preskas chf

48
LAPORAN PRESENTASI KASUS KOASS INTERNA (Periode 31 Maret – 7 Juni 2014) Congestive Heart Failure et causa Old Anterior Myocardial Infarction Disusun oleh : RIZKY AISYAH 1102010255 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo Pembimbing : Dr. Herawati Isnanijah, Sp. JP SMF JANTUNG RSUD PASAR REBO JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: rizkyaisyahsoraya

Post on 09-Dec-2015

58 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

chf

TRANSCRIPT

Page 1: preskas CHF

LAPORAN PRESENTASI KASUS KOASS INTERNA

(Periode 31 Maret – 7 Juni 2014)

Congestive Heart Failure et causa Old Anterior

Myocardial Infarction

Disusun oleh :

RIZKY AISYAH

1102010255

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :

Dr. Herawati Isnanijah, Sp. JP

SMF JANTUNG

RSUD PASAR REBO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

JULI 2014

Page 2: preskas CHF

STATUS PASIEN

Identitas Pasien

Nama : Tn. J

Usia : 52 tahun

Pekerjaan : laki-laki

Alamat : Jl. Kober No.52 RT 07/RW 02 Kramat Jati

No RM : 2013 - 452866

Ruang Rawat : Flamboyan

Tanggal pemeriksaan : 26 Juni 2014

A. ANAMNESA

Anamnesa dilakukan dengan autoanamnesis terhadap pasien dan aloanamnesa

terhadap istri pasien.

Keluhan utama:

Sesak napas sejak 5 jam SMRS.

Keluhan tambahan:

Keringat dingin, lemas, dan batuk kering.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam

SMRS. Keluhan tersebut dirasakan timbul dengan tiba-tiba saat sedang beristirahat.

Keluhan tersebut disertai keringat dingin dan seluruh badan terasa lemas. Istri pasien

mengaku bahwa keluhan sesak napas sudah dialami pasien setiap hari selama satu minggu

SMRS saat beristirahat pada malam hari, namun keluhan tersebut hanya timbul sebentar

dan hilang sendiri. Pasien juga mengeluh sering mengalami batuk kering pada malam hari

dan terkadang terbangun akibat keluhan tersebut.

Pasien mengaku cepat lelah dan ngos-ngosan jika berjalan 100 meter sejak 1 bulan

SMRS. Keluhan sakit kepala, mual dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak

mengalami bangkak di kedua kakinya. BAB dan BAK diakui normal.

Sejak 30 tahun pasien termasuk perokok berat. Sehari mampu menghabiskan 1-2

bungkus perhari, namun saat ini pasien mengaku sudah berhenti merokok selama 2 bulan

1

Page 3: preskas CHF

terakhir. Pasien mengaku sangat gemar makan masakan bersantan dan daging-dagingan

terutama daging kambing. Pasien mengaku kurang dalam berolahraga.

Riwayat penyakit dahulu

1. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan seperti ini.

2. Riwayat alergi obat (-)

3. Riwayat merokok (+)

4. Riwayat hipertensi (+)

5. Riwayat diabetes Mellitus (-)

6. Riwayat Asma (-)

Riwayat Penyakit keluarga

Istri pasien mengaku bahwa paman pasien mengalami keluhan yang sama dan

meninggal dunia 2 bulan yang lalu.

B. STATUS GENERALIS

1. Kesadaran : sakit sedang

2. Keadaan umum : Compos mentis

3. Tekanan darah : 170/100 mmHg

4. Nadi : 104x/menit, frekuensi teratur

5. Suhu : 36,8˚C

6. Pernapasan : 24x/menit, teratur

ASPEK KEJIWAAN

1. Tingkah laku : dalam batas normal

2. Proses piker : dalam batas normal

3. Kecerdasan : dalam batas normal

PEMERIKSAAN FISIK

Kepala

1. Bentuk : normochepal

2. Posisi : simetris

2

Page 4: preskas CHF

Mata

1. Exophthalmus : Tidak ada

2. Enopthalmus : Tidak ada

3. Edema kelopak : Tidak ada

4. Konjungtiva anemi : -/-

5. Sklera ikterik : -/-

Telinga

1. Pendengaran : Baik

2. Darah & cairan : Tidak ditemukan

Mulut

1. Trismus : Tidak ada

2. Faring : Dalam batas normal

3. Lidah : Lidah tidak kotor berwarna putih, tidak deviasi

4. Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi

5. Tonsil : T1-T1

Leher

1. Trakea : Tidak deviasi

2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran

3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran

4. JVP : ( 5+2 cmH2O)

Paru-paru

1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan dinamis kanan

kiri, tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau penonjolan

2. Palpasi :Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru. Fremitus taktil

dan vocal statis dan dinamis kanan kiri.

3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru

3

Page 5: preskas CHF

4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

1. Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicula sinistra

2. Palpasi : Iktus cordis teraba

3. Perkusi :

Batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis dextra

Batas jantung kiri di ICS 5 di 2 jari sebelah kiri linea midclavikula sinistra

Batas pinggang jantung di ICS 3 linea sternalis sinistra

4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop (-) murmur (-)

Abdomen

1. Inspeksi : Datar

2. Auskultasi : Bising usus (+) normal

3. Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran

4. Palpasi : Nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak membesar, permukaan rata, nyeri

tekan (-), lien tidak teraba membesar. Refleks hepato jugular (-)

Ekstremitas

1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri

2. Edema negatif pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri

4

Page 6: preskas CHF

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (26-06-2014)

Hematologi

Hemoglobin 13,8 g/dL

Hematokrit 47 %

Leukosit 12.730 µL

Trombosit 299.000 µL

Kimia Klinik

SGOT (AST) 81 U/L

SGPT (ALT) 78 U/L

CK – NAC (CK TOTAL) 142 U/L

CK – MB 9 U/L

Troponin T 50 - 100 ng/L

Ureum Darah 21 mg/dL

Kreatinin Darah 1,21 mg/dL

Gula Darah Sewaktu 109 mg/dL

Troponin T :

< 50 ng/L = masih mungkin IMA, ulang 3-6 jam

50 – 100 ng/L = mungkin IMA, ulang untuk lihat peningkatan

100-2000 ng/L= mungkin IMA

> 2000 ng/L = sangat mungkin IMA

Laboratorium (01-07-2014)

5

Page 7: preskas CHF

Kimia Klinik

Ureum Darah 34 mg/dL

Kreatinin Darah 0.59 mg/dL

eGFR 152.2 mL/min/1.73 m2

Laboratorium (01-07-2014)

Hemostasis

PT (Kontrol) 13.6 detik

PT 12.1 detik

INR 0.95

EKG (Elektrokardiogram)

Interpretasi EKG:

Irama : sinus

QRS rate : 75-100 x/menit

Aksis : left axis deviation (LAD)

Gelombang P : durasi 0,08 sec; amplitudo 0,2 mV

PR interval : 0,12 sec

6

Page 8: preskas CHF

Kompleks QRS : durasi 0.08 sec; gel. QS di V1-V6

Segmen ST : ST elevasi di V1-V4

Gelombang T : T inverted di I, aVL, V5, dan V6

Kesan : old infark di dinding anterior, iskemik di dinding lateral, dan LAD

Rontgen thorax

Interpretasi

Cor : kardiomegali (CTR: 72%)

Aorta : tidak melebar, tidak elongasio dan tidak terdapat kalsifikasi

Paru : corakan bronkovaskular <2/3 lapang paru, tidak terdapat infiltrat

Hilus : tidak melebar, tidak suram dan tidak menebal

Sudut : Sinus costofrenikus lancip

Echocardiography

7

Page 9: preskas CHF

8

Page 10: preskas CHF

Hasil :

Dimensi ruang jantung : LA, LV dilatasi, LVH (+) eksentrik

Kontraktilitas global LV : menurun dengan EF : 43%

EPSS: 24 LVEDP: meningkat

Analisa segmental : Global hipokinetik

Kontraktilitas global RV normal dengan TAPSE: 17 mm

Doppler: E/A >1 , E/E’: 31 , AoVmax: 120 mm/s, mPAP: 35 mmHg

9

Page 11: preskas CHF

Katup Mitral : Morphologi dan fungsi normal

Katup Tricuspid : Morphologi dan fungsi normal

Katup Aorta : Morphologi dan fungsi normal

Katup Pulmonal : Morphologi dan fungsi normal

Trombus Thrombus (+) 1,9 x 3,3 cm di Apex, Spontaneous Echo Contrast (-)

Kesimpulan :

1. Fungsi LV menurun. Fungsi sistolik RV normal

2. Disfungsi diastolik LV grade 2 (pseudonormal)

3. LVH (+) eksentrik

4. Global hipokinetik

5. Thrombus (+) 1,9 x 3,3 cm di Apex

D. RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam

SMRS. Keluhan tersebut dirasakan timbul dengan tiba-tiba saat sedang beristirahat.

Keluhan tersebut disertai keringat dingin dan seluruh badan terasa lemas. Istri pasien

mengaku bahwa keluhan sesak napas sudah dialami pasien setiap hari selama satu minggu

SMRS saat beristirahat pada malam hari, namun keluhan tersebut hanya timbul sebentar

dan hilang sendiri. Pasien juga mengeluh sering mengalami batuk kering pada malam hari

dan terkadang terbangun akibat keluhan tersebut. Pasien mengaku cepat lelah dan ngos-

ngosan jika berjalan 100 meter sejak 1 bulan SMRS. Keluhan sakit kepala, mual dan

muntah disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak mengalami bangkak di kedua kainya.

BAB dan BAK diakui normal.

Hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan adanya peningkatan leukosit (12.730 µL) dan peningkatan enzim jantung

(Troponin T: 50 - 100 ng/L). Pada Pemeriksaan EKG terdapat left axis deviation (LAD),

gel. QS di V1-V6, ST elevasi di V1-V4, dan gelombang T inverted di I, aVL, V5, dan V6.

Pada pemeriksaan rontgen thorax terdapat CTR : 72%. Pada echocardiography terdapat

10

Page 12: preskas CHF

fungsi LV menurun, disfungsi diastolik LV grade 2 (pseudonormal), LVH (+) eksentrik,

Global hipokinetik, dan Thrombus (+) 1,9 x 3,3 cm di Apex.

E. DIAGNOSIS KERJA

1. CHF functional class IV et causa old anterior myocardial infarction

2. Hiperteni Emergensi

F. DIAGNOSIS BANDING

1. CHF et causa dilated cardiomyopathy

2. CHF et causa hipertension heart disease (HHD)

G. PEMERIKSAAN ANJURAN

-

H. TATALAKSANA

Penatalaksanaan di IGD

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam

2. Furosemide i.v 1x4ml

3. Nifedipin SL 5mg

Penatalaksanaan di bangsal Flamboyan

Tanggal 27 Juni 2014

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam

2. Furosemide (extra) i.v 1x4ml

3. Furosemide i.v 2x2ml

4. Ramipril oral 1x10mg

5. Clopidogrel oral 1x75mg

Tanggal 28 Juni 2014

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam

2. Furosemide i.v 2x4ml

3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg

11

Page 13: preskas CHF

4. Ramipril oral 1x10mg

5. Clopidogrel oral 1x75mg

6. Bisoprolol oral 2x12,5mg

Tanggal 29 Juni 2014

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam

2. Furosemide i.v 2x4ml

3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg

4. Ramipril oral 1x10mg

5. Clopidogrel oral 1x75mg

6. Bisoprolol oral 2x12,5mg

7. Spironolakton oral 1x100mg

Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2014

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam

IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 1mg/jam dalam 1 jam lalu 0,5 mg/jam

lalu stop (3 juli 2014)

2. Furosemide i.v 2x4ml

3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg

4. Ramipril oral 1x10mg

5. Clopidogrel oral 1x75mg

6. Bisoprolol oral 2x6,25mg

7. Spironolakton oral 1x100mg

8. Amlodipin oral 1x5 mg

9. Fondaparinuks Sodium i.v 1x2,5mg

Tanggal 4 Juli 2014

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam

2. Furosemide i.v 2x4ml

3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg

4. Ramipril oral 1x10mg

5. Clopidogrel oral 1x75mg

6. Bisoprolol oral 2x6,25mg

12

Page 14: preskas CHF

7. Spironolakton oral 1x100mg

8. Amlodipin oral 1x5 mg

9. Fondaparinuks Sodium i.v 1x2,5mg

Tanggal 5 Juli 2014

1. IVFD Ringer Asetat/12 jam

2. Furosemide i.v 2x4ml

3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg

4. Ramipril oral 1x10mg

5. Clopidogrel oral 1x75mg

6. Bisoprolol oral 2x6,25mg

7. Spironolakton oral 1x100mg

8. Amlodipin oral 1x5 mg

9. Fondaparinuks Sodium i.v 1x2,5mg

10. Warfarin oral 1x4mg

I. PROGNOSIS

1. Ad vitam : dubia ad bonam

2. Ad functionam : dubia ad malam

3. Ad sanationam : dubia ad malam

13

Page 15: preskas CHF

28 Juni 2014 29 Juni 2014 30 Juni 2014 1 Juli 2014 2 Juli 2014 3 Juli 2014 4 Juli 2014 5 Juli 2014

S Sesak (+)

Lemas (+)

Batuk (+)

Sesak (+) Lemas

(+) Batuk (+)

Sesak (-) Lemas

(+) Batuk (+)

Sesak (-) Lemas

(+) Batuk (+)

Sesak (-) Lemas

(+) Batuk (+)

Sesak (-) Lemas

(-) Batuk (-)

Sesak (-) Lemas

(-) Batuk (-)

Sesak (-) Lemas

(-) Batuk (-)

O KU: tss

Kes: cm

TD: 150/80

N: 88x/menit

S: 36,30C

RR: 28x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: tss

Kes: cm

TD: 140/90

N: 80x/menit

S: 36,70C

RR: 24x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: tss

Kes: cm

TD: 140/80

N: 80x/menit

S: 360C

RR: 24x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: tss

Kes: cm

TD: 130/90

N: 80x/menit

S: 36,40C

RR: 24x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: tss

Kes: cm

TD: 140/100

N: 84x/menit

S: 35,20C

RR: 28x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: baik

Kes: cm

TD: 130/90

N: 80x/menit

S: 36,50C

RR: 24x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: baik

Kes: cm

TD: 150/100

N: 72x/menit

S: 360C

RR: 22x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

KU: baik

Kes: cm

TD: 140/80

N: 76x/menit

S: 36,50C

RR: 18x/menit

Mata: CA-/-

SI-/-

Leher: DBN

Cor: BJ I,II reg

m (-), g (-)

Pulmo: Ves+/+

Rh-/- Wh-/-

Abd: Bu (+) N

Eks: edema-/-

A CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old

Page 16: preskas CHF

anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI

FOLLOW UP

1

Page 17: preskas CHF

ANALISA KASUS

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham, yaitu

dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun

kriteria Framingham sebagai berikut:

Kriteria Mayor :

Paroksismal nocturnal dyspnea

Distensi vena leher

Ronki paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Peninggian tekanan vena jugularis

Refluks hepatojugular

Kriteria minor :

Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dispnea d’effort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria mayor atau minor :

Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Pada anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluh sering sesak napas saat beristirahat

pada malam hari sejak 1 minggu SMRS. Hal tersebut termasuk salah satu kriteria mayor

Framingham dengan kelas fungsional IV pada kriteri NYHA. Keluhan pasien juga ditambah

dengan salah satu kriteria minor Framingham, yaitu batuk kering yang terjadi pada malam

hari. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini, yaitu rontgen thorax, ekg

(elektrokardiogram), dan echokardiografi. Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan nilai

CTR sebesar 72%, hal itu menunjukkan bahwa jantung pasien membesar atau kardiomegali

dan merupakan salah satu dari kriteria minor Framingham. Hasil elektrokardiogram

menunjukkan LAD (left axis deviation), old infark di dinding anterior, dan iskemik di dinding

lateral.

14

Page 18: preskas CHF

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan

bahwa diagnosis pasien adalah gagal jantung kongestif karena mencakup 2 kriteria mayor dan

1 kriteria minor. Kemungkinan besar etiologi penyakit pada pasien ini adalah disebabkan

karena old infark di dinding anterior jantung yang terekam pada hasil elektrokardiogram.

Gagal jantung akibat infark miokard terjadi karena gangguan fungsi miokardium akibat infark

sel-sel otot jantung yang akan menyebabkan turunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan

abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan

berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume

sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan

peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke

vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru melebihi tekanan onkotik

vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstisial. Bila tekanan ini masih

meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveoli.

Diagnosis gagal jantung pada pasien ini juga diperkuat dengan pemeriksaan

echokardiografi. Pemeriksaan tersebut menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri,

disfungsi diastol ventrikel kiri grade 2, dan terdapat hipertrofi serta dilatasi ventrikel kiri.

15

Page 19: preskas CHF

TINJAUAN PUSTAKA

I. Gagal Jantung Kongestif

I.1. Definisi

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat

memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa

penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau

sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini

dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso dkk, 2007).

Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi

jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume

diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau

terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Mansjoer, 2001).

I.2. Epidemiologi

Diperkirakan terdapat 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia.

America Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal jantung di

Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap

tahunnya. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1 – 2%. Diperkirakan

setidaknya ada 550.000 kasus agal jantung baru didiagnosis setiap tahunnya (Indrawati,

2009).

Gagal jantung merupakan suatu sindrom, bukan diagnose penyakit. Gagal jantung

kongestif juga merupakan prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang

buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang

pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun.

I.3. Etiologi

Menurut Cowie MR (1999), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam 6

kategori utama:

1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh

hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch

block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).

2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).

3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.

4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).

16

Page 20: preskas CHF

5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).

6. Kelainan kongenital jantung.

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting

untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit arteri

koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang

yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat

malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal

jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.

Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal

jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan

merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal

jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL

juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa

penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,

termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi

ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta

memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.

Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan

perkembangan gagal jantung (Lip et al, 2000).

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan

oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun

penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional:

dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi.

Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal

pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain

miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan

poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan

(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya

kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang

berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).

Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk,

tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang

menghambat pengisian ventrikel (Lip et al, 2000).

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah

mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah

17

Page 21: preskas CHF

regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan

kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban

tekanan (peningkatan afterload).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan

kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi

dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut

maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang

berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).

Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan

gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung.

Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat

menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

I.4. Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung,

otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal

yang kompleks.

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan

terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi

neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar

vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung

sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Jackson at al, 2000).

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output

dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi

perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan

gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan

terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan nekrosis miokard fokal (Jackson at al, 2000).

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II

plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol

eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf

simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan

menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga

memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Jackson

at al, 2000).

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki

efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide

18

Page 22: preskas CHF

(ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan

vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,

khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP . C-type natriuretic peptide terbatas

pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan

vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap

ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada

tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena

peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang

menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan

sebagai terapi pada penderita gagal jantung.

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal

jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang

akan menyebabkan hiponatremia (Santoso, 2007).

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide

vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,

yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin

meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan

pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah

dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat

terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin (Santoso, 2007).

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan

dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada

pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,

hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain

seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30

– 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada

penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul

bersamaan meski dapat timbul sendiri

I.5. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dyspnea, ortopnea, dyspnea

nocturnal paroksismal, batuk iritasi, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama

gallop, crackles paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai

dengan curah jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, disritmia, dan penurunan bunyi

napas.

I.6. Klasifikasi

19

Page 23: preskas CHF

Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA

Tingkatan gagal jantung berdasarkan struktur dan

kerusakan otot jantung

Klasifikasi fungsional NYHA

Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas

fisik

Stadium A

Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi

gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau

fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala

Kelas I

Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas

fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak

menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak

napas.

Stadium B

Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang

berhubungan dengan perkembangan gagal jantung,

tidak terdapat tanda atau gejala.

Kelas II

Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat

keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik

sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi

atau sesak nafas.

Stadium C

Gagal jantung yang simptomatik berhubungan dengan

penyakit structural jantung yang mendasari

Kelas III

Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak

terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas

fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi

atau sesak

Stadium D

Penyakit jantung structural lanjut serta gejala gagal

jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun

sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter)

Kelas IV

Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa

keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan

meningkat saat melakukan aktifitas

I.7. Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto

toraks, ekokardiografi-doppler (Gillespie, 2005).

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu dengan

terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria

Framingham sebagai berikut:

Kriteria Mayor :

Paroksismal nocturnal dyspnea

Distensi vena leher

20

Page 24: preskas CHF

Ronki paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Peninggian tekanan vena jugularis

Refluks hepatojugular

Kriteria minor :

Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dispnea d’effort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria mayor atau minor :

Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Gagal jantung dapat disertai spectrum abnormalitas fungsi ventrikel yang luas, mulai dari

ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai dengan dilatasi berat dan atau

fraksi ejeksi yang sangat rendah.

American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA)

menyatakan bahwa dalam mendiagnosa gagal jantung tidak ada satupun uji diagnostik yang

spesifik. Diagnosa sangat ditentukan oleh penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

yang teliti. Dengan dugaan yang kuat akan adanya suatu gagal jantung pada penderita yang

beresiko tinggi, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan seperti

laboratorium rutin, foto toraks, elektrokardiografi, penilaian fungsi ventrikel kiri, biomarker

dan uji latih.

Disfungsi jantung dapat dibagi menjadi dua yaitu disfungsi sistolik dan disfungsi

diastolik. Performa ventrikel kiri adalah kemampuan untuk mengosongkan ventrikel kiri.

Kemampuan untuk mengosongkan ventrikel kiri dapat diukur secara kuantitatif dengan fraksi

ejeksi ventrikel kiri (Left Ventrikel Ejection Fraction) yang merupakan rasio volume

sekuncup terhadap volume akhir diastolik. Sehingga disfungsi sistolik dapat didefinisikan

dengan turunnya nilai EF (Ejection Fraction) (EF < 50%) dapat diukur dengan

ekokardiografi. Sedangkan disfungsi diastolik dapat didefinisikan dengan menurunnya

distensibilitas ventrikel kiri yang dapat disebabkan oleh proses menua, hipertensi dan

kardiomiopati hipertrofik serta restriktif (EF > 50%). Perbandingan antara disfungsi diastolik

(DHF) dan disfungsi sistolik (SHF) dapat dilihat pada tabel 1.

21

Page 25: preskas CHF

Tabel 1. Perbandingan Disfungsi Diastolik dan Disfungsi Sistolik

Index yang digunakan untuk mengukur fungsi ventrikel kiri adalah mengukur

ejection fraction (EF) yang didapat dari stroke volume dibagi dengan end diastolic volume.

22

Page 26: preskas CHF

Algoritma 1. Diagnosis Gagal Jantung pada Pasien yang Belum Diterapi

I.8. Tatalaksana

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara non

farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi

untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu

akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun penatalaksanaan

secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita

mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya (Gibbs et al, 2000).

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan

menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat

dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat

badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta

23

Page 27: preskas CHF

pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung

kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang

positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap

sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat

dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru,

sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis

antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit

katup primer maupun pengguna katup prosthesis (Gibbs et al, 2000).

Secara umum, penatalaksanaan gagal jantung secara farmakologis adalah:

1. Tirah baring

2. Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan jantung

3. Diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran balik vena dan

peregangan terhadap serat-serat otot jantung berkurang

4. Diberikan digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas, misalnya digoxin, bekerja secara

langsung pada serat-serat jantung untuk meningkatkan kekuatan setiap kontraksi tanpa

bergantung pada serat otot. Hal ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung

sehingga volume dan peregangan ruang ventrikel berkurang.

5. Diberikan penghambat enzim pengubah angiotensin (inhibitor ACE) untuk menurunkan

pembentukan angiotensin II. Hal ini akan mengurangi after load dan volume plasma

(preload). Nitrat juga diberikan untuk mengurangi after load dan preload (Corwin, 2001).

II. Infark Miokard

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang

disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Klinis sangat

mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun,

tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).

Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara

lain:

1. Infark miokard tipe 1

Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak

aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang

inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari

anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.

2. Infark miokard tipe 2

Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan

aliran darah miokard.

24

Page 28: preskas CHF

3. Infark miokard tipe

Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan

sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda

biokimiawi sempat meningkat.

4. a. Infark miokard tipe 4a

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih

besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang

memicu terjadinya infark miokard.

b. Infark miokard tipe 4b

Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.

5. Infark miokard tipe 5

Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard

jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

Jika aliran darah miokardium terganggu secara nyata maka akan terjadi kematian (infark)

pada miokardium. Infark miokardium dapat berupa:

1. Infark subendokardial.

Adalah infark yang tidak meliputi seluruh lapisan dinding jantung.

2. Infark transmural.

Adalah infark miokardium yang meliputi seluruh ketebalan dinding ventrikel. Infark

transmural lebih berat dibanding infark subendokardial. Infark transmural selalu berasal dari

adanya peningkatan penyempitan atau oklusi total pembuluh arteri yang memperdarahi area

tersebut atau peningkatan tiba-tiba kebutuhan oksigen miokardium pada arteri yang

sebelumnya sangat stenostik, yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Sebagian

besar infark miokardium transmural bersifat tidak homogen; tidak seluruh otot di area

tersebut mati, tetapi masih terdapat pulau-pulau otot hidup dalam beberapa ukuran dan

jumlah.

Proses sebenarnya dari infark miokard tidak sederhana. Dari percobaan dengan binatang;

diketahui bahwa sel otot jantung akan mati dalam waktu 20-60 menit setelah oklusi total

arteri koroner. Akan tetapi terdapat proses reperfusi yang segera terjadi 3-4 menit pasca

oklusi total arteri terutama pada perbatasan daerah iskemik dan non-iskemik. Proses reperfusi

ini menguntungkan oleh karena segera mengurangi dan melokalisasi area infark, serta

menurunkan angka kematian. Di samping itu, reperfusi juga berdampak instabilitas elektrik,

edema, atau hemorrahage, yang justru memperburuk keadaan secara umum.

Proses penyembuhan jaringan nekrotik dari area miokardium akan menimbulkan jaringan

parut. Sebagian besar jaringan parut ini terdiri dari jaringan fibrotik dan sel-sel miokardium

yang viabel dalam komposisi berbeda-beda. Hal ini terbukti dari adanya perubahan

kontraktilitas area tersebut setelah dilakukan tindakan revaskularisasi. Bila area jaringan parut

25

Page 29: preskas CHF

hanya terdiri dari jaringan ikat saja, maka daerah tersebut akan menipis, akinetik, dan

aneurismatik.

EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard

Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel

berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak

menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi

negatif abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark

gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan

gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik

kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥0,04 detik. Namun hal

ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang

Q di lead ini lebar dan dalam (Chou, 1996).

Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area

tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika

elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk

elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area

injury, maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST

depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury

oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran

ST depresi (Chou, 1996).

Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih

negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi

daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai

gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T,

mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena

potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T

terekam sangat tinggi (Chou, 1996).

Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi

infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan

gambaran EKG dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2.1. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG

Lokasi Perubahan gambaran EKG

Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5

26

Page 30: preskas CHF

Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3

Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL

LateralElevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi

gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF

True posteriorGelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-V3.

Gelombang T tegak di V1-V2

RV infarction

Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya ditemukan

konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa

jam pertama infark.

Dikutip dari Ramrakha, 2006

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.

Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis

kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia≥40 tahun, STEMI ditegakkan jika

diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun

(Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung

hingga lebih dari 2 minggu (Antman, 2005).

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan

elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa

depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-

normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non

STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan

lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan

amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang

simetris >2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).

Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard

Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis aparatus

kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin T (39 kDa), troponin I

27

Page 31: preskas CHF

(26 kDa), dan troponin C (18 kDa) (Maynard, 2000). Troponin C berikatan dengan ion Ca2+

dan berperan dalam proses pengaturan aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot jantung.

Berat molekulnya adalah 18.000 Dalton. Troponin I yang berikatan dengan aktin, berperan

menghambat interaksi aktin miosin. Berat molekulnya adalah 24.000 Dalton. Troponin T

yang berikatan dengan tropomiosin dan memfasilitasi kontraksi, bekerja meregulasi kontraksi

otot. Berat molekulnya adalah 37.000 Dalton. Struktur asam amino troponin T dan I yang

ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal dalam hal

komposisi imunologis, sedangkan struktur troponin C pada otot jantung dan skeletal identik

(Tarigan, 2003).

Kompleks troponin, tropomiosin, aktin dan miosin dapat dilihat pada Cardiac

troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi yang tinggi pada sitosol dan

secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol, yang merupakan prekursor tempat

pembentukan miofibril, memiliki 6% dari total massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya

(94%), cTnT berikatan dalam miofibril. Dalam keadaan normal, kadar cTnT tidak terdeteksi

dalam darah. Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT bebas

bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya cTnT yang berikatan

dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu lebih lama.

Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar cTnT pada

infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama disebabkan oleh keluarnya cTnT

bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi karena pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril.

Oleh sebab itu, pelepasan cTnT secara sempurna berlangsung lebih lama, sehingga jendela

diagnostiknya lebih besar dibanding pertanda jantung lainnya (Tarigan, 2003).

Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang reversible

atau irreversible. Pada iskemia miokard, glikolisis anaerob dapat mencukupi kebutuhan

fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat. Penghambatan proses transportasi yang

dipengaruhi ATP dalam membran sel menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan

hilangnya integritas membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula-mula akan terjadi

pelepasan protein yang terurai bebas dalam sitosol melalui transpor vesikular. Setelah itu

terjadi difusi bebas dari isi sel ke dalam interstisium yang mungkin disebabkan rusaknya

seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel disebabkan proses glikolisis. pH

intrasel menurun dan kemudian diikuti oleh pelepasan dan aktifasi enzim-enzim proteolitik

lisosom. Perubahan pH dan aktifasi enzim proteolitik menyebabkan disintegrasi struktur

intraseluler dan degradasi protein terikat. Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan

miokard akibat iskemia, cTnT dari sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran darah. Keadaaan ini

berlangsung terus menerus selama 30 jam sampai persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila

terjadi iskemia yang persisten, maka sel mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah

28

Page 32: preskas CHF

proteolisis yang melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa pelepasan

cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun (Tarigan, 2003).

Peningkatan kadar cTnT terdeteksi 3-4 jam setelah jejas miokard. Kadar cTnT

mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas. Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari

(Ramrakha, 2006). cTnT tetap meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB. cTnT

membutuhkan waktu 5-15 hari untuk kembali normal (Samsu, 2007). Diagnosis infark

miokard ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT dalam 12 jam sebesar ≥0.03 μg/L, dengan

atau tanpa disertai gambaran iskemi atau infark pada lembaran EKG dan nyeri dada

(McCann, 2009).

III. Hubungan Antara Gagal Jantung dengan Infark Miokard

Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah

infark miokardium. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan

menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah

daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk

mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel

meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan

ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru

melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstisial.

Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke

dalam alveoli.

Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis kompensatorik.

Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah

jantung. Terjadi vasokonstriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi

aliran darah dari organ–organ yang tidak vital seperti ginjal dan kulit demi mempertahankan

perfusi organ–organ vital. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung

kanan, sehingga akan meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum jantung Starling).

Pengurangan aliran darah ginjal dan laju fltrasi glomerulus akan mengakibatkan pengaktifan

sistem renin-angiotensin-aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal

ini akan lebih meningkatkan aliran balik vena.

Manifestasi klinis gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan miokardium dan

kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan

pada gagal jantung kiri :

1. Gejala dan tanda : dispneu, oliguria, lemah, lelah pucat, dan berat badan bertambah

2. Auskultasi : ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan ketidaklenturan

ventrikel waktu pengisian cepat).

29

Page 33: preskas CHF

3. EKG : takikardia

4. Radiografi dada : kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke lobus

bagian atas.

Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya

tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara tak langsung melalui

pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi

ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu

dinding yang sama (yaitu septum interventrikularis) yang terletak dalam perikardium. Selain

itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan noreprinefrin miokardium

selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan

jelas merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik

akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali, dan

edema perifer.

30

Page 34: preskas CHF

DAFTAR PUSTAKA

Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal Definition of

Myocardial Infarction for the Twenty-First Century. AccessMedicine from McGraw-Hill.

Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/716457 [Accessed 22 Juli 2014]

Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:

Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds.

Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450

Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial

Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W.B.

Saunders Company.

Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: non-drug management.

BMJ;320:366-9.

Gillespie ND. 2005. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older

patient. British Medical Bulletin;75 and 76: 49- 62.

Indrawati E. 2009. Hubungan antara penyakit jantung coroner dengan angka mortalitas

gagal jantung akut di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005-2006.

Jakarta Fakultas Kedokteran Indonesia; 1-2

Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: pathophysiology.

BMJ;320:167-70

Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. 2000. ABC of heart failure: aetiology. BMJ;320:104-7

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Indonesia

McCann, C.J., et al. 2009. Novel Biomarkers in Early Diagnosis of Acute Myocardial

Infarction Compared With Cardiac Troponin T. European Heart Journal. Available from:

http://www.medscape.com/viewarticle/585554_2 [Accessed 22 Juli 2014]

M.R. Cowie. 1999. Incidence and aetiology of heart failure. European Jornal No.20, 421-8

Article No. euhj.1998.1280. Terdapat dalam: http://www.idealibrary.com

Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1st

ed. USA: Oxford University Press

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan

tatalaksana praktis gagal jantung akut.

Santoso, M., Setiawan, T., 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.

Available from: http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/CDK/article/view/2860 [Accessed 22 Juli

2014]

Sylvia, A price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran.

31

Page 35: preskas CHF

Tarigan, E., 2003. Hubungan Kadar Troponin-T dengan Gambaran Klinis Penderita

Sindroma Koroner Akut. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-elias%20tarigan.pdf

[Accessed 22 Juli 2014]

Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P., Erwinanto,

Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut: Pedoman Tatalaksana

Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5

32