bab ii- preskas lepto

Upload: ratu-qurroh-ain

Post on 16-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Leptospirosis

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Penyakit leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan mikroorganisme Leptospira interogans tanpa melihat spesifik bentuk serotipenya. Bentuk beratnya dikenal sebagai Weils disease. Leptospirosis termasuk salah satu the emerging infectious diseases karena berbagai kejadian luar biasa leptospirosis pada berbagai negara. 12.2 Epidemiologi Di negara subtropik, infeksi leptospirosis jarang di temukan, iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospirosis adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di negara tropik sepanjang tahun. 9 Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. 10 Angka insiden leptospirosis di negara tropik 5-20/100.000 penduduk per tahun.11 Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka insidensi leptospirosis di New Zealand antara tahun 1990 sampai 1998 sebesar 44 per 100.000 penduduk. Angka insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan daging (163/100.000 penduduk), peternak (91,7/100.000 penduduk) dan pekerja yang berhubungan dengan hutan sebesar 24,1 per 100.000 penduduk.12 Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati ), risiko kematian akan lebih tinggi. Di beberapa publikasi angka kematian di laporkan antara 3 % - 54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.13

2.3 Etiologi Leptospira disebabkan oleh genus leptospira, family leptospiraceae yang merupakan suatu mikroorganisme spirachaeta. Genus ini memiliki 2 spesies, yaitu L. biflexa yang non pathogen serta L. interrogans yang bersifat pathogen. Beberapa serovar L. interrogans yang menginfeksi manusia diantaranya L. icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing serta L. Pomona dengan reservoir sapi dan babi. Ciri khas mikroroganisme ini adalah bergelung, tipis, motilitas tinggi yang panjangnya 5-15 um, dengan spiral halus lebarnya 0,1-0,2 um, salah satu ujungnya membengkak membentuk suatu kait, memiliki dua buah periplasmic flagella yang dapat membuat terowongan menginfeksi jaringan. Spiroceta ini begitu halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat dilihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapang redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapang gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh. Dengan medium flethcers dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat anaerob.1 Leptospira ditularkan melalui urin yang terinfeksi, melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar. Pada keadaan ideal, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air dan 24 hari di tanah. Petani, pegawai kebersihan (pembuang sampah), pemelihara binatang, orang yang berolah raga air, dan nelayan merupakan kelompok risiko tinggi terkena leptospirosis.14

Gambar 2.1 Leptospira2.4 PatogenesisLeptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor virulensi yang bertanggung jawab terhadap patogenesis leptospirosis adalah lipoproteinnya. Hingga saat ini, lipoprotein yang diketahui bertindak sebagai faktor virulensi sejati yaitu Loa22.

Gambar 2.2 Struktur lipoprotein dari leptospira.8Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian.Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hampir tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis.8

Gambar 2.3 Sekuens fase anikterik dan ikterik leptospirosis; hubungan antara simptom klinis dengan keberadaan leptospirosis pada cairan organik.82.5 Manifestasi Klinis Gambaran klinis yang sering pada leptosprirosis yaitu adanya demam, menggigil, sakit kepala, anoreksia, mialgia, conjunctivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia. Gejala yang jarag timbul yaitu pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.1 Masa inkubasi penyakit ini antara 2-26 hari, dan rata-rata 10 hari. Perjalanan leptospirosis umumnya bifasik karena mempunyai 2 fase yaitu fase leptospiremia dan fase imun yang dipisahkan oleh priode asimptomatik. 1 Namun ada juga yang menjadi 3 fase yaitu di tambahkan dengan fase penyembuhan.161.Fase Leptospiraemia (4-7 hari)Fase ini berlangsung secara tiba-tiba yang ditandai dengan adanya leptospira didalam darah dan cairan serebrospinal. Gejala awal yaitu sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, mual, muntah, mencret. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya akan kembali normal 3-6 minggu setelah onset. 12.Fase imun (minggu ke-2)Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, antibodi dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Dapat timbul demam yang mencapai suhu 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering. Injeksi konjungtiva dan conjunctival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonik untuk leptospirosis. Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih. 1 3.Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4) Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur hilang. 1

2.6 DiagnosisPada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit karena pasien biasanya datang dengan meningitis, pmneumonia, nefrtitis dan lainnya. Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pada anamnesis pent8ing diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok risiko tinggi atau tidak. Termasuk risiko tinggi seperti tukang pembersih selokan, tukang sampah, pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan dan pekerja tambang. Gejala klinis berupa demam yang muncul mendadak, nyeri kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah / fotophobia, mual atau muntah, dan lain-lain. Dari pemeriksaan fiaik ditemukan demam, bradikardi, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapat leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukositouria, dan sdimen sel torak. Bila terdapat hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase meningkat. BUN, ureum, dan kreatinin bisa meningkat bila terdapat komplikasi pada ginjal. Diagnosa pasti leptospirosis yaitu dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologis.Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:1. Suspek, bila:Terdapat gejala klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. 2. Probable, bila: Bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.3. Definitif, bila: Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi polimerase berantai. Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih, atau IgM ELISA positif.

Tabel 2.1 Penegakkan diagnosis leptospirosis.17

Tabel 2.2 Endemisitas dan titer.17Pemeriksaan kultur yaitu dengan mengambil spesimen dari darah atau CSS segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pemeriksaan serologi, pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR).

Tabel 2.3 Jenis Uji Serologi Pada Leptospirosis. 8,18,19

Uji serologi pada leptospirosis 8,18,191) Microscopic Agglutination Test (MAT)MAT adalah pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, yang terdiri dari IgM atau IgG. MAT merupakan gold standar untuk pemeriksaan serologi kuman leptospirosis dan sampai saat ini belum ada uji lain yang lebih spesifik. Uji MAT bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serovar pada manusia dan hewan, diperlukan panel suspensi bakteri leptospira hidup yang mencakup semua jenis serovar. Kelemahan MAT karena memerlukan fasilitas biakan untuk memelihara bakteri leptospira, sedangkan teknik pemeriksaannya sulit dan lama. Antibodi tidak dapat dideteksi bila panel bakteri leptospira tidak lengkap dan ada kemungkinan munculnya serovar baru yang belum diketahui.Cara melakukan tes adalah, serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi.Penilaian terhadap hasil reaksi MATMAT biasanya dibaca dengan mikroskop lapangan gelap. Titik akhir pembacaan adalah pengenceran serum yang tertinggi dengan aglutinasi 50%. Karena untuk mendeteksi aglutinasi leptospira 50% sangat sulit, maka titik akhir ditentukan berdasarkan adanya 50% leptospira bebas yang tidak diaglutinasi kemudian dibandingkan dengan suspensi antigen kontrol. MAT tidak dapat distandarisasi, karena antigen yang digunakan adalah leptospira hidup, sehingga hasil tes sedikit bervariasi dari hari ke hari. Berdasarkan alasan ini juga, agar MAT dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dengan baik, dibutuhkan sepasang sampel serum yang diambil dengan selang waktu tertentu dan diperiksa secara bersamaan. Agar MAT dapat distandarisasi, maka digunakan antigen leptospira mati yang dicampur dengan formalin.Sensitifitas MATSensitivitas MAT pada fase dini penyakit biasanya rendah. Sensitifitas MAT meningkat cukup tinggi bila sampel diambil pada fase berikutnya. Sensitifitas MAT pada pengambilan darah pertama pada fase akut adalah 30% dengan nilai perkiraan positif 88%, sedangkan sensitifitas pemeriksaan ELISA adalah 52% dengan nilai perkiraan positif 76%. Sensitifitas MAT meningkat pada pengambilan darah kedua pada fase konvalesen yaitu 63% dengan nilai perkiraan positif 92%, sedangkan sensitifitas ELISA menjadi 89% dengan nilai perkiraan positif 93%.Pemeriksaan MAT kurang sensitif untuk mendeksi antibodi pada fase dini penyakit dibandingkan dengan ELISA. Hal ini disebabkan, ELISA mendeteksi antibodi IgM lebih sensitif daripada MAT. Disamping itu, antibodi agglutinin belum muncul pada fase dini penyakit, dan mulai muncul pada minggu kedua penyakit. Oleh karena itu, untuk keperluan pengobatan penderita, disarankan menggunakan ELISA untuk mendiagnosis penyakit pada fase permulaan, dan selanjutnya perlu melakukan pemeriksaan MAT. Pada fase akut penyakit mungkin hanya ada sedikit korelasi antara antibodi IgM dan MAT, sehingga memberikan sensitifitas yang lebih rendah pada fase ini.MAT umumnya dapat mendeteksi antibodi IgM maupun IgG secara bersamaan. Pada fase awal, sebagian besar penderita akan memperlihatkan munculnya respons antibodi IgM, kemudian antibodi IgG muncul pada fase konvalesen. Pada saat ini sensitifitas MAT baru meningkat.Sensitifitas antara slide agglutination test (SAT), IgM-ELISA dan MAT. Dari hasil penelitian ini, ternyata MAT kurang sensitif untuk mendeteksi antibodi pada fase dini dibandingkan dengan SAT dan IgM-ELISA. Tes ELISA dan SAT memberikan hasil hampir sama. Akan tetapi, MAT tetap dapat mendeteksi antibodi dengan titer yang cukup tinggi pada serum penderita yang diambil satu tahun setelah sakit, sedangkan SAT dan ELISA sudah menurun.2) Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)Prinsip uji MSAT sama dengan MAT, namun secara makroskopis, di atas kaca obyek. Hasil reaksi dinilai secara semi kuantitatif dengan mata telanjang. Interpretasi hasil sama dengan MAT. Uji MSAT kurang spesifik dibanding MAT. 3) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji ini memakai suatu antigen yang bersifat spesifik pada genus, dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG. Keuntungan uji ELISA untuk mengetahui jenis antibodi, apakah IgM dan IgG. Antibodi IgM merupakan prediksi leptospirosis sebagai infeksi akut, dan IgG untuk infeksi terdahulu. Meskipun demikian perlu diingat bahwa antibodi IgM kadang dapat menetap selama beberapa tahun. Kelemahan tes ELISA kurang spesifik dibanding MAT : - Dapat terjadi reaksi silang pada penyakit lain - Tidak menentukan jenis serovar, sehingga harus dikonfirmasikan dengan MAT. 4) Uji Serologi Penyaring Uji serologi penyaring yang praktis, cepat dan sering dipakai sebagai tes leptospirosis di Indonesia, antara lain : a) Lepto Dipstick Assay Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi kuman leptospira-spesifik IgM dalam serum. Metode ini sederhana, relaitf praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu antra 2,5 sampai 3 jam. Pemeriksaan ini menggunakan antigen bakteri leptospira yang telah difiksasi dan dilekatkan pada pita celup. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 84,5% dan 92,1% pada serum yang diambil dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari perjalanan penyakit. Spesifitas adalah 87,5% dan 94,4% pada serum yang diambil dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari sakit. b) LeptoTek Dry Dot LeptoTek Dry Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya lebih murah, praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat dalam 30 detik. Penelitian pada serum-serum pasien yang diambil dalam 10 hari pertama sejak sakit, menunjukkan nilai sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% tetapi pada serum yang dikumpulkan setelah 10 hari perjalanan penyakit, sensitifitas 88,2% dan spesifitas 89,8%. Interpretasi disesuaikan dengan gejala klinis dan dikonfirmasikan dengan MAT. c) Leptotek Lateral Flow Prinsip pemeriksaan sama dengan ELISA, yaitu deteksi leptospira specific imunoglobulin M dengan sistem lateral flow. Evaluasi Leptotek Lateral Flow menunjukkan nilai diagnostik yang baik dengan sensitivitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.

Gambar 2.4 Pemeriksaan ELISA pada leptospirosis. 8,18,19

2.7 Diagnosis BandingLeptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza, demam berdarah dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral, keracunan makanan/bahan kimia, demam tifoid, demam enterik. Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria falcifarum berat, hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.8

Bagan 2.1 Diagnosis Banding Leptospirosis.8

2.7 Tatalaksana Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan hemodialisa temporer.Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat dilihat pada tabel di bawah. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G, amoxicilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral, tetrasiklin, doksisiklin, ampsilin atau maoksisilin maupun sefalosporin. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis

IndikasiRegimenDosis

Leptospirosis ringanDoksisiklinAmpisilinAmoksisilin2 x 100 mg4 x 500-750 mg4 x 500 mg

Leptospirosis sedang/beratPenisilin GAmpisilinAmoksisilin1,5 juta unit/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)

KemoprofilaksisDoksisiklin200 mg/ minggu

Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxheimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia atau uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.

2.9 PencegahanDidaerah tropis pencegahan leptospirosis sangat sulit karena banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe yang sulit dihilangkan. Bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoar. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang memiliki risiko tinggi dan terpapar dalam waktu yang singkat. Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoar sudah lama direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

2.10 PrognosisJika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut menjadi 30-40 % Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu leptospirosis yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan mortalitas janin yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U. Leptospirosis. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, 2006:1845-49.2. Jawetz, Melnick dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran, Jilid I, Edisi XXII.Salemba Medika, Jakarta, 2001:483-7.3. Levett PN. Leptospirosis. In : Clin. Microbiol. Rev., 2001; 14(2) : 296-326.4. Lestariningsih. Gagal Ginjal Akut pada Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro MAU. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit UNDIP,2002 :47-53.5. Matos ED, Costa E, Sacramento E, Caymmi AL, Neto CA, Lopes MB et al. Chest Radiograph Abnormalities in Patients Hospitalized with Leptospirosis in the City of Salvador, Bahia, Brazil. The Brazilian Journal of Infectious Diseases 2001;5(2):73-776. Wagenaar FP, Goris MGA, Sakundarno MS, Gasem MH, Mairuhu ATA, Hartskeeri R et al. What Role do Coagulation Disorders Play in The Pathogenesis of Leptospirosis? Tropical Medicine and International Health 2007 Jan;12(1):111-122.7. Siswandari. Diagnosis Leptospirosis.Mandala of Health 2006 Sept;2(3):33-45.8. Speelman P. Leptospirosis. In: Eugene Brauwald, Anthony S F, Dennis L K, Stephen LH , Dan L L, J. Larry J, eds. Harrisons Principles of Internal Medicine.15th, Vol 1B. McGraw-Hill. New York; 2001: 1055-8.9. Everard, C,Bennett, S.,Edward,C.,An Investigation of Some Risk Factor for Severe Leptospirosis on Bardabos, American Journal Tropical Medicine and Hygiene, 1992, pp : 13-22.10. Bovet.P., et al ., Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A Population Based Control Study in Seychelles, American Journal Tropical Medicine and Hygiene, 1999, pp : 583-590.11. Hatta M.dkk. Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA dengan Leptodipstick Method, Ebers Papyrus, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas Tarumanegara, Vol .1 Maret 2002.12. Thornl ey, C.N et al ., Changing Epidemiology of Human Leptospirosis in New Zealand, Epidemiology Inect, 2002.13. Widarso HS dan Wilfried, Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Di ponegoro, 2002.14. Bobby S, et al. 2001. Leptospirosis. Sari Pediatri, 3 (3): 163-167.15. Marina C. New insights into the pathogenicity of leptospires: evasion of host defences. New Microbiologica, 33, 283-292, 2010.16. Dharmojono. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer Obor : Jakarta. 2002. 17. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in northeastern Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J Trop Med Public Health 2002; 33: 155-6018. Depkes R.I. 2003.Pedoman tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit. Ditjen PPM-PL Jakarta, RSPI DR SS19. Mathiue P, Eric B et.al. Rapid test for diagnosis of leptospirosis: Current tools and emerging technologies. Elsevier. 2014. Di download dari www.elsevier.com/locate/diagmicrobio.