bab ii tinjauan pustaka a. kesejahteraan psikologis 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4940/3/bab...

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Menurut Ryff dan Singer (2008) kesejahteraan psikologis merupakan sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup individu lebih bermakna, serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri selengkap mungkin. Huppert (2009) mendefinisikan kesejahteraan psikologis yaitu kebahagiaan psikologis tentang hidup yang berjalan dengan baik, hal ini merupakan kombinasi dari merasa lebih baik dan berfungsi dengan efektif. Snyder dan Lopez (dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan fungsi optimal dari fungsi psikologis seseorang yang ditandai dengan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup, dan hubungan seseorang pada obyek ataupun orang lain. Selain itu, Nopiando (2012) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi tercapainya kebahagian tanpa adanya gangguan psikologis yang ditandai dengan kemampuan individu mengoptimalkan fungsi psikologisnya. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi dimana individu dapat mengoptimalkan

Upload: others

Post on 18-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff dan Singer (2008) kesejahteraan psikologis merupakan

sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah lakunya

sendiri, dapat memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan

mereka, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup individu lebih bermakna, serta

berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri selengkap mungkin.

Huppert (2009) mendefinisikan kesejahteraan psikologis yaitu kebahagiaan

psikologis tentang hidup yang berjalan dengan baik, hal ini merupakan kombinasi

dari merasa lebih baik dan berfungsi dengan efektif. Snyder dan Lopez (dalam

Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008) mengatakan bahwa kesejahteraan

psikologis merupakan fungsi optimal dari fungsi psikologis seseorang yang

ditandai dengan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi

keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup, dan

hubungan seseorang pada obyek ataupun orang lain. Selain itu, Nopiando (2012)

menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi tercapainya

kebahagian tanpa adanya gangguan psikologis yang ditandai dengan kemampuan

individu mengoptimalkan fungsi psikologisnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa

kesejahteraan psikologis adalah kondisi dimana individu dapat mengoptimalkan

fungsi psikologisnya yang ditandai dengan memiliki sikap yang positif terhadap

diri sendiri dan orang lain, dapat mengatur lingkungannya dengan baik, memiliki

makna dan tujuan hidup, serta berjuang mengembangkan potensi yang dimiliki.

2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff & Singer (2008) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis

dalam enam dimensi yaitu:

a. Penerimaan diri (Self Acceptance)

Penerimaan diri merupakan keadaan dimana individu menghargai diri

sendiri dengan positif dan memiliki kemampuan menerima diri apa adanya

atas keterbatasan yang ada dalam diri. Kemampuan tersebut memungkinkan

seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang

dijalaninya. Hal ini dapat ditunjukkan dari bagaimana individu memerima

kekurangan dari kepribadian, perilaku, sifat maupun fisiknya. Semakin tinggi

individu dapat menerima dirinya maka semakin tinggi pula sikap positif

terhadap diri sendiri, menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik

dan buruk sehingga merasa positif mengenai kehidupan masa lalu. Sebaliknya

semakin rendah penerimaan diri individu maka semakin merasa tidak puas

dengan dirinya, kecewa dengan apa yang sudah terjadi dalam kehidupan masa

lalu, bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu sehingga berharap ingin

berbeda dari diri yang sekarang.

b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation with Others)

Hubungan positif dengan orang lain merupakan kemampuan

membangun dan menjaga hubungan yang baik dan hangat dengan orang lain.

Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan adanya interaksi yang positif dengan

orang lain dan kemampuan untuk memahami orang lain dengan baik. Semakin

besar kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang lain maka akan

memiliki sifat hangat, puas, hubungan yang saling percaya dengan orang lain,

peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi

dan keintiman yang kuat, serta memahami hubungan manusia yang memberi

dan menerima. Sebaliknya individu yang tidak mampu menjalin hubungan

yang baik dengan orang lain maka hanya memiliki sedikit hubungan dekat dan

saling percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk hangat, terbuka, dan

peduli terhadap orang lain, terisolasi dan frustasi dalam hubungan

interpersonal, tidak bersedia melakukan kompromi untuk memelihara

hubungan penting dengan orang lain.

c. Kemandirian (Autonomy)

Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk mengambil

keputusan sendiri tanpa campu tangan orang lain serta memiliki pendirian

tanpa harus memikirkan perbedaan pendapat dari orang lain. Selain itu,

seseorang yang memiliki otonomi yang baik memiliki ketahanan dalam

menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta

mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal bukan tergantung pada

penilaian orang lain terhadap dirinya. Semakin tinggi kemampuan otonomi

individu maka dapat menentukan keputusan sendiri dan mandiri, mampu

menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara

tertentu, mengatur perilaku dari dalam diri, dan dapat mengevaluasi diri

dengan standar pribadi. Sebaliknya semakin rendah kemampuan otonomi

individu maka individu khawatir mengenai harapan dan evaluasi dari orang

lain untuk membuat keputusan penting, dan mengikuti tekanan sosial untuk

berpikir dan bertindak dengan cara tertentu.

d. Penguasaan lingkungan (Environmental Mastery)

Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan yang dimiliki

individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan

kebutuhannya. Individu tersebut mampu menghadapi kejadia-kejadian diluar

dirinya. Keadaan ini dibentuk dengan adanya tanggung jawab individu dalam

kehidupannya di masyarakat. Kemampuan penguasaan lingkungan individu

tinggi apabila memiliki rasa penguasaan dan mampu mengelola lingkungan,

dapat mengendalikan kegiatan eksternal yang rumit, menggunakan

kesempatan dilingkungan sekitarnya dengan efektif, dan mampu memilih atau

menciptakan konteks sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Apabila

kemampuan penguasaan lingkungan individu rendah maka mengalami

kesulitan dalam mengelola urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah

atau memperbaiki konteks dilingkungan sekitarnya, tidak menyadari peluar di

lingkungan sekitarnya, dan kurangnya kesadaran akan kendali atas dunia

eksternal.

e. Tujuan hidup (Purpose of Life)

Tujuan hidup merupakan keadaan dimana individu memiliki konsep

dan arah dalam hidup yang menyatukan usaha dan tantangan yang dihadapi.

Individu yang memiliki tujuan hidup akan lebih mudah melakukan pencapaian

dalam hidupnya karena terdapat tujuan yang jelas yang sudah dirancang

sebelumnya. Apabila individu memiliki tujuan hidup yang tinggi maka akan

memiliki perasaan yang terarah, merasa ada makna dalam kehidupan masa

lalu, masa sekarang dan masa depan, memegang keyakinan yang memberikan

tujuan hidup, dan memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup. Rendahnya tujuan

hidup individu akan berakibat pada kurangnya perasaan kebermaknaan dalam

hidup, hanya memiliki sedikit tujuan atau sasaran, tidak terarah, tidak melihat

tujuan dalam kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau keyakinan

yang memberikan arti hidup.

f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Pertumbuhan pribadi merupakan kemampuan individu untuk

mengembangkan potensi dalam diri. Individu memiliki dinamika

pembelajaran sepanjang hidup dan berkelanjutan untuk mengembangkan

kemampuannya secara berkesinambungan. Seperti memiliki pengalaman-

pengalaman baru yang dijadikan sebagai proses pembelajaran serta

beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terus berkelanjutan dalam

hidup. Individu dengan pengembangan diri yang tinggi akan memiliki

perasaan berkembang secara terus menerus, melihat diri tumbuh dan

berkembang, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi diri sendiri,

berubah dari waktu ke waktu dengan cara mencerminkan bertambahnya

pengetahuan diri dan efektivitas. Sedangkan individu dengan pengembangan

diri rendah maka tidak dapat berkembang pada perbaikan, merasa bosan dan

tidak tertarik dengan kehidupan, dan merasa tidak mampu mengembangkan

berbagai sikap atau perilaku yang baru.

Menurut Ryan dan Deci (2001) aspek-aspek kesejahteraan psikologis adalah

sebagai berikut:

a. Otonomi (Autonomy)

Otonomi merupakan kemampuan membangun kekuatan dalam diri

dan kebebasan personal sehingga individu memiliki pendirian terhadap hal

yang diyakini tanpa harus mengikuti perbedaan pendapat dengan orang lain.

Individu memiliki tujuan yang didukung sendiri, mengejar bermacam-macam

tujuan dengan dilakukan secara efisien.

b. Kompetensi (Competence)

Kompetensi merupakan kemampuan individu melakukan tugas

tertentu karena kesadaran individu terhadap apa yang ada pada dirinya berupa

pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam suatu bidang tertentu.

c. Hubungan (Relatedness)

Hubungan merupakan kemampuan individu menjalin hubungan saling

percaya, hangat dengan orang lain, dan mendukung interpersonal untuk

kesejahteraan. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang

merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk

mencintai orang lain.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang telah diuraikan di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yaitu

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan

lingkungan, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi, dan kompetensi. Dari penjabaran

dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis di atas, peneliti menggunakan dimensi

teori kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff dan Singer (2008)

untuk dijadikan acuan alat ukur, karena dimensi-dimensi tersebut dapat

menjelaskan lebih rinci tentang kesejahteraan psikologis.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut

Ryff & Singer (2008) sebagai berikut:

a. Usia

Perbedaan usia mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ada

perbedaan kesejahteraan psikologis pada tiga kelompok umur yaitu dewasa

muda, dewasa menengah, dan dewasa akhir. Perbedaan kesejahteraan

psikologis pada ketiga kelompok umur tersebut dapat dilihat khususnya pada

dimensi penguasaan lingkungan, dimensi pertumbuhan pribadi, dimensi tujuan

hidup, dan dimensi otonomi. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat

meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Semakin bertambah usia

seseorang, maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh

karena itu, semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik

sesuai dengan keadan dirinya. Dibandingkan dengan individu yang berada

dalam kelas dewasa muda, individu yang berada dalam usia menengah

memiliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dalam dimensi

penguasaan lingkungan dan otonomi. Sedangkan individu yang berada dalam

usia dewasa akhir memiliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih rendah

dalam dimensi keterarahan hidup dan dimensi pertumbuhan pribadi. Satu-

satunya dimensi yang tidak memperhatikan adanya perbedaan seiring dengan

pertumbuhan usia adalah dimensi penerimaan diri.

b. Jenis kelamin

Sejak kecil stereotipe gender telah tertanam dalam diri bahwa anak

laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu

perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif

terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2008). Tidaklah

mengherankan bahwa sifat-sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu

sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung

dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa

untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan

kata lain, wanita lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain

daripada laiki-laki. Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, wanita

menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Sementara

dimensi yang lain yaitu penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan,

tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan.

c. Status sosial ekonomi

Besarnya pendapatan dalam keluarga, tingkat pendidikan,

keberhasilan pekerjaan, status sosial dimasyarakat dapat mempengaruhi

kondisi kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis yang lebih baik

terdapat pada individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan jabatan

yang lebih tinggi dalam pekerjaannya, terutama untuk dimensi tujuan hidup

dan pertumbuhan pribadi. Adanya pendidikan dan status pekerjaan yang baik

memberikan ketahaan dalam menghadapi stress, tantangan dan kesulitan hidup.

Sebaliknya, dengan kurangnya pendidikan dan pekerjaan yang baik

menimbulkan kerentanan terhadap timbulnya gangguan kesejahteraan

psikologis (Papalia, 2008).

d. Budaya

Budaya dan masyarakat terkait dengan norma, nilai dan kebiasaan

yang berada dalam masyarakat. Budaya individualistik dan kolektivistik

memberikan perbedaan dalam kesejahteraan psikologis. Adanya perbedaan

kesejahteraan psikologis antara kebudayaan barat dan timur. Hal ini dibuktikan

memalui penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) melalui sampel warga

Korea (Timur) yang dibandingkan dengan sampel warga Amerika Serikat

(Barat). Warga Korea memiliki peringkat yang tinggi pada hubungan positif

dengan orang lain namun peringkat rendah pada penerimaan diri dan

pengembangan pribadi. Sedangkan, warga Amerika Serikat yang memiliki

budaya Barat pengembangan pribadi dan otonomi menduduki rating tertinggi.

Dimensi yang lebih berorientasi seperti penerimaan diri dan dimensi otonomi

lebih menonjol pada konteks budaya Barat yang lebih bersifat individualistik.

Sedangkan dimensi yang berorientasi seperti hubungan positif dengan orang

lain lebih menonjol pada budaya Timur yang dikenal lebih kolektif dan saling

tergantung. Budaya kolektif dapat membentuk hubungan sosial yang saling

menghargai, saling menghormati, kehangatan, saling percaya sehingga

berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan.

Selain faktor-faktor yang dipaparkan Ryff dan Singer (2008), hasil

penelitian lain juga telah menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi

kesejahteraan psikologis antara lain:

a) Perilaku Prososial

Perilaku prososial merupakan salah satu contoh bentuk perilaku positif

yang dapat memberi kontribusi positif pula dalam perkembangan moral

individu, dan dapat membantu individu memiliki sikap positif terhadap diri

sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku

sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan,

memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan mengembangkan diri selengkap

mungkin selama masa kehidupan yang mengarah pada meningkatnya

kesejahteraan psikologis (Megawati & Herdiyanto, 2016). Perilaku prososial

seperti menolong di dalam keluarga telah dikaitkan dengan tingkat tujuan

hidup, penerimaan diri, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

Sedangkan, perilaku menolong secara umum kepada orang lain telah dikaitkan

dengan tujuan hidup dan penerimaan diri.

b) Optimisme

Khoirunnisa dan Ratnaningsih (2016) menyatakan bahwa mahasiswa

yang memiliki optimisme dapat lebih percaya pada diri dan kemampuan yang

dimiliki dalam menghadapi masalah serta tuntutan akademik. Optimisme akan

mendorong mahasiswa untuk lebih positif dalam memandang masalah, serta

menumbuhkan kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan (adversity

quotient) dan meningkatkan motivasi berprestasi dalam mencapai tujuan.

Individu dengan optimisme yang baik juga akan memiliki penyesuaian diri

yang baik sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan

psikologis.

c) Dukungan Sosial

Rietschlin (dalam Taylor, 2009) memaparkan bahwa dukungan sosial

dapat berasal dari berbagai sumber diantaranya orang yang dicintai seperti

orang tua, pasangan, anak, teman, dan kontak sosial dengan masyarakat.

Dukungan sosial yang merupakan kehadiran orang lain dalam hidup individu

dapat membuat individu tersebut percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan,

dan merupakan bagian dari kelompok sosial (Taylor, 2009). Individu dengan

dukungan sosial yang baik akan merasa nyaman dan merasa diterima oleh

lingkungannya sehingga akan memiliki kesejahteraan psikologis dalam derajat

yang lebih besar (Hardjo & Novita, 2015).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Ryff & Singer (2008) adalah

usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Sedangkan faktor-faktor

yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang diperoleh dari beberapa

peneliti adalah perilaku prososial, optimisme, dan dukungan sosial.

B. Perilaku Prososial

1. Pengertian Perilaku Prososial

Bringham (1991) menyatakan bahwa perilaku prososial yaitu tindakan

yang mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Menurut

Asih dan Pratiwi (2010) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah tindakan

yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa

mempedulikan motif-motif si penolong. Selain itu, menurut Eisenberg dan Musen

(dalam Afrianti & Anggraeni, 2016) mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial

adalah aksi sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan

sekelompok orang atau sekelompok individu. William (dalam Zainuddin &

Hidayat, 2008) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki

intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari

kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.

Selain itu, Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan bahwa perilaku

prososial adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan

sendiri. Perilaku prososial merupakan sebuah tindakan menolong yang

menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu manfaat langsung

kepada orang yang melakukan tindakan menolong tersebut dan bahkan mungkin

memberikan resiko bagi orang yang menolong (Baron, 2006).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku

prososial adalah tindakan sukarela untuk menyokong kesejahteraan orang lain

seperti tindakan menolong dan memberikan manfaat bagi orang lain baik secara

material maupun psikologis tanpa memperhitungkan keuntungan langsung pada

orang yang melakukan perilaku tersebut.

2. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Menurut Bringham (1991) aspek-aspek dari perilaku prososial adalah:

a. Persahabatan

Persahabatan merupakan kesediaan individu untuk ikut merasakan apa

yang dirasakan orang lain dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan

orang lain seperti memberi kesempatan kepada orang lain untuk mencurahkan

isi hatinya. Persahabatan dapat ditunjukkan dalam perilaku saling bercerita

tentang pengalaman hidup, bersedia mendengarkan curahan hati ataupun

peduli dengan permasalahan-permasalahan orang lain. Contohnya meluangkan

waktu untuk mendengar keluh kesah teman.

b. Kerjasama

Kerjasama merupakan kesediaan individu melakukan pekerjaan atau

kegiatan secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan untuk mencapai

tujuan bersama. Kerjasama misalnya diskusi dan mempertimbangkan

pendapat orang lain guna mancapai tujuan bersama. Perilaku ini biasanya

saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong dan menyenangkan.

Kerjasama akan timbul jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai

kepentingan yang sama, mempunyai pengetahuan dan pengendalian terhadap

diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Contohnya

bekerjasama dengan teman kelompok dalam menyelesaikan suatu tugas

tertentu untuk mendapatkan nilai yang bagus.

c. Menolong

Menolong merupakan kesediaan individu untuk membantu orang lain

yang sedang berada dalam kesulitan. Adanya niatan membantu orang lain

dengan cara meringankan beban fisik atau psikologis yang dirasakan orang

tersebut. Perilaku ini dapat berupa kesediaan berbagi dengan orang lain,

memberitahu, menawarkan bantuan terhadap orang lain atau menawarkan

sesuatu yang menunjang keberlangsungannya kegiatan orang lain. Contohnya

membantu teman yang kesulitan memahami pelajaran tertentu.

d. Bertindak jujur

Bertindak jujur merupakan kesediaan individu untuk melakukan

sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang. Perilaku yang ditunjukkan

dengan perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau

mengurangi kenyataan yang ada. Contohnya memberikan kesaksian sesuai

dengan kejadian yang sesungguhnya terjadi.

e. Berderma

Berderma merupakan kesediaan individu untuk bermurah hati kepada

orang lain dengan cara memberikan sesuatu (biasanya berupa uang dan

barang) kepada orang yang membutuhkan atas dasar kesadaran diri. Perilaku

menyumbang ditunjukkan dengan memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh

orang lain yang benar-benar memerlukannya tanpa pamrih. Contohnya

memberikan secara sukarela sebagian barang miliknya kepada korban

bencana.

Menurut Staub (dalam Muryadi & Matulessy, 2012) aspek-aspek perilaku

prososial adalah:

a. Menolong (helping)

Menolong merupakan kegiatan membantu meringankan beban orang

lain dengan melakukan kegiatan fisik bagi orang yang ditolong. Menolong

meliputi membantu orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan kepada

orang lain atau melakukan sesuatu yang menunjang kegiatan orang lain.

Contohnya membantu dosen yang terlihat kerepotan membawa barang.

b. Berbagi perasaan (sharing)

Berbagi perasaan merupakan keadaan individu memberi kesempatan

dan perhatian kepada orang lain untuk mencurahkan isi hatinya atau kesediaan

untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan duka.

Berbagi diberikan bila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada

tindakan, meliputi dukungan verbal dan fisik. Contohnya menyempatkan diri

untuk mendengarkan keluh kesah teman.

c. Menyumbang (donating)

Menyumbang merupakan kesediaaan individu untuk memberikan

secara sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.

Kesediaan untuk membantu dengan pikiran, tenaga maupun materi kepada

orang lain yang membutuhkan. Cohtohnya menyumbangkan uang atau barang

untuk beramal.

d. Peduli atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (caring)

Peduli atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain merupakan

kepedulian individu terhadap permasalahan orang lain dengan adanya

kepekaan mengenai keadaan dengan orang-orang disekitar. Selain itu,

memberi sarana bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan dalam segala

urusan, punya kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan

menghiraukan masalah orang lain. Keadaan ini juga dapat ditunjukkan dalam

bentuk simpati dimana seseorang benar-benar ikut merasakan kesedihan,

kesakitan maupun kesulitan yang dialami oleh orang lain. Contohnya adanya

perasaan sedih melihat teman yang sakit.

e. Kerjasama (cooperating)

Kerjasama merupakan kegiatan bersama orang lain termasuk diskusi

dan mempertimbangkan pendapat orang lain guna mencapai tujuan bersama.

Kerjasaam artinya hubungan antara dua orang atau lebih yang secara positif

saling tergantung berkenan dengan tujuan mereka. Sehingga gerak seseorang

dalam mencapai tujuan cenderung dapat meningkatkan gerak orang lain untuk

mencapainya. Contohnya bekerja secara sungguh-sungguh bersama teman-

teman dalam kelompok belajar.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

perilaku prososial yaitu persahabatan, kerjasama, menolong, bertindak jujur,

berderma, berbagi perasaan, menyumbang, dan peduli atau mempertimbangkan

kesejahteraan orang lain. Peneliti menggunakan aspek-aspek perilaku prososial

yang dikemukakan oleh Bringham (1991) sebagai alat ukur dalam penelitian ini

karena aspek yang diuraikan lebih sesuai dengan teori yang digunakan dalam

menjelaskan perilaku prososial. Aspek-aspek perilaku prososial yang

dikemukakan Bringham (1991) yaitu persahabatan, kerjasama, menolong,

bertindak jujur, dan berderma.

C. Hubungan antara Perilaku Prososial dan Kesejahteraan Psikologis

Ryff dan Singer (2008) mengemukakan 6 dimensi yang dapat

mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang yaitu penerimaan diri,

kemandirian, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan

hidup, dan pertumbuhan pribadi. Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan

seseorang untuk mengembangkan dirinya yang mengarah pada meningkatnya

kesejahteraan psikologis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah perilaku

positif seperti perilaku prososial. Piliavin (dalam Kumar, 2015) menyatakan

bahwa perilaku prososial merupakan salah satu faktor penting dalam

mengembangkan kesejahteraan psikologis.

Menurut Bringham (1991) aspek-aspek perilaku prososial yaitu

persahabatan, kerjasama, menolong, bertindak jujur, dan berderma. Aspek

persahabatan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan

orang lain. Kerjasama, yaitu kesediaan untuk melakukan kegiatan secara bersama-

sama berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama. Aspek menolong,

yaitu kesediaan untuk membantu orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.

Aspek bertindak jujur, kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya,

tidak berbuat curang. Terakhir aspek berderma, yaitu kesediaan untuk bermurah

hati kepada orang lain dengan cara memberikan sesuatu (biasanya berupa uang

dan barang) kepada orang yang membutuhkan atas dasar kesadaran diri.

Helm (dalam Sari, 2012) menyatakan bahwa persahabatan yang berkualitas

sebagai keintiman dalam suatu hubungan ditandai dengan pemberian perhatian

kepada sahabat baik untuk kesejahteraan individu. Persahabatan dalam suatu

hubungan sosial berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan (Ryan & Desi,

2001). Persahabatan akan memunculkan ketulusan, kehangatan, saling percaya,

menghargai dan saling menghormati (Dariyo, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa

perilaku prososial pada aspek persahabatan memberi pengaruh positif terhadap

kesejahteraan psikologis pada aspek hubungan positif dengan orang lain.

Sementara itu, Muss (1988) mengungkapkan bahwa persahabatan yang akrab

dapat membuat remaja merasa tenteram dan merasa dirinya berharga sehingga

dapat meningkatkan kebahagiaan. Merasa berharga menunjukkan bahwa individu

dapat memandang positif dirinya dengan kata lain terpenuhinya aspek penerimaan

diri pada kesejahteraan psikologis. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan

oleh Kumar (2015) mengungkapkan bahwa mahasiswa baru melakukan tindakan

prososial untuk ketertarikan diri, persetujuan orang lain, pujian dan terhindar dari

kritik orang dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku prososial

pada aspek persahabatan memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan

psikologis pada aspek penguasaan lingkungan karena dapat melihat peluang untuk

mendapatkan pujian dari orang lain, dan tujuan hidup karena memiliki pandangan

untuk disetujui dan diterima oleh lingkungannya.

Pada aspek kerjasama, adanya aktivitas yang dilakukan bersama-sama dan

berbagi pengalaman bersama teman dapat meningkatkan kebahagiaan pada

individu (Demir & Weitekamp, 2007). Individu bekerjasama dengan orang lain

demi tercapainya suatu tujuan bersama membuat individu saling bersinergi, saling

percaya, dan membangun hubungan saling ketergantungan satu dengan yang lain.

Dengan demikian akan membawa individu pada hubungan yang positif dengan

orang lain. Dalam pencapaian tujuan bersama, individu akan berupaya

merealisasikan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu mengembangkan

pertumbuhan diri selengkap mungkin dan memiliki tujuan dalam hidupnya.

Papalia, Olds, dan Feldman (2008) menyatakan bahwa individu yang memiliki

tujuan hidup yang bermakna akan berjuang menjelajahi dan mengembangkan diri

selengkap mungkin. Apabila individu berhasil menuntaskan tugas-tugasnya,

maka akan menimbulkan fase bahagia, bangga, puas akan pencapaian yang telah

dilakukan sehingga menimbulkan penilaian positif pada diri sendiri yang

mengarah pada aspek penerimaan diri dan membawa ke arah keberhasilan dalam

melaksanakan tugas-tugas berikutnya (Havighurst, dalam Ali & Asrori, 2012).

Pada aspek menolong, Kumar (2015) menyatakan bahwa kecenderungan

menolong pada perilaku prososial memberikan pengaruh untuk kesejahteraan

psikologis. kesediaan individu untuk menolong orang lain yang sedang berada

dalam kesulitan karena mampu merasakan penderitaan orang lain. Orang yang

melakukan tindakan menolong karena mengetahui bahkan mungkin mampu

merasakan kebutuhan, keinginan, perasaan, dan penderitaan orang lain (Desmita,

2017). Mampu merasakan penderitaan orang lain akan memunculkan belas kasih

dan toleransi hidup terhadap sesama hingga menciptakan hubungan yang hangat

dengan orang lain. Selain itu, menolong orang lain dari kondisi buruk yang

dialami membuat individu sadar akan tuntutan hidup yang lebih tinggi yakni

mencapai perbaikan kualitas hidup. Pentingnya berbagi dipertimbangkan menjadi

salah satu aspek tertinggi dari kualitas kehidupan (Desmita, 2017). Dalam

mencapai kualitas hidup yang lebih baik, hidup individu menjadi terarah atau

memiliki tujuan hidup. Dalam mencapai tujuan hidup, individu mengembangkan

diri selengkap mungkin dengan potensi yang dimilikinya sehingga terjadi

pertumbuhan pribadi.

Setelah melakukan tindakan menolong, individu akan merasa bahagia,

bangga, dan puas pada diri karena dapat berguna bagi orang lain. Putra dan

Rustika (2015) menyatakan bahwa setelah memberikan pertolongan orang akan

merasa bangga akan apa yang telah dilakukan sehingga terjadi perubahan

penilaian diri. Penelitian yang dilakukan oleh Sarwono dan Meinarno (2009)

menyatakan bahwa orang dapat merasa lebih baik setelah memberikan

pertolongan. Perasaan bangga dan merasa lebih baik karena dapat berguna bagi

orang lain akan memunculkan penilaian positif pada diri sendiri yang mengarah

pada penerimaan diri individu. Selain itu, adanya pengamatan terhadap

permasalahan yang dialami orang lain akan memberikan pengalaman hidup bagi

penolong. Tingkah laku manusia dijelaskan sebagai hasil proses belajar terhadap

lingkungan (Sarwono & Meinarno, 2009). Individu belajar dari pengalaman orang

lain sehingga jika individu mengalami situasi yang sama maka dirinya dapat

mengetahui tindakan yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah-masalah

yang terjadi dilingkungannya. Hal tersebut berpengaruh pada kemampuan

individu dalam mengatasi masalahnya sendiri yang mengarah pada kemampuan

otonomi dan kemampuan penguasaan lingkungan sesuai dengan kebutuhannya.

Aspek selanjutnya yaitu bertindak jujur. Bertindak jujur artinya individu

merasa bertanggung jawab dalam merespon lingkungannya. Individu

berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan (Staub dalam Dayakisni &

Hudaniah, 2006) Kesediaan individu untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya

tanpa berbuat curang membuat individu bertindak secara sadar. Apabila individu

bertindak secara sadar maka akan mampu untuk menguasai dan mengendalikan

diri dengan lingkungan sekitarnya (Savitri & Listiyandini, 2017). Memiliki

tindakan yang baik seperti bertindak jujur membuat individu merasa bangga dapat

menjalani hidup dengan jujur yang mengarah pada pandangan positif pada diri

sendiri. Selain itu, bertindak jujur membuat individu menghargai kehidupannya

dan menyadari pentingnya perbaikan kualitas kehidupan sehingga dituntut untuk

dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki untuk pencapaian menjadi

pribadi yang lebih baik.

Aspek terakhir yakni berderma merupakan kemurahan hati individu untuk

memberikan secara sukarela sebagian barang yang dimiliki kepada orang yang

membutuhkan. Seseorang berbuat seimbang antara memberi dan menerima

didalam sebuah hubungan sosial (Sarwono & Meinarno, 2009). Memberi tanpa

mengharapkan balasan akan membuat individu merasa berguna bagi orang lain

sehingga menimbulkan pandangan yang positif bagi dirinya sendiri. Perilaku

individu tergantung pada caranya mengamati situasi sosial (Sarwono & Meinarno,

2009). Adanya perhatian dan pengamatan terhadap kesulitan yang dialami orang

lain membuat individu memiliki kemauan untuk memberikan bantuan dapat

mengembangkan kemampuan penguasaan lingkungan individu tersebut. Aspek

penguasaan lingkungan juga terpenuhi karena kepekaan dan kepedulian pemberi

bantuan terhadap lingkungannya yang membutuhkan bantuan. Selain itu, fokus

membantu orang lain keluar dari kondisi buruk yang dialami membuat individu

sadar akan tuntutan hidup yang lebih tinggi yakni mencapai perbaikan kualitas

hidup. Pentingnya berbagi dipertimbangkan menjadi salah satu aspek tertinggi

dari kualitas kehidupan (Desmita, 2017). Dalam mencapai kualitas hidup yang

lebih baik, hidup individu menjadi terarah atau memiliki tujuan hidup. Dalam

mencapai tujuan hidup, individu mengembangkan diri selengkap mungkin dengan

potensi yang dimilikinya sehingga terjadi pertumbuhan pribadi.

Hasil penelitian Megawati dan Herdiyanto (2016) mengenai “Hubungan

antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja” dengan

subjek penelitian adalah 214 remaja berusia 15-17 tahun menunjukkan terdapat

hubungan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being,

sumbangan efektif yang diberikan perilaku prososial terhadap psychological well-

being adalah sebesar 37,2% dan sisanya sebesar 62,8% disebabkan oleh faktor-

faktor lain. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyawati (2015)

mengenai “Hubungan antara perilaku prososial dengan kesejahteraan psikologis

(psychological well-being) pada siswa kelas XI di SMK Muhammadiyah 2

Yogyakarta” dengan subjek penelitian 110 siswa menunjukkan bahwa ada

hubungan positif antara perilaku prososial dengan kesejahteraan psikologis,

variabel perilaku prososial memberikan kontribusi pada kesejahteraan psikologis

sebesar 43,6% sedangkan 56,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Penelitian lain yaitu dilakukan oleh Annisa (2014) tentang “Hubungan

antara perilaku psososial dengan psychological well-being pada mahasiswa

tingkat awal” dengan subjek penelitian yaitu 96 mahasiswa tingkat awal jurusan

psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, hasil penelitian menunjukkan

bahwa ada hubungan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-

being pada mahasiswa tingkat awal dengan koefisien korelasi r sebesar 0,476.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Rustika (2017) tentang “Peran

pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan

psikologis pada remaja akhir di program studi pendidikan dokter gigi fakultas

kedokteran Universitas Udaya” dengan subjek penelitian 129 remaja akhir

menunjukkan hasil bahwa sumbangan efektif variabel pola asuh autoritatif, efikasi

diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis sebesar 66,6 %,

sisianya 33,4% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Variabel perilaku

prososial memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,178 dengan nilai t

sebesar 2,805, menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku prososial

terhadap kesejahteraan psikologis.

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif antara perilaku

prososial dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa. Semakin tinggi

perilaku prososial, maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis pada mahasiswa.

Demikian pula sebaliknya, semakin rendah perilaku prososial, maka semakin

rendah kesejahteraan psikologis pada mahasiswa.