bab ii tinjauan pustaka 2.1 epilepsi 2.1.1 definisi · 2018. 11. 1. · 8 bab ii tinjauan pustaka...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPILEPSI
2.1.1 Definisi
Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24
jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa
gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007;
Swaiman dan Ashwal, 2012).
Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak
yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi
paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi
positif, negatif atau gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi
dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik
umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa
detik atau menit dan sebagian besar berlangsung singkat (Panayiotopoulos, 2005)
2.1.2 Klasifikasi
Pada tahun 1981 International Laegue Against Epilepsi (ILAE) membagi kejang
menjadi kejang umum dan kejang fokal/ parsial. Berdasarkan tipe bangkitan (
diobservasi secara klinis maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), apakah aktivitas
kejang dimulai dari 1 bagian otak, melibatkan banyak area atau melibatkan kedua
9
hemisfer otak. ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang pasial
dengan definisi sebagai berikut, Kejang umum adalah gejala awal kejang dan/ atau
gambaran EEG menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer; Kejang parsial (fokal)
adalah gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivitas pada
neuron terbatas pada satu hemisfer saja. Klasifikasi epilepsi terus berkembang sejak
tahun 1960 ILAE telah mengeluarkan beberapa kali klasifikasi epilepsi. Klasifikasi
epilepsi yang saat ini dianut adalah klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017.
Klasifikasi ini terdiri dari 3 tingkatan (tabel 2.1) dimana tingkatan ini dirancang untuk
melayani pengelompokan epilepsi dilingkungan klinis yang berbeda. Klasifikasi ini
memungkinan penentuan etiologi penyebab epilepsi sudah mulai dipikirkan pada saat
pertama kali kejang epilepsi didiagnosis.
Tabel 2.1 Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017
I. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Imaging, video)
A. Onset Fokal
B. Onset General
C. Unknown Onset
II. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses pemeriksaan
penunjang diagnostik epilepsi)
A. Onset Fokal
B. Onset General
C. Combine focal and general onset
D. Unknown Onset
III. Berdasarkan sindrom epilepsi
(ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang dengan gambaran EEG
atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti dengan gambaran usia, variasi diurnal,
trigger tertentu, dan terkadang prognosis)
Sumber : Scheffer, dkk. Classification of the epilepsies, 2017
10
International League Against Epilepsi 2017 membagi etiologi epilepsi menjadi
struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun, tidak diketahui.
Klasifikasi epilepsi terbaru lebih aplikatif namun tidak jauh berbeda dengan
klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1981 berdasarkan etiologi sebagai berikut
(Cockerell dan Shorvon, 1996):
- Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan
struktur otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik diduga
berperan, dan pada umumnya khas mengenai usia tertentu.
- Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu
atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
- Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi
yang diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetik, metabolik)
klasifikasi kriptogenik banyak yang digolongkan sebagai epilepsi simtomatik.
Manifestasi klinis epilepsi disebabkan oleh lesi di korteks serebri yang mendasarinya.
Lesi di otak pada umumnya telah ada beberapa bulan – tahun sebelum gejala epilepsi
pertama muncul seperti hipoksia perinatal/asfiksia atau perdarahan intraserebral.
Namun demikian pada umumnya etiologi epilepsi tidak jelas diketahui. Klasifikasi
berdasarkan ILAE 2010 mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatik atau
kriptogenik menjadi genetik, struktural/metabolik, dan tidak diketahui
(Mangunatmaja, dkk., 2016).
11
2.1.3 Etiologi
Genetic epilepsi syndrome adalah epilepsi yang diketahui/ diduga disebabkan oleh
kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi utama. Structural/metabolic
syndrome adalah adalah kelainan struktural/ metabolik yang menyebabkan seseorang
berisiko mengalami epilepsi, contohnya epilepsi setelah mengalami stroke, trauma,
infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan
struktur otak (tuber). Epilepsi digolongkan sebagai unknown cause apabila
penyebabnya belum diketahui (Mangunatmaja, dkk., 2016).
Kelainan genetik yang menyebabkan epilepsi antara lain (Mangunatmaja, dkk.,
2016),
- Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
- Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan
leukoensefalopati
Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain,
- Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neufibromatosis, hipomelanosis Ito,
sindrom Sturge-Weber
- Palsi serebral (PS): epilepsi didaapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik
- Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah
rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis
12
- Malformasi serebral atau kortikal, hemimegaelensefali, focal cortical dysplasia
(FCD), heteropia nodular periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali,
polimikrogiria.
- Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma,ganglioglioma, angioma
kavernosum.
- Trauma kepala
- Infeksi; ensefalitis herpes simplek, meningitis bakterial, malaria serebral,
sistiserkosis
- Kelainan metabolik bawaan.
2.1.4 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian dari World Health Organization (WHO), ditemukan
sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi. Sekitar 85% dari total
penderita epilepsi di seluruh dunia ditemukan di negara berkembang. Insiden epilepsi
pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas (Harsono, dkk.,
2006). Secara keseluruhan insiden epilepsi pada anak – anak (sejak lahir sampai usia
16 tahun) di negara perkembang mendekati 40 kasus per 100.000 anak per tahun
(Camfield dan camfield, 2012). Insiden pada tahun pertama kehidupan 120 per
100.000, antara 1 sampai 10 tahun insidennya meningkat menjadi 40 – 50 kasus per
100.000 anak, lalu menurun menjelang usia remaja yaitu sekitar 20 per 100.000
(Camfield dan camfield, 2012). Di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi di
Indonesia berkisar antara 0,5 – 4 % dengan rata - rata prevalensi epilepsi 8,2 per
1.000 penduduk. Bila jumlah penduduk di Indonesia berkisar 220 juta, maka
13
diperkirakan jumlah penderita epilepsi per tahunnya adalah 250.000. Angka tersebut
terbilang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan Singapura sebagai
sesama negara Asia Tenggara (PERDOSSI, 2011). Rata- rata kasus epilepsi baru pada
anak di Bali didapatkan 69 kasus pertahun, 157 (56,9%) laki-laki dan 119 (43,1%)
perempuan. Insidens terbanyak ditemukan pada kelompok umur 1-5 tahun yakni 116
(42,0%), sedangkan onset epilepsi terbanyak pada kelompok umur < 1 tahun 127
(46,0%) (Suwarba, 2011).
Sekitar 60 – 70% anak epilepsi yang telah mengalami bebas kejang selama 1 –
2 tahun pengobatan dapat berhasil menghentikan pengobatan. (Berg, dkk., 1990).
Tingkat keberhasilan pengobatan tidak akan meningkat meskipun pengobatan tetap
dilanjutkan sampai 5 tahun bebas kejang. Obat anti epilepsi dapat mengontrol kejang
pada 70% - 80% anak anak dengan epilepsi (Passot, 1999). Saat ini obat antiepilepsi
tidak efektif lagi dalam mengatasi kejang pada 30% pasien epilepsi, kebanyakan
hanya berlangsung singkat dan memiliki variasi derajat efektivitas pengobatan per
individu yang tinggi (Tatum, 2013).
Sebuah penelitian faktor prognostik yang dilakukan di Yogyakarta
mendapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara monoterapi yang berhasil
dan monoterapi yang gagal dalam memprediksi kemungkinan epilepsi
refrater/intraktabel (Triono dan Herini, 2014). Hubungan kegagalan monoterapi
dengan kejadian epilepsi intraktabel 20 (33,3%), sedangkan kegagalan monoterapi
epilepsi tidak intraktabel 40 (66,7%), tetapi 60 (100%) berhasil monoterapi (OR 1,5
IK95%: 1,254–1,794 p<0,001) (Triono dan Herini, 2014). Kelompok epilepsi
14
intraktabel termasuk epilepsi dengan prognosis buruk terdapat pada 10%-20% kasus
epilepsi, kejang sulit diatasi meskipun telah mendapat terapi OAE generasi baru
(Sander, 2003).
2.1.5 Patofisiologi Kejang
2.1.5.1 Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion
kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi
ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel dalam
keadaan normal. Potensial membran ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai
hal, misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraselular. stimulasi mekanis atau
kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh kelainan
genetik. Bila keseimbangan terganggu, sifat semi permeabel berubah, membiarkan
ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan
kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di
permukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya
dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabilitas ion meningkat pada
bangkitan epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi, apapun
pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya
konsentrasi ion natrium di dalam sel (Lumbantobing, 1999).
2.1.5.2 Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps
15
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial
aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neurakson yang kemudian
mernbebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi
membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat)
mengakibatkan depolarisasi; zat transmiter inhibisi (GABA atau Gama aminobutyric
acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls
dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps. Tiap neuron
berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya melalui sinaps eksitasi
atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang
saling berhubungan dan saling mempengruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal
didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap
keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi
ialah meningkatkan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi
mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan (Lumbantobing,1999).
Zat GABA merupakan neurotransmiter inhibitor mayor dan reseptornya adalah
GABAA dan GABAB. GABAA adalah ligant gated channel ion Cl- yang
menyebabkan masuknya ion dan GABAB berpasangan dengan secondary messengers
menyebabkan keluarnya ion K+. Kedua reseptor akan menimbulkan inhibisi potensial
aksi pada neuron post sinaps (Treiman, 2001).
Gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi,
dan eksitasi lebih unggul dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Fosfat
piridoksal penting untuk sintesis GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi
16
dapat mengakibatkan konvulsi pada bayi. Antikonvulsan valproat bekerja melalui
pencegahan pemecahan GABA. Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak,
bukan saja maturasi anatomik dari sistem saraf mempunyai peranan, tetapi juga
variasi antara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan
penting dalam menentukan ambang kejang, dengan demikian mempengaruhi
perubahan tinggi rendahnya ambang kejang. Demikian pula, jaringan saraf dapat
menjadi hipereksitabel oleh perubahan homeostasis tubuh. Perubahan tersebut dapat
diakibatkan oleh demam, hipoksia, hipokalsemia, hipoglikemia, hidrasi-lebih dan
perubahan keseimbangan asam-basa. Faktor eksternal dapat pula meningkatkan
hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan, penghentian mendadak obat
antikonvulsan terutama barbiturat, dosis lebih berbagai macam obat dan berbagai
toksin. Dengan menggunakan elektrode mikro dapat diselidiki perangai kelistrikan
satu neuron. Telah diidentifikasi lepas muatan yang berasal dari badan sel, dendrit
dan akson. Dapat ditunjukkan bahwa aktivitas letupan listrik abnormal yang
berfrekuensi tinggi didapatkan pada sel neuron di fokus epileptik. Diduga bahwa
aktivitas autonom ini disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena adanya perbedaan
potensial antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis di dendrit ini dapat
diakibatkan oleh tekanan mekanis, misalnya oleh jaringan parut. Neuron epileptik
secara histologis mempunyai sedikit ujung sinaps, dengan demikian rangsang eferen
yang diterimanya berkurang. Berkurangnya rangsang eferen ini dapat mengakibatkan
sel neuron menjadi hipersensitif, misalnya terhadap zat kimiawi di sekelilingnya;
17
dengan demikian dapat terjadi lepas muatan listrik yang berlebihan secara spontan
(Lumbantobing, 1999; Treiman 2001)
1.1.5.3 Sel glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion Kalium ekstraselular di sekitar neuron
dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur
konsentrasi ion kalium ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan
meningkatnya eksitabilitas sel neuron disekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar
ion kalium ekstraselular dibanding intraselular dapat mendepolarisasi membran
neuron. Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium
yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang
kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang
mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut terserap
dan sel astroglia menjadi membengkak (edema); hal ini menupakan jawaban yang
khas bagi astroglia terhadap meningkatnya ion kalium ekskaselular, baik yang
disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal, maupun akibat iskemia serebral
(Lumbantobing, 1999).
2.1.6 Tatalaksana
Prinsip Pengobatan Epilepsi (Lazuardi, 1999)
1. Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak keadaan
yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya baru diberikan
setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan epilepsi adalah
pengobatan jangka panjang.
18
2. Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan berikutnya adalah menentukan jenis
serangan. Setiap OAE mempunyai kekhususamya sendiri dan akan berfaedah
secara sperifik pada jenis serangan tertentu
3. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis
dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah untuk
mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah yang terpenting bukanlah
mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas yang dapat menembus sawar
darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Kadar OAE bebas ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan bersama obat lain, bahan
kimia (bilirubin, asam lemak bebas) dan distribusinya yang tergantung pada
kelarutamya dalam lemak dan ikatamya dengan jaringan tubuh. Absorpsi dapat
dipengaruhi saat makan obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis
makanan dan obat misalnya antasid. Dosis anak pada umumnya 50-100% lebih
besar dibandingkan dosis dewasa karena nilai klirens yang tinggi. Pada umumnya
didapati depresi susunan saraf pusat dan gangguan traktus digestivus yang bersifat
sementara.
4. Kegagalan OAE sering disebabkan karena noncompliance atau tidak minum obat
menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti dengan OAE
kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap, sedangkan dosis OAE pertama
diturunkan bertahap. Penurunan secara bertahap ini bertujuan untuk mencegah
timbulnya status epileptikus (terutama fenobarbital). Bila OAE pertama perlu
dihentikan dengan cepat karena timbul efek samping yang berat, harus diberikan
19
diazepam. Politerapi sedapatnya dihindarkan karena efek samping yang banyak
(terutama di bidang intelektual)
2.2 VITAMIN B6
Vitamin B6 ditemukan pertama kali oleh Paul Gyorgy di tahun 1934 (Ahmad,
dkk., 2013). Rumus kimia vitamin B6 adalah 3-hydroxy-4,5-hydroxymethyl-2-
metylpyridine dan pertama kali disintesa oleh Haris dan Folker tahun 1939 (Ahmad,
dkk., 2013). Vitamin B6 adalah vitamin yang larut dalam air yang secara alami
tersedia dalam banyak makanan, dan tersedia juga sebagai suplemen makanan.
Vitamin B 6 adalah bagian dari vitamin B kompleks , dan bentuk aktif dari vitmin B6
adalah Pyridoxal 5- fosfat (PLP) berfungsi sebagai kofaktor dalam banyak reaksi
enzim asam amino, glukosa, dan lipid metabolisme.
Beberapa bentuk ( vitamer ) vitamin B 6 dikenal:
Pyridoxine (PN), bentuk yang paling umum diberikan sebagai vitamin B 6
suplemen
Pyridoxine 5′-phosphate (PNP)
Piridoksal (PL)
Piridoksal 5 - phosphate (PLP), bentuk aktif secara metabolik (dijual sebagai
‘P-5-P’ suplemen vitamin)
Pyridoxamine (PM)
Pyridoxamine 5′- phosphate (PMP)
Asam 4-Pyridoxic (PA), yang katabolit dan diekskresikan dalam urin
20
Pyritinol, turunan semi sintetik dari pyroxidine, dengan dua gugus pyridoxine
terikat oleh jembatan disulfida.
Vitamin B6 juga berperan dalam perkembangan kognitif melalui biosintesa
neurotransmiter dan mempertahankan kadar normal homosistein dan asam amino
dalam darah (Mackey, dkk., 2005). Vitamin B6 terlibat dalam glukoneogenesis dan
glikogenolisis, fungsi kekebalan tubuh (misalnya, mempromosikan limfosit dan
produksi interleukin-2), dan pembentukan hemoglobin (Mackey, dkk., 2005).
Konsentrasi vitamin B6 dapat diukur secara langsung dengan menilai konsentrasi
PLP, vitamer lainnya atau total vitamin B6 dalam plasma, eritrosit, atau urin.
(Institute of Medicine, 1998). Konsentrasi vitamin B6 juga dapat diukur secara tidak
langsung dengan menilai baik saturasi aminotransferase eritrosit oleh PLP atau
metabolit tryptophan. PLP dalam plasma adalah ukuran yang paling umum dari status
vitamin B6. Konsentrasi PLP lebih dari 30 nmol / L merupakan indikator status
vitamin B6 yang memadai pada orang dewasa. (Mackey, dkk., 2005)
21
Gambar 2.1 Vitamer vitamin B6
Sumber : Mackey, dkk., 2005
Dewan Pangan dan Gizi (FNB) di Institute of Medicine dari Akademi Nasional
(sebelumnya National Academy of Sciences) digunakan tingkat PLP plasma lebih dari
20 nmol / L sebagai indikator utama dari kecukupan untuk menghitung nilai
rekomendasi diet yang diijinkan (RDA/ Recommended dietary allowed ) untuk orang
dewasa. (Institute of Medicine,1998; Mackey, dkk., 2005).
Vitamin B 6 didistribusikan secara luas dalam makanan baik dalam bentuk
bebas dan terikat. Kehilangan vitamin B6 dari proses memasak, penyimpanan, dan
pengolahan bervariasi dan dalam beberapa makanan mungkin lebih dari 50%,
tergantung pada bentuk vitamin yang terdapat dalam makanan. Makanan nabati
22
kehilangan lebih sedikit vitamin B6 selama pemrosesan, karena sebagian besar
mengandung piridoksin. Piridoksin merupakan bentuk yang jauh lebih stabil daripada
piridoksal atau pyridoxamine yang ditemukan dalam makanan hewani. Misalnya,
susu bisa kehilangan 30 sampai 70% dari yang kandungan vitamin B6 ketika
dikeringkan. Vitamin B 6 ditemukan di kuman dan aleuron lapisan biji-bijian, dan
proses penggilingan mengurangi kadar vitamin B6 pada biji - bijian tersebut.
Pembekuan dan pengalengan adalah metode pengolahan makanan lain yang
mengakibatkan hilangnya vitamin B6 dalam makanan (Mackey, dkk., 2005)
2.2.1 Metabolisme vitamin B6
Vitamin B6 diabsorbsi di dalam usus terutama dalam bentuk bebas (tanpa ikatan
phospat) yaitu piridoksamin (PM), piridoksal (PL), maupun piridoksin (PN).
Absorbsi terjadi secara difusi pasif dan maupun aktif terutama di ileum dan jejunum.
Bentuk bebas vitamin B6 ini sebagian besar akan diangkut ke hati, sebagian lagi
berikatan dengan hemoglobin di dalam sel darah merah. Vitamin B6 difosforilasi di
dalam hati oleh piridoxal kinase menjadi bentuk aktif piridoksal 5’-phosphat,
merupakan bentuk stabil yang tidak mudah terhidrolisis. PLP akan dikeluarkan ke
dalam darah dan sebagian lagi disimpan sebagai simpanan vitamin di dalam hati. Di
dalam darah PLP berikatan kuat dengan albumin menuju target organ (Alfred, dkk.,
1987; Wang, dkk., 2007 ). PLP akan dihidrolisis kembali oleh alkaline phospatase,
dan piridoxal bebas diambil oleh sel - sel organ target lalu direphosporilasi kembali.
Piridoxal juga dioksidasi menjadi asam piridoxic oleh hepar dan ginjal
23
dehidrogenase, dan piridoxal dehidrogenase dan diekskresi melalui urine (Alfred,
dkk., 1987).
Vitamin B6 aktif (PLP) berfungsi sebagai kofaktor pada > 150 reaksi
metabolik (Ueland, dkk., 2016). Beberapa metabolisme yang melibatkan PLP adalah
metabolisme asam amino dan neurotransmiter, pemecahan glikogen, berikatan
dengan reseptor hormon steroid dan berperan dalam aksi regulasi hormon steroid,
serta pada fungsi sistem imun.
2.2.2 Rekomendasi Asupan
Rekomendasi asupan vitamin B6 dan nutrisi lainnya terdapat pada Referensi Intakes
diet (DRIs) yang dikembangkan oleh FNB (Institute of Medicine,1998). DRI adalah
istilah umum untuk satu set nilai acuan yang digunakan untuk perencanaan dan
menilai asupan gizi orang sehat. Nilai-nilai ini bervariasi menurut usia dan jenis
kelamin, termasuk:
• Recommended Dietary Allowance (RDA): Rata-rata tingkat harian asupan
cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi dari hampir semua (97% -98%) orang
yang sehat.
• Kecukupan Intake: dibuat bila bukti tidak cukup untuk data RDA dan
ditetapkan berupa asumsi untuk memastikan kecukupan gizi.
• Tingkat intake ditoleransi: asupan harian maksimum tidak menyebabkan efek
kesehatan yang merugikan.
Berikut dalam tabel 3 adalah daftar RDA saat ini untuk vitamin B6 (Institute of
Medicine, 1998). Untuk bayi dari lahir sampai 12 bulan, FNB menentukan angka
24
kecukupan asupan vitamin B6 yang memadai yang setara dengan asupan rata-rata
vitamin B6 bayi sehat, bayi yang disusui.
Tabel 2.2 Recommended Dietary Allowances (RDAs) untuk Vitamin B6
Usia Laki-laki Perempuan Hamil Menyusui
Lahir-6 bulan 0.1 mg* 0.1 mg*
7–12 bulan 0.3 mg* 0.3 mg*
1–3 tahun 0.5 mg 0.5 mg
4–8 tahun 0.6 mg 0.6 mg
9–13 tahun 1.0 mg 1.0 mg
14–18 tahun 1.3 mg 1.2 mg 1.9 mg 2.0 mg
19–50 tahun 1.3 mg 1.3 mg 1.9 mg 2.0 mg
51+ tahun 1.7 mg 1.5 mg
2.2.3 Sumber vitamin B6
2.2.3Makanan
Vitamin B6 ditemukan dalam berbagai macam makanan (Institute of Medicine, 1998;
Mackey, dkk., 2005; U.S. Department of Agriculture, 2011). Sumber terkaya vitamin
B6 termasuk ikan, hati sapi dan daging lainnya, kentang dan sayuran bertepung
lainnya, dan buah (selain jeruk). Orang dewasa di Amerika Serikat, mendapatkan
sebagian besar vitamin B6 dari diet sereal mereka, daging sapi, unggas, sayuran
bertepung, dan beberapa buah-buahan bukan jeruk ( Subar, dkk., 1998; Institute of
Medicine, 1998; Mackey, dkk., 2005). Sekitar 75% dari vitamin B6 dari diet
campuran adalah dapat diserap (Institute of Medicine, 1998). Tabel sumber makanan
berikut menunjukkan jumlah kandungan vitamin B6 pada masing – masing sumber
makanan.
Tabel 2.3 Pilihan makanan sumber vitamin B6
25
Jenis makanan milligram (mg)
per sajian
Persen per
nilai harian
Buncis, kaleng, 1 cangkir 1.1 55
Hati sapi goreng 3 ons 0.9 45
Tuna segar, dimasak 3 ons 0.9 45
Salmon,dimasak 3 ons 0.6 30
Dada ayam panggang 3 ons 0.5 25
Sarapan sereal yang difortifikasi 25%
DV vitamin B6
0.5
25
Kentang rebus 1 cangkir 0.4 20
Daging turki yang dimasak 3 ons 0.4 20
Pisang ukuran sedang 0.4 20
Spaghetti saus, siap saji 1 cangkir 0.4 20
Pati daging sapi, 85% lemak, dipanggang
3 ons
0.3
15
Wafel polos, panggang, 1 wafel 0.3 15
Bulgur,dimasak, 1 cangkir 0.2 10
Keju cottage, 1% rendah lemak, 1
cangkir
0.2 10
Squash, winter, baked, ½ cangkir 0.2 10
Beras, enriched,dimasak, 1 cangkir 0.1 5
Campuran kacang kacangan, kering-
panggang, i ons
0.1
5
Kismis tanpa biji, ½ cangkir 0.1 5
Bawang cincang, ½ cangkir 0.1 5
Bayam beku, cincang, rebus ½ cangkir 0.1 5
Tofu yang disiapkan dengan calcium
sulfat ½ cangkir
0.1
5
Semangka 1 cangkir 0.1 5
Food and Drug Administration (FDA) menentukan nilai harian vitamin B6 yang
harus dikonsumsi orang dewasa dan anak-anak usia 4 atau lebih tua adalah 2 mg.
Namun, FDA tidak mencantumkan kandungan vitamin B6 pada label makanan
kecuali makanan tersebut telah diperkaya dengan nutrisi ini. Makanan menyediakan
20% atau lebih dari nilai harian dianggap sebagai sumber tinggi nutrisi.
2.2.3.2 Suplemen
26
Suplemen diet Vitamin B6 tersedia dalam multivitamin, baik bersama suplemen yang
mengandung vitamin B kompleks lainnya, atau sebagai suplemen yang berdiri
sendiri. Yang paling umum vitamer vitamin B6 dalam suplemen adalah piridoksin
(dalam bentuk piridoksin hidroklorid), meskipun beberapa suplemen mengandung
PLP. Suplemen vitamin B6 tersedia dalam kapsul atau tablet (termasuk sublingual
dan tablet kunyah) dan cairan. Penyerapan vitamin B6 tidak berbeda secara
substansial antara berbagai bentuk suplemen (Institute of medicines, 1998). Meskipun
tubuh menyerap dosis farmakologis besar vitamin B6 dengan baik, namun sebagian
vitamin dengan cepat menghilang dalam urin (Simpson, dkk., 2010). Sekitar 28% -
36% dari populasi umum menggunakan suplemen yang mengandung vitamin B6
(Morris, dkk., 2008; Bailey, dkk., 2011).
2.2.4 Asupan dan status vitamin B6
Kebanyakan anak-anak, remaja, dan orang dewasa di Amerika Serikat mengkonsumsi
jumlah yang direkomendasikan vitamin B6, menurut analisis data dari Kesehatan
Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi (NHANES) 2003-2004. Asupan vitamin B6
rata-rata sekitar 1,5 mg / hari pada wanita dan 2 mg / hari pada pria (Institute of
medicines, 1998). Namun, 11% dari pengguna suplemen vitamin B6 dan 24% dari
orang di Amerika Serikat yang tidak mengkonsumsi suplemen yang mengandung
vitamin B6 memiliki konsentrasi PLP plasma kurang dari 20 nmol / L (Morris, dkk.,
2008). Dalam 2003-2004 analisis NHANES, konsentrasi PLP plasma yang rendah
bahkan ditemukan pada beberapa kelompok yang mengkonsumsi 2,0-2,9 mg / hari,
jumlah yang lebih tinggi dari RDA saat ini. Di antara pengguna suplemen dan non
27
pengguna, tingkat PLP plasma jauh lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, kulit
hitam non-Hispanik dibandingkan kulit putih non-Hispanik, perokok dibandingkan
bukan perokok, dan orang-orang dengan berat badan kurang dibandingkan mereka
yang berat badannya normal. Remaja memiliki konsentrasi vitamin B6 terendah,
diikuti oleh orang dewasa berusia 21-44 tahun. Namun, tingkat PLP plasma pada
orang tua tidak terlalu rendah, bahkan pada mereka yang tidak menggunakan
suplemen. Berdasarkan data tersebut, Morris, dkk., (2008) menyimpulkan bahwa
RDA saat ini mungkin tidak menjamin status vitamin B6 yang memadai di banyak
kelompok masyarakat (Morris, dkk., 2008). Konsentrasi PLP cenderung rendah pada
orang dengan ketergantungan alkohol, mereka yang mengalami obesitas dan ibu
hamil, terutama mereka dengan preeklamsia atau eklamsia (Morris, dkk., 2008).
Kadar PLP yang rendah juga didapatkan pada orang dengan sindrom malabsorpsi
seperti penyakit celiac, penyakit Crohn, dan ulcerative colitis (Mackey, dkk., 2005).
Kadar PLP yang rendah pada pasien epilepsi ditemukan pada mereka yang mendapat
asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin, namun hubungan dan mekanismenya
belum diketahui (Tamura, dkk., 2000; Dave, dkk.,2015).
2.3 PERAN GABA PADA EPILEPSI
GABA atau ɤ-aminobutyric acid dikenal sebagai neurotransmiter inhibisi utama pada
cortex cerebri (Schwartz, 1988). Struktur GABA dapat dilihat pada gambar 2. GABA
terletak terutama pada interneuron axon pendek yang bersinaps pada sel tubuh dan
axon proximal dan bertugas memelihara irama inhibisi dengan melakukan
28
counterbalance eksitasi neuron. Bila keeimbangan ini terganggu maka terjadilah
kejang (Treiman, 2001).
GABA dibentuk didalam axon terminal GABAergic melalui proses transaminasi α-
ketoglutarat menjadi asam glutamat (glutamic acid) yang kemudian mengalami
decarboxylasi menjadi GABA. GABA kemudian dirilis pada sinaps dan bekerja pada
salah satu dari 2 reseptor GABA. Reseptor GABAA dan GABAB. Reseptor GABAA
suatu ligand-gated ion channels yang menyebabkan hiperpolarsasi sel dengan
meningkatkan permeabilitas ion klorida ke dalam sel dan memiliki efek
penghambatan yang cepat. GABAA reseptor komplek merupakan pentamerik
heterooligomer yang terdiri dari binding sites untuk GABA, barbiturat,
benzodiazepin, picrotoxin, dan beberapa neurosteroid. Sejumlah subunit komplek
GABAA telah dapat diisolasi (α1-6, β1-4,ɤ1-3, δ dan ƿ) dan ada banyak subtipe
reseptor GABAA yang hanya tampak melalui in vivo. Reseptor GABAB adalah
reseptor yang berikatan dengan protein G yang menyebabkan hiperpolarisasi neuron
dengan meningkatkan konduksi kalium. GABAB menurunkan calsium entry dan
memberi efek inhibisi yang lambat. Reseptor GABAB terdapat pada ujung akson
eksitatori maupun inhibisi. Bagaimanakah peran GABA terhadap epilepsi dan
epileptogenesis ? berikut adalah beberapa data yang dikumpulkan dari penelitian dan
Gambar 2.2 Struktur ɤ-aminobutyric
acid
29
sumber klinis yang menunjang kuat peran GABA terhadap mekanisme dan
tatalaksana epilepsi.
1. Abnormalitas fungsi GABAergic pada genetik dan didapat ditemukan pada
binatang coba yang epilepsi (Olsen, dkk., 1985).
2. Rendahnya GABA mediated inhibition, aktivitas glutamat decarboxylase,
terikat dengan GABAA dan site benzodiazepine, GABA pada LCS dan
jaringan otak, dan GABA yang terdeteksi selama pengamatan mikrodialisis
telah dilaporkan dalam studi – studi yang dilakukan pada jaringan otak
manusia yang menderita epilepsi.
3. GABA agonist menekan kejang, dan GABA antagonis menimbulkan kejang.
4. Obat obat yag menghambat sintesa GABA menyebabkan kejang
5. Benzodiazepin (BZD) dan barbiturat, efektif sebagai antikonvulsan, bekerja
dengan meningkatkan GABA-mediated inhibition.
6. Obat obat yang meningkatkan sinaptic GABA dengan menghambat
metabolisme GABA (vigabatrin (VGB)) atau reuptake (tiagabine (TGB))
merupakan antikonvulsan yang efektif.
30
Gambar 2.3 Sinap ɤ-aminobutyric acid (GABA)ergic
Keterangan : GABA disintesa dalam presinap terminal. Setelah dilepaskan, menyebabkan
reseptor GABAA di neuron postsinaps meningkatkan masuknya klorida, sama halnya seperti
yang diungkapkan pada texbook obat- obat yang lain termasuk barbiturat dan
benzodiazepine. Sinaptic GABA uptake kembali kedalam pesinap terminalis dan sel glia.
Reuptake inhibitor seperti tiagabine , dan obat – obat yang menghambat metabolisme GABA
seperti vigabatrin, meningkatkan kadar GABA dalam sinaps. SSA, succinic semildehyde;
GAD, glutamic acid decarboxylase; GABA-T, GABA transsaminae Sumber : Treiman. 2001. Epilepsia.
2.4 PERANAN VITAMIN B6 TERHADAP PEMBENTUKAN GABA,
EPILEPSI DAN INFLAMASI
Adanya defisiensi vitamin B6 sebagai penyebab epilepsi pada manusia pertama kali
dikemukakan oleh Synderman dan kawan-kawan tahun 1950 (Livingston, dkk.,
1955). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ernsting dan Ferwerda
di tahun yang sama yang mendapatkan hasil yang baik pada 8 pasien epilepsi dari 14
pasien epilepsi usia 2 – 17 tahun yang mendapat terapi piridoksin. (Livingston, dkk.,
31
1955). Ketidakadekuatan kemampuan OAE dalam mengontrol epilepsi menyebabkan
para peneliti menempatkan suplementasi nutrisi sebagai pilihan dalam membantu
mengurangi insiden kejang pada atau untuk meningkatkan aspek lain kesehatan anak
dengan epilepsi. Beberapa suplementasi nutrisi juga melindungi pasien dari beberapa
efek defisiensi yang disebabkan oleh penggunaan obat OAE (Asif, 2015). Vitamin B6
merupakan unsur penting yang berperan dalam patofisiologi kejang yang bekerja
menghambat kejang melalui pembentukan GABA. Defisiensi vitamin B6 dapat
menyebabkan defisiensi GABA dan terjadinya kejang. Bila tidak diiatasi akan
menyebabkan skuele neurologi yang permanen. (Wang dan Kou, 2007). Vitamin B6
dalam bentuk vitamer aktif piridosal 5 phospat (PLP) akan berikatan dengan glutamat
decarboxylase mengubah asam glutamat menjadi GABA (Dave, dkk., 2015). Vitamin
B6 didalam neuron juga digunakan dalam metabolisme GABA menjadi metabolit
succinyl semialdehyde oleh enzim GABAtransferase sebelum kemudian memasuki
siklus TCA dan kemudian diubah menjadi glutamat kembali.
Beberapa pasien tanpa defisiensi vitamin B6 , maka pemberian ekstra
suplemen vitamin B6 tidak dapat mengontrol epilepsi. Sampai saat ini inborn error of
metabolisme diketahui berpengaruh pada konsentrasi vitamin B6 di otak. Tiga dari 4
bentuk kelainan tersebut adalah hiperprolinemia tipe 2, antiquitin defisiensi, dan
defisiensi piridoxin phospat oxidase. Kelainan keempat adalah kelainan yang
menyerang neonatus dengan hipophospatemia dan rikets congenital. Semua pasien
dengan kondisi tersebut muncul dengan manifestasi epilepsi di awal kehidupan dan
resisten dengan pemberian obat antiepilepsi konvensional.
32
Gambar 2.4 Konversi glutamat menjadi GABA (Jack DeRuiter, 2004)
Pasien – pasien tersebut akan berespon baik terhadap pemberian vitamin B6 (Wang
dan Kou, 2007). Meskipun demikian beberapa studi mendemonstrasikan adanya
perbaikan pada pasien non vitamin B6 dependent epilepsi, walaupun penelitian
tersebut menimbulkan hasil yang kontroversial (Asif, 2013). Pada anak epilepsi yang
secara labortoris memiliki kadar vitamin B6 yang rendah (non vitamin B6 dependent
epilepsi) diberikan piridoksin 160 mg/hari, dan didapatkan beberapa dari pasien
tersebut berhasil menghentikan pengobatan OAE (Hagberg, dkk., 1964; Asif, 2013).
Sebuah penelitian dilakukan pada pasien – pasien epilepsi dewasa, didapatkan
rata – rata kadar piridoksin darah pada grup kasus (pasien dengan status epileptikus)
4,7 ng/ml dan 25,2 ng/ml pada grup kontrol (epilepsi yang rawat jalan). Perbedaan
tersebut signifikan p < 0,0001 (Dave, dkk., 2015), demikian juga beberapa laporan
33
kasus yang menunjukkan efektifitas pemberian vitamin B6 pada jenis non vitamin B6
dependent epilepsi.
Penelitian oleh Friso, dkk., didapatkan kadar vitamin B6 secara signifikan (p
< 0,001) rendah pada grup pasien dengan kadar CRP yang abnormal (CRP ≤ 6 )
dibandingkan pasien dengan grup lainnya ( CRP ≥ 6) dimana intake diet pada kedua
grup ditemukan sama. Patofisiologi yang paling mungkin menjelaskan bahwa PLP
berperan sebagai koenzym terhadap proses yang berhubungan dengan inflamasi,
karena vitamin B6 memiliki keterlibatan yang integral dalam sintesis asam nukleat
dan protein, produksi sitokin dan mediator polipeptida lain selama respon inflamasi,
hal ini meningkatan utilisasi terhadap koenzim ini (Friso, dkk., 2001). Saat ini telah
banyak terkumpul data – data penelitian eksperimental baik terhadap manusia
ataupun hewan yang menyatakan adanya proses inflamasi yang terlibat dalam
patofisiologi epilepsi (Vezzani, dkk., 2013; Ishikawa, dkk., 2014). Pada penelitian
Ishikawa, dkk., tahun 2014 didapatkan hasil terdapat peningkatan yang signifikan
pada kadar Hs-CRP dan IL-6 pada grup epilepsi yang kejang setiap hari terhadap
kelompok kejang intermiten (p < 0,005) dan grup kontrol (kejang < 1 kali per bulan)
yaitu p < 0,05 (Ishikawa, dkk., 2014).
2.5 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMENGARUHI RESPON TERAPI.
Target terapi obat anti epilepsi adalah untuk mengurangi frekuensi kejang epilepsi
dengan efek samping yang minimal dan efek merugikan jangka panjang yang
minimal (Arhan, dkk., 2010), sehingga pemberian terapi epilepsi sebisa mungkin
dengan obat tunggal. Pemberian obat tunggal (monoterapi) akan menurunkan risiko
34
timbulnya efek samping, meningkatkan kepatuhan, dan menghindari timbulnya
interaksi obat. Pemberian obat tunggal juga lebih bernilai ekonomis, dengan terapi
yang efektif dapat menghentikan 80% kejang pasien epilepsi dengan monoterapi (
Triono dan Herini, 2014).
Hasil telusur jurnal ditemukan sedikit data yang menyatakan faktor – faktor
yang mempengaruhi respon terapi. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa faktor
– faktor yang memengaruhi terhadap respon terapi obat anti epilepsi. Arhan dan
kawan – kawan, melakukan penelitian di Turki tahun 2010 mengemukakan adanya 3
faktor yang memengaruhi respon terapi adalah jenis epilepsi, didapatkan 14,1%
pasien dengan kejang simtomatis didapatkan kegagalan dengan monoterapi pertama
dibandingkan dengan epilepsi idiopatik 4,3%; p < 0,004. Penelitian berikutnya di
Yogyakarta menyatakan didapatkan hasil berturut turut sebagai berikut frekuensi
serangan kejang sebelum terapi > 10 kali (OR 14,196, IK 95%:3,576 – 56,348;
p<0,01), dan adanya kelainan neurologi penyerta (OR 18,977, IK95%:3,159 –
113,994; p<0,01) merupakan faktor prognostik kegagalan monoterapi (Triono dan
Herini, 2014). Sebuah studi prospektif pada 100 pasien – pasien anak yang baru
terdiagnosis epilepsi didapatkan bahwa faktor usia onset kejang merupakan faktor
penting yang mempengaruhi respon terapi (Park, dkk., 2014).