bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 ......pembelajaran ipa yang dilaksanakan bagi siswa sd...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran IPA di SD
2.1.1.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu pengetahuan alam adalah pengetahuan yang rasional dan objektif
tentang alam semesta dengan segala isinya (Hendro Darmojo, 1992:3). Selain itu,
Nash 1993 (dalam Hendro Darmojo, 1992:3 dalam bukunya The Nature of
Science), menyatakan bahwa “IPA adalah suatu cara atau metode untuk
mengamati alam. IPA membahasa tentang gejala-gejala alam yang disusun secara
sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan
manusia”. Menurut Powler (dalam Winaputra, 1992:122) bahwa “IPA merupakan
ilmu yang berhubungan dengan gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang
tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi
dan eksperimen, artinya pengetahuan itu tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri
sendiri, satu dengan yang lainnya saling berkaitan”. Sedangkan menurut Kardi
dan Nur (Trianto 2010:136) “IPA adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk
hidup maupun benda mati yang diamati. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa IPA adalah suatu pengetahuan yang sistematis mengenai pengamatan
makhluk hidup maupun benda mati”.
Menurut Abruscato, Joseph dan Derosa, Donald A (2010:6) mengartikan
bahwa sains adalah:
(1) Sains adalah sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara
sistematik tentang dunia sekitar.
(2) Sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan tertentu.
(3) Sains dicirikan oleh nilai-nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan
proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan.
Dengan kata lain Sains adalah proses kegiatan yang dilakukan para saintis
dalam memperoleh pengetahuan dan sikap terhadap proses kegiatan tersebut
(sikap ilmiah).
9
Menurut Patta Bundu (2006:11) sains secara garis besar atau pada
hakikatnya IPA memiliki tiga komponen, yaitu proses ilmiah, produk ilmiah, dan
sikap ilmiah. Proses ilmiah adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
menemukan produk ilmiah. Proses ilmiah meliputi prinsip, konsep, hukum, dan
teori. Produk ilmiah berupa pengetahuan-pengetahuan alam yang telah ditemukan
dan diuji secara ilmiah. Sikap ilmiah merupakan keyakinan akan nilai yang harus
dipertahankan ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru. Sikap
ilmiah meliputi ingin tahu, hati-hati, obyektif, dan jujur.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa IPA menurut hakikatnya
adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan baru yang berupa produk ilmiah
dan sikap ilmiah melalui suatu kegiatan yang disebut proses ilmiah. Siapapun
yang akan mempelajari IPA haruslah melakukan suatu kegiatan yang disebut
sebagai proses ilmiah. Seorang dapat menemukan pengetahuan baru dan
menanamkan sikap yang ada dalam dirinya melalui proses ilmiah tersebut.
2.1.1.2 Hakikat IPA di SD
Hamalik (2009) mengemukakan: Pembelajaran adalah suatu kombinasi
yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan,
dan prosedur yang saling mempengaruhui mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan pendapatnya sebelumnya, maka pembelajaran merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis yang diawali dengan persiapan
mengajar (prainstruksional), proses pembelajaran (instruksional) dan diakhiri
penilaian atau evaluasi.
Kunci pokok pembelajaran ada pada guru (pengajar), tetapi bukan berarti
hanya guru yang aktif sedang murid pasif. Pembelajaran menurut keaktifan kedua
belah pihak yang sama-sama menjadi subjek pembelajaran agar proses
pembelajaran dapat berlangsung optimal dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Paolo dan Marten dalam Srini M. Iskandar (2007:15) IPA untuk
anak-anak didefinisikan mengamati apa yang terjadi, mencoba memahami apa
yang diamati, menggunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan
terjadi, dan menguji ramalan-ramalan dibawah kondisi untuk melihat apakah
10
ramalan tersebut benar. Jadi IPA berguna untuk menuntun anak berfikir secara
ilmiah dari kejadian alam yang terjadi disekitarnya.
Selain itu, Srini M. Iskandar (2008:16) menyampaikan beberapa alasan
pentingnya mata pelajaran IPA yaitu, “IPA berguna bagi kehidupan atau
pekerjaan anak dikemudian hari, bagian kebudayaan bangsa, melatih anak berfikir
kritis, dan mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi dapat
membentuk pribadi anak secara keseluruhan”.
Menurut Hendro Darmojo dan Jenny R.E. Kaligis (2008:6) “tujuan
pengajaran IPA bagi sekolah dasar adalah memahami alam sekitar, memiliki
keterampilan untuk mendapatkan ilmu (keterampilan proses) dan metode ilmiah,
memiliki sikap ilmiah di dalam mengenal alam sekitarnya dan memecahkan
masalah yang dihadapinya, dan memiliki bekal pengetahuan dasar yang
diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi”.
Pembelajaran IPA yang dilaksanakan bagi siswa SD harus memenuhi
hakikat IPA. Hakikat IPA memiliki tiga komponen, yaitu sains sebagai produk,
sains sebagai proses, dan sains sebagai sikap ilmiah (Patta Bundu,2006:11). Jadi
pembelajaran IPA melingkupi hakikat IPA yang memiliki tiga komponen tersebut.
Selain itu, pelajaran IPA dalam pengembangannya untuk anak usia SD harus
disesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan kognitifnya.
Pembelajaran IPA harus menerapkan proses ilmiah. Pembelajaran harus
berlangsung menggunakan proses-proses yang telah digunakan oleh para ilmuwan
IPA. Proses-proses tersebut dinamakan keterampilan proses. Untuk siswa SD,
keterampilan proses dapat dikembangkan dengan mengembangkan keterampilan
mengamati, mengelompokkan, mengukur, mengkomunikasikan, meramalkan, dan
menyimpulkan.
Pembelajaran yang menerapkan proses ilmiah akan membentuk suatu
sikap yang disebut sikap ilmiah. Agar pengetahuan IPA yang didapat adalah
pengetahuan ynag benar, maka siswa-siswi harus menerapkan sikap ilmiah. Sikap
ilmiah tersebut meliputi ingintahu, hati-hati, obyektif, dan jujur.
11
2.1.1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup IPA di SD
Berdasarkan tujuan yang tercantum dalam kurikulum Sekolah Dasar
disebutkan bahwa pengajaran IPA Sekolah Dasar mempunyai tujuan antara lain
agar siswa memahami konsep-konsep, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi,
mampu menggunakan teknologi sederhana dan sebagainya, memberikan inspirasi
pada kita bahwa pengajaran IPA Sekolah Dasar tidak hanya menanamkan konsep-
konsep IPA tetapi juga melibatkan siswa secara fisik maupun mental dalam
mendapatkan atau dalam membangun konsep dewasa ini. Menurut Hendro
Darmojo :1992 ( dalam Usman, 2011:2) secara singkat IPA adalah pengetahuan
yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Selanjutnya
Winaputra (dalam Usman, 2011:3) mengemukakan bahwa tidak hanya merupakan
kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi memerlukan
kerja, cara berfikir, dan cara memecahkan masalah. Perkembangan dalam
pengajaran IPA Sekolah Dasar mengalami pergeseran dari pembelajaran berpusat
pada guru (Teachaer Centered) kearah pembelajaran berpusat pada murid
(Student’s Centered), dimana pada pembelajaran Student’s Centered siswa terlibat
secara aktif dalam pembelajaran. Sehingga hasil belajar yang diharapkan bisa
tercapai secara optimal.
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
a. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis.
c. Bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri
oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat
hafalan belaka.
d. Mata pelajaran IPA mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu dapat
membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.
e. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
12
f. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
g. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam.
Ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek
berikut:
a. Gerak Benda meliputi: cara benda bergerak dan faktor-faktor yang
mempengaruhi gerak benda.
b. Energi dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Sehari-hari, meliputi: berbagai
macam energi dan pengaruhnya, sumber energi dan kegunaannya, serta
cara menghemat energi.
c. Proyek sains, meliputi: mengubah energi angin menjadi energi gerak serta
mengubah energi air menjadi energi gerak.
d. Kenampakan permukaan bumi, meliputi: bentuk permukaan bumi dan
bentuk bumi.
e. Cuaca dan pengaruhnya bagi manusia, meliputi: kondisi cuaca, simbol
kondisi cuaca, pengaruh keadaan awan terhadap kondisi cuaca, pengaruh
cuaca terhadap kegiatan manusia serta jenis pakaian dan makanan.
f. Pemanfaatan sumber daya alam, meliputi: pemanfaatan sumber daya alam
dan melestarikan alam.
Di dalam pembelajaran IPA banyak sekali materi yang dapat diajarkan dan
dipelajari oleh siswa. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pokok
bahasan mengenai cuaca dan pengaruhnya bagi manusia. Berikut ini
merupakan SK dan KD IPA pada pokok bahasan cuaca dan pengaruhnya bagi
manusia pada kelas 3 semester II.
13
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
6. Memahami kenampakan permukaan bumi,
cuaca danpengaruhnya bagi manusia,
serta hubungannya dengancara manusia
memeliharadan melestarikan alam
6.1 Mendeskripsikan
kenampakan
permukaan bumi di
lingkungan sekitar
6.2 Menjelaskan
hubungan antara
keadaan awan dan
cuaca
6.3 Mendeskripsikan
pengaruh cuaca bagi
kegiatan manusia
6.4 Mengidentifikasi
cara manusia dalam
memelihara dan
melestarikan alam
di lingkungan
sekitar
Standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah:
1) Standar Kompetensi
Memahami kenampakan permukaan bumi, cuaca dan pengaruhnya bagi
manusia,serta hubungannya dengan cara manusia memeliharadan
melestarikan alam.
2) Kompetensi Dasar
Menjelaskan hubungan antara keadaan awan dan cuaca.
3) Materi Standar
Bumi dan alam semesta, terdiri dari hubungan keadaan langit dan cuaca.
14
2.1.2 Hakikat Belajar IPA di SD
2.1.2.1Hakikat Belajar
Menurut Slameto dalam Hamdani (2010: 20), “belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.
Dalam kaitan ini, proses belajar dan perubahan merupakan bukti hasil yang
diproses. Belajar tidak hanya mempelajari mata pelajaran tetapi juga penyusunan,
kebiasaan, persepsi, kesenangan atau minat, penyesuaian sosial, bermacam-
macam keterampilan lain,dan cita-cita. Dengan demikian, seseorang dikatakan
belajar apabila terjadi perubahan pada dirinya akibat adanya latihan dan
pengalaman melalui interaksi dengan lingkungan.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang
dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat
nanti.salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan
tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik
perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor)
maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Belajar bukan menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan
sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
berubah pengetahuannya, pamahamannya, sikap dan tingkah lakunya,
keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya
penerimanya dan lain-lain aspek yang ada pada individu.
Selain itu belajar merupakan cara atau praktik untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari berkenaan dengan proses pemahaman materi ajar
yang melibatkan keseluruhan indra sebagai alat penangkap dan penerima
sekaligus pemproses hingga menimbulkan kesan mendalam yang berakibat pada
perubahan tingkat kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perubahan yang terjadi
sebagai pengaruh langsung pada interaksi belajar antara siswa, guru, dan bahan
ajar. Siswa sebagai peserta belajar, sedangkan guru dan bahan ajar merupakan
15
komponen sumber belajar dan didalam proses belajar terdapat berbagai kondisi
yang dapat menetukan keberhasilan belajar.
Ada beberapa ciri-ciri belajar seperti dikutip oleh Darsono dalam Hamdani
(2010:22) adalah sebagai berikut:
a. Belajar dilakukan dengan sadar dan mempunyai tujuan. Tujuan ini
digunakan sebagai arah kegiatan, sekaligus tolok ukur keberhasilan
belajar.
b. Belajar merupakan pengalaman sendiri, tidak dapat diwakilkan kepada
orang lain. jadi, belajar bersifat individual.
c. Belajar merupakan proses interaksi antara individu dan lingkungan. Hal ini
berarti individu harus aktif apabila dihadapkan pada lingkungan tertentu.
Keaktifan ini dapat terwujud karena individu memiliki berbagai potensi
untuk belajar.
d. Belajar mengakibatkan terjadinya perubahan pada diri orang yang belajar.
Perubahan tersebut bersifat integral, artinya perubahan dalam aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor yang terpisahkan satu dengan yang
lainnya.
Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan
kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin
dicapai. Untuk meningkatkan hasil belajar, guru harus memperhatikan kondisi
atau situasi yang ada dalam diri siswa, seperti kesehatan, keterampilan,
kemampuan, dan sebagainya. Kondisi eksternal adalah kondisi yang ada di luar
diri pribadi siswa, misalnya ruang belajar yang bersih, sarana dan prasana belajar
yang memadai, dan sebagainya.
16
2.1.2.2 Belajar IPA di SD
IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat
pendidikan IPA menjadi penting. Keterampilan proses sains didefinisikan oleh
“Paolo dan Marten (dalam Carin, 1993: 5) adalah: (1) mengamati, (2) mencoba
memahami apa yang diamati, (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk
meramalkan apa yang terjadi, (4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-
kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar”.
Selanjutnya Paolo dan Marten juga menegaskan bahwa dalam IPA tercakup
juga coba-coba dan melakukan kesalahan, gagal dan mencoba mencoba lagi. Ilmu
Pengetahuan Alam tidak menyediakan semua jawaban untuk semua masalah yang
kita ajukan. Dalam IPA anak-anak dan kita harus tetap bersikap skeptis sehingga
kita selalu siap memodifikasi model-model yang kita punyai tentang alam ini
sejalan dengan penemuan-penemuan yang baru yang kita dapatkan.
Aspek pokok dalam pembelajaran IPA adalah anak dapat menyadari
keterbatasan pengetahuan mereka, memiliki rasa ingin tahu untuk menggali
berbagai penegtahuan baru, dan akhirnya dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan mereka. Ini tentu saja sangat ditunjang dengan perkembangan dan
meningkatnya rasa ingin tahu anak, cara anak mengkaji informasi, mengambil
keputusan, dan mencari berbagai bentuk aplikasi yang paling mungkin diterapkan
dalam diri dan masyarakatnya. Bila pembelajaran IPA diarahkan dengan tujuan
seperti ini, diharapkan bahwa pendidikan IPA sekolah dasar dapat memberikan
sumbangan yang nyata dalam memberdayakan anak.
Beberapa aspek penting yang dapat diperhatikan guru dalam
memberdayakan anak melalui pembelajaran IPA adalah:
(1) Pentingnya memahami bahwa pada saat memulai kegiatan pembelajarannya, anak
telah memiliki berbagai konsepsi, penegtahuan yang relevan dengan apa yang
mereka pelajari.
(2) Aktivitas anak melalui berbagai kegiatan nyata dengan alam menjadi hal utama
dalam pembelajaran IPA.
(3) Pembelajaran IPA memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan
kemampuan berfikirnya dalam menjelaskan suatu masalah.
17
Pada pembelajaran IPA sekolah dasar diperlukan pengetahuan dasar
mengenai konsep yang terkandung dalam setiap unit pelajaran. Sebelum
pembelajaran dimulai sudah barang tentu, guru IPA memberitahu kepada peserta
didik tujuan yang diharapkannya, yang kemudian akan menjadi capaian setelah
pelajran selesai.
2.1.3 Hasil Belajar IPA di SD
2.1.3.1 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran
di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan
secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut
dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil
belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar
kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak
belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di akhiri dengan
proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 3).
Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito (dalam
Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai
dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri
orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk.
(2010: 18) menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan telah berhasil dalam
belajar jika ia mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan-
perubahan tersebut di antaranya dari segi kemampuan berpikirnya,
keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek.
Jika dikaji lebih mendalam, maka hasil belajar dapat tertuang dalam
taksonomi Bloom, yakni dikelompokkan dalam tiga ranah (domain) yaitu domain
kognitif atau kemampuan berpikir, domain afektif atau sikap, dan domain
psikomotor atau keterampilan. Sehubungan dengan itu, Gagne (dalam Sudjana,
2010: 22) mengembangkan kemampuan hasil belajar menjadi lima macam antara
18
lain: (1) hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem
lingsikolastik; (2) strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir
seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan memecahkan
masalah; (3) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional
dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku
terhadap orang dan kejadian; (4) informasi verbal, pengetahuan dalam arti
informasi dan fakta; dan (5) keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi
untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.
Untuk mengetahui hasil belajar seseorang dapat dilakukan dengan
melakukan tes dan pengukuran. Tes dan pengukuran memerlukan alat sebagai
pengumpul data yang disebut dengan instrumen penilaian hasil belajar. Menurut
Wahidmurni, dkk(2010: 28), instrumen dibagi menjadi dua bagian besar, yakni tes
dan non tes. Selanjutnya, menurut Hamalik (2006: 155), memberikan gambaran
bahwa hasil belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh
siswa setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Hasil belajar tampak terjadinya
perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui
perubahan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya
peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan
sebelumnya.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang hasil belajar dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya
salah satu aspek potensi kemanusiaan saja (mencakup aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik). Hasil belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau
kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan
pembentukan makna dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar.
Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut. Jadi
siswa memiliki tanggung jawab akhir atas belajar mereka sendiri.
19
2.1.3.2 Hasil Belajar IPA di SD
Hasil belajar merupakan hal yang penting untuk dijadikan tolok ukur tingkat
keberhasilan siswa dalam proses belajar. Endang Poerwanti (2008)
mengungkapkan bahwa hasil belajar IPA di SD meliputi tiga ranah (domain),
yaitu (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa
dan kecaerdasan logika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup
kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intra pribadi, dengan kata lain kecerdasan
emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup
kecerdasan kinestik, kecerdasan visual, dan kecerdasan musikal).
Menurut A. Supratiknya (dalam Agus Suprijono, 2012: 5), hasil belajar
yang menjadi objek penilaian kelas berupa kemampuan-kemampuan baru yang
diperoleh murid sesudah mereka mengikuti proses belajar mengajar tentang mata
pelajaran tertentu. Horward Kingsley (dalam Nana Sudjana, 2010:22) membagi
tiga macam hasil belajar, yaitu (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) penegtahuan
dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat
diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dengan kurikulum.
2.1.3.3Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Banyak faktor yang mempengaruhi belajar seseorang. Menurut Slameto
(2003:56) lebih rinci menggolongkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
belajar ke dalam dua jenis yaitu:
a. Faktor Intern yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar.
Faktor intern, terbagi ke dalam tiga faktor:
1) Faktor jasmaniah, terdiri atas: faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh.
2) Faktor psikologis, meliputi: intelligensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan, kesiapan.
3) Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.
20
b. Faktor Ekstern yaitu faktor yang ada diluar individu.
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapat dikelompokkan
menjadi 3 faktor yaitu:
1) Faktor keluarga, seperti: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar
belakang kebudayaan.
2) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar , kurikulum, relasi guru dengan
siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah,
standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah.
3) Faktor masyarakat, diantaranya: kegiatan siswa dalam masyarakat, teman
bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut Sudjana (1989: 39) hasil belajar yang dicapai siswa
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor
yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor yang datang dari diri
siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar
sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Selain faktor dari dalam
diri siswa faktor yang berada di luar diri siswa dapat menetukan dan
mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Salah satu lingkungan belajar yang
paling dominan mempengaruhi hasil belajar disekolah adalah kualitas pengajaran
artinya tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam
mencapai tujuan pengajaran.
21
2.1.4 Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match (Mencari Pasangan )
2.1.4.1 Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran dapat dikatakan sebagai hasil dari memori, kognisi, dan
metakognisi yang berpengaruh terhadap pemahaman. Hal inilah yang terjadi
ketika seseorang sedang belajar, dan kondisi ini juga sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, karena belajar merupakan proses alamiah setiap orang.
Wenger (1998:227; 2006:1) mengatakan, “ pembelajaran bukanlah aktivitas,
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika ia tidak melakukan aktivitas yang
lain. pembelajaran juga bukanlah sesuatu yang berhenti dilakukan oleh seseorang.
Lebih dari itu, pembelajaran bisa terjadi dimana saja dan pada level yang berbeda-
beda, secara individual, kolektif, ataupun sosial.
Menurut Suprijono (2009: 54), pembelajaran kooperatif adalah konsep
yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk
yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum
pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru
menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyan serta menyediakan bahan-bahan dan
informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik dalam menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi.
Selain itu pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara sadar dan
sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan,
sebagai latihan hidup di masyarakat. Pembelajaran kooperatif ini merupakan salah
satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis. Dalam
pembelajaran kooperatif diterapkan strategi belajar dengan jumlah siswa sebagai
anggota anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuanyya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota kelompok harus saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran ini, belajar
dikatakan belum menguasai bahan pelajaran.
22
2.1.4.2 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang ada di dalamnya
terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen pembelajaran
kooperatif menurut Lie dalam Mulyono (2011: 31) adalah sebagai berikut:
a. Saling ketergantungan positif
Pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa
merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang
dimaksud dengan saling memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang
optimal. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: (1) saling
ketergantungan pencapaian tujuan; (2) saling ketergantungan dalam
menyelesaikan tugas; (3) saling ketergantungan bahan atau sumber; (4) saling
ketergantungan peran, dan (5) saling ketergantungan hadiah.
b. Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling
bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan
guru, tetapi juga dengan sesama siswa.
c. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman,
mengkritik ide dan bukan mengkritik teman , berani mempertahankan pikiran
logis.
2.1.4.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match ( Mencari Pasangan)
Model pembelajaran make a match (Mencari Pasangan) merupakan salah
satu jenis dari model dalam pembelajaran kooperatif (Rusman: 2011). Bentuk
diskusi dengan mencari pasangan adalah bentuk pembelajaran yang dilaksanakan
di dalam kelas sambil bermain dengan teman, pada suasana yang menyenangkan
tetapi mengena dan sampai pada sasaran, karena siswa berkompetisi untuk lebih
cepat menemukan pasangannya dari kartu atau jawaban yang dibawa masing-
masing siswa. Peserta didik yang mendapat kartu soal mencari peserta didik yang
mendapat kartu jawaban yang cocok, demikian pula sebaliknya. Salah satu
keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai
suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
23
Menurut Suprijono (2012), hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam jika
pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Teknik ini
bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak
didik (Nana Sudjana, 2013: 54).
Model pembelajaran Make a Match atau mencari pasangan, guru
menyiapkan kartu yang berisi persoalan atau permasalahan dan kartu yang berisi
jawaban dari persoalan tersebut. Kemudian guru membagikan kartu tersebut
kepada siswa. Bagi siswa yang mendapatkan kartu soal maka dia harus
memikirkan apa jawabannya sedangkan yang mendapat kartu berisi jawaban maka
dia harus memikirkan soal apa yang jawabannya ada di kartu itu. Setelah siswa
diberi waktu untuk berfikir, siswa mencari pasangannya dengan waktu yang
ditentukan guru. Siswa yang berhasil mencocokan dengan cepat dan benar akan
mendapatkan poin atau nilai, kartu dikumpulkan lagi dan dikocok untuk babak
berikutnya. Pembelajaran berikutnya seperti babak pertama, kemudian
penyimpulan, evaluasi, dan refleksi.
Model pembelajaran Make a Match merupakan model yang melibatkan
siswa ke dalam kelompok pembelajaran secara berkolaborasi, dengan
mencocokan kartu soal dan kartu jawaban untuk mencapai tujuan bersama. Model
ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi kepada siswa lan
yang berbeda latar belakang. Hal ini akan membantu siswa mengembangkan
keterampilan mereka di lingkungan masyarakat sekitar, baik di lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah.
2.1.4.4 Langkah-langkah Penerapan Model Make A Match
Model pembelajaran mencari pasangan ini dikembangkan oleh Curran
tahun 1994 dalam Asikin (2009: 24) yang mempunyai langkah-langkah dalam
pembelajarannya. Langkah-langkah penerapan model mencari pasangan (Make A
Match) dalam Mulyatiningsih (2011: 233) adalah sebagai berikut:
a. Guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu
c. Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang
24
d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (soal jawaban)
e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu akan
diberi poin
f. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya
g. Demikian seterusnya
h. Kesimpulan/ penutup
2.1.4.5 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Tipe Make A Match
Model Make A Match atau mencari pasangan dapat digunakan untuk
membangkitkan aktivitas peserta didik dan cocok digunakan dalam bentuk
permainan karena didalam pembelajaran peserta didik kut aktif dalam proses
pembelajaran mengenai materi yang diajarkan. Selain itu, siswa menjadi lebih
senang dan tertarik untuk belajar. Keunggulan dari model Make A Match ialah:
a. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik.
b. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran.
c. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa.
d. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
e. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
Di samping manfaat yang dimiliki, model make a match juga memiliki
kekurangan seperti:
a) diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan, waktu yang
digunakan perlu dibatasi agar tidak terlalu banyak bermain-main,
b) Pada awal-awal penerapan model, banyak siswa yang akan malu
berpasangan dengan lawan jenisnya.
c) Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang
kurang memerhatikan pada saat presentasi pasangan.
d) Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa
yang tidak mendapat pasangan.
Solusi dari kelemahan model Make A Match adalah:
25
a. Sebelum melakukan model ini guru membuat kesepakatan dengan siswa
supaya siswa tertib dan tidak ramai.
b. Guru menguasai kelas dan pandai mengatur situasi (misal siswa masih ramai
guru memotivasi/ mengatur siswa menjadi tertib kembali, setelah tertib pelajaran
dimulai lagi).
c. Peneliti meluangkan waktu untuk mempersiapkan kartu-kartu yang berisi topik
yang akan dibahas terlebih dahulu sebelum pertemuan.
2.1.5 Media Gambar
Media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Gagne (1970)
menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan
siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Asosiasi Pendidikan Nasional
mengaitkan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun
audiovisual serta peralatannya (dalam Arief S: 2008). Drs. Arief S. Sadiman, M.
Sc mengungkapkan media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa
sehingga proses belajar terjadi.
Dari berbagai pendapat mengenai media, dapat disimpulkan media adalah
segala bentuk alat perantara/ penyalur pesan dari pengirim ke penerima yang
dapat merangsang siswa untuk belajar. Dengan adanya media diharapkan
informasi yang disampaikan guru akan lebih teliti, jelas dan menarik minat serta
perhatian siswa terhadap materi yang dipelajari. Media sebagai salah satu sumber
belajar yang dapat digunakan guru untuk menunjang proses belajar mengajar agar
tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Karakteristik media ini
sebagaimana dikemukakan oleh Kemp (1975) merupakan dasar pemilihan media
sesuai dengan situasi belajar tertentu.
Diantara media pendidikan gambar adalah media yang paling umum dipakai.
Gambar merupakan media yang dapat dimengerti dan dinikmati dimana-mana.
26
Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai
berikut (Sadiman dkk, 2008: 17):
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam
bentuk kata-kata tertulis atau tulisan belaka).
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
3) Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi
sikap pasif anak didik.
4) Sifatnya konkret, gambar lebih realistis menunjukkan pokok masalah
dibandingkan dengan media verbal semata.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut media gambar mempunyai beberapa
kelemahan yaitu (Sadiman, 2008: 31):
1) Gambar hanya menekankan persepsi indera mata.
2) Gambar benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan
pembelajaran.
3) Ukurannya sangat terbatas untuk kelompok besar.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini juga didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Sri Rejeki yang berjudul, “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V
Pada Mata Pelajaran IPA Melalui Model Pembelajaran Make A Match di SDN 2
Segonwetan Semester II Tahun 2009/2010”, menyimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif Make A Match mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pada ulangan
harian awal rata-rata hasil belajar siswa mencapai 66, siklus I rata-rata 78, dan
siklus II rata-rata 88.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Edi Sukirso yang berjudul, “Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar PKN Melalui Teknik Make A Match Pada Siswa
Kelas IV SD Negeri 1 Kradenan Semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011”,
hasilnya menunjukkan bahwa prestasi belajar PKN meningkat yang pada awal
sebelum menggunakan teknik Make A Match nilai rata-ratanya hanya 54,5. Pada
siklus I nilai rata-rata naik menjadi 77 dan siklus II nilai rata-ratnya menjadi 84.
27
Penelitian yang saya lakukan berjudul, “Upaya Meningkatkan Hasil
Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Dengan
Media Gambar Siswa Kelas III SD Negeri Purworejo Kecamatan Suruh
Kabupaten Semarang Semester II Tahun 2014/2015”, menyimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe Make A Match mampu meningkatkan hasil belajar
siswa. Pada ulangan harian awal rata-rata hasil belajar siswa mencapai 60, siklus I
rata-rata 70,6, dan siklus II rata-rata 80.
2.3 Kerangka Pikir
Hasil belajar SD Negeri Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten
Semarang memang tergolong masih rendah. Hal ini terbukti dari hasil wawancara
peneliti dengan guru kelas yang menyatakan bahwa beliau kesulitan dalam
menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan setiap mata pelajaran yang
sedang diajarkan. Siswa kelas III SD Negeri Purworejo Kecamatan Suruh
Kabupaten Semarang masih merasakan bahwa IPA itu merupakan mata pelajaran
yang sulit untuk dipahami dan sangat membosankan. Hal ini bisa dikarenakan
guru kurang mampu menggunakan model dan alat peraga yang sesuai dengan
Mata pelajaran IPA saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam penyampaian
pembelajaran guru hanya berceramah, sehingga pembelajaran hanya berpusat
kepada guru sedangkan siswa hanya pasif saat pembelajaran berlangsung.
Cara belajar yang baik bukan hanya dengan mendengarkan saja,tetapi juga
butuh kreativitas dalam belajar. Hal ini akan berpengaruh pada hasil belajar.
Interaksi antara guru dengan murid juga masih kurang, yang akan menyebabkan
siswa tidak tertarik dengan apa yang dipelajari. Melihat permasalahan yang ada di
sini saya akan mencoba mangganti model pembelajaran yang hanya berpusat
kepada guru dengan menggunakan Model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match.
Model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match merupakan slah satu
model pembelajaran kooperatif sebagai alternatif bagi guru dalam mengajar siswa
dengan variasi diskusi kelompok yang ciri khasnya adalah guru membagikan
kartu soal dan kartu jawaban pada semua siswa kemudian siswa mencari
28
pasangannya sesuai kartu yang didapat. Cara ini menjamin keterlibatan total
semua siswa dan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab
individual dalam diskusi kelompok. Dengan adanya keterlibatan total semua siswa
tentunya akan berdampak positif terhadap hasil belajar IPA.
KERANGKA PIKIR
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir Penelitian
Guru masih
menggunakan
cara
konvensional,
penggunaan
metode kurang
sesuai
Siswa pasif
dalam
pembelajaran,
kurang tertarik
dengan materi
pembelajaran,
tidak berani
untuk bertanya.
Hasil belajar
tidak
maksimal/belum
mencapai KKM
(kurang dari 70)
Memahami konsep
cuaca dan pengaruhnya
bagi manusia melalui
gambar
Pemberian tugas
mencari pasangan kartu
soal/ jawaban
Pelaporan hasil
kerjasama pasangan di
depan kelas
Membangun konsep
sesuai kompetensi yang
akan dicapai.
Guru menerapkan model Make A
Match dengan media media gambar
dalam pembelajaran IPA
Hasil belajar
meningkat ( > 70)
Tindakan
Siswa aktif dalam
pembelajaran, siswa tertarik
dengan materi yang diajarkan,
berani untuk bertanya.
29
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka pikir yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan
hipotesis penelitian ini sebagai berikut: penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe Make A Match dapat meningkatkan hasil belajar IPA kelas III SD Negeri
Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran
2014/2015.