bab ii tinjauan teori 2.1 pengetahuan 2.1.1 definisi

23
8 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi dari pengindraan yaitu indra pengliatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Sebagian besar pengetahuan didapat dari indra pengliatan dan pendengaran. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam perubahan perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2011). Perilaku yang akan diambil erat kaitanya dengan pengetahuan, karena pengetahuan merupakan alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan(Layuk et al., 2017). Penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang didasari dengan pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari dengan pengetahuan. Penelitian Rogers (Notoatmodjo, 2011) mengemukakan beberapa tahapan sebelum seseorang tersebut berperilaku, yaitu : 1. Awareness: kesadaran yang dimiliki seseorang untuk menangkap stimulus yang dihasilkan oleh obyek. 2. Interest: rasa tertarik seseorang terhadap stimulus, pada tahap ini sikap seseorang mulai muncul. 3. Evaluation: sikap seseorang dengan pertimbangan terhadap baik atau tidaknya suatu stimulus tersebut untuk dirinya. 4. Trial: tahapan subyek sudah mulai mencoba stimulus yang diterima. 5. Adoption: suatu tahapan dimana subyek sudah berperilaku baru terhadap stimulus sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap.Akan tetapi di penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa tidak semua tahapan di lewati dalam proses perubahan perilaku.

Upload: others

Post on 29-Dec-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

8

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi dari pengindraan yaitu indra

pengliatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Sebagian besar pengetahuan

didapat dari indra pengliatan dan pendengaran. Pengetahuan merupakan domain

yang penting dalam perubahan perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2011). Perilaku

yang akan diambil erat kaitanya dengan pengetahuan, karena pengetahuan merupakan

alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan(Layuk et al., 2017).

Penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang didasari dengan pengetahuan

lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari dengan pengetahuan. Penelitian

Rogers (Notoatmodjo, 2011) mengemukakan beberapa tahapan sebelum seseorang

tersebut berperilaku, yaitu :

1. Awareness: kesadaran yang dimiliki seseorang untuk menangkap stimulus yang

dihasilkan oleh obyek.

2. Interest: rasa tertarik seseorang terhadap stimulus, pada tahap ini sikap seseorang

mulai muncul.

3. Evaluation: sikap seseorang dengan pertimbangan terhadap baik atau tidaknya

suatu stimulus tersebut untuk dirinya.

4. Trial: tahapan subyek sudah mulai mencoba stimulus yang diterima.

5. Adoption: suatu tahapan dimana subyek sudah berperilaku baru terhadap

stimulus sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap.Akan tetapi di

penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa tidak semua tahapan di

lewati dalam proses perubahan perilaku.

Page 2: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

9

2.1.2 Tingkatan Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket untuk

menyanyakan isi materi yang akan diukur dari subyek penelitian. Menurut Notoatmodjo,

2011 pengetahuan yang merupakan domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1) Tahu: diartikan sebagai pengingat dari materi yang telah didapatkan

sebelumnya atau mengingat kembali. Oleh karena itu tahu adalah tingkat

pengetahuan yang paling dasar. Dikatakan tahu bila seseorang tersebut bisa

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2) Memahami: adalah kemampuan seseorang dalam menjelaskan dan

menginterpretasi obyek/ materi yang diketahui secara benar. Dikatakan

seseorang itu paham yaitu bila bisa menjelaskan, menyebutkan, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya.

3) Aplikasi: adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari untuk situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini bisa menggunakan

hukum, rumus, metode, prinsip dalam pemecahan masalah pada situasi tertentu.

4) Analisis: adalah kemampuan untuk menjabarkan materi dari suatu obyek dalam

komponen yang masih ada dalam struktur organisasi tersebut. Dikatakan seseorang

memiliki kemampuan analisis bila orang tersebut bisa menggambarkan,

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis: adalah suatu kemampuan seseorang untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan dengan kata

lain yaitu dapat menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah

ada. Dikatakan bila seseorang mempunyai kemampuan tersebut bila seseorang

tersebut bisa menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan

sebagainya terhadap suatu teori yang sudah ada.

Page 3: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

10

6) Evaluasi: adalah kemampuan seseorang untuk memberikan penilaian atau

justifikasi terhadap suatu materi. Penilaian tersebut bisa berdasarkan kriteria

yang ditentukan sendiri ataukriteria yang sudah ada.

2.1.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut jurnal penelitian sureskiarti, zulkifli 2019, pengetahuan dipengaruhi

beberapa hal yaitu:

1. Usia: pengambilan keputusan atau Tindakan yang dilakukan seseorang di

pengaruhi oleh pengalaman yang diperoleh dari semakin bertambahnya umur

seseorang tersebut.

2. Pendidikan terahir: menurut Notoadmodjo, 2010 salah satu usaha dalam

meningkatkan kemampuan dan kepribadian yang bisa diperoleh baik dari luar

maupun luar sekolah. Pengetahuan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan

Pendidikan yang dimiliki.

Menurut penelitian Bachrun, 2017 dalam jurnalnya membahas faktor yang

mempengaruhi pengetahuan, diantaranya yaitu:

1. umur: dalam jurnal ini dijelaskan bahwa tingkat umur dapat mempengaruhi

tingkat pengetahuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, emosi dan

keyakinan yang kuat. Semakin banyaknya pengalaman mempermudah

seseorang tersebut dalam menerima informasi.

2. Tingkat Pendidikan: pengetahuan memiliki kaitan erat dengan pendidikan.,

karena pengetahuan dan wawasan dapat diperoleh dari Pendidikan.

3. Lingkungan: perkembangan dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan disekitarnya.

4. Sosial budaya: sikap dalam menerima informasi juga dapat dipengaruhi oleh

sosial budaya pada masyarakat.

Page 4: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

11

2.1.4 Pengetahuan Perawat tentang Sensus Harian Mutu

Sensus harian mutu merupakan pendataan yang dilakukan setiap hari tentang

jumlah pasien yang masuk dan keluar Rumah Sakit. Menejemen Rumah sakit

menggunakan data sensus untuk berbagai keperluan seperti perencanaan,

penganggaran, dan kepegawaian. Kegiatan ini dilakukan oleh setiap perawat maupun

staff administrasi rumah sakit untuk dilakukan rekapitulasi data pasien dalam satu

bulan yang dirawat dirumah sakit secara keseluruhan maupun masing-masing unit

perawatan untuk menunjang perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Sensus Harian

mutu menggunakan formulir tertentu yang mana dibuat oleh masing-masing Rumah

Sakit sehingga setiap perawat wajib mengetahui cara pengisian data sensus harian

tersebut(Kemenkes, 2018).

Pengetahuan tentang program kualitas rumah sakit di Indonesia dapat

memberikan banyak efek menguntungkan bagi pasien dan penyedia layanan.

Peningkatan kualitas telah membuat persepsi tentang layanan rumah sakit lebih baik

dalam pandangan pasien. Dimana hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan

penggunaan layanan rumah sakit sehingga pendapatan yang diterima oleh rumah sakit

meningkat (Erfan, 2018).

Pengetahuan perawat tentang sensus harian mutu dilakukan sesuai dengan

pelayanan yang dilakukan dalam 24 jam melalui pelatihan sehingga menyamakan presepsi

setiap perawat tentang pengisian sensus harian mutu dengan benar. Setiap perawat

memiliki tanggungjawab yang sama dalam pengisian sensus harian mutu disetiap ruangan

(Kemenkes, 2018). Pengetahuan perawat tentang sensus harian dapat diketahui dari

kemampuan perawat dalam mengisi, cara pengisian yang tepat dan benar, dan

tanggungjawab perawat dalam melaksanakan pengisian (Amelia, 2015).

Page 5: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

12

2.2 Indikator Mutu

2.2.1 Definisi Indikator Mutu

Dalam beberapa sumber dan jurnal penelitian mengemukakan beberapa hal

definisi dai indikator mutu, diantaranya yaitu:

1. Mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara efisien dan efektif

sesuai dengan standar profesi yang dilaksanakan secara menyeluruh terhadap

kebutuhan pasien (Nursalam, 2016). Mutu pelayanan berdasarkan pedoman

penyusunan standar pelayanan minimum di Rumah Sakit mempunyai arti yaitu

suatu tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan

kepuasan pasien dengan tinkat kepusasan penduduk (Supriyantoro et al., 2012).

Menurut Sutoto, 2009 dalam jurnal (Untung et al., 2017) mengemukakan

bahwa mutu pelayanan adalah suatu rangkaian dari kegiatan pelayanan

kesehatan berdasarkan standar dan prosedur. Mutu pelayanan berhubungan

dengan kepuasan pasien, angka kematian ibu dan bayi dan tingkat BOR (Bed

Occupancy Ratio). Sehingga inti dari pelayanan yaitu menjaga mutu pelayanan.

2. Mutu adalah suatu tingkat layanan kesehatan yang konsisten dengan disertai

pengetahuan yang terus diperbarui sehingga memperoleh hasil yang diinginkan.

Indikator mutu ditetapkan untuk mengukur mutu rumah sakit (Nurdianana,

dkk, 2017). Menurut pedoman penyusunan standar pelayanan minimum di

Rumah Sakit, dimensi mutu adalah merupakan suatu pandangan untuk

penilaian terhadap jenis dan mutu pelayanan dari akses, efektifitas, efisiensi,

keselamatan dan keamanan dan kenyamanan, kesinambungan pelayanan

kopetensi teknis dan hubungan antar manusia berdasarkan standar

WHO(Supriyantoro et al., 2012).

Page 6: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

13

3. Nursalam, 2016 menjelaskan indikator adalah suatu cara untuk mengukur

penampilan dari suatu kegiatan dan menilai suatu perubahan dengan

menggunakan instrument. Indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di

rumah sakit ada 6, yaitu: keselamatan pasien, pengelolaan nyeri dan

kenyamanan, tingkat kepuasan pasien, perawatan diri, kecemasan pasien,

perilaku pasien (Nursalam, 2016). Sedangkan indikator mutu yang digunakan di

ruang keperawatan menurut Setiadi, 2016 terbagi menjadi indikator umum dan

indikator khusus, keduanya dapat dipakai untuk tingkat pemanfaatan, mutu,

dan efisiensi pelayanan rumah sakit.

a. Indikator Umum

Setiadi, 2016 dalam bukunya menjelaskan beberapa macam inikator

umum, yaitu:

1. BOR ( Bed Occupancy Ratio)

Menurut Huffman (1994) adalah the ratio of patient service day to inpatient

bed count days in a period under consideration. Sedangkan menurut Depkes RI

(2005) BOR merupakan prosentase pemakaian tempat tidur pada

satuan waktu tertentu. Perhitungan BOR bisa ditentukan dari kebijakan

internal Rumah Sakit yaitu mingguan, bulanan, triwulan, semester

bahkan tahunan. Menurut standar internasional nilai normal BOR 80 –

90%, sedangkan nilai normal BOR menurut Depkes RI (2005) yaitu 60

– 85%.

Page 7: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

14

2. ALOS (Average length of Stay)

Menurut Huffman (1994) adalah the average hospitalization stay of inpatient

discharged during the period under consideration. Sedangkan menurut Depkes

RI (2005) ALOS merupakan rata-rata lama rawat seorang pasien. Nilai

normal ALOS menurut Depkes RI (2005) yaitu 6-9 hari. Indikator ini

selain untuk menggambarkan tingkat efisiensi juga dapat

menggambarkan sebuah mutu pelayanan.

3. TOI (Turn Over Interval)

Menurut Depkes RI (2005) TOI adalah rata-rata hari dimana tempat

tidur tidak ditempati dari setelah diisi sampai terisi berikutnya. Nilai

normal TOI yaitu 1 – 3 hari.

4. BTO (Bed Turn Over)

Huffman (1994) mengartikan BTO merupakan the net effect of changed in

occupancy rate and length of stay. Sedangkan menurut Depkes RI (2005)

BTO adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode,

berapa kali tempat tidur terpakai dalam satu satuan waktu tertentu.

Nilai normal BTO dalam setahun satu tempat tidur rata-rata dipakai 40

– 50 kali.

Page 8: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

15

5. NDR (Net Death Rate)

Menurut Depkes RI (2005) NDR merupakan angka kematian 48 jam

setelah dirawat per 1000 penderita yang keluar.

6. GDR (Gross Death Rate)

Menurut Depkes RI (2005) GDR adalah angka kematian umum untuk

tiap 1000 penderita yang keluar dari Rumah Sakit.

b. Indikator Mutu Khusus

1. Kejadian Nosokomial

Merupakan jumlah pasien infeksi yang didapat selama perawatan di

Rumah sakit.

2. Kejadian Cedera

Angka cedera merupakan jumlah pasien yang mengalami luka selama

perawatan akibat jatuh, fiksasi dan lainya. Idelanya tidak ada pasien yang

mengalami cedera.

3. Kondisi Pasien

Kondisi pasien ini bisa di audit melalui dokumentasi keperawatan, yaitu

survey masalah didapat dari status rekam medis pasien baru yang dirawat

pada bulan tertentu. Selain survey masalah pasien, survey kepuasan pasien,

keluarga, perawat dantenaga kesehatan lain juga perlu dilakukan.

Page 9: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

16

2.2.2 Pengukuran Mutu Pelayanan

Dilihat dari penjelasan mutu pelayanan yang telah dijelaskan, pengukuran

mutu pelayanan dapat diukur dengan tiga variable, yaitu:

1. Input adalah segala sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan,

seperti: SDM (sumber daya manusia), dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi,

organisasi dan informasi (Nursalam, 2016).

2. Jurnal penelitian tentang mutu juga mengemukakan bahwa proses sangat

berpengaruh pada mutu pelayanan di rumah sakit, sehingga faktor sarana, tenaga

yang tersedia, obat dan alat kesehatan termasuk sumber daya manusia sangatlah

dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan mutu (Mutmainah & Nurman, 2019).

Jurnal penelitian (Quadros et al., 2016) membahas tentang indicator pelayanan

kesehatan juga digunakan di negara Brazil untuk memantau pelayanan yang

mereka tawarkan. Indikator ini tergantung pada proses seperti: perencanaan

sumber daya manusia. Untuk mengembangkan pelayanan kesehatan yang

berkualitas dan bermutu tinggi maka pelayanan mereka menyediakan perawatan

penuh dan manusiawi yaitu dengan menghubungkan antara jumlah perawat

dengan pengguna jasa atau pasien. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa

jumlah staf berdampak pada kualitas dalam memberikan perawatan dan

membantu meningkatkan kepuasan pasien. Nursalam, 2016 mengemukakan

Proses adalah suatu interaksi antara pemberi pelayanan dan penerima pelayanan.

Setiap tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan nilai yang dianut oleh pasien.

Semua itu dilakukan dan dikorektif untuk meminimalkan risiko keluhan atau

ketidakpuasan pasien. Pengembangan akreditasi dilakukan disini untuk

meningkatkan mutu rumah sakit sesuai dengan indikator pemenuhan standar

pelayanan yang telah ditetapkan kemenkes. Keilmuan selalu diperbarui untuk

Page 10: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

17

menjamin bahwa tindakan yang dilakukan sudah didukung oleh bukti ilmiah.

Interaksi ini memperhatikan asas etika terhadap pasien yaitu:

a. Berbuat hal yang baik (beneficence).

b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmalficence).

c. Menghormati manusia (respect of person).

d. Berlaku adil dalam memberikan pelayanan(Nursalam, 2016)

3. Output adalah hasil dari pelayanan keperawatan dan pelayanan kesehatan yang

berhubungan dengan perubahan konsumen yaitu berupa kepuasan(Nursalam,

2016). Indicator yang merupakan output yaitu BOR, LOS, TOI dan audit

keperawatan.

2.2.3 Tingkat Konsep Kualitas Layanan

Menurut buku Nursalam, 2016, menjelaskan tingkat konsep kualitas layanan

sebagai berikut:

1. Mutu tinggi (bermutu): bila pelayanan yang diberikan melebihi pelayanan

yang diharapkanpelanggan.

2. Mutu sedang (memuaskan) bila pelayanan yang diberikan sama dengan

pelayanan yang diterima pelanggan.

3. Mutu rendah (tidak bermutu): bila pelayanan yang diberikan lebih rendah dari

harapan pelanggan.

Penelitian Djeinne, Ora, & Joy mengemukaan Ada beberapa unsur yang

penting didalam kualitas yang diharapkan pasien yaitu pasien berharap untuk menjadi

prioritas utama, maka dari itu untuk menjamin suatu kepuasan tersebut perlu adanya

pelayanan dengan kualitas tinggi sesuai dengan keinginan pasien. Untuk mengetahui

kualitas layanan kepuasan pasien ada 5 dimensi, yaitu: Reliability (keandalan), Tangibles

Page 11: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

18

(menunjukkan bukti fisik), Responsiveness (daya tanggap), Assurance (menumbuhkan

adanya jaminan) dan Emphaty.(Djeinne et al., 2018).

2.2.4 Upaya Peningkatan Mutu

Nursalam, 2016 ada beberapa cara yang dilakukan sebagai upaya peningkatan

mutu:

1. Mengembangkan akreditasi dalam peningkatan mutu rumah sakit sesuai indikator

yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI.

2. ISO 9001: 2000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem manajemen yang

berkualitas sesuai kebutuhan pelanggan dan rumah sakit.

3. Memperbarui keilmuan untuk menjaminbahwa tindakan yang dilakukan baik

medis atau keperawatan sudah didukung dengan bukti ilmiah.

4. Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan aspek bisnis dalam

penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara transparansi dan akuntabilitas.

5. Clinical governance yang merupakan bagian dari corporate governance yang merupakan

kerangka kerja dari suatu organisasi yang bertujuan untuk bertanggung jawab

dalam peningkatan mutu secara berkesinambungan.

6. Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit yang lain baik di dalam maupun

luar negeri.

7. Melakukan evaluasi dalam hal pembiayaan, sehingga tarif layanan bisa bersaing

secara global.

8. Orientasi pelayanan: sering terjadi perbedaan pandangan dari masyarakat yang

masih menilai rumah sakit merupakan institusi yang mengutamakan fungsi sosial.

Sedangkan pandangan investor rumah sakit merupakan institusi yang bergerak di

bidang bisnis jasa, sehingga orientasi mencari laba merupakan suatu yang absah.

Page 12: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

19

9. Orientasi bisnis dapat berdampak besar kearah positif bila bisa mengendalikan

potensial negative, seperti tindakan medis yang berlebihan atau tidak bermanfaat

bagi pasien. Sehingga diperlukan suatu mekanisme pembinaan etis untuk

mengimbangi antara fungsi social dan fungsi bisnis.

Jurnal Mutmainah & Nurman, 2019 menjelaskan bahwa meningkatkan

komunikasi yang baik juga merupakan upaya rumah sakit dalam peningkatan mutu.

Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan suatu proses pemindahan informasi dari

sekelompok orang yang satu ke kelompok orang yang lain. Komunikasi merupakan

salah satu faktor kontributor dalam insiden keselamatan pasien. Komunikasi disini

dibagi menjadi 2 yaitu: komunikasi verbal dan komunikasi tertulis, baik komunikasi

antar perawat, komunikasi perawat dengan dokter, perawata dengan pasien, perawat

dengan profesi lain (Mutmainah & Nurman, 2019).

Menurut (Nurdahniar, 2016) selain meningkatkan mutu pelayanan teknis

medis, peningkatan pelayanan yang mudah dan murah serta diperlukan dalam

peningkatkan mutu. Pelayanan yang mudah dan murah yang dimaksud disini yaitu

pelayanan yang dilakukan dengan ramah, sopan santun, gesit, terampil dan perduli

dengan keluhan pasien. Sehingga pelayanan yang bermutu tersebut berefek terhadap

keinginan pasien untuk kembali kepada institusi yang memberikan pelayanan

kesehatan dengan efektif.

Program manajemen resiko, tinjauan pemanfaatan, transfer ilmu

pengetahuan, pemuasan pelanggan, pegawai, sponsor, professional, berorientasi pada

outcome dan perbaikan layanan kesehaan menyeluruh pada proses pemberian

pelayanan merupakan program mutu pada era sekarang. Berbeda dengan program

mutu rumah sakit dahulu yang memilikikegiatan tindakan menghukum, main tunjuk

dan tindakan mencari kesalahan (Erfan, 2018).

Page 13: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

20

2.2.5 Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan

Nursalam, 2016 dalam bukunya menjelaskan tentang jenis indicator mutu

pelayanan keperawatan, yaitu:

1. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD)

a. Angka keterlambatan pelayanan pertama gawat darurat (> 5 menit)

b. angka kegagalan pemasangan infus (> 2x)

c. Angka kesalahan transfer pasien.

d. Angka kesalahan pengambilan darah.

e. Angka kesalahan pemberian obat.

2. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Instalasi Rawat Inap

a. Angka kejadian phlebitis.

b. Angka kejadian decubitus.

c. Angka kejadian pasien jatuh.

d. Angka kesalahan pemberian obat.

e. Tingkat kepuasan pasien terhadap peayan keperawatan.

f. Angka kesalahan pengambilan darah.

3. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Intensive Care Unit

a. Angka kegagalan pengambilan sampling BGA (> 3x).

b. Angka kejadian phlebitis.

c. Angka kejadian decubitus.

d. Angka kejadian pasien jatuh.

e. Angka kesalahan pemberian obat.

f. Angka kejadian cedera akibat restrain.

g. Angka kejadian terekstubasi.

Page 14: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

21

4. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Kamar Operasi

a. Insiden kesalahan identifikasi pasien.

b. Insiden tertinggalnya kain kassa.

c. Angka kejadian kesalahan penjadwalan operasi.

d. Insiden tertinggalnya instrument.

e. Angka kesalahan pemberian obat.

f. Angka kejadian pasien jatuh.

g. Respon time penyiapan ruangan operasi emergensi (< 60 menit)

5. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Instalasi Rawat Jalan

a. Angka kesalahan penjadwalan rencana kunjungan.

b. Angka kesalahan penjadwalan tindakan.

c. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan perawat.

2.2.6 Standar Pelayanan Minimum

Rumah sakit merupakan suatu sarana kesehatan yang mempunyai peran

memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat. Maka sebab itu perlunya

suatu Rumah sakit menyusun standar pelayanan minimum. Standar pelayanan minimum

ini disusun bertujuan agar tersedianya panduan bagi Rumah Sakit untuk melaksanakan

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban atas

pelayanan yang diberikan (Supriyantoro et al., 2012). Penelitian (Untung et al., 2017)

mengemukakan bahwa Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah tolak ukur rumah sakit

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

LAN, 2010 dalam jurnal Nurdahniar (2016) mendefinisikan bahwa standar

pelayanan merupakan bentuk konkret dari akuntabilitas. Artinya standar pelayanan

disini yaitu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah di penuhi dan

Page 15: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

22

rasional. Untuk mencapai hal tersebut maka di perlukan standarisasi dari pelayanan

yang akan diberikan. Standar tersebut yaitu ukuran minimal atau standar pelayanan

minimal, sehingga penyelenggara pelayanan dalam memberikan pelayanan harus

memenuhi unsur-unsur standar yang telah ditentukan.

2.2.6.1 Pengelola Standar Pelayanan Minimum

Standar Pelayanan Minimum (SPM) Rumah Sakit dibuat oleh Komite atau

Tim atau organisasi lainnya yang kompeten untuk mengelola kegiatan Peningkatan

Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) yang diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dimana kegiatan pengelolaan SPM dilakukan secara

berkesinambungan. Tim PMKP mengolah data dari setiap unit kerja perawat sesuai

dengan mekanisme kordinasi antar komite medis, komite keperawatan, dan kepala

unit kerja. Program dan kegiatan ini wajib disetujui oleh pemilik RS maupun

representasi pemilik Rumah Sakit. Pengelolaan data mutu perawat dilakukan oleh tim

PMKP dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang mana data tersebut

terintergrasi dari setiap unit kerja yang mana diharapkan dapat membantu dalam

pengumpulan dan analisis data. Staff dan setiap perawat harus dapat melakukan

pencatatan data untuk mempermudah tim PMKP(Komisi Akreditasi Rumah Sakit

Indonesia, 2019).

Pemilik Rumah sakit dibantu dengan Tim PMKP menyusun SPM dengan

mempertimbangkan:

1. Keberadaan sistem informasi, pelaporan, dan evaluasi pencapaian SPM yang akan

dipantau dan dievaluasi lebih lanjut oleh pemerintah sebagai salah satu penilaian

akreditasi Rumah sakit

2. Standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai rumah sakit

Page 16: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

23

3. Keterkaitan SPM Rumah Sakit dengan SPM bidang kesehatan

4. Kemampuan pengembangan dan pengalaman empiris tentang cara penyediaan

layanan rumah sakit yang telah terbukti menghasilkan mutu pelayanan yang ingin

dicapai (Kemenkes, 2012).

2.2.6.2 Program Nasional Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimum

Rumah Sakit

Pemerintah membuat kebijakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat

Indonesia melalui program nasional yang menjadi prioritas dalam indikator standar

pelayanan minimum di Rumah Sakit, diantaranya:

1. Penurunan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan angka kelahiran

2. Penurunan angka kesakitan HIV/ AIDS

3. Penurunan angka kesakitan Tuberkulosis / TBC

4. Pengendalian resistensi antimikroba

5. Pelayanan geriatric

(Komisi Akreditasi Rumah Sakit Indonesia, 2019).

2.2.6.3 Jenis Pelayanan, Indikator dan Standar

Menurut buku pedoman standar pelayanan minimal, jenis pelayanan

mempunyai indicator dengan standar sebagai berikut:

1. Pelayanan Gawat Darurat

a. Input:

1) Kemampuan menangani life saving dengan standar 100%.

2) Pemberi pelayanan kegawatdaruratan bersertifikat yang masih berlaku

dengan standar 100%.

3) Ketersediaan tim penanggulangan bencana dengan standar 1 tim.

Page 17: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

24

b. Proses:

1) Jam buka pelayanan gawat darurat dengan standar 24 jam.

2) Waktu tanggap pelayanan dokter di gawat darurat dengan stndar kurang

dari 5 menit dilayani setelah pasien datang.

3) Tidak adanya keharusan membayar uang muka dengan standar 100%.

c. Output:

Kematian pasien di IGD (kurang dari 8 jam) dengan standart kurang dari 2

perseribu.

d. Outcome:

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 70%.

2. Pelayanan Rawat Jalan

a. Input:

1) Ketersediaan pelayanan dengan standar minimal sesuai dengan jenis dan

klasifikasi RS.

2) Dokter pemberi pelayanan di poliklinik spesialis dengan standar 100%

dokter spesialis

b. Proses:

1) Jam buka pelayanan dengan ketentuan dengan standar 08.00 sampai

dengan 13.00 setiap hari kerja kecuali jumat: 08.00 sampai dengan 11.00.

2) Waktu tunggu rawat jalan dengan standar kurang dari 60 menit.

3) Penegakan diagnosis TB melalui pemeriksaan mikroskopis dengan

standar 100%.

4) Pasien rawat jalan TB yang ditangani dengan strategi DOTS dengan

standar 100%.

5) Ketersediaan pelayanan VCT (HIV) dengan standar tersedia dengan

tenaga terlatih.

Page 18: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

25

c. Output:

Peresepan obat sesuai dengan formularium dengan standar 100%.Pencataan

dan pelaporan TB di Rumah Sakit dengan standar lebih dari 60%.

d. Outcome

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 90%.

3. Pelayanan rawat inap

a. Input

1) Ketersediaan pelayanan dengan standar sesuai dengan jenis dan kelas

Rumah Sakit.

2) Pemberi pelayanan di rawat inap dengan standar sesuai dengan pola

ketenagaan, jenis dan kelas Rumah sakit.

3) Tempat tidur dengan pengaman dengan standar100%.

4) Kamar mandi dengan pengaman pegangan tangan dengan standar 100%.

b. Proses:

1) Dokter penanggung jawab pasien rawat inap dengan standar 100%.

2) Jam visite dokter spesialis dengan standar 08.00 sampai dengan 14.00

3) Kejadian infeksi pasca operasi dengan standar kurang dari 1,5%

4) Kejadian infeksi nosocomial dengan standar kurang dari 9%.

5) Tidak ada kejadian pasien jatuh yang berakibat cacat atau kematian

dengan standar 100%.

6) Pasien rawat inap tuberculosis yang ditangani dengan strategi DOTS

dengan standar 100%.

7) Pencatatan dan pelaporan TB di Rumah Sakit dengan standar lebih dari

60%.

Page 19: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

26

c. Output

1) Kejadian pulang sebelum dinyatakan sembuh dengan standar kurang dari 5%.

2) Kematian pasien lebih dari 48 jam dengan standar kurang dari 0,24%.

d. Outcome:

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 90%.

4. Pelayanan bedah sentral

a. Input:

1) Ketersediaan tim bedah dengan standar sesuai dengan kelas Rumah Sakit.

2) Ketersediaan fasilitas dan peralatan operasi dengan standar sesuai dengan

kelas Rumah Sakit.

3) Kemampuan melakukan tindakan operatif dengan standar sesuai dengan

kelas Rumah Sakit.

b. Proses:

1) Waktu tunggu operasi elektif dengan standar kurang dari 2 hari.

2) Tidak adanya kejadian operasi salah sisi dengan standar 100%.

3) Tidak adanya kejadian operasi salah orang dengan standar 100%.

4) Tidak adanya kejadian salah tindakan pada operasi dengan standar 100%.

5) Tidak adanya kejadian teringgalnya benda asing atau lain pada tubuh

pasien setelah operasi dengan standar 100%.

6) Komplikasi anastesi karena overdosis, reaksi anastesi, salah penempatan

ET dengan standar kurang dari 6%.

c. Output:

Kejadian kematian di meja operasi dengan standar kurang dari 1%.

d. Outcome:

Kepuasan pelanggan dengan standar lebih dari 80%.

Page 20: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

27

5. Persalinan dan Perinatologi

a. Input:

1) Pemberi pelayana persalinan normal dengan standar dokter Sp.OG/

dokter umum/ bidan.

2) Pemebri pelayanan persalinan dengan penyulit dengan standar tim ponek terlatih.

3) Pemberi pelayanan persalinan dengan tindakan operatif dengan standar

dokter Sp.OG, dokter Sp.A, dokter Sp.An.

4) Kemampuan menangani BBLR (1500 – 2500) dengan standar 100%.

5) Kemampuan menangani bayi baru lahir asfiksia dengan standar 100%.

b. Proses

1) Pertolongan persalinan melalui seksio caesaria non rujukan dengan

standar kurang dari 20%.

2) Pelayanan kontrasepsi mantap dilakukan oleh Sp.OG atau Sp.B atau Sp.U

atau dokter umum terlatih dengan standar 100%.

3) Konseling peserta KB mantap oleh bidan terlatih dengan standar 100%.

c. Output:

Kematian ibu karena persalinan dengan standar bila ada perdarahan kurang

dari 1%, bila dengan pre eklamsi kurang dari 30%, bila dengan sepsis kurang

dari 0,2%.

d. Outcome:

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 80%.

Page 21: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

28

6. Pelayanan Intensive

a. Input:

1) Pemberi pelayanan dengan standar sesuai kelas Rumah Sakit dan standar

ICU.

2) Ketersediaan fasilitasdan peralatan ruang ICU dengan standar sesuai kelas

Rumah Sakit dan standar ICU.

3) Ketersediaan tempat tidur dengan monitoring dan ventilator dengan

standar sesuai kelas Rumah Sakit dan standar ICU.

b. Proses:

1) Kepatuhan terhadap hand hygiene dengan standar 100%.

2) Kejadian infeksi nosocomial dengan standar kurang dari 21%.

c. Output:

Pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan kasus yang sama kurang 72

jam dengan standar kurang dari 3%.

d. Outcome:

Kepuasan pelanggan dengan standar lebih dari 70%.

Menurut Kemenkes (2012), Setiap unit kerja memiliki jenis SPM yang

berbeda. Berikut ini adalah contoh format dari SPM di Rumah Sakit pada unit Rawat

Inap:

Page 22: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

29

Tabel 2.1 SPM Rawat Inap

Standar Pelayanan Minimum Rawat Inap

Uraian Standar Pencapaian

Awal

Rencara Pencapaian Tahun ke

Penanggung Jawab

Input Ketersediaan Layanan Sesuai jenis & kelas RS

Pemberian Pelayanan di Ranap

Sesuai pola SDM, jenis & kelas RS

Tempat tidur dengan Pengaman

100%

Kamar Mandi dengan Pengaman pegangan tangan

100%

Proses DPJP Ranap 100%

Jam visite Dokter spesialis 08.00 s/d 14.00

Kejadian Infeksi pasca operasi

≤1,5%

Kejadian Infeksi Nosokomial ≤9%

Tidak ada pasien jatuh 100%

Pasien TBC dilakukan stategi DOTS

100%

Pencatatan dan pelaporan TB di RS

≥60%

Output Kejadian PAPS ≤5%

Kematian pasien ≥48 jam ≤0,24%

Outcome Kepuasan Pasien ≥90%

Kemenkes (2012)

2.2.7 Penyebab Penurunan Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Dalam beberapa jurnal penelitian mengemukakan beberapa hal penyebab

penurunan mutu pelayanan rumah sakit, diantaranya yaitu:

1) Tidak diterapkanya dan tidak memperdulikan keselamatan pasien (Mutmainah &

Nurman, 2019).

2) Membiarkan konsumen menunggu tanpa alasan yang jelas sehingga menimbulkan

persepsi negative (Mutmainah & Nurman, 2019).

Page 23: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi

30

3) Ketidakpuasan konsumen seperti: keterlambatan pelayanan dokter dan perawat,

dokter sulit ditemui, lamanya proses masuk rawat, keterbatasan obat, ketersediaan

sarana prasarana, ketertiban dan kebersihan rumah sakit. Kepuasan pasien

merupakan salah satu indicator mutu pelayanan kesehatan, sehingga pengukuran

tingkat kepuasan pasien merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari

pengukuran mutu pelayanan kesehatan (Murtiana et al., 2016).

4) Sikap perawat dan dokter yang tidak ramah, waktu konsultasi yang kurang

(Djeinne et al., 2018).

5) Adanya ketimpangan antara indicator pedoaman standar pelayanan rumah sakit

dan standar pelayanan minimal rumah sakit dengan kenyataan yang ada, seperti:

sarana dan prasarana rumah sakit tidak sesuai standar, ketersediaan SDM dokter

spesialis dasar tidak sesuai dengan standar yang ada, BOR tidak sesuai standar

yaitu kurang dari 60 – 85%, angka kematian bayi yang masih tinggi, beberapa

dokter spesialis yang visite tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan pelayanan.

Selain ditemukanya data diatas adapun faktor – faktor yang mempengaruhi

dilaksanakanya implementasi diatas salah satunya yaitu: terjadinya hubungan yang

tidak harmonis pada pihak struktural dan fungsional sehingga pihak fungsional

enngan melaporkan permasalahan yang terjadi saat pelayanan (Untung et al.,

2017).