bab ii referat tht

Upload: mariayoanitaastriani

Post on 12-Jul-2015

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Embriologi rongga mulut, faring, dan leher (1) Rongga mulut, berasal dari foregut embrionik. Foregut juga berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid, dan laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Mulut terbentuk dari stomodeum primitif yang merupakan gabungan ektodermal dan endodermal, yang membelah. Bibir bagian atas dibentuk oleh bagian prosesus nasal medial dan lateral dan prosesus maksila. Otot bibir berasal dari daerah brankial kedua dan dipersarafi oleh saraf fasial. (1) Gigi berasal dari lamina dental, yang berkembang menjadi sementum dan enamel gigi tetap. Perkembangan gigi manusia dari gigi susu sampai pertumbuhan gigi molar ketiga dewasa berhubungan dengan usia penderita, dan grafik dapat mengikuti pertumbuhan gigi normal. Terdapat beberapa macam kista dan tumor jinak maupun ganas yang berasal dari lamina dental. Gigi dipersarafi oleh cabang saraf trigeminus cabang maksila dan mandibula. Pada rahang atas , ada beberapa variasi dan tumpang tindih pada daerah yang dipersarafi oleh cabang saraf maksila. (1) Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal dari prosesus nasal media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum. Pada tahap pertama, lempeng palatum terdapat di lateral lidah. (1) Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel di dasar mulut. Lidah bagian depan terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh saraf lingua, dengan cabang korda timpani saraf fasial yang menpersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaring mempersarafi rasa sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi ke depan, bersama saraf hipoglosus. Tiroid berkembang dari foramen sekum yang terdapat di lidah bagian6

belakang dan bermigrasi sepanjang duktus tiroglosis ke leher. Sisa dari duktus tiroglosus dapat menetap, dan letaknya di belakang korpus tulang hyoid. (1) Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong epitel mulut dan terletak dekat sebelah depan saraf saraf penting. Duktus submandibula dilalui oleh saraf lingual. Saraf fasial melekat pada kelenjar parotis. Saraf lingual memberikan sensasi rasa umum pada lidah, saraf mental yang menembus mandibula dan keluar melalui foramen mental, memberikan perasaan pada bibir bagian bawah. (1) Anatomi rongga mulut, faring, dan leher Rongga mulut(1)

Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikula oris yang dipersarafi oleh saraf fasial. Vermilion berwarna merah karena ditutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas. (1)

Gigi ditunjang oleh Krista alveolar mendibula bagian bawah dan Krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal gigi seri terbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan yang datar. Daerah di antara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar. (1)

Palatum dibentuk oleh tulang palatum durum bagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole bagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal rongga mulut dan orofaring. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian kelenjar mandibula. Muara duktus mandibula terletak di depan tepi frenulum lidah. (1)

7

Lidah merupakan organ muscular aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Perasaan dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingual dan saraf glosofaring pada sepertiga bagian belakang. (1)

Korda timpani mempersarafi cita rasa lidah dua pertiga bagian depan, sedagkan saraf glosofaring mempersarafi cita rasa lidah sepertiga bagian belakang. Cita rasa dibagi dalam daerah daerah tertentu. Permukaan lidah bagian atas dibagi menjadi dua pertiga depan dan sepertiga bagian belakang oleh garis dari papilla sirkumvalata yang berbentuk huruf V. foramen sekum yang terdapat di puncak huruf V merupakan tempat asal duktus tiroglosis. Fungsi lidah untuk bicara dan menggerakkan bolus makanan pada waktu pengunyahan dan penelanan. (1)

Palatum durum Pilar anterior Bibir Permukaan pipi dalam

2/3 anterior lidah

Gambar 1. Struktur dalam rongga mulut

Faring (1) Di belakang mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang sfenoid dan dasar tulang oksiput sebelah atas, kemudian bagian depan tulang atlas dan sumbu badan, dan vertebra servikal lain. Nasofaring membuka arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Di samping, muara tuba Eustakhius kartilaginosa terdapat di depan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada atas batas bebas otot konstriktor faring superior. Otot tensor veli palatine, merupakan otot yang menegangka palatum dan8

membuka tuba Eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatina dipersarafi oleh saraf mandibula melalui ganglion otik. (1) Orofaring arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan di belakang arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaring. Otot otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faring. (1) Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang berisi beberapa kripta. Tampaknya tidak ada data dibuktikan adanya penurunan kekebalan yang disebabkan oleh pengangkatan tonsila ( atua adenoid ). Celah di atas tonsila merupakan sisa endodermal muara arkus brankial kedua; di mana fistula brankial atau sinus internal bermuara. (1) Hipofaring terbuka arah depan masuk ke introitus laring. Epiglottis dilekatkan pada dasar lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis tengah. Hal ini menyebabkan terbentuknya dua valekula disetiap sisi. Di bawah valekula adalah permukaan laryngeal epiglottis. Di bawah muara glottis bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di atara lipatan ariepiglotika dan kartilagi tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otot otot dari lamina krikoid, dan di bawahnya terdapat muara esofagus. (1) Faring merupaka daerah di mana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oelh karena itu, kegagalan dari otot otot faringeal, terutama yang menyusun ke tiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga akan tejadi aspirasi dan makan ke dalam cabang trakeobronkial. (1)

9

Palatum molle dan uvula Tonsil 1/3 posterior lidah dan permukaan lingual epiglotisGambar 2. Bagian bagian orofaring

Dinding faring posterior

Tulang hioid Dinidng faring posterior Sinus piriformis Krikoid Regio posteriorGambar 3.

10

Tonsilmaseter mandibula Arteri karotis eksterna Glandula oarotis Mastoid kulit Kanal karotis Vertebra servikal

Orofaring media

Leher(1) Pada masa embrio awal tidak ada leher yang jelas, memisahkan toraks dari kepala. Leher dibentuk seperti jantung, di mana berasal dari di bawah foregut, yang bermigrasi ke rongga toraks dan apparatus brankial berkembang menjadi bentuk yang sekarang. Migrasi dari jantung merupakan sebab mengapa beberapa struktur dari leher bermigrasi terakhir. Pada masa embrio awal terdapat beberapa tonjolan sepanjang tepi foregut yang juga dapat dilihat dari luar. Tonjolan ini adalah apparatus brankial. (1) Meskipun secara filogenetik terdapat enam arkus brankial, arkus kelima tidak pernah berkembang pada manusia, dan hanya membentuk liganmentum anteriosum. Hanya empat arkus yang dapat dilihat dari luar. Setiap arkus brankial mempunyai sepotong kartilago, yang berhubungan dengan kertilago ini adalah arkus arteri, saraf, dan beberapa mesenkim yang akan membentuk otot. Di belakang setiap arkus terdapat alur eksternal yang terdiri dari ektodermal dengan lempeng akhir. (1) Bagian struktur tersebut di atas berkembang menjadi struktur dewasa yang tetap. Bagian yang seharusnya hilang dapat menetap dan membentuk truktur abnormal pada dewasa. Celah ektodermal dan kantong endodermal terdapat di belakang arkus kartilagi, arteri, dan saraf. (1)

11

Normal muara dari arkus kedua, ketiga, adan keempat diliputi oleh pertumbuhan daerah yang disebut tonjolan epiperikardial. Saraf pada daerah ini adalah saraf asesorius spina, dan mesnkimnya membentuk otot sternokleidomastoid dan trapesius. Tonjolan epikardial menyatu dengan arkus barnkial kedua, menutupi muara alur brankial kedua, ketiga dan keempat sebagai kista ektodermal, sinus servikal His yang normalnya menghilang. Juga otot lidah yang berasa dari miotom post brankial, bermigrasi ke dasar mulut, melalui belakang derivat brankial. Oleh karena itu muara dari derivate brankialis persisten terletak di depan otot sternokleidomastoid dan salurannya melalui bagian atas saraf hipoglosus. (1) Fistula brankial kedua terbuka di depan otot sternokleidomastoideus, masuk ke leher di depan arteri karotis komunis dan interna, biasanya di atara arteri karotis interna dan eksterna, kemudian di atas saraf glosofaring dan hipoglosus arah tonsila. Tanda tanda sisa kantong brankilais keempat dapat menetap sebagai saluran dari faring bagian bawah sampai daerah tiroid dan kadang kadang dapat menyebabkan tiroiditis supurativa. (1)

Mandibula Prosesus zigomatikum Kanal auditori eksternal Mastoid Garis buchal superior Oksipital eksternal Manubrium sterni Klavikula Sendi akromioklavikula Prosesus spinosus dari vertebra servikal VII Gambar 4. Bagian bagian leher

12

trakea Esophagus

servikal

Vena jugular anteriorsternokleidomastoid

sternohioid

omohioid Kelenjar tiroid Vena jugular interna Nervus vagus Arteri dan vena vertebra Pleksus brakial Gambar 5. Potongan transversal. Muskulus skalenus Muskulus trapezius

Glandula tiroidsternokleidomastoid

Vena jugular internaArteri karotis

vertebra

Fasia servikal superior Muskulus pravertebra trapezius Fasia pravertebra Gambar 6. Potongan transversal leher.

Aliran darah, persarafn dan aliran limfatik (1) Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistim kerotis eksterna. Beberapa anstomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi lainnya. Ujung cabang arteri maksila interna, cabang tonsilar arteri fasial, cabang lingual arteri lingual bagian dorsal, cabang arteri tiroidea superior, dan arteri faringeal yang naik semuanya13

menambah jaringan anastomosis yang luas. Persarafan sensorik nasofaring dan orofaring, seperti dasar lidah, terutama melalui pleksus faringeal saraf glosofaringeal. Pada bagian bawah faring, terdapat persarafan sensorik yang berasal saraf vagus melalui saraf laring posterior. Aliran limfe faringeal meliputi rantai retrofaringeal dan faringeal lateral dengan jalan masuk nodus servikal profunda. Keganasan nasofaring seringkali bermetastase ke rantai servikalis profunda. (1) Fisiologi faring (1) Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. (1) Penelanan(1)

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, tranpor makanan melalui faring, dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hoid dan laring dan dengan demikian membuka hipofaring dan sinus piriformis. Secara bersamaan otot laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat lidah bagian belakang akan mendorong makan ke bawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot kontriktor faring media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot kontriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaring berelaksasi. (1) Daerah wajah (1)

Ruang fasial wajah dan leher merupakan daerah jaringan penyambung konggar, Ruangan ini dikelilingi oleh selubung fasial, yang merupakan lapisan jaringan penyambung padat menutupi otot dan organ. Fungsi selubung ini adalah untuk memberi perlindungan dan juga memungkinan pencegahan terjadinya pergerakan satu dengan lainnya. (1)

14

Fasia servikal superfisialis mengelilingi kepala, wajah dan subkutan leher membungkus otot otot ekspresi wajah dan otot platisma. Fasia servikal profunda digambarkan mempunyai dua atau tiga komponen. Terdapat komponen superfisial, media dan profunda pada fasia servikal profunda. Komponen superfisial juga disebut investing layer, komponen media disebut lamina pretrakeal ( atau visceral ), dan komponen profunda disebut lamina vertebralis ( atau perevertebral ). Komponen superficial ( investing ) dari fasia profunda mengelilingi leher, melekat hanya pada ligamentum nukhal dari vertebra posterior. Komponen superfisial ini membelah dan membungkus otot trapezius dan sternokleidomastoid tetapi terletak di depan otot infrahioid. Lamina pretrakeal dibatasi oleh batas depan leher di bawah tulang hioid. Lamina pretrakeal melekat pada lamina superfisial pada batas lateral otot infrahioid di setiap sisi, meluas ke belakang otot otot ini di depan laring dan mengelilingi hipofaring dan esofagus dan kadang kadang dianggap bagian dari lamina pretrakeal. Bawah, lamina ini dilanjutkan dengan perikardium. Laina vertebral fasia servikal profunda, seperti lamina superfisial, juga melekat pada ligamentum nukhal dan mengelilingi leher, tetapi pada tingkat yang lebih dalam. Lamina prevertebral ini mengelilingi korpus vertebra dan otot skalenus anterior dan otot paraspinal dan otot leher bagian dalam di bagian lateral. Di atas bagian depan korpus vertebra laminaini membelah menjadi dua lamina, pars alar di bagian depan dan pars vertebra yang sesungguhnya bagian belakang. Diantara lamina prevertebral dan lamina pretrakeal pada setiap sisi terdapat fasia yang mengelilingi arteri karotis, saraf vagus dan vena jugular yang disebut selubung karotis. Di atas tulang hioid, lamina superfisial dan pretrakeal berubah. Lamina superfisial fasia servikal profunda menjadi bagian luar otot otot suprahioid tetapi kemudian membelah dan membungkus mandibula dan otot otot pengunyah dan juga membentuk kapsula kelenjar submadibula dan parotis. Lamina pretrakeal meluas di atas tulang hyoid bagian belakang hanya sebagai lamina yang mengelilingi otot otot faring. Lamina vertebral tak berubah di atas tingkat hioid, tetapi selubung karotis pada batas ini tidak mudah dikenali. (1)

15

Sistem aliran limfa leher

(2)

Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada rangkaian jugular interna dan spinal asesorius. Kelenjar limfa yang selalu terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenajr limfa pada rangkaian jugular interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tenkorak. Rangkaian jugularis interna ini dibagi dalam kelompok superior, media, dan inferior. Kelompok kelenjar limfa lain adalah submental, submandibula, servikal superfisial, retrofaring, paratrakeal, spinal asesorius, skalenus anterior dan supraklavikula. (2)

Kelenjar limfa jugular interna superior menerima aliran limfa yang berasal dari daerah pallatum moe, tonsil, baian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis, dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa retrofaring, spinal asesorius, parotis, servikal superfisial dan kelenjar limfa submandibula. (2)

Kelenjar limfa jugular interna media menerima aliran limfa berasal langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bagian bawah. (2)

Kelenjar limfa jugular interna inferior menerima aliran limfa yang berasal langsung dari glandula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal, juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugular interna superior dan media dan kelenjar limfa paratrakea. (2)

Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan m. omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima lairan limfa yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kel\njar limfa submandibula sisi

16

homolateral atau kontralateral, kadang kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugular interna. (2)

Kelenjar limfa submandibula, terletak di sekitar kelenjar liur submandibula dan di dalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna superior. (2)

Kelenjar limfa servikal superfisial, terletak di sepanjang vena jugular eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula, kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugular interna superior. (2)

Kelenjar limfa retrofaring, terletak di antara faring dan fasia prevertebrata, mulai dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba Eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugular interna dan kelenjar limfa spinal asesoris bagian superior. (2)

Kelenjar limfa paratrakea, menerima lairan limfa yang berasal dari laring bagian bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelnjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior. (2)

Kelenjar limfa spinal asesoris, terletak di sepanjang saraf spinal asesoris, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian belakang leher. Kelenjar limfa parafaring menerima lairan limfa dari nasofaring, orofaring dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa supraklavikula. (2)

17

Rangkaian kelenjar limfa jugular interna mengalirkan limfa ke trunkus jugular dan selanjutnya masuk ke duktus toraksikus untuk sisi sebelah kiri dengan untuk sisi yang sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung ke sistem vena subklavia. Juga duktus toraksijus dan dktus limfatikus kanan menerima aliran limfa dari kelenjar limfa supraklavikula. (2)

Fasia servikal superfisial Fasia servikal dalam Fasia servikal pertengahan Gambar 7. Potongan tranversal fasia leher. Garis putih infrahioid

18

jugularspinal

supraclaviculaNodus limfe oksipital Nodus limfe mastoidNodus limfe parotis Nodus limfe submandibula

Nodus limfe submental dan retrofaringealNodus limfe rekuren Nodus limfe pretrakeal

Nodus limfe pretoiroid Gambar 8. Nodus limfe leher.

mandibula claviculaTulang hioid

mandibula Bagian posterior muskulus digasterMuskulus hioglosus

Muskulus milohioid Bagian anterior muskulus digaster Muskulus sternokleidomastoid Bagian superior muskulus omohioid Muskulus sternohioidMuskulus trapezius

Gambar 9. Bagian superficial dari leher.

Bagian inferior muskulus omohioid

19

Daerah kelenjar limfa leher Letak kelenjar limfa leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification dibagi dalam lima daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah : (I) kelenjar yang terletak di segitiga submental dan submandibula; (II) kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior; (III) kelenjar limfa jugular diantara bifurkasio karotis dan persilangan m.omohioid dengan m.sternokleidomastoid dan batas posterior

m.sternokleidomastoid; (IV) grup kelenjar di daerah jugular inferior dan supraklavikula; (V) kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal. (2)

Nama daerah kelenjar limfa leher : (I) segitiga submandibula dan submental; (II) region jugular superior; (III) regio jugular media; (IV) regio jugular inferior; (V) segitiga posterior. (3)

MandibulaTrapeziusAnterior Posterior Garis tengah

klavikulasternokleidomastoid

Gambar 10. Pembagian segitiga pada leher.

20

Preaurikular

Postaurikular Servikal atas Segitiga posterior Supraklavikula Submental submandibula pretrakea Servikal bawah

Gambar 11. Drainase kelenjar limfe leher.

21

Fisiologi Fisiologi saluran limfatik Limfe mirip dengan plasma tetapi dengan kadar protein yang lebih kecil. Kelenjar-kelenjar limfe menambahkan limfosit pada limfe sehingga jumlah sel itu sangat besar di dalam saluran limfe. Di dalam limfe tidak terdapat sel lain. Limfe dalam salurannya digerakkan oleh kontraksi otot di sekitarnya dan dalam beberapa saluran limfe yang gerakannya besar itu dibantu oleh katup. (1)

fungsi limfe sendiri adalah : (1) Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah; (2)Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah; (3) Membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi darah. Saluran limfe yang melaksanakan fungsi ini ialah saluran lacteal; (4) Kelenjar limfe menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk menghindarkan penyebaran organism itu dari tempat masuknya ke dalam jaringan, ke bagian lain tubuh; (5) Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi) untuk melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi. (1)

Sewaktu suatu infeksi pembuluh limfe dan kelenjar dapat meradang, yang tampak pada pembengkakan kelenjar yang sakit Limfonodi berbentuk kecil lonjong atau seperti kacang dan terdapat di sepanjang pembuluh limfe. Kerjanya sebagai penyaring dan dijumpai di tempat-tempat terbentuknya limfosit.(1)

22

Sebuah kelenjar limfe mempunyai pinggiran cembung dan yang cekung. Pinggiran yang cekung disebut hilum. Sebuah kelenjar terdiri dari jaringan fibrous, jaringan otot, dan jaringan kelenjar. Di sebelah luar, jaringan limfe terbungkus oleh kapsul fibrous. Dari sini keluar tajuk-tajuk jaringan otot dan fibrous, yaitu trabekulae, masuk ke dalam kelenjar dan membentuk sekat-sekat. Ruangan diantaranya berisi jaringan kelenjar, mengandung banyak sel darah putih atau limfosit. (1)

Pembuluh limfe aferen menembus kapsul di pinggiran yang cembung dan menuangkan isinya ke dalam kelenjar. Bahan ini bercampur dengan benda-benda kecil daripada limfe yang banyak sekali terdapat di dalam kelenjar dan selanjutnya campuran ini dikumpulkan pembuluh limfe eferen yang mengeluarkannya melalui hilum. Arteri dan vena juga masuk dan keluar kelenjar melalui hilum. (1)

Fisiologi pertahanan tubuh

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik. (4)

Substansi asing yang bertemu dengan sistem itu bekerja sebagai antigen, anti melawan, ditambah genin menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi suatu respon tuan rumah, respon ini dapat selular, humoral atau keduanya. Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor atau berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau nukleoprotein. Pada keadaan apa saja spesitas respon imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil antigen determinan untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosakarida. Jika komplek antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan satu spektrum respon humoral dan selular. (4)23

Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic yang merangsang pembentukan antibodi, antibodi disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B. Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model bagi kelas-kelas yang lain. (4)

Hapten: Molekul kecil yang tidak mampu menginduksi respon imun dalam keadaan murni, namun bila berkonyugasi dengan protein tertentu (karrier) atau senyawa Berat Molekul (BM) besar dapat menginduksi respon imun. Epitop atau antigenik determinan :Unit terkecil suatu antigen yang mampu berikatan dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit.(4)

Limfosit T Stem sel limfoidtimus

Limfosit NK

Stem sel pluripoten

Limfosit Bseritrosit

Plasma sel

megakariosit Stem sel mieloid Makrofag Granulosit Gambar 12.

Mekanisme pertahanan tubuh :

Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk24

satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. (4)

Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.

antigen Sel infeksi Aktivasi sel B

Makrofag Sel T helper

Aktivasi set T

Sel plasma

Sel T memori sitotoksikSel T helper memori

Sel memori

antibodiSel pembunuh nonspesifik

Sel T sitotoksik matur

Gambar 13.

Mekanisme Pertahanan Non Spesifik :

Dilihat caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit,25

polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik. (4)

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit

Permukaan

tubuh

merupakan

pertahanan

pertama

terhadap

penetrasi

mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain sistem imunitas alamiah. Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme. (4)

Komplemen dan makrofag

Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya. (4)

Protein fase akut

Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen. (4)

26

Sel natural killer (NK) dan interferon

Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK. (4)

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.(4)

Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.(4)

27

Limfosit B dan Limfosit T

Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi(pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang(Bone Marrow). Berperan dalam imunitas humoral Berperan dalam imunitas selular. Menyerang antigen yang ada di cairan antar sel, menyerang antigen yang berada di dalam sel.(4)

Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :

(1) Limfosit B plasma, memproduksi antibody; (2) Limfosit B pembelah, menghasilkan Limfosit B dalam jumlah banyak dan cepat; (3)Limfosit B memori, menyimpan mengingat antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh. (4)

Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:

(1)

Limfosit T pembantu (Helper T cells), berfungsi mengantur sistem imun

dan mengontrol kualitas sistem imun; (2) Limfosit T pembunuh(Killer T cells) atau Limfosit T Sitotoksik, menyerang sel tubuh yang terinfeksi oleh pathogen; (3) Limfosit T surpressor (Surpressor T cells), berfungsi menurunkan dan menghentikan respon imun jika infeksi berhasil diatasi. (4)

Imunitas selular

Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.(4)

Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada28

permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).(4)

Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.

Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada. (4)

Pajanan antigen pada sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul besar. (4)

29

Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.(4)

Limfokin

Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.(4)

Aktivitas lain untuk eliminasi antigen

Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi. (4)

30

Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. (4)

Imunitas humoral

Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE. (4)

Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu. (4)

Pajanan antigen pada sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th. (4)31

Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi komplemen. (4)

Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen. (4)

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari. (4)

Sel darah putih

Leukosit.

Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3,32

bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam. (4)

Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologik dan Patologik sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harusdiambil.(4)

Neutrofil

Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pink oleh campuran jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan

33

peroksidase; Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan fagositin. (4)

Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya. Di bawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasi organel- organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glikogenolisis. (4)

Eosinofil

Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatase asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrofil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan,

34

khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat. (4)

Basofil

Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan.(4)

Limfosit

Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah. Normal, inti relative besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan elektron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos seperti

imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.(4)

35

Monosit

Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap monosit Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunokompetent dengan antigen. (4)

Mikrobiologi Epstein Barr Virus (5) Aspek Biologi

Virus Epstein Barr (virus EB) juga disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk dalam famili herpes ( yang juga termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu menyebabkan mononukleosis. Virus ini berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong menemukan virus ini pada tahun 1964. (5)

Virus Epstein Barr tidak dapat dibedakan dalam ukuran dan struktur dari virusvirus herpes lainnya. Genom DNA virus EB mengandung sekitar 172 kbp. Sel target36

virus EB adalah limposit B. Virus EB memulai infeksi sel B dengan cara berikatan dengan reseptor. Virus EB secara langsung masuk tahap laten dalam limfosit tanpa melalui periode replikasi virus yang sempurna. Ketika virus berikatan dengan permukaan sel, sel-sel diaktivasi, untuk kemudian masuk ke dalam siklus sel. Lalu dihasilkanlah beberapa gen virus EB dengan kemampuan berproliferasi tidak terbatas. Genom virus EB lurus membentuk lingkaran, sebagian besar DNA virus dalam sel yang kekal sebagai episom yang melingkar. Limfosit B yang dikekalkan virus EB menampakkan fungsi yang berbeda (sekresi imunoglobulin). Produk-produk aktivitas sel B terbentuk. Sepuluh produk sel gen virus dihasilkan dalam sel yang kekal, termasuk enam antigen nuklear virus EB yang berbeda (EBNA 1-6) dan dua protein membran laten (LMP1, LMP2). Virus EB bereplikasi in vivo dalam sel-sel epitel dari orofaring, kelenjar parotis, dan serviks uteri, juga ditemukan dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring. (5)

Klasifikasi

Grup : Grup I ( dsDNA); Famili : Herpesviridae; Genus : Lymphocryptovirus; Spesies : Human herpesvirus 4 (HHV-4).

37

TABEL - 1Gen encoding EBV

EBV fase laten gen enkoding (13)lokasi

Tipe fase laten

Diagnosa penyakit

Diagnosis tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah memperkuat diagnosis bila ditemukan antibodi terhadap virus EB. Tubuh juga biasanya menghasilkan limfosit B baru untuk menggantikan limfosit yang terinfeksi dengan bentuk limfosit yang khas. (5)

Patogenesis

38

Virus EB biasanya ditularkan melalui air liur yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel epitel faring dan kelenjar ludah. Virus EB adalah penyebab dari mononucleosis infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Sel B yang terinfeksi virus mensintesis imunoglobulin. Mononukleosis merupakan transformasi poliklonal sel B. Selama perjalanan infeksi mayoritas penderita membentuk antibodi heterofil. (5)

Gambar 14. Infeksi EBV.

Gambar 15. Model dari infeksi EBV.

39

Setelah masa inkubasi 30-50 hari, terjadi gejala nyeri kepala, malaise, kelelahan, dan nyeri tenggorokan. Demam bertahan sampai 10 hari, terjadi pembesaran kelenjar getah bening dan limpa. Penyakit mononucleosis infeksiosa ini mempunyai kekhasan sembuh sendiri dan berlangsung 2-4 minggu. Selama penyakit berlangsung, terjadi peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi dengan limfosit dominan. (5)

EBV berada pada fase laten dan berdiam di dalam limfosit B dan epitel respirasi. Infeksi laten ini biasanya menyerang tonsil, jaringan tonsiler menunjukkan EBV apabila dikultur pada pemeriksaan laboratorium. Karsinoma nasofaring merupakan salah satu kanker yang disebabkan oleh EBV. Virus menginfeksi epitel dari, menunjukkan fase laten, dan mengeluarkan beberapa protein virus seperti EBNA- 1 dan EBNA 2. Ditemuka kedua protein ini menjadi sebuah tanda diagnostik infeksi EBV. (16) Siklus hidup fase laten EBV (15)

TABEL - 2

Penyakit limfoproliferatif

Definisi

Penyakit limfoproliferatif adalah sebuah kondisi medis yang memiliki karakter40

sebagai berikut, disfungsi sistem imun yang sering menyebabkan produksi berlebihan dari limfosit. Imunitas tubuh bertahan terhadap infeksi dan penyakit yang dusebabkan oleh bakteri dan virus. Keganansan atau kanker dapat menjadi akibat dari penyakit limfoproliferatif. Pada penyakit limfoproliferatif, peningkatan limfosit di dalam darah dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dan juga limpa. (6)

Epidemiologi Pada penyakit limfoproliferatif biasanya terjadi pada anak anak dengan disfungsi sistem imun tubuh, rasio dari laki laki dan permepuan yang terkena adalah 1 : 1, karena ini merupakan penyakit heterogen. Penyakit limfoproliferatif dapat terjadi pada semua golongan umur tetapi biasanya jarang pada bayi dan juga balita. Penyakit ini berkembang progresif seiring dengan berjalannya pertambahan umur. (7)

Gejala klinis Adenopathy, splenomegali, atau gejala gejala khas pada organ organ yang terinfiltrasi dari sel limfosit abnormal. (7) Etiologi (7)

Sindrom Imunodefisiensi pada anak - anak

Penyakit limfoproliferatif terkait genetik

Penyakit limfoproliferatif terkait gen X : Penyakit ini terkait dengan infeksi virus Epstein Barr (EBV). Tiga fenotip dari penyakit limfoproliferatif terkait gen X adalah : fulminant infectious mononucleosis (50%), B-cell lymphoma (30%), dan dysgammaglobulinemia (30%). (7)

41

TABEL

Penyakit limfoproliferatif yang terkait dengan infeksi EBV (13)

Autoimmune lymphoproliferative syndrome (ALPS) : Penyakit ini memiliki karakteristik dari penyakit limfoproliferatif, sitopenia autoimun, dan kecenderungan untuk menjadi keganasan. Pada patogenesisnya menlibatkan apoptosis yang diinduksi oleh FAS, yang mengubah homeostasis dari regulasi limfosit. (7)

Kelainan terkait genetic lainnya

Non

Hodgkin

lymphoreticular

B

cell

neoplasms

pada

anak

dengan

gamaglobulinemia terait gen X; Pada pasien dengan common variable immune deficiency (CVID); Chediak Higashi syndrome (CHS): Penyakit autosomal resesif yang memiliki karakter sebagai berikut : imunodefisiensi yang berat, perdarahan, infeksi bakteri yang sering, albino, disfugsi neurologis progresif; Wiskott Aldrich syndrome (WAS): Penyakit terkait gen X yang berkarakter dengan trombositopenia, keeping darah yang kecil, eksema, infeksi berulang, imunodefisiensi, dan insiden yang tinggi dari penyakit imunodefisiensi dan keganasan. Disebabka oelhe mutasi dari protein WAS (WASP); Ataxia telangiectasia : Penyakit autosomal resesif yang berkaitan dengan mutasi dari gen ATM pada pita 11q22-23. (7)

42

Karena diperoleh

Infeksi

HIV

congenital;

Sarcoma

Kaposi;

Post

Transplantation

Lymphoproliferative Disorder (PTLD) : Disebabkan oleh transplantasi organ dan juga terapi menggunakan imunosupresan yang digunakan supaya tubuh pasien dapat menerima organ baru yng ditransplantasikan. Biasanya banyak terjadi pada transplantasi organ solid. Faktor resiko primer adalah EBV infeksi pada saat transplantasi organ. Faktor lainnya adalah tipe organ yang ditransplantasikan seperti paru paru, usus halus, ginjal, jantung, dan hati. Semakin banyak imunosupresan yang menekan sel T spesifik digunakan, insiden terjadinya PTLD semakin meningkat. (7)(7)

Diagnosis banding

Non Hodgkin limfoma(7)

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan klinis dapat ditemukan local adenopati, dan hepatoslenomegali. Pada beberapa kondisi , sistem pencernaan dan juga paru paru dapat memberikan gejala. Lakukan pemeriksaan serologis untuk sitomegalovirus dan EBV. Hitung jumlah LED. Pemeriksaan elektrolit, BUN, kreatinin, fosfat, kalsium, asam urat untuk melihat dari sindrom lisis tumor

Pemeriksaan radiologi CT Scan MRI Foto Toraks43

Bone Scanning Ultrasonography (USG) Endoskopi

Pemeriksaan penunjang lainnya

Polymerase Chain Reaction (PCR) Pemeriksaan histopatologik(7)

Penatalaksanaan

Pembedahan Medikamentosa Antineoplasma : Doxorubicin; Cyclofosfamid; Vincristine; Prednison. Antiemetik : Ondansentron.(7)

Prognosis

Prognosis pasien tergantung dari keadaan imunitas tubuh pasien.

Penyakit limfoproliferatif post transplantasi

Penyakit limphoproliferatif post transplantasi (PTLD), penyakit yang jarang, biasanya disebabkan oleh komplikasi transplantasi baik organ solid maupun sumsum tulang. PTLD terkait dengan infeksi Epstein Barr Virus (EBV) yang menginfeksi sel B, sebagai reaktivasi virus setelah transplantasi ataupun setelah transplantasi yang didapatkan dari donor. Penyakit limphoproliferatif post transplantasi yang menyerang sel T tidak terkait dengan infeksi EBV. (8) Diagnosis PTLD ditegakkan berdasarkan indeks yang tinggi dari gejala klinis; terdapat gambaran histopatologis limfoproliferatif pada biopsi jaringan; terdapat DNA ,44

RNA atau protein EBV pada jaringan; semakin banyak digunakan imunosupresan, insiden terjadinya PTLD semakin besar dan semakin cepat dapat terjadi. (8) The American Society for Transplantation merekomendasikan bahwa kriteria PTLD harus posttransplantation infectious mononucleosis dan plasma cell hyperplasia (reactive hyperplasias). Apabila kriteria PTLD tidak terpenuhi, berarti mengarah kepada penyakit neoplasma. Penyakit neoplasma yang mencakup seperti polimorfik limfoma, polymorphic B cell hyperplasia, atau lymphomatous PTLD. Gambaran histologi harus disertai dengan limfoproliferasi yang merusak susunan jaringan, gambaran sel poliglonal atau monoklonal, dan didapatkan EB virus pada jaringan. (8)

Patofisiologi

Infeksi primer EBV biasanya ringan, penyakit yang dapat sembuh sendiri pada anak dan sindrom klinis pada infeksi mononukleosis pada dewasa. Sejak 1986, virus ini diketahui menyebabkan infeksi mononukleosis dan terkait dengan limfoma non Hodgkin dan oral hairy leukoplakia pada pasien dengan infeksi HIV dan karsinoma nasofaring, yang sering di asia tenggara. (8) Struktur virus EB adalah gen EBV dibungkus oleh sebuah kapsul nukleuar, dikelilingi oleh sarung glikoprotein. Apabila seseorang terinfeksi EBV pertama kali, virus tersebut akan berada di dalam tubuhnya untuk selama hidupnya dan bersifat laten, virus ini hidup pada sel limfosit B dan mengalami replikasi kronis pada sel sel di orofaring.(8) Gen EBV adalah sebuah DNA linear yang mengkoding kira kira 100 protein virus yang dikeluarkan pada saat replikasi. Molekul CD21 pada permukaan sel B adalah target reseptor sarung glikoprotein EBV. Infeksi sel limfosit B oleh EBV terjadi dengan replikasi virus dan lisisnya sel B (replikasi lisis) atau sebuah trensformasi dari sel dengan hanya ekspresi dari sebagian gen SBV (laten). Transformasi sel terkait dengan aktivasi sel B dan proliferasi berkelanjutan. Pada pasien dengan imunokompeten, proliferasi sel B yang telah berubah bentuk ini biasanya dikontrol oleh sel T sitotoksik. (8)

45

Gambar 16. Infeksi EBV

Gambar 17. Infeksi EBV.

46

Gambar 18. Infeksi EBV.

Gen virus mengekspresikan hanya sembilan protein selama fase laten, pada saat menagmbil sebuah konfigurasi episomal. Hal ini meningkatkan pengenalan sari sel T, yang memfasilitasi infeksi persisten EBV, yang terjadi pada sel B memori yang sedang dalam fase istirahat. sembilan protein yang dipresentasikan EBV pada membrane protein fase laten adalah LMP : LMP-1, LMP-2A, LMP-2B; dan EBV antigen nuclear (NA) : EBNA-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA- 3B, EBNA-3C, EBNA-LP. LMP dapat dipertimbangkan sebagai sebuah onkogen. Adanya LMP menghasilkan peningkatan level dari CD23, yang merupakan sel B aktivasi agen. LMP-1 diketahui menginduksi ekspresi bcl-2, yang menghambat apoptosis sel yang terinfeksi. LMP-2 menghambat reaktivasi EBV pada sel terinfeksi pada fase laten. EBNA 1 bertanggung jawab dalam mengatur konfigurasi episomal virus pada masa laten. EBNA 2 meningkatkan regulasi ekspresi LMP 1 dan LMP 2, yang diperlukan untuk transformasi sel B. (8) Hampir semua jaringan pada penyakit limfoproliferatif telah menunjukkan presentasi DNA EBV. Pada analisis mengindikasikan ekspresi tiga antigen yang sering yaitu, EBNA 1 , EBNA 2, dan LMP 1. Dua dari tiga protein ini biasanya tidak terdapat pada keganasan terkait EBV lainnya. (8)47

Infeksi EBV menghasilkan baik respon imunitas humoral dan selular pada pasien. Imunitas selular berperan lebih penting pada fase fegulasi dan mengontrol proliferasi sel limfosit B yang terinfeksi dengan adanya CD4 dan CD8 sel T sitotoksik dan natural killer sel. Antibodi kapsid dan protein nukleus virus diproduksi, kemunculan beberapa hal itu memudahkan diagnosis infeksi EBV. Pada orang dengan imunokompeten, mekanisme ini bekerja baik untuk mencegah pertumbuhan berlebihan sel limfosit yang terinfeksi EBV. Dan pada pasien dengan imunodefisiensi, beberapa faktor merusak mekanisme ini. (8) Imunosupresan diperlukan untuk mencegah fungsi penolakan setelah transplantasi pada kelemahan imunitas sel T dan mengizinkan proliferasi sel B terinfeksi EBV yang tidak terkontrol, menghasilkan monoclonal dan poliklonal plasmatic hyperplasia, hiperplasia sel B, limfoma sel B atau imfoma imunoblastik. (8) Pada fase awal, proliferasi yang terjadi bersifat poliklonal. Dengan mutasi dan pertumbuhan yang bersifat selektif, lesi menjadi oligoklonal dan kemudian monoklonal. Siklosporin membuat proliferasi limfosit B. aktivitas NK sel menurun pada beberapa bulan setelah transplantasi. (8)

Gambar 19. Infeksi EBV.

TABEL - 1

Patogenesis infeksi EBV pada transplantasi organ solid. (17) Relevance the Proposed studies different Sensitive diagnostic

Topic

EBV latency vs. persistence Understand

in different organs from forms of EBV burden that molecular techniques that healthy EBV+ individuals are transmitted by an EBV+ detect and measure latent transplanted organ and replicative EBV within

48

a

specific

organ

from

healthy EBV seropositive individuals Mechanism reactivation of EBV Understand circumstances that the Quantify level of EBV

occur being reactivated in the organ over

post transplantation (e.g., transplanted cytokines,

transactivating time using above techniques

virus) that may lead to viral Measure and record levels reactivation from latency in of the organ transplanted cytokines, and

EBV+ transacting virus that occur post transplantation and that are associated with

development of EBV-PTLD Understand EBV

transcriptional regulating in in vitro models Determine the role of non donor EBV as a source of infection Detection and quantification Identify the period in which Prospective of EBV analysis and

EBV is transmitted from quantitation of EBV in the donor to recipient and the transplant shift from lytic replicative validation to oncogenic EBV standardization technique of recipient and and the

Identification of markers of Subclassify EBV have transformation diagnostic that pathogenic and accurately prognosis PTLD therapy49

PTLD markers predict of the

by Create that diagnostic

a

reference pathological

the laboratory in which the EBV- EBV PTLD samples and with concomitantly isolated PBL are processed for the study

prognostic significance

outcome

of

oncogenesis,

cellular

gene rearrangements, and EBV transforing proteins.

Faktor resiko Faktor resiko dalam penanganan PTLD. (9) Solid organ transplant Intense immunosupresive therapy Transplant from EBV seropositive donor into seronegative recipient Small bowel or heart lung transplant

TABEL - 2

Hematopoietic stem cell transplant T cell depletion ATG aas prophylaxis or therapy for GVHD HLA-mismatched transplant Immunodeficiency as primary diagnosis

Epidemiologi

Pasien PTLD yang memiliki resiko paling tinggi adalah pada EBV seronegatif resipien yang menerima cangkok ginjal EBV seropositif donor. Toraks dan intestinal transplantasi memiliki resiko tertinggi dalam PTLD. Dalam 5 10%. PTLD sangat jarang apabila dengan penggunaan dua imunosupresan seteah transplantasi dengan

menggunakan azathioprine dan oral steroid. PTLD dilaporkan meningkat setelah penggunaan cyclosporine A dan beberapa imunosupresif agen lainnya seperti yang menginduksi antibodi. (14)

Gejala klinis

Presentasi klinis sangat bervariasi dan meliputi demam (57%), limfadenopati (38%), gejala gastrointestinal (27%), sindrom seperti infeksi mononucleosis (19%), gejala pernafasan (15%), gejala CNS (13%), dan penurunan berat badan (9%). Pasien biasanya melaporkan demam, penurunan berat badan, anoreksia, letargi, sakit menelan, diare, nyeri abdomen, nafas yang pendek, gejala neurologis. Diagnosis PTLD lebih mudah ditegakkan apabila pasien mengalami demam, berat badan turun yang tidak dapat50

dijelaskan sebabnya, limfadenopati, dan hepatosplenomegali dengan riwayat transplantasi baru. Tempat predileksi yang sering terkait adalah kelenjar limfe (59%), tonsil (105) dan kelenjar saliva (4%).(8)

Beberapa faktor resiko PTLD adalah penggunaan imunosupresan setelah transplantasi, penggunaan steroid sebelum transplantasi, dan transpantasi hati untuk hepatitis autoimun, resipien EBV pretransplantasi seronegativity dan EBV donor seropositivity. Gejala yang sering PTLD pada transplantasi ginjal adalah demam (52%), limfadenopati (28%), tonsillitis atau faringitis (28%), penurunan berat badan (8%). (11)

Gambar 20. Tonsillitis.

TABEL - 3

Klasifikasi PTLD (11)

51

TABEL - 4

Klasifikasi WHO - PTLD (12)

TABEL - 5

Klasifikasi histologik PTLD ( WHO classification 2008 ) (15)

Category

Clonal status

EBV status

Oncogene/tumor suppressor changes gene

Early lesions Plasmacytic infectious lesion Polymorphic PTLD Monoclonal Always EBV+ Monomorphic B-cell lymphomas (DLCL, Monoclonal Frequently EBV+ None hyperplasia, Polyclonal mononucleosis-like Always EBV+ None

Burkitt, plasma cell myeloma, Plasmacytoma-like lesions T-cell lymphoma (peripheral T-cell hepatosplenic) Classic Hodgkin lymphoma- Monoclonal like PTLD lymphoma,

Rarely EBV+

Frequently EBV+

None

52

Diagnosis Diagnosis PTLD (15) Information gained Limitations High sensitivity;

TABEL - 6 Test

EBV viral Elevated level supports diagnosis load

specificity varies with clinical scenario

Imaging

Enlarged lymph nodes or nodules support Differential causes for diagnosis lymphadenopathy EBV positivity by LMP1 Invasive procedure on organ

Biopsy affected organ

Confirm

immunostaining and EBERs; assess histology depending (high-grade monoclonal lymphoma vs polyclonal involved lymphoproliferation); immunophenotyping

(CD20 expression); cytogenetics Parameter dalam diagnosis PTLD (17)

TABEL - 7

EBV+ or EBV- using in situ and/or immunostaining Clonality of T cells, B cells, and virus Infiltrating cells, number and phenotype Histology; need to standardize Therapy associated markers, e.g., CD20 Stage (Ann Arbor, Cotswald) : Allograft involvement CNS involvement Symptomatic/asymptomatic Quantitative PCR for EBV, competitive eor otherwise in peripheral blood sampel. Need to standardize. Correlation with serology Natural history over time Correlation with D4, D8 markers in PBL53

Consider other markers, e.g., sCD23, SPEP Informasi tambahan yang dapat menunjang diagnosis PTLD (17)

TABEL - 8

Criteria for evaluation of clonality C0 polyclonal C1 monoclonal C1a monoclonal, not further categorized C1b monoclonal component estimated at < 50% of cells C1c multiclonal or oligoclonal pattern CX not evaluated

Citeria for evaluation of EBV within PTLD E0 EBVE1 EBV present, not further recognized E1a nonclonal viral pattern E1b clonal viral pattern EX not evaluated

Pemeriksaan laboratorium

Terdapat jumlah besar sel B yang telah bertransformasi oleh karena EBV yang bersirkulasi di dalam darah pada permulaan penyakit. Penghitungan DNA EBV level pada darah tepi dapat menjadi marker berguna bagi pasien dengan risiko tinggi terserang PTLD. Disarankan pemeriksaan darah tepi setiap 1 2 bulan sekali setelah transplantasi. Pada infeksi EBV primer, EBV viral capsid antigen (VCA) immunoglobulin M (IgM) titer meningkat. Raktivasi infeksi EBV dikarakterkan dengan peningkatan EBV VCA immunoglobulin G (IgG) titer, tidak ada perubahan titer apabila infeksi telah selesai. Evaluasi dari tumor yang menjadi presentasi dari EBV sangat penting.(8)

54

Gambar 21. Penanganan PTLD berdasarkan diagnosis.

Pemeriksaan radiologik Meliputi Computed Tomography Scan (CT Scan) dada, abdomen, pelvis dan kepala. Mencari adanya hepatosplenomegali, limfadenopati, atau massa abnormal. (8)

Pemeriksaan lain Pada pemeriksaan histopatologik, lesi terlihat hyperplasia plasmatic, B cell hyperplasia, B cell limfoma, atau imunoblastik limfoma. Kadar virus EBV pada darah tepi dapat diperiksa dengan menggunaka Polymerase Chain Reaction (PCR). Kadar virus yang tinggi dapat ditemukan pada pasien dengan PTLD, tetapi titer EBV bukan merupaka diagnosis. Karena tidak semua pasien dengan PTLD memiliki kadar virus yang tinggi. (8)

55

Gambar 22. Penanganan PTLD berdasarkan skrining PCR.

Pemeriksaan histologik

Diagnosis patologis PTLD berdasarkan kalsifikasi WHO dan meliputi 4 kategori utana : (1) lesi awal; (2) polymorphic PTLD; (3) monomorfik PTLD; (4) classic Hodgkin lymphoma. Ada juga kalsifikasi alternatif yang disebutkan oleh Knowles et al classified of PTLD yaitu meliputi 3 kategori : (1) plasmatic hyperplasia, yang terjadi paling sering apda orofaring atau kelenjar limfe dan mendekati poliklonal, dengan rusaknya onkogen atau perubahan darigen supresor tumor; (2) polymorphic B cell hyperplasia dan polymorphic B cell lymphoma, dapat terjadi nodal atau extranodal, mendekati monoklonal, biasanya mengandung bentuk tunggal EBV dan onkogen yang rusak atau perubahan gen supresor tumor; (3) immunoblastic lymphoma dengan penyakit yang didapat, yang mana merupakan monoclonal, mengandung bentuk tunggal EBV dan mengandung perubahan dari 1 atau lebih onkogen atau gen supresor tumor. (8)

56

Gambar 23. PTLD monomorfik. Limfoma sel B.

Penatalaksanaan Penanganan PTLD (17)

TABEL - 9

Recommended treatment Limited disease Surgical extirpation or localized radiation therapy Minor moderate (e.g., 25%) immunisuppresion reduction Extensive disease Critically ill : stop all immunosuppression. Prednison at 7.5 10 mg / daily. Avoid rejection, frequent biopsies. Time frame, 14 +/- 7 days and treat with bolus of corticosteroids if required Not critically ill : decrease cyclosporine tacrolimus by 50%, discontinue azathioprine/MMF, and maintain prednisone at 7,5 10 mg/day

Alternative/ complementary measures Recombinant interferon (not as a single agent) : 3 x 10 6 U/M2/day s.c. Daily for up to 3 mo Standar dose modifications for toxicities 6 mo or 3 times/wk as maintenance treatment if CR observed at 3 mo

If the previous measures fail to control the disease :

57

Chemotherapy. Anthracycline based regimens : CHOP, ProMACE-CytaBOM for two cycles beyond a CR

Investigational approaches : Anti IL 6 antibody Infusion of HLA matched peripheral blood mononuclear cells with anti EBV cytotoxic activity Dendritic cell therapy Anti CD 20, CD 21, CD24, or anti CD40 antibodies Remove episomes- low dose hydroxyurea

Study the value current and new antiviral agents in combination with above measures

GAMBAR 24.

Algoritma penanganan dan pencegahan PTLD (18)

Strarzl et al yang pertama menyarankan pengurangan, atau penghentian imunosupresan sebagai terapi pilihan untuk PTLD. Hal ini mengharapkan imunitas natural pasien timbul dan memperbaiki sendiri sehingga dapat melawan proliferasi sel58

yang terinfeksi EBV. Kebanyakan pasien dengan PTLD jinak berespon baik terhadap terapi ini. Tetapi pada orang dengan keganasan sering memberikan respon tidak adekuat untuk terapi ini, dan terapi lebih agresif diperlukan. (8) Pada pasien dengan transplantasi organ solid, keseimbangan harus terjadi diantara pengurangan imunosupresan dengan risiko penolakan transplantasi. Terapi dapat meliputi pembedahan lesi, terapi dengan antiviral, terapi rasiasi dan kemoterapi, alfa interferon, intravena gama globulin, limfosit T sitotoksik, dan antibody monoclonal. (8) Penggunaan acyclovir untuk terapi PTLD dilaporkan tidak memberikan dampak signifikan. Acyclovir dan ganciclovir keduanya menghambat proses lisis DNA EBV replikasi. Ganciclovir lebih poten 10 x dibandingkan acyclovir. Acyclovir menghambat replikasi DNA EBV linear dan tidak efektif terhadap DNA EBV episomal, yang merupakan konfirmasi gen EBV pada limfosit B laten, dan juga tidak menghambat proliferasinya. (8) Serivastava et al melaporkan terapi PTLD dengan imunosupresan dengan menggunakan antilimfosit globulin, metilprednisolon, cyclosporine, dan mycophenolate mofetil atau azathioprine. Lalu digabungkan dengan menggunakan acyclovir atau ganciclovir. Dan ditambahkan juga kemoterapi pada terapi pilihan utama. Memberikan hasil adekuat pada pasien dengan PTLD. (8) Interferon alfa efektif pada terapi sel B PTLD. Interferon berfungsi sebagai proinflamasi dan agen antiviral. Interferon alfa dikenal menghambat pertumbuhan sel B yang bertransformasi, dan mengurangi penyebaran ke orofaring. Juga diketahui menghambat sel T helper, yang melepaskan sitokin ( IL 4, IL 6, IL 10) yang menginduksi proliferasi sel B. interferon alfa juga mengurangi level dari IL 4 dan IL 10 messenger RNA (mRNA) secara signifikan. (8)

59

Gambar 24. Penanganan dan profilaksis PTLD.

Immunoglobulin intravena digunakan sebagai terapi tambhan pada terapi PTLD. Dua faktor yang menjadi alasan rasional dignunakan immunoglobulin intravena untuk terapi PTLD adalah adanya defisiensi atau tidak adanya antibodi melawan satu EBNA pada pasien post transplantasi dan penurunan jumlah virus EB yang terkait dengan peningkatan level antibodi melawan EBNA. (8) Kombinasi regimen kemoterapi ProMACE CytaBOM (prednisone, adiamycin, cytoxan, etoposide, arabinoside, cytosine, bleomycin, oncovin, methotrexate). Regimen ini dirasa sangat adekuat apabila dilanjutkan dengan imunosupresan selama kemoterapi, tidak terdapat episode penolakan transplantasi. Tujuh puluh lima persen pasien mengalami remisi komplit, dan tidak terdapat kaus relaps terjadi selama 38 bulan. (8) Anti CD21 dan anti CD24 monoclonal antibody digunakan untuk terapi PTLD pada transplantasi sumsum tulang dan organ solid. Rituximab adalah sebuah anti CD20 baru monoclonal antibody, yang digunakan untuk terapi ;imfoma non Hodgkin. (8) TABEL - 10 Respon pemakaian Rituximab (15) Type of transplantation Cord T celldepleted HSCT Allogeneic HSCT Response rate 5/9 3/3 3/3 Reference Brunstein et al45 van Esser et al46 Kuehnle et al44 Powell et al47 Savoldo et al48 Ganne et al4960

Autologous CD34 selected HSCT 4/5 Solid organ transplantation Solid organ transplantation 6/6 7/8

Solid organ transplantation Solid organ transplantation Solid organ transplantation

6/11 CR; 1/11 PR

Blaes et al50 Choquet et al52

9/17/ CR; 1/17 PR Oertel et al51 19/43

EBV - spesifik sel T limfosit sitotoksik donor, pada kasus transplantasi sumsum tulang , mempunyai kemampuan untuk mengenali dan menghancurkan sel B terinfeksi EBV pada resipien.(8)

Profilaksis digunakan untuk skrining donor dan resipien. EBV dapat ditransmisikan dari produk darah. Penggunaan acyclovir rutin sebagai profilaksis dirasakan tidak memberikan efektivitas.(8)

TABEL - 11 Strategi penanganan PTLD (9)

Terapi pembedahan

Terapi pembedahan dengan reseksi bedan ditambah dengan terapi radiasi terlokalisai memberikan hasil positif pada beberapa pasien PTLD.(8)

Medikamentosa

Agen imunosupresan61

Menghambat faktor yang memediasi reaksi imun, yang menurunkan respon inflamasi. Contohnya adalah cyclosporine yang berisi cyclic polypeptide yang mensupresi imunitas humoral , reaksi imunitas bermediasi sel, seperti delayed hypersensitivity, allograft rejection, experimental allergic encephalomyelitis; Tacrolimus memiliki fungsi mensupresi imunitas humoral ( limfosit T ) ; Mycophenolate yang kerjanya adalah menghambat inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) dan mensupresi de novo purine yang disintesa oleh limfosit, menghabat proliferasinya, dan menghambat produksi antibody; Prednison digunakan sebagai imunosupresif, anti inflamasi, dan sebagai komonen CHOP dan ProMACE-CytaBOM agen kemoterapi. Dapat menurunkan inflamasi dengan menaikkan permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN. Menstabilkan membran lisosom dan juga menekan limfosit dan produksi antibodi. (8)

Agen antiviral

Analog nukleosida yang terfosforilasi oleh viral thymidine inase untuk membentuk nukelosida triphosphate. Molekul ini menghambat Herpes Simplex Virus (HSV) polymerase dengan 30 50 kali potensi dari human alpha DNA polymerase. Contohnya adalah Acyclovir yang menghambat aktivitas HSV 1 dan HSV 2. Memiliki afinitas terhadap viral thymidine kinase dan fosforilasi, menyebabkan terminasi rantai DNA disaat beraksi terhadap DNA polymerase; Ganciclovir merupakan sintetis guanine derivate aktif yang melawan CMV. Sebuah analog acyclic nucleoside dari 2deoxyguanosine yang mengahmbat replikasi herpes virus baik in vitro maupun in vivo. (8)

Agen imunomodulator

Rituximab (anti-CD20 monoclonal antibody) sudah digunakan sebagai terapi62

primer untuk limfoma; Immune globulin intravenous digunakan untuk menetraliskan antibodi myelin yang bersirkulasi melewati anti idiotypic antibody, menurunkan regulasi dari sitokin proinflamatory, termasuk INF gamma. Memblok Fc reseptor pada makrofag. Menekan sel T dan B induksi; Interferon alfa 2b merupakan produk protein, mekanismenya untuk aktivitas antitumor tidak diketahui secara pasti tetapi diketahui sebagai antiproliferasi direk yang melawan sel ganas dan memodulasi respon imun host.(8)

Agen antineoplasma

Menghambat replikasi DNA atau divisi sel, menghambat pertumbuhan sel dan proliferasi. Contohnya adalah Cyclophosphamide; Doxorubicin menghambat

topoisomerase II dan produksi radikal bebas, yang dapat menyebabkan destruksi dari DNA; Vincristine mekanismenya adalah menurunkan fungsi sel retikuloendotelial atau meningkatkan produksi platelet; Etoposide menghambat topoisomerase II dan menyebabkan DNA strain rusak, menyebabkan proliferase sel beristirahat; Bleomycin ini merupakan Glycopeptide antibiotic yang menghambat sintesis DNA, sebagai terapi paliatif untuk beberapa neoplasma; Methotrexate merupakan antimetabolit yang menghambat dihydrofolate reductase, menurunkan sintesi DNA dan reproduksi sel pada sel ganas. (8)

Profilaksis TABEL 12 Profilaksis infeksi EBV pada PTLD (17) Decrease or eliminate epidemiological risk factors EBV seronegativity posttransplantation Vaccine development Consider the investigation of oral transmission from EBV+ individual or blood transfusion of EB+ blood products CMV disease and/or CMV D+/REffective CMV infection prophylaxis ALA use in patients at high risk for development of EBVPTLD63

Eliminate or reduce dose of ALA (e.g., OKT3) used for immunosuppressive agents (antibody therapy modalities)

Study and develop elternative treatments for allograft rejection treatment, such as Tracolismus or new immunosupresive regimens

Antiviral prophylaxis Lack of knowledge as to when the transmission of EBV from an EBV+ donor to an EBVrecipient occurs post-transplantation Variable effectiveness of current available antivirals (ganciclovir and acyclovir) against lytic replicative EBV, and no documented effect against latent EBV transformed B cell clones

Study novel anti EBV agents with the aid of diagnostic tools measuring levels of oncogenic EBV

Immunotherapeutical agents Role of immunoglobulin (unselected or hugh anti EBV titer preparations) Evaluate their use alone in combination with antiviral agents or other cell based therapies Role of EBV cell therapy Solve limitations in generating EBV specific CTL from EBV (-) individuals Study role of NK cells

64

65