bab ii ika nanda

53
BAB II TINJAUAN PUSAKA A. Tinjauan eori Medis 1. Definisi Preeklampsia Preeklampsia adalah hipertensi yang timbulkan setelah 20 minggu kehamilan diserai dengan proeinuria (Prawirahardjo, 2009; h. 531). Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg aau lebih dalam urin 24 jam, aau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) secara menetap pada sampel urin acak (Cunningham, 2006; h. 627). Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala- gejala klinik preeklampsia dapat dibagi Preeklampsia Ringan (PER) dan Preeklampsia Berat (PEB) (Prawirahardjo, 2009; h. 542) 2. Klasifikasi Preeklampsia Menurut Fraser (2009; h. 352), bahwa penelitian yang terbaru yang dilakukan National High Blood

Upload: yosi-klub-teroriz

Post on 21-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Bab II Ika Nanda

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSAKA

A. Tinjauan eori Medis

1. Definisi Preeklampsia

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbulkan setelah 20 minggu

kehamilan diserai dengan proeinuria (Prawirahardjo, 2009; h. 531).

Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg aau lebih

dalam urin 24 jam, aau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) secara menetap

pada sampel urin acak (Cunningham, 2006; h. 627).

Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat

terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala- gejala klinik

preeklampsia dapat dibagi Preeklampsia Ringan (PER) dan

Preeklampsia Berat (PEB) (Prawirahardjo, 2009; h. 542)

2. Klasifikasi Preeklampsia

Menurut Fraser (2009; h. 352), bahwa penelitian yang terbaru

yang dilakukan National High Blood Pressure Educaion Program

Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (2000)

menjelaskan tentang lima kategori utama hipertensi selama

kehamilan:

a. Hipertensi Kronis

Hipertensi Kronis yaitu hipertensi yang diketahui terjadi

sebelum kehamilan atau peningkatan tekanan darah >140/90

mmHg sebelum usia gesasi 20 minggu, dan berlanjut hingga 6

minggu setelah melahirkan.

b. Hipertensi gestasional

Hipertensi gestasional yaitu hipertensi yang terjadi tanpa

tanda lain preeklampsia. Dibandingkan jika setelah beristiraha,

tekanan darah ibu meningkat> 140/90 mmHg pada sediktinya

dua kali pemeriksaan, tidak lebih 1 minggu setelah minggu ke-

20 kehamilan pada wanita yang diketahui normoensif.

c. Preeklampsia

Preeklampsia merupakan hipertensi yang didiagnosa

berdasarkan proteinuria >1+ pada pemeriksaan dipsik atau

>0,3 g/L protein dalam spesimen urin tangkapan bersih yang

diperiksa secara acak atau ekskresi 0,3 g protein dalam 24

jam. Jika tidak terdapa proteinuria, dicurigai terjadinya

preeklampsia jika hipertensi disertai sakit kepala, penglihatan

kabur, nyeri kepala, nyeri abdomen/epigasrik, atau perubahan

biokimia, terutama jumlah trombosi yang rendah dan kadar

enzim hati yang tidak normal.

d. Eklampsia

Eklampsia didefinisikan sebagai awitan baru konvulsi

selama kehamilan atau pascapartum, yang tidak berkaitan

dengan kondisi patologis serebral yang terjadi pada ibu yang

menderita preeklampsia.

e. Preeklampsi yang terjadi pada hipertensi kronis

Hal ini dapatterjadi pada ibu yang mengalami hipertensi sejak

sebelum kehamilan (<20 minggu) yang menderita:

1) Proteinuria baru (>0,3 gram/24 jam)

2) Peningkatan tiba-tiba hipertensi yang sudah ada

sebelumnya dan proteinuria

3) trombositopenia

4) Enzim hati abnormal

Menurut Sujiyatini (2009; h. 58-61), preeklampsia dibagi 2, yaitu :

a. Preeklampsia Ringan (PER)

Preeklampsia Ringan (PER) adalah timbulnya hipertensi

disertai proteinuria dan/atau edema setelah umur kehamilan

20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat

timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit

trofoblas.

b. Preeklampsia Bera (PEB)

Preeklampsia Berat (PEB) adalah suatu komplikasi

kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipetrensi 160/110

mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada

umur kehamilan 20 minggu atau lebih.

Preeklampsia Berat (PEB) dibagi menjadi 2, antara lain :

(a) Preeklampsia Berat (PEB) tanpa Impending Eclampsia dan

(b) Preklampsia Berat (PEB) dengan Impending Eclampsia.

Disebut Impending Eclampsia bila Preeklampsia Berat (PEB)

disertai gejala-gejala subyektif berupa nyeri kepala hebat,

gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan

kenaikan progresif tekanan darah (Prawirohardjo, 2008; h.

545).

3. Etiologi

Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui

secara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan karena vasospasme

areriola. Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi

timbulnya preeklamsia antara lain : primigravida, kehamilan ganda,

mola hidatidosa, muligravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18

ahun lebih dari 35 ahun serta anemia (Maryunani, 2009; h. 139).

Menurut Prawirohardjo (2010; h. 532), faktor resiko terjadinya

hipertensi dalam kehamilan yaitu primigravida, primipaterntas,

hiperplasentosis, umur yang ekstrim, riwayat keluarga pernah

preeklampsia/eklampsia, penyakit-penyakit ginjil dan hipertensi yang

sudah ada sebelum hamil dan obesitas.

4. Paofisiologi

Menurut Prawirohardjo (2009; h. 532-537), penyebab hipertensi

dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak

teori telah dikemukakan tenang terjadinya hipertensi dalam

kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut dianggap mutlak

benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :

a. Teori kelainan vaskulaisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat

aliran darah dari cabang-cabang arteri uterine dan arteri ovarika.

Kedua pembuluh darah tersebut menembus miomertium berupa

arteri arnkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteri

radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri

basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.

Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas,

terjadi invasi troflobas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang

menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi

dilatasi arteri spiralis. Invasittrofoblas juga memasuki jaringan

sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur

dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan

dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini

memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan

resistensi vaskuler, dan meningkatkan aliran darah pada daerah

utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak

dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin

pertumbuhan janin baik. Proses ini dinamakan “ remodeling areri

spiralis”.

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invalasi sel-

sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks

sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan

keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan

mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis

relatif mengalami vasokontraksi, dan terjadi kegagalan

“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta

menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak

iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang

dapat menjelaskan patogenesis Hipertensi Dalam Kehamilan

(HDK) selanjutnya.

Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal

adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200

mikron.

b. Teori iskemia plasenta, radikalis bebas, dan disfungsi endotel

1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksiden/radikal

bebas.

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas,

pada hipertensidalam kehamilan terjadi kegagalan

“remodeling arteri spiralis” dengan akibat plasenta

mengalami iskemia.

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia

akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas).

Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa

penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai

elektro yang tidak berpasangan.

Salah satu oksidan penting yang dihasilkan

plasenta iskemia adalah radikal hidroksia yang sangat

toksis, khususnya terhadap membran sel endotel

pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada

manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan

memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.

2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam

kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa

kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat,

sedangkan anitoksidan, misalnya vitamin E pada

hipertensi dalam kehamilan menurtun, sehingga terjadi

dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif

tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas

yang sangat toksis ini beredar diseluruh tubuh dalam

aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.

Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan

oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung

berhubungan dengan aliran darah dan mengandung

banyak asam lemah tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh

sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang

akan berubah menjadi peroksida lemak.

3) Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar peroksida lemak, maka

terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai

dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel

endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,

bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini

disebut disfungsi endotel (endothelial disfunciton). Pada

waktu terjadinya kerusakan sel endotel yang

mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :

a) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah

satu fungsi sel endotel, adalah memproduksi

prostaglandin, yaitu menurunya produksi

prostasiklin (PGE2) : suatu vasodilatator kuat

b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel

yang mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit

ini adalah untuk menutup tempat-tempat dilapisan

endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi

trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu

vasokonstriksi kuat.

Dalam keadaan normal perbandingan kadar

tromboksan, lebih tinggi kadar protasklin. Pada

preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari

kadar protasiklin sehingga terjadi vasokontriksi,

dengan terjadi kenaikan darah.

c) Perubahan khas pada sel endotel kapilar

glomerulus

d) Peningkatan permeabilitas kapilar

e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasoprtesor,

yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilatator)

menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)

meningkat.

c. Teori intoleransi imunologi antara ibu dan janin

perempuan hamil normal, respons imun tidak

menolak adanya “hasil konspesi” yang bersifat asing. Hal

ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein

G (HLA-G), yang berperan pening dalam modulasi

respons imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi

(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat

melindungi trofoblas janin dari lisis oleh Natural Kliler (NK)

ibu.

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi

penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di

desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke

dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar

jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga

memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis.

d. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refraker

terhadap bahan-bahan vasopresor. Refrakter, berarti

pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih

tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi. Pada

kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah

terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh

adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh

darah.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya

refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata

kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya

daya refrakter pembuluh darah menjadi sangat peka

terhadap bahan vasopresor. Banyak penelitian telah

membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap

bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam

kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama).

Peningkatan kepekaan pada kehamilannya yang akan

menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat

ditemukan pada kehamilan 20 minggu. Fakta ini dapat

dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam

kehamilan.

e. Teori defisiensi gizi

Beberapa hasil penelitian bahwa kekurangan

defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam

kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa

konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut,

dapat mengurangi resiko preeklampsia. Minyak ikan

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat

menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivitas

trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

f. Teori inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris

trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan

utama terjadinya proses inflamasi.

Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan

debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan

nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif.

Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang

kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada

kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam

batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam

batas normal. Berbeda dengan apoptosis pada

preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi

peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris

apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin

banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta

besar, pada kehamilan ganda maka reaksi stress oksidatif

akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris

trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini

menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu

menjauh lebih besar, dibandingkan reaksi inflamasi pada

kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan

mengaktifkan sel endotel, dan sel-sel makrofag/glanlosit,

yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik

yng menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel

pada preeklampsia akibat produksi debris trofoblas

plasenta berlebihan tersebut di atas, mengatakan

“aktifitas leukosit yang sangat tinggi” pada sirkulasi ibu.

Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai “kekacauan

adaptasi dari proses inflamasi intravaskular pada

kehamilan” yang biasanya berlangsung normal dan

menyeluruh.

g. Teori genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model

gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya

hipertensi dalam kehamilan secara familial jika

dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti

bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 %

anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula,

sedangkan hanya 8 % anak menantu mengalami

preeklampsia.

Menurut Lie et al dalam Chapman (2006; h. 162),

bahwa ada hubungan genetik yang telah ditegakan,

riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan

meningkatkan risiko empat sampai delapan kali menderita

hipertensi dalam kehamilan.

5. Manifestasi klinis

Menurut Prawirohardjo (2009; h.545), Preeklampsia Berat (PEB)

didiagnosis pada kasus dengan salah satu gejala berikut :

a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah

diastolik > 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun

meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan

menjalani tirah baring.

b. Proteinuria lbih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan

kualitatif.

c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam

d. Kenaikan kadar kreatini plasma.

e. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri

kepala, pandangan kabur.

f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan, atas

abdomen (akibat tere kapsula Glisson)

Menurut Fraser (2009; h. 353), nyeri epigastrium

disebabkan karena adanya vasokonstrikisi dasar vaskular

hepatik sehingga terjadi hipoksia dan edema sel hati.

g. Edema paru-paru dan sianosis.

Menurut Prawirohardjo (2010; h. 540), edema terjadi

karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar.

Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada

muka dan tangan, atau edema generalisata dan biasanya

disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.

h. Hemolisis mikroangiopatik.

i. Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan

trombosit cepat.

j. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular);

peningkatan kadar ala aspartate aminotransfease.

k. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.

l. Sindrom HELLP.

6. Pemeriksaan penunjang

Menurut Maryunani (2009; h. 142), selain anamnesa dan

pemeriksaan fisik, pada kecurigaan adanya preeklampsia sebaiknya

di lakukan pemeriksaan lainnya, yaitu :

a. Pemeriksaan darah rutin serta kimia darah, seperti

uriumkreatinin, SGOT, LDH, bilirubin

b. Pemeriksaan urin, seperti protein, reduksi, bilirubin, sedimen

c. Kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat dengan

konfirmasi USG (bila tersedia)

d. Kardiotokografi untuk menilai kesejahteraan janin

7. Penatalaksanaan

a. Asuhan Kebidanan

Ketika diagnosis preeklampsia ditegakkan atau ada

dugaan preeklampsia, konsul dokter dibutuhkan. Persalinan

merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi

preeklampsia. Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh bidan adalah

memfasilitasi persalinan. Akan tetapi, usia kehamilan yang belum

cukup ini akan membawa resiko yang mengancam kehidupan

janin. Oleh karena itu, upayakan penatalaksanaan preeklampsia

yang mengutamakan keselamatan ibu dan janin. Apabila

persalinan akan menimbulkan efek buruk pada janin, tindakan

harus ditunjukan pada upaya meningkatkan kondisi ibu sehingga

memungkinkan janin menjadi matang (varney, 2007; h. 648).

Bidan harus tetap bersama ibu yang menderita hipertensi

selama persalinan karena preeklampsia dapat memburuk secara

tiba-tiba setiap saat. Memantau kondisi ibu dan janin merupakan

hal yang sangat penting untuk dilakukan. Adanya penyimpangan

yang drastis harus dicatat dan bantuan medis harus diberikan

(Fraser, 2009; h. 357). Evaluasi kesejahteraan janin dilakukan

melalui pengkajian pertumbuhan janin melalui pemeriksaan

ultrasonografi (USG). Karena patofisiologi preeklampsia

menyebabkan insufisiensi plasenta dan uterus, maka janin

beresiko mengalami hipoksia kronis dan IUGR (varney, 2007; h.

648).

Ibu yang hipertensi harus dibuat senyaman mungkin, yang

berarti bahwa perhatian perlu diberikan kepada asuhan umum.

b. Penatalaksanaan Medis

Menurut Nugroho (2012; h. 177), ditinjau dari umur kehamilan

dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama

perawatan maka perawatan dibagi menjadi :

1) Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau

diterminasi ditambah obat medisinal. Sedapat mungkin

sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan

pemeriksaan fetal assessment (NST & USG).

Indikasi untuk perawatan aktif, yaitu :

a) Ibu

(1) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih

(2) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia

(3) Kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam

pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah

atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada

perbaikan

b) Janin

(1) Hasil fetal assessment jelek (NST & USG)

(2) Adanya tanda IUGR

c) Laboratorium

Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan

fungsi hepar, trombositopenia).

Pengobatan Medikamentosa yaitu :

(1) Segera masuk rumah sakit

(2) Tidur baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri),

tanda vital diperiksa setiap 30 menit sekali, reflek

patella setiap jam

(3) Infus dextrose 5% setiap 1 liter diselingi infuse RL

(60-125 cc/jam) 500 cc

(4) Antasida

(1) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan

garam

(2) Pemberian obat anti kejang : Diazepam 20 mg IV

dilanjutkan dengan 40 mg dalam Dekstrose 10%

selama 4-6 jam atau MGSO4 40% 5 gram IV pelan

dilanjutkan 5 gr dalam RL 500 cc dalam 6 jam

(3) Diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda

edema paru, payah jantung kongestif atau edema

anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV

(4) Anti hipertensi diberikan bila sistolik 180 mmHg

diastolik 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Dapat

diberikan catapres ½ - 1 ampul IM dapat diulang tiap 4

jam, atau alfametildopa 3x250 mg, dan nifedipin

sublingual 5-10mg

(5) Kardiotonika, indikasinya bila ada tanda-tanda payah

jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid

(6) Lain-lain :

(a) Konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata

(b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rectal lebih

38,5 oC dapat dibantu dengan pemberian kompres

dingin atau alcohol atau xylamidon 2 cc IM

(c) Antibiotik diberikan atas indikasi, diberikan ampicilin

1 gr/6 jam/IV/hari

(d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah

karena kontraksi uterus, dapat diberikan petidin

HCI 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2

jam sebelum janin lahir.

Pengobatan Obstetrik, yaitu antara lain :

(1) Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu

(2) Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan

syarat nilai bishop 5 atau lebih dengan fetal

heart monitoring.

(3) Seksio sesaria bila :

(a) Fetal assessment jelek

(b) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai

bishop kurang dari 5) atau adanya

kontraindikasi tetesan oksitosin

(c) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin

belum masuk fase aktif

(d) Pada primigravida lebih diarahkan untuk

melakukan terminasi dengan seksio sesaria.

Cara terminasi kehamilan yang sudah

inpartu

(1) Kala I

(a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase

aktif maka dilakukan seksio sesaria

(b) Fase aktif : amniotomi saja bila 6

jam setelah amniotomi belum terjadi

pembukaan lengkap maka dilakukan

seksio sesaria (bila perlu dilakukan

tetesan oksitosin)

(2) Kala II

(a) Pada persalinan pervaginam, maka

kala II diselesaikan dengan partus

buatan. Amniotomi dan tetesan

oksitosin dilaukakn sekurang-

kurangnya 3 menit setelah

pemberian terapi medikamentosa.

Pada kehamilan 32 minggu atau

kurang, bila keadaan

memungkinkan, terminasi ditunda 2

kali 24 jam untuk memberikan

kortikosteroid.

2) Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan

ditambah obat medisinal

(1) Indikasi

Bila kehamilan preterm (kurang 37 minggu) tanpa disertai

tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin

baik

(2) Terapi medikamentosa

Sama dengan terapi medikamentosa pada pengolaan aktif.

Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan intervena,

cukup intramuskuler sja dimana 4bgram pada bokong kiri

dan 4 gram pada bokong kanan.

(3) Pengobatan obstetri

(a) Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi

sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak

dilakukan terminasi

(b) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-

tanda preeklampsia Ringan (PER), selambat-

lambatnya dlam 24 jam

(c) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap

terapi medikamentosa gagal dan harus diterminasi

(d) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka

diberi lebih dahulu MgSO4 20 % 2 gram intervena.

(4) Penderita dipulangkan bila :

(a) Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda

Preeklampsia Ringan (PER) dan telah dirawat selama

3 hari

(b) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan

Preeklampsia Ringan (PER) : penderita dapat

dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan

(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu)

8. Komplikasi

Pre Eklamsia Berat (PEB) berpotensi menimbulkan keadaan

sebagai berikut:

a. Pada Ibu

1) Eklampsia didiagnosis ketika preeklampsia memburuk

menjadi kejang. (Varney, 2007; h. 648)

2) Kejang meningkatkan kemungkinan mortalitas maternal

10 kali lipat. Penyebab kematian maternal karena

eklampsia adalah: kolaps sirkulasi (henti jantung, edema

pulmo, dan syok), perdarahan serebral dan gagal ginjal.

(Nugroho, 2012; h. 3)

3) Trombositopenia, disebabkan oleh aktivasi dan agregasi

trombosit serta hemolisis mikroangiopati yang dipicu oleh

vasospasme hebat. (Cunningham, 2006; h. 628)

4) Gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi

pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan

tersebut pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya

afterload jantung akibat hipertensi. (Cunningham, 2006; h.

631)

b. Pada Janin

1) Kejang meningkatkan kemungkinan kematian fetal 40 kali

lipat, biasanya disebabkan oleh hipoksia, asidosis, dan

solusio plasenta. (Nugroho, 2012; h. 4)

2) Abrupsio plasenta, disebabkan karena vasokontriksi

didalam uterus menurunkan aliran darah uterus dan lesi

vascular terjadi didasar plasenta (Fraser, 2011; h. 354).

3) Kematian janin, disebabkan oleh infark besar pada

plasenta yang terlalu kecil, dan solusio plasenta

(Cunningham, 2006;h. 628).

9. Ekstraksi Vakum

Ekstraksi vakum merupakan tindakan obstetrik yang bertujuan

untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga

mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama

dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan

faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga

dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Tarikan pada kulit

kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang dihasilkan

dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik

akan memegang kulit kepala bayi yang akibat tekanan vakum,

menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik

(yang dipegang oleh penolong persalianan), melalui seutas rantai.

Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan intrauterin

(oleh kontraksi), tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan), dan

gaya tarik (ekstraksi vakum) (Saifuddin, 2009; h. 495).

Indikasi untuk tindakan ekstraksi vakum yaitu kala II lama dengan

presentasi kepala belakang/verteks. Sedangkan untuk kontra indikasi

yaitu malpresentasi (dahi, puncak kepala, muka, bokong), panggul

sempit (disproporsi kepala panggul) (Saifuddin, 2009; h. 495)

Syarat khusus untuk tindakan ekstraksi vakum yaitu pembukaan

lengkap atau hampir lengkap, presentasi kepala, cukup bulan (tidak

prematur), tidak ada kesempitan panggul, anak hidup dan tidak gawat

janin, penurunan H II/III, kontraksi baik, ibu kooperatif dan mampu

untuk mengedan (Saifuddin, 2009; h. 496).

B. Tinjauan Asuhan Kebidanan

1. Definisi

a. Asuhan Kebidanan

Asuhan Kebidanan adalah proses pengambilan keputusan

dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang

dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan

(Kepmenkes RI No. 369/Menkes/SK/III/2007: 5).

Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan

yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan

kepada klien yang mempunyai kebutuhan/masalah dalam bidang

kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas, bayi setelah

lahir serta keluarga berencana (Sujianti, 2009; h.4).

b. Manajemen Asuhan Kebidanan

Manajemen asuhan kebidanan adalah proses pemecahan

masalah yang digunakan sebagai metode untuk

mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah,

ilmiah penemuan-penemuan, keterampilan dan rangkaian tahapan

yang logis untuk pengambilan suatu yang berfokus pada klien

(Sujianti, 2009; h. 143).

2. Langkah dalam Menejemen Kebidanan

Menurut Sujianti (2009; h. 147) langkah-langkah manajemen

kebidanan/proses manajemen terdiri dari 7 langkah yaitu:

a. Langkah I : Pengumpulan data dasar

Langkah pertama merupakan awal yang akan menentukan

langkah berikutnya. Mengumpulkan data adalah menghimpun

informasi tentang klien/ orang yang meminta asuhan. Teknik

pengumpulan data ada tiga, yaitu:

1) Observasi adalah pengumpulan data melalui indera :

penglihatan (perilaku, tanda fisik, kecacatan, ekspresi wajah),

pendengaran (bunyi batuk, bunyi nafas), penciuman (bau

nafas, bau luka), perabaan (suhu badan, nadi)

2) Wawancara adalah pembicaraan terarah yang umumnya

dilakukan pada pertemuan tatap muka. Dalam wawancara

yang penting diperhatikan adalah data yang ditanyakan

diarahkan ke data yang relefan

3) Pemeriksaan dilakukan dengan memakai instrumen/ alat

pengukur. Tujuannya untuk memastikan batas dimensi angka,

irama, kuantitas. Misalnya : tinggibadan dengan meteran,

berat badan dengan timbangan, tekanan darah dengan

tensimeter

b. Langkah II : Interpretasi data

Pada langkah ini dilakukan dilakukan identifikasi yang benar

terhadap diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien

berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang

dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan

diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah atau diagnosa

yang spesifik

Langkah awal dari perumusan masalah/ diagnosa kebidanan

adalah pengolahan/ analisa data yaitu menggabungkan dan

menghubungkan data satu dengan lainnya sehingga tergambar

fakta.

c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial

Pada langkah ini kita mengidentifikasikan masalah atau diagnosa

potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa

potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang

sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila

memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien

bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa/masalah

potensial ini benar-banar terjadi

d. Langkah IV : Mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan yang

memerlukan penanganan segera

Beberapa data menunjukkan situasi emergensi dimana bidan

perlu bertindak segera demi keselamatan ibu dan bayi, beberapa

data menunjukkan situasi yang memerlukan tindakan segera

sementara menunggu intruksi dokter. Mungkin juga memerlukan

konsultasi dengan tim kesehatan lain. Bidan mengevaluasi situasi

setiap pasien untuk menentukan asuhan pasien yang paling tepat.

Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses

manajemen kebidanan.

e. Langkah V : Merencanakan asuhan yang komprehensif/

menyeluruh

Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh

ditentukan oleh langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan

kelanjutan manajemen terhadap diagnosa atau masalah yang

telah diidentifikasi atau antisipasi, pada langkah ini informasi/ data

dasar yang tidak lengkap dilengkapi. Suatu rencana asuhan harus

bersama-sama disetujui oleh bidan maupun wanita itu agar efektif,

karena pada akhirnya wanita itulah yang akan melaksanakan

rencana itu atau tidak. Oleh karena itu tugas dalam langkah ini

termasuk membuat dan mendiskusikan rencana dengan wanita itu

begitu juga termasuk penegasan akan persetujuannya

f. Langkah VI : Melaksanakan perencanaan

Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti

yang telah diuraikan pada langkah kelima dilaksanakan secara

efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh

bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh

klien, atau anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan tidak

melakukannya sendiri, ia tetap memikul tanggung jawab untuk

mengarahkan pelaksanannya (memastikan langkah tersebut

benar-benar terlaksana). Dalam situasi dimana bidan

berkolaborasi dengan dokter dan keterlibatannya dalam

manajemen asuhan bagi pasien yang mengalami komplikasi,

bidan juga bertanggungjawab terhadap terlaksananya rencana

asuhan bersama yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang

efisien akan menyingkat waktu, biaya dan meningkatkan mutu

asuhan.

g. Langkah VII : Evaluasi

Pada langkah ketujuh ini dilakukan evaluasi keefektifan dari

asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan

akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan

kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi didalam masalah dan

diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang

benar efektif dalam pelaksanaannya. Ada kemungkinan bahwa

sebagian rencana tersebut telah efektif sedang sebagian belum

efektif.

3. Dokumentasi SOAP

Menurut Sudarti (2010; h. 39-41) pendokumentasian atau catatan

manajemen kebidanan dapat diterapkan dengan metode SOAP.

Uraian dari metode SOAP adalah :

a. S = Data Subyektif

Data subyektif (S), merupakan pendokumentasian manajemen

kebidanan menurut Helen Varney langkah pertama adalah

pengkajian data, terutama data yang diperoleh melalui anamnesis.

Data subyektif ini berhubungan dengan masalah dari sudut

pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan

keluhannya yang dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan

yang akan berhubungan langsung dengan diagnosis.

b. O = Data Obyektif

Data obyektif (O) merupakan pendokumentasian manajemen

kebidanan menurut Helen Varney pertama adalah pengkajian

data, terutama data yang diperoleh melalui hasil observasi yang

jujur dari pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium atau

pemeriksaan diagnostik lain. Catatan medik dan informasi dari

keluarga atau orang lain dapat dimasukkan dalam data obyektif

ini. Data ini akan memberikan bukti gejala klinis dan fakta yang

berhubungan dengan diagnosis.

c. A = Analysis atau Assessment

Analysis atau assessment (A), merupakan pendokumentasian

hasil analysis dan interpretasi (kesimpulan) dari data subyektif dan

obyektif. Analysis atau assessment merupakan

pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney

langkah kedua, ketiga, dan keempat sehingga mencakup hal-hal

berikut ini diagnosa/ masalah kebidanan, diagnosis/ masalah

potensial serta perlunya mengidentifikasi kebutuhan tindakan

segera harus diidentifikasi menurut kewenangan bidan, meliputi

tindakan mandiri, tindakan kolaborasi dan tindakan merujuk klien.

d. P = Planning

Planning atau perencanaan adalah membuat rencana asuhan

saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan disusun

berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data.

Meskipun secara istilah, P adalah planning atau perencanaan

saja, namun P dalam metode SOAP ini juga merupakan

gambaran pendokumentasian implementasian dan evaluasi.

Dengan kata lain, P dalam metode SOAP meliputi

pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney

langkah kelima, keenam dan ketujuh.

C. Landasan Hukum Kewenangan Bidan

1. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1464/MENKES/PER/X/2010

tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, yaitu:

a. Pasal 9

Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan

pelayanan yang meliputi:

1) Pelayanan kesehatan ibu

2) Pelayanan kesehatan anak

3) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana

b. Pasal 10

1) Ayat 1: pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksudkan

dalam pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil ,

kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui

dan masa anatara dua kehamilan

2) Ayat 2: pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud

pada ayat 1 meliputi:

a) Pelayanan konseling pada masa pra hamil

b) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

c) Pelayanan perslinan normal

d) Pelayanan ibu nifas normal

e) Pelayanan ibu menyusui, dan

f) Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan

3) Ayat 3: Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana

disebutkan pada ayat 2 berwenang untuk:

a) Episiotomi

b) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II

c) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan

perujukan

d) Pemberian tablet Fe pada ibu hamil

e) Pemberian vitamin Adosis tinggi pada ibu nifas

f) Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi

air susu ibu eksklusif

g) Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga

dan postpartum

h) Penyuluhan dan konseling

i) Bimbingna pada kelompok ibu hamil

j) Pemberian surat keterangan kematian, dan

k) Pemberian surat keterangan cuti bersalin

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan, kompetensi

ke-4, yaitu bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap

terhadap kebudayaan setempat selama persalinan yang bersih dan

aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk

mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir.

a. Pengetahuan dasar :

1) Fisiologi persalinan

2) Anatomi tengkorak janin, diameter yang penting dan penunjuk

3) Aspek psikologis dan cultural pada persalinan dan kelahiran

4) Indikator tanda-tanda mulai persalinan

5) Kemajuan persalinan normal dan penggunaan partograf atau

alat serupa

6) Penilaian kesejahteraan janin dalam masa persalinan

7) Proses penurunan janin melalui pelvic selama persalinan dan

kelahiran

8) Pengelolaan dan penatalaksanaan persalinan dengan

kehamilan normal dan ganda

9) Pemberian kenyamanan dalam persalinan, seperti kehadiran

keluarga pendamping, pengaturan posisi, hidrasi, dukungan

moril, pengurangan nyeri tanpa obat

10) Transisi bayi baru lahir terhadap kehidupan diluar uterus

11) Pemenuhan kebutuhan fisik bayi baru lahir meliputi

pernapasan, kehangatan dan memberikan ASI/PASI, eksklusif

6 bulan

12) Pentingnya pemenuhan kebutuhan emosional bayi baru lahir,

jika memungkinkan antara lain kontak kulit langsung, kontak

mata antar bayidan ibunya bila dimungkinkan

13) Mendukung dan meningkatkan pemberian ASI eksklusif

14) Manajemen fisiologi kala III

15) Memberikan suntikan intra maskuler meliputi: uterotonika,

antibiotika dan sedative

16) Indikasi tindakan kedaruratan kebidanan seperti: distosia bahu,

asfiksia neonatal, retensio plasenta, perdarahan karena atonia

uteri dan mengatasi renjatan

17) Indikasi tindakan operatif pada persalinan misalnya gawat janin,

CPD

18) Indikator komplikasi persalinan: perdarahan, partus macet,

kelainan presentasi, eklamsia, kelelahan ibu, gawat janin,

infeksi, ketuban pecah dini tanpa infeksi, distosia karena inersia

uteri primer, post term dan pre term serta tali pusat

menumbung

19) Prinsip manajemen kala III fisiologis

20) Prinsip manajemen aktif kala III

b. Pengetahuan tambahan

1) Penatalaksanaan persalinan dengan malpresentasi

2) Pemberian suntikan anestesi local

3) Akselerasi dan induksi persalinan

c. Keterampilan dasar

1) Mengumpulkan data yang terfokus pada riwayat kebidanan dan

tanda-tanda vital ibu pada persalinan sekarang

2) Melaksnakan pemeriksaan fisik yang terfokus

3) Melakukan pemeriksaan abdomen secara lengkap untuk posisi

dan penurunan janin

4) Mencatat waktu dan mengkaji kontraksi uterus (lama, kekuatan

dan frekuensi)

5) Melakukan pemeriksaan panggul (pemeriksaan dalam secara

lengkap dan akurat meliputi pembukaan, penurunan, bagian

terendah, presentasi, posisi keadaan ketuban, dan proporsi

panggul dengan bayi

6) Melakukan pemantauan kemajuan persalinan dengan

menggunakan partograph

7) Memberikan dukungan psikologis bagi wanita dan keluarganya

8) Memberikan cairan, nutrisi dan kenyamanan yang kuat selama

persalinan

9) Mengidentifikasi secara dini kemungkinan pola persalinan

abnormal dan kegawatdaruratan dengan intervensi yang sesuai

dan atau melakukan rujukan dengan tepat waktu

10) Melakukan amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm

sesuai dengan indikasi

11) Menolong kelahiran bayi dengan lilitan tali pusat

12) Melakukan episiotomy dan penjahitan, jika diperlukan

13) Melaksanakan manajemen fisiologi kala III

14) Melaksanakan manajemen aktif kala III

15) Memberikan suntikan intra maskuler meliputi uterotonika,

antibiotika dan sedative

16) Memasang infuse, mengambil darah untuk pemeriksaan

hemoglobin (HB) dan hematokrit (HT)

17) Menahan uterus untuk mencegah terjadinya inverse uteri dalam

kala III

18) Memeriksa kelengkapan plasenta dan selaputnya

19) Memperkirakan jumlah darah yang keluar pada persalinan

dengan benar

20) Memeriksa robekan vagina, serviks dan perineum

21) Menjahit robekan vagina dan perineum tingkat II

22) Memberikan pertolongan persalinan abnormal: letak sungsang,

partus macet kepala didasar panggul, ketuban pecah dini tanpa

infeksi, post term dan pre term

23) Melakukan pengeluaran plasenta secara manual

24) Mengelola perdarahan post partum

25) Memindahkan ibu untuk tindakan tambahan/kegawat daruratan

dengan tepat waktu sesuai indikasi

26) Memberikan lingkunagan yang aman dengan meningkatkan

hubungan/ikatan tali kasih ibu dan bayi baru lahir

27) Memfasilitasi ibu untuk menyusui sesegera mungkin dan

mendukung ASI eksklusif

28) Mendokumentasikan temuan-temuan yang penting dan

intervensi yang dilakukan

3. Standar Pelayanan Kebidanan

Menurut Syafrudin (2009; h. 84-88) standar asuhan kebidanan dapat

dilihat dari ruang lingkup standar pelayanan kebidanan yang meliputi 25

standar dikelompokan sebagai standar umum, standar pelayanan

antenatal, standar pertolongan persalinan, standar pelayanan nifas, dan

standar pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatus.

a. Standar pertolongan persalinan meliputi :

1) Standar 9 (asuhan saat persalinan)

Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan

sudah dimulai, kemudian memberikan asuhan

dan pemantauan yang memadai, dengan

memperhatikan kebutuhan klien selama proses

persalinan langsung.

2) Standar 10 (persalinan yang aman)

Bidan melakukan pertolongan persalinan yang

aman, dengan sikap sopan dan penghargaan

terhadap klien serta memperhatikan tradisi

setempat.

3) Standar 11 (pengeluaran plasenta dan

peregangan tali pusat)

Bidan melakukan penanganan tali pusat dengan

benar untuk membantu pengeluaran plasenta dan

selaput ketuban secara lengkap.

4) Standar 12 (penanganan kala II dengan gawat

janin melalui episiotomi)

Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat

janin pada kala II yang lama, dan segera

melakukan episiotomi dengan aman untuk

memperlancar persalinan, diikuti dengan

penjahitan perineum.

b. Standar Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatus

yaitu standar 17 (penanganan kegawatan pada eklampsia). Bidan

mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia yang

mengancam, serta merujuk dan atau memberikan pertolongan

pertama.