penyakit lepto

66
PAPER MATERI PEMBAHASAN “LEPTOSPIROSIS” Tugas Mata Kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit Disusun oleh : Dwi Cahyanti 25010111130229 Nabila Rizky K 25010111110252 Denny Faturachman 25010111140258 Devi Oktaviani 25010111140269 Annisa Savitri 25010111140290 Kelas D 2011 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO

Upload: deviokta

Post on 27-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Lepto

PAPER

MATERI PEMBAHASAN “LEPTOSPIROSIS”

Tugas Mata Kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit

Disusun oleh :

Dwi Cahyanti 25010111130229

Nabila Rizky K 25010111110252

Denny Faturachman 25010111140258

Devi Oktaviani 25010111140269

Annisa Savitri 25010111140290

Kelas D 2011

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

Page 2: Penyakit Lepto

1. ETIOLOGI PENYAKIT

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral,

tipis, lentur dengan panjang 10-20 tm dan tebal 0,1 gin serta memiliki dua lapis

membran. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagelum periplasmik.

Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya.

Bentuk dan gerakannya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau

mikroskop fase kontras . Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam

air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air laut, air selokan dan

air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (FAINE, 1982).

Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di

negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogansdengan

berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada

ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-

lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia

bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau

erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih

binatang yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).

Tabel 1. Serogrup dan beberapa serova L. interrogans sensu lato

Serogrup SerovarIcterohaemorrhagiae icterohaemorrhagiae,

copenhageni, lai, zimbabwe

Hebdomadis hebdomadis, jules, krematosAutumnalis autumnalis, fortbragg,

bim,weerasinghePyrogenes PyrogenesBataviae BataviaeGrippotyphosa grippotyphosa, canalzonae,

ratnapuraCanicola CanicolaAustralis australis, bratislava, lordPomona PomonaJavanica JavanicaSejroe sejroe, saxcoebing, hardjoPanama panama, mangusCynopteri CynopteriDjasiman Djasiman

Page 3: Penyakit Lepto

Sarmin SarminMini mini, georgiaTarassovi TarassoviBallum ballum, aroboreaCelledoni CelledoniLouisiana louisiana, lankaRanarum RanarumManhao ManhaoShermani ShermaniHurstbridge Hurstbridge

Sumber: LEVETT (2001)

Bakteri ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae,

genus Leptospira. Leptospira 21 4 dapat tumbuh di dalam media dasar yang

diperkaya dengan vitamin, asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon dan

garam amonium; tumbuh optimal pada suhu 28-30°C dalam kondisi obligat aerob

(ADLER et al ., 1986; FAINE, 1982). Sistem penggolongan Leptospira yang

tradisional genus Leptospira dibagi menjadi dua yaitu L. interrogans yang patogen

dan L. biflexa yang nonpatogen . L. interrogans dibagi menjadi serogrup dan

serovar berdasarkan antigen (Tabel 1) . Klasifikasi terbaru dari Leptospira yaitu L.

interrogans dibagi menjadi 7 spesies yaitu L. interrogans, L. weilii, L. santarosai,

L.noguchii, L. borgpetersenii, L. inadai, L.kirschneri dan 5 spesies yang tidak

bertitel yaitu spesies 1, 2, 3, 4, dan 5. L. biflexa dibagi menjadi 5 spesies barn

(HICKEY dan DEEMEKS, 2003) . Ada lebih dari 200 serovar yang telah diisolasi

(LEVETT, 2001) .

Gambar 1 Bakteri leptospira menggunakan mikroskop elektron tipe scanning

Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis

Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat,

bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup

Page 4: Penyakit Lepto

atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L.

bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering

menginfeksi manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus,

L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi

dan babi. (Arjatmo, 1996).

2. MASA INKUBASI DAN PENULARAN

Masa inkubasi

Masa inkubasi dari leptospirosis 4-9 hari, rata-rata 10 hari.

Cara penularan

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),

tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan - hewan penderita

leptospirosis. Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh melalui selaput lendir

( mukosa ) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran

cerna dari makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi leptospira.

Masuknya bakteri leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang bersamaan

dengan proses infeksi pada semua serovar leptospira. Namun masuknya bakteri

secara kuantitatif berbeda bergantung : agent, induk semang, dan lingkungan.

Melalui cara lain dapat saja terjadi yaitu melalui permukaan mukosa misalnya

melalui luka abrasi, mukosa ( cavitas buccae / buccal cavity ), saluran hidung atau

konjungtiva. Bakteri leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai

dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukan

gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinik akan bervariasi bergantung

dari kondisi manusianya, spesies hewan dan umurnya. Dapat dikelompokkan

bahwa penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.

Penularan langsung terjadi :

- Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung bakteri leptospira

masuk ke dalam tubuh pejamu

Page 5: Penyakit Lepto

- Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang

yang merawat hewan atau menangani tubuh hewan misalnya pekerja potong

hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan

- Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan

seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin

melalui sawar plasenta dan air susu ibu Penularan tidak langsung terjadi melalui

genangan air, sungai, danau, selokan air dan lumpur yang tercemar urin hewan.

Bakteri ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti hati, limfa, ginjal dengan

ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistem imunitas tubuh akan aktif

apabila bakteri menjalar ke jaringan hati dan ginjal serta berada di tubular ginjal.

Gambar 2 siklus penularan leptospirosis

Sumber :http://www.google.co.id

3. GEJALA DAN TANDA PENYAKIT SERTA CARA DIAGNOSIS

Gejala dan tanda klinis

Gambaran klinis leptospirosis atas 3 fase yaitu fase pertama : fase leptospiremia,

fase kedua: fase imun dan fase ketiga : fase penyembuhan.

1) Fase Leptospiremia

Page 6: Penyakit Lepto

Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,

hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi

silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya

gejala klinis untuk sementara.

2) Fase Imun

Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis

bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta

gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.

3) Fase Penyembuhan

Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala

klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri

otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta

splenomegali.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat,

tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih

senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non - ikterik) dan

leptospirosis ikterik.

1. Leptospirosis anikterik

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini

diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.

Karena itu jika ditemukan satu kasus leptospirosis berat maka diperkirakan

sedikitnya ada 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan.

Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau

tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia.

Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri

retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan

paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase

pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin

Page 7: Penyakit Lepto

phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat

nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang- kadang mengeluh sukar berjalan.

Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan

fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis.

Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa

ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat

dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik

terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik

sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri

leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu

kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).

Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena

keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh

sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam

waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam

akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik

harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah

endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown

origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding

leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti

influenza, HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis virus,

infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam

tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.

2. Leptospirosis ikterik

Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat.

Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik

khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga

fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase

leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan

jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi

Page 8: Penyakit Lepto

penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah

penyebab tersering gagal ginjal akut.

Tabel 2 : Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik

Dalam periode 1979 - 1982, penyebab kematian leptospirosis berat di

RSUP Dr. Kariadi adalah koma uremikum, syok septik, gagal kardiorespirasi dan

syok hemorhagik. Angka kematian pasien leptospirosis ikterik ini adalah 5-15%,

sedang di RSUP Dr Kariadi Semarang antara 30-50% meskipun telah

mendapatkan terapi. Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian

pada pasien leptospirosis adalah oliguria (terutama renal), hiperkalemia, hipotensi,

ronkhi basah paru, dispnea, lekositosis > 12.900 / mm3 dan kelainan EKG

(repolarisasi) serta adanya infiltrat pada foto radiologik dada. Pasien leptospirosis

berat (ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta gangguan kesadaran

akibat uremia) dapat menunjukan gambaran klinik yang mirip dengan malaria

falciparum berat (demam, ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta

kesadaran menurun akibat malaria serebral), haemorrhagic fever with renal

syndrome atau HFRS yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava

(demam, gagal ginjal manifestasi perdarahan, subconjunctival injection dan

kadang-kadang ikterik serta peningkatan transaminase) dan demam tifoid berat

dengan komplikasi ganda (sindrom sepsis, ikterik, azotemia, bleeding tendency,

soporocomateus).

Page 9: Penyakit Lepto

Diagnosis klinis dan diagnosis banding

Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di

berbagai rumah sakit tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis,

kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.

a. Anamnesis

Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data

epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan

pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal,

jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan

liar dilingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis. Keluhan-

keluahan khas yang dapat ditemukan yaitu : demam mendadak, keadaan umum

lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata

semakin lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah

betis dan paha. Untuk memudahkan anamnesis dan pencatatan data untuk

surveilan dapat digunakan daftar tilik.

b. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta

conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala

klinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu :

hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa meningeal, hipotensi, ronki paru

dan adanya diatesisi hemoragi.

c. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis dilakukan juga :

1. Pemeriksaan laboratorium umum

Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk menentukan

diagnosis leptospirosis.

Page 10: Penyakit Lepto

Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu :

a) Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukosit, normal atau menurun, hitung

jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil.

Leukosit dapat mencapai 26.000/mm3 pada keadaan anikterik dan mencapai

10.000/mm3 sampai 50.000/mm3 pada keadaan ikterik.

Faktor pembekuan darah normal.

b) Pemeriksaan fungsi ginjal

Pada pemeriksaan urin, terdapat albuminuria dan peningkatan silinder pada fase

dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula

bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria.

Gagal ginjal kemungkinan besar dialami semua pasien ikterik.

c) Pemeriksaan fungsi hati

Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik

disebabkan karena bilirubin direk meningkat.

Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase

(serum glutamic oxoloacetic transaminase= SGOT dan serum glutamic pyruvate

transminase = SGPT). Peningkatannya tidak pasti, dapat tetap normal ataupun

meningkat 2-3 kali nilai

normal.

2. Pemeriksaan laboratorium khusus

Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri leptospira

dapat secara langsung dengan mencari bakteri leptospira atau antigennya dan

secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap bakteri leptospira

dengan uji serologis. Pemeriksaan langsung meliputi kultur, mikroskopis,

inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.

Page 11: Penyakit Lepto

Pemeriksaan langsung dengan isolasi bakteri leptospira patogen merupakan

diagnosis pasti leptospirosis. Sedangkan interpretasi pemeriksaan tidak langsung

harus dikorelasikan dengan gejala klinis dan data epidemiologis seperti riwayat

pajanan dan faktor risiko lain.

a) Pemeriksaan Langsung

1) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining

Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi bakteri leptospira dalam darah, cairan

peritoneal dan eksudat pleura, dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari

ke-3-7 dan di dalam urin pada minggu kedua, untuk didiagnosis definitif

leptospirosis. Bakteri leptospira dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap.

2) Pemeriksaan molekuler

Pemeriksaan molekuler dengan reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk

mendeteksi DNA bakteri leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai

primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Data terbaru pengujian

spesimen manusia menunjukkan bahwa DNA bakteri leptospira dapat dideteksi

pada stadium dini (hari ke-2), dan maksimal 40 hari. Reaksi PCR lebih cepat,

sensitif dan spesifik serta lebih baik dibanding uji serologi dan bakteriologi.

3) Biakan

Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan

serebrospinal, urin dan jaringan postmertem segera ditanam ke media, kemudian

dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.

4) Inokulasi hewan percobaan

Bakteri leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu

hewan yang dapat dipakai untuk isolasi primer bakteri leptospira. Umumnya

dipakai golden hamsters (umur 4-6 minggu) dan marmut muda (150-175g) yang

bukan karier bakteri leptospira. Isolasi bakteri leptospira dilakukan dengan cara

biakan darah atau cairan peritoneal.

Page 12: Penyakit Lepto

b) Pemeriksaan tidak langsung/serologi

Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen serum

disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena pada suhu 20-

250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2 hari). Berbagai jenis uji serologi

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Jenis Uji Serologi

1) Microscopic Agglutination Test (MAT)

MAT adalah pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer

antibodi aglutinasi, yang terdiri dari IgM atau IgG. MAT merupakan baku emas

pemeriksaan serologi kuman leptospirosis dan sampai saat ini belum ada uji lain

yang lebih spesifik. Uji MAT bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serovar pada

manusia dan hewan, diperlukan panel suspensi bakteri leptospira hidup yang

mencakup semua jenis serovar. Kelemahan MAT karena memerlukan fasilitas

biakan untuk memelihara bakteri leptospira, sedangkan teknik pemeriksaannya

sulit dan lama. Antibodi tidak dapat dideteksi bila panel bakteri leptospira tidak

lengkap dan ada kemungkinan munculnya serovar baru yang belum diketahui..

2) Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)

Page 13: Penyakit Lepto

Prinsip uji MSAT sama dengan MAT, namun secara makroskopis, di atas kaca

obyek. Hasil reaksi dinilai secara semi kuantitatif dengan mata telanjang.

Interpretasi hasil sama dengan MAT. Uji MSAT kurang spesifik dibanding MAT.

3) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji ELISA sering dipakai dan dapat dilakukan dengan reagen komersial maupun

antigen yang dibuat sendiri. Uji ini memakai suatu antigen yang bersifat spesifik

pada genus, dapat mendeteksi antibodi di kelas IgM dan IgG. Keuntungan uji

ELISA untuk mengetahui jenis antibodi, apakah IgM dan IgG. Antibodi IgM

merupakan prediksi leptospirosis sebagai infeksi akut, dan IgG untuk infeksi

terdahulu. Meskipun demikian perlu diingat bahwa antibodi IgM kadang dapat

menetap selama beberapa tahun. Kelemahan tes ELISA kurang

spesifik dibanding MAT :

- Dapat terjadi reaksi silang pada penyakit lain

- Tidak menentukan jenis serovar, sehingga harus dikonfirmasikan dengan MAT.

4) Uji Serologi Penyaring

Uji serologi penyaring yang praktis, cepat dan sering dipakai sebagai tes

leptospirosis di Indonesia, antara lain :

a) Lepto Dipstick Assay

Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi kuman leptospira-spesifik IgM dalam

serum. Metode ini sederhana, relaitf praktis dan cepat karena hanya memerlukan

waktu antra 2,5 sampai 3 jam.

Pemeriksaan ini menggunakan antigen bakteri leptospira yang telah difiksasi dan

dilekatkan pada pita celup. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 84,5% dan 92,1%

pada serum yang dikumpulkan dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari perjalanan

penyakit. Spesifitas adalah 87,5% dan 94,4% pada serum yang diambil dalam

periode 1-10 hari dan > 10 hari sakit.

b) LeptoTek Dri Dot

Page 14: Penyakit Lepto

LeptoTek Dri Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya lebih murah,

praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat dalam 30 detik. Penelitian pada serum-

serum pasien yang dikumpulkan dalam 10 hari pertama sejak sakit, menunjukkan

nilai sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% tetapi pada serum yang dikumpulkan

setelah 10 hari perjalanan penyakit, sensitifitas 88,2% dan spesifitas 89,8%.

Interpretasi disesuaikan dengan gejala klinis dan dikonfirmasikan dengan MAT.

c) Leptotek Lateral Flow

Prinsip pemeriksaan sama dengan ELISA, yaitu deteksi leptospira –specific

imunoglobulin M dengan sistem lateral flow. Evaluasi Leptotek Lateral Flow

menunjukkan nilai diagnostik yang baik dengan sensitivitas 85,8% dan spesifitas

93,6%.

4. TRANSMISI PENYAKIT

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke

penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi

melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di

kulit, mulut, cairan urin kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan).

Penularan dari manusia ke manusia melalui hubungan seksual, transplacentally

dari  ibu ke janin dan melalui ASI pada anak. Urin dari pasien yang menderita

leptospirosis harus  dianggap menular. Seperti leptospira dapat dibiakkan dari

darah, ini harus dipandang sebagai menular untuk Leptospirosis merupakan

penyakit yang dapat ditularkan melaluiair (water borne disease) Urin (air

kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama

penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. 

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan

barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan,

tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada

manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan

banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan

Page 15: Penyakit Lepto

tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan

asam.

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,

maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan

jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan

bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai

jaringan tubuh terutama ginjal dan hati

Gambar 3 : Transmision penyakit

http://bezhare.blogspot.com/2011/04/bezhare-what-is-leptospirosis.html 

5. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT

Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri leptospira masuk

ke dalam tubuh pejamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, kunjungtiva atau

mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat

masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.

Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi bakteri leptospira melalui kulit utuh

yang lama terendam air, saat banjir. Bakteri leptospira yang tidak virulen gagal

bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1

atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan

jaringan, dan bakteri leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal

pada hari ke-4 sampai 10 perjalanan penyakit. Bakteri leptospira merusak dinding

pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan

ekstravasasi sel. Patogenitas bakteri yang penting adalah perlekatannya pada

permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri

Page 16: Penyakit Lepto

leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin

bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada

sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai

trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis

yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung

fosfolipid. Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan

protein sitotosin. In vivo, toksin ini mengakibatkan perubahan histopatologik

berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi

kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira

bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis

berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan

permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.

Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu

penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan,

pelepasan bilirubin dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,

kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Conjungtival

suffusion khususnya perikorneal terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan

ini sering dijumpai dan patognomik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa

uveitis, iritis, iridoksiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular.

Keberadaan bakteri leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis

kronik berulang. Bakteri leptospira difagosit oleh sel-sel retikuloendotelial serta

mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan

meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Bakteri leptospira akan

dieliminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal dan mungkin

otak, dimana bakteri leptospira dapat menetap beberapa minggu atau bulan. Untuk

lebih jelasnya patogenesis leptospirosis dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Page 17: Penyakit Lepto

Sumber : Gasem M H., 2003 yang dikutip dari Faine

Bagan 1 Patogenesis Leptospirosis

6. PENGOBATAN

Pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan

pemberian antibiotik seperti Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau

Erythromycin. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, pemberian

Penicillin atau Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik

(WIDARSO et al, 2005).

Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati

dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya

(Amoxylline), Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine. Angka kematian dapat

mencapai 20% apabila terjadi komplikasi (DINAS KESEHATAN PROPINSI

DKI JAKARTA, 2004). Menurut KOMPAS CYBER MEDIA (2005) selain

antibiotika golongan penicilline, bakteri ini juga peka terhadap Streptomycine,

Chloramphenicol dan Erythromycine. Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan

Page 18: Penyakit Lepto

mudah didapatkan. Pengobatan yang dilakukan sejak dini, maka prognosis

Leptospirosis umumnya baik, berbeda apabila terlambat dilakukan pengobatan.

Leptospira umumnya peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti

penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloranfenikol, eritromisin, siprofloksasin,

sefalosporin, dan sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat pilihan utama

untuk Leptospirosis. Dosis yang dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000 unit

setiap 4 jam yang dapat ditingkatkan sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita

dengan kondisi yang berat. Mortalitas pada kondisi yang berat berkisar antara 15-

40%. Prognosis tergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum

penderita, usia, gagal multi organ serta pemberian antibiotika dengan dosis yang

adekuat pada fase dini (HANGGARA, 2004).

Menurut WIDARSO et al. (2005) cara mengobati penderita Leptospirosis yang

dianjurkan adalah sebagai berikut :

• Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini pada

hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6-8

megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari

• Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan jumlah

yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit secara i.m,

separuh dosis dapat diberikan selama 5- 6 hari. Procaine penicillin 1,5 megaunit

i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah terjadi albuminuria

• Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu

Tetracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif

dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita

mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan dosis

250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6

jam secara oral selama 6 ahri. Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg

setiap 6 jam selama 5 hari.

Terapi dengan antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau

oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya

Page 19: Penyakit Lepto

berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan pada

awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis

10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita Leptospirosis, dapat

memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%. Pemberian per-oral dengan

mencampurkan oksitetrasiklin dengan dosis 500-1000 gr ke dalam setiap

makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat menghilangkan keadaan sebagai

pembawa penyakit pada ternak babi 94% (DHARMOJONO, 2001).

7. PERKEMBANGAN PENY TSB DI INDONESIA

Perkembangan Penyakit Leptospirosis di Indonesia

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil

dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati

dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut

sebagai "Weil's Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa

"Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak

itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi denganbaik dari manusia maupun

hewan.

Angka kejadian Leptospirosis secara pasti sulit diketahui. Umumnya

penyakit ini tidak terdiagnosa, penyakitnya terdiagnosa tapi tidak dilaporkan, dan

penyakitnya tidak menimbulkan gejala atau gejalanya ringan sehingga tidak

dilaporkan. Di Indonesia dilaporkan di dalam risalah Partoatmodjo (1964) bahwa

sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari hewan liar

maupun hewan peliharaan.

Penyakit ini dikenal dengan nama demam banjir, demam lumpur atau

demam rawa, karena berkaitan dengan sejarah kejadian penyakit. Kejadian akan

meningkat pada saat musim hujan atau paska banjir. Selain itu penyakit ini juga

dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, penyakit Stuttgart, penyakit

Weil, demam canicola, dan penyakit swineherd. Iklim yang sesuai untuk

perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan

Halkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis.

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri

Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan

Page 20: Penyakit Lepto

kematian. Sumber utama penularan leptospirosis adalah tikus dan binatang

lainnya antara lain anjing, babi, sapi, dan kambing.

Leptospirosis merupakan penyakit yang paling luas penyebarannya di

seluruh dunia, begitu pula di Indonesia tercatat sebanyak 19 Provinsi yang telah

melaporkan kasus leptospirosis baik di Rodent maupun manusia. Selain itu,

jumlah kasus leptospirosis di Indonesia selama beberapa tahun terakhir cukup

fluktuatif peningkatannya. Peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2007 tercatat

sebanyak 664 kasus dengan jumlah yang meninggal sebanyak 57 orang.

Jumlah ini meningkat jauh dari tahun 2006 yang hanya tercatat sebanyak

146 kasus dan yang meninggal sebanyak 14 orang. Jumlah tersebut cenderung

mengalami penurunan pada tahun 2008 (426 kasus dan 22 meninggal) dan pada

tahun 2009 (335 kasus dan 23 meninggal). Pada tahun 2010, jumlah kasus

leptosiprosis meningkat menjadi 409 kasus dan 43 orang meninggal, begitu pula

pada tahun 2011 menjadi 766 kasus dan 72 orang meninggal. Untuk lebih

singkatnya dapat melihat grafik 7.

Grafik 1. Perkembangan kasus leptospirosis antara tahun 2004 sampai dengan

2011

(Sumber : Kementerian Kesehatan RI)

Selain itu, pada periode 2009 sampai dengan 2011 terjadi kejadian KLB

Leptospirosis di Provinsi DI Yogyakarata yaitu, di Kabupaten Bantul dan

Kabupaten Kulon Progo. KLB di Kabupaten Bantul pada tahun 2010 terjadi

Page 21: Penyakit Lepto

dengan tercatatnya sebanyak 110 kasus dengan 12 orang meninggal (CFR :

10,9%), sedangkan pada tahun 2011 tercatat 133 kasus dengan 13 orang

meninggal (CFR : 9,8%). KLB di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010 terjadi

dengan tercatatnya sebanyak 53 kasus dengan 7 orang meninggal (CFR : 13,2%),

sedangkan pada tahun 2011 tercatat 328 kasus dengan 20 orang meninggal (CFR :

6,1 %).

8. FAKTOR2 YG BERHUBUNGAN DG PENY TSB

Faktor Risiko Lingkungan kejadian leptospirosis

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.

Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,

biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua

kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari

organisme hidup manusia. Definisi kesehatan lingkungan adalah keseimbangan

ekologis yang harus ada antara manusia dan lingkungannya agar dapat terjamin

keadaan sehat bagi manusia ( UU No.23 tahun 1992). Lingkungan dan manusia

harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan maka

akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Menurut John Gordon triangulasi

epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi

tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan

karakteristiknya) dan environment (lingkungan). Ketiga faktor tersebut

membentuk model leptospirosisangle sebagai berikut :

Bagan 2Model Triangle Epidemiologi

Page 22: Penyakit Lepto

Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan

tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen

akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau

menurunkan kejadian penyakit.

Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan

masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi : lingkungan fisik seperti

kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah , curah hujan,

kondisi jalan sekitar rumah saat musim penghujan, jarak rumah dengan selokan,

kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi; lingkungan biologik seperti

populasi tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai

hospes perantara; lingkungan kimia seperti pH tanah; lingkungan sosial seperti

riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko leptospirosis dan

penggunaan alat pelindung diri; lingkungan ekonomi seperti jumlah pendapatan

dan pekerjaan; lingkungan budaya seperti tidak memakai alas kaki di rumah dan

mencuci/mandi di sungai.

a. Lingkungan Fisik

1) Karakteristik genangan air

Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia produktif

dengan karakteristik tempat tinggal : merupakan daerah yang padat penduduknya,

banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun

lingkungan kumum. Tikus biasanya kencing di genangan air. Lewat genangan air

inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia.

2) Sampah

Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang

disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan

kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya

kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus.

3) Curah hujan

Page 23: Penyakit Lepto

Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim

tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembapan tinggi. Leptospirosis

berhubungan dengan musim hujan, dengan meningkatnya kasus dimulai pada

Bulan Agustus dan turun pada Bulan November, puncaknya kasus terjadi pada

Bulan Oktober.

4) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah

Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak rumah

yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah mengakibatkan tikus dapat

masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari

500 m dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih

besar dibanding yang lebih dari 500 m.

b. Lingkungan Biologik

1) Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah

Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak

menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah

(Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus).

Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada waktu terjadi Kejadian Luar

Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah : R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus

dan R.exulat.

2) Keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara

Tikus (terutama Rattus norvegicus) dan anjing merupakan reservoir penting dalam

leptospirosis. Di sebagian besar negara tropis termasuk negara berkembang

kemungkinan paparan leptospirosis terbesar pada manusia karena terinfeksi dari

binatang ternak, binatang rumah maupun binatang liar.

c. Lingkungan kimia

1) pH tanah

Page 24: Penyakit Lepto

Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (220 C)

dan pH relatif netral (pH 6,2-8)19) Bila di air dan lumpur yang paling cocok

untuk bakteri leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4 dan temperatur antara

28oC-30oC. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang menggenang. Karakteristik air

pada sawah yang cocok untuk bakteri leptospira adalah air yang menggenang

dengan ketinggian 5-10 cm dan pH antara Menurunkan pH air sawah menjadi

asam yaitu dengan pemakaian pupuk/bahan-bahan kimia menyebabkan jumlah

dan virulensi bakteri leptospira berkurang.

d. Lingkungan Ekonomi

1) Pekerjaan

Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian penyakit

leptospirosis. Jenis pekerjaan yang beresiko terjangkit leptospirosis antara lain :

petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus, tukang

sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic tank dan

pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat

pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Dari beberapa

penelitian juga menyebutkan bahwa pekerjaan sangat berpengaruh pada kejadian

leptospirosis.

e. Lingkungan Budaya

1) Tidak memakai alas kaki di rumah

Dengan tidak memakai alas kaki akan mengakibatkan kemungkinan masuknya

bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar.

Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan

tangan. Oleh karena itu dianjurkan bagi para pekerja yang selalu kontak dengan

air kotor atau lumpur supaya memakai alas kaki seperti sepatu bot. Banyak infeksi

leptospirosis terjadi karena berjalan di air dan kebun tanpa alas kaki.

2) Mencuci/mandi di sungai

Page 25: Penyakit Lepto

Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan bakteri

leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena terkena air, selaput

lendir, kulit kaki, tangan dan tubuh yang lecet. Kegiatan mencuci dan mandi di

sungai atau danau akan beresiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan

terjadi kontak dengan urin binatang yang mengandung leptospira akan lebih besar.

9. CARA PENCEGAHAN

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi

faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian

leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.

Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran

dapat terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif,

termasuk di sini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan

sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah

agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan

kematian.

Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar

tidak terjadi kontak leptospira pada manusia yang meliputi :

1. Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.

Pada pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya

pada pekerja irigasi, petani tebu, pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja

pemotongan hewan, petugas survei di hutan, pekerja tambang, harus memakai

pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan yang telah

terkontaminasi, misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan. Dianjurkan setelah

bekerja, terutama pekerja laboratorium daan pemotongan hewan untuk mencuci

alat - alat kerja dengan sodium hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan

deterjen.

2. Melindungi sanitasi air minum penduduk.

Page 26: Penyakit Lepto

Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan

dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan menjadi

asam dengan pemakaian pupuk / bahan - bahan kimia, sehingga jumlah dan

virulensi leptospira berkurang.

3. Pemberian Vaksinasi.

Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan

memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja

risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi

pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan efektif untuk mencegah

leptospirosis.

4. Pencegahan dengan antibiotik.

Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara intramuskuler

dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah terkontaminasi oleh strain

leptospira yang virulensinya tinggi. Doksisiklin dapat juga digunakan untuk

pencegahan.

5. Pengendalian hospes perantara leptospira

Rodent yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adala tikus.

Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,

pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator

rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke dalam rumah, sebaiknya

dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang mudah busuk dibuang.

6. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara

edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai serovar dan

epidemi leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa leptospirosis

merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama,

oleh karena itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan /

kedokteran, dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat.

Page 27: Penyakit Lepto

Pokok-pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil

studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain higiene perorangan seperti

kebiasaan mandi, riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih,

disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.

Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat

dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi :

a. Jalur sumber infeksi

1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.

2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,

atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan

cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.

3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun

tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.

4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum

dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber

penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa

makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.

5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan

memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan

semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana

pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum

yang bersih.

a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.

b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak

menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.

b. Jalur penularan

Penularan dapat dicegah dengan :

Page 28: Penyakit Lepto

1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,

masker).

2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.

3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,

tanah, dan air yang terkontaminasi.

4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah

atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol,

tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih)

dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung

tangan.

5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak

dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap

kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.

6) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan

lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.

7) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang

baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.

8) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk atau bahan-

bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.

9) Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air

dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira..

10) Manajemen ternak yang baik.

c. Jalur pejamu manusia

1) Menumbuhkan sikap waspada

Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok

resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek

Page 29: Penyakit Lepto

penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana

kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.

2) Melakukan upaya edukasi

Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan

cara-cara edukasi yang meliputi :

a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,

institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit

leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan.

Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih

lanjut.

b) Melakukan penyebaran informasi.

10. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI UMUM

Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral

termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih

dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir

setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan

ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan

gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju

mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil (WIDARSO

et al, 2005). Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan

siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu

Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water

born deseasei). Serovars yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yatu L.

hardjo, L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola dan L. icterohaemorrhagiae.

Dua yang disebutkan terakhir adalah umumnya yang menyerang pada anjing juga

(DHARMOJONO, 2001).

Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang

berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20

mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Bakteri ini dapat bergerak maju

Page 30: Penyakit Lepto

mundur memutar sepanjang sumbunya. Sebanyak 175 macam leptospira yang

berbeda dari segi aspek antigeniknya (yang disebut serovars), baru tujuh macam

yang berhasil diisolasi. Antar serovars ini hanya terjadi kekebalan silang secara

moderat saja, sedangkan infeksi oleh dua atau bahkan lebih serovars seringkali

ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska infeksi, umumnya zat anti kebal

aglutinasi terbentuk. Titer antibodi itu meningkat dengan cepat, kemudian

menurun dalam beberpa bulan sampai kepada tingkat moderat, dan tetap ada

untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai bertahun-tahun. Leptospira hanya

dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop fase kontras.

Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang

lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak

diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan

Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing,

serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat

menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005).

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),

tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan penderita

Leptospirosis.Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melaui selaput lendir

(mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran

pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi

leptospira. Masa inkubasi Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari. Penularan

langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (WIDARSO et al, 2005).

Organisme penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui

kulit yang terluka atau membrane mukosa atau kemungkinan juga melalui saluran

pencernaan. Pada kasus indeks masa inkubasinya berlangsung antara 10-12 hari,

tetapi dapat berayun antara 2-30 hari. Umumnyaq wabah terjadi karena terpapar

pada air yang terkontaminasi oleh urin hewan tertular. Populasi dalam resiko

adalah beberapa grup okupasi (pekerjaan), misalnya petani/pekerja di sawah,

perkebunan tebu, tambang, saluran kebersihan kota, rumah potong, perawat

hewan dan dokter hewan yang berhunungan atau terpapar kepada air, perairan,

Page 31: Penyakit Lepto

lumpur dan/atau hewan, baik hewan piara maupun satwa liar (SOEJOEDONO,

2000).

PERSON (ORANG)

1. Umur

Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena

kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering ditemukan

pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak terpapar oleh

hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.

2.  Jenis kelamin

Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis. Hal ini

diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan

yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar kasus terjadi

pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi

tertular penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis sebesar 3,59

kali dibandingkan perempuan.

3.  Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko yang besar

untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis waktu

menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar dengan bakteri

leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan tubuh

lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang tergenang dan

telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.

Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga penyakit pekerjaan,

karena sering menyerang petani, pekerja pembersih selokan, pemburu bebek liar,

para dokter hewan, pekerjaan rumah potong, pekerja perkebunan, dan para

wisatawan pendaki gunung.

PLACE (TEMPAT)

Page 32: Penyakit Lepto

Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai untuk

perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH

alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun.

Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali

dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka

insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,

Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Menurut teori Faisal, bakteri

leptospira mampu bertahan hidup lama pada air tergenang seperti di kolam

renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di

pertambangan dan pertanian/perkebunan.

TIME (WAKTU)

Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar sehingga

frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan deras akan

membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi lingkungan yang banjir akan

mempercepat proses penularan bakteri leptospira melalui air. Kemampuan

leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor

penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga memberikan

peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal ini sesuai

pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan jumlah

penderita leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai

3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama sehabis

membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan tanpa alas kaki, air

genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama tikus yang

mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber penularan.

11. GAMBARAN EPIDEMIOLOGINYA DI INDONESIA

Page 33: Penyakit Lepto

Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di

Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat,

Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur,

dan Kalimantan Barat. Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja

perkebunan, pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer.

Di samping itu tidak sedikit pula yang menyerang para penggemar olahraga

renang (WIDARSO et al, 2005).

Penyakit ini dikenal dengan nama demam banjir, demam lumpur atau

demam rawa, karena berkaitan dengan sejarah kejadian penyakit. Kejadian akan

meningkat pada saat musim hujan atau paskabanjir. Selain itu penyakit ini juga

dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, penyakit Stuttgart, penyakit

Weil, demam canicola, dan penyakit swineherd. Iklim yang sesuai untuk

perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH

alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu,

kasus 3 Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis

dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat.

Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat,

Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian

leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih

dari 50 tahun kematian mencapai 56%.

Peran hewan peliharaan sebagai sumber penularan leptospirosis pada

manusia telah diteliti oleh Scott-Orr dan Darodjat (1978) . Mereka menemukan

paling sedikit 20% dari sapi potong di Jawa Tengah dan Jawa Timur positif

terhadap serovar hardjo. Scott-Orr et al. (1980) menemukan 37% sapi perah dari

Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara positif terhadap

serovar hardjo dan tarassovi serta 48,7% babi dari beberapa propinsi di Jawa dan

luar Jawa positif terhadap beberapa serovar dan terbanyak terhadap serovar

pomona. Seroprevalensi leptospirosis dari tahun 2003–2007 berdasarkan

Page 34: Penyakit Lepto

pemeriksaan serologik sangat berfluktuasi. Persentase sera dengan antibodi anti

leptospira positif dari tahun 2003 ke tahun 2004 terjadi kenaikan sebesar 9,97%,

dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi penurunan sebesar 1,71%, dari tahun 2005

ke tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar 20,36% dan dari tahun 2006 ke tahun 2007

terjadi penurunan sebesar 20,62%. Kejadian leptospirosis paling tinggi terjadi

pada tahun 2006 (36,03%)

12. TUJUAN P3M

Tujuan P3M Penyakit Leptospirosis. Program ini bertujuan untuk

menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat penyakit

Leptospirosis, sehingga dapat menurunkan jumlah kejadian kasus Leptospirosis.

13. STRATEGI P3M

1. Strategi P3M untuk penyakit Leptospirosis

Pencegahan Primer Prinsip : mengendalikan agar tidak terjadi kontakLeptospira

pada manusia

Pencegahan Sekunder Prinsip : pengobatan untuk mencegah komplikasi.

2. Target program P3M

Pengontrolan (controlling) terhadap kejadian penyakit leptospirosis, hal

inidilakukan untuk menurunkan angka insidens, prevalens, morbiditas,

danmortalitas penyakit pada tingkat yang telah disepakati, agar tidak

menjadimasalah kesehatan masyarakat.Dimana, angka kematian akibat penyakit

leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi.

14. UKURAN EPIDEMIOLOGI YG DPT DIPAKAI

Ada beberapa ukuran epidemiologi penyakit Leptospirosis:

1. Rate

Populasi di dalam rate tidak selalu populasi dalam arti demografis

(misalnya penduduk Jakarta dan lain-lain), tetapi bisa dalam bentuk lain, misalnya

Page 35: Penyakit Lepto

maternal mortality rate ialah jumlah kematian ibu diantara ibu-ibu yang

melahirkan di rumah sakit. Pada jumlah penduduk yang besar sulit ditentukan

mana yang termasuk populasi terancam; di kelompok yang kecil misalnya di

rumah sakit atau kelompok penelitian dapat lebih mudah diketahui mana yang

susceptible (rentan) misalnya ibu hamil mungkin berisiko mendapat placenta

praevia.

2. Ratio

Ini merupakan suatu perbandingan, yang pada umumnya dapat dinyatakan sebagai

berikut :

Jumlah orang yang terkena oleh sesuatu penyakit atau masalah

kesehatan pada saat atau dalam periode waktu tertentu

Jumlah orang yang tidak terkena oleh sesuatu penyakit atau masalah

kesehatan pada saat atau dalam periode waktu yang sama

Contoh :

Fetal death ratio =

Jumlah kematian foetus dalam 1 tahun

Jumlah lahir hidup dalam 1 tahun

Fetal death ratio berbeda dengan fetal death rate

Fetal death

rate=

Jumlah kematian foetus dalam 1 tahun

x C

Jumlah kematian foetus + Jumlah lahir hidup dalam 1 tahun

Page 36: Penyakit Lepto

3. Proportional rate

Ini merupakan suatu perbandingan yang pada umumnya dapat dinyatakan sebagai

berikut :

Jumlah orang yang baru terkena oleh suatu penyakit atau masalah

kesehatan dalam periode waktu tertentu

x C

Jumlah orang yang terkena dan tak terkena oleh suatu penyakit atau

masalah kesehatan tertentu dalam periode waktu yang sama

Contoh :

a. Proportional Mortality Rate =

Jumlah kematian oleh karena penyakit A

dalam periode waktu sebulan

x C

Jumlah seluruh kematian oleh karena semua penyakit

dalam waktu sebulan

b. Proportional Morbidity rate =

Jumlah penderita dengan penyakit A di rumah sakit B

dalam waktu 1 bulan

x C

Jumlah semua penderita dari semua penyakit di

rumah sakit B dalam waktu 1 bulan

Page 37: Penyakit Lepto

Penyebut dari perbandingan pada contoh ini bukanlah merupakan population at

risk; perbandingan proportional rate antara dua daerah tertentu tentu tidak

menyatakan bahwa daerah yang satu lebih mungkin menderita sakit daripada

daerah yang lain. Sering para klinikus menyebut proportional rate ini sebagai

incidence rate, tetapi di dalam epidemiologi sebutan seperti itu adalah suatu hal

yang keliru.

Proportional rate untuk penyakit lebih tepat digunakan pada tingkat puskesmas.

Proportional

Rate

=

Jumlah penderita baru dari penyakit A yang berkunjung ke

puskesmas dalam periode waktu tertentu

x C

Jumlah semua penderita baru yang berkunjung ke

puskesmas itu dalam periode waktu yang sama

Proportional rate tiap minggu atau tiap bulan dapat digunakan untuk

memperkirakan kejadian wabah di wilayah teretentu.

Pengertian rate pada butir 1 sebetulnya berbeda dengan pengerti rate pada butir 3

yaitu proprtional rate. Pada butir 3, penyebut bukanlah population at risk.

Beberapa contoh rate pada butir 1 adalah incidence rate, attack rate dan

secondary attack rate.

4. Incidence rate (Omran, 1974 and MacMahom et al, 1970)

Umumnya rate ini dapat dilukiskan sebagai berikut :

Incidence

rate =

Jumlah kasus baru pada periode waktu tertentu x C

Page 38: Penyakit Lepto

Jumlah population at risk pada periode waktu yang

sama

Incidence rate biasanya digunakan pada studi prospektif; bila kita hendak

menyelidiki 100 tikus sehat yang dapat menderita tbc setelah dicampurkan satu

kandang dengan seekor tikus penderita tbc selama setahun. Bila dalam satu tahun

terdapat 10 tikus sebagai kasus tbc yang baru, maka incidence rate adalah 10/100

= 1/10.

Di dalam praktek sering incidence rate dipakai untuk menyatakan rate sesuatu

penyakit dalam sesuatu daerah.

Kelemahan dari pemakaian ini adalah sebagai berikut :

a) Pembilangnya ialah kasus baru; kasus baru ini sulit ditentukan oleh karena waktu

serangan suatu penyakit tak jelas; beberapa kejadian dalam hal ini perlu

diperhatikan :

- Kapan mulainya gejalanya pertama

- Waktu diagnosa

- Masuk rumah sakit, poliklinik, atau balai pengobatan puskesmas

b) Penyebut adalah jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan pada periode

waktu yang sama; dalam hal ini sulit menentukan siapa dari penduduk tersebut

yang termasuk population at risk atau yang suspectible karena mereka

mempunyai daya tahan terhadap sesuatu penyakit karena telah mendapat vaksin

terhadap penyakit itu, mempunyai kekebalan alamiah, mempunyai gizi yang

cukup, dan lain-lain.

5. Attack rate

Attack rate sebetulnya adalah suatu incidence rate. Tetapi pada attack rate, risiko

seseorang untuk mendapatkan penyakit berlangsung dalam waktu yang singkat

karena faktor penyebab penyakit tersebut hanya bereaksi dalam tempo yang

singkat, misalnya pada keracunan makanan. Biasanya attack rate dihitung untuk

penyakit yang sering ditemukan pada umur tertentu, misalnya pada penyakit

Page 39: Penyakit Lepto

morbili, viricella, dan lain-lain yang pada umumnya menyerang anak-anak dan

bayi.

6. Secondary attack rate

Secara umum dapat dilukiskan sebagai berikut :

Secondary attack rate = Jumlah kasus sekunder

x C

Population at risk

Kasus sekunder ialah kasus-kasus yang terkena penyakit di dalam sesuatu

lingkungan setelah datangnya satu atau lebih kasus primer dari lingkungan yang

lain.

7. Point prevalence (Omran, 1974)

Secara umum dapat dilukiskan sebagai berikut :

Point prevalence

rate

=

Jumlah orang yang menderita penyakit

baru dan lama pada saat tertentu

X C

Jumlah penduduk pada saat tersebut

Dalam hal ini penyebut semestinya population at risk, tetapi point prevalence rate

didapatkan bila dilakukan survei dalam masyarakat. Karena sulit menentukan

population at risk dalam masyarakat, maka dalam point prevalence rate, penyebut

adalah penduduknya saja. Jadi point prevalence rate sering bukan suatu rate yang

tepat.

Page 40: Penyakit Lepto

8. Period prevalence rate (Omran, 1974)

Secara umum dapat dilukiskan sebagai berikut :

Period prevalence

rate

=

Jumlah orang yang menderita penyakit

baru dan lama pada jangka waktu tertentu

x C

Jumlah penduduk yang terancam pada

jangka waktu tersebut

Period prevalence sering bukan merupakan rate yang tepat pula.

Period prevalence = point prevalence + incidence.

9. Case fatality rate (Beaglehole, 1993)

Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :

Case fatality rate =

Jumlah orang yang mati oleh karena penyakit

A dalam periode waktu tertentu

x C

Jumlah penderita dengan penyakit A dalam

periode waktu yang sama

Age specific death rate =

Jumlah orang yang mati pada umur di bawah

15 tahun dalam periode waktu tertentu

x C

Page 41: Penyakit Lepto

Jumlah penduduk pada umur di bawah 15

tahun dalam periode waktu yang sama

Case fatality rate menggambarkan keganasan (fatality) suatu penyakit sehingga

menyebabkan kematian; bila case fatality rate penyakit A lebih tinggi daripada

penyakit B, berarti bahwa penyakit A lebih fatal daripada penyakit B. Bila case

fatality rate penyakit A di rumah sakit C lebih rendah daripada case fatality rate

penyakit A di rumah sakit D, ini berarti bahwa pelayanan pengobatan penyakit A

di rumah sakit C lebih berhasil daripada pengobatan penyakit A di rumah sakit D.

Age specific death rate menggambarkan risiko dari suatu penduduk dalam

golongan umur tertentu meninggal oleh suatu penyakit.

Cause specific death rate

=

Jumlah orang yang mati oleh karena

penyakit A dalam periode waktu tertentu

x C

Jumlah penduduk dalam periode waktu sama

Cause specific death rate menggambarkan risiko dari suatu penduduk menderita

penyakit tetentu

Bila suatu penyakit stabil, jadi berarti bahwa Incidence (I) dan cause specific

death rate (M) adalah tetap, maka case fatality rate (F) dapat diperkirakan seperti

pada persamaan sebagai berikut :

F = M

I

Page 42: Penyakit Lepto

Cause specific death rate dapat menggambarkan incidence, bila 1) periode antara

diagnosa dan kematian pendek dan 2) case fatality rate tinggi. Ini misalnya

terdapat pada penyakit haemorrhagic fever, malaria tropicana, leucameia, dan

lain-lain.

15. KEPUSTAKAAN (harvard, diutamakan textbook dan jurnal ilmiah)

ADLER, B ., S. FAINE, W.L . CHRISTOPHER and R.J. CHAPPEL . 1986.

Development of an improved selective medium for isolation of leptospires from

clinical material . Vet . Microbiol . 12 : 377-381 .

BEY, R.F . and R.C . JOHNSON . 1982 . Leptospiral vaccines in dogs:

Immunogenicity of whole cell and outer envelope vaccines prepared in protein-

free medium . Am. J . Vet Res . 43(5) : 831-834.

Page 43: Penyakit Lepto

BOLIN, C.A. and D.P. ALT. 2001 . Use of monovalent leptospiral vaccine to

prevent renal colonization and urinary shedding in cattle exposed to Leptospira

horgpetersenii serovar hardjo . Am . J . Vet Res . 62(7) : 995-1000.

BOLIN, C.A ., R.L. ZUERNER and G . TRUEBA. 1989. Effect of vaccination

with a pentavalent leptospiral vaccine containing Leptospira interrogans serovar

hardjo type hardjo-bovis on type hardjo-bovis infection of cattle. Am. J . Vet .

Res. 50(12) : 2004-2008 .

DARODJAT, M. dan P. RONOHARDJO. 1989. Diagnosa serologik Microscopic

Agllutination Test (MAT) untuk leptospirosis pada serum manusia. Penyakit

Ilewan XXl(37) Semester 1 : 1-8 .

DAVOL, P.A.2004. Current issues on infection and vaccination.

http.//www.rabbies.com/lepto.htm .

DIIALIWAL, G.S., R.D. MURRAY, H. DOBSON, J . MONTGOMERY and

W.A. ELLIS . 1996 . Effect of vaccination against Leptospira interrogans serovar

hardjo on milk production and fertility in dairy cattle. Vet. Rec . 138 : 334-335 .

EBRAHIMI, A., Z . NASR and GH.A. KoiouRi. 2004 . Scroinvestigation of

bovine leptospirosis in Shahrekord district, central Iran . Iranian J . Vet . Res .

University of Shiraz . 5(2) Ser. (10) . 1383 : 110-113 .

ELLIS, W.A ., J.J . OBRIEN, S .O. NELL and D .G. BRYSON. 1986 . Bovine

leptospirosis: experimental serovar hardjo infection. Vet. Microbiol. 11 : 293-299.

FAINE, S . 1982 . Guidelines for the Control of Leptospirosis . World Health

Organization, Geneva. 171 p .

GERRITSEN, M.J ., M.J. KOOPMANS, T.C .E.M. DEKKER, M.C.M. DE

JONG, A. MOERMAN and T. OLYHOCK . 1994 . Effective treatment with

dihydrostreptomycin of naturally infected cows shedding Leptospira interrogans

serovar hardjo subtype hardjobovis . Am . J. Vet. Res. 55(3) : 339-343 .

HARTMAN, E.G ., M.V . HOUTEN, J.F . FRIK and J .A. VAN DER DONK.

1984 . Humoral immune response of dogs after vaccination against leptospirosis

Page 44: Penyakit Lepto

measured by an IgM- and IgG-specific ELISA . Vet . Immuno . And

Immunopathol . 7 : 245-254 .

HARTMAN, E .G ., T.S .G .A.M. VAN DEN INGH and J. ROTHUtzEN . 1986 .

Clinical, pathological and serological features of spontaneous canine leptospirosis.

An evaluation of the IgM- and IgGspecific ELISA. Vet. Immunol . and

Immunopathol . 13:261-271.

HICKEY, P.W. and D. DEEMEKS . 2003. Leptospirosis . Emedicine . pp . 1-9 .

HUDSON, D .B . 1978 . Leptospirosis of domestic animals . http ://www.ianrpubs

.unl.edu/LeptospirosisofDomesti cAnimals/ g78-4. 17 .htm .

LEVETT, P .N. 2001 . Leptospirosis. Clinical Microbiol . Review. 14(2):2%-326 .

NAZIR, H. 2005 . Diagnosis klinis dan penatalaksanaan leptospirosis .

Disampaikan pada Workshop dan Training Penanggulangan Leptospirosis bagi

Dokter Puskesmas di Propinsi DKI Jakarta, Bapelkes Depkes Cilandak, 29 Maret

2005.

OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES . 2000. Leptospirosis, in

Manual of standards for diagnostic test and vaccines, 4th edition : 265-275 .

RAmAM, S., C.O.R. EVERARD and C . ALEX . 1994 . A pilot study on the

prevalence of leptospirosis in Tamilmadu State . Indian Vet. J . 71 : 1059-1063 .

ROCHA, T. 1998 . A review of leptospirosis in farm animals in Portugal . Rev.

Sci . Tech . Off. In . Epiz. 17(3) : 699-712 .

SWAN. R.A ., E.S. WILLIAM and R .G . TAYLOR. 1981 . Clinical and

serological observations on horses with suspected leptospirosis . Aus . Vet. J. 57 :

528-529 .

WAGENAAR, J ., R .L. ZUENER, DAVID ALT and C .A. BOLIN. 2000.

Comparison of polymerase chain reaction assays with bacteriologic culture,

immunoftiorescence, and nucleic acid hybridization for detection of Leptospira

borgpetersenii serovar hardjo in urin of cattle . AJVR 61(3) : 316-320 .

Page 45: Penyakit Lepto

WOODWARD M .J ., A.G. SULLIVAN, N.M.A. PALMER, J.C . WOOLFY and

J .S. REDSTONE . 1991 Development of a PCR test specific for Leptospira

hardjo genotype bovis . Vet . Rec . 128 : 282-283 .

DHARMOJONO. 2001. Limabelas Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Milenia Populer, Jakarta.

DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI JAKARTA. 2004. Info dan Tips Waspada Leptospirosis. Jakarta.

HANGGARA R. 2004. Ulah Leptospirosis. Halo Internis. Edisi II. Jakarta.

SOEJOEDONO, R.R. 2000. Zoonosis. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

WIDARSO, WILFRIED dan SITI G. 2005. Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Pusat Data Informasi-Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Jakarta.