bab ii landasan teori 2.1. teori pelayananeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1011/4/bab_ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Teori Pelayanan
Menurut Kotler (2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan
yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya
tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Menurut Moenir
(2008) pelayanan adalah serangkaian kegiatan yang berlangsung secara rutin dan
berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat.
Selanjutnya Sinambela (2008) mengemukakan bahwa pelayanan adalah setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik. Hal ini menunjukan bahwa pelayanan berkaitan dengan kepuasan batin dari
penerima pelayanan.
Pengertian pelayanan menurut Zein (2009) adalah sebuah kata yang bagi
penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Sedangkan
definisi pelayanan menurut Mahmoedin (2010) adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi sebagai akibat
adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal - hal lain yang
disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.
14
13
Berdasarkan pengertian - pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pelayanan merupakan suatu bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu yang
diberikan kepada orang lain, dalam hal ini, kebutuhan pelanggan tersebut dapat
terpenuhi sesuai dengan harapan atau keinginan pelanggan dengan tingkat
persepsi mereka.
2.1.2. Kualitas Layanan
Konsep kualitas layanan muncul pada tahun 1985, A. Parasuraman,
Valarie A. Zeithaml, dan Leonard L. Berry lewat penelitian dan direvisi
kembali pada tahun 1988. Dalam artikelnya mereka menekankan adanya
fenomena umum bahwa pencapaian kualitas dalam hal produk dan layanan
menduduki posisi sentral. Kualitas layanan ini bagi mereka belum lagi
terdefinisikan secara baik. Kualitas layanan, menurut mereka, adalah
perbandingan antara Harapan (Expectation) dengan Kinerja (Performance)
dalam Mardikawati & Farida (2013). Dengan mengutip Lewis and Booms
(1983), mereka menyatakan “Service quality (kualitas layanan) adalah
ukuran seberapa baik suatu layanan menemui kecocokan dengan harapan
pelanggan. Penyelenggaraan kualitas layanan berarti melakukan kompromi
dengan harapan pelanggan dengan tata cara yang konsisten."
Bates dan Hoffman (1999) seperti dikutip oleh Sukoco dan
Nilowardono (2009) menyatakan bahwa kualitas layanan merupakan
penilaian pelanggan terhadap proses penyediaan jasa, dengan demikian
pengevaluasian kualitas layanan berarti pengevaluasian terhadap proses
14
produksi jasa. Sementara itu menurut Tjiptono (2005) kualitas layanan
adalah suatu tingkat keunggulan yang diharapkan dimana pengendalian
atas tingkat keunggulan tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. Senada dengan Tjiptono, Arief (2006) menyatakan kualitas
pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian
atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Menurut Usmara (2008) kualitas pelayanan adalah suatu sikap dari
hasil perbandingan pengharapan kualitas jasa konsumen dengan kinerja
perusahaan yang dirasakan konsumen. Lain halnya Roderick, James dan
Gregory (2008) yang menyatakan bahwa service quality adalah tingkat-
tingkat ukuran atas kualitas pelayanan yang diasumsikan berhubungan
dengan perkembangan harga. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa service quality adalah suatu tingkat ukuran akan
keunggulan yang diharapkan atas kualitas pelayanan yang dihubungkan
dengan perkembangan harga atau tingkat perbandingan pengharapan
kualitas jasa konsumen dengan kinerja perusahaan yang dirasakan
konsumen untuk menjadi pengendali perkembangan harga.
Metode servqual merupakan metode yang digunakan untuk
mengukur kualitas layanan dari atribut masing-masing dimensi, sehingga
akan diperoleh nilai gap (kesenjangan) yang merupakan selisih antara
persepsi konsumen terhadap layanan yang telah diterima dengan harapan
terhadap yang akan diterima. Pengukurannya metode ini dengan mengukur
kualitas layanan dari atribut masing-masing dimensi, sehingga akan
15
diperoleh nilai gap yang merupakan selisih antara persepsi konsumen
terhadap layanan yang diterima dengan harapan konsumen terhadap
layanan yang akan diterima. Namun, secara umum memang belum ada
keseragaman batasan tentang konsep servive quality. Beberapa pendapat
para ahli tentang konsep servqual tersebut, antara lain:
1. Menurut Wyckof (dalam Tjiptono, 2005), kualitas pelayanan
merupakan tingkat keunggulan (excellence) yang diharapkan dan
pengendalian atas keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan
pelanggan.
2. Menurut Parasuraman (dalam Tjiptono 2005) terdapat dua faktor
utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yakni, layanan yang
diharapkan (expected service) dan layanan yang dipersepsikan
(perceived service).
3. Kotler (dalam Tjiptono 2005) Kualitas pelayanan harus dimulai
dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.
Metode servqual memiliki dua perspektif yaitu perspektif
internal dan perspektif eksternal. Perspektif eksternal digunakan untuk
memahami apa yang diharapkan konsumen, dirasakan konsumen, dan
kepuasan konsumen. Pengukurannya menggunakan metode servqual.
Instrumen ini awalnya dibangun oleh para peneliti di bidang pemasaran
untuk mengukur kualitas pelayanan secara umum, karena pada saat itu
kualitas pelayanan menjadi salah satu fokus yang sering dibahas dalam
16
pemasaran. Instrumen ini diperkenalkan oleh Zeithaml, Parasuraman dan
Berry seperti yang dikutip oleh Jiang (2006). Servqual merupakan alat
yang efektif untuk mengukur kepuasan konsumen dengan mengukur
kelima dimensi dari kepuasan pelanggan. Model ini terdiri dari dua bagian,
dimana bagian awal berisi harapan pelanggan untuk sebuah kelas
pelayanan, dan bagian kedua merupakan Persepsi pelanggan akan
pelayanan yang diterima. Sebuah skor untuk kualitas pelayanan dihitung
dari nilai selisih antara nilai peringkat yang diberikan pelanggan untuk
sepasang pernyataan harapan dan persepsi (Ndendo dkk, 2007).
Sedangkan, perspektif internal diidentifikasikan dengan bebas
kesalahan (zero defect) dan melakukan dengan benar saat pertama kali
serta menyesuaikan dengan permintaan. Untuk mengukur perspektif
internal yang bebas kesalahan (zero defect) yang berhubungan dengan
kualitas pelayanan digunakan metode six sigma. Six sigma adalah
seperangkat alat yang digunakan untukmengidentifikasi, menganalisis, dan
mengeliminasi sumber variasi dalam proses.
2.1.3. Karakteristik Pelayanan
Menurut Kotler (Tjijptono, 2014) secara garis besar karakteristik jasa
terdiri dari intangibility, inseparability, variability/heterogeneity,
perishability dan lack of ownership: 1.) Intangibility : jasa berbeda dengan
barang. Bila barang merupakan suatu objek, alat atau benda maka jasa
adalah suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja
17
(performance) atau usaha. Oleh karena itu jasa tidak dapat dilihat, dirasa,
dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi; 2.)
Inseparability : barang biasanya diproduksi kemudian dijual lalu
dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru
diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama; 3.)
Heterogeneity/variability/inconsistency : jasa bersifat sangat variabel
karena merupakan non-standardized output, artinya terdapat banyak
variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan
dimana jasa tersebut diproduksi; 4.) Perishability : berarti jasa tidak dapat
disimpan dan tidak tahan lama; 5.) Lack of Ownership : merupakan
perbedaan dasar antara barang dan jasa. Pada pembelian barang konsumen
memiliki hak penuh atas penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya.
Mereka dapat mengkonsumsi, menyimpang atau menjualnya. Di lain
pihak, pada pembelian jasa, pelanggan hanya akan memiliki akses
personal dan dengan jangka waktu yang terbatas.
Pelayanan memiliki sejumlah karakteristik yang membedakan dengan
aspek-aspek lainnya. Terkait dengan hal tersebut, Fitzsimmons dan
Fitzsimmons (2006), menyebutkan adanya empat karakteristik pelayanan,
yaitu:
1. Partisipasi pelanggan dalam proses pelayanan; kehadiran
pelanggan sebagai partisipan dalam proses pelayanan
membutuhkan sebuah perhatian untuk mendesain fasilitas. Kondisi
yang demikian tidak ditemukan pada perusahaan manufaktor yang
18
tradisional. Kehadiran secara fisik pelanggan di sekitar fasilitas
pelayanan tidak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan
manufaktur.
2. Kejadian pada waktu yang bersamaan (simultaneity); fakta bahwa
pelayanan dibuat untuk digunakan secara bersamaan, sehingga
pelayanan tidak disimpan. Ketidakmampuan untuk menyimpan
pelayanan ini menghalangi penggunaan strategi manufaktur
tradisional dalam melakukan penyimpanan untuk mengantisipasi
fluktuasi permintaan.
3. Pelayanan langsung digunakan dan habis (service perishability);
pelayanan merupakan komoditas yang cepat habis. Hal ini dapat
dilihat pada tempat duduk pesawat yang habis, tidak muatnya
ruangan rumah sakit atau hotel. Pada masing-masing kasus telah
menyebabkan kehilangan peluang.
4. Tidak berwujud (intangibility); pelayanan adalah produk pikiran
yang berupa ide dan konsep. Oleh karena itu, inovasi pelayanan
tidak bisa dipatenkan. Untuk mempertahankan keuntungan dari
konsep pelayanan yang baru, perusahaan harus melakukan
perluasan secepatnya dan mendahului pesaing.
5. Beragam (heterogenity); kombinasi dari sifat tidak berwujud
pelayanan dan pelanggan sebagai partisipan dalam penyampaian
sistem pelayanan menghasilkan pelayanan yang beragam dari
konsumen ke konsumen. Interaksi antara konsumen dan pegawai
19
yang memberikan pelayanan menciptakan kemungkinan
pengalaman kerja manusia yang lebih lengkap.
2.1.4. Dimensi Kualitas Layanan
Menurut Kotler dan Keller (2009) terdapat lima indikator pokok
kualitas layanan, yaitu:
1. Tangibility
Penampilan fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi.
2. Relialibility
Merupakan kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara
meyakinkan dan akurat.
3. Responsiveness
Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat.
4. Assurance
Pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka dalam
menumbuhkan rasa percaya dan keyakinan.
5. Empathy
Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada
masing-masing pelanggan.
Sementara menurut Payne seperti dikutip dalam Djati & Darmawan
(2005), dimensi pelayanan jasa dapat terdiri atas unsur:
1. Tangibility (bukti langsung)
Dimana kemampuan perusahaan didalam menunjukan eksistensi dirinya,
misalnya dalam hal ini gedung, fasilitas teknologi, penampilan
20
karyawannya, dan sebagainya lebih menekankan pada bukti secara fisik
atau dapat diraba keberadaannya.
2. Reliability (keandalan)
Merupakan kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang
sesuai dengan yang dijanjikan kepada pelanggan. Hal ini dapat berupa
adanya perbaikan kinerja yang sesuai dengan harapan pelanggan.
3. Responsiveness (daya tanggap)
Daya tanggap yang dimiliki oleh karyawan dan pimpinan perusahaan.
Dimana perusahaan harus menunjukkan kemampuannya dalam
memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan jika
pelanggan sedang memerlukan jasa yang dimaksudkan.
4. Assurance (jaminan dan kepastian)
Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan karyawan dalam
menumbuhkan rasa kepercayaan dari pelanggannya pada perusahaan.
Didalamnya terdapat unsur etika karyawan, kredibilitas karyawan, rasa
aman dari pelanggan, dan unsur etika yang dimiliki oleh karyawan.
5. Empathy (perhatian)
Merupakan pemberian perhatian yang bersifat individu kepada pelanggan
dari perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perusahaan dapat
memahami lebih jauh tentang keinginan dan kebutuhan dari pelanggannya
(Nirwana, 2004).
2.2 Teori Kepuasan Konsumen
21
Menurut Tjiptono (2014) , kepuasan berasal dari bahasa Latin “Satis” yang
berarti cukup baik, memadai dan “Facio” yang berarti melakukan atau membuat.
Secara sederhana kepuasan bisa diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau
membuat sesuatu memadai.
Kepuasan konsumen adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan
(perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (Amir, 2005). Lebih
dalam lagi, Oliver menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah bagian dari
pemasaran dan memainkan peran penting di dalam pasar (Oliver, 2007).
Hampir senada dengan Oliver, Kotler (2000) mengatakan bahwa kepuasan
konsumen merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara
kinerja produk yang ia rasakan dengan harapannya. Kepuasan atau ketidakpuasan
konsumen adalah respon terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi
yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang
dirasakan setelah pemakaian (Tse dan Wilson dalam Nasution, 2004).
Menurut Westbrook & Reilly (dalam Tjiptono, 2005) mengemukakan
bahwa kepuasan konsumen merupakan respon emosional terhadap pengalaman
yang berkaitan dengan produk atau jasa yang dibeli. Sementara Kandampully
(2002) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan sangat penting bagi setiap
organisasi, baik sektor jasa ataupun sektor barang, oleh karena itu tidak setiap
waktu produsen dapat memuaskan pelanggan. Karena ada begitu banyak
pelanggan yang menggunakan produk dan setiap pelanggan menggunakannya
secara berbeda, sikap yang berbeda, dan berbicara secara berbeda.
22
Gaspers (dalam Nasution, 2005) mengatakan bahwa kepuasan konsumen
sangat bergantung kepada persepsi dan harapan konsumen. Hal ini hampir
berbanding lurus dengan teori Kotler & Keller (2012), “Kepuasan adalah
perasaan senang atau kecewa orang yang dihasilkan dari membandingkan kinerja
atau hasil yang dirasakan produk dengan harapan. Jika kinerjanya tidak memenuhi
harapan, hasilnya tidak memuaskan. Jika sesuai dengan harapan, pelanggan
merasa puas atau senang”. Yang berarti kepuasan adalah perasaan puas atau
kecewa seseorang yang dihasilkan dari perbandingan performa produk atau hasil
dengan ekspektasi. Jika performanya kurang dari ekspektasi maka pelanggan akan
kecewa dan jika sesuai dengan ekspektasi konsumen akan merasa puas.
Hussen (2015) menganalisis tentang bagaimana mengukur tingkat
kepuasan pelanggan dengan dua alat ukur dan menganalisis hubungan antara
kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Dengan responden adalah pemegang
polis asuransi dan masyarakat yang tinggal di kota Adama. Teknik mengukur
kepuasan pelanggan menggunakan metode servqual dengan lima dimensi.
Hasilnya terdapat gap antara persepi dan ekspektasi pelanggan. Dari lima dimensi,
dimensi Assurance memiliki indikasi gap terendah, hal ini menunjukkan bahwa
persepsi Assurance telah mendekati ekspektasi dari pelanggan/pemegang polis
asuransi. Sedangkan dimensi tangibility memiliki indikasi gap tertinggi, yang
berarti penampilan fisik, fasilitas, peralatan, karyawan, dan materi komunikasi
tidak sesuai dengan harapan pelanggan/pemegang polis asuransi.
Parthiban (2014) melakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas
pelayanan dan kepuasan pelanggan terhadap perusahaan asuransi jiwa swasta di
23
Kota Chennai dan mengukur dimensi kualitas pelayanan berpengaruh terhadap
kepuasan pelanggan secara keseluruhan pada asuransi jiwa swasta di Kota
Chennai. Hasilnya terdapat hubungan signifikan dan positif antara kualitas
pelayanan dan kepuasan pelanggan terhadap perusahaan asuransi jiwa swasta di
Kota Chennai, karena semua nilai p pada uji korelasi menunjukkan angka di
kurang dari 0,01 (p<0,01). Dan dari hasil regresi berganda, ditemukan bahwa
koefisien determinasi ganda (R2) adalah 0,661 dan nilai R2 adalah 0,637
mengindikasikan bahwa model regresi adalah layak. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa sekitar 63,7% dari variasi dalam variabel dependen (Kepuasan Pelanggan
Keseluruhan) dapat dijelaskan oleh variabel independen (Dimensi Kualitas
Layanan).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen
yaitu:
1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan
konsumen ketika sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen
produk.
2. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan
maupun pesaing-pesaingnya.
3. Pengalaman dari teman-teman.
Sementara itu, setiap perusahaan yang memiliki kepentingan dalam
membentuk komunitas pelanggan yang puas serta telah berhasil membentuk fokus
pada kepuasan pelanggan, dijelaskan oleh Tjiptono dan Diana dalam Subroto dan
Yamit (2004), memiliki karakteristik sebagai berikut:
24
1. Visi dan Komitmen
2. Pensejajaran dengan pelanggan
3. Kemauan mengidentifikasi masalah pelanggan
4. Memanfaatkan informasi dari pelanggan
5. Mendekati pelanggan
6. Kemampuan, kesanggupan dan pemberdayaan karyawan
7. Penyempurnaan produk dan proses terus menerus
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan definisi kepuasan
konsumen yaitu tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja
produk yang dia rasakan dengan harapannya.
2.2.1. Komponen Kepuasan Pelanggan
Adisaputro, dkk (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh
premi dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan nasabah asuransi
pendidikan AJB Bumiputera 1912 KCE Semarang, didapatkan hasil
analisis bahwa sebesar 68,1% variasi atau perubahan yang terjadi pada
variabel kepuasan nasabah dipengaruhi oleh harga (premi) dan 31,9%
perubahan yang terjadi pada variabel kepuasan nasabah dipengaruhi oleh
variabel diluar harga. Sementara faktor pertama paling berpengaruh dalam
kepuasan nasabah adalah kualitas pelayanan yaitu sebesar 79,3%. Secara
garis besar hasil dari penelitian menunjukkan variabel premi (X1) dan
kualitas pelayanan (X2) mempunyai pengaruh positif terhadap variabel
kepuasan nasabah (Y) dengan nilai koefisien determinasi sebesar 80,9%
25
artinya bahwa premi dan kualitas pelayanan memberi pengaruh 80,9%
terhadap kepuasan nasabah.
Menurut Giese & Cote (2000) sekalipun banyak definisi kepuasan
konsumen, namun secara umum tetap mengarah kepada tiga komponen
utama, yaitu:
1. Respon: Tipe dan intensitas
Kepuasan konsumen merupakan respon emosional dan juga kognitif.
Intesitas responnya mulai dari sangat puas dan menyukai produk sampai
sikap yang apatis terhadap produk tertentu.
2. Fokus
Nilai standar ini secara langsung berhubungan dengan produk, konsumsi,
keputusan berbelanja, penjual dan toko.
3. Waktu Respon
Respon terjadi pada waktu tertentu, antara lain setelah konsumsi, setelah
pemilihan produk atau jasa, berdasarkan pengalaman akumulatif. Durasi
kepuasan mengarah kepada berapa lama respon kepuasan itu berakhir.
Hal yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan dapat dilihat
dari ukuran atau dimensi kepuasan pelanggan menurut Kotler dan Keller
(2012), yaitu:
1. Tetap setia
Konsumen yang terpuaskan cenderung akan menjadi setia atau loyal.
Konsumen yang puas terhadap produk yang dikonsumsinya akan
26
mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang
sama.
2. Membeli produk yang ditawarkan
Keinginan untuk membeli produk atau makanan lain yang ditawarkan
karena adanya keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dan
menghindari pengalaman yang buruk.
3. Merekomendasikan produk
Kepuasan merupakan faktor yang mendorong adanya komunikasi dari
mulut ke mulut (word of mouth communication) yang bersifat positif. Hal
ini dapat berupa rekomendasi kepada calon konsumen yang lain dan
mengatakan hal-hal yang baik mengenai produk dan perusahaan yang
menyediakan produk.
4. Bersedia membayar lebih
Konsumen cenderung menggunakan harga sebagai patokan kepuasan,
ketika harga lebih tinggi konsumen cenderung berfikir kualitas menjadi
lebih tinggi juga.
5. Memberi masukan
Walaupun kepuasan sudah tercapai, konsumen selalu menginginkan yang
lebih lagi, maka konsumen akan memberi masukan atau saran agar
keinginan mereka dapat tercapai.
27
Untuk dapat memuaskan kebutuhan pelanggan, perusahaan dapat
melakukan beberapa tahapan (Yamit, 2013) diantaranya 1.) mengetahui
kebutuhan dan keinginan pelanggan; 2.) mengetahui proses pengambilan
keputusan dalam membeli produk; 3.) membangun citra perusahaan; 4.)
membangun kesadaran akan pentingnya kepuasan pelanggan.
2.2.2. Ciri-Ciri Konsumen yang Puas
Engel (1990) dalam Tjiptono dan Chandra (2011) menyatakan bahwa
kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang
dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan,
ketidakpuasan muncul apabila hasil tidak memenuhi harapan.
Kotler (2000) menyatakan ciri-ciri konsumen yang puas ada tiga ciri,
yaitu loyal terhadap produk, adanya komunikasi dari mulut ke mulut yang
bersifat positif, dan perusahaan menjadi pertimbangan utama ketika
membeli merek lain.
2.2.3 Cara Mengukur Kepuasan Pelanggan
Hidayah (2015) meneliti permasalahan GAP kualitas layanan antara
persepsi dan harapan dari konsumen Asuransi Mitra Pelindung Mustika dan
dimensi kualitas layanan PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika yang perlu
menjadi prioritas dan harus dioptimalkan berdasarkan metode Importance
Performance Analysis (IPA). Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil
pengolahan data menggunakan metode SERVQUAL diperoleh nilai rata-rata
TSQ sebesar -0,702 yang berarti ada GAP antara harapan konsumen dengan
28
apa yang diberikan oleh penyedia jasa, karena angkanya berada dibawah 0
(negatif). Dengan adanya GAP tersebut maka diperlukan perbaikan-
perbaikan untuk meningkatkan kualitas layanan dari 5 dimensi yang diukur.
Dan berdasarkan metode IPA diperoleh hasil rata-rata performance sebesar
3,67 sedangkan untuk rata-rata nilai Importance yaitu sebesar 4,36. Setelah
dilakukan analisis kuadran diperoleh atribut yang perlu menjadi fokus utama
yang perlu dibenahi yaitu menambah SDM administrasi klaim, membuat
SOP yang lebih rinci mengenai waktu perbaikan kendaraan, dan membuat
standard perjanjian internal mengenai pergantian sparepart.
Djatmiko dan Sabrina (2015) meneliti pengaruh emphaty,
assurance, dan responsiveness terhadap kepuasan nasabah PT Prudential
Life Assurance. Dari hasil pengolahan data tanggapan responden
menunjukkan variabel kepuasan pelanggan memiliki 4 item pernyataan.
Item pernyataan mengenai kepuasan menjadi nasabah Prudential
berdasarkan pengalaman memiliki tanggapan paling tinggi dengan
presentase 82,9% dan yang memiliki tanggapan paling rendah 81,1% adalah
item pernyataan mengenai pelayanan asuransi telah memenuhi harapan
nasabah. Secara keseluruhan total tanggapan responden pada kepuasan
pelanggan ialah sebesar 81,09% yang masuk ke dalam kategori baik.
Menurut Kotler & Keller (2012) yang dikutip oleh Fandy ada
beberapa metode yang dipergunakan dalam mengukur kepuasan
pelanggannya, antara lain :
1. Sistem keluhan dan saran
29
Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada pelanggan wajib untuk
memberikan kesempatan bagi seluas-luasnya bagi para pelanggan untuk
menyampaikan saran, kritik, pendapat dan keluhan mereka. Informasi yang
didapatkan dari metode ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi
perusahaan sehingga memungkinkan untuk bereaksi dengan tanggap dan
cepat dalam mengatasi masalah yang timbul. Akan tetapi metode ini pasif,
sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran secara lengkap mengenai
kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yang tidak
puas mau menyampaikan keluhannya. Sangat mungkin bagi mereka untuk
langsung tidak mau membeli produk atau jasa dari perusahaan tersebut lagi.
1. Ghost / Mystery Shopping
Salah satu metode untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan
pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers
untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial terhadap
pembeli produk perusahaan dan produk perusahaan pesaing. Kemudian
mereka diminta untuk melaporkan temuan penting mengenai kekuatan dan
kelemahan dari produk/jasa perusahaan maupun produk/jasa perusahaan para
pesaing. Selain itu, para ghost shoppers juga dapat langsung melakukan
observasi cara perusahaan dan pesaingnya penanganan terhadap keluhan yang
ada baik oleh perusahaan yang bersangkutan maupun oleh pesaingnya
melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan pelanggan,
dan menangani setiap masalah dan keluhan pelanggan.
30
2. Lost Customer Analysis
Perusahaan akan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli
produk atau telah pindah pemasok, agar dapat memahami mengapa pelanggan
tersebut berpindah ke tempat lain dan dapat mengambil kebijakan /
penyempurnaan selanjutnya. Kesulitan dari meotde ini adalah pada
mengidentifikasi dan mengkontak mantan pelanggan yang bersedia
memberikan masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan.
3. Survei Kepuasan Pelanggan
Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan
metode survei baik melalui pos, telepon, email, website, maupun wawancara
langsung (Peterson&Wilson dalam Hermanto, 2009). Melalui survei
perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung
dari pelanggan dan juga memberikan kesan positif terhadap para
pelanggannya bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka.
2.2.4. Elemen Kepuasan Nasabah
Menurut Lupiyoadi, dkk (2008) ada beberapa aspek dalam
mengetahui kepuasan nasabah yakni:
1. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara pihak
manajemen dan pelanggan.
2. Perusahaan harus mampu membangun komitmen bersama untuk
menciptakan visi didalam perbaikan proses pelayanan.
3. Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan keluhan.
31
4. Mengembangkan dan menerapkan accountable, proactive, dan
partnership marketing sesuai dengan situasi pemasaran
Wilkie (1994) dalam Mardalis (2006) menyatakan bahwa terdapat
lima elemen dalam kepuasan nasabah yaitu:
1. Expectations
Harapan konsumen terhadap suatu barang atau jasa telah dibentuk sebelum
membeli barang atau jasa tersebut. Pada saat proses pembelian
dilakukanan, konsumen berharap bahwa barang atau jasa yang mereka
terima sesuai dengan harapan, keinginan dan keyakinan mereka. Barang
atau jasa yang sesuai dengan harapan konsumen akan menyebabkan
konsumen merasa puas.
2. Performance
Pengalaman konsumen terhadap kinerja aktual barang atau jasa ketika
digunakan tanpa dipengaruhi oleh harapan mereka. Ketika kinerja aktual
barang atau jasa berhasil maka konsumen akan merasa puas.
3. Comparison
Hal ini dilakukan dengan membandingkan harapan kinerja barang atau
jasa sebelum membeli dengan persepsi kinerja aktual barang atau jasa
tersebut. Konsumen akan merasa puas ketika harapan sebelum pembelian
sesuai atau melebihi perepsi mereka terhadap kinerja aktual produk.
4. Confirmation
32
Harapan konsumen dipengaruhi oleh pengalaman mereka terehadap
penggunaan merek dari barang atau jasa yang berbeda dari orang lain.
Confirmation terjadi bila harapan sesuai dengan kinerja aktual produk.
5. Disconfirmation
Disconfirmation adalah spengertian sebaliknya dari confirmation,
disconfirmation terjadi ketika harapan lebih tinggi atau lebih rendah dari
kinerja aktual produk. Konsumen akan merasa puas ketika
terjadi confirmation / discofirmation
Janjua dan Akmal (2014) dalam penelitian melakukan komparasi
terhadap asuransi konvensional dan syariah tentang pengaruh karakteristik
responden secara demografis terhadap tingkat kepuasan nasabah, tingkat
kepuasan nasabah atas kualitas pelayanan asuransi, dan tingkat
kepentingan nasabah dalam memilih asuransi. Hasil yang didapat dengan
menggunakan teknik Propensity Score Matching ditemukan bahwa
responden usia dewasa, memiliki penghasilan diatas 35.000 Rupee per
bulan, dan memiliki pekerjaan sebagai wirausaha lebih puas terhadap
asuransi konvensional. Sedangkan kategori sebaliknya lebih puas terhadap
asuransi syariah. Baik asuransi konvensional maupun syariah memiliki
gap dalam persepsi dan ekspektasi kualitas pelayanan nasabah. Namun
perbedaan signifikan terdapat pada variabel compliance, dimana nasabah
asuransi syariah lebih puas daripada nasabah asuransi konvensional. Dan
responden menunjukkan bahwa faktor pemenuhan keinginan (compliance)
dan agama menjadi prioritas dalam memilih asuransi syariah, sedangkan
33
pada asuransi konvensional responden memilih alasan kemudahan akses
serta nilai pengembalian sebagai tingkat kepentingan yang lebih besar.
2.3. Teori Loyalitas Nasabah
Persaingan yang semakin hebat antara institusi penyedia produk
belakangan ini bukan hanya disebabkan globalisasi. Tetapi lebih disebabkan
karena pelanggan semakin cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang
memaafkan, dan didekati oleh banyak produk. Kemajuan teknologi komunikasi
juga ikut berperan meningkatkan intensitas persaingan, karena memberi
pelanggan akses informasi yang lebih banyak tentang berbagai macam produk
yang ditawarkan. Artinya pelanggan memiliki pilihan yang lebih banyak dalam
menggunakan uang yang dimilikinya.
Kotler, Hayes dan Bloom (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa
suatu institusi perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya. Pertama: pelanggan
yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan loyal akan memberi keuntungan
besar kepada institusi. Kedua: biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar
berbanding menjaga dan mempertahankan pelanggan yang ada. Ketiga: pelanggan
yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam
urusan lainnya. Keempat: biaya operasi institusi akan menjadi efisien jika
memiliki banyak pelanggan loyal. Kelima: institusi dapat mengurangkan biaya
psikologis dan sosial dikarenakan pelanggan lama telah mempunyai banyak
pengalaman positif dengan institusi. Keenam: pelanggan loyal akan selalu
membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran kepada
orang lain untuk menjadi pelanggan.
34
Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang
terhadap suatu objek. Mowen dan Minor (1998) dalam Mardalis (2005)
mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi di mana pelanggan mempunyai sikap
positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan
bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Loyalitas
menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek tertentu
dengan tingkat konsistensi yang tinggi (Dharmmesta, 1999 dalam Mardalis,
2005). Ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan
pembelian aktual.
Definisi loyalitas dari pakar yang disebutkan di atas berdasarkan pada dua
pendekatan, yaitu sikap dan perilaku. Dalam pendekatan perilaku, perlu dibedakan
antara loyalitas dan perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai
perilaku pelanggan yang hanya membeli suatu produk secara berulang-ulang,
tanpa menyertakan aspek perasaan dan pemilikan di dalamnya. Sebaliknya
loyalitas mengandung aspek kesukaan pelanggan pada suatu produk. Ini berarti
bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya.
2.4. Teori Asuransi Kerugian
Menurut Darmawi (2004) pengertian asuransi kerugian adalah “Asuransi
Kerugian adalah asuransi yang hanya boleh menyelenggarakan usaha dalalm
bidang asuransi kerugian termasuk reasuransi, yaitu penanggulangan risiko atas
harta kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum, serta program asuransi
sosial.”
35
Sedangkan pengertian asuransi kerugian menurut Sensi (2006) adalah
“Membantu menanggung risiko yang dipikul perusahaan, individu maupun
perusahaan asuransi lain. Dan sebagai balas jasa, perusahaan asuransi kerugian,
menerima premi sedangkan pihak tertanggung memperoleh perlindungan
(protection) apabila terjadi atau mengalami suatu kerugian atau klaim.”
Dari penelitian-penelitian sebelumnya, tampak ada hubungan antara
kepuasan nasabah dan loyalitas nasabah. Serta terdapat dimensi-dimensi yang
perlu diukur dalam kepuasan nasabah. Rata-rata peneliti menggunakan lima
dimensi dalam mengukur kepuasan, yaitu tangibility, reliability, responsiveness,
assurance dan empathy.
2.5. Kerangka Pikir Penelitian
Kepuasan NasabahGambar 2.5 Kerangka Pikir Penelitian
2.6. Hipotesis
Dalam penelitian ini terdapat hipotesis:
Tangibility (X1)
Reliability (X2)
Assurance (X3)
Responsiveness (X4)
Empathy (X5)
Loyalitas Nasabah (Y)
36
H1 : Kepuasan atas dimensi Tangibility berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H2 : Kepuasan atas dimensi Reliability berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H3 : Kepuasan atas dimensi Responsiveness berpengaruh terhadap loyalitas
nasabah pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H4 : Kepuasan atas dimensi Assurance berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H5 : Kepuasan atas dimensi Empathy berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H6 : Kepuasan atas dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance,
dan empathy berpengaruh secara simultan terhadap loyalitas nasabah PT
Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.