bab ii tinjauan pustaka a. kesejahteraan psikologis 1
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Schultz (1991) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai fungsi
positif individu, dimana fungsi positif individu merupakan arah atau tujuan
yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat. Sama halnya dengan
yang diungkapkan oleh Ryff dan Keyes (1995) bahwa kesejahteraan psikologis
tidak hanya terdiri dari efek positif, efek negatif, dan kepuasan hidup,
melainkan paling baik dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensional
yang terdiri dari sikap hidup yang terkait dengan dimensi kesejahteraan
psikologis itu sendiri yaitu mampu merealisasikan potensi diri secara kontinu,
mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki
kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya,
memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.
Snyder dan Lopez (2002) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis
bukan hanya ketiadaan beban, namun kesejahteraan psikologis juga meliputi
keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup, serta hubungan
seseorang dalam obyek ataupun orang lain. Kesejahteraan psikologis
merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis individu, serta
merupakan suatu situasi dimana individu dapat menerima kelebihan dan
kekurangan diri secara apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan
20
relasi positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu
mengendalikan lingkungan serta dapat terus tumbuh secara personal (Ryff,
1989). Huppert (2009) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan kehidupan yang berjalan dengan baik serta merupakan
penggabungan dari perasaan yang positif yang dapat berfungsi secara efektif.
Berdasarkan pemaparan beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesejahteraan psikologis merupakan situasi dimana individu merasakan
perasaan yang bersifat positif dan telah menerima segala sesuatu yang dimiliki.
Hal tersebut juga meliputi perasaan bahagia karena telah memiliki tujuan hidup
yang jelas dan pertumbuhan pribadi yang maksimal.
2. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis
Ryff (1998) mendefinisikan 6 aspek yang membentuk kesejahteraan
psikologis, yaitu:
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Aspek ini merupakan karakteristik utama dari kesejahteraan psikologis
yang menekankan pada penerimaan diri individu terhadap pengalaman di
masa lalu, baik pengalaman pribadi maupun orang lain (Ryff & Singer,
1996). Individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mampu
mengakui dan menerima berbagai aspek dalam kehidupannya bahkan yang
bersifat kurang menyenangkan serta dapat memandang masa lalu sebagai
sesuatu yang positif merupakan indikator individu tersebut memiliki
penerimaan diri yang tinggi. Sebaliknya, individu yang memiliki
penerimaan diri yang rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, merasa
21
kecewa atas apa yang terjadi pada kehidupannya di masa lalu serta memiliki
perasaan ingin menjadi orang lain.
b. Tujuan hidup (purpose in life)
Individu yang memiliki tujuan dalam hidupnya akan merasa bahwa
kehidupan yang dijalaninya memiliki sebuah makna, merasa bahwa
kehidupan sekarang dan masa lalunya memberikan pelajaran yang berarti.
Sementara itu, individu yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, tidak
memiliki cita-cita, serta tidak memiliki keyakinan merasa bahwa
kehidupannya tidaklah berarti dan bermakna.
c. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others)
Aspek ini menekankan pada pentingnya keakraban dalam hubungan
interpersonal dimana kemampuan untuk menyayangi dipandang sebagai
salah satu karakteristik dari kesehatan mental (Ryff & Singer, 1996).
Individu yang menjalin hubungan hangat dengan orang lain, mampu
menunjukkan rasa empati dan keprihatinan terhadap kesejahteraan orang
lain, serta mampu membangun keintiman yang kuat merupakan indikator
bahwa individu tersebut memiliki hubungan yang positif dengan orang lain.
Sebaliknya, individu yang tidak mampu menjalin hubungan dengan dengan
orang lain merasa sulit untuk terbuka, hangat, dan peduli kepada orang lain
serta tidak dapat berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan
orang lain.
d. Pertumbuhan personal (personal growth)
22
Individu dengan personal growth yang baik akan mampu terbuka dengan
pengalaman baru, memiliki kesadaran atas potensi yang dimilikinya serta
mampu melakukan perbaikan-perbaikan dalam perilaku dan kehidupannya.
Sementara itu, individu yang mudah merasa bosan, tidak melakukan
perbaikan-perbaikan dalam hidupnya, serta tidak mampu mengembangkan
sikap atau perilaku yang baru merupakan individu yang memiliki personal
growth yang rendah.
e. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Environmental mastery menekankan pada kemampuan individu dalam
menciptakan dan menguasai lingkungan yang sesuai dengan kondisi
psikologisnya. Individu memiliki penguasaan lingkungan yang baik apabila
mampu mengelola dan mengendalikan lingkungan sosialnya, mampu
memanfaatkan peluang di sekitarnya secara efektif serta mampu mengontrol
aktivitas-aktivitas eksternal yang bersifat kompleks. Sebaliknya, individu
yang memiliki kesulitan dalam mengelola kebutuhan sehari-hari, kurang
mampu menyadari berbagai kesempatan yang ada di sekitarnya, serta
kurang memiliki kendali terhadap dunia luar pada umumnya memiliki
pengendalian lingkungan yang kurang baik.
f. Kemandirian (autonomy)
Autonomy adalah aspek yang menekankan pada kualitas individu dalam
menentukan nasibnya sendiri, kebebasan, pengaturan perilaku, memiliki
tujuan hidup serta mandiri. Individu yang memiliki autonomy tinggi akan
menjadi pribadi yang dapat menentukan nasibnya sendiri, dapat bertahan
23
dari tekanan di lingkungan sekitar dan dapat membuat suatu keputusan
tanpa pertimbangan dari orang lain. Sementara itu, individu yang memiiki
autonomy rendah mudah untuk bergantung kepada orang lain dalam
membuat keputusan serta membutuhkan penilaian orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis terbentuk atas enam aspek yaitu self-acceptance, purpose in life,
positive relation with others, personal growth, environmental mastery,
autonomy. Jika individu mampu memenuhi keenam aspek di atas, maka
individu tersebut memiliki kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki
skor tinggi pada keenam aspek tersebut akan memiliki kesejahteraan psikologis
yang baik
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Ryff
dan Keyes (1995), yaitu:
a. Faktor demografis
Faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
individu diantaranya usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial sering diartikan sebagai perasaan nyaman, perhatian,
penghargaan atau pertolongan yang dipersepsikan oleh individu dari
berbagai sumber diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter
atau bahkan organisasi sosial.
c. Evaluasi terhadap pengalaman hidup
24
Pengalaman dalam hidup yang mencakup berbagai bidang dan periode
selama proses kehidupanya.
d. Locus of control
Diartikan sebagai keyakinan individu mengenai pengendalian terhadap
penguatan (reinforcement) yang berasal dari tindakan sendiri atau
bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain diluar kendali
individu tersebut.
Menurut Snyder dan Lopez (2002) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis, yaitu:
a. Kesehatan
Kesejahteraan psikologis merupakan salah satu indicator kesehatan
mental, dan kesehatan mental berkaitan dengan kesehatan fisik individu.
Ketika individu mengalami permasalahan dalam hal kardiovaskular,
metabolisme, saraf, otak, dan imun, maka hal tersebut tidak hanya
mempengaruhi individu secara fisik, melainkan secara psikologis.
Munculnya perasaan tidak berharga, tidak percaya diri, menarik diri dari
lingkungan sosial, bahkan kehilangan tujuan hidup merupakan indikator
terganggunya kesejahteraan psikologis individu.
b. Kualitas hubungan dengan orang lain
Hubungan yang baik dengan orang lain merupakan salah satu syarat
penting untuk memenuhi kehidupan yang optimal, sedangkan hubungan
25
sosial yang kurang baik merupakan salah satu permasalahan yang dapat
menyebabkan kesejahteraan psikologis individu terganggu.
c. Stres kronis dan berulang
Paparan situasi yang penuh tekanan dan tuntutan secara terus menerus
akan memunculkan stres kronis pada individu. Stres kronis yang tidak dapat
di atasi akan menyebabkan kelelahan (allostatic load). Survey yang
dilakukakn kepada 57 pria dan 49 wanita menunjukkan bahwa subjek yang
memenuhi seluruh aspek kesejahteraan psikologis memiliki allostatic load
yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak
memenuhi seluruh aspek kesejahteraan psikologis.
Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan oleh Ryff dan Keyes (1995)
serta Snyder dan Lopez (2002), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh
faktor yang mepengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ketujuh faktor
tersebut mempengaruhi tinggi rendahnya kesejahteraan psikologis pada
individu. Faktor-faktor di atas juga memberikan kontribusi dalam perubahan
kesejahteraan psikologis pada individu sepanjang proses kehidupannya.
B. Manajemen Stres
1. Definisi Stres
Stres merupakan keadaan disaat individu merasa tegang dan tidak nyaman
yang disebabkan oleh ketidakmampuan dalam mengatasi berbagai tuntutan
26
yang ada di lingkungannya. Stres tidak hanya merupakan suatu respon dan
stimulus tetapi melebihi sebuah proses yaitu individu sebagai perantara yang
dapat mempengaruhi stresor melalui perilaku, pikiran, dan strategi emosional
(Sarafino & Smith, 2012). Stres merupakan pengalaman mengenai emosi
negatif seseorang yang disertai dengan perubahan secara biokimia, fisiologis,
kognitif, serta perubahan perilaku yang dapat disebabkan oleh situasi-situasi
yang menekan dan membuat stres (Taylor, 2009).
Selye (Brannon & Feist, 2010) terkenal sebagai peneliti yang meneliti dan
mengemukakan bahwa stres merupakan suatu sindrom yang bersifat biologis
atau jasmaniah. Selain itu, Selye juga memberikan penekanan bahwa stres
merupakan suatu reaksi penyesuaian diri terhadap stimulus yang berbeda-beda.
Smet (1994) menyebutkan bahwa stres dapat menyebabkan penyimpangan
fisiologis, seperti asma, penyakit kepala kronis, rematik artritis, dan beberapa
penyakit kulit. Penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, jantung koroner
bahkan kanker juga dapat disebabkan oleh stres.
Stres merupakan emosi negatif yang diperoleh dari perubahan biokimia,
kognitif, fisiologis serta behavioral yang bertujuan untuk mengubah peristiwa
stressfull dan mengakomodasi akibat yang ditimbulkan. Ketika dalam kondisi
stres, tubuh memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk pertahanan
diri (Lukaningsih & Bandiyah, 2011).
2. Definisi Manajemen Stres
Manajemen stres merupakan salah satu upaya untuk mengelola stres yang
dilakukan melalui suatu pelatihan (Taylor, 2009). Menurut Surwit, dkk (2002)
27
manajemen stres merupakan bentuk pelatihan yang biasanya melibatkan
Progressive Muscle Relaxation (PMR), mental imagery, diaphragmatic
breathing, dan psikoedukasi mengenai cara memodifikasi respon terhadap stres
baik secara fisiologis, kognitif, dan perilaku. Quick dan Cooper (Saraei,
Hatami & Bagheri, 2016) mengemukakan bahwa manajemen stres merupakan
serangkaian teknik atau metode yang digunakan untuk mengurangi stres pada
individu serta meningkatkan kemampuan untuk mengatasi situasi-situasi yang
menekan.
Smet (1994) mengatakan bahwa manajemen stres berfokus pada
berkurangnya reaksi stres. Teknik-teknik yang digunakan dalam manajemen
stres antara lain relaksasi, biofeedback, restrukturisasi kognitif, stress-
inoculation training, meditasi, dan hipnosa. Individu juga dapat belajar
mengenai penggunaan gaya koping yang lebih sesuai dengan situasi yang
sedang dihadapi. Manajemen stres dapat digunakan untuk mengurangi risiko
penyakit jantung dengan mengubah faktor risikonya seperti kepribadian tipe A
dan hipertensi. Hal itu juga dapat digunakan untuk mengontrol stres sehingga
tidak menyebabkan bahaya dan tidak bersifat mengancam.
Evers, dkk (2006) mengemukakan bahwa pada umumnya perlakuan
manajemen stres meliputi 3 bentuk, yaitu :
1. Primary intervention yaitu perlakuan yang dapat mengubah kondisi
lingkungan, seperti tuntutan pekerjaan yang dapat mengakibatkan stres.
2. Secondary intervention yaitu program yang dirancang untuk membantu
individu menerapkan perilaku manajemen stres secara lebih efektif, seperti
28
relaksasi, olahraga, meditasi, dan cognitive reframing. Perlakuan inilah
yang paling sering digunakan untuk membantu individu dalam mengelola
stres agar menjadi lebih efektif.
3. Tertiary intervention yaitu perlakuan yang dirancang untuk individu yang
mengalami gangguan klinis, seperti kecemasan, depresi, atau
penyalahgunaan obat. Bentuk dari perlakuan tersier ini berupa konseling
dan psikoterapi.
Pelatihan manajemen stres juga meliputi beberapa teknik, yaitu relaksasi
yoga, relaksasi otot, latihan pernafasan, meditasi dan mental imagery
(Daubenmier dkk, 2007). Teknik-teknik dalam manajemen stres memiliki cara
yang berbeda dalam mengontrol dan meminimalisir stres. Teknik pelatihan ini
menyesuaikan kondisi serta kebutuhan pada masing-masing individu.
3. Pelatihan Manajemen Stres
Taylor (2009) menjelaskan bahwa pelatihan manajemen stres terdiri atas
delapan tahapan, yaitu :
a. Identifying stressors (Identifikasi stresor)
Pada tahap ini, para peserta diberikan pemahaman mengenai apa itu stres
dan bagaimana dampak stres tersebut terhadap individu. Selain itu, mereka
juga akan melakukan proses identifikasi untuk mengetahui kondisi-kondisi
tertentu yang dapat memunculkan stres. Para peserta diharapkan dapat
memahami bahwa stres bukanlah sebuah faktor yang menyatu pada suatu
29
peristiwa, melainkan sebuah proses penilaian psikologis. Hal tersebut
terjadi karena penyebab stres pada setiap individu dapat berbeda.
b. Monitoring stress (Memantau stres)
Para peserta dilatih untuk mengamati respon-respon yang muncul ketika
dalam keadaan yang membuatnya stres. Selanjutnya, mereka juga diminta
untuk menuliskan berbagai macam respon baik secara fisik, emosional, dan
perilaku saat mereka mengalami stres tersebut.
c. Identifying stress antecedents (Identifikasi penyebab stres)
Tahap ini menuntut peserta untuk memikirkan dan fokus pada perasaan
sebelum terjadinya peristiwa yang menyebabkan stres. Ketika para peserta
memahami dengan tepat kondisi yang dapat memicu stres, maka akan lebih
mudah dalam mengidentifikasi dan menemukan titik permasalahan mereka
sendiri.
d. Avoiding negative self-talk (Menghindari berbicara negatif terhadap diri
sendiri)
Pikiran-pikiran negatif dan negative self-talk memberikan kontribusi
terhadap perasaan-perasaan tidak rasional yang dapat menyebabkan
kemunculan stres. Para peserta diminta untuk mengakui dan mengingat
pikiran-pikiran negatif dan negative self-talk yang biasa dilakukan ketika
berada dalam kondisi tertekan serta diharapkan bisa melawannya.
e. Completing take-home assignment (Menyelesaikan tugas rumah)
30
Para peserta pelatihan diberi tugas rumah berupa worksheet kemudian
peserta diminta untuk menuliskan kondisi-kondisi menekan yang dapat
memunculkan stres. Peserta juga diminta untuk menuliskan penyebab stres
baik yang bersumber dari pikiran-pikiran negatif maupun negative self-talk.
Fasilitator juga mengharapkan agar para peserta dapat mempraktekkan
avoiding negative self-talk yang telah dipelajari pada sesi sebelumnya.
f. Acquiring skills (Memperoleh keterampilan baru)
Para peserta pada tahap ini diajak untuk melaksanakan teknik
manajemen stres yang adaptif. Teknik tersebut dipilih dan disesuaikan
dengan kebutuhan serta kondisi yang dialami para peserta.
g. Setting new goals (Membuat tujuan baru)
Pada tahap ini, para peserta diminta untuk menuliskan tujuan secara
spesifik mengenai penurunan stres serta menuliskan perilaku yang spesifik
agar terpenuhinya tujuan tersebut. Para peserta juga diajak untuk melakukan
analisis tentang urgensi dilaksanakannya manajemen stres demi tercapainya
tujuan tersebut.
h. Engaging in positive self-talk and self-instruction (Terlibat dalam
pembicaraan yang positif pada diri sendiri dan memberikan instruksi pada
diri sendiri)
Tahap terakhir adalah melakukan positive self-talk dan self-instruction
dimana sebelumnya para peserta telah menuliskan perilaku spesifik yang
harus dilakukan guna mencapai tujuan akhir yaitu menurunkan stres.
Positive self-talk dan self-instruction akan membantu para peserta untuk
31
mengendalikan stres yang dialaminya agar tidak berlanjut menjadi stres
kronis.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada proses
manajemen stres, individu dibimbing untuk dapat menghadapi serta
mengendalikan stres melalui proses kognitif dan perilaku. Proses kognitif yang
diberikan berupa psikoedukasi serta pengubahan pikiran-pikiran yang negatif
agar menjadi semakin positif. Di sisi lain, individu juga mendapatkan pelatihan
keterampilan baru yang dapat dilakukan untuk menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan dan menimbulkan stres.
C. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki tekanan
darah yang tinggi secara konsisten dalam jangka waktu beberapa minggu
ataupun lebih dan menjadi faktor risiko utama untuk penyakit jantung koroner,
stroke dan gagal ginjal (Sarafino & Smith, 2012). Hipertensi terjadi ketika
suplai darah yang melalui pembuluh darah terlalu berlebihan, sehingga ketika
darah yang keluar dari jantung terlalu banyak maka akan menekan pembuluh
darah dan mengakibatkan aliran darah meningkat (Taylor, 2009). Selain itu,
hipertensi juga dapat terjadi akibat adanya peningkatan tekanan darah yang
dipompa keseluruh tubuh berada di atas batas normal. Peningkatan tekanan
darah tersebut ditunjukkan oleh angka sistolik dan diastolik. Tekanan darah
dianggap normal apabila angka sistolik dan diastoliknya kurang dari 135/85
32
mmHg, sedangkan dikatakan hipertensi jika melebihi angka 140/90 mmHg
(Wahdah, 2011).
Secara umum, angka normal tekanan darah seseorang jika dilihat dari tinggi
badan, berat badan, tingkat aktivitas serta kesehatan adalah 120/80 mmHg.
Ketika seseorang melakukan aktivitas sehari-hari, tekanan darahnya akan stabil
pada kisaran normal, tetapi ketika seseorang tidur dan diukur tekanan darahnya
maka akan mengalami penurunan. Sebaliknya, jika seseorang berolahraga atau
melakukan aktivitas yang berlebihan, maka tekanan darah akan mengalami
peningkatan (Rudianto, 2013).
Rudianto (2013) menyebutkan bahwa seseorang dengan tekanan darah
tinggi harus rutin melakukan check up kesehatan untuk menghindari kasus-
kasus yang lebih serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah
yang tinggi dan dibiarkan terus menerus menyebabkan jantung bekerja dengan
keras sehingga akan mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah di daerah
jantung, ginjal, otak serta mata.
2. Jenis-jenis Hipertensi
Wahdah (2011) mengklasifikasikan hipertensi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer merupakan salah satu jenis hipertensi yang tidak
diketahui jelas penyebabnya, tetapi ada kemungkinan dipengaruhi oleh
faktor keturunan atau genetik (Adib, 2009). Penyakit ini biasanya
disebabkan oleh faktor-faktor yang saling berkaitan yaitu bukan faktor
tunggal atau khusus serta memiliki populasi kira-kira 90% dari seluruh
33
pasien hipertensi (Wahdah, 2011). Gaya hidup seseorang dan faktor
lingkungan juga dapat menyebabkan terjadinya hipertensi primer ini
(Rudianto, 2013).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit-penyakit lain seperti
kerusakan ginjal, diabetes, kerusakan vaskuler. Menyumbang 10% dari
seluruh populasi pasien hipertensi (Wahdah, 2011). Rudianto (2013)
mengemukakan bahwa hipertensi sekunder merupakan kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan darah tinggi yang diakibatkan oleh penyakit lain
seperti gagal jantung, gagal ginjal, maupun kerusakan sistem hormon
didalam tubuh.
D. Pengaruh Pelatihan Manajemen Stres terhadap Kesejahteraan Psikologis
pada Pasien Hipertensi
Hipertensi atau biasa disebut dengan tekanan darah tinggi merupakan salah
satu penyakit kardiovaskuler yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh
darah sehingga aliran darah menjadi tidak teratur serta menimbulkan tekanan
yang besar pada pembuluh darah (Shadine, 2010). Penyakit hipertensi adalah
suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah di atas normal yang
ditunjukkan oleh angka sistolik dan diastolik pada pemeriksaan tekanan darah
menggunakan sphygmomanometer (Rudianto, 2013). Rahmanita (2016)
berpendapat bahwa pasien hipertensi tidak menyadari dan tidak merasakan
34
tanda-tanda kedatangan penyakit tersebut. Hipertensi dapat menjadi ancaman
tersendiri bagi para pasiennya karena kemunculannya yang tiba-tiba.
Rudianto (2013) menyebutkan kebanyakan pasien hipertensi tidak
mengetahui bahwa pasien tersebut mengidap penyakit hipertensi sebelum
memeriksakan tekanan darahnya. Hal tersebut menjadikan hipertensi
dikategorikan sebagai the silent disease. Penyakit hipertensi bila dibiarkan
terus menerus dapat memicu penyakit lain seperti stroke, serangan jantung,
gagal jantung, serta merupakan penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik
bahkan hingga menyebabkan kematian.
Muchlas (Kumala, Kusprayogi & Nashori, 2017) menjelaskan bahwa
pasien hipertensi atau penyakit kardiovaskular lainnya secara subjektif merasa
bahwa penyakitnya akan sulit disembuhkan serta memerlukan waktu
pengobatan yang lama bahkan seumur hidupnya selalu bergantung pada obat,
sehingga menimbulkan stres dalam kehidupannya. Stres memiliki pengaruh
yang kurang baik terhadap fungsi kekebalan tubuh sehingga dapat
memunculkan berbagai penyakit fisik, diantaranya asma, hipertensi, dan sakit
kepala akut (Fausiah & Widury, 2008)
Wang dkk (2008) menyebutkan bahwa kemunculan dan kambuhnya suatu
penyakit kronis secara intens akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis
dan sosial bagi para pasiennya. Perubahan yang terjadi secara psikologi pada
pasien penyakit kronis meliputi perasaan tidak percaya diri, malu, menjaga
jarak bahkan menarik diri dari lingkungan sosial, atau semakin menurunnya
semangat hidup merupakan beberapa indikator menurunnya kesejahteraan
35
psikologis. Sujana, Wahyuningsih dan Uyun (2015) menyebutkan bahwa
kesehatan fisik individu akan berpengaruh juga pada kesejahteraan psikologis
individu tersebut. Apabila kesehatan fisik individu dalam keadaan yang kurang
baik, maka akan menimbulkan perasaan sedih, hilang semangat akan masa
depan, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri.
Selain kondisi fisik dan psikologis, pikiran atau kognitif juga merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis salah satunya yaitu
stres (Putrikita, 2018). Stres dapat menurunkan tingkat kesejahteraan
psikologis individu. Snyder dan Lopez (2002) menjelaskan bahwa menurunnya
kesejahteraan psikologis disebabkan oleh stres kronis dan berulang sehingga
memunculkan kelelahan pada individu. Oleh karena itu, stres perlu
dikendalikan dengan tepat agar dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis
pada individu.
Nevid, Rathus dan Greene, (2005) mengemukakan bahwa stres
disebabkkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor kognitif.
Putrikita (2018) menyebutkan bahwa pelatihan manajemen stres perlu
dilakukan untuk mengendalikan stres karena teknik ini berbasis cognitive
behavioral therapy yang mengendalikan stres melalui kognitif individu serta
memunculkan perilaku adaptif yang sesuai untuk menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan dan menimbulkan stres. Pelatihan ini diharapkan mampu
mengendalikan stres individu melalui pikiran-pikiran dan perilakunya
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada individu.
36
Menurut Taylor (2009), pelatihan manajemen stres melatih individu untuk
mengolah dan mengendalikan stres secara kognitif. Smet (1994) menjelaskan
bahwa manajemen stres berfokus pada reduksi reaksi stres sehingga mampu
mengurangi risiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi. Terdapat delapan
tahapan dalam melakukan teknik manajemen stres (Taylor, 2009). Pertama
mengidentifikasi stresor (identifying stressor), yaitu pemberian edukasi
mengenai stres dan dampaknya bagi tubuh. Taylor (2009) mengemukakan
bahwa pemberian edukasi tersebut merupakan langkah awal bagi para pasien
hipertensi untuk mengubah pola pikir agar menjadi lebih positif. Pemberian
edukasi bertujuan untuk membuka wawasan dan pikiran individu sehingga
menjadi lebih terbuka. Ryff dan Singer (1995) mengemukakan bahwa
kesejahteraan psikologis yang baik berkaitan dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan dan pengetahuan pada individu. Berdasarkan hal tersebut, maka
pemberian edukasi meningkatkan kesejahteraan psikologis individu melalui
wawasan atau pengetahuan baru yang didapatkan oleh individu.
Kedua yaitu memantau stres (monitoring stress), merupakan proses
observasi dan pencatatan respon yang dapat menimbulkan stres baik respon
secara fisik, emosi, maupun perilaku (Taylor, 2009). Individu dilatih untuk
lebih sadar dan paham terhadap respon maupun dampak yang ditimbulkan dari
stres tersebut. Putrikita (2018) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis
berkaitan dengan pemahaman yang dimiliki oleh individu. Ketika individu
semakin memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya, maka semakin tinggi
pula tingkat kesejahteraan psikologis individu tersebut. Berdasarkan hal di atas,
37
maka pemantauan stres (monitoring stress) dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis melalui peningkatan pemahaman terhadap apa yang terjadi pada
individu tersebut.
Tahapan pelatihan manajemen stres yang ketiga yaitu identifikasi
penyebab stres (identifying stress antecedents). Identifikasi penyebab stres
merupakan sebuah pemahaman individu terhadap hal-hal yang dapat
menyebabkan stres serta perasaan yang dirasakan sebelum terjadinya situasi
stres (Taylor, 2009). Pemahaman individu semakin diperdalam pada tahap
ketiga ini. Individu diajarkan untuk dapat memahami dan mengidentifikasi
penyebab-penyebab stres serta mengetahui dampak yang ditimbulkan dari
situasi stres tersebut. Ramadi, Posagi, dan Kaatuk (2017) mengemukakan
bahwa pemahaman mengenai stres dan emosi negatif yang terjadi pada diri
individu berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang dapat
memahami situasi stres yang dialaminya mulai dari penyebab stres, respon-
respon yang timbul akibat stres serta dampak yang dari stres akan semakin
meningkatkan fungsi psikologis individu yang terkait dengan kesejahteraan
psikologis. Berdasarkan hal tersebut, identifikasi penyebab stres dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis melalui pemahaman lebih mendalam
mengenai penyebab, respon dan dampak yang ditimbulkan oleh situasi stres
yang sedang dialaminya.
Keempat yaitu menghindari perkataan-perkataan negatif pada diri sendiri
(avoiding negative self-talk). Taylor (2009) menyebutkan bahwa avoiding
negative self-talk merupakan proses identifikasi pikiran-pikiran negatif dan
38
negative self-talk yang sering dilakukan serta upaya untuk menghindari hal
tersebut. Menurut Putrikita (2018) negative self-talk yang sering muncul dapat
menimbulkan situasi stres. Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian
penuh dari suatu keadaan ketika individu dapat menerima kelebihan dan
kekurangan diri secara apa adanya (Sujana, Wahyuningsih & Uyun, 2015).
Individu yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi akan
dengan mudah menerima berbagai aspek dalam kehidupannya bahkan yang
bersifat menyenangkan serta dapat memandang masa lalu sebagai sesuatu yang
positif. Penerimaan terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan cara
meminimalisir bahkan menghindari pikiran-pikiran yang negatif dan negative
self-talk yang ada pada diri individu saat berada pada situasi yang menekan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka avoiding negative self-talk dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis individu melalui pemahaman
mengenai pencapaian penuh yang telah diraih oleh individu selama ini
sehingga dapat menerima apa pun yang terjadi pada dirinya.
Tahapan yang kelima adalah menyelesaikan tugas rumah (completing
take-home assignment). Pada tahap ini, individu diminta untuk mengisi lembar
kerja dengan menuliskan respon yang muncul saat berada pada kondisi yang
menekan dan menimbulkan stres (Taylor, 2009). Tugas rumah tersebut
diharapkan mampu memberikan pemahaman yang semakin mendalam melalui
pelaksanaan praktik langsung. Pemahaman mengenai stres dan emosi negatif
yang terjadi pada diri individu berkaitan dengan kesejahteraan psikologis
(Ramadi, Posagi & Kaatuk, 2017). Individu yang dapat memahami apa yang
39
sedang terjadi pada dirinya cenderung memiliki tingkat kesejahteraan
psikologis yang tinggi. Pemahaman tersebut diharapkan akan semakin
meningkatkan kesejahteraan psikologis apabila individu juga mempraktekkan
avoiding negative self-talk yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.
Berdasarkan hal di atas, maka kesejahteraan psikologis dapat mengalami
peningkatan melalui pemberian tugas-tugas rumah yang disertai dengan
praktek langsung.
Keenam, memperoleh keterampilan baru (acquiring skills) yaitu individu
diminta untuk melaksanakan teknik mengelola dan mengendalikan stres secara
adaptif (Taylor, 2009). Teknik yang diberikan pada pelatihan manajemen stres
ini menyesuaikan kebutuhan dari masing-masing individu. Tujuannya adalah
agar masing-masing individu dapat menurunkan dan menghilangkan stres yang
disebabkan oleh situasi-situasi menekan yang dialaminya. Teknik manajemen
stres yang diberikan pada dalam penelitian ini adalah relaksasi deep-breathing,
karena teknik relaksasi jenis ini cocok bagi penderita gangguan pernafasan dan
kardiovaskular. Selain itu, relaksasi deep-breathing juga membantu individu
untuk memunculkan perasaan nyaman dan tenang sehingga dapat menurunkan
stres (Hockemeyer & Smyth, 2002). Snyder dan Lopez (2002) menjelaskan
bahwa penurunan stres serta meningkatnya fungsi psikologis dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Berdasarkan hal tersebut,
maka kesejahteraan psikologis individu akan meningkat melalui pemberian
teknik manajemen stres yang tepat sesuai dengan kebutuhan individu.
40
Tahap yang ketujuh adalah membuat tujuan baru (setting new goals).
Taylor (2009) menyatakan bahwa individu diminta untuk menuliskan harapan
yang berisi perilaku ataupun pikiran adaptif yang dapat mengendalikan stres
yang sering dialaminya. Memiliki tujuan hidup merupakan salah satu aspek
dari kesejahteraan psikologis. Ryff (1998) menjelaskan bahwa salah satu aspek
dari kesejahteraan psikologis adalah purpose of life yang mengarah pada tujuan
hidup, makna hidup, serta keyakinan hidup individu. Indikator penting dalam
meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah tujuan hidup (Ryff & Singer,
1996). Berdasarkan hal tersebut, maka psychological well-being individu dapat
ditingkatkan dengan cara meyakinkan individu agar memiliki tujuan hidup
serta memintanya untuk menuliskan tujuan-tujuan tersebut sehingga lebih
mudah untuk mengingatnya.
Tahapan manajemen stres yang terakhir yaitu terlibat dalam pembicaraan-
pembicaraan yang positif dan pemberian instruksi pada diri sendiri (engaging
in positive self-talk and self-instruction). Taylor (2009) menyatakan bahwa
stres perlu dikendalikan dan dikontrol agar tidak menjadi stres kronis. Pada
tahap ini, individu diajak untuk berlatih mengendalikan situasi stres yang
dialami sehingga tidak menimbulkan stres kronis. Positive self-talk merupakan
salah satu cara pengendalian pola pikir yang digunakan untuk merubah pikiran-
pikiran negatif menjadi lebih positif. Pikiran yang positif dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis melalui avoiding negative self-talk atau menghindari
monolog yang berisi perkataan-perkataan yang negatif.
41
Secara keseluruhan, hal yang dapat menurunkan kesejahteraan psikologis
pada individu ialah stres. Stres kronis akan mengakibatkan kelelahan apabila
tidak segera di atasi sehingga dapat menurunkan kesejahteraan psikologis pada
individu yang mengalaminya (Snyder & Lopez, 2002). Gangguan-gangguan
psikofisiologis seperti asma, hipertensi, dan sakit kepala akut juga dapat
disebabkan oleh stres dan bahkan dapat membuat gangguan tersebut semakin
parah (Fausiah & Widury, 2008). Oleh karena itu, pelatihan manajemen stres
perlu untuk dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan psikologis pada
pasien hipertensi. Penjelasan lebih lanjut akan ditunjukkan pada bagan berikut:
Kondisi fisik :
Pening, telinga berdenging, rasa mual,
pandangan kabur, sakit kepala
berlebihan, mimisan, tengkuk merasa
sakit yang berlebihan, detak jantung
meningkat, sesak nafas, dan mudah
lelah (Purnomo dalam Anggraieni &
Subandi, 2014)
Kondisi psikologis :
Kehilangan semangat, memiliki emosi
yang meledak-ledak, amarah yang tertekan
(Taylor, 2009)
Kesejahteraan psikologis
yang rendah :
- Muncul perasaan dan
emosi negatif
- Hilang semangat akan
masa depan
- Sulit terbuka dengan
pengalaman baru
- Mudah bergantung
- Kurang mampu untuk
mengendalikan diri dan
lingkungan
1. Pelatihan manajemen stres dilakukan untuk
mengendalikan stres karena teknik ini
berbasis cognitive behavioral therapy yang
mengendalikan stres melalui kognitif individu
serta memunculkan perilaku adaptif yang
sesuai untuk menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan dan menimbulkan stres.
2. Pelatihan ini diharapkan mampu
mengendalikan stres individu melalui pikiran-
pikiran dan perilakunya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada
individu (Putrikita, 2018).
Hipertensi
42
Keterangan :
: Pelatihan manajemen stres
: Setelah pemberian pelatihan
: Sebelum diberi pelatihan
: Dampak
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh
pelatihan manajemen stres terhadap kesejahteraan psikologis pasien hipertensi.
Kelompok yang mendapatkan perlakuan berupa pelatihan manajemen stres
akan mengalami peningkatan kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan
kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan.
Meningkatkan kesejahteraan psikologis pasien hipertensi
Perilaku yang muncul normal, emosi stabil, memiliki semangat akan masa depan,
memiliki tujuan hidup yang baik, penguasaan lingkungan yang baik dan menerima diri
dengan baik.