preskas tht bab i dan ii

25
BAB I PENDAHULUAN Rhinitis alergi (RA) adalah suatu penyakit hipersensifitas tipe I Gell dan Comb yang diperantai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran dengan keluhan bersin-bersin, hidung beringus serta hidung tersumbat. (Suprihati, 2004) Angka prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand 20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 5 – 10 tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun. (Sumarman I, 1993) Diagnosis Rinitis Alergi dapat ditegakkan atas dasar keluhan penderita, riwayat keluarga, kelainan mukosa hidung eosinofil usapan mukosa hidung tes provokasi, tes kulit tusuk (prick test), kenaikan IgE. (Burmester GR et. Al, 2006) Di RSUD Dr. Moewardi pemeriksaan untuk penunjang diagnosis Rinitis Alergi dengan pemeriksaan usapan mukosa hidung dan tes kulit tusuk. Tes provokasi tidak dilakukan oleh karena menimbulkan rasa tidak nyaman pada penderita. ( Maesano IA, 2002) Sedangkan pemeriksaan IgE mahal. (Irawati N, Kasakeyan, 2004) 1

Upload: ita-asarmuna

Post on 11-Nov-2015

234 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

prek

TRANSCRIPT

3

BAB IPENDAHULUANRhinitis alergi (RA) adalah suatu penyakit hipersensifitas tipe I Gell dan Comb yang diperantai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran dengan keluhan bersin-bersin, hidung beringus serta hidung tersumbat. (Suprihati, 2004)Angka prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand 20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 5 10 tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun. (Sumarman I, 1993)Diagnosis Rinitis Alergi dapat ditegakkan atas dasar keluhan penderita, riwayat keluarga, kelainan mukosa hidung eosinofil usapan mukosa hidung tes provokasi, tes kulit tusuk (prick test), kenaikan IgE. (Burmester GR et. Al, 2006)Di RSUD Dr. Moewardi pemeriksaan untuk penunjang diagnosis Rinitis Alergi dengan pemeriksaan usapan mukosa hidung dan tes kulit tusuk. Tes provokasi tidak dilakukan oleh karena menimbulkan rasa tidak nyaman pada penderita. ( Maesano IA, 2002) Sedangkan pemeriksaan IgE mahal. (Irawati N, Kasakeyan, 2004)Tes kulit tusuk ini pada prinsipnya merupakan reaksi hipersensitifitas tipe I lokal. Bila orang telah tersensitisasi kemudian dilakukan tes tusuk kulit, maka akan timbul reaksi lokal pada kulit akibat pelepasan zat mediator oleh mastosit. (Mygind, Malml, 1985). Kelebihan tes ini adalah cepat dan jarang positif palsu, namun kekurangannya terjadi tes negatif palsu. (Sudjana A,1991) Tes kulit tusuk merupakan tes yang mempunyai nilai diagnosis yang tinggi dibandingkan pemeriksaan lgE. (Sumarman I, 1993)Pada reaksi alergi terjadi terjadi akumulasi sel inflamasi pada mukosa hidung, (Yuliusson S, et al, 1992) sel-sel inflamasi yang berakumulasi di mukosa hidung adalah sel eosinofil dan sel limfosit (Sumarman I, 1993, Maesano et. al, 2002), dengan kata lain sel eosinofil pada usapan mukosa hidung dipakai penentu biologi alergi. (Barata Wijaya K, 2000)Deviasi septum merupakan keadaan yang sering terjadi, bervariasi dari ringan yang tidak mengganggu, hingga deviasi septum berat yang dapat menyebabkan penyempitan hidung sehingga mengganggu fungsi fisiologis hidung dan menyebabkan komplikasi (Nizar dkk., 2007). Studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi deviasi septum meningkat seiring dengan usia. Vander Veken menunjukkan bahwa prevalensi deviasi septum pada anak-anak meningkat dari 16% sampai 72% secara linear dari usia 3 hingga 14 tahun, sedangkan Gray melaporkan diantara 2112 orang dewasa, kejadian deviasi septum adalah 79% (Harar dkk., 2004).Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal (Benninger dkk., 2006; Panduan diseksi cadaver 2009). Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari hari. Di Amerika Serikat menurut National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 2001 sebanyak 12,3 juta kunjungan ke pelayanan kesehatan disebabkan oleh rinosinusitis kronis atau 1,3% total kunjungan pertahun. Sedangkan kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang datang di Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005, adalah 435 penderita.Di Makassar sendiri, dari 3 rumah sakit pendidikan periode tahun 2003-2007 dilaporkan sebanyak 41,5% penderita rinosinusitis (Panduan diseksi cadaver 2009; File 2006; Rahmi dkk., 2008). Adanya deviasi septum dapat menyebabkan penyempitan pada satu ataupun kedua sisi hidung dan akan terjadi perubahan pola aliran udara pada proses bernafas dan akhirnya mengganggu fungsi organ pernapasan lainnya termasuk sinus paranasal. Perubahan pola aliran udara akibat deviasi septum selain mempengaruhi sinus paranasal juga dapat mempengaruhi fungsi tuba Eustachius. Terdapat beberapa etiologi gangguan fungsi tuba Eustachius. Salah satunya adalah obstruksi mekanik yang dapat terjadi secara intraluminer maupun ekstraluminer.Obstruksi secara intraluminer seperti pada keadaan alergi atau infeksi dapat menyebabkan edema sepanjang mukosa tuba Eustachius. Sedang obstruksi secara ekstraluminer seperti tumor terutama tumor nasofaring, polip nasi yang ekstensif ,hipertrofi adenoid yang menekan ostium tuba Eustachius, deviasi septum dan rinosinusitis. Namun, dalam literatur yang ada, belum terdapat pandangan yang seragam mengenai pengaruh deviasi septum terhadap pendengaran terutama terhadap fungsi tuba dan telinga tengah (Chmielik 2006; Seibert dkk., 2006; Healy dkk., 2003). Konka bulosa merupakan pneumatisasi pada konka nasal, dapat terjadi pada semua konka (inferior,media dan superior), terutama terjadi pada konka media karena yang tersering terpapar turbulensi udara (Uygur, 2003). Pneumatisasi pada konka ini merupakan salah satu variasi anatomi sinonasal yang paling sering terjadi. Frekuensi konka bulosa telah dilaporkan oleh berbagai penelitian sebesar 14 53 %. Bolger et al telah mengklasifikasikan pneumatisasi konka bulosa berdasarkan lokasinya menjadi 3 : Lamellar, bulbous, dan extensif (true).4 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CB mungkin memiliki peran dalam etiologi sinusitis, dan beberapa penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya.1,5 Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya dalam 12 minggu.6,7 Sinusitis maksilaris kronik adalah sinusitis maksilaris yang telah menimbulkan perubahan histologik pada mukosa sinus maksila, yakni fibrosis dan metaplasi squamosa.8,9 Rinosinusitis Kronik (RSK) menjadi masalah bagi dokter umum dan ahli THT mengingat anatomi dan etiologi yang kompleks. Kelainan secara anatomi menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian rinosinusitis. Kelainan/variasi anatomi menyebabkan efek obstruksi kerhadap kompleks osteomeatal (KOM) dan menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya sinusitis. Konka bulosa merupakan salah satu variasi anatomi yang sering ditemukan pada penderita rinosinusitis kronik. Ketika dua permukaan mukosa bertemu karena bengkak atau gangguan secara anatomi, transpor mukosilia terhambat di daerah yang terjadi kontak10,11.

BAB IITINJAUAN PUSTAKARhinitis Alergi1. Anatomi Mukosa Hidunga. MukosaMukosa hidung disusun oleh sel kolumner semu berlapis bersilia dengan membrana basalis sebagai pemisah terhadap sub mukosa. Diantara epitel mukosa terdapat sel-sel goblet yang menghasilkan mukus glikoprotein. Pada sub mukosa terdapat kelenjar mukus, serus dan seromukus dimana kelenjar mukus menghasilkan glikoprotein, kelenjar serus menghasilkan lisozim dan laktoferin, endopeptidase dan Si IgA. Sel limfosit pada orang normal terdapat pada membran basalis sedangkan mastosit terdapat pada jaringan ikat mukosa, ujung saraf dan pembuluh darah. (Suprihati W, 1999).

Gambar 1. Mukosa Hidung (Aria, 2002)Keterangan : Basal sel, goblet sel, columner sel bersiliab. Pembuluh DarahPembuluh darah mukosa hidung menurut fungsinya dibedakan atas : 1. Capacitance vessels menentukan banyak sedikitnya darah tertimbun 2. Exchange vessels untuk pertukaran zat dengan jaringan 3. Ressistance vassels untuk membentuk kecepatan aliran darah. (Mygint N, 1985)

Gambar 2. Pembuluh Darah Mukosa Hidung

c. PersarafanPersarafan mukosa hidung diatur oleh saraf sensoris oleh saraf V, dan parasimpatis oleh saraf VII, simpatis oleh saraf servikalis superior. (Mygind N, 1985)2. DefinisiRhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet 1986).Sedangkan menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impac on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.3. Patofisiologis Rinitis AlergiKomponen yang berperan untuk timbulnya reaksi alergi adalah a. Alergen b. IgE c. Mastosit d. Mediator kimia e. Organ sasaran. Ada tiga tahap pada reaksi alergi 1) Tahap sensitisasi, sejak respon imunitas terpapar alergen sampai timbulnya IgE spesifik, 2) Tahap aktifasi, saat alergen menempel dan berikatan dengan IgE pada dinding mastosit atau basofil dan melepaskan mediator kimia, 3) Tahap afektor terjadi pengaruh mediator kimia pada organ sasaran. (Sundaru H, 1993, Barata Wijaya, 2000)Pada Rinitis Alergi alergen gagal diusir oleh sistem pertahanan hidung seperti bersin, gerakan silia, sekretori IgA maka alergen tersebut bereaksi terhadap sel mastosit den sebagai masuk sel lamina propia. Sel fagosit seperti monosit dan makrofag akan bergerak menuju allergen tersebut dengan mengikatnya dan menghancurkannya. Jika belum juga dapat diatasi alergen tersebut maka akan terjadi interaksi dengan makrofag sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang telah di tempeli oleh Mayor Histocompatibility Complek (MHC) kelas II sehigga alergen tersebut dapat dikenal oleh sel limfosit T sebagai benda asing. Sel limfosit T ini akan menghasilkan Inter Leukin 4 (IL4) yang mempengaruhi sel B berproliferasi menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE spesifik. Limfosit T ada dua yaitu sel T Helper dan sel T supresor. Dimana pada alergi sel T helper lebih tinggi. Pada IgE ini akan menempel pada muka mastosit atau basofil lebih kurang 1 minggu. Migrasi sel-sel dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi ditentukan oleh molekul adesi, pada Rinitis Alergi diperantarai oleh VCAM-1 (Vaskuler Cell Adhesion Molecule-1) yang merupakan molekul adesi untuk sel eosinofil dan sel basofil. (Schleimer RP et. Al, 1992)

Gambar 3. Mediator yang berperan pada reaksi fase cepat dan lambat.Semula dikenal alergi tipe I adalah reaksi cepat dengan gejala singkat, saat ini diperkenalkan (1) Reaksi tercepat dan (2) Reaksi fase lambat. (Sundaru, 1993) Pada fase cepat gejala timbul beberapa menit setelah paparan maksimum 30 menit. Reaksi cepat ini ditandai dengan kenaikan kadar histamin, kinin, leukotrin prostaglandin dan Platelet Activiting Faktor (PAF) dengan gejala hidung tersumbat, pilek yang encer, bersin dan gatal. Sedangkan reaksi tipe lambat terjadi 3-11 jam setelah paparan dengan akumulasi lokal dan sel-sel inflamasi yaitu : eosinofil, basofil, neutrofil dan limfosit T dengan gejala hidung tersumbat. (Maesano et. Al, 2002).

Gambar 4. Reaksi Tipe 13. Klasifikasi Rhinitis AlergiKlasifikasi rhinitis alergika berdasarkan rekomendasi WHO initiatife ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Astma) pada tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:1. Intermiten (kadang kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu2. Peresisten atau menetap : bila gejala lebih dari 4 hari atau minggu dan lebih dari 4 mingguSedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergika dibagi menjadi :1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolah raga, belajar, bekerja dan hal hal lain yang mengganggu2. Sedang berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

4. Diagnosis Rhinitis Alergia. AnamnesisHampir 50 % diagnosis rhinitis alergika dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis alergika yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang, bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang kadang pada RAFL sebagai akibat dari dilepaskannya histamine. Gejala lain yaitu keluarnya ingus atau rhinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, dan kadang kadang disertai dengan air mata banyak keluar (lakrimasi). Gejala yang timbul biasanya tidak lengkap terutama pada anak. Kadang kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu satunya gejala yang diuratakan oleh pasien.b. Pemeriksaan FisikPada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, atau livit disertai adanya secret yang encer dan banyak. Bila gejala peresisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejela spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadia karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Allergic Shiner). Selain dari itu tampak juga anak tampak menggosok gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan, keadaan ini disebut dengan Allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang didorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut dengan allergic cresse. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance) serta dinding lateral faring menebal, lidan tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).c. Pemeriksaan Penunjang1. In Vitroa. Pemeriksaan darah tepi : eosinofil bisa normal atau meningkat. Ditemukan eusinofil dalam jumalah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5 cell / lap) mungkin disebabkan oleh alergi makanan.b. Pemeriksaan PMN (Poli Mono Nuklear) : jika ditemukan cell PMN, ini menunjukkan adanya infeksi bakteri.c. Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test), sering kali menunjukkan nilai normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria.d. Pemeriksaan IgE Spesifik dengan RAST (Radio Immuno Stasisorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay Test) 2. In VivoAlergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan5. Penatalaksaan Rhinitis Alergi1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Simptomatis a. MedikamentosaAntihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi - 2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006). b. Operatif Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001). c. Imunoterapi Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).6. Komplikasi rinitis alergi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).7. Sel Yang Berperan Dalam Rinitis AlergiPada Rinitis Alergi sel yang berperan antar lain sel eosinofil, makrofag dan limfosit. Sel eosinofil ke jaringan tempat terjadi reaksi jaringan yang diperantarai oleh eosinofil Chemotatic Factor of Anaphylactic (ECFA) yang dilepas oleh mastosit/ basofil, sedangkan pada fase lambat dipengaruhi oleh Platelet Activacting Factor (PAF), yang juga berfungsi untuk degranulasi netrofil dan eosinofil. Untuk meningkatkan adesi pada endotel. (Suprihati, 2004, Patterson K et. al, 1988)

Sinusitis1. Definisi Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya, akhiran umum dalam kedokteran itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis Frontalis merupakan infeksi atau peradangan di daerah sinus frontal. Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).

2. Anatomi dan fisiologi sinusSinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak, bentuk sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu, semua sinus memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sfenoidalis.1,2 Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi 2,3 1. Grup Anterior : Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior Ostia di meatus medius Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring 2. Grup Posterior : Ethmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis Ostia di meatus superior Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sfenoidalis. Sinus maksila dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus sfenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-superior rongga hidung. Sinussinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis tengah.1,4 Sinus frontalis berada di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus ini telat berkembang sehingga jarang ditemukan sinusitis pada anak-anak.1,4Sinus paranasal diperdarahi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina 1,6 .Fungsi dari sinus paranasal: 1,2 Pengkondisian udara Sebagai penahan suhu Meringankan tengkorak Resonansi suara Peredam perubahan tekanan udara Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung

Gambar 1. Sinus paranasalis tampak depan 5

Sinusitis Maksilaris Odontogen 1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya., terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, nafas bau, post nasal drip.5 Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.6

2. Anatomi Sinus Maksilaris Batas-batas dinding Sinus Maksilaris: a. Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fossa kanina) b. Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila c. Dinding medial : dinding lateral rongga hidung d. Dinding superior : dasar orbita e. Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi Sinus Maksilaris antara lain: a. Sebagai pengatur kondisi udara (air Conditioning) b. Sebagai penahan suhu c. Membantu keseimbangan kepala d. Membantu resonansi suara e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara f. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung. 2 Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.Daerah ini dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila1.3. Klasifikasi Klasifikasi sinusitis maksilaris berdasarkan waktunya menurut Cauwenberg: Akut, bila infeksi terjadi kurang dari 4 minggu. Subakut, bila infeksi terjadi sampai 4 minggu-3 bulan. Kronis, bila infeksi terjadi lebih dari 3 bulan.7

4. Etiologi Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik, kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.8,9

5. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan 10,11.Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.9,10 Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.8,10 Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

6. Manifestasi Klinis Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak (sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan berbau busuk.2 Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris kronik berupa hidung tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang hidung, hidung berbau, indra pembau berkurang, dan batuk12.Kriteria Saphiro dan Rachelefsky: a. Gejala Mayor: 1) Rhinorea purulen 2) Drainase Post Nasal 3) Batuk b. Gejala Minor: 1) Demam 2) Nyeri Kepala 3) Foeter ex oral

Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 atau lebih gejala minor.1

7. Pemeriksaan Sinusitis Maksilaris Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus maksilaris dilakukan inspeksi luar, palpasi, dan sinuskopi. Selain itu perlu dilakukan transiluminasi, radiologi dan Ct Scan (gold standart). a) Inspeksi Pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukan sinusitis maksilaris akut. b) PalpasiNyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksilarisc) Transiluminasi Pemeriksaan ini menunjukan adanya perbedaan sinus kanan dan kiri. Sinus yang sakit akan tampak lebih gelap. d) Pemeriksaan radiologiFoto posisi waters tampak adanya edema mukosa dan cairan dalam sinus. Jika cairan tidak penuh akan tampak gambaran air fluid level. e) CT scan Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus maksilaris adalah pemeriksaan CT scan. Potongan CT scan yang rutin dipakai adalah koronal.

8. Komplikasi Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis dan fistula oroantral.Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.

1