengan peningkatan kesehatan psikologis dan kesejahteraan

psikologis.

D. Hipotesis

Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada

hubungan yang positif antara self-compassion dengan kesejahteraan psikologis

pada remaja. Semakin tinggi self-compassion yang dimiliki remaja maka akan

semakin tinggi kesejahteraan psikologis pada remaja. Sebaliknya semakin rendah

self-compassion yang dimiliki remaja maka akan semakin rendah kesejahteraan

psikologis pada remaja.