bab ii epilepsi

52
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Epilepsi 1. Definisi Epilepsi menurut JH Jackson (1951) adalah suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum) (Browne, 2000). Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal disebabkan berbagai etiologi (Harsono et al, 2008). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor

Upload: husein-rahmat

Post on 29-Nov-2015

151 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

skripsi

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II epilepsi

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Epilepsi

1. Definisi

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) adalah suatu gejala akibat

cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan

tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal)

atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum) (Browne,

2000). Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh

bangkitan epilepsi berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi

otak secara intermiten disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal

dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal disebabkan berbagai

etiologi (Harsono et al, 2008).

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International

Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi

epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor

predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan

neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang

diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat

bangkitan epileptik sebelumnya. Bangkitan epileptik didefinisikan sebagai

tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas

neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Fisher et al,

2005).

Page 2: BAB II epilepsi

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru

dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu (Octaviana, 2008):

1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya

2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya

bangkitan selanjutnya

3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,

psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam tatalaksana

seorang penderita epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang

perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus

diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit

epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya (Octaviana, 2008).

2. Etiologi

Epilepsi disebabkan oleh beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi

otak, antara lain (Harsono et al, 2008):

1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai

predisposisi genetik.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-

Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan

ensefalopati difus.

3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.

Misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak

Page 3: BAB II epilepsi

ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),

metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Penyebab epilepsi dilihat dari umur, biasanya disebabkan paling

sering karena; pada bayi terjadi asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma

intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada

otak, atau infeksi; pada anak dan remaja kebanyakan epilepsi idiopatik

dan pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi oleh karena idiopatik,

cedera kepala, tumor (Ikawati, 2009).

3. Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi berdasarkan American Society Epilepsy (2010)

adalah sebagai berikut :

a. Epilepsi parsial

1) Epilepsi parsial sederhana

Epilepsi parsial sederhana ditandai dengan gejala motorik

(gerakan abnormal unilateral), gejala sensorik dari visual,

auditory, olfactory, gustatory (halusinasi seperti kilatan cahaya,

kesemutan, telinga berdengung, vertigo), gejala otonom (sensasi

epigastrium, panas, berkeringat, kemerahan, merinding dan

dilatasi pupil), gejala psikis (gangguan berbahasa, gangguan

kognitif, de javu, ketakutan, marah-marah, gangguan ilusi).

Biasanya berlangsung kurang dari satu menit (Price dan Wilson,

2006).

2) Epilepsi parsial kompleks

Page 4: BAB II epilepsi

Epilepsi parsial komplek pada awalnya berupa epilepsi

parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya kesadaran.

Durasi serangan berlangsung antara 1 sampai 3 menit (American

Society Epilepsy, 2010).

3) Epilepsi sekunder umum

Epilepsi sekunder umum adalah epilepsi parsial sederhana

atau komplek yang berkembang menjadi epilepsi umum. Kejang

biasanya berlangsung antara 1 sampai 3 menit (American Society

Epilepsy, 2010).

b. Epilepsi umum

1) Epilepsi absence (Petit mal)

Epilepsi absence ditandai dengan hilangnya kesadaran

secara singkat, sering salah diagnosis sebagai melamun. Ditandai

dengan tatapan mata yang kosong, kelopak mata bergetar,

berkedip dengan cepat yang berlangsung beberapa detik. Kejang

absence hampir selalu terjadi pada anak, jarang dijumpai pada usia

diatas 20 tahun. Setelah pubertas biasanya menghilang atau

digantikan dengan kejang tipe lain, terutama kejang tonik klonik

(American Society Epilepsy, 2010).

2) Epilepsi mioklonik

Epilepsi mioklonik ditandai dengan kontraksi menyerupai

syok mendadak yang terbatas pada beberapa otot atau tungkai dan

berlangsung singkat (Price dan Wilson, 2006).

Page 5: BAB II epilepsi

3) Epilepsi klonik

Gejala yang ditimbulkan pada epilepsi klonik adalah

gerakan menyentak, repetitif, dapat tunggal atau multipel pada

lengan atau tungkai (Price dan Wilson, 2006).

4) Epilepsi tonik

Epilepsi tonik ditandai dengan peningkatan mendadak

tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian

atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Kejang berlangsung 2

sampi 20 detik ( Price dan Wilson, 2006 dan American Society

Epilepsy, 2010).

5) Epilepsi tonik klonik (grand mal)

Serangan kejang epilepsi umum tonik klonik sering

didahului oleh gejala prodorma berupa rasa tidak enak, nteri

kepala, insomnia, perubahan suasana hati (mood), euforia, dan

iritabel. Hal ini terjadi beberapa jam atau hari sebelum serangan

(Natriana, 2001),

Epilepsi tonik klonik diawali dengan hilangnya kesadaran

dengan cepat. Penderita kehilangan posisi berdiri, mengalami

gerakan tonik kemudian klonik. Terjadi spasme tonik-klonik otot,

inkontinensia urin, menggigit lidah. Pada fase tonik, otot-otot

berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini

berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan

kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan

melemas sehingga terjadi gerakan menyentak. Keseluruhan kejang

Page 6: BAB II epilepsi

berlangsung selama 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode

tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai 30

menit. Setelah sadar mungkin pasien tampak kebingungan, agak

stupor, atau bengong. Tahap ini disebut periode pascaiktus.

Umumnya pasien tidak dapat mengingat kembali kejadian

kejangnya (Price dan Wilson, 2006).

Pemeriksaan EEG menunjukkan gelombang lambat

paroksismal bilateral dalam periode interiktal.

6) Epilepsi atonik

Epilepsi atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot

postural sehingga pada keadaan yang berat pasien dapat terjatuh.

Serangan berlangsung kurang dari 1 menit (American Society

Epilepsy, 2010).

4. Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi

aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated

ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting

artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.

Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler

dan intraseluler dan gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran

neuron (Raharjo, 2007).

Page 7: BAB II epilepsi

Fokus kejang terjadi pada tingkat membran sel terjadi melalui

beberapa fenomena biokimiawi, termasuk berikut ini (Price dan Wilson,

2006) :

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga lebih mudah mengalami

pengaktifan.

b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang melepaskan muatan

menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara

berlebihan.

c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang

waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan kelebihan asetilkolin atau

defisiensi asam gama aminobutirat (GABA).

d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa

atau elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron

sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan ini

menyebabkan peningkatan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi

neurotransmitter inhibitorik.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang

adalah membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion

kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion

kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel

(intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler

tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup

mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,

keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium (Raharjo, 2007).

Page 8: BAB II epilepsi

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya

ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks)

sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada

sel neuron (gambar A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang

terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi

natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti

semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung

berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar B).

Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana

terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang

berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar C)

(Octaviana, 2008).

Gambar 2.1. Gangguan Pompa Na+/K+ pada Kejang (Chang dan Lowenstein, 2003)

Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan

di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal sehingga terjadi

sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok

atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini

dapat terjadi karena (Raharjo, 2007) :

Page 9: BAB II epilepsi

1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan

Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik

secara berlebihan.

2. Fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan

hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan.

Teori patofisiologi lain adalah terjadi perubahan komposisi dan

ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri

dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan

hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsi

lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula

dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc

meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme

epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada

cedera otak. Saat terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan

terjadi eksitoksisitas glutamat dan meningkatkan aktivitas NMDA (N-

Methyl-D-Aspartate) reseptor dan terjadi influk ion kalsium yang

berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx

ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak

terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron (Octaviana,

2008).

Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan

oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter

eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi

neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang

Page 10: BAB II epilepsi

selanjutnya berperan pada reseptor NMDA (N-Methyl-D-Aspartate) atau

AMPA (A-amino-3 hydroxy-5 Methyl-4 isoxazol Propionic Acid) di

postsinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat

(NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.

Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip

kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik

membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas

bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari

reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal

natrium dan kalium). Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium,

kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem

komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini

menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi

sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion

tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada

penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor

neurotransmiter tertentu (Utomo, 2011).

Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma

aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat

(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam

penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkolin di hipokampus yang dikenal

sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar

(Utomo, 2011).

Page 11: BAB II epilepsi

5. Penegakan Diagnosis

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat

diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan

ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan

membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan lebih efektif.

Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan

mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan

neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak

(Sunaryo, 2007).

a. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi (Raharjo, 2007):

1. Pola / bentuk bangkitan

2. Lama bangkitan

3. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

4. Frekuensi bangkitan

5. Faktor pencetus. Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena

kurang tidur, cahaya yang berkedip, menstruasi, faktor makan dan

minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan

minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental,

suara suara tertentu, dan drug abuse.

6. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

7. Usia saat serangan terjadinya pertama

8. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

9. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

10. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Page 12: BAB II epilepsi

b. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan

dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus,

kecanduan alkohol atau obat terlarang dan kanker (Raharjo, 2007).

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Elektro ensefalografi (EEG)

Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video

EEG secara simultan, yang mengaitkan temuan EEG dengan

serangan. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk

mengetahui tipe bangkitan dan prognosis (Price dan Wilson,

2006).

Indikasi pemeriksaan EEG (Utomo, 2011):

a. Membantu menegakkan diagnosis epilepsi

b. Menentukan prognosis pada kasus tertentu

c. Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi (OAE)

d. Membantu dalam menentukan letak fokus

e. Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan

sebelumnya.

2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging

bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG.

Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan

secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk

Page 13: BAB II epilepsi

membandingkan hipokampus kanan dan kiri. MRI dapat

mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan

hemangioma kavernosa (Price dan Wilson, 2006).

Indikasi pemeriksaan radiologis (Utomo, 2011):

a. Semua bangkitan pertama yang diduga kelainan struktural

b. Adanya perubahan bentuk bangkitan

c. Terdapat defisit neurologis fokal

d. Epilepsi dengan bangkitan parsial

e. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun

f. Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi

Epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik

dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang

ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG (Utomo, 2011).

6. Penatalaksanaan

Prinsip Terapi Epilepsi (Dewanto et al, 2009)

1. Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping,

interaksi antar OAE (obat anti epilepsi), dan harga obat.

2. Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama

sesuai dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan

teratasi/didapat hasil yang optimal dan konsentrasi plasma OAE pada

kadar kadar maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi, secara

bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.

3. Konseling. Edukasi keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE

jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen

Page 14: BAB II epilepsi

(meskipun penyebab dasar kejang dapat menimbulkan keadaan

demikian) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat menurunkan

kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus

sepengetahuan dokter.

4. Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya

toksisitas OAE. Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan

secara periodik pada beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi

ulang fungsi neurologis secara rutin.

5. Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai

pasien bebas bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun.

6. Penghentian pengobatan. Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian

pengobatan dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam

pengawasan ketat karena dapat mencetuskan bangkitan atau bahkan

status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah

penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi sekurang-

kurangnya 1-2 tahun.

Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan

diagnosis dan jenis OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan

pengetahuan penderita menghadapi penyakit epilepsi.

Memulai Pengobatan (Dewanto et al, 2009)

1. Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi dua kali bangkitan dalam

selang waktu yang tidak lama (maksimum satu tahun).

2. Pada umumnya, bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE,

kecuali bila terdapat pertimbangan kemungkinan berulang yang tinggi.

Page 15: BAB II epilepsi

3. Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu

OAE, kecuali mengganggu penderita.

Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan (Shornov,

2005)

Tipe bangkitan Obat yang menunjukkan

efek

Obat yang dapat

memperburuk kejang

Parsial, tonik

klonik primer,

tonik klonik

sekunder

Acetazolamide,

carbamazepine, clobazam,

clonazepam, felbamate,

gabapentin, lamotrigine,

levetiracetam,

oxcarbazepine,

phenobarbital, phenytoin,

pregabalin, primidone,

rufinamide, tiagabine,

topiramate, valproate,

vigabatrin, zonisamide

Absence (typical

absence)

Aretazolamide, clobazam,

clonazepam,

ethosuximide, lamotrigine,

levetiracetam,

phenobarbital, topiramate,

valproate

Carbamazepine,

gabapentin,

oxcarbazepine,

tiagabine, vigabatrin

mioklonik Clobazam, clonazepam, Carbamazepine,

Page 16: BAB II epilepsi

lamotrigine, levetiracetam,

phenobarbital, piracetam,

topiramate, valproate

gabapentin,

oxcarbazepine,

phenytoin, tiagabine,

vigabatrin

Atipical

absence, tonik

dan atonik

Acetazolamide, clobazam,

clonazepam, felbamate,

lamotrigine, phenobarbital,

primidone, rufinamide,

topiramate, valproate,

zonisamide

Carbamazepine,

gabapentin,

oxcarbazepine,

phenytoin, tiagabine,

vigabatrin

B. Fungsi Kognitif

1. Definisi Kognitif

Page 17: BAB II epilepsi

Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan

sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi,

bahasa dan fungsi psikomotor. Setiap aspek fungsi kognitif adalah

kompleks. Memori dapat dibagi kembali menjadi memori jangka pendek,

memori jangka panjang, dan working memory. Perhatian dapat secara

selektif, terfokus, terbagi atau terus menerus, dan persepsi meliputi

beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari

rangsangan indera yang berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman).

Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi

berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek kognitif bahasa adalah

mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan

pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan

pemrogaman dan eksekusi motorik. Semua fungsi kognitif di atas

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suasana hati (sedih atau

gembira), tingkat kewaspadaan, tenaga, kesejahteraan fisik dan juga

motivasi (Nehling, 2010). Secara sederhana fungsi kognitif dapat

disimpulkan sebagai semua proses mental yang digunakan oleh organisme

untuk mengatur informasi seperti memperoleh input dari lingkungan

(persepsi), memilih (perhatian), mewakili (pemahaman), menyimpan

(memori) informasi dan akhirnya menggunakan pengetahuan ini untuk

menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi output motorik) (Bostrom

dan Sandberg, 2009).

Perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah fungsi luhur. Otak

manusia jauh berbeda dengan otak binatang karena adanya korteks

Page 18: BAB II epilepsi

asosiasi yang menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer.

Terdapat tiga sistem yang penting yang mengatur fungsi kortikal luhur

yaitu sistem kesadaran, sistem limbik, dan kortek (Yudawijaya, 2010).

Fungsi kognitif mempunyai empat item utama yang dapat

dianalogkan dengan kerja komputer yaitu (Dongoran, 2007) :

1. Fungsi reseptif, yang melibatkan kemampuan untuk

menyeleksi, memproses, mengklasifikasikan dan

mengintegrasikan informasi.

2. Fungsi memori dan belajar, maksudnya adalah mengumpulkan

informasi dan memanggil kembali.

3. Fungsi berpikir adalah mengenai organisasi dan reorganisasi

informasi.

4. Fungsi ekspresif, yaitu informasi-informasi yang didapat

dikomunikasikan dan dilakukan.

2. Manifestasi Gangguan Kognitif

Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan

pada aspek bahasa, memori, emosi, visuospasial dan kognisi

(Lumbantobing, 1997).

1. Gangguan bahasa

Gangguan bahasa pada demensia terutama tampak pada

kemiskinan kosa kata. Pasien tak dapat menyebut nama benda atau

gambar yang ditunjukkan padanya (confrontation naming), tetapi lebih

sulit lagi untuk menyebutkan nama benda dalam satu kategori

(categorical naming), misalnya disuruh menyebut nama buah atau

Page 19: BAB II epilepsi

hewan dalam satu kategori. Sering adanya diskrepansi antara

penamaan konfrontasi dan penamaan kategori dipakai untuk

mencurigai adanya demensia dini. Misalnya orang dengan cepat dapat

menyebutkan nama benda yang ditunjukkan tetapi mengalami

kesulitan kalau diminta menyebutkan nama benda dalam satu kategori,

ini didasarkan karena daya abstrak mulai menurun (Lumbantobing,

1997).

2. Gangguan memori

Gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama

timbul pada demensia dini. Pada tahap awal yang terganggu adalah

memori barunya, yakni cepat lupa apa yang baru saja dikerjakan.

Namun lambat laun memori lama juga dapat terganggu. Dalam klinik

neurologi fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung

lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall, yaitu

(Lumbantobing, 1997) :

a. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara

stimulus dan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan

pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).

b. Memori baru (recent memory), rentang waktunya lebih lama yaitu

beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

c. Memori lama (remote memory), rentang waktumya bertahun-tahun

bahkan seumur hidup.

3. Gangguan emosi

Page 20: BAB II epilepsi

Sekitar 15% pasien mengalami kesulitan melakukan kontrol

terhadap ekspresi dari emosi. Tanda lain adalah menangis dengan tiba-

tiba atau tidak dapat mengendalikan tawa. Efek langsung yang paling

umum dari penyakit pada otak terhadap kepribadian adalah emosi yang

tumpul, disinhibition, kecemasan yang berkurang atau euforia ringan,

dan menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang

berlebihan, depresi dan hipersensitif (Lumbantobing, 1997).

4. Gangguan visuospasial

Gangguan ini juga sering timbul dini pada demensia. Pasien

banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan malam, lupa wajah

teman dan sering tidak tahu tempat sehingga sering tersesat

(disorientasi waktu, tempat dan orang). Secara obyektif gangguan

visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien mengkopi

gambar atau menyusun balok-balok sesuai bentuk tertentu

(Lumbantobing, 1997).

5. Gangguan kognisi

Fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien demensia,

terutama gangguan daya abstraksinya. Ia selalu berpikir kongkrit,

sehingga sukar sekali memberi makna peribahasa. Daya persamaan

(similarities) juga mengalami penurunan (Lumbantobing, 1997).

3. Penilaian Fungsi Kognitif

Pemeriksaan status mental mini (mini mental state examination)

merupakan suatu tes uji tapis yang valid terhadap gangguan kognitif. Tes

tersebut diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak di

Page 21: BAB II epilepsi

gunakan di dunia dan di Indonesia juga telah direkomendasikan oleh

kelompok studi fungsi luhur Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia (PERDOSSI). (Dahlan, 1999).

Mini mental state Examination (MMSE) telah dipergunakan secara

luas selama lebih dari 25 tahun untuk penilaian gangguan sederhana dan

cepat. MMSE dianjurkan oleh American Neuropsyciatric Association

sebagai alat skreening rutin untuk mengidentifikasi gangguan kognitif

dalam praktek klinis dan penelitian. MMSE adalah salah satu tes kognitif

umum dengan komponen orientasi, atensi, kalkulasi, bahasa, dan

kemampuan mengulang (recall). Tes ini memiliki sensitivitas yang tinggi

dalam menilai gangguan kognitif dan sering dipergunakan untuk menguji

tapis gangguan kognitif ringan maupun demensia tahap awal (Kanaya &

Elizabeth, 2004).

Tes ini terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan respon

fokal yang meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian

dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk

menyebutkan nama, mengikuti perintah verbal dan tulisan, menuliskan

kalimat dan menggambarkan polygon serupa gambar Bender-Gestalt

dengan jumlah skor 9. Skor maksimal seluruhnya adalah 30. Skor ini

harus dikurangi 1 angka pada setiap kenaikan satu dekade diatas umur 60

tahun dan satu angka untuk setiap pendidikan kurang dari 8 tahun

(Departemen Kesehatan, 2004).

Penilaian tes ini dimulai dari 0-5, apabila pada tes ini didapatkan

nilai 23 atau kurang diduga terdapat gangguan kognitif. Pemeriksaan

Page 22: BAB II epilepsi

MMSE memiliki skor maksimal 30, nilai dibawah ≤23 dianggap abnormal

dan mengindikasikan gangguan kognitif yang bermakna pada pasien

berpendidikan tinggi dan berpotensi menjadi demensia. Penyandang yang

berpendidikan rendah dianggap memilki resiko yang lebih tinggi untuk

menjadi demensia bila fungsi kognitif <23 (Charles, 2003).

Beberapa penulis melaporkan bahwa nilai MMSE dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti faktor sosiodemografik, termasuk di dalamnya

adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status

perkawinan. Faktor lingkungan dan kebiasaan meliputi beban kehidupan

secara umum, stress fisik, kontak sosial, aktifitas fisik, merokok dan

minum alkohol juga ikut berpengaruh. Penelitian lain melaporkan bahwa

umur dan pendidikan akan mempengaruhi nilai MMSE sedangkan

penelitian lain melaporkan bahwa yang mempengaruhi nilai MMSE hanya

tingkat pendidikan saja (Yudawijaya, 2010).

Interpretasi pemeriksaan MMSE memiliki cut off point 27, akan

tetapi pemeriksaan ini juga tergantung pada tingkat pendidikan seseorang.

Interpretasi gangguan kognitif untuk pendidikan < 8 tahun apabila skor

MMSE < 26 sedangkan, interpretasi gangguan kognitif pada pendidikan >

8 tahun apabila skor MMSE > 27 (Charles, 2003). Berikut ini adalah tabel

interpretasi skor pemeriksaan MMSE :

Tabel 4. Interpretasi skor pemeriksaan MMSE

Metode SKOR INTERPRETASI

Single cut off <27 Penurunan fungsi kognitif

Page 23: BAB II epilepsi

Rentang <23

>25

Peningkatan odds demensia

Penurunan odds demensia

Pendidikan <25

<26

<27

Tidak normal untuk pendidikan 8 tahun.

Tidak normal untuk pendidikan SMA/SMU.

Tidak normal untuk pendidikan sarjana

Keparahan 27-30

23-26

17-22

0-16

Tidak ada gangguan kognitif.

Gangguan kognitif ringan

Gangguan kognitif berat

Sumber: (Daphne, et al., 2005)

4. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Gangguan Fungsi Kognitif

Beberapa penyakit atau kelainan pada otak dapat mengakibatkan

kelainan atau gangguan fungsi kognitif, antara lain (Yudawijaya, 2010):

a. Cedera kepala

b. Obat-obat toksik

c. Infeksi susunan saraf pusat

d. Epilepsi

e. Penyakit serebrovaskuler (termasuk di dalamnya faktor-faktor

resiko stroke yang saling mempengaruhi, salah satunya

hiperhomosisteinemia)

f. Tumor otak

g. Degenerasi

5. Penyebab Gangguan Kognitif Penderita Epilepsi

Beberapa faktor dapat mempengaruhi gangguan kognitif penderita

epilepsi. Faktor-faktor tersebut antara lain (Natriana, 2001) :

Page 24: BAB II epilepsi

a. Kerusakan otak

Banyak keadaan yang dapat menimbulkan epilepsi seperti trauma

kepala, infeksi susunan saraf pusat, penyakit serebrovaskuler,

intoksikasi, dan penyakit degeneratif. Jumlah penderita epilepsi yang

diketahui penyebabnya ternyata lebih rendah dibandingkan dengan

yang tidak diketahui penyebabnya. Meskipun demikian, beberapa

peneliti mengemukakan bahwa kerusakan otak bertanggung jawab

terhadap gangguan fungsi kognitif (Natriana, 2001)

b. Frekuensi dan durasi serangan epilepsi

Kerusakan otak akan timbul bersamaan dengan frekuensi serangan

kejang yang tinggi. Frekuensi serangan epilepsi sendiri baik secara

langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi fungsi kognitif.

Kejang dengan kehilangan kesadaran secara langsung mengganggu

fungsi mental, tidak hanya terjadi selama serangan bahkan beberapa

hari setelah serangan (Natriana, 2001)

Kejang yang berlangsung lama dapat menyebabkan efek

neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh

meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut

lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang

menyebabkan turunnya tekanan darah, gula darah, disritmia, edema

paru. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat

menyebabkan hipotensi serebrum dan gangguan sawar darah dan otak

yang menyebabkan edema serebrum (Price dan Wilson, 2006).

c. Beratnya serangan epilepsi

Page 25: BAB II epilepsi

Faktor ini merupakan faktor yang cukup berperan walaupun

bervariasi diantara penderita dengan bentuk yang sama dan mungkin

juga bervariasi di antara serangan pada individu yang sama. Serangan

dianggap menjadi berat bila sampai menimbulkan trauma sekunder

(edema otak, hipoksia otak). Beratnya serangan akan menggambarkan

luas dan sifat yang mendasari keadaan patologis otak (Natriana, 2001)

d. Lamanya menderita epilepsi

Fungsi kognitif dapat terganggu akibat epilepsi yang diderita dalam

jangka waktu lama. Gangguan kognitif banyak terjadi setelah

menderita epilepsi dalam kurun waktu 10 tahun. Lamanya

menyandang epilepsi secara umum berarti penderita mengalami

serangan berulang dan pengobatan yang lama (Natriana, 2001)

e. Umur saat serangan pertama

Serangan awal yang terjadi pada usia muda di duga sebagai faktor

yang memperburuk. Dikmen menyatakan bahwa serangan awal pada

usia kurang dari lima tahun akan menimbulkan gangguan mental yang

lebih berat daripada bila serangan awal pada usia 17-50 tahun. Pada

umumnya kombinasi penderita dengan serangan awal pada usia muda

dan telah lama menderita epilepsi akan mengalami gangguan kognitif

yang lebih berat (Natriana, 2001)

f. Gambaran elektroensefalografi (EEG)

Cetusan epilepsi subklinik dapat mempengaruhi fungsi kognitif.

Cetusan di hemisfer kiri mengganggu registrasi materi verbal,

sedangkan cetusan di hemisfer kanan mengganggu registrasi stimulus

Page 26: BAB II epilepsi

non verbal. Cetusan epilepsi subklinik akan mengganggu memori

interiktal (memori antara dua serangan) yang menyebabkan kesulitan

dalam proses penyandian dan konsolidasi. Epilepsi umum tonik klonik

dapat pula menyebabkan kerusakan hipokampus (pusat memori)

karena kepekaan daerah tersebut terhadap gangguan metabolik dan

hipoksia (Natriana, 2001)

g. Obat anti epilepsi

Obat anti epilepsi dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif.

Obat antiepilepsi menurunkan rangsangan membran, meningkatkan

penghambatan postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf

untuk mengurangi rangsangan saraf berlebihan yang berhubungan

dengan terjadinya kejang. Efek samping umum dari penurunan

rangsangan saraf adalah memperlambat motor dan kecepatan

psikomotor, miskin perhatian dan gangguan memori ringan (Loring,

2005). Reynold dkk (1981) menyatakan bahwa pengobatan politerapi

akan memberikan hasil fungsi memori yang lebih buruk jika

dibandingkan monoterapi. Penderita dengan kadar obat toksik,

mempunyai fungsi memori yang lebih buruk jika dibandingkan

dengan penderita epilepsi dengan kadar obat dalam rentang terapi

(Natriana, 2001). Menurut Meador (2005) kadar obat dalam darah

hanya sedikit mempengaruhi fungsi kognitif. Suasana hati yang dapat

mengganggu kewaspadaan lebih dari atensi biasa sehingga dapat

mempengaruhi memori. Natriana (2001) juga menyatakan kadar obat

dalam serum (lebih rendah atau sesuai kadar terapetik), tidak

Page 27: BAB II epilepsi

mempengaruhi fungsi memori penderita epilepsi grand mal yang

mendapat monoterapi fenitoin.

Herman et al dalam Cramer et al (2010) menyatakan obat anti

epilepsi yang paling besar menyebabkan gangguan fungsi kognitif

adalah fenobarbital. Penurunan mental terjadi ketika pemberian

fenobarbital dihentikan. Anak-anak yang mendapat terapi fenobarbital

juga mempunyai intelegensi skor yang rebih rendah dari anak normal.

Pemberian fenitoin dan valproat tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan.

Kantoush et al (1998) melaporkan terjadi penurunan tingkah laku

pada penderita epilepsi yang menerima monoterapi fenitoin. Fenitoin

menginduksi gangguan fungsi behavioral dengan mengurangi enzim

asetilkolin esterase di hipokampus, cerebellum, dan corpus striatum.

Natriana (2001) menyatakan pemberian monoterapi fenitoin pada

penderita epilepsi grand mal memberikan pengaruh buruk pada fungsi

memori. Gangguan memori tersebut meliputi gangguan memori verbal

dan visual segera, gangguan memori verbal baru dan memori verbal

lama. Lama penggunaan monoterapi fenitoin lebih dari satu tahun

pada anak memiliki resiko lebih besar menimbulkan gangguan

kognitif dibanding valproat (Tan et al, 2008).

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diketahui kerja obat

antiepilepsi (OAE) pada otak manusia, sehingga dapat diketahui

mekanisme dasar yang menimbulkan gangguan fungsi kognitif.

Page 28: BAB II epilepsi

C. Tinjauan Umum Obat Fenitoin

Fenitoin dapat diberikan secara oral atau intravena. Pemberian secara

intra muskular tidak dainjurkan karena dapat terjadi penggumpalan dalam

otot. Absorpsi maksimal terjadi di duodenum sedangkan di jejunum dan

ileum lebih lambat karena mempunyai pH 7-7,5. Kadar puncak pemberian

peroral dicapai dalam 4-12 jam setelah pemberian Pengikatan fenitoin oleh

protein plasma, terutama albumin antara 70-95% sedangkan sisanya dalam

bentuk bebas. Bentuk bebas ini yang aktif sebagai obat anti epilepsi (OAE).

Pemberian bersama obat lain dapat menimbulkan interaksi obat (Shorvon,

2005).

Dosis terapi 4-6 mg/kg BB/ hari untuk dewasa dan 6-8 mg/kg BB/ hari

untuk anak. Kadar terapi dalam darah antara 10-20 µg/mL. Waktu paruh obat

18-24 jam, kadar optimal dicapai setelah 5-10 hari pemberian per oral.

Sebagian besar dimetabolisir di hati dan diekskresi melalui empedu dan

ginjal. Pemantauan kadar obat dalam darah merupakan suatu upaya untuk

mencapai keberhasilan terapi. Pemantauan dilakukan 5-10 hari setelah

pengobatan fenitoin.

Efek samping yang berhubungan dengan susunan saraf pusat yaitu

tremor, nistagmus, ataksia, disartria, diplopia, sedasi, neuropati perifer,

ensefalopati. Efek samping lainnya antara lain alergi/urtikaria, rash

morbiliform, sindroma steven johnson, SLE, dermatitis eksfoliata, anemia

megaloblastik, hipertropi ginggiva, kulit muka menebal (berjerawat),

hirsutisme, teratogenik.

Page 29: BAB II epilepsi

Untuk mengetahui mekanisme dasar yang menimbulkan gangguan fungsi

kognitif, maka perlu duketahui efek farmakologi fenitoin pada sel neuron dan

sinap. Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan

ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na2+ yang tersisa

maupun aliran ion Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi.

Fenitoin bekerja pada fokus epileptogen, dengan mengaktifkan sodium-

potasium ATP-ase sehingga terjadi inaktivasi kanal ion Na2+, depolarisasi

dihambat (Utama, 2009).

Fenitoin juga dapat menghambat kanal Ca2+ dan menunda aktifasi aliran

ion K+ keluar selama potensial aksi sehingga menyebabkan Ca2+ influks

menurun. Mobilisasi vesikel yang berisi neurotransmitter ke ujung saraf

terminal juga ikut turun. Dengan demikian fenitoin menghabat terjadinya

proses depolarisasi dan pelepasan neurotransmitter. Efek fenitoin terhadap

sistem neurotransmitter adalah menurunkan konsentrasi asam glutamat otak

dan meningkatkan glutamin dan GABA (Utama, 2009).

Page 30: BAB II epilepsi

D. Kerangka Teori

Epilepsi

Penyekit degenerasicedera kepalaInfeksi SSPtumor otak

Lesi di otak

Sekunder/simtomatikPrimer/idiopatik

Jenis serangangelombang EEG subklinik

lama menderitausia awitan

frekuensi seranganlama minum obat

Fungsi kognitifGangguan kejiwaan

(depresi, psikosis dll)

Page 31: BAB II epilepsi

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Keterangan :

: Berhubungan/Mempengaruhi

E. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka konsep

Retardasi mental

Obat-obat yang mempengaruhi SSP

Epilepsi

Faktor lain yang mempengaruhi fungsi kognitif:

usia awitanfrekuensi serangan

lama sakit

FenitoinLama

pengobatan

Epilepsi

Fungsi kognitif

Fungsi kognitif

Gangguan kognitif

Ya Tidak

Faktor lain yang mempengaruhi fungsi kognitif:

usia awitanfrekuensi serangan

lama sakit

Non-FenitoinLama

pengobatan

Page 32: BAB II epilepsi

F. Hipotesis

Terdapat perbedaan fungsi kognitif penderita epilepsi yang

mendapat monoterapi fenitoin dengan monoterapi non fenitoin di Rumah

Sakit Margono Soekarjo.

Daftar pustaka BAB II

Browne TR, Holmes GL. 2000. Epilepsy: definitions and background. In: Handbook of epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins hal.1-18

Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pendahuluan, definisi, klasifikasi, etiologi, dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI hal.1-13

Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia; 46(4):470-2

Octaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Dalam: Medicinus Scientific journal of Pharmaceutical Development and Medical Application. Medicinus Vol. 21, No.4 hal.121-124

Ikawati, Zullies. 2009. Epilepsi:Lecture Notes. (Online) Diakses di: zulliesikawati.staff. ugm .ac.id/wp.../ epilepsy .pdf Pada tanggal 25 September 2012.

Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.1158-1164

Raharjo, Tri B. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun. Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program

Page 33: BAB II epilepsi

Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)

Utomo, Tranggono Y. 2011. Dosis dan Lama Pemberian Fenitoin Sebagai Faktor Risiko Timbulnya Hiperplasia Ginggiva Pada pasien Epilepsi. Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)

Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second Edition. Blakwell Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 75

Katzung, Bertram G. 1998. Obat Antiepilepsi pada Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC: Jakarta. Hal.380-384

Dewanto G., Suwono W.J., Riyanto B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC

Utama, Hendra dan Vincent H.S. 2009. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: FKUI. Hal. 179-185

Wibowo S. Dan Gofir A. 2006. Farmakologi Obat Antiepilepsi dalam Buku Obat Anti Epilepsi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Cendekia Press. Hal: 7-12.

Philip, W. Dan Long M.D. 2008. Phenytoin. Diakses dari http://www.mentalhealt.com pada 2 oktober 2012.

Cramer J.A., Mintzer S., Wheless J., Mattson R.H. 2010. Adverse effects of antiepileptic drugs: a brief overview of important issues. Expert Rev. Neurother. 10(6), 885–891 (2010)

Schmitz, G., Hans L., Michael H. 2009. Antikonvulsi dalam Buku Farmakologi dan Toksikologi Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal. 118-123

Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second Edition. Blakwell Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 157-165

Farida, Zakiah S., Eva D., Joedo P. 2008. Densitas massa Tulang Penyandang Epilepsi Usia 20-40 Tahun dengan Terapi Fenitoin. Neurona, Vol.25, No.2. Hal 20-24

Nehlig, A., 2010. Is Caffeine a Cognitive Enhancer? Journal of Alzheimer Disease 20: S85-S94.

Bostrom, N., Sandberg, A., 2009. Cognitive Enhancements: Methods, Ethics, Regulatory Challenges. Sci Eng Ethics (2009), 15: 311-341.

Yudawijaya, A. 2010. Hubungan Antara Homosistein Plasma Dengan Perubahan Skor Fungsi Kognitif Pada pasien Paska Stroke Iskemik. Tesis. Program

Page 34: BAB II epilepsi

pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)

Dongoran, D.N.H. 2007. Hubungan Antara Arteriosklerosis Retina Dengan Fungsi Kognitif Pada Penderita Hipertensi. Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)

Lumbantobing, S.M. 1997. Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Jakarta: FKUI. Hal. 1-43

Dahlan P .1999. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia, Berkala Neuro Sains, 1(1):39-43.

Kanaya AM & Elizabeth B. 2004. Changes in kognitif function by glucose tolerance status in older adults a 4 year, Prospective Study of the Rancho Bernardo study cohort, AIM. 164:1327-1333

Departemen Keshatan. 2004. Pemeriksaan Gerontologi dalam berbagai aspek. Tersedia dalam: http://www.depkes.go.id [diakses 7 Oktober 2010]

Charles D. 2003. Mild kognitif impairment: prevalence, prognosis, aetiology, and treatment. Lancet Neurology. 2: 15–21.

Daphne M., Geslani., Mary C., Tierney., Nathan H., John P., Szala., 2005. Mild Kognitif Impairment: An Operational Definition and Its Conversion Rate to Alzheimer's Disease. DGCD. 19:383-389

Natriana, T. 2001. Perbedaan Pengaruh Pengobatan Monoterapi fenitoin dan Karbamazepin Terhadap Memori Penderita Epilepsi Grand Mal. Thesis. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK Undip: Semarang (Dipublikasikan)

Meador, K.J. 2005. Cognitive Effects of Epilepsy and its Treatment. Clinician interview. Advanced Studies in Medicine Vol. 5 (6C) June 2005

Kantoush M.M., Azza K.E., Mokhtar A.H., Abdou S.E., Abdel W.M. 1998. The Impact of Antiepileptic Drugs on Cognitive and Behavioral Functions in Children With Idiopathic generalized Epilepsy. Alexandria Journal of Pediatrics; Volume 12, Number 1; january 1998

Tan S., Sri S.S., Parnodjo D. 2008. Perbedaan Efek Fenitoin dan Valproat dama menimbulkan Gangguan Kognitif Epilepsi Anak Bangkitan Umum Tonik Klonik. Berkala Kesehatan Klinik Vol. XIV No. 2: 86-97

Sunaryo, Utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Vol. I No. I

Page 35: BAB II epilepsi