bab ii, iii, iv

Upload: ajeng-hapsari

Post on 12-Jul-2015

380 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Gangguan fungsi pernapasan pada klien akan membuat kebutuhan klien akan bernapas tidak adekuat. Hal tersebut akan sangat menganggu baik keamanan dan kenyamanan klien. Gangguan pernapasan tuberkulosis dan efusi pleura merupakan salah satu gangguan pernapasan yang dapat saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Intervensi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan gangguan pernapasan tersebut sangat penting agar kebutuhan bernapas klien mencapai taraf yang adekuat. 1.2 Perumusan Masalah Masalah yang akan fokus dibahas dalam makalah ini adalah asuhan keperawata pada klien yang memiliki gangguan pernapasan tuberkulosis dan efusi pleura. 1.3 Tujuan Penulisan Makalah ini memiliki tujuan umum yaang bertujuan untuk menelaah bagaimana memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada klien dengan gangguan pernapasan tuberkulosis dan efusi pleura.. Namun, makalah ini juga memiliki tujuan khusus, yaitu: a) Memaparkan patofisiologis paru-paru klien dengan gangguan tuberkulosis dan efusi pleura b) Menjelaskan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan gangguan pernapasan tuberkulosis dan efusi pleura c) Memecahkan permasalahan yang melandasi klien dalam kasus yang diberikan 1.4 Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah studi literatur dengan beberapa buku rujukan, seperti Keperawatan Medikal Bedah

2

Brunner & Sudart, Fisiologi Manusia: Dasri sel ke sistem karangan Sherwood, serta beberapa refrensi yang dapat mendukung teori dan penulusuran studi literatur dalam makalah ini.

1.5 Sistematika Penulisan Makalah ini disusun dengan BAB I yang dimulai dengan pendahulan. Makalah dilanjutkan dengan BAB II yang memaparkan pembahasan dan fokus dari makalah ini, yaitu tentang eksistensi agama Islam pada zaman postmodern. Makalah kemudian dilanjuti dengan BAB III yang merupakan penjabaran dan sintesis kasus yang telah diberikan dan diakhiri dengan BAB IV yang merupakan kesimpulan dan saran yang diberikan penulis sebagai penutup makalah.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patofisiologis Paru-paru dengan Gangguan Pernapasan TBC dan Efusi Pleura 2.1.1 Tuberkulosis Paru-paru Paru-paru merupakan organ saluran napas bawah yang menyokong fungsi saluran pernapan atas. Alveoli adalah kantong kecil yang berisi udara, tempat oksigen dan karbon dioksida dan gas-gas lain berdifusi (Corwin, 2008). Pleura yang membungkus alveoli-albveoli tersebut merupakan suatu organ yang disebut paru-paru. Paru-paru memiliki fungsi vital dalam pernapasan karena kapasitas volume udara dan tekanan udara akan mempengaruhi bagaimana mekanisme pernapasan pada suatu individu. Gangguan-gangguan pernapasan tertentu akan menimbulkan beberapa manifestasi klinis yang khas. Tuberkolosis (TB) didefiniskan oleh Corwin (2008) sebagai infeksi pernapasan bawah yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosissedikit kasus oleh M. bovis dan M. aviumdan ditularkan melalui inhalasi percikan droplet dari suatu individu ke individu lain. Namun, Smeltzer & Bare (!997) menekankan bahwa TB adalah penyakit infeksius yang menyerang parenkim paru. Tuberkulosis juga dapat ditularkan ke bagian tubuh lainnya, seperti meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Ketika seorang individu terjangkit TB, individu tersebut tidak akan langsung mengalami gangguan pernapasan yang masif. Penyakit TB tidak akan menunjukkan manifestasi klinis yang khas sebelum suatu individu terinfeksi aktif. Infeksi aktif merupakan infeksi yang membuat suatu indivu dapat menularkan TB ke individu lain. Individu yang terjangkit infeksi aktif hanya sekitar 5% dari seluruh orang yang terjangkit TB (Corwin, 2008). Hal tersebut dapat terjadi karena masifnya kerja sistem imun saat pertama kali menghadapi pajanan pertama. Karena alasan sebaliknya lah suatu individu dapat mengalami infeksi aktif. Biasanya individu yang mengalami

4

penyakit aktif disebabkan oleh tidak adekuatnya kerja sistem imun dalam menghadapi bakteri tersebut. Patofisiologi TB dimulai ketika suatu individu yang rentan menghirup basil tuberkulosis dan terinfeksi. Sesaat setelah itu. Bakteri dipindahkan menuju alveoli melalui jalan napas. Di tempat itulah basil memperbanyak diri. Pada saat yang sama, basil juga akan dipindahkan ke bagian tubuh lainnya seperti ginjal, tulang melalui aliran darah dan nodus limfe. Sistem imun merespons keadaan ini dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagositneutrofil dan makrofagmemfagosit banyak bakteri, sedangkan limfosit T khusus melisisikan basil dan jaringan normal. Reaksi tersebut menyebabkan penumpukan eksudat dalam alveoli dan menyebabkan

bronkopneumonia. Infeksi awal dapat terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Masa jaringan baru, granulomasgumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektifdiubah menjadi masa jaringan fibrosa (Smeltzer & Bare, 1997) Bagian sentral dari jaringan tersebut merupakan Turbukel Ghon. Basil tuberkulosa akan sangat suliot dimatikan jika telah mencapai saluran napas bawah. Oleh karena itu, respons inflamasi yang paling tepat bukan membunuhnya secara total, melainkan mengepung basil tersebutbaik yang mati maupun hidupdengan makrofag yang kemudian dibungkus lagi dengan sel T. Hal tersebut dapat terjadi berdasarkan dengan respons seluler (Corwin, 2008). Bakteri yang terkurung tersebut bisa saja aktif krmbali karena pada saat itu, bakteri dorman/tertidur. Sampai pada tahap ini, individu tidak menyandang penyakit aktif. Namun, jika terdapat beberapa pencetus, seperti kelemahan imun dan usia, bakteri tersebut dapat saja bangun kembali. Corwin (2008) menyatakan bahwa banyak kasus tuberkulosis aktif terjadi setelah individu tersebut terpajan beberapa dekade sebelumnya. Ketika dorman teraktivasi, turberkel akan pecah, membentuk jaringan parut, dan membuat paru-paru menjadi lebih bengkak yang semakin akan memancing bronkopneumonia, dan memperparah keadaan. Pada tahap inilah, suatu individu dapat menularkan basil melalui udara. Pada tahap ini pula, manifestasi klinis ditunjukkan dengan jelas (pajanan awal tidak menunjukkan manifestasi klinis yang khas). Manifestasi klinik tersebut dapat berupa demam di siang hari, malaise, keringat

5

malam, hilangnya nafsu makan dan turunnya berat badan, dan batuk purulen yang disertai dengan rasa nyeri di dada. 2.1.2 Efusi Pleura Pleura merupakan bagian terluar dari paru paru di kelilingi oleh membran halus, licin yang juga meluas untuk membungkus dinding anterior toraks dan permukaan superior difragma (Kumala, 1998). Pleura parietalis melapisi toraks, dan pleura viseralis melapisi paru paru. Antara kedua pleura tersebut terdapat ruang, yang disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang jumlahnya antara 10 15 ml yang melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi. Efusi pleurapengumpulan cairan dalam ruang pleura yang nomalnya berkisar 5-15 ml dan memiliki letak di antara permukaan viseral dan parietaladalah penyakit primer yang jarang terjadi, tetapi biasanya merupakan proses penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Smeltzer & Bare, 1997). Efusi didefinsikan sebagai pengumpulan cairan oleh Kumala (1996). Efusi dapat saja berupa seumpulan cairan jernih (transudat) atau cairan yang berupa darah atau purulen (eksudat). Transudat merupakan tanda bahwa kondisi seperti asites atau penyakit sistemik , seperti gagal jantung, menjadi penyebab penumpukan cairan. Eksudat merupakan tanda bahwa kondisi yang mendasari penumpukan cairan adalah inflamasi oleh produk bakteri. Jika efusi pleura disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, eksudatlah yang kemungkinan mengisi pleura. Efusi pleura dapat disebabkan oleh penyakit gagal jantung kongestif, tuberkulosis, pneumonia, infeksi paru, penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplastik. Karsinoma bronkogenik merupakan malignasi yang paling umum berkaitan dengan efusi pleura. Manifestasi klinis yang ditunjukkan oleh gangguan pernapasa ini biasanya merupakan manifestasi klinis penyakit primernya. Jika penyakit primernya merupakan TB, manifestasi klinis yang ditonjolkan adalah manifestasi klinis TB. Namun, efusi pleura juga menujukkan ciri yang dapat dikenal, yaitu egofonibunyi suara yang mengalami penyimpangan, misalnya suara vokal a akan terdengar seprti e.

6

2.2 Pengkajian Tanda-tanda Vital Pada Klien dengan Tuberkulosis Pengkajian tanda vital meliputi suhu, nadi, pernapasan dan tekanan darah adalah tanggung jawab dasar bagi perawat. Tanda-tanda vital memberi gambaran mengenai fungsi organ-organ spesifik terutama jantung dan paru-paru (Morton, 2005). Pengkajian tanda-tanda vital ini dilakukan setiap 4-6 jam pada klien rawat inap, namun pada situasi yang akut dilakukan setiap 1 sampai 2 jam (Morton, 2005). Pada kasus pemicu, dijelaskan bahwa klien memiliki berat badan 35 Kg dan tinggi badan 155 cm. Menurut perhitungan indeks masa tubuh atau body mass index, Berat badan : Tinggi badan2 . IMT = 35 Kg : 1,552 = 14.586.

Pasien TB menjadi sangat lemah karena penyakit kronis yang berkepanjangan dan kerusakan status nutrisi. Hal itu menyebabkan penurunan berat badan yang drastis (Brunner&Suddarth, 2008). Proses infeksi mengakibatkan makrofag mengeluarkan berbagai macam mediator pro inflamasi, salah satunya TNF, yang kemudian menekan nafsu makan di pusatnya,sehingga klien underweight. Selain itu, frekuensi napas normal pada dewasa sebesar 12-20 x/menit. Frekuensi napas yang tinggi disebabkan karena granuloma pada dinding alvelus yang disebabkan bakteri M. Tuberculosis. Jika dibiarkan, penyakit TB akan meluas dan menyebabkan sel-sel di paru-paru mati. Paruparu akan mengecil dan meningkatkan frekuensi napas. Denyut nadi normal sebesar 80x/menit. Diperlukan suatu evaluasi diagnostik untuk mengetahui lebih jelas dan memastikan mengenai penyakit klien. Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, usap basil tahan asam, kultur sputum dan tes tuberkulin(Brunner& Suddarth, 2008).

7

2.3 Pemeriksaan Diagnostik pada Tuberkolosis dan Efusi Pleura Pemeriksaan diagnostik membantu dalam pengkajian klien dengan gangguan pernapasan. Dalam pelaksanaannya, penting untuk mengklarifikasi kapan pemeriksaan diagnostik diperlukan dan untuk tujuan apa, sehingga tindakan yang dilakukan pada klien akan lebih terarah dan lebih berguna, serta tidak merugikan karena harus mengeluarkan biaya untuk hal-hal yang sebenarnya dapat dihindari. Pada pemeriksaan diagnostik saluran napas bawah akan dijelaskan tentang apa yang akan dilakukan dan gambaran hasil yang didapatkan, di dalamnya mencakup pengkajian diagnostik status fungsional, anatomi, dan spesimen (Asih dan Effendy, 2002). Berikut merupakan bagan pemeriksaan diagnostik saluran napas bawah:Pemeriksaan Diagnostik Gangguan Saluran Penapasan Bawah

Pemeriksaan diagnostik status fungsional

Uji pulmonal, oksimetri nadi, kapnografi, dan analisis gas darah arteri.

Pemeriksaan diagnostik anatomi

Radiologi toraks dan paru, ultrasonografi, CT scan, fluoroskopi,angiografi, pulmonal, PET, endoskopi, dan bronkoskopi.

Pemeriksaan diagnostik spesimen

Pemeriksaan sputum, torasentesis, dan pemeriksaan biopsi.

2.3.1 Pemeriksaan Diagnostik Tuberkulosis Untuk memastikan seseorang positif terkena TB harus dilakukan tes pemeriksaan diagnosis terlebih dahulu. Pemeriksaan diagnostik yang diterapkan menurut Lewis, Heitkemper, dan Dirksen (2000), yaitu: 1. Tes kulit tuberkulin

8

Respon imun tubuh dapat dilihat melalui hipersensitifitas terhadap tes kulit tuberkulin. Reaksi positif terjadi 3-10 minggu setelah infeksi awal. PPD (Purified Protein Derivating) dari tuberkulin digunakan di awal untuk mendeteksi keterlambatan respon hipersensitivitas. Cara melakukan tes kulit tuberkulin ini adalah dengan menyuntikkan PPD ke lengan bagian bawah secara intradermal. Adanya reaksi positif mengindikasi hadirnya infeksi tuberkulosi tetapi tidak dapat menunjukkan apakah infeksi dorman atau aktif. 2. X-Ray dada Menunjukkan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas paru, deposit kalsium dari lesi primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. Meskipun penemuan pada pemeriksaan ronsen dada sangat penting akan tetapi diagnosis tidak dapat dilakukan secara mandiri melalui pemeriksaan ini saja. 3. Studi bakteriologi Studi bakteriologi merupakan hal mutlak untuk membangun diagnosis. Pemeriksaan mikroskopik sputum smear basil tahan asam biasanya merupakan petujuk awal dari kehadiran basil tuberkoli. Sputum dapat diperole dari getah lambung, CSF, atau pus dari sebuah abses. Tenik yang paling akurat dalam pendiagnosaan ini adalah menggunakan teknik kultur. Sedangkan menurut Asih dan Effendy (2002) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk menegakkan infeksi TB adalah: 1. Kultur sputum: positif M. tuberculosis pada tahap aktif penyakit. 2. Ziehl-Neelsen (pewarnaan tahan asam): positif untuk basil tahan asam. 3. Tes kulit Matoux (PPD.OT): tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang pernah mengalami kontak dengan infeksi. Reaksi

diinterpretasikan sebagai positif, meragukan, atau negatif. Reaksi positif terjadi bila terdapat indurasi 10 mm atau lebih. Reaksi meragukan bila indurasi berkisar 5 sampai 9 mm dan reaksi negatif bila indurasi kurang dari 5 mm.

9

4. Ronsen dada: menujukkan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas paru, deposit kalsium dari lesi primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. Perubahan yang menandakan TB lebih lanjut mencakup kavitasi, area fibrosa. 5. Biopsi jarum jaringan paru: positif untuk granuloma TB. Adanya sel-sel raksasa menujukkan nekrosis 6. AGD: untuk menilai keadaan fungsi paru-paru, mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan, dan kerusakan paru residual. 7. Pemeriksaan fungsi pulmonal: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang rugi, peningkatan rasio dara residual terhadap kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder akibat infiltrasi/ fibrosis parenkim. 2.3.2 Pemeriksaan Diagnostik Efusi Pleura Salah satu bentuk komplikasi dari tuberkulosis adala efusi pleura (Lewis, Heitkemper, dan Dirksen, 2000). Efusi pleura timbul karena banyaknya pelepasan materi ke ruang pleural. Materi yang mengandung bakteri memicu reaksi inflamasi dan eksudat pleura yang kaya protein. Bentuk dari pleurisi disebut dry pleurisy yang merupakan hasil dari lesi TB superfisial yang melibatkan pleura. Hal ini nampak sebagai lokalisasi nyeri pleuritis ketika melakukan inspirasi dalam (Lewis, Heitkemper, dan Dirksen, 2000). Normalnya, ruang pleura hanya terisi sedikit cairan yaitu 5-15 ml. Cairan di rongga pleura jumlahnya tetap karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9cmH2O. Efusi pleura merupakan pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan viseral dan parietal dan biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Smeltzer dan Bare, 2002). Menurut Muttaqin (2000) berdasarkan jenis caira yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi: 1. Transudat, dapat diesebabkan oleh kegagalan jantung kongesti, sindro nefrotik, ansites, sindrom vena kava superior, tumor, dan sindrom Meigs. 2. Eksudat, diesebabkan oleh infeksi TB, pnemumonia, tumor, infark paru, radiasi, dan penyakit kolagen. 3. Efusi hemoragi, disebabkan oleh tumor, trauma, infark paru, dan tuberkulosis.

10

Cairan dikatakan transudat apabila berat jenisnya 1,016 atau kurang dan kandungan protein 3,0 per 100 ml atau kurang; jika lebih dari itu cairan dikatakan eksudat (Sabiston, 1994). Pengkajian pada area efusi pleura menjelaskan tentang penurunan atau tidak adanya suara napas, penurunan fremitus, dan suara yang datar ketika dipukul. Pemerikasaan fisik, x-ray dada, CT scan dada, thorasentesis dapat menunjukkan adanya cairan (Smeltzer dan Bare, 2002). Selain itu, biopsi pleura juga dilakukan. Cairan pleura dapat dianalisa melalui kultur bakteri, grams stain, acid-fast bacillus (untuk TB), perhitungan sel darah merah dan putih, studi kimia (glukosa, amilase, protein), analisa sitologi untuk sel maligna, dan pH (Smeltzer dan Bare, 2002). Tuberkolosis merupakan salah satu gangguan infeksi saluran napas bawah dan disebabkan oleh M. tuberculosis. Untuk menegakkan bahwa seseorang positif TB maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan diagnostik di antaranya, yaitu: tes kulit tuberkulin (seperti tes kulit Matoux), x-ray dada, studi bakteriologi (kultur dan smear), biopsi jarum jaringan paru, AGD, dan pemeriksaan fungsi pulmonal. Sedangkan efusi pleura merupakan salah satu bentuk komplikasi dari TB. Cairan efusi pleura yang berhubungan erat dengan TB adalah eksudat dan efusi hemoragi. Dan untuk menegakkan seseorang mengidap efusi pleura juga diperlukan pemeriksaan diagnostik, yaitu: pemeriksaan fisik, x-ray dada, CT scan dada, thorasentesis, dan analisa cairan pleura (kultur bakteri, grams stain, acid-fast bacillus perhitungan sel darah merah dan putih, studi kimia analisa sitologi untuk sel maligna, dan pH).

2.4 Penanganan Tuberkolosis dan Efusi Pleura 2.4.1 Penanganan Tuberkolosis Program penanggulangan TBC sesuai dengan strategi nasional menurut Depkes RI (2002) yaitu dengan menerapkan beberapa strategi, yakni paradigma sehat, strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course) sesuai rekomendasi WHO, dan peningkatan mutu pelayanan. (1) Paradigma sehat. Penanggulangannya dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan untuk menemukan penderita TBC sedini

11

mungkin; meningkatkan cakupan promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat; dan perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi tertentu. (2) Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO. DOTS mengandung lima komponen, yaitu komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana; diagnosis TBC dengan pemeriksaan darah secara mikroskopis; pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkolosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO); kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dan mutu terjamin; pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC. (3) Peningkatan mutu pelayanan. Mutu pelayanan dapat ditingkatkan dengan pelatihan seluruh tenaga pelaksana; mengembangkan materi pendidikan kesehatan tentang pengendalian TBC mengunakan media yang cocok untuk tempat kerja; ketepatan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik; kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check), untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium dibentuk KPP (Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Puskesmas Satelit), untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri); ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan; pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus; keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO); pencatatan pelaporan dilaksanakan dengan teratur lengkap dan benar; pengembangan program dilakukan secara bertahap; advokasi sosialisasi kepada para pimpinan perusahaan, organisasi pekerja mengenai dasar pemikiran dan kebutuhan untuk TBC kontrol yang efektif, mencakup kontribusinya dalam pengendalian TBC di tempat kerja; kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana); membuat peta TBC sehingga ada daerah-daerah yang perlu di monitor penanggulangan bagi para pekerja; dan memperhatikan komitmen internasional. (Depkes RI, 2002)

12

Sementara itu, kegiatan penanggulangan TBC di tempat kerja meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya promotif dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan pekerja tentang penanggulangan TBC di tempat kerja melalui pendidikan dan pelatihan dari petugas pemberi pelayanan kesehatan di tempat kerja, penyuluhan, penyebarluasan informasi, peningkatan kebugaran jasmani, peningkatan kepuasan kerja, peningkatan gizi kerja. Upaya preventif yaitu upaya untuk mencegah timbulnya penyakit atau kondisi yang memperberat penyakit TBC, terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah timbulnya penyakit pada populasi yang sehat. Pencegahan primer meliputi pengendalian melalui perundang-undangan (legislative control), diantaranya: UndangUndang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok tenaga kerja, UndangUndang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan; pengendalian melalui administrasi/organisasi (administrative control); pengendalian secara teknis (engineering control) yaitu dengan sistem ventilasi yang baik dan pengendalian lingkungan kerja; pengendalian melalui jalur kesehatan (medical control), antara lain: pendidikan kesehatan (kebersihan perorangan, gizi kerja, kebersihan lingkungan, cara minum obat, dll), pemeriksaan kesehatan awal, berkala & khusus (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin, tuberculin test), peningkatan gizi pekerja, dan penelitian kesehatan. Selain pencegahan primer terdapat pula pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder upaya untuk menemukan penyakit TBC sedini mungkin mencegah meluasnya penyakit, mengurangi bertambah beratnya penyakit. Pencegahan ini dilakukan diantarannya dengan pengawasan dan penyuluhan untuk mendorong pasien TBC bertahan pada pengobatan yang diberikan (tingkat kepatuhan) dilaksanakan oleh seorang "Pengawas Obat" atau juru TBC, pengamatan langsung mengenai perawatan pasien TBC di tempat kerja, case-finding secara aktif, mencakup identifikasi TBC pada orang yang dicurigai dan rujukan pemeriksaan dahak dengan mikroskopis secara berkala, membuat "Peta TBC", sehingga ada gambaran lokasi tempat kerja yang perlu prioritas penanggulangan TBC bagi pekerja, serta pengelolaan logistik.

13

Upaya kuratif dan rehabilitatif merupakan upaya pengobatan penyakit TBC yang bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan berturut-turut dengan menggunakan OAT standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease). Upaya pengobatan TBC dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7) bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat lanjutan. Jenis obat utama yang digunakan adalah Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Sedangkan obat sekundernya antara lain: Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.Dosis Obat Anti Tuberkolosis Kombinasi Dosis Tepat (IUALTD & WHO, 1998) Fase Intensif 2 bulan BB Harian RHZE Harian RHZ 3x/minggu RHZ Harian RH 150/75 2 3 4 5 Fase Lanjutan 4 bulan 3x/minggu RH 150/150 2 3 4 5 6 bulan Harian EH 400/150 1,5 2 3 3

150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 30-37 38-54 55-70 >71

2 3 4 5

2 3 4 5

2 3 4 5

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:o o

Penderita baru TBC paru BTA positif. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

14

Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada:o o o

Penderita kambuh. Penderita gagal terapi. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada:o

Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit TBC antara lain sanitasi perumahan seperti pencahayaan, ventilasi, kepadatan hunian, status gizi, dan daya tahan tubuh. Kategori kepadatan hunian yang baik apabila jumlah anggota dalam satu rumah berjumlah kurang dari 4 orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, potensi penularan TBC paru 3,3 kali lebih besar daripada kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat. Ventilasi yang tidak cukup dalam sebuah rumah akan mengakibatkan potensi penularan TBC menjadi 2,4 kali lebih besar dibanding ventilasi yang baik. Pencahayaan ruangan juga memiliki hubungan yang signifikan dengan potensi penyebaran TBC, yakni potensi penyebaran 5,9 kali lebih besar daripada pencahayaan yang kurang. Hal ini disebabkan karena sinar matahari dapat membunuh basil TB, sehingga tidak ada kesempatan terjadi infeksi kembali pada penderita yang menghuni rumah tersebut. Terdapat pula cara lain untuk mencegah penyakit TBC. Diantaranya, oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarang tempat; oleh masyarakat, dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG; oleh petugas kesehatan, dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya; isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC (pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan); Des-Infeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring,

15

hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup; imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular; penyelidikan orangorang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif; pengobatan khusus (penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Untuk mengendalikan penderita tuberkolosis dapat dilakukan dengan perawat di puskesmas harus mengetahui alamat rumah dan tempat kerja penderita, perawat turut mengawasi pelaksanaan pengobatan agar penderita tetap teratur menjalankan pengobatan dengan jalan mengingatkan penderita yang lupa, perawat harus mengadakan kunjungan berkala kerumah-rumah penderita dan menunjukkan perhatian atas kemajuan pengobatan serta mengamati kemungkinan terjadinya gejala sampingan akibat pemberian obat. 2.4.2 Penanganan Efusi Pleura Penanganan efusi pleura dapat dilakukan dengan pengobatan kausal, thoraxosentesis, dan pleurodesis. (1) Pengobatan kausal. Pleuritis TBC diberi pengobatan anti TBC. Dengan pengobatan ini cairan efusi dapat diserap kembali untuk menghilangkan dengan cepat dilakukan thoraxosentesis. Sedangkan pleuritis karena bakteri piogenik diberi kemoterapi sebelum kultur dan sensitivitas bakteri didapat, ampisilin 4 x 1 gram dan metronidazol 3 x 500 mg. (2) Thoraxosentesis, yakni dengan menghilangkan sesak yang ditimbulkan cairan dengan memasukkan jarum atau selang ke rongga pleura. (3) Pleurodesis. Tindakan melengketkan pleura visceralis dengan pleura parietalis dengan menggunakan zat kimia (tetrasiklin, bleomisin, thiotepa, corynebacterium, parfum, talk) atau tindakan pembedahan. Tindakan dilakukan bila cairan amat banyak dan selalu terakumulasi kembali. Untuk pencegahan efusi pleura, dapat dengan melakukan pengobatan yang adekuat pada penyakit-penyakit dasarnya yang dapat menimbulkan efusi pleura.

16

Merujuk penderita ke rumah sakit yang lebih lengkap bila diagnosa kausal belum dapat ditegakkan.

2.5 Rencana Asuhan Keperawatan pada Tuberkolosis dan Efusi Pleura 2.5.1 Rencana Asuhan Keperawatan pada Tuberkolosis Diagnosa Keperawatan Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan parenkim paru Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

Intervensi a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan parenkim paru NOC : 1. Dorong bernafas bibir selama ekshalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim. 2. Tingkatkan tirah baring/batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan. 3. Kolaborasi periksaan AGD dan pemberian oksigen tambahan yang sesuai. NIC : 1. Kaji dispnea, takipnea, tak normal/menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dadan dan kelemahan. 2. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku. b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum NOC :

17

1. Berikan pasien posisi semi fowler tinggi. Bantu pasien untuk batuk dan latihan nafas dalam. 2. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontarindikasi. NIC : 1. Kaji fungsi pernafasan, bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot aksesori. 2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukus/batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis. 3. Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen mukolitik,

brokodilator, kortokosteroid). c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia NOC : 1. Pastikan pola diit biasa pasien, yang disukai/tidak disukai. 2. Awasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik. 3. Dorong dan berikan periode istirahat sering. 4. Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan. NIC : 1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan, integritas mukosa oral, riwayat mual/muntah atau diare. 2. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat. 2.5.2 Rencana Asuhan Keperawatan pada Efusi Pleura Diagnosa keperawatan a. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas berhubungan dengan kelemahan dan upaya batuk buruk. NOC :

18

Menunjukkan pembersihan jalan nafas yang efektif dan dibuktikan dengan status pernafasan, pertukaran gas dan ventilasi yang tidak berbahaya : Mengeluarkan sekresi secara efektif Mempunyai irama dan frekuensi pernafasan dalam rentang yang normal Mempunyai fungsi paru dalam batas normal

Menunjukkan pertukaran gas yang kuat ditandai dengan : Mudah bernafas Tidak ada kegelisahan, sianosis, dan dispnea Oksigen dalam batas normal

NIC : Kaji dan dokumentasikan Keefektifan pemberian oksigen dan perawatan yang lain Keefektifan pengobatan Kecenderungan pada gas darah arteri Penghisapan jalan nafas Tentukan kebutuhan penghisapan oral/trakeal Pantau status oksigen dan status hemodinamik serta irama jantung sebelum, selama dan setelah penghisapan b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru dan atalektasis. NOC : Pertukaran gas tidak akan terganggu dibuktikan dengan indikator : Status neurologi dalam rentang yang diharapkan Status neurologist dalam rentang yang diharapkan Tidak ada dispnea saat istirahat dan aktifitas Tidak ada gelisah, siamosis, dan keletihan NIC :

19

Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, usaha untuk bernafas, produksi sputum Pantau saturasi oksigen dengan oksimeter Pantau hasil analisa gas darah Pantau status mental (tingkat kesadaran, gelisah)

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum. NOC : Menunjukkan penghematan energi ditandai dengan indikator : Menyadari keterbatasan energi Menyeimbangkan aktifitas dan istirahat Tingkat daya tahan kuat untuk beraktifitas NIC : Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktifitas Tentukan penyebab keletihan Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktifitas Pantau asupan nutrisi untuk memastikan kekuatan sumber energi

20

BAB III PEMBAHASAN 3.1 KASUS Seorang perempuan berusia 37 tahun, di rawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosis medis TBC. Saat ini klien masuk RS dengan keluhan sesak nafas, batuk yang tidak sembuh-sembuh sejak 3 minggu yang lalu dan batuk berdarah serta demam bila malam hari. Dari hasil pengkajian didapatakan, 1 tahun yang lalu klien pernah mendapat pengobatan TBC, tetapi setelah 3 bulan pengobatan ia tidak lagi minum obat karena sudah tidak batuk lagi. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama keluarga besarnya (suami, anak, ayah, ibu, adik, dan kakak) di daerah padat penduduk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nafas 30x/menit, nadi 88x/menit, TD 100/60 mmHg, BB 35 Kg dengan TB 155 cm, klien tampak lemah dan terpasang oksigen nasal kanul 4 liter permenit. 3.2 PEMBAHASAN Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh M. tuberculosis (Asih dan Effendi. 2002). Tuberkulosis adalah penyakit yang terutama menyerang parenkim paru-paru kemudian dapat menyebar ke tubuh bagian yang lain, termasuk ginjal dan nodus limfe serta merupakan penyakit infeksius yang erat kaitannya dengan lingkungan kumuh, kemiskinan, malnutirsi, perumahan di bawah standar, dan ditularkan melalui transmisi udara (Smeltzer dan Bare, 2002). Adapun hal yang perlu dilakukan sebelum menetapkan diagnosa seseorang positif TB atau tidak adalah dengan melakukan pengkajian yang terdiri dari: 1. Data pasien>> Usia dan dimana pasien tinggal. Pasien TB umunya tinggal di daerah padat penduduk sehingga masuknya cahaya matahari ke dalam rumah sangat minim. Hasil yang didapatkan dari kasus: Usia 37 tahun dan tinggal di daerah padat penduduk. 2. Riwayat kesehatan>> Keluhan yang muncul.

21

Hasil yang didapatkan dari kasus: sesak nafas, batuk yang tak sembuhsembuh (selama 3 minggu), batuk berdarah, dan demam. 3. Pemeriksaan Fisik>> Frekuensi napas, nadi, TD, BB, dan TB NORMAL DATA DIDAPAT Frekuensi napas Nadi TD BB dan TB 12-20 x/menit 80x/menit 120/80 mmHg *IBM 30x/ menit 88x/menit 100/60 mmHg BB : 35 kg TB : 155 cm IBM: 14,5... (kurus) YANG

*IBM IBM = BB(kg) TB2 (m) Kurus : normal: gemuk: obese: 30

4. Pemeriksaan Diagnostik a. Tes kulit tuberkulin, pada TB menunjukkan reaksi positif b. X-ray dada, pada TB menunjukkan menujukkan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas paru, deposit kalsium dari lesi primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. c. Kultur sputum, pada TB menunjukkan positif M. tuberculosis pada tahap aktif penyakit. d. Ziehl Neelsen, pada TB menunjukkan positif untuk basil tahan asam. e. Biopsi jaringan paru, pada TB menunjukkan positif untuk granuloma. f. AGD, untuk menilai keadaan fungsi paru-paru, mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan, dan kerusakan paru residual.

22

g. Pemeriksaan fungsi pulmonal, untuk melihat adanya penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang rugi, peningkatan rasio dara residual terhadap kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder akibat infiltrasi/ fibrosis parenkim. Klien (37) dirawat di ruang penyakit dengan diagnosa medis TBC. Kien dapat dikatakan TB aktif karena menunjukkan manifestasi klinik seperti sesak nafas, batuk yang tak sembuh-sembuh (selama 3 minggu), batuk berdarah, dan demam. Klien dengan TB aktif dirawat di rumah sakit karena ada beberapa alasan: sakit akut; situasi kehidupan mereka dianggap beresiko tinggi; diduga tidak patuh terhadap pengobatannya terdapat riwayat TB sebelumnya dan penyait aktif kembali; terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut; dan resisten terhadap obat (Asih dan Effendi). 2002. Dalam situasi seperti ini diperlukan untuk memantau keefektifan terapi dan efek samping obat yang diberikan oleh karena itu klien harus dirawat di rumah sakit. Di dalam kasus juga dijelaskan bahwa pada klien terpasang nasal kanul 4 liter per menit. Nasal kanul merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen kepada klien secara kontinyu dengan aliran 1 6 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan kateter nasal yaitu 24 % - 44 %. Adapun perkiraan oksigen pada nasal kanul 4 liter per menit yaitu 32-36%. Tidak jarang pada TB dapat muncul komplikasi seperti, efusi pleura. Efusi pleura timbul karena banyaknya pelepasan materi ke ruang pleural. Materi yang mengandung bakteri memicu reaksi inflamasi dan eksudat pleura yang kaya protein. Pengkajian pada area efusi pleura menjelaskan tentang penurunan atau tidak adanya suara napas, penurunan fremitus, suara yang datar ketika dipukul, pemerikasaan fisik, x-ray dada, CT scan dada, thorasentesis, biopsi pleura, kultur bakteri, acid-fast bacillus, perhitungan sel darah merah dan putih, studi kimia (glukosa, amilase, protein), analisa sitologi untuk sel maligna, dan pH. Dan adapun intervensi keperawatan yang diberikan kepada penderita TB dan efusi pleura yakni : 1. Intervensi TBC Mendorong bernafas bibir selama ekshalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.

23

Meningkatkan tirah baring/batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan. Kolaborasi periksaan AGD dan pemberian oksigen tambahan yang sesuai. Mengkaji dispnea, takipnea, tak normal/menurunnya bunyi nafas, peningkatan

upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dadan dan kelemahan. Mengevaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku. Memberikan pasien posisi semi fowler tinggi. Bantu pasien untuk batuk dan latihan nafas dalam. Mempertahankan kontarindikasi. Mengkaji fungsi pernafasan, bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot aksesori. Mencatat kemampuan untuk mengeluarkan mukus/batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis. Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen mukolitik, masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali

brokodilator, kortokosteroid). Memastikan pola diit biasa pasien, yang disukai/tidak disukai. Mengawasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik. Mendorong dan berikan periode istirahat sering. Memberikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan. Mencatat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan, integritas mukosa oral, riwayat mual/muntah atau diare. Mendorong pasien makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat. 2. Intervensi Efusi Pleura Mengkaji dan mendokumentasikan keefektifan pemberian oksigen dan perawatan yang lain Mengkaji dan mendokumentasikan keefektifan pengobatan Mengkaji dan mendokumentasikan kecenderungan pada gas darah arteri Menentukan kebutuhan penghisapan oral/trakeal

24

Memantau status oksigen dan status hemodinamik serta irama jantung sebelum, selama dan setelah penghisapan Mengkaji bunyi paru, frekuensi nafas, usaha untuk bernafas, produksi sputum Memantau saturasi oksigen dengan oksimeter Memantau hasil analisa gas darah Memantau status mental (tingkat kesadaran, gelisah) Mengkaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktifitas Menentukan penyebab keletihan Memantau respon kardiorespiratori terhadap aktifitas Memantau asupan nutrisi untuk memastikan kekuatan sumber energi

25

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien dengan gangguan pernapasan tuberkulosis dan efusi pleura merupakan soklusi dari kasus yang dianalisis. Namun, mengkaji lingkungan dan latar belakang klien sangatlah medukung agar perawat dapat menyusun perencanaan yang lebih strategis dan realistis bagi klien. Sudah sepatutnya perawat memperhatikan segala aspek demi menyusun asuhan keperawatan yang tepat bagi klien. 4.2 Saran Makalah ini hanya merupakan hasil studi literatur dan masih sangat memiliki kekurangan. Oleh karena itu, saran yang dapat diberikan di dalam makalah ini adalah memperhatikan dengan seksama segala penyebab epidemi yang terkait dengan kasus sebagai metode preventif. Selain itu, perawat juga sebaiknya menyusun asuhan keperawatan yang disesuaikan dengan kebutuhan klien

26

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. (2002). Tuberkolosis: Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya. Ed.4. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru. dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Asih dan Effendy. (2002). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC. Black dan Hawks. (2005). Medical-Surgical Nursings: Clinical Management for Positive Outcomes. 7th Ed. Vol. 2. Missouri: Elsevier Saunders. Brunner, L.S., Suddarth, D.S., & Smeltzer, S.C.O. (2008). Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical nursing (11th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Corwin, E. J. (2008). Handbook of Pathophysiology. 3rd ed. (Terj. Nike Budhi Subekti). Jakarta: EGC. Depkes, RI. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkolosis. Jakarta. Hiswani. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. http://library.usu.ac.id/download/fkm /fkm-

hiswani6.pdf (diunduh pada 01/10/2011 pukul 20.05) Kumala, P., dkk. (1998). Dorlands Pocket Medical Dictionary. 25th Ed. (Ter. Dyah Nuswantri). Jakarta: EGC. Laban, Y.Y. (2008). TBC: Penyakit dan Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius. Lewis, Heitkemper, dan Dirksen. (2000). Medical Surgical Nursing: Assessment and Magement of Clinical Problems. 5th Ed. USA: Mosby.

27

Morton, Patricia. (2005). Panduan Pemeriksaan Kesehatan Dengan Dokumentasi Soapie (Edisi 2) Alih bahasa : Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC. Muttaqin, A. (2000). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. NANDA. (2005). Panduan Diagnosa Keperawatan. (alih bahasa Budi Santosa). Jakarta: Prima Medika Perhimpunan Dokter Paru di Indonesia. Indonesia. (2002). Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan

http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_

TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf (Diunduh pada 01/10/2011 pukul 10:35) Sabiston. (1994). Essentials of Surgery. (Terj. Petrus Andriyanto). Jakarta: EGC. Sacher, Ronald., McPherson, Richard. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Alih bahasa : Brahm. Jakarta : EGC Sjamsuhidajat, R., Jong, de Wim. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 2). Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C. & Bare, B.G. (1997). Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing. 8th ed. (Terj. Agung Waluyo, et. al). Jakarta: EGC. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf (diunduh pada 01/10/2011 pukul 05.45) http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf (diunduh pada 01/10/2011 pukul 06.00) http://medicastore.com/penyakit/69/Tuberkulosis_TBC.html 01/10/2011 pukul 06 http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=897&tbl=kesling (diunduh pada 01/10/2011 pukul 10:36) (diunduh pada