bab ii judul baru edit 1
TRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Persalinan sectio caesarea
a. Definisi
Persalinan adalah suatu proses fisiologik yang memungkinkan serangkaian
perubahan yang besar pada ibu untuk dapat melahirkan janinnya melalui jalan lahir
atau jalan lain yang disebabkan dapat memberikan dampak buruk bagi ibu dan
janin jika proses melahirkan melalui jalan lahir (Hacker & Moore, 2001).
Persalinan sectio caesarea dapat menjadi tindakan alternatif jika proses
persalinan secara normal memberikan dampak buruk bagi ibu dan janinnya. Sectio
caesarea adalah penanganan yang tepat untuk gangguan janin yang disebabkan
karena kelahiran pervaginam tidak segera terjadi (Hacker & Moore, 2001).
Sedangkan menurut Jones (2001), sectio caesarea merupakan pengeluaran bayi
dari uterus melalui operasi abdomen. Definisi lain sectio caesarea ialah
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding abdomen dan
dinding uterus (Wiknjosastro, 2007).
b. Jenis insisi
Menurut Liu (2007), jenis insisi pada sectio caesarea ada dua macam, yaitu:
1. Insisi abdominal
1) Insisi garis tengah subumbilikal
Insisi ini mudah dan cepat dengan perdarahan minimal. Berguna jika
akses ke segmen bawah sulit dilakukan, contohnya jika ada kifosklerosis
berat atau fibroid segmen bawah anterior.
8
2) Insisi transversa
Insisi transversa merupakan insisi pilihan saat ini. Insisi ini secara
kosmetik memuaskan, lebih sedikit menimbulkan luka jahitan dan lebih
sedikit ketidaknyaman, dan memungkinkan mobilitas pasca operasi
yang lebih baik.
2. Insisi uterus
1) Sectio caesarea segmen bawah (profunda)
Insisi ini adalah pendekatan yang lazim digunakan. Insisi transversa
dilakukan dengan membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen
bawah rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm.
2) Sectio caesarea klasik (korporal)
Insisi ini ditempatkan secara vertikel di garis tengah uterus kira-kira
sepanjang 10 cm.
3) Insisi Kronig-Gellhorn -Beck
Insisi ini adalah insisi garis tengah pada segmen bawah yang digunakan
pada kelahiran prematur apabila segmen bawah terbentuk dengan buruk
atau dalam keadaan terdapatnya perluasan ke segmen uterus bagian atas
yang dilakukan untuk memberi lebih banyak akses.
c. Komplikasi sectio caesarea
Persalinan sectio caesarea dapat menimbulkan komplikasi, seperti infeksi
puerperal, perdarahan dan cedera. Infeksi puerperal merupakan komplikasi yang
bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas atau
bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis dan sebagainya. Infeksi post operatif terjadi
apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intrapartum atau ada
faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan intrapartum (partus
9
lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya)
(Wiknjosastro, 2007).
Perdarahan mungkin terjadi akibat kegagalan mencapai hemostasis di tempat
insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi setelah pemanjangan
(Hacker & Moore, 2001). Usus besar, kandung kemih, pembuluh di dalam ligamen
yang lebar dan ureter terutama cenderung terjadi cedera. Hematuria yang singkat
dapat terjadi akibat terlalu antusias dalam menggunakan retraktor di daerah dinding
kandung kemih. Selain itu kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada
kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri (Hacker & Moore, 2001;
Winkjosastro, 2007).
Pada persalinan sectio caesarea, masalah utama yang dirasakan ibu selama
beberapa hari post partum adalah nyeri yang diakibatkan oleh insisi dinding
abdomen. Oleh karena itu, komplikasi sectio caesarea harus dicegah karena akan
semakin meningkatkan nyeri
2. Nyeri sectio caesarea
a. Definisi
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu (Potter & Perry, 2005). Definisi lain nyeri adalah
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare, 2001). Nyeri sectio caesarea
dapat diartikan sebagai perasaan yang tidak nyaman akibat kerusakan jaringan yang
disebabkan kerena insisi abdomen dan insisi uterus dalam proses persalinan.
10
b. Fisiologi nyeri
1. Reseptor nyeri (Tamsuri, 2006)
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang
berbeda-beda sehingga nyeri yang ditimbulkan juga memiliki sensasi yang
berbeda.
1) Nosiseptor kutaneus
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan difenisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen:
a. Serabut A delta
Merupakan searabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lembut (kecepatan transmisi 0,5-2
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
2) Nosiseptor somatik
Struktur nosiseptor somatik meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
11
3) Nosiseptor viseral
Struktur nosiseptor viseral meliputi organ-organ viseral seperti jantung,
hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya terus-menerus (difus). Nyeri viseral dapat menyebabkan nyeri
alih (reffered pain), disebabkan karena adanya sinaps jaringan viseral
pada medula spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan
subkutan tubuh.
Dengan demikian dapat disimpulkan, pada tindakan pembedahan (sectio
caesarea) dilakukan proses insisi atau penyayatan pada daerah yang akan
dibedah. Insisi yang dilakukan akan menyebabkan kerusakan lebih dalam yang
terjadi dari jaringan sampai ke otot. Hal ini akan menyebabkan reseptor nyeri
yang berasal dari deep somatic nociceptor mentransmisikan adanya impuls
yang akan dipersepsikan sebagai nyeri.
2. Transmisi nyeri (Potter & Perry, 2005; Tamsuri, 2006)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosiseptor dapat menghasilkan nyeri, seperti: teori spesivisitas, teori pola dan
gate control theory. Namun gate control theory yang dianggap paling relevan
untuk menjelaskan bagaimana nyeri tersebut dapat terjadi.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua
macam transmiter impuls nyeri, yaitu reseptor berdiameter kecil (serabut A
delta dan serabut C) dan transmiter yang berdiameter besar (serabut A-Beta)
yang berfungsi untuk menghantarkan sensasi nyeri dan sensasi yang lain seperti
rasa dingin, hangat, sentuhan dan sebagainya.
Reseptor berdiameter kecil (serabut A delta dan serabut C) berfungsi untuk
mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini biasanya berupa
12
ujung saraf bebas yang terdapat di seluruh permukaan kulit dan pada struktur
tubuh yang lebih dalam seperti tendon, fascia dan tulang serta organ-organ
interna.
Sedangkan transmiter yang berdiameter besar (serabut A-Beta) memiliki
reseptor yang terdapat pada struktur permukaan tubuh dan fungsinya selain
mentransmisikan sensasi nyeri, juga lebih berfungsi untuk mentransmisikan
sensasi lain seperti sensasi getaran, sentuhan, sensasi panas/dingin, serta juga
terhadap tekanan halus.
Pada tindakan pembedahan sectio caesarea, dilakukan proses insisi atau
penyayatan pada daerah yang akan dibedah. Insisi yang dilakukan akan
menyebabkan kerusakan lebih dalam yang terjadi dari jaringan sampai ke otot.
Hal ini akan menyebabkan reseptor nyeri yang berasal dari deep somatic
nociceptor mentransmisikan adanya impuls yang akan dipersepsikan sebagai
nyeri.
Dalam penghantaran impuls menuju ke otak, tedapat pusat korteks yang
lebih tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden
melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri
alami yang berasal dari tubuh.Sebaliknya, apabila terdapat impuls yang
ditransmisikan oleh serabut berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit,
sentuhan, getaran, hangat, dan dingin serta sentuhan halus, impuls ini akan
menghambat impuls dari serabut berdiameter kecil di area substansia
gelatinosa sehingga sensasi yang dibawa oleh serabut kecil akan berkurang atau
bahkan tidak dihantarkan ke otak oleh substansia gelatinosa, sehingga tubuh
tidak dapat merasakan sensasi nyeri. Musik dapat menimbulkan getaran
sehingga dapat digunakan untuk menghambat impuls nyeri ke otak. Individu
13
dianjurkan untuk memilih musik yang tenang dan disukai, dan diminta untuk
berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu (Tamsuri, 2006).
c. Klasifikasi nyeri
Berdasarkan waktu kejadian, klasifikasi nyeri terbagi atas (Tamsuri, 2006):
1 Nyeri akut
Nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari 1 detik sampai dengan
kurang dari enam bulan. Nyeri umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut,
atau pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang
bervariasi (sedang sampai berat), misalnya nyeri pada klien dengan sectio
caesarea.
2 Nyeri Kronis
Nyeri yang umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau bahkan
persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu nyeri
kronis maligna dan nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah
penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya diketahui.
d. Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda (Tamsuri, 2006). Menurut Smeltzer dan Bare (2001),
pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan tiga jenis alat
pengukuran nyeri, yaitu skala intensitas nyeri deskriptif sederhana, skala intensitas
nyeri numerik (numeric rating scale), dan Skala Analogi Visual (VAS).
Ketiga bentuk skala pengukuran ini mempunyai fungsi yang sama, yakni untuk
mengetahui seberapa besar nyeri yang dirasakan pasien. Numeric rating scale
14
(skema 1) adalah skala berbentuk garis horisontal sepanjang 10 cm. Ujung kiri
menandakan ”tidak ada” atau ”tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya
menandakan ”berat” atau ”nyeri yang paling buruk” yakni dengan keterangan, 0:
tidak ada nyeri, 1-3: nyeri ringan (secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik), 4-6: nyeri sedang (secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti
perintah dengan baik), 7-9: nyeri berat (secara objektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih berespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi,
nafas panjang dan distraksi). 10: Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi). Intensitas nyeri pasien dapat ditentukan dengan cara meminta
pasien untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri yang terjadi
di sepanjang rentang tersebut.
Skema 1. Skala Intensitas Nyeri
Sumber: Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. (2001).
e. Respon tubuh terhadap nyeri
Menurut Tamsuri (2006), respon tubuh terhadap nyeri meliputi:
1. Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom
terstimulasi sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon
15
tubuh terhadap stress. Pada nyeri skala ringan sampai berat serta nyeri pada
superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan ”General Adaption Syndrome”
(Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis.
Sedangkan pada nyeri berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang
berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf
parasimpatis
Reaksi dengan adanya rangsangan pada saraf simpatis, seperti
peningkatan frekuensi napas, denyut jantung meningkat, vasokonstriksi
perifer, peningkatan glukosa darah dan sebagainya. Sedangkan reaksi yang
ditimbulkan terhadap rangsangan pada saraf parasimpatis, seperti pucat,
kelelahan otot, tekanan darah dan nadi menurun, frekuensi napas cepat,
mual dan muntah serta kelemahan.
2. Respon psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri
sebagai sesuatu yang ”negatif” cenderung memiliki suasana hati sedih,
berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan
frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi nyeri sebagai
pengalaman yang ”positif ” akan menerima nyeri yang dialami.
3. Respon perilaku
Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam, dimulai dari fase antisipasi, fase sensasi dan fase
pascanyeri. Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting karena
merupakan fase penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini individu
belajar untuk memahami tentang nyeri, mengendalikan nyeri yang mungkin
16
akan timbul serta mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu
sendiri timbul.
Namun, apabila pemahaman serta pengendalian terhadap nyeri kurang
efektif maka dapat menyebabkan peningkatan sensasi nyeri dan begitu juga
sebaliknya. Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang dapat diungkapkan
oleh klien, seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit dan
sebagainya. Pada fase pascanyeri, klien dapat mengalami trauma psikologis,
takut, depresi serta dapat juga menjadi menggigil jika pada fase antisipasi,
adaptasinya kurang efektif.
f. Faktor yang mempengaruhi nyeri
Menurut Mubarak dan Chayatin (2007), adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri antara lain:
1. Etnik dan nilai budaya
Latar belakang etnik dan budaya merupakan faktor yang mempengaruhi
reaksi terhadap nyeri. Misalnya, individu dari budaya tertentu cenderung
ekspresif dalam mengungkapkan nyeri, sedangkan individu dari budaya lain
justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin merepotkan
orang lain.
2. Tahap perkembangan
Anak-anak cenderung kurang mampu mengungkapkan nyeri yang
mereka rasakan dibandingkan dengan orang dewasa, dan kondisi ini
menghambat penanganan nyeri untuk mereka. Di sisi lain, prevalensi nyeri
pada lansia lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis yang mereka derita
tetapi lansia sering menganggap bahwa nyeri yang mereka alami akibat
alamiah dari proses penuaan, sehingga keluhan sering diabaikan.
17
3. Lingkungan dan support system
Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan,
dan aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri.
Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu
faktor penting yang mempengaruhi persepsi nyeri individu. Misalnya,
inidividu yang sendirian tanpa keluarga atau teman-teman yang
mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan
mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat.
4. Pengalaman nyeri sebelumnya
Pengalaman masa lalu juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri
individu dan kepekaannya terhadap nyeri. Individu yang pernah mengalami
nyeri atau menyaksikan penderitaan orang terdekatnya saat mengalami
nyeri cenderung merasa terancam dengan peristiwa nyeri yang akan terjadi
dibandingkan individu lain yang belum pernah mengalaminya. Selain itu,
keberhasilan atau kegagalan metode penanganan nyeri sebelumnya juga
berpengaruh terhadap harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini.
5. Ansietas dan stres
Ansietas sering kali menyertai peristiwa nyeri yang terjadi. Ancaman
yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau
peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya,
individu yang percaya bahwa mereka mampu mengontrol nyeri yang
mereka rasakan akan mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang
akan menurunkan persepsi nyeri mereka.
18
3. Terapi musik
a. Pengertian
Musik telah dipakai sebagai alat pengobatan sejak tahun 550 sebelum Masehi,
dan dikembangkan oleh Pythagoras dari Yunani. Terapi musik terdiri dari dua kata,
yaitu “terapi” dan “musik”. Terapi dapat diartikan sebagai pengobatan. Musik
adalah kesatuan dari kumpulan suara melodi, ritme dan harmoni yang dapat
membangkitkan emosi (Yuanitasari, 2008).
Terapi musik merupakan intervensi non invasif yang dapat digunakan untuk
mempertahankan dan memulihkan kesehatan baik kesehatan fisik maupun
kesehatan mental (Hanifah, 2007). Menurut Republika Newsroom (2009), terapi
musik adalah nada atau suara untuk pengobatan sehingga dapat menyeimbangkan
antara badan, pikiran dan emosi sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri
seseorang. Manfaat terapi musik ini adalah membentuk harmoni pada tubuh
sehingga dapat mempertahankan dan memulihkan kesehatan.
Musik yang dapat digunakan sebagai terapi adalah musik yang mengandung
unsur-unsur seperti melodi, ritme dan harmoni nada yang kompleks dan berirama
tenang dan mengalun lembut, seperti musik instrumental (Potter & Perry, 2005).
Musik instrumental merupakan suara atau ritme yang timbul dari getaran alat musik
yang dimainkan, seperti: gitar, biola, piano, saxophone, dan drums. Instrumen
musik terbagi empat jenis, yaitu: string instrument, wind instrument, brass
instrument, dan percussion instrument. Dari jenis instrumen musik tersebut,
percussion instrument merupakan jenis instrumen musik yang tertua di dalam
orkestra. Percussion instrument terdiri dari alat musik piano, drums, xilofon,
glockenspiel, dll. Piano merupakan suatu alat musik instrumen terbesar yang dapat
dimainkan tanpa diiringi oleh istrumen lain (Symphony music, 2008).
19
Musik instrumental terbukti dapat meminimalkan efek negatif suara-suara yang
ada di beberapa ruang penderita kanker, ICU, dan pusat-pusat terapi. Dampaknya
membuat para pasien menjadi lebih nyaman, rileks, dan lebih bahagia. Hal itu juga
membuat tubuh mereka mengeluarkan getaran pada tingkat yang lebih sehat (Mucci
& Mucci, 2002). Musik harus didengarkan minimal 15 menit untuk memberikan
efek terapeutik (Potter & Perry, 2005). Menurut Yuanitasari (2008), durasi
pemberian musik selama 10-15 menit dapat memberikan efek relaksasi, 15-20
menit memberikan efek stimulasi sedangkan untuk memberikan efek terapi, musik
dapat diberikan selama 30 menit.
b. Manfaat terapi musik
Menurut Campbell (2002); Mucci dan Mucci (2002); Yuanitasari (2008),
manfaat terapi musik bagi tubuh antara lain:
1) Mampu menutupi bunyi dan perasaan yang tidak menyenangkan
2) Mampu memperlambat dan menyeimbangkan gelombang otak
3) Mempengaruhi pernapasan
4) Mempengaruhi denyut jantung, nadi dan tekanan darah
5) Mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh
6) Mempengaruhi suhu tubuh
7) Meningkatkan sekresi endorfin
8) Mengatur hormon yang berkaitan dengan stres
9) Mengubah persepsi tentang ruang dan waktu
10) Memperkuat memori dan kemampuan akademik
11) Merangsang pencernaan
12) Meningkatkan daya tahan tubuh
13) Meningkatkan produktivitas
20
14) Meningkatkan asmara dan seksualitas
15) Menimbulkan rasa aman dan sejahtera
16) Mengurangi rasa sakit (nyeri)
c. Musik dapat mengatasi rasa sakit
Campbell (2002), menceritakan bahwa di Ontario, pasien-pasien yang
mendapatkan musik yang menyejukkan selama lima belas menit hanya
membutuhkan 50 persen dosis obat penenang maupun obat anastesi yang
disarankan untuk operasi-operasi yang sering kali menyakitkan. Selain itu, di
University of Massachusetts Medical Center di Worcester, pemain harpa yang
bernama Georgia Kelly telah direkomendasikan sebagai pengganti obat-obat
penenang dan penghilang rasa sakit bagi pasien-pasien kanker dan pasien-pasien
lain yang sakit berat.
Pengalaman tersebut dapat diperkuat karena musik dapat mempengaruhi emosi
seseorang yang terjadi di dalam limbic system. Sistem limbik mempunyai serabut
sinaps saraf dengan semua lobus atau cortex otak (Mangoenprasodjo & Hidayati,
2005). Dalam gate control theory menjelaskan tentang adanya fungsi inhibitor
(penghambat) impuls nyeri oleh otak, ketika impuls nyeri dihantar ke otak maka
terdapat pusat korteks yang memodifikasi persepsi nyeri sehingga alur saraf
desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin. Menurut
Campbell (2002), salah satu manfaat musik adalah dapat meningkatkan sekresi
endorfin.
d. Menggunakan musik untuk mengontrol nyeri
Dalam pelaksanaan penggunaan musik untuk mengontrol nyeri dan
meningkatkan kenyamanan, maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini
(Potter & Perry, 2005):
21
1) Pilih musik yang sesuai dengan selera klien. Pertimbangkan usia dan latar
belakang.
2) Gunakan earphone supaya tidak mengganggu klien atau staf yang lain dan
membantu klien berkonsentrasi pada musik.
3) Pastikan tombol-tombol kontrol di radio atau pesawat tape mudah ditekan,
dimanipulasi, dan dibedakan.
4) Apabila nyeri yang klien rasakan akut, kuatkan volume musik. Apabila
nyeri berkurang, kurangi volume.
5) Apabila tersedia musik latar, pilih jenis musik umum yang sesuai dengan
keinginan klien.
6) Minta klien berkonsentrasi pada musik dan mengikuti irama dengan
mengetuk-ngetukkan jari atau menepuk-nepuk paha.
7) Instruksikan klien untuk tidak menganalisa musik: “Nikmati musik ke mana
pun musik membawa Anda”.
8) Musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek
terapeutik.
B. Penelitian Terkait
Penelitian terkait yang dapat mendukung penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Hanifah (2007), di Malang yang berjudul pengaruh terapi musik
terhadap intensitas nyeri akibat perawatan luka bedah abdomen di badan pelayanan
kesehatan masyarakat Rumah Sakit Umum Ngudi Waluyo Wlingi kabupaten Blitar.
22
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (56%) intensitas nyeri pada
kelompok kontrol adalah nyeri sedang, sedangkan yang terbanyak pada kelompok
perlakuan dengan intensitas nyeri ringan (67%). Hasil uji statistik Mann Whitney Test
menggunakan tingkat kemaknaan p ≤ 0,05 menunjukkan hasil yang signifikan dengan
nilai p = 0,039 hal ini berarti bahwa ada pengaruh terapi musik terhadap penurunan
intensitas nyeri akibat perawatan luka bedah abdomen.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Sen, et al
(2009), di Istanbul dengan judul the effect of musical theraphy on postoperative pain
after caesarean section. Penelitian ini dilakukan pada 100 orang responden yakni Ibu
yang memilih persalinan secara ceasar dan berada pada rentang usia 20-40 tahun. Hasil
penelitian ini diperoleh, adanya pengaruh mendengarkan musik terhadap penurunan
nyeri pasca operasi sectio caesarea dan secara signifikan pada kelompok intervensi
terjadi penurunan dosis untuk pemakaian analgesik.
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang dilakukan
dan memberikan landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai dengan identifikasi
masalahnya. Kerangka konsep merupakan bagian kerja terhadap rencana kegiatan
penelitian yang akan dilakukan melalui siapa yang akan diteliti (subyek penelitian),
variabel yang akan diteliti, dan variabel yang mempengaruhi dalam penelitian
(Hidayat, 2007).
23
Skema 2. Kerangka konsep penelitian “Efektifitas Terapi Musik terhadap nyeri pasca persalinan Ibu dengan sectio caesarea”
Input Proses OutputKelompok eksperimen
Kelompok kontrol
Keterangan: = diteliti = tidak diteliti
24
Nyeri pasca persalinan
sectio caesareasebelum
intervensi
Nyeri pasca persalinan
sectio caesareasetelah
intervensi
Pemberian Terapi Musik Instrumental
Faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri:
- Etnik dan nilai budaya- Tahap perkembangan- Lingkungan dan support
system- Pengalaman nyeri
sebelumnya- Ansietas dan stres
Nyeri pasca persalinan sectio
caesarea sebelum
intervensi
Nyeri pasca persalinan
sectio caesarea setelah
intervensi
D. Hipotesa
Hipotesis merupakan jawaban atau dalil sementara yang kebenarannya akan
dibuktikan melalui hasil penelitian. Hipotesis ditarik dari serangkaian fakta yang
muncul sehubungan dengan masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
Ho: Tidak adanya pengaruh pemberian terapi musik terhadap intensitas nyeri pasca
persalinan Ibu dengan sectio caesarea.
Ha: Adanya pengaruh pemberian terapi musik terhadap intensitas nyeri pasca
persalinan Ibu dengan sectio caesarea.
25