bab ii tinjauan pustaka 2.1. tuberkulosis paru 2.1.1....
TRANSCRIPT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara
(droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang
mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono,
2008)
2.1.2. Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan
pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di
Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati
sebagai hari Tuberkulosis.
Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran
0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal
yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan
terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman (dapat tertidur lama) dan aerob.
Universitas Sumatera Utara
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap
bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.
Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari
kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008)
2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah :
- Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
- Dahak bercampur darah.
- Batuk berdarah.
- Sesak napas.
- Badan lemas.
- Nafsu makan menurun.
- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
- Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse)
gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu
atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai
tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa
dengan pemeriksaan mikroskopis.(Widoyono, 2008)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis
1. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan Tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis
menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
Tuberkulosis, penularan Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan
kegiatan pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan
promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA
positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
2. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak
Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis
Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang
dilakukan dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat
badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koli,
Universitas Sumatera Utara
aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks.
(Depkes RI, 2008).
2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru
1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak
menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis
positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
Universitas Sumatera Utara
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
a. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Gagal (Failure)
Universitas Sumatera Utara
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis
Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang
lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif,
bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ
terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Masa
inkubasinya selama 3-6 bulan. (Widoyono, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik
dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut Azwar
(1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam
menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang
berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah yang endemis
terhadap penyakit Tuberkulosis.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan
dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan
risiko penularan lebih besar dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.
Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil
studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan
dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).(Widoyono, 2008)
Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang
berarti di antara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis.
Setengah dari mereka BTAnya akan positif (0,5%). (Depkes RI, 2008)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
Tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
Universitas Sumatera Utara
dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
terinfeksi Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)
Menurut Amin, Alsagaf dan Saleh yang dikutip Rajagukguk (2008), faktor-
faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :
a. Harus ada sumber penularan
b. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup
banyak dan terus menurus.
c. Virulensi (keganasan) basil.
d. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis
berkembang biak.
Menurut Depkes RI (2008) Faktor risiko kejadian Tuberkulosis, secara
ringkas digambarkan pada gambar berikut:
Bagan 2.1 Faktor Risiko Kejadian Tuberkolosis Paru
transmisi ●Diagnosis tepat
Jumlah kasus TB BTA+ dan cepat Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila ●Pengobatan tepat
■Ventilasi dengan HIV : dan lengkap ■Kepadatan ● 5-10% setiap tahun ●Kondisi kesehatan ■Dalam ruangan ● >30% lifetime mendukung
Faktor Perilaku
10%
HIV (+)
TERPAJAN INFEKSI
TB
SEMBUH
MATI
Universitas Sumatera Utara
Kosentrasi Kuman ■Keterlambatan diagnosis Lama Kontak dan pengobatan ■Malnutrisi ■Tatalaksana tak memadai ■Penyakit DM, ■Kondisi kesehatan Immuno-supresan Sumber: Depkes RI, (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ● Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati menurut Depkes RI, (2008) Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan : � 50% meninggal � 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi � 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular 2.1.7. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap
orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya
penyebaran penyakit.
Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host)
dan faktor lingkungan (environment).
Pencegahan Tuberkulosis yang utama bertujuan memutus rantai penularan
yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru dan kemudian mengobatinya sampai
benar-benar sembuh.
Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan
sebagai berikut :
1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan :
a. Penemuan penderita sedini mungkin.
b. Isolasi penderita sedemikian rupa selama masih dapat menularkan.
c. Segara diobati.
Universitas Sumatera Utara
2. Memutuskan mata rantai penularan.
3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru.
Untuk memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu
mempengaruhi unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta
memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.
Menurut Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian Entjang keberhasilan
usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :
a. Keadaan sosial ekonomi rakyat.
Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan
sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh
mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.
b. Kesadaran berobat si penderita
Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa
sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.
c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit
Tuberkulosis.
Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis
untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si
penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat
pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.
2.2. Pengertian Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis, maupun sosial yang
berada disekitar manusia serta pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan manusia.
Unsur-unsur lingkungan sebagai berikut :
2.2.1. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia yang
bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah
dan benda mati lainnya.
2.2.2. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuh-
tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.
2.2.3. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehidupan
manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan kehidupan seperti pendidikan
pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan,
jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.
2.2.4. Lingkungan Rumah
Menurut Nurhidayah (2007) yang mengutip pendapat Walton, lingkungan
rumah adalah segala sesuatu yang ada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari
lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan
sosial yaitu kepadatan penghuni.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Perumahan Sehat
Menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman
(2011), perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain
memenuhi kebutuhan fisiologis, memenuhi kebutuhan psikologis, mencegah
penularan penyakit, dan mencegah terjadinya kecelakaan.
2.3.1. Persyaratan Rumah Sehat
Rumah sehat menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan
Budiman (2011), menetapkan fungsi pokok pembangunan rumah sebagai tempat
tinggal yang sehat, sebagai berikut :
a. Perumahan yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis :
1. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya
buatan (lampu).
2. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam
ruangan.
3. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dalam rumah
(termasuk radiasi).
4. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
b. Perumahan yang memenuhi kebutuhan psikologis :
Universitas Sumatera Utara
1. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya (privacy),
tidak terganggu oleh anggota keluarga dalam rumah maupun oleh tetangga
atau orang lewat.
2. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
3. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak terlalu ada perbedaan tingkat yang
ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.
4. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
5. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Orangtua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak
di atas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Anak umur 17
tahun ke atas diberi kamar sendiri.
6. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan
bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.
7. Ukuran ruang tidur anak yang berumur ≤ 5 tahun sebesar 4,5 m³, dan yang
umurnya � 5 tahun adalah 9 m³. Artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur 5 tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5
x 1 x 3 m³, dan diatas 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m³.
8. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.
9. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising hendaknya
dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan.
c. Perumahan juga harus mampu mencegah penularan penyakit :
1. Tersedianya air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk dan lalat), tikus dan binatang
lainnya bersarang di dalam atau di sekitar rumah.
3. Pembuangan kotoran (tinja) dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.
4. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.
5. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m² per orang dan tinggi langit-langit maksimal
2,7 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah masuk angin,
tidak nyaman secara psikologis (gamang), sedang apabila terlalu sempit akan
menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan penyakit karena terlalu
dekat kontak.
6. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari
pencemaran atau gangguan serangga (lalat, semut, lipas dll) dan tikus serta
debu.
d. Perumahan harus memenuhi keamanan untuk terjadinya kecelakaan.
2.3.2. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis Paru
Menurut Departemen Kesehatan RI (1997), sanitasi adalah usaha
pencegahan penyakit untuk melenyapkan, mengendalikan faktor-faktor lingkungan
yang merupakan mata rantai penularan penyakit.
Menurut Ehlers dan Steel yang dikutip oleh Rajagukguk (2008) adalah
usaha-usaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor-faktor lingkungan yang
dapat merupakan mata rantai penularan penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, disimpulkan inti dari sanitasi adalah
pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan untuk menghindari penularan penyakit
dari satu orang kepada orang lain.
Bila dihubungkan dengan perumahan sebagai faktor lingkungan, sanitasi
tersebut meliputi kegiatan usaha yang sasarannya adalah segala aspek yang berkaitan
dengan rumah sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
penghuninya.
Penyehatan perumahan dan lingkungan perlu dilakukan karena erat
kaitannya dengan masalah kesehatan masyarakat. Untuk menunjukkan bahwa kondisi
perumahan yang tidak sehat sangat berpengaruh dalam penularan penyakit dilihat dari
data-data penelitian yang sudah ada.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun
1980 didapatkan hasil sebagai berikut :
1. 35,8% rumah tidak mempunyai kamar tidur terpisah.
2. 34% rumah mempunyai lubang penghawaan, pencahayaan, lantai, dinding dan
atap yang buruk.
Menurut berbagai penelitian, penyakit saluran pernafasan dan tuberkulosis
dapat dicegah dengan terpenuhinya suatu rumah dari pencahayaan, ventilasi, tidak
lembab, tidak padat penghuni (minimal 10 m³ per orang), mempunyai kamar lebih
dari satu, asap dapur tidak dapat masuk ke kamar tidur/ruang tamu (Kerjasama MUI,
Depkes, Depag dengan UNICEF Indonesia, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Hal diatas menunjukkan betapa besar pengaruh sanitasi perumahan terhadap
kejadian penularan penyakit Tuberkulosis, begitu juga untuk penyakit menular
lainnya apabila rumah tersebut tidak memenuhi syarat sanitasi.
Di daerah-daerah pedesaan, masalah perumahan masih banyak yang belum
memenuhi syarat kesehatan sedangkan di kota-kota sudah ada kemajuan, tetapi di
berbagai tempat masih terdapat perumahan yang sama sekali tidak memenuhi
persyaratan kesehatan, yang sering disebut dengan daerah kumuh (slum area).
Menurut Reksosoebroto (1978) yang dikutip oleh Rajagukguk (2008),
perumahan yang tidak sehat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Taraf sosial ekonomi yang masih rendah
b. Kurangnya pengertian tentang kesehatan
c. Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat
d. Kepadatan penghuni (over crowding)
e. Konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan
gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit
Tuberkulosis paru adalah luas ruangan, ventilasi, konstruksi lantai dan pencahayaan
sinar matahari yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
2.3.3. Luas Ruangan
Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan psikologis meliputi privacy
(kebebasan), security (keamanan), safety (perlindungan), comfort (kebahagiaan dan
kesenangan) dan relax (ketenangan), disamping itu juga harus memenuhi fisik yang
Universitas Sumatera Utara
meliputi konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang baik
(Reksosoebroto, 1978).
Salah satu syarat konstruksi yang harus diperhatikan sehubungan dengan
penyakit Tuberkulosis Paru adalah luas ruangan rumah. Ada dua pendapat yang
representatif yang dikutip oleh James and Parkinson (1976) yaitu yang pertama
ukuran luas ruangan suatu perumahan erat kaiatannya dengan terjadinya Tuberkulosis
Paru.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru
Brandbury yang membuat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian Tuberkulosis
Paru paling besar diakibatkan keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas
ruangannya.
Ruangan suatu rumah juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri, hal
ini terjadi apabila terdapat sumbernya misalnya adanya penderita Tuberkulosis Paru,
sehingga kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan
mikroorganisme lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami peningkatan
jumlahnya yang membawa resiko bagi orang lain.
Menurut “ Regional Housing Centre “ seperti yang dikutip oleh
Reksosoebroto (1978), suatu bangunan harus memenuhi ukuran luas yang layak
(dengan perhitungan untuk setiap keluarga yang terdiri dari 5 anggota rata-rata).
Di berbagai negara persyaratan luas ruangan perumahan biasanya ditentukan
berdasarkan banyaknya penghuni. Over crowing (kepenuh sesakan) dapat
menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental maupun moral.
Universitas Sumatera Utara
Penyebaran penyakit menular seperti Tuberkulosis Paru cepat sekali terjadi pada
rumah yang padat penghuninya.
Luas bangunan yang optimum menurut Notoatmodjo (1997) adalah apabila
dapat menyediakan 2,5 – 3 m² untuk tiap orang anggota keluarga. Menurut Lubis
(1985) over crowing suatu perumahan apabila kondisi rumah terhadap jumlah
penghuni sebagai berikut :
a. Dua individu dari jenis kelamin berbeda dan usia diatas 10 tahun yang bukan
suami isteri, tidur dalam satu kamar.
b. Jumlah penghuni dibandingkan dengan luas lantai melebihi ketentuan yang
ditetapkan.
Di Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur oleh
keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu luas ruang
tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam
satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.
2.3.4. Ventilasi
Menurut Suyono dan Budiman (2011), hawa segar diperlukan untuk
mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas mempunyai susunan
unsur :
1. Oksigen (zat asam) 20,7%
2. Nitrogen (zat lemas) 78,8%
3. Karbon dioksida (gas asam arang) 0,04%
4. Uap air 0,46%
Universitas Sumatera Utara
5. Ozon (O�), amoniak (NH�), hidrogen (H2) dan lain-lain.
Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak
yang buruk terhadap kesehatan para penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan
sirkulasi udara sangat diperlukan.
Pengadaan ventilasi menurut Salvato yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam
Rajagukguk (2008) adalah untuk menyediakan udara segar dan melenyapkan udara
jenuh, tapi tidak ada sangkut pautnya dengan komposisi kimia, namun ia tetap
menghubungan dengan pencegahan terjadinya akumulasi gas-gas beracun dan
mikroorganisme di ruangan.
Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan
perasaan sesak, pengap, cepat lelah dan keaktifan menurun. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan suhu udara yang dikeluarkan oleh tubuh dan tertahan di dalam ruangan,
tidak adanya pergerakan udara serta kelembaban yang tinggi akibat uap air yang
dilepaskan oleh paru-paru.
Keadaan ini dapat diatasi dengan menggerakkan udara dalam ruangan,
misalnya dengan kipas angin atau dengan membuat ventilasi. Tidak adanya ventilasi
yang baik di suatu ruangan akan semakin membahayakan kesehatan jika didalam
ruangan tersebut terdapat penderita Tuberkulosis Paru.
Menurut Suyono dan Budiman (2011), udara segar sangat diperlukan untuk
penggantian hawa dan menjaga temperatur udara dan kelembaban dalam ruangan.
Idealnya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah dari temperatur luar
paling kurang 4º C khususnya untuk daerah tropis. Temperatur kamar sekitar 22-30º
Universitas Sumatera Utara
C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33
m³/orang/jam, kelembaban udara sekitar 60% optimum.
Ventilasi udara dalam ruangan harus memenuhi syarat lain di antaranya :
1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, selain itu luas
ventilasi insidentil (buka dan tutup) minimum 5% luas lantai. Jumlah keduanya
menjadi 10% dari luas lantai. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa agar udara
yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.
2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak tercemar gas atau asap dari
pembakaran sampah, pabrik, knalpot kendaraan, asap rokok, debu, dll.
3. Aliran udara jangan membuat orang masuk angin, untuk ini jangan menempatkan
tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela
atau pintu.
4. Aliran udara mengikuti aturan cross ventilation dengan menempatkan lubang
ventilasi berhadapan/berseberangan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini
jangan terhalang oleh barang-barang besar seperti lemari, dinding sekat dan lain-
lain.
5. Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang berkeringat)
dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering, bibir pecah-pecah dan
hidung sampai berdarah).
Udara dalam ruangan setelah terpakai susunannya menjadi, oksigen 15,4%,
CO² 4,4%, nitrogen 79,2%, uap air 1,0%.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa pendapat para ahli yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam
Rajagukguk (2008), tentang kondisi paling baik terhadap temperatur kelembaban
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1. Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan
Pendapat dari : Temperatur (ºC) Kelembaban (%) Mac Nall Joseph Lubart ASHRAE
22,7 – 25 20 – 24,4
25,5 dengan ventilasi ± 17,1 ºC
20 - 60 10 – 50
70 Sumber : Lubis (1985), Perumahan Sehat
Macam ventilasi adalah ventilasi alami dan ventilasi buatan. Ventilasi alami misalnya
dengan memasang jendela dan lobang-lobang angin serta menggunakan bahan-bahan
untuk dinding, lantai yang berpori-pori.
Ventilasi buatan diperlukan untuk membantu fungsi dari ventilasi alami
yang kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik, sehingga kebersihan udara,
kelembaban, temperatur, kecepatan angin dan pergantian udara tidak dapat diatasi.
Ventilasi buatan yang kita kenal di antaranya sebagai berikut :
1. Fan (kipas angin), perputaran baling-baling menghasilkan pergerakan udara ke
depan. Semakin cepat baling-baling diputar, semakin deras angin yang dihasilkan.
Penggunaan kipas angin dapat menimbulkan masuk angin bagi yang tidak tahan.
2. Exhauster/exhaust fan, prinsip kerjanya hampir sama dengan fan, namun
exhauster ditempatkan pada dinding yang fungsinya mengisap udara dalam
ruangan keluar dan sekaligus menarik udara segar dari luar masuk kedalam
Universitas Sumatera Utara
ruangan melalui lubang udara lain di seberang exhauster tersebut. Exhauster dapat
juga menyedot udara dari luar dan menekan udara kotor keluar ruangan melalui
lubang udara di seberangnya. Ada jenis lain dari exhauster fan ini dipasang pada
lanit-langit atau plafon disebut ceiling fan.
3. Air conditioned (AC). Prinsip kerja AC adalah mengisap udara dalam ruangan,
disaring dan didinginkan kemudian disemprotkan kembali ke dalam ruangan
dengan temperatur yang dapat disesuaikan melalui tombol mekanik atau melalui
remote control.
2.3.5. Lantai
Perkembangbiakan mikroorganisme pada ruangan rumah juga dipengaruhi
oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah juga
dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah
biasanya hanya berupa tanah atau batu bata yang langsung diletakkan diatas tanah,
sehingga kelembabannya sangat tinggi dan pada musim panas dapat menyebabkan
udara berdebu.
Umumnya masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan
belum memperhatikan kondisi perumahan khususnya kondisi lantai yang biasanya
hanya berupa tanah saja.
Lantai dari tanah atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atas tanah,
sehingga menjadi lembab. Oleh karena itu perlu suatu lapisan yang kedap air, seperti
semen, susunan tegel dan lain-lain. Sedangkan papan sudah jarang digunakan lagi,
kecuali pada rumah-rumah panggung.
Universitas Sumatera Utara
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat mengundang berbagai serangga
dan tikus untuk bersarang, demikian juga kotoran yang melekat padanya. Biasanya
tanah dan debu banyak mengandung mikroorganisme berbahaya antara lain kuman
Tuberkulosis.
Lantai perumahan yang dipersyaratkan di Indonesia seperti telah ditetapkan
oleh Departemen Pekerjaan Umun adalah : tidak mudah aus, kedap air, mudah
dibersihkan, tidak lentur, tidak mudah terbakar dan harus memenuhi normalisasi serta
peraturan yang berlaku.
2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari
Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup.
Karena suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya yang cukup, selain
dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit.
Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan
mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, dengan demikian sinar
matahari sangat diperlukan di dalam suatu ruangan rumah terutama ruangan tidur,
khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembang biakan kuman
tuberkulosis dan kuman penyakit lainnya.
Penerangan alami yang diperoleh dengan masuknya cahaya matahari yang
terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca normal atau
sekitar 50-100 lux yang masuk kedalam ruangan melalui jendela, celah maupun
bagian lain dari rumah, selain berguna untuk penerangan juga mengurangi
kelembaban, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh kuman
Universitas Sumatera Utara
penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya dengan panjang
gelombang di bawah 4000 A yakni sinar ultra violet (Azwar,1990).
Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan, juga dapat mengurangi
kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti
TBC, Influensa, penyakit mata dan lain-lain. (Sanropie, et.al, 1989).
Cara dalam mengupayakan masuknya sinar matahari ke ruangan rumah,
dapat dilakukan dengan membuat jendela kaca, pintu kaca, dinding kaca dan genteng
kaca. Pencahayaan yang baik adalah terang dan tidak silau sehingga dapat
dipergunakan untuk membaca dengan normal. (Depkes, 2002).
2.4. Perilaku
Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan,
kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua,
pelayanan kesehatan, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap
status kesehatan. (Notoatmodjo, 1993).
Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat
terhadap hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
c. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) meliputi
faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku
para petugas termasuk petugas kesehatan. Juga undang-undang dan peraturan.
Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi
perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.
Bagan 2.2 Skema
Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan
Keturunan
Pelayanan Status Lingkungan Kesehatan Kesehatan
Perilaku
Proses Perubahan
Predisposting Enabling Factors Reinforcing Factor Factors (ketersediaan sumber- (sikap dan perilaku (pengetahuan,sikap Sumber/fasilitas) petugas) kepercayaan, tradisi, nilai,dsb)
Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Training Penyuluhan Pemberdayaan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan Kesehatan (Promosi Kesehatan)
Sumber : Notoatmodjo (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu
sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan
internal seperti berpikir, persepsi dan emosi. (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik
bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang
nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Menurut Becker (1979)
perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk
mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi dan
sebagainya.
Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku ke dalam tiga domain
pendidikan yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, ketiga domain ini diukur dari
pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah adanya penginderaan terhadap
suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Penelitian
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di
dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif
akan bersifat langgeng. Sebaliknya perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan
kesadaran tidak akan berlangsung lama. Ada enam tingkatan pengetahuan yakni :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara
lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Universitas Sumatera Utara
Memahami diartikan sebagi suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen, tetapi masih didalam suatu stuktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.
2.4.2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup suatu
stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.
Newcomb seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam
penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting.
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ;
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek
Universitas Sumatera Utara
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.
3. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko adalah sikap yang paling tinggi.
2.4.3. Praktek atau Tindakan (Practise)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior) sehingga diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan
antara lain fasilitas dan dukungan berbagai pihak.
Tingkatan-tingkat tindakan :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil
adalah praktek tingkat pertama.
2. Respon Terpimpin (Guided Respons)
Universitas Sumatera Utara
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan dengan benar secara otomatis atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat
tiga.
4. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakannya tersebut.
2.5. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
Variabel Independen Variabel Dependen
Faktor Lingkungan Fisik Rumah : - Luas ruangan - Ventilasi - Lantai - Pencahayaan
Keterangan: ______ :Variabel diteliti ----------: Variabel tidak diteliti 2.6. Hipotesis Penelitian
‐ Pengetahuan Kejadian Tuberkulosis Paru
Karakteristik : - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan
‐ Sikap ‐ Tindakan
- Pengukuran kondisi
fisik rumah - Observasi terhadap
sanitasi perumahan
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian
sebagai berikut:
Ha : Ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan fisik
rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.
Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan
fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.
BAB III
Universitas Sumatera Utara