bab ii tinjauan pustaka 2.1 buncis (phaseolus vulgaris l.) ii.pdf · sub family : papilionoideae...

19
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Buncis merupakan salah satu jenis tanaman sayuran polong yang memiliki banyak kegunaan. Sebagai bahan sayuran, polong buncis dapat dikonsumsi dalam keadaan muda atau dikonsumsi bijinya. Buncis bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari meksiko selatan dan Amerika Tengah. Buncis yang dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia memiliki banyak jenis. Dari ragam varietas tersebut, tanaman buncis secara garis besar dibagi dalam dua tipe, yaitu buncis tipe membelit atau merambat dan buncis tipe tegak atau tidak merambat (Cahyono, 2007). Kedudukan tanaman buncis dalam tatanama tumbuhan (taksonomi) di klasifikasikan ke dalam (Benson, 1957): Kingdom : Plant Kingdom Divisio : Spermatophyta Sub division : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub kelas : Calyciflorae Ordo : Rosales (Leguminales) Famili : Leguminosae (Papilionaceae) Sub family : Papilionoideae Genus : Phaseolus Spesies : Phaseolus vulgaris L.

Upload: dangdung

Post on 06-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buncis (Phaseolus vulgaris L.)

Buncis merupakan salah satu jenis tanaman sayuran polong yang memiliki

banyak kegunaan. Sebagai bahan sayuran, polong buncis dapat dikonsumsi dalam

keadaan muda atau dikonsumsi bijinya. Buncis bukan tanaman asli Indonesia, tetapi

berasal dari meksiko selatan dan Amerika Tengah. Buncis yang dibudidayakan oleh

masyarakat di Indonesia memiliki banyak jenis. Dari ragam varietas tersebut,

tanaman buncis secara garis besar dibagi dalam dua tipe, yaitu buncis tipe membelit

atau merambat dan buncis tipe tegak atau tidak merambat (Cahyono, 2007).

Kedudukan tanaman buncis dalam tatanama tumbuhan (taksonomi) di

klasifikasikan ke dalam (Benson, 1957):

Kingdom : Plant Kingdom

Divisio : Spermatophyta

Sub division : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Sub kelas : Calyciflorae

Ordo : Rosales (Leguminales)

Famili : Leguminosae (Papilionaceae)

Sub family : Papilionoideae

Genus : Phaseolus

Spesies : Phaseolus vulgaris L.

7

Suku kacang-kacangan (Leguminosae atau Papilionaceae) mempunyai 690

genus dan sekitar 18.000 spesies. Beberapa spesies yang paling dekat dengan

tanaman buncis diantaranya adalah kratok (P. lunatus L.) dan kacang hijau (P.

radiates L.) (Rukmana, 1998). Buncis memiliki bentuk semak atau perdu dengan

tinggi tanaman buncis tipe tegak berkisar antara 30-50 cm, tergantung pada

varietasnya. Sedangkan tinggi ranaman buncis tipe merambat dapat mencapai 2 m.

Tanaman buncis berakar tunggang yang tumbuh lurus ke dalam hingga kedalaman

sekitar 11-15 cm, dan berakar serabut yang tumbuh menyebar (horizontal) dan tidak

dalam. Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat, berbulu atau

berambut halus, berbuku-buku atau beruas-ruas, lunak tetapi cukup kuat. Tanaman

buncis memiliki bentuk daun bulat lonjong, ujung daun runcing, tepi daun rata,

berbulu atau berambut sangat halus, dan memiliki tulang-tulang menyirip. Bunga

tanaman buncis berbentuk bulat panjang (silindris) yang panjangnya 1,3 cm dan

lebarnya bagaian tengah 0,4 cm. Bunga buncis berukuran kecil dengan kelopak bunga

berjumlah 2 buah dan pada bagian bawah atau pangkal bunga berwarna hijau. Polong

buncis memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada varietasnya, ada yang berbentuk

pipih dan lebar yang panjangnya lebih dari 20 cm, bulat lurus dan pendek kurang dari

12 cm, serta berbentuk silindris agak panjang sekitar 12-20 cm. biji buncis yang telah

tua agak keras berukuran agak besar, berbentuk bulat lonjong dengan bagian tengah

(mata biji) agak melengkung (cekung), berat biji buncis bekisar antara 16-40,6 g

(berat 100 biji) (Cahyono, 2007).

8

Gambar 2.1. Buah buncis

Buncis merupakan sumber protein, vitamin dan mineral yang penting dan

mengandung zat-zat lain yang berkhasiat untuk obat dalam berbagai macam penyakit.

Gum dan pektin yang terkandung dapat menurunkan kadar gula darah, sedangkan

lignin berkhasiat untuk mencegah kanker usus besar dan kanker payudara. Serat kasar

dalam polong buncis sangat berguna untuk melancarkan pencernaan sehingga dapat

mengeluarkan zat-zat racun dari tubuh (Cahyono, 2007). Zat-zat gizi yang terdapat di

dalam buncis dalam 100 g bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

9

Tabel 2.1. Kandungan nilai gizi kacang buncis per 100 g bahan yang dapat dimakan

No. Jenis zat gizi Jumlah kandungan gizi

1. Energi/kalori 35 kal

2. Protein 2,4 g

3. Lemak 0,2 g

4. Karbohidrat 7,7 g

5. Kalsium 6,5 g

6. Fosfor 4,4 g

7. Serat 1,2 g

8. Besi 1,2 g

9. Vitamin A 630,0 SI

10. Vitamin B1/Thiamine 0,08 mg

11. Vitamin B2/Riboflavin 0,1 mg

12 Vitamin B3/Niacin 0,7 mg

13. Vitamin C 19,0 mg

14. Air 89 g

Sumber : Emma S.Wirakusumah (1994) dalam Cahyono, B. (2007)

Berdasarkan kegunaannya, buncis terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu :

1. Buncis Perancis : bagian yang dikonsumsi ialah polong berdaging yang berwarna

hijau kuning, atau ungu yang mengandung biji yang belum berkembang. Polong

tidak mempunyai urat samping.

2. Buncis filet haricot : polong mengandung urat samping (string), tetapi polong

muda berdaging yang dikonsumsi.

3. Buncis haricot : biji segar adalah bagian yang dimakan, sedangkan polong

mengandung urat samping dan serat umumnya tidak dikonsumsi.

4. Buncis bijian kering : biji kupasan kering adalah bagian yang dikonsumsi,

sedangkan polong mempunyai urat samping, serat, lapisan lir kertas, dan tidak

dimakan (Rubatzky, 1998)

10

Pada buah, batang, dan daun buncis mengandung senyawa kimia yaitu alkaloid,

saponin, polifenol, dan flavonoid, asam amino, asparagin, tannin, fasin (toksalbumin).

Biji buncis mengadung senyawa kimia yaitu glukoprotein, tripsin inhibitor,

hemaglutinin, stigmasterol, sitosterol, kaempesterol, allantoin dan inositol. Kulit biji

mengandung leukopelargonidin, leukosianidin, kaempferol, kuersetin, mirisetin,

pelargonidin, sianidin, delfinidin, pentunididin dan malvidin. Sedangkan buncis

segar mengandung vitamin A dan vitamin C (Hernani, 2006). Kandungan kimia

buncis memiliki manfaat yaitu untuk meluruhkan air seni, menurunkan kadar gula

dalam darah, bijinya dapat menurunkan tekanan darah tinggi, beri-beri dan daunnya

untuk menambah zat besi (Hernani, 2006).

2.2 Senyawa Fitosterol

Fitosterol merupakan sterol yang secara alami didapatkan dari tanaman.

Secara kimiawi, fitosterol mirip dengan kolesterol yang di dapat dari hewan. Sterol

terdiri dari gabungan tiga cincin sikloheksana dengan berbagai macam sterol (lebih

dari 40 fitosterol). Fitosterol pada tanaman merupakan komponen alami dari minyak

tumbuhan seperti minyak biji bunga matahari dan beberapa konstituen alami dalam

makanan manusia. (Dewanti, 2006)

Fitosterol adalah campuran alami steroida (sterol) yang mengandung

minimum 70% β – sitosterol. Kedua senyawa ini mempunyai struktur yang mirip

dengan kolesterol, tetapi fitosterol mengandung gugus etil (-CH2-CH3) pada rantai

cabang yaitu pada posisi C-24. Sebagaimana pentingnya fungsi kolesterol dalam

membran sel tubuh manusia dan hewan, demikian juga fitosterol di dalam tanaman.

11

Lebih dari 200 jenis fitosterol telah diidentifikasi diantaranya β – sitosterol,

campesterol dan stigmasterol (Gambar 2.2.) (Moreau, 2002).

Gambar 2.2. Struktur dari β – sitosterol (A), campesterol (B) dan stigmasterol (C)

(Moreau, 2002)

Pada tanaman terdapat lebih dari 40 senyawa sterol yang didominasi oleh

beberapa senyawa dari kelompok fitosterol. Fitosterol terdapat dalam bahan makanan

nabati, seperti minyak, serealia, buah-buahan, dan sayur-sayuran, dalam jumlah yang

hanya sedikit. Oleh kerena itu senyawa fitosterol harus diisolasi dan kemudian

dimasukkan ke dalam makanan seperti margarin, dengan jumlah yang efektif untuk

menurunkan kolesterol darah. Dalam menurunkan kolesterol darah, fitosterol dapat

mencegah absorbsi makanan dan mengabsorbsi kembali kolesterol endogen dari

saluran pencernaan.

12

Kolesterol yang terlarut dalam campuran misel, mengandung garam empedu

dan fosfolipid menuju tempat penyerapan dan selanjutnya diserap ke dalam sirkulasi

darah. Campuran misel memiliki kapasitas untuk melarutkan molekul hidrofobik.

Fitosterol memiliki hidrofobilitas yang lebih besar dibandingkan kolesterol dalam

campuran misel dan memiliki kelarutan yang rendah sehingga fitosterol dapat

menggantikan kolesterol dari campuran misel.

Fitosterol menggantikan kolesterol dalam usus lumen dari campuran misel

dengan cara mereduksi penyerapan kolesterol oleh membran usus. Mekanisme yang

terjadi pada saat sterol diserap ke usus penyerapan. Niemann-Pick C1 like 1

(NPC1L1) merupakan sistem pergerakan untuk fitosterol dalam usus dan pengangkut

kolesterol. Protein yang mengikat ATP dikenal sebagai ABCG5 dan ABCG8. Kedua

ATP tersebut masing-masing akan membentuk satu setengah pembawa (transporter)

yang mensekreksikan fitosterol dan kolesterol yang tidak mengalami esterifikasi dari

usus penyerapan ke lumen pencernaan.

Fitosterol lebih cepat disekresikan kembali oleh ABCG5/ABCG8 dari pada

kolesterol ke dalam pencernaan, sehingga akan menghasilkan absorbsi pencernaan

fitosterol yang lebih sedikit dibandingkan kolesterol. Pada usus penyerapan, fitosterol

mengurangi tingkat esterifikasi kolesterol melalui penghambatan kolesterol dengan

asil-koenzim asiltransferase (ACAT). ACAT mengurangi konsentrasi intraseluler

kolesterol bebas menjadi kolesterol ester. Hasil esterifikasi yaitu kolesterol ester (CE)

dan fitosterol ester (PE) bergabung membentuk kilomikron (CM), fitosterol yang

bergabung tersebut memasuki sirkulasi darah dan dibawa menuju hati. Kecepatan

13

sekresi fitosterol dalam empedu jauh lebih cepat daripada kolesterol dan terjadi

penurunan absorbsi dari fitosterol (Gambar 2.3.) (Bonsdoff – Nikander, 2005).

Proses absorbsi fitosterol yang sangat rendah ini yang menghambat

penyerapan kolesterol dan membantu menurunkan jumlah kolesterol yang memasuki

aliran darah serta mempercepat ekskresi kolesterol. Berkurangnya kadar kolesterol

yang memasuki aliran darah akan memperkecil kemungkinan terjadinya penumpukan

lemak di organ tubuh. Selain itu, fitosterol dapat memperbaiki regulasi kolesterol

darah pada tingkat normal (Granfa, 2007).

Gambar 2.3. Mekanisme fitosterol dan kolesterol dalam saluran penyerapan

(Bonsdoff – Nikander, 2005).

14

2.3 Kolesterol

Kolesterol adalah steroid alkohol tidak jenuh yang mempunyai berat molekul

tinggi, terdiri atas sebuah cincin siklopentanoperhidropenantren dan sebuah rantai

yang mempunyai 8 atom karbon. Kolesterol dalam tubuh mempunyai fungsi untuk

membangun dan memperbaiki membran sel, sintesis asam empedu dan vitamin D,

prekursor hormon progestin, hormone steroid, androgen dan estrogen. Kolesterol bila

terdapat dalam jumlah terlalu banyak di dalam darah dapat membentuk endapan pada

dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyempitan yang disebut

aterosklerosis. Bila penyempitan terjadi pada pembuluh darah jantung menyebabkan

penyakit jantung koroner (Almatsier, 2004)

Sintesis kolesterol dikendalikan oleh enzim HMG-KoA reduktase dan

dihambat oleh LDL kolesterol pada reseptor LDL. Reseptor LDL terdapat pada

permukaan sel dalam lekukan yang terbungkus pada sisi sitosol membran sel dengan

sebuah protein yang dinamakan klatrin. LDL diambil oleh reseptor LDL dalam

keadaan utuh melalui endositosis, kemudian dipecah dalam lisosom dan diikuti oleh

translokasi kolesterol ke dalam sel. Jumlah reseptor LDL pada permuakaan sel diatur

oleh kebutuhan kolesterol bagi membran sel, sintesis hormone steroid atau asam

empedu (Murray, 2006).

Gambar 2.4. Struktur Kolesterol (Muraay, 2006)

15

Kolesterol dibagi menjadi tiga yaitu kolesterol High Density Lipoprotein

(HDL), kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan Trigliserida (Bastiansyah,

2010). Kolesterol HDL merupakan kolesterol yang tidak berbahaya dengan kadar

HDL rata-rata adalah 40-45 mg/dl dalam keadaan normal. HDL berfungsi sebagai

pembersih saluran pembuluh darah serta melindungi pembuluh darah dari proses

atherosklerosis (terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah). Lipoprotein akan

mengangkut kelebihan kolesterol untuk diangkut kembali ke hati yang akan

selanjutnya diuraikan lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai cairan empedu.

Protein utama yang membentuk HDL adalah Apo-A (apolipoprotein-A, HDL

memiliki kandungan lemak yang lebih sedikit dan kepadatan tinggi sehingga lebih

berat (Fikri, 2009)

Kolesterol LDL lebih banyak mengandung lemak dari pada HDL dengan

kadar LDL rata-rata adalah 150-190 mg/dl. Kolesterol LDL mempunyai

kecendrungan menempel di dinding pembuluh darah ini yang menyebabkan

penyempitan pembuluh darah, LDL juga mengangkut kolesterol paling banyak di

dalam darah. Meningkatnya kadar LDL mengakibatkan pengendapan kolesterol

dalam arteri. Kolesterol LDL memiliki ukuran 3-4 kali lebih besar dari kolesterol

HDL, mengandung kolesterol 70%, 13% lipoprotein, 12% fosfolipida, dan 5% lemak

(Gropper,2005)

Trigliserida merupakan salah satu lemak yang ditranspor ke dalam aliran

darah sebagai sumber energi bagi tubuh. Trigliserida yang masuk ke dalam tubuh

kemudian diproses dan diserap di usus dan darah. Selanjutnya trigliserida disalurkan

ke dalam sel tubuh dalam bentuk kilomikron dan very low density protein (VLDL).

16

Kadar trigliserida rata-rata pada tubuh adalah dibawah 150mg/dl. Trigliserida adalah

sejenis lemak yang berada di dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh.

Meningkatnya jumlah trigliserida dalam darah dapat juga meningkatkan kadar

kolesterol. Beberapa faktor mempengaruhi kadar trigliserida di dalam darah seperti:

obesitas, konsumsi alkohol, gula serta makanan yang berlemak. Meningkatnya

trigliserida akan menambah resiko terjadinya berbagai penyakit terutama penyakit

jantung dan stroke (Hirakawa, 2005).

Kolesterol diproduksi oleh hati, mekanisme kerja kolesterol adalah kolesterol

dibawa oleh lipoprotein yang bernama LDL (Low Density Lipoprotein) untuk dibawa

ke sel-sel tubuh yang memerlukan, termasuk ke sel otot jantung, otak dan lain-lain

agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kelebihan kolesterol yang diangkut oleh

LDL akan diangkut kembali oleh lipoprotein yang disebut HDL (High Density

Lipoprotein) untuk dibawa kembali ke hati yang selanjutnya akan diuraikan lalu

dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam (cairan) empedu (Lehninger, 1982).

2.4 Ekstraksi dengan maserasi

Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik

pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa

bahan alam karena dengan perendaman sampel akan terjadi pemecahan dinding sel

dan membran sel karena perbedaan tekanan antara di dalam dan luar sel, sehingga

metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik

dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang

dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas

17

yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan kelarutan senyawa bahan organik dalam

pelarut tersebut (Irwan 2010).

Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan

dalam proses isolasi senyawa organik bahan alami karena dapat melarutkan seluruh

golongan metabolit sekunder. Kelebihan metode maserasi pada ekstraksi zat warna

alami yaitu zat warna mengandung gugus-gugus yang tidak stabil (mudah menguap

seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung pada

konndisi dingin. Selain itu kelebihan dari maserasi adalah cara pengerjaan yang

dilakukan lebih sederhana dan dapat dilakukan untuk bahan-bahan atau zat yang tidak

tahan terhadap pemanasan. Kelemahan dari metode maserasi adalah banyak pelarut

yang dibutuhkan selama proses maserasi dan waktu yang dibutuhkan lama (Irwan

2010).

2.5 Analisis GC-MS

GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spektrometri) merupakan perpaduan

dari kromatografi gas dan spektroskopi massa. Senyawa yang telah dipisahkan oleh

kromatografi gas, selanjutnya dideteksi atau dianalisis menggunakan spektroskopi

massa. Pada GCMS aliran dari kolom terhubung secara langsung pada ruang ionisasi

spektrometer massa.

Pada ruang ionisasi semua molekul (termasuk gas pembawa, pelarut, dan

solut) akan terionisasi, dan ion dipisahkan berdasarkan massa dan rasio muatannya.

Setiap solut mengalami fragmentasi yang khas (karakteristik) menjadi ion yang lebih

18

kecil, sehingga spektra massa yang terbentuk dapat digunakan untuk mengidentifikasi

solut secara kualitatif (Harvey, 2000).

Pada kromatografi gas (GC) sampel dapat berupa gas atau cairan, yang

diinjeksi pada aliran fasa gerak yang berupa gas inert (juga disebut sebagai gas

pembawa). Sampel dibawa melalui kolom kapiler dan komponen sampel akan

terpisah berdasarkan kemampuanya untuk terdistribusi dalam fasa gerak dan fasa

diam (Harvey, 2000).

Fasa gerak yang paling umum digunakan untuk GC adalah He, Ne, Ar, dan

N2, yang memiliki keuntungan inert terhadap sampel maupun terhadap fasa diam.

Sedangkan kolom yang digunakan biasanya terbuat dari kaca, stainless steel,

tembaga, atau aluminium dan mempunyai panjang sekitar 2-6 m, dan diameter 2-4

mm. Kolom diisi dengan suatu fasa diam dengan kisaran diameter 37-44 µm sampai

250-354 µm (Harvey, 2000).

Komponen yang telah dipisahkan dengan kromatografi gas selanjutnya dapat

dideteksi dengan spektrometer massa. Konsep dari spektrometri massa adalah

sederhana, yaitu suatu senyawa akan diionisasi, ion akan dipisahkan berdasarkan

massa/rasio muatan dan beberapa ion akan menunjukkan masing-masing unit

massa/muatan yang terekam sebagai spektrum massa (Silverstein, 2005)

19

Gambar 2.5. Gas Chromatography – Mass Spektrometri (Silverstein, 2005)

Kromatografi gas-spektrofotometri massa (GC-MS) untuk senyawa fitosterol

memiliki kondisi yang khas yaitu injeksi split dengan rasio pemecahan variasi 1:15

sampai 1:100, suhu injeksi 250-300oC, suhu awal kolom sebesar 250-300

oC dan

sesuai dengan kondisi isokratik maupun temperature pada kolom pemanas yang telah

diprogram (Winkler-moser, 2011).

Kromatografi gas-spektrofotometri massa (GC-MS) mendeteksi senyawa

fitosterol pada ekstrak etanol buah buncis terdeteksi pada kelimpahan sebesar 2,48%

sebagai stigmasterol dan beta sitosterol, 6,01% sebagai - sitosterol, dengan kondisi

running temperature injeksi 280oC, gas pembawa helium dengan tekanan sebesar

149,9 KPa dan laju alir 2,77 mL/menit pada alat GC-MS QP-2010 merk Shimadzu

(Jannah, 2013). Pada ekstrak etanol daun katuk senyawa fitosterol yang dianalisis

dengan GC-MS terdeteksi pada kelimpahan sebesar 3,81% sebagai stigmasterol,

2,38% sebagai sitosterol dan 2,21% sebagai fukosterol dengan energi electron 70 eV,

20

kolom HP Ultra 2 Capilarry coloumn, gas pembawa helium, laju kolom 0,9 l/menit

(Subekti, 2006).

2.6 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi

yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190 - 380) dan sinar

tampak (380 - 780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan

Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energy elektronik yang

cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih

banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman,

1995).

Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer

menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer

adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang di absorpsi.

Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinu, monokromator, sel

pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur

pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 2002).

Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang

berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan

pelarut yang dipakai antara lain:

1.Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada

struktur molekulnya dan tidak berwarna.

2.Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.

21

3.Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.(Mulja dan Suharman, 1995).

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu

wolfram.

2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.

3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau

kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa

karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini.

4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan

detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai

panjang gelombang (Khopkar, 2002).

Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visible

tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel dari

senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan

tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau

terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut

biasanya antara orbital ikatan antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan

orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan

merupakan ukuran dari pemisahan tingkatan-tingkatan tenaga dari orbital yang

bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah gambar antara panjang gelombang atau

frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi). Sering juga

data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang

22

gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar, Emax atau log Emax

(Sastrohamidjojo, 2001).

Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke tingkat

yang lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik.

Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber

berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis. Alat

dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 2002). Pengukuran pada daerah UV harus

menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang

biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan ketebalan 10

mm. Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk meletakkan cairan ke

dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam

daerah spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat

dicuci dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki

(Sastrohamidjojo, 2001).

2.7 Penentuan Kadar Kolesterol

a. Metode CHOD-PAP

Metode CHOD-PAP digunakan untuk menentukan kadar kolesterol

total dan kolesterol HDL. Kolesterol dianalisis pertama kali oleh

Liebermann pada tahun 1855 yang diikuti dengan Burchard 1889. Pada

reaksi Liebermann-Burchard, kolesterol yang terbentuk berwarna biru

kehijauan dari polimer yang tidak terbungkus karbohidrat pada asam

asetat/asam anhidrat. Metode Abell dan Kendall merupakan metode spesifik

23

untuk kolesterol tetapi secara teknis kompleks dan dibutuhkan reagen yang

korosif. Pada tahun 1974, Allain, et., al. dan Roeschlau, et., al. dapat

mengkombinasi kolesterol esterase dan kolesterol oksidase dalam satu

reagen enzim untuk menentukan kolesterol total.

Kolesterol ester, secara enzimatis dihidrolisis dengan kolesterol

esterase (CE) menjadi kolesterol dan asam lemak bebas. Kolesterol bebas

kemudian dioksidasi oleh oksidase kolesterol (CHOD) menjadi kolest-4-en-

3-one dan H2O2. Hydrogen peroksida yang terbentuk bereaksi dengan fenol

dan 4-aminoantipirine (4-AAP) untuk membentuk quinoneimine berwarna

merah. Intensitas warna produk yang dihasilkan berbanding lurus dengan

konsentrasi kolesterol yang diukur melalui peningkatan absorbansi pada

500-550 nm (Biotec, 2011). Reaksi yang terjadi sebagai berikut :

Kolesterol ester + H2O CE

kolesterol + asam lemak

Kolesterol + O2 CHOD

kolest-4-en-3-one + H2O2

2H2O2 + 4-AAP + phenol POD

quinoneimine + 4 H2O

b. Metode GPO-PAP

Metode GPO-PAP digunakan untuk menentukan kadar trigliserida.

Trigliserida pada serum dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebes

oleh enzim lipase lipoprotein. Gliserol diubah menjadi gliserol-3-fosfat,

yang kemudian dioksidasi oleh oksidase gliserol fosfat (GPO) menghasilkan

hidrogen peroksida dan dihidroksiaseton. Hidrogen peroksida bereaksi

dengan 4-klorofenol dan 4-aminoantipirin (4-AAP) membentuk kompleks

quinoneimine berwarna merah yang diukur pada 550 nm Intensitas warna

24

yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi trigliserida dalam

sampel (Biotec, 2011). Reaksi yang terjadi sebagai berikut :

Triglyserida + 3H2O LPL

Gliserol + 3R-COOH

Gliserol + ATP Gliserolkinase

gliserol-3-fosfat + ADP

Gliserol-3-fosfat +O2 GPO

Dihidroksiaseton + fosfat + H2O2

2H2O2 + 4-aminoantipirin + 4-klorofenol POD

4H2O + HCl +

quinoneimine

c. Pemeriksaan Kolesterol LDL

Kadar LDL Kolesterol pada umumnya di estimasi dengan rumus yang

disusun oleh Fridewald, Levy dan Fredicson sebagai berikut:

LDL = Total Kolesterol – (HDL Kolesterol + 1/5 Trigliserida)

Untuk menghitung kadar LDL kolesterol terlebih dahulu dilakukan

pemeriksaan kadar kolesterol total, trigliserida dan HDL kolesterol

(Soeharto, 2000).