pengaruh jenis kapang terhadap mutu … jenis kapang terhadap mutu kimia dan aktivitas antimikroba...
TRANSCRIPT
PENGARUH JENIS KAPANG TERHADAP MUTU KIMIA
DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA TEMPE KACANG
MERAH (Phaseolus vulgaris L.)
DEWI RATNA SARI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Jenis Kapang
terhadap Mutu Kimia dan Aktivitas Antimikroba Tempe Kacang Merah
(Phaseolus vulgaris L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Dewi Ratna Sari
NIM F24100016
ABSTRAK
DEWI RATNA SARI. Pengaruh Jenis Kapang terhadap Mutu Kimia dan
Aktivitas Antimikroba Tempe Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.). Dibimbing
oleh SULIANTARI.
Tempe merupakan salah satu pangan yang banyak digemari di Indonesia.
Selain kedelai, bahan baku dalam pembuatan tempe bermacam-macam, salah
satunya ialah kacang merah. Kandungan gizi tempe kacang merah dengan kedelai
memiliki sedikit perbedaan, namun masih tergolong tinggi. Selain kandungan
gizinya yang tinggi, tempe juga menghasilkan senyawa antimikroba yang dapat
bermanfaat bagi penderita diare. Dalam pembuatan tempe, peranan laru tempe
mempengaruhi hasil dari produk jadi tempe. Laru yang paling banyak digunakan
ialah R. oligosporus dan R. oryzae. Karakteristik kedua kapang ini berbeda
sehingga akan berpengaruh pada tempe yang dihasilkan. Dalam penelitian ini,
akan dilihat pengaruh jenis kapang terhadap mutu kimia tempe dan aktivitas
antimikrobanya. Pengujian antimikroba dilakukan dengan metode sumur dengan
menggunakan bakteri S.aureus sebagai bakteri gram positif dan E.coli sebagai
bakteri gram negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempe kacang merah
dengan kapang R. oligosporus menghasilkan mutu terbaik dari segi kandungan
asam amino dan antitripsin. Kadar asam amino tertinggi ialah tempe dengan
penambahan kapang campuran dalam satu laru, yaitu sebesar 314396 mg/kg.
Namun tempe dengan laru Rhizopus oligosporus dan tempe dengan penambahan
kapang campuran dalam satu laru memiliki kadar asam amino yang tidak berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05. Selain itu, tempe kacang merah dengan kapang
R. oligosporus mempunyai kandungan antitripsin paling rendah, yaitu 8360.4 TUI,
bila dibandingkan dengan tempe kacang merah yang lainnya. Keempat tempe
kacang merah yang dihasilkan tidak mengandung oligosakarida dan tidak
memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri S. aureus dan E. coli.
Kata kunci : Kacang merah, tempe, mutu kimia, dan aktivitas antimikroba
ABSTRACT
DEWI RATNA SARI. The influence of mold types on chemical qualities and
antimicrobial activity of red bean tempeh (Phaseolus vulgaris L.) . Supervised by
SULIANTARI
Tempeh is one of favourite food in Indonesia. In addition to soybean, raw
materials for the manufacture of tempeh are various, one of them is red bean.
Nutrient content of red bean tempeh with soybean have a slight difference, but
still relatively high. In addition to its high content of nutrition value, tempeh also
produces antimicrobial compounds that can be beneficial for patients with
diarrhea. In the making of tempeh, mold is the one who will affect the product.
The most commonly used of mold are R. oligosporus and R. oryzae. The
characteristics of each molds are different, and it affects the result of tempeh.
This research shows the influence of mold types in the chemical qualities of
tempeh and antimicrobial activity. The testing of antimicroba was conducted
using wells method with S. aureus as gram positive bacteria and E.coli as gram
negative bacteria. The result shows that red bean tempeh with R. oligosporus
produces the best quality in terms of amino acids and antitrypsin. The highest
levels of amino acid is in tempeh C, i.e., 314396 mg/kg. However, tempeh B and
tempeh C have no significantly different in level of amino acid (α<0.05). In
addition, red bean tempeh with R. oligosporus have the lowest level of antitrypsin,
i.e., 8360.4 TUI, if it compares to others. Four red bean tempeh do not contains
oligosaccharide in all treatments, and they do not have antimicrobial activity
against S. aureus and E. coli.
Keywords: Red bean, tempeh, chemical qualities, and antimicrobial activity
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
PENGARUH JENIS KAPANG TERHADAP MUTU KIMIA
DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA TEMPE KACANG
MERAH (Phaseolus vulgaris L.)
DEWI RATNA SARI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah Pengaruh
Jenis Kapang terhadap Mutu Kimia dan Aktivitas Antimikroba Tempe Kacang
Merah (Phaseolus vulgaris L.)
Selama masa perkuliahan, penelitian, hingga tahap pembuatan skripsi,
penulis banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Dra. Suliantari, MS. selaku pembimbing yang telah memberikan
banyak bimbingan, saran, nasihat, evaluasi, arahan, dan senantiasa selalu
memberikan motivasi dari masa perkuliahan, tahap penelitian, hingga
penyusunan skripsi.
2. Ibu Antung Sima Firlieyanti STP, Msc. dan Bapak Dr. Eko Hari
Purnama, STP, MSc yang senantiasa memberikan bimbingan dan saran
dalam penelitian
3. Ibunda tercinta, Siti Rochaeni yang tak hentinya berdoa dan memberikan
semangat serta kasih sayangnya. Tak lupa juga kepada kakak-kakak ku
tersayang, Kusdiantoro, Bambang Suprapto, dan Heru Rudiyanto yang
selalu mendukung dan memberikan banyak motivasi
4. Seluruh laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Mbak Nurul,
Mbak Ari, Mas Edi, Pak Gatot, Bu Antin, Mba Irin, Mba Ririn, Pak
Yahya, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Ika yang senantiasa membantu
selama penelitian
5. Rekan-rekan seperjuangan dalam penelitian, Vega, Isna, Lulu, Tommy ,
Barli, dan Andini, yang telah banyak membantu dan menemani
6. Sahabat tersayang, Alfia Nurul Ilma, Anggun S Putri, Desi Aristawati,
dan Pipit Pratama yang senantiasa memberikan dukungan, saran, dan
semangat
7. Segenap dosen serta staff Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas
ilmu yang telah diberikan kepada penulis serta selalu membantu dengan
ramah
8. Teman-teman seangkatan, keluarga besar ITP 47 dan Himitepa yang
telah banyak memberikan rasa suka dan duka bersama
9. Keluarga besar Pondok Harmoni, Ibu Oki, Mbak Ika, Eci, dan Sendy
yang menjadi keluarga kedua di Bogor
10. Ikatan Keluarga Indramayu (IKADA) yang siap memberikan bantuan
dan dukungan serta telah menjadi keluarga di Bogor
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Oktober 2014
Dewi Ratna Sari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Bahan 3
Alat 3
Metode Analisis 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Pembuatan tempe 11
Karakteristik kimia 12
Aktivitas Antimikroba 20
SIMPULAN DAN SARAN 22
Simpulan 22
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 26
RIWAYAT HIDUP 33
DAFTAR TABEL
1 Komposisi zat gizi kacang tiap 100 gram bahan 1 2 Kemampuan ekstrak tempe kacang merah dalam menghambat
pertumbuhan bakteri uji 21 3 Komposisi Asam Amino Kacang Kedelai dan Kacang Merah 21
DAFTAR GAMBAR
1 Prosedur Pembuatan Tempe Kacang Merah 4 2 Penampakan tempe A, B, C, dan D 11 3 Kadar air tempe kacang merah basis basah perlakuan A, B, C, dan D 12 4 Kadar abu tempe kacang merah basis kering perlakuan A, B, C, dan D 13
5 Kadar lemak tempe kacang merah basis kering perlakuan A, B, C, D 14 6 Kadar protein tempe kacang merah basis kering perlakuan A, B, C, D 15 7 Kadar karbohidrat tempe kacang merah basis kering perlakuan A, B, C,
D 16 8 Kandungan antitripsin tempe kacang merah basis kering perlakuan A, B,
C, D 16 9 Kadar isoflavon tempe kacang merah basis kering tempe A, B, C, D 18
10 Komposisi asam amino tempe kacang merah perlakuan A, B, C, D 19 11 Kadar asam amino total tempe kacang merah basis kering tempe A, B,
C, D 20
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kadar proksimat tempe kacang merah berbagai perlakuan 26
2 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar air 26
3 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar abu 26
4 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar lemak 27
5 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar protein 28
6 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar karbohidrat 28
7 Data kadar antitripsin tempe kacang merah berbagai perlakuan 29
8 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar antitripsin 29
9 Data kadar isoflavon tempe kacang merah berbagai perlakuan 30
10 Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar isoflavon 30
11 Data kadar asam amino total tempe kacang merah 31
12 Uji One Way ANNOVA dan uji lanjut Duncan kadar asam amino total 31
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe merupakan salah satu produk pangan tradisional yang banyak
digemari oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Selain memiliki rasa yang
disukai, tempe juga mengandung banyak sekali manfaat bagi tubuh karena
kandungan gizi di dalamnya, terutama kadar proteinnya yang tinggi, sehingga
tempe dijadikan sebagai sumber protein nabati. Tempe diolah dengan teknologi
fermentasi oleh kapang Rhizopus sp. yang dikenal sebagai ragi tempe. Proses
fermentasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan kimia dan fisik pada
bahan baku tempe yang digunakan sehingga menjadi lebih mudah dicerna oleh
tubuh. Dalam pembuatan tempe, bahan baku yang sering digunakan ialah kacang
kedelai. Secara kuantitatif, nilai gizi tempe sedikit lebih rendah daripada nilai gizi
kedelai. Namun, secara kualitatif, nilai gizi tempe lebih tinggi. Hal ini disebabkan
tempe memiliki daya cerna yang baik.
Ada berbagai jenis tempe tergantung dari jenis bahan baku yang digunakan.
Namun yang paling sering ada di pasaran adalah tempe berbahan baku kedelai
(Winarno 1985). Bahan lain yang dapat digunakan untuk membuat tempe adalah
koro benguk, lamtoro, kacang hijau, dan lain-lain. Kacang merah merupakan salah
satu jenis kacang yang mempunyai kandungan gizi cukup tinggi dan tidak terlalu
jauh berbeda dengan kacang kedelai. Kandungan gizi dari kacang merah dan
kacang kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi zat gizi kacang tiap 100 Gram Bahan
Zat Gizi per 100
gram Kacang Merah Kacang Kedelai
Energi (kkal) 336 331
Protein (g) 23.1 34.9
Lemak (g) 1.7 18.1
Karbohidrat (g) 59.5 34.8
Kalsium (mg) 80 227
Fosfor (mg) 400 585
Besi (mg) 5.0 8.0
Vitamin A (IU) 0 110
Vitamin B1 (mg) 0.6 1.07
Vitamin C (mg) 0 0
Air (g) 12.0 7.5
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes (1992)
2
Tempe selain memiliki gizi yang tinggi, juga memiliki kelebihan lain yaitu
terdapat aktivitas antimikroba di dalamnya. Aktivitas antibakteri pada tempe
dilaporkan pertama kali oleh Wang et al. (1969) dalam Pawiroharsono (1996)
yang menyatakan bahwa senyawa antibakteri pada ekstrak tempe terdiri dari
senyawa gliko-protein dan dapat menghambat beberapa bakteri Gram positif.
Menurut Kobayasi et al. (1992), tempe mengandung senyawa antibakteri yang
memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif seperti Bacillus
subtilis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus cremoris, serta Listeria. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Affandi dan Mahmud (1985) menyatakan tempe
mengandung zat antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab diare seperti Salmonella sp. dan Shigella sp.. Hal tersebut memberikan
peluang untuk memanfaatkan tempe sebagai bahan makanan untuk penderita
diare.
Dalam pembuatan tempe, peranan laru tempe sangat mempengaruhi hasil
dari tempe yang dibuat. Hal ini disebabkan laru tempe mempunyai enzim yang
dapat menghidrolisis komponen kompleks menjadi komponen yang lebih
sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Kapang yang berperan dalam
pembuatan tempe adalah dari genus Rhizopus sp., yaitu umumnya Rhizopus
oligosporus sebagai kapang pemeran utama yang terkandung dalam tempe
(Pawiroharsono 1996). Namun ternyata ditemukan pula jenis kapang lain yang
dapat menjadi kapang tempe dan membentuknya secara sempurna yaitu Rhizopus
oryzae. Steinkraus et al. (1960) telah membuktikan sejumlah strain R. oryzae
dapat memfermentasi kedelai seperti R. oligosporus, namun membutuhkan waktu
yang lebih lama. Kedua jenis kapang tersebut tentunya memiliki perbedaan.
Kapang R. oligosporus mensintesis enzim protease lebih banyak untuk memecah
protein dibandingkan dengan R. oryzae. Sedangkan R. oryzae mensintesis lebih
banyak enzim amilase untuk memecah pati. Oleh karena itu, biasanya dipakai
keduanya dengan kadar R. oligosporus lebih banyak, yaitu 1:2 (Koswara 1992).
Untuk itu, dalam penelitian ini, akan diamati pengaruh jenis laru pada pembuatan
tempe kacang merah. Selain itu, juga diamati pengaruh dari laru tersebut terhadap
mutu kimia (kandungan oligosakarida, asam amino, isoflavon, dan antitripsin) dan
aktivitas antimikroba. .
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari jenis kapang
(R.oligosporus, R.oryzae, campuran keduanya dalam satu laru, dan campuran
keduanya dalam laru yang berbeda) terhadap mutu kimia tempe kacang merah
(kandungan oligosakarida, asam amino, isoflavon, serta antitripsin) dan aktivitas
antimikroba.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya jenis tempe kacang merah
yang merupakan salah satu diversifikasi bahan baku pembuatan tempe dan
mengetahui perlakuan penambahan jenis laru terbaik yang menghasilkan mutu
dan aktivitas antimikroba.
3
METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang merah, laru
tempe yang terdiri dari laru kapang Rhizous oryzae, Rhizopus oligosporus, dan
campuran kedua kapang, serta cuka makan DIXITM
25%. Selain itu, bahan kimia
yang digunakan untuk analisis yaitu seperti garam-garam jenuh, heksana, larutan
HCl 25%, aquades, H2SO4 pekat, HgO, K2SO4, Larutan 60% NaOH 5%
Na2S2O2.5H2O, H2BO3 jenuh, HCl 0.02 N, etanol 95%, batu didih, indikator
metilen red dan metilen blue, etanol 70%, acetonitril, aquabidest, stakiosa,
rafinosa, fruktosa, sukrosa, glukosa, maltosa, Natrium Azid, metanol, NaOH 2N,
asam asetat glasial, genistin, daidzein, genistein, glycitein, HCl 6N, AABA,
AccQ- Fluor Borate, reagent Fluor A, NaOH 0.01 N, larutan tripsin, larutan
BAPNA, dan asam asetat 30%. Untuk analisis antimikroba, dibutuhkan kultur
bakteri S. aureus dan E. coli, medium NA, NB, DMSO (Dimethyl Sulfoxide),
Amoxicilin.
Alat
Alat yang digunakan adalah baskom, panci, saringan peniris, kompor,
pengaduk kayu, sendok besar, plastik, rak. Selain itu, alat yang digunakan untuk
analisis meliputi cawan alumunium, desikator, oven, neraca analitik, termometer,
penjepit cawan (gegep), cawan porselen dan tutupnya, tanur, kertas saring
Whatman, membran filter ukuran 0.22 µm dan 0.45 µm, alat ekstraksi soxhlet,
labu lemak, kapas, pemanas Kjeldahl, labu Kjeldahl, alat destilasi lengkap, buret,
labu takar, pipet mohr, erlenmeyer, gelas beaker, magnetic stirer, pipet tetes, botol
semprot, tabung reaksi, gelas ukur, sentrifuse, HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) vortex, blender, freezer, sonikator, penyaring vakum, cawan
petri, inkubator, waterbath, vial bertutup, syringe, dan alat pembentuk sumur.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap I dan tahap II. Pada
tahap I mempelajari pembuatan tempe kacang merah. Sedangkan pada tahap II,
dilakukan produksi tempe kacang merah dengan berbagai jenis kapang. Pada
tahap ini, dilakukan analisis mutu dan pengujian aktivitas antimikroba.
Dalam penelitian ini, dibuat tempe kacang merah dengan persen aerasi 1.7 %
dengan empat perlakuan penambahan jenis laru, yaitu laru A, laru B, laru C, laru D.
Laru A terbuat dari kapang Rhizopus oryzae, laru B dari Rhizopus oligosporus,
laru C terbuat dari campuran kedua kapang dalam satu laru, dan laru D merupakan
gabungan dari kedua kapang dalam laru yang terpisah. Waktu inkubasi yang
digunakan dari masing-masing perlakuan ialah 36 jam. Diagram alir tahapan
pembuatan tempe kacang merah dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Prosedur Pembuatan Tempe Kacang Merah
kacang merah utuh
perebusan 10 menit
perendaman 7 jam
pencucian
pengupasan kulit kacang
pencucian
kacang merah tanpa kulit ari
pengukusan 10 menit
penirisan dan pendinginan 35oC - 40oC
pencampuran
pengemasan pada kantung plastik
inkubasi pada suhu ruang (36 jam)
tempe kacang merah (persen aerasi 1.7 %)
Air + asam
asetat pH
4,5
Laru
Tempe
Kulit ari
kacang
merah
5
Metode Analisis
Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)
Analisis kadar air dilakukan dengan terlebih dahulu mengeringkan cawan
kosong dan tutupnya dalam oven selama 15 menit, lalu cawan didinginkan dalam
desikator. Cawan yang sudah kering diambil dengan penjepit dan ditimbang
beratnya. Sampel lalu dimasukkan ke dalam cawan sebanyak 2 gram sampel,
kemudian cawan beserta sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 3
jam. Setelah 3 jam ambil cawan dengan penjepit lalu didinginkan dalam desikator
dan timbang. Kadar air dihitung dengan rumus:
%100W
W2)-(W1-W bb) (%air Kadar x
%100W2-W1
W2)-(W1-W bk) (% air Kadar x
Keterangan:
W : Bobot sampel (gram)
W1: Bobot cawan+ sampel kering (gram)
W2: Bobot cawan (gram)
Analisis Kadar Abu Metode Pengabuang Kering (SNI 01-2891-1992)
Analisis Kadar abu dilakukan dengan menggunakan metode pengabuan
kering. Tahapan analisis diawali dengan cawan porselen beserta tutupnya
dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit lalu didinginkan dalam
desikator. Setelah dingin, cawan porselen tersebut ditimbang dan sebanyak 3
gram sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang kembali. Sampel
diarangkan terlebih dahulu di atas nyala pembakar dan selanjutnya sampel
dimasukkan ke dalam tanur listrik dan dipanaskan pada suhu maksimum 550oC
sampai pengabuan sempurna. Setelah pengabuan selesai, sampel dan cawan
didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan
rumus:
%100
W
W2-W1 (%bb)Abu Kadar x
( ) ( )
( )
Keterangan:
W : Bobot sampel (gram)
W1: Bobot cawan+ abu (gram)
W2: Bobot cawan (gram)
6
Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Untuk
produk kering sampel harus dihidrolisis terlebih dahulu karena matriks bahan
yang cukup kompleks. Labu lemak yang digunakan dikeringkan dalam oven,
kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 2 gram contoh
ditambahkan dengan 20 ml air dan 30 ml HCl 25%, kemudian dididihkan selama
15 menit dalam gelas piala yang ditutup gelas arloji. Larutan tersebut disaring
dengan kertas saring, selanjutnya dicuci dengan air panas hingga pH netral.
Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC hingga kering.
Kertas saring yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam selongsong
dengan sumbat kapas lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan
dihubungkan dengan kondensor dan labu lemak. Alat kondensor diletakkan di
atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukkan ke
dalam labu lemak secukupnya,lalu didiamkan selama 6 jam agar terjadi proses
ekstraksi. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali.
Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu
105oC lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi
hingga mencapai berat tetap. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
%100
W
W2-W1 (%bb)Lemak Kadar x
( ) ( )
( )
Keterangan:
W : Bobot sampel (gram)
W1: Bobot labu+ lemak (gram)
W2: Bobot labu (gram)
Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 960.52)
Analisis kadar protein ini menggunakan metode Kjeldahl. Sebanyak 0.25
gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram
K2SO4, 40 ± 10 ml HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4, selanjutnya contoh didihkan
sampai cairan jernih kemudian dididnginkan. Larutan jernih ini dipindahkan ke
dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air
destilata, kemudian air cuciannya dimasukkan ke dalam alat destilasi, pembilasan
dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH – 5%
Na2S2O3. 5H20 ke dalam alat destilasi.
Di bawah kondensor dilatakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3
jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1 bagian
0.2% metilen blue dalam etanol 95%). Ujung tabung kondensor harus terendam
dalam larutan H3BO3, kemudian dilakukan destilasi sehingga diperoleh sekitar 15
ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai
7
terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Kadar protein kasar Kjeldahl
data dihitung denga rumus:
%100contoh mg
14.007 x HCl N x blanko) HCl V -contoh HCl (V (%bb) NKadar x
Fk x N % bb) % (protein Kadar
( ) ( )
( )
Keterangan :
Fk : 6.25
Analisis Karbohidrat Metode By Difference
Setelah diperoleh kadar air, abu, lemak, dan protein, maka kadar
karbohidrat dapat ditentukan dengan menghitung selisih bobot sampel dengan
kadar-kadar tersebut. Karbohidrat diasumsikan sebagai bobot sampel selain air,
abu, lemak dn protein (Faridah et al. 2012). Cara perhitungan kadar karbohidrat
metode by difference sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + %abu + %protein + % lemak)
Analisis Antitripsin (Kakade et al. 1974)
a. Persiapan Ekstrak
Sebanyak 1 gram tepung sampel dilarutkan dalam 50 mL NaOH 0.01 N.
Sampel diaduk selama 3 jam dengan menggunakan magnetic stirer. Hasil dari
pengadukan tersebut kemudian dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 5000 rpm
selama 10 menit pada suhu 5oC.
b. Analisis
Sejumlah ekstrak (0; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; 1.0 mL) dipipet ke dalam tabung
reaksi. Masing-masing ekstrak ditambahkan dengan air destilata hingga volume
mencapai 2 mL. Sebanyak 2 mL larutan tripsin ditambahkan ke dalam masing-
masing tabung reaksi. Setelah itu, dipanaskan dalam penangas air dengan suhu
37oC selama 5 menit. Setelah dingin, larutan BAPNA bersuhu 37
oC ditambahkan
sebanyak 5 mL, kemudian vortex. Ekstrak dipanaskan kembali menggunakan
penangas air dengan suhu 37oC selama 10 menit. Setelah 10 menit, sebanyak 1
mL asam asetat 30% ditambahkan ke dalam masing-masing tabung, vortex. Bila
larutan yang dihasilkan berwarna jernih, maka pengukuran absorbansi dengan
spektrofotometer langsung dilakukan dengan panjang gelombang 410 nm. Bila
sampel yang dihasilkan keruh, maka perlu dilakukan penyaringan dengan kertas
saring. Aktivitas inhibitor tripsin dinyatakan sebagai satuan tripsin yang
dihambat (Trypin Unit Inhibited, TUI) dengan rumus:
x 10
8
Analisis Oligosakarida (Wang et al. 2007 yang dimodifikasi)
a. Ekstraksi Oligosakirda
Sebanyak 2 gram sampel tempe yang telah ditepungkan dihilangkan
lemaknya dengan penambahan heksana, kemudian dilakukan pengadukan dengan
menggunakan magnetic stirer selama 3 jam. Sampel yang telah diekstrak
kemudian disaring dengan kertas Whatman#41. Residu secara kuantitatif
dipindahkan ke dalam gelas piala. Oligosakarida diekstrak dengan penambahan
etanol 70% sebanyak 20 mL, lalu dipanaskan dengan waterbath dengan suhu
70oC selama 1 jam. Ekstrak kemudian disaring, lalu dimasukan dalam labu takar
100 mL, tera dengan etanol 70%. Hasil ekstrak sebelum diinjeksi ke dalam HPCL,
disaring terlebih dahulu dengan menggunakan penyaring membran berukuran
0.45 µm, sampel dimasukan dalam vial tertutup. Setelah itu, sampel ditambahkan
Natrium Azid sebanyak 10% dari volume dalam vial. Sampel kemudian siap
untuk diinjeksi.
Pada metode ini tidak dilakukan sentrifugasi dan penghilangan etanol
dengan hembusan N2 seperti yang telah dilakukan oleh Wang. Hal ini disebabkan,
penghilangan etanol dengan N2 memerlukan waktu yang lama karena perbedaan
titik uap yang cukup jauh. Etanol bisa dihilangkan dengan rotary evaporator,
namun dikhawatirkan oligosakarida yang akan dianalisis akan rusak karena
perlakuan panas tersebut. Kemudian, tahap sentrifugasi diubah dengan melakukan
penyaringan membran.
b. Analisis HPLC
HPLC yang digunakan menggunakan detektor Refractive Index dengan
kolom ZORBAX Carbohydrate Analysis Columns berukuran 5 µm x 4.6 mm x
150 mm. Fase gerak yang digunakan ialah campuran acetonitril dan aquabides
dengan perbandingan 75:25, dengan kecepatan aliran 1.4 mL/menit. Standar
dalam pengujian kandungan oligosakarida ialah rafinosa dan stakiosa, sedangkan
standar untuk menentukan kandungan gula sederhana ialah fruktosa, sukrosa,
glukosa, dan maltosa. Kadar oligosakarida dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
( )
dimana: A spl (luas area peak sampel); A std (luas area peak standar); Vs(volume
larutan ekstrak sampel, ml); W (bobot sampel, g bk)
Analisis Isoflavon Metode HPLC (AOAC 2001)
a. Persiapan contoh
Sebanyak 50 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL,
kemudian ditambahkan larutan ekstraksi, yaitu metanol dan air dengan
perbandingan 80:20. Erlenmeyer kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam
waterbath shaker dengan suhu 65oC selama 2 jam. Setelah itu, didinginkan, lalu
sebanyak 3 mL NaOH 2N ditambahkan, kocok selama 10 menit. Selanjutnya
ditambahkan asam asetat glasial sebanyak 3 mL, kocok kembali dan dipindahkan
9
secara kuantitatif ke dalam labu takar 50 mL, tera dengan menggunakan larutan
ekstraksi. Hasil tersebut disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 dan
kemudian filtrat dipipet sebanyak 5 mL ke dalam labu takar 10 mL. Selanjutnya
ditambahkan aquabidest sebanyak 4 mL, kemudian tera dengan metanol dan air
dengan perbandingan 1:1, kocok. Sampel tersebut disentrifuge dengan kecepatan
7000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke
dalam vial dan siap untuk diinjeksi ke dalam HPLC.
b. Analisis HPLC
HPLC yang digunakan ialah menggunakan UV Detector λ 260 nm
dengan kolom C18 Reverse phase 200 x 2.1 mm dan laju aliran 0.4 mL/menit.
Dalam analisis ini, digunakan dua fase gerak. Fase gerak yang pertama ialah air :
metanol : asam asetat glasial (88:10:2), dan fase gerak kedua ialah metanol : asam
asetat glasial (98:2). Standar yang digunakan ialah genistin, daidzein, genistein,
dn glycitein. Perhitungan kadar isoflavon ialah dengan rumus:
( ) ( )
dimana: Aspl (luas area sampel); Astd (luas area standar); Cstd (konsentrasi
standar); FP (faktor pengencer); W (bobot sampel, kg); V (Volum labu L)
Analisis Komposisi Asam Amino (Nollet dan Leo ML 1996)
a. Persiapan contoh
Sebanyak 0.1 gram contoh ditambahkan dengan 5 mL HCl 6N dan divortex,
lalu biarkan reaksi hidrolisis tersebut terjadi selama 22 jam pada suhu 110oC.
Setelah itu, sampel didinginkan dan dipindahkan ke dalam labu takar 50 mL lalu
ditera dengan menggunakan aquabidest, kemudian disaring dengan filter
berukuran 0.45 µm. Filtrat dipipet sebanyak 500 µl dan direaksikan dengan 40 µl
AABA dan 460 µl aquabidest, lalu sebanyak 10 µl larutan hasil reaksi tersebut
diambil dan direaksikan dengan menggunakan AccQ-Fluor Borate sebanyak 70 µl,
vortex. Selanjutnya, tambahkan dengan 20 µl reagent fluor A, vortex, dan
didiamkan selama 1 menit. Hasilnya diinkubasi pada suhu 55oC selama 10 menit.
Sampel siap untuk diinjeksi ke dalam HPLC.
a. Analisis HPLC
HPLC yang dipakai dalam analisis ini menggunakan detektor Fluorescense
dengan eksitasi 250 nm dan emisi 395 nm, dan kolom yang digunakan ialah
AccQtag column (3.9 x 150 mm). Analisis dilakukan pada suhu 37oC dengan laju
aliran 1.0 mL/menit. Fase gerak yang digunakan ialah Acetonitril 60% - AccQTag
Eluent A, sistem gradien komposisi. Standar yang digunakan ialah mix asam
amino dan AABA sebagai internal standar. Perhitungan asam amino pada sampel
dapat dilakukan dengan rumus:
Kadar Asam Amino (mg/kg) =
10
dimana: A std (luas area peak standar); A spl (luas area peak sampel); AABA std
(standar AABA); BM (Bobot molekul); FP (faktor pengencer); Cstd
(konsentrasi standar); Wspl (Bobot sampel, g).
Analisis Aktivitas Antimikroba
a. Ekstraksi Tempe (Metode Kuligowski et al. 2013 yang dimodifikasi)
Sebanyak 10 gram tempe dihomogenisasi dengan air sebanyak 20 mL
menggunakan blender selama 3 menit. Hasil homogenisasi tersebut kemudian
disaring dengan menggunakan kertas saring. Setelah itu, filtrat disentrifuge
dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Supernatan hasil sentrifuge disaring
menggunakan membran filter steril dengan ukuran pori sebesar 0.22 µm (Mil-
lipore).
Pada metode ini dilakukan penambahan tahapan sentrifugasi untuk
mengendapkan padatan-padatan hasil hasil homogenisasi tempe. Selain itu, alat
homogenizer H-500 Pol-Eko Aparatura yang digunakan oleh Kuligowski et al
untuk homogenisasi diganti dengan blender.
Pengujian Aktivitas Antibakteri Metode Difusi Agar (Wolf dan Gibbons
1996 yang dimodikfikasi) 1. Persiapan Kultur Uji
Sebanyak 1-2 ose mikroorganisme dari biakan agar miring diinokulasikan
dalam medium NB cair 10 mL dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam.
2. Pengujian Aktivitas Antimikroba
Metode pengujian aktivitas antimikroba menggunakan metode difusi agar
yang dimodifikasi, yaitu pada metode Wolf dan Gibbons menggunakan Nisin
Bioassay Agar (NBA) dan pada penelitian ini media yang digunakan adalah
Nutrient Agar (NA). Sebanyak 0.01 mL suspensi bakteri S. aureus dengan
konsentrasi sekitar 107
koloni/mL dan 0.001 mL suspensi bakteri E.coli dengan
konsentrasi sekitar 108 koloni/mL yang telah disegarkan selama 24 jam dalam
medium NB, dicampurkan dengan medium NA steril masing-masing sebanyak
100 mL dalam erlenmeyer. Selanjutnya, dibuat 3-4 sumur pada agar tersebut
dengan diameter 6 mm, lalu dimasukkan ± 40 µl sampel uji ke dalam masing-
masing sumur. Cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam dengan
posisi cawan menghadap ke atas. Kemudian, diamati adanya penghambatan
dengan mengukur diameter zona bening.
Sampel uji yang digunakan ialah ekstrak tempe kacang merah dengan
perlakuan laru A, B, C, dan D. Kontrol negatif yang digunakan ialah DMSO dan
kontrol positifnya ialah amoxicillin. Ekstrak yang digunakan mempunyai
konsentrasi 100% (tanpa diencerkan dengan DMSO), sedangkan amoxicillin
dilarutkan ke dalam DMSO. Konsentrasi amoxicillin untuk pengujian E. coli
ialah 0.05 % dan untuk pengujian S. aureus ialah 0.01 % ( Abdalla 2013).
Penggunaan DMSO sebagai pelarut dilakukan karena DMSO dapat melarutkan
senyawa organik polar dan senyawa organik non polar. Penggunaan amoxicillin
dengan konsentrasi yang lebih rendah pada S.aureus dilakukan karena
amoxicillin merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan biasanya efektif
terhadap Gram positif dan Gram negatif terutama Strain S. aureus dan
11
enterokokus yang biasanya menimbulkan penyakit infeksi pencernaan (Parhusip
2006).
Analisis Data
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan, maka
dilakukan uji one-way ANOVA dan uji lanjut Duncan dengan menggunakan
SPSS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Tempe
Proses pembuatan tempe kacang merah sama dengan pembuatan tempe
kedelai, yaitu melalui tahap perebusan, perendaman, pengupasan, dan
pengukusan. Laru yang ditambahkan terdiri dari empat perlakuan, yaitu (A) R.
oryzae; (B) R. oligosporus; (C) campuran R. oryzae dan R.oligosporus 1:1 dalam
satu laru; dan (D) campuran R. oryzae dan R. oligosporus 1:1 dari laru yang
berbeda, dimana masing-masing laru dicampurkan sebanyak 5 gr/kg kacang
merah dalam kondisi hangat (sekitar 35oC – 40
oC). Selanjutnya dikemas dalam
kantung plastik yang telah diberi lubang.
Kacang yang telah dikemas kemudian disimpan pada suhu ruang selama 36
jam. Menurut Maknun (2013) (belum dipublikasi), waktu inkubasi tersebut
merupakan waktu inkubasi terbaik untuk tempe kacang merah masing-masing
laru . Penampakan dari tempe kacang merah masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada Gambar 2.
Tempe A Tempe B
Tempe C Tempe D
Gambar 2. Penampakan tempe kacang merah perlakuan A, B, C, dan D
Keterangan: A = R. oryzae
B = R. oligosporus
C = campuran R. oryzae dan R.oligosporus dalam satu laru
D = campuran R. oryzae dan R. oligosporus dari laru yang berbeda
12
Secara keseluruhan, penampakan tempe kacang merah dengan berbagai
perlakuan tidak jauh berbeda dengan tempe kedelai. Tempe kacang merah
memiliki tekstur yang kompak dengan miselium berwarna putih. Namun, aroma
tempe kacang merah lebih menyengat atau berbau seperti alkohol. Pada proses
fermentasi, terjadi penguraian senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Kandungan karbohidrat kacang merah lebih tinggi dibandingkan
kacang kedelai, yaitu sekitar 59.5 gram/100 gram bahan, sehingga dari hasil
fermentasi karbohidrat akan dihasilkan alkohol yang lebih tinggi dibandingkan
kedelai.
Karakteristik Kimia
Kadar Air
Kadar air diukur dengan menggunakan metode oven. Kadar air tempe
kacang merah dalam basis basah dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar air
tempe kacang merah
Kadar air tempe kacang merah (basis basah) dengan perlakuan laru A, B,
C, dan D, berturut-turut ialah 60.8 %, 61.24 %, 62.52 %, dan 62.72 %. Kadar air
tersebut tergolong tinggi sehingga tempe termasuk bahan pangan yang mudah
rusak dan memiliki daya tahan sekitar 2-3 hari (Koswara 1992). Data kadar air
tempe kacang merah dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari keempat perlakuan
tersebut, tempe dengan penambahan laru D (campuran R. oligosporus dan R.
oryzae dari laru yang berbeda) mengandung kadar air lebih banyak, sedangkan
tempe dengan penambahan laru A (R. oryzae) mengandung kadar air lebih sedikit.
Berdasarkan hasil uji statistik, keempat perlakuan tempe tersebut tidak berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan jenis kapang tidak mempengaruhi kadar air pada tempe kacang merah.
Menurut Karisma (2014), kadar air kacang merah utuh adalah 16.22 %
dan kacang merah yang telah direbus dan rendam asam adalah 56.83 %. Selama
fermentasi, terjadi peningkatan kadar air dari produk yang dihasilkan. Kondisi ini
diduga karena adanya metabolisme mikroba selama fermentasi dan menghasilkan
air hasil dari pemecahan substrat tersebut (Dwinaningsih 2010).
60.8a 61.24a 62.52a 62.72a
0
10
20
30
40
50
60
70
A B C D
Kad
ar A
ir B
B (
%)
Jenis Laru
13
Kadar Abu
Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral yang
terdapat dalam bahan pangan. Kadar abu diukur dengan menggunakan metode
pengabuan kering. Kadar abu tempe kacang merah dalam basis kering dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar abu
tempe kacang merah
Kadar abu (basis kering) tempe kacang merah dengan penambahan laru A,
laru B, laru C, dan laru D, berturut-turut ialah 2.62 %, 2.71 %, 2.60 %, 2.56 %. Data
kadar abu tempe kacang merah dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari keempat
perlakuan, dapat diketahui bahwa tempe kacang merah dengan penambahan laru B
(R. oligosporus) memiliki kadar abu terbesar, yaitu 2.71 %, sedangkan tempe
kacang merah dengan penambahan laru D (campuran R. oligosporus dan R. oryzae
dari laru yang berbeda) memiliki kadar abu paling sedikit, yaitu 2.56 %. Namun
menurut hasil uji statistik, keempat perlakuan tempe kacang merah tersebut tidak
berbeda nyata pada taraf 0.05 (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan perlakuan
kapang tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar abu tempe kacang
merah.
Kacang merah utuh mempunyai kadar abu sebesar 4.26 % dan kacang
merah yang telah direbus adalah 2.77 %. Adanya proses perebusan, perendaman,
serta fermentasi dalam pembuatan tempe akan menyebabkan komponen mineral
tersebut menjadi larut sehingga terjadi penurunan kadar abu pada tempe (Karisma
2014).
Kadar Lemak
Kadar lemak diukur dengan menggunakan metode soxhlet. Kadar lemak
tempe kacang merah dalam basis kering dapat dilihat pada Gambar 5.
2.62a 2.71a 2.6a 2.56a
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
A B C D
Kad
ar A
bu
BK
(%
)
Jenis Laru
14
Gambar 5. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar lemak
tempe kacang merah
Kadar lemak tempe kacang merah (basis kering) berturut-turut ialah 1.07 %
(A), 1.96 % (B), 1.89 % (C), dan 1.22 % (D). Data kadar lemak tempe kacang
merah dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat
bahwa tempe B memiliki kadar lemak paling tinggi dan tempe A memiliki kadar
lemak paling rendah. Namun, berdasarkan hasil uji statistik, keempat perlakuan
tempe kacang merah tidak berbeda nyata pada taraf siginifikansi 0.05 (Lampiran
4). Hal ini menunjukkan keempat perlakuan kapang tidak memberikan pengaruh
nyata pada kadar lemak tempe kacang merah. Kadar lemak tempe kacang merah (basis kering) jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kadar lemak tempe kedelai menurut SNI 01-3144-2009 yaitu
28 %. Hal ini diduga karena kandungan lemak dari kacang merah lebih rendah dari
kedelai yaitu 1.7 % untuk kacang merah dan 18.1 % untuk kedelai (Depkes 1992).
Proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan tempe dapat menurunkan
kadar lemak. Penurunan kadar lemak dipengaruhi oleh aktivitas enzim lipase
Rhizopus sp.. Enzim tersebut akan menghidrolisis trigliserol menjadi asam lemak
bebas yang akan digunakan sebagai sumber energi kapang tersebut. Hal itulah yang
menyebabkan kandungan lemak menurun (Kumalasari 2012).
Kadar Protein
Pengujian kadar protein dapat dilakukan dengan metode Kjeldahl, dimana
dalam metode ini akan diukur jumlah nitrogen (N) yang terkandung dalam sampel.
Kadar protein tempe kacang merah dalam basis kering dapat dilihat pada Gambar
6. Kadar protein tempe kacang merah (basis kering) berturut-turut ialah 32.79 %
(A), 33.01 % (B), 36.99 % (C), dan 35.03 % (D). Data kadar protein tempe kacang
merah dapat dilihat pada Lampiran 1. Tempe C memiliki kadar protein tertinggi,
sedangkan tempe A memiliki kadar protein terendah. Namun, berdasarkan hasil uji
statistik, keempat perlakuan tersebut tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 5). Hal ini menunjukkan keempat perlakuan kapang tersebut tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein tempe kacang merah.
1.07a
1.96a 1.89a
1.22a
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
A B C D
Kad
ar L
em
ak B
K (
%)
Jenis Laru
15
Gambar 6. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar protein
tempe kacang merah
Seperti halnya pada analisis yang sebelumnya, kadar protein tempe kacang
merah lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein minimal tempe kedelai
menurut SNI 01-3144-2009 yaitu 45 % (basis kering). Hal ini diduga karena
kandungan protein dari kacang merah lebih rendah dibandingkan dengan kedelai, yaitu
23.1 % untuk kacang merah dan 34.9 % untuk kedelai (Depkes 1992).
Kadar protein kacang merah utuh ialah sebesar 23.01 % dan dengan adanya
proses fermentasi terjadi peningkatan kadar protein pada produk tempe kacang merah.
Kapang yang digunakan dalam proses pembuatan tempe dapat menghasilkan suatu
enzim protease. Adanya enzim protease menyebabkan terjadinya degradasi protein
menjadi asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat (Deliani 2008).
Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat tempe kacang merah (basis kering) dengan menggunakan
metode by difference dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut,
kadar karbohidrat tempe kacang merah berturut-turut ialah 63.53 % (A), 62.31 %
(B), 58.54 % (C), dan 61.20 % (D). Data kadar karbohidrat dapat dilihat pada
Lampiran 1. Tempe A dengan penambahan laru R. oryzae memiliki kadar
karbohidrat tertinggi, sedangkan tempe C dengan penambahan laru campuran R.
oryzae dan R. oligosporus dalam satu laru memiliki kadar karbohidrat terendah.
Berdasarkan hasil uji statistik, keempat tempe tersebut tidak berbeda nyata pada
taraf 0.05 (Lampiran 6). Keempat perlakuan laru tersebut tidak mamberikan
pengaruh nyata pada kadar karbohidrat tempe kacang merah.
Kadar karbohidrat kacang merah utuh ialah 71.51 % dan dengan adanya
proses fermentasi akan menurunkan kadar karbohidrat pada produk tempe kacang
merah (Karisma 2014). Penurunan ini terjadi karena adanya aktivitas enzim
amilase yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus sp.. Lamanya waktu fermentasi
dapat menurunkan kadar karbohidrat akibat adanya aktivitas kapang
(Dwinaningsih 2010).
32.79a 33.01a
36.99a 35.03a
0
5
10
15
20
25
30
35
40
A B C D
Kad
ar P
rote
in B
K (
%)
Jenis Laru
16
Gambar 7. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar karbohidrat
tempe kacang merah
Kadar Antitripsin
Antitripsin merupakan suatu senyawa yang mempunyai kemampuan untuk
menghambat aktivitas proteolitik enzim tripsin untuk memecah protein. Kadar
antitripsin tempe kacang merah basis kering masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar
antitripsin tempe kacang merah
Kadar antitripsin tempe kacang merah (basis kering) berturut-turut ialah
35976 TUI (A), 8360.4 TUI (B), 30355 TUI (C), dan 37059 TUI (D). Data kadar
antitripsin tempe kacang merah dapat dilihat pada Lampiran 7. Tempe dengan
penambahan laru B (R. oligosporus) menghasilkan kandungan antitripsin terendah,
yaitu 8360.4 TUI. Hal ini menunjukkan bahwa kapang R.oligosporus merupakan
kapang yang paling efektif dalam menurunkan kandungan antitripsin yang terdapat
pada bahan baku. Berdasarkan hasil uji statistik, kandungan antitripsin pada tempe
B berbeda nyata dengan tempe A, C, dan D. Sedangkan kandungan antitripsin pada
63.53a 62.31a 58.54a
61.2a
0
10
20
30
40
50
60
70
A B C D
Kad
ar K
arb
oh
idra
t (%
)
Jenis Laru
35976a
8360.4b
30355a
37059a
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
A B C D
Kan
du
nga
n A
nti
trip
sin
(TU
I)
Jenis Laru
17
tempe A, C, dan D, tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 8).
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan laru B dapat memberikan pengaruh nyata
pada kadar antitripsin tempe kacang merah.
Kacang merah mengandung antitripsin, goitrogen, asam fitat, dan tannin
yang banyak terdapat dalam kulit. Senyawa tersebut dapat dikurangi atau
dihilangkan melalui proses, perendaman, pengupasan kulit, pemanasan, serta
fermentasi. Menurut Karisma (2014), kadar antitripsin menurun seiring dengan
proses perlakuan penepungan, perebusan, dan perendaman asam pada kacang
merah. Menurut Pawiroharsono (1996), komponen anti gizi pada kacang dapat
mengalami degradasi menjadi senyawa sederhana atau dapat dikurangi bahkan
dihilangkan karena adanya aktivitas mikroorganisme selama fermentasi. Proses
fermentasi dapat mendegradasi senyawa antitripsin sehingga aktivitasnya menurun
(Sujatmiko et al 2010).
Kadar Oligosakarida
Oligosakarida merupakan bagian dari polimer karbohidrat dengan berat
molekul rendah dan disebut rantai pendek polisakarida dengan 2-20 unit sakarida
seperti stakiosa, rafinosa, fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida (Saifatah
2011). Tempe kacang merah A, B, C, dan D tidak mengandung oligosakarida (0
mg/g). Namun keempat sampel tempe tersebut menghasilkan peak pada menit
munculnya standar monosakarida, yaitu glukosa, fruktosa, sukrosa, dan maltosa.
Menurut Winarno (1980), selama proses fermentasi terjadi proses degradasi
enzimatik oleh mikroorganisme. Oligosakarida yang terdapat pada kacang merah
telah terdegradasi menjadi gula-gula sederhana karena adanya proses fermentasi.
Oligosakarida termasuk ke dalam zat antinutrisi karena dapat
menghasilkan gas seperti metana dan hidrogen, sehingga menyebabkan flatulensi.
Gas tersebut berasal dari hasil metabolisme oligosakarida oleh bakteri saluran
pencernaan (Ravindran 1990). Kacang merah mengandung sejumlah
oligosakarida dan menurut Karisma (2014), kandungan oligosakarida dari kacang
merah mentah akan mengalami penurunan seiring dengan adanya proses
perebusan, perendaman asam, dan fermentasi menjadi tempe. Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya penguraian oligosakarida sehingga kadar oligosakarida
tempe menurun.
Kadar Isoflavon
Isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat disintesis
tanaman, namun tidak disintesis oleh mikroorganisme. Kandungan isoflavon yang
tinggi banyak ditemukan dalam tanaman Leguminoceae atau kacang-kacangan,
termasuk kacang merah. Kadar isoflavon tempe kacang merah dapat dilihat pada
Gambar 9.
Kadar isoflavon basis kering tempe kacang merah berturut-turut ialah
(A) 613.8265 mg/kg ; (B) 637.7709 mg/kg; (C) 632.6574 mg/kg; (D) 641.5370
mg/kg. Data kadar isoflavon tempe kacang merah dapat dilihat pada Lampiran 9.
Tempe D memiliki kadar isoflavon tertinggi, sedangkan tempe A memiliki kadar
isoflavon terendah. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar isoflavon
keempat perlakuan tempe kacang merah tidak berbeda nyata pada taraf
signifikansi 0.05 (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan keempat
18
laru tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar isoflavon
tempe kacang merah.
Gambar 9. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar
isoflavon tempe kacang merah
Menurut Astuti (2008), kandungan isoflavon pada jenis kacang-kacangan
sama dengan kedelai, yaitu dalam bentuk (1) aglikon: genistein, daidzein,
glycitein; (2) glikosida: daizin, genistin, glisitin; (3) asetilglikosida dan (4)
malonilglikosida. Namun, yang paling dominan ialah dalam bentuk glikosida.
Kadar isoflavon kacang merah tidak setinggi kedelai, namun kadar isoflavon
kacang merah sudah mampu memperbaiki kadar kolesterol total trigliserida serum
(Rachmandiar 2012). Menurut Karisma (2014), kadar isoflavon kacang merah utuh
ialah sebesar 152.76 mg/kg. Kadar isoflavon keempat tempe kacang merah
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan sampel kacang merah. Hal ini
menunjukkan bahwa fermentasi pada proses pembuatan tempe dapat
meningkatkan kadar isoflavon. Tingginya kandungan isoflavon pada tempe
disebabkan oleh adanya aktivitas kapang Rhizopus sp. dalam fermentasi tempe
(Retno et al. 2012).
Kadar isoflavon dapat mengalami perubahan bergantung pada prosesnya.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Karisma (2014), perlakuan proses
pada kacang merah yang direbus dan kacang merah yang direndam asam
mengalami peningkatan kadar total isoflavon. Namun isoflavon akan mengalami
penurunan bila diproses dengan panas yang terlalu tinggi, seperti penepungan.
Sedangkan proses fermentasi dapat meningkatkan isoflavon karena isoflavon
dalam bentuk aglikon lebih dominan (Istiani 2010). Isoflavon pada tempe dominan
dalam bentuk aglikon atau dalam bentuk bebas karena telah melalui proses
fermentasi. Kapang Rhizopus oligosporus lebih banyak menghasilkan isoflavon
dalam bentuk aglikon dibandingkan dengan Rhizopus oryzae.
613.8265a 637.7709a 632.6574a 641.537a
0
100
200
300
400
500
600
700
A B C D
Kad
ar Is
ofl
avo
n B
K (
mg/
kg))
Jenis Laru
19
Komposisi Asam Amino
Asam amino merupakan bentuk sederhana dari protein. Asam amino
memiliki satu atau lebih gugus karboksi (-COOH) dan satu atau lebih gugus
amino (-NH2). Asam amino bersambung melalui ikatan peptida, yaitu ikatan
antara gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amin dari asam amino yang
lain (Deliani 2008). Komposisi asam amino tempe kacang merah dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Komposisi Asam Amino Tempe Kacang Merah Perlakuan A,
B, C, dan D.
Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa pada tempe kacang merah, jenis
asam amino dominan secara umum ialah aspartat, glutamat, leusin, dan lisin.
Asam amino glutamat dan aspartat merupakan asam amino non esensial yang
dapat dibentuk dalam tubuh, sedangkan lisin dan leusin merupakan asam amino
esensial yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh namun dibutuhkan. Bila
dijumlahkan, kandungan asam amino total pada masing-masing sampel dalam
bentuk basis kering dapat dilihat pada Gambar 11.
Kadar asam amino total tempe kacang merah berturut-turut ialah 280500
mg/kg (A), 313587 mg/kg (B), 314396 mg/kg (C), dan 298743 mg/kg (D). Data
kadar asam amino total tempe kacang merah dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tempe dengan laru C memiliki kadar asam amino total tertinggi, sedangkan
tempe A memiliki kadar asam amino total terendah. Berdasarkan hasil uji statistik,
tempe B dan C memiliki kadar asam amino total yang tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perlakuan
penambahan laru B dan C tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar
asam amino total tempe kacang merah. Sedangkan kadar asam amino tempe A
berbeda nyata dengan tempe D serta tempe B dan C, dan tempe D berbeda nyata
dengan tempe A serta B dan C pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 12).
0
5000
10000
15000
20000
25000
kad
ar a
sam
am
ino
(m
g/kg
)
Jenis Asam Amino
A
B
C
D
20
Gambar 11. Pengaruh jenis kapang (A, B, C, dan D) terhadap kadar asam
amino amino tempe kacang merah
Menurut Karisma (2014), perlakuan penepungan, perebusan, perendaman
asam serta fermentasi dapat meningkatkan kadar asam amino total pada kacang
merah. Pada saat pembuatan tempe, protein yang terdapat pada kacang merah
dapat didegradasi menjadi asam amino karena adanya enzim protease dari
19.76 % menjadi 37.19 %. Menurut Dwinaningsih (2010) kapang Rhizopus
oligosporus menghasilkan enzim protease yang dapat mendegradasi protein.
Enzim protease yang dihasilkan kapang akan menghidrolisis peptida protein
menjadi peptida sederhana dan asam amino (Susi 2012). Hal ini menyebabkan
kandungan asam amino pada tempe kacang merah lebih tinggi dibandingkan
dengan bahan bakunya.
Aktivitas Antimikroba
Tempe mengandung suatu senyawa yang aktif dalam menghambat
pertumbuhan beberapa jenis bakteri, khususnya bakteri Gram positif seperti S.
aureus, Bacillus sp., dan Listeria sp. (Van den Hil dan Nout 2011). Adanya
aktivitas antibakteri ini maka tempe dapat digunakan untuk penyembuhan
terhadap penderita diare, termasuk pada anak Balita (Affandi dan Mahmud 1985).
Pengujian aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan menggunakan metode
difusi sumur. Adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak tempe ditandai dengan
adanya zona bening yang terdapat di sekeliling sumur. Kekuatan atau daya
hambat dapat diketahui dengan mengukur diameter rata-rata zona bening tersebut.
Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa keempat ekstrak tempe
kacang merah tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap kedua jenis bakteri
yang diujikan. Menurut Van den Hil dan Nout (2010), ekstrak air tempe kedelai
memiliki aktivitas antimikroba terhadap Bacillus cereus serta menurut Affandi
dan Mahmud (1985), ekstrak air tempe kedelai memiliki aktivitas antimikroba
terhadap Bacillus subtilis dan S. aureus. Menurut Mambang et al. (2014), ekstrak
etanol dan etil asetat tempe kedelai memiliki aktivitas antimikroba terhadap
bakteri B. subtilis dan S. aureus. Hal ini diduga bahwa jenis bahan baku dapat
mempengaruhi kandungan antimikroba (Issani 2013). Kandungan gizi bahan baku
kacang merah berbeda dengan kacang kedelai terutama dari segi proteinnya.
280500a
313587b 314396b 298743ab
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
A B C D
Kad
ar A
sam
Am
ino
(m
g/kg
)
Jenis Laru
21
Menurut Kobayasi et al. (1992), senyawa antimikroba yang diproduksi R.
oligosporus merupakan protein sederhana yang memiliki bobot molekul 5500
dengan kandungan sistein, glisin, dan asam amino basa yang tinggi (Lisin,
Arginin, Histidin). Sedangkan Menurut Wang (1969) senyawa antibakteri pada
ekstrak tempe terdiri dari senyawa gliko-protein dan aktif terutama terhadap
bakteri Gram Positif. Kandungan protein kacang merah lebih rendah
dibandingkan dengan kedelai, yaitu sebesar 23.1 g/100 g. Hal inilah yang diduga
menyebabkan tidak adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak tempe kacang
merah terhadap bakteri uji.
Tabel 2. Kemampuan ekstrak tempe kacang merah dalam menghambat
pertumbuhan bakteri uji
Sampel Rata-rata diameter penghambatan (mm)
S. aureus E.coli
Kontrol + 5.9 8.1
Kontrol - 0.0 0.0
Tempe A 0.0 0.0
Tempe B 0.0 0.0
Tempe C 0.0 0.0
Tempe D 0.0 0.0
Perbedaan komposisi asam amino pada kacang kedelai dan kacang merah
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Asam Amino Kacang Kedelai dan Kacang Merah
Jenis Asam Amino Kandungan Asam Amino (g/100 g)
Kedelai1 Kacang Merah
2
Aspartat 4.50 2.75
Glutamat 7.60 3.71
Serin 2.20 1.16
Histidin 1.00 0.58
Glisin 1.90 0.73
Threonin 1.50 0.90
Arginin 3.20 1.15
Alanin 1.70 0.93
Tirosin 1.50 0.59
Metionin 0.60 0.21
Valin 1.60 1.28
Fenilalanin 2.00 1.35
Isoleusin 2.10 1.13
Leusin 3.30 1.80
Lisin 2.10 1.50
Keterangan: 1
Sitompul (1997) 2 Karisma (2014)
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kandungan asam amino kacang
kedelai secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan kacang merah. Asam amino
22
sistein, glisin, dan asam amino basa (Lisin, Arginin, Histidin) yang banyak pada
senyawa antimikroba tempe, pada kacang merah lebih rendah dibandingkan
kacang kedelai. Hal ini menyebabkan kemungkinan protein sederhana yang
terbentuk dari hasil degradasi kapang selama fermentasi tempe kacang merah
mengandung komposisi asam amino tersebut yang lebih rendah dibandingkan
tempe kedelai, sehingga diduga tempe kacang merah tidak mempunyai aktivitas
antimikroba pada bakteri S. aureus dan E. coli, seperti pada tempe yang umumnya
menggunakan kacang kedelai.
Antimikroba tempe lebih efektif menyerang bakteri Gram Positif ini
diduga disebabkan oleh adanya perbedaan struktur penyusun dinding sel bakteri
tersebut. Bakteri gram positif terdiri dari 90 % lapisan peptidoglikan dan asam
teikoat, sedangkan bakteri gram negatif terdiri dari 5-20% peptidoglikan dan
lapisan lainnya yaitu protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein (Fardiaz 1992).
Menurut Abdalla (2013), cara kerja komponen antimikroba pada tempe yaitu
mencegah sintesis peptidoglikan pada sel yang sedang tumbuh, sehingga bakteri
gram positif lebih sensitif. Hasil pengujian beberapa kapang Rhizopus sp. melalui
fermentasi tempe menunjukkan bahwa R. oligosporus memiliki aktivitas
antibakteri paling tinggi dan optimal pada tempe dengan waktu inkubasi 36-42
jam (Pawiroharsono et al 1996).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kapang jenis R. oligosporus dan R. oryzae baik dalam bentuk tunggal
maupun campuran dapat digunakan untuk membuat tempe kacang merah. Dari
keempat jenis perlakuan tersebut, kapang R. oligosporus secara tunggal
menghasilkan produk tempe kacang merah dengan kandungan asam amino yang
tinggi, yaitu 313587 mg/kg, dan antitripsin yang lebih rendah yaitu 8360.4 TUI.
Dilihat dari kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, dan isoflavon, keempat
perlakuan tersebut tidak memiliki perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi
0.05. Selain itu, keempat perlakuan tempe kacang merah menghasilkan tempe
yang tidak mengandung oligosakarida. Dari hasil uji kemampuan aktivitas
antimikroba, keempat ekstrak air tempe kacang merah tidak mempunyai
kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pelarut jenis lain selain
air untuk menghasilkan komponen aktif tempe kacang merah serta dilakukan
pengujian aktivitas antimikroba terhadap bakteri jenis lain selain S. aureus dan E.
coli.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla B. 2013. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak tempe koro pedang
(Canavalia ensiformis L.) terhadap Eschherichia coli dan Staphylococcus
aureus. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Affandi E dan Mien KM. 1985. Pengujian Aktivitas Antibakterial pada Tempe
terhadap Bakteri Penyebab Diare. Penelitian Gizi dan Makanan. 8:46-56
[AOAC]. Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of
Analysis. 16th
ed. Arlington : AOAC
[AOAC]. Association of Official Analytical Chemist. 2001. Official Methods of
Analysis. 10th
ed. Arlington: AOAC
Astuti S. 2008. Isoflavon kedelai dan potensinya sebagai penangkap radikal bebas.
Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian 13 (2): 126-136
Deliani. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Protein, Lemak,
Komposisi Asam Lemak, dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. [Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Kandungan Gizi Kacang.
Jakarta.
Dwinaningsih EA. 2010. Karakteristik kimia dan sensori tempe dengan variasi
bahan baku kedelai atau beras dan penambahan angkak serta variasi lama
fermentasi. [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: PAU
Faridah DN et al. 2012. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor:
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB
Ilyas N, Peng CD dan Gould WA. 1977. Tempeh – An Indonesian Fermented
Soybean Food. Part of review from PhD. Disertation. Ohio state University
Issani V. 2013. Kajian aktivitas antibakteri ekstrak tempe komak terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. [skripsi]. Bogor: IPB
Istiani Y. 2010. Karakterisasi Senyawa Bioaktif Isoflavon dan Uji Antioksidan
dari Ekstrak Etanol Tempe Berbahan Baku Koro Pedang
(Canavaliaensiformis). [Tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret
Kakade M.L, J.J Rackis, J. E. McGhee dan G. Pusky. 1974. Determination of
trypsin inhibitor activity of soy products: a collaborative analysis of
improved procedure. Cereal Chem. 51: 376-382.
Kuligowski et al. 2013. Evaluation of Bean and Soy Tempeh Influence on
Intestinal Bacteria and Estimation of Antibacterial Properties of Bean
Tempeh. Polish Journal of Microbiology Vol. 62, No 2, 189-194.
Karisma VW. 2014. Pengaruh Penepungan, Perebusan, Perendaman Asam, dan
Fermentasi terhadap Komposisi Kimia Kacang Merah (Phaseolus vulgaris
L.). [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Kobayasi SY, Okazaki N, Koseki T. 1992. Purification and Characterization of an
antibiotic substance produced from Rhizopus oligosporus IFO 8631.
Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 56: 94-98.
Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Kumalasari R. 2012. Pengaruh konsentrasi inokulum terhadap kualitas tempe
kedelai (Glycine max (L.) Merr) Var. Grobogan. [Skripsi]. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana
24
Mambang DEP, Rosidah dan Dwi S. 2014. Aktivitas antibakteri ekstrak tempe
terhadap bakteri Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus. J. Teknol. dan
Industri Pangan Vol. 25 No.1 Th 2014
Nollet Leo ML. 1996. Handbook of Food Analysis, Amino Acid. CRC Press
Parhusip AJN. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman terhadap
Bakteri Patogen Pangan [disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Pawiroharsono S dan Siregar E. 1993. Influence of Incubation time on the
bacterial activity of tempe produced by single strain R. oligosporus. Tempe
Workshop, BPP Teknologi, February 15-16 , 1993, Jakarta
Pawiroharsono S. 1996. Microbiological Aspect of Tempe. Di dalam : Sapuan dan
Soetrisno N (eds), Agranoff J (Penerjemah). The Complete Handbook of
Tempe : The Unique Fermented Soyfood of Indonesia. Jakarta: Indonesian
Tempe Foundatio. Terjemahan dari : Bunga Rampai Tempe Indonesia.
Rachmandiar R. 2012. Perbdaan Pengaruh Jus Kacag Merah, Yoghurt susus dan
yoghurt kacang merah terhadap kadar kolesterol total dan trigliserida serum
pada tikus dyslipidemia. [karya tulis ilmiah]. Semarang : Universitas
Diponegoro
Ravindran G. 1990. Study on the flatus potential of distary fiber from some
legumes. J. Natn. Sci. Coun. Sri langka 18 (2): 127-132
Retno T, Widyastuti SK dan Suarsana N. 2012. Pengaruh pemberian isoflavon
terhadap peroksidasi lipid pada hati tikus normal. Jurnal Indonesia Medicus
Veterinus 1 (4): 483-491
Saifatah L. 2011. Analisis Oligosakarida pada Dua Puluh Produk Minuman
Bubuk Komersial Berbasis Kedelai. [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor
Sitompul S. 1997. Komposisi Asam – Asam Amino dari Biji-Bijian dan Kacang-
Kacangan. Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Bogor : Balai Penelitian
Ternak Ciawi
[SNI]. Standar Nasional Indoensia. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan
dan Minuman. Badan Standarisasi Nasional
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 3144 Tahun 2009 tentang Tempe
Kedelai. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional
Steinkraus K. H, Yap B.H, Van Buren J.P, Provvidenti M.I and Hand D.B.1960.
Studies on tempeh – An Indonesian fermented soybean food. Journal of
Food Science (6): 777
Sujatmiko B, Sutrisno A dan Sofia E. 2010. Degradasi senyawa tanin, asam fitat,
antitripsin dan peningkatan daya cerna protein secara in vitro pada sorgum
coklat (Sorgum bicolor L. Moench) dengan metode fermentasi ampok.
Universitas Brawijaya.28
Susi. 2012. Komposisi kimia dan asam amino pada tempe kacang nagara (Vigna
unguiculata ssp. Cylindrica). Jurnal Agroscientiae 19 (1): 28-36
Van den Hil PJR, Dalmas E, Nout MJR, and Abee T. 2010. Soya bean tempe
extracts show antibacterial activity against Bacillus cereus cells and spores.
Journal of Applied Microbiology Volume 109 No. 1 2010
Van den Hil PJR, Nout MJR. 2011. Anti-diarrhoeal aspects of fermented soy
beans. [terhubung berkala]. http://cdn.intechweb.org/pdfs/19757.pdf (21
Agustus 2014)
25
Wang H.L, D.I Ruttle and Hesseltine C.W. 1969. Antibacterial Compound from A
Soybean Product Fermented by Rhizopus oligosporus. Proc. Soc. Exp. Biol.
Med. 131, 579-582
Wang Q, Leqin K, Dongmei Y, Bili B, Jianmei J, Tiejin Y. 2007. Change in
Oligosaccharides during Processing of Soybean Sheet. Asia Pac J Clint
Nutr 16(1) : 89-94
Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1985. Pengantar Teknologi Pangan. PT.
Gramedia. Jakarta
Winarno FG. 1980. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wolf C.E dan W.R. Gibbons. 1996. Improved method for quantification of
bacteriosin nisin. J. App. Bacteriol. 80: 453
26
Lampiran 1. Kadar proksimat tempe kacang merah berbagai perlakuan
Sampel % kadar air
(bb)
% kadar
abu
(bk)
% kadar
protein
(bk)
% kadar
lemak (bk)
% kadar
karbohidrat
(bk)
Tempe A 60.80 ±
0.82
2.62 ± 0.54 32.79 ±
0.37
1.07 ± 0.13 63.53
Tempe B 61.24 ±
0.26
2.71 ± 0.30 33.01 ±
2.06
1.96 ± 0.15 62.31
Tempe C 62.52 ±
1.30
2.60 ± 0.88 36.99 ±
1.54
1.89 ± 0.82 58.54
Tempe D 62.72 ±
0.77
2.56 ± 0.88 35.03 ±
0.46
1.22 ± 0.08 61.20
Lampiran 2. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar air
ANOVA
kadar_air
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 5.360 3 1.787 2.360 .213
Within Groups 3.028 4 .757
Total 8.388 7
kadar_air
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha
= 0.05
1
A 2 60.8000
B 2 61.2450
C 2 62.5200
D 2 62.7250
Sig. .096
Lampiran 3. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar abu
ANOVA
kadar_abu
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .024 3 .008 .017 .997
Within Groups 1.850 4 .463
Total 1.874 7
27
kadar_abu
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha
= 0.05
1
D 2 2.5650
C 2 2.5950
A 2 2.6150
B 2 2.7100
Sig. .842
Lampiran 4. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar lemak
ANOVA
kadar_lemak
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .175 3 .058 2.236 .226
Within Groups .104 4 .026
Total .279 7
kadar_lemak
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha
= 0.05
1
A 2 .4250
D 2 .4600
C 2 .7100
B 2 .7600
Sig. .112
28
Lampiran 5. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar protein
ANOVA
kadar_protein
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.464 3 .488 1.919 .268
Within Groups 1.017 4 .254
Total 2.482 7
kadar_protein
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha
= 0.05
1
B 2 12.7950
A 2 12.8550
D 2 13.0600
C 2 13.8650
Sig. .106
Lampiran 6. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar
karbohidrat
ANOVA
kadar_karbohidrat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 27.193 3 9.064 .783 .562
Within Groups 46.314 4 11.579
Total 73.508 7
29
kadar_karbohidrat
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha
= 0.05
1
C 2 58.5400
D 2 61.2000
B 2 62.3050
A 2 63.5350
Sig. .221
Lampiran 7. Data kadar antitripsin tempe kacang merah berbagai perlakuan
Sampel Kadar Antitripsin
bb (TUI)
% Kadar Air Kadar Antitripsin
bk (TUI)
Tempe A 14103.00 ±
3614.00
60.80 35975.77 ±
9219.45
Tempe B 3240.50 ±
1256.50
61.24 8360.42 ±
3241.82
Tempe C 11377.00 ±
226.27
62.52 30354.86 ±
603.72
Tempe D 13816.00 ±
2580.20
62.72 37058.74 ±
6921.22
Lampiran 8. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar
antitripsin
ANOVA
Antitripsin
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.074E9 3 3.579E8 9.958 .025
Within Groups 1.438E8 4 3.594E7
Total 1.218E9 7
30
Antitripsin
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha = 0.05
1 2
B 2 8.3604E3
C 2 3.0355E4
A 2 3.5976E4
D 2 3.7059E4
Sig. 1.000 .332
Lampiran 9. Data kadar isoflavon tempe kacang merah berbagai perlakuan
Sampel Kadar Isoflavon
bb (mg/kg)
% Kadar Air Kadar Isoflavon
bk (mg/kg)
Tempe A 240.62 ± 4.86 60.80 613.83 ± 12.41
Tempe B 247.20 ± 11.24 61.24 637.77 ± 29.01
Tempe C 237.12 ± 5.90 62.52 632.66 ± 15.73
Tempe D 239.16 ± 3.80 62.72 641.54 ± 10.18
Lampiran 10. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar
isoflavon
ANOVA
isoflavon
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 907.484 3 302.495 .898 .516
Within Groups 1346.677 4 336.669
Total 2254.161 7
31
isoflavon
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha
= 0.05
1
A 2 613.8250
C 2 632.6550
B 2 637.7700
D 2 641.5350
Sig. .211
Lampiran 11. Data kadar asam amino total tempe kacang merah
Sampel Kadar Asam
Amino Total bb
(mg/kg)
% Kadar Air Kadar Asam
Amino Total bk
(mg/kg)
Tempe A 109955.90 ±
255.05
60.80 280500.00 ±
649.38
Tempe B 121546.60 ±
1904.66
61.24 313587.50 ±
4912.89
Tempe C 117835.20 ±
635.41
62.52 314395.70 ±
1696.08
Tempe D 111371.20 ±
1969.36
62.72 298743.30 ±
5282.44
Lampiran 12. Uji One Way ANOVA dan uji lanjut Duncan analisis kadar
asam amino
ANOVA
asam_amino
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.521E9 3 5.071E8 36.653 .002
Within Groups 5.534E7 4 1.383E7
Total 1.577E9 7
32
asam_amino
Duncan
jenis_la
ru N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
A 2 2.8050E5
D 2 2.9874E5
B 2 3.1359E5
C 2 3.1440E5
Sig. 1.000 1.000 .839
33
RIWAYAT HIDUP
Dewi Ratna Sari adalah seorang mahasiswi Ilmu dan
Teknologi Pangan IPB yang lahir di Indramayu, pada
tanggal 8 Desember 1992 dari pasangan Nelih dan Siti
Rochaeni M. Anak keempat dari empat bersaudara ini
memulai pendidikan dari TK Pembina Indramayu
(1997-1999), SDN Paoman III Indramayu (1999-2005),
SMPN Unggulan Sindang Indramayu (2005-2008),
SMAN 1 Sindang Indramayu (2008-2010), dan
memasuki perkuliahan lewat jalur USMI IPB. Sejak
bangku sekolah dasar hingga menengah akhir, penulis
banyak memperoleh prestasi di bidang akademik seperti
Olimpiade Sains Nasional. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam
organisasi Gentra Kaheman serta menjabat sebagai bendahara Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan selama dua tahun. Selain itu, penulis juga
turut serta menjadi panitia dalam berbagai kegiatan seperti Olimpiade Mahasiswa
IPB, MPKMB 48, IFOODEX 2012, BAUR (2012), Techno F (2012), Suksesi
Himitepa, LCTIP XX, Unilever Goes to Campuss, dan tergabung dalam Food
Processing Club. Ia juga berpartisipasi sebagai Asisten Praktikum mata kuliah
Teknologi Pengolahan Pangan.