bab ii a. 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4636/3/bab ii.pdf · stres, yaitu perubahan fisiologi...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1. Pengertian Stres
Stres adalah reaksi individu terhadap sumber stres (stresor), baik positif
maupun negatif, yang individu nilai memiliki pengaruh signifikan serta
mengancam kemampuan diri dalam menyesuaikan dengan tuntutan stresor
(King, 2017). Stres melibatkan aspek emosi, biologis, kognitif, dan
perilaku (Ogden, 2004; Sarafino & Smith, 2011; Scott, 2008). Sarafino
dan Smith (2011) menyebutkan terdapat 2 komponen dalam menjelaskan
stres, yaitu perubahan fisiologi dan persepsi terhadap peristiwa.
Stres (Sarafino, 1998) adalah suatu keadaan yang dihasilkan ketika
seseorang dan lingkungan saling memengaruhi, baik nyata atau tidak
nyata, antara tuntutan situasi dan sumber-sumber yang ada pada individu,
menyangkut kondisi biologis, psikologis, atau psikososial. Dalam
peristiwa stres, sekurang-kurangnya ada 3 hal yang saling terkait, yaitu
hal, peristiwa, orang, keadaan yang menjadi sumber stres (stresor), orang
yang mengalami stres dan hubungan antara keduanya yang merupakan
transaksi.
Lazarus dan Folkman (Aldwin, 2007) menilai stres sebagai hasil
interaksi antara individu dan lingkungan. Interaksi tersebut menekankan
pada peranan persepsi individu terhadap stres. Artinya, penilaian situasi
15
sebagai penyebab stres berbeda pada tiap-tiap individu. Aldwin (2007)
menambahkan bahwa stres terjadi karena adanya tuntutan lingkungan,
sumber daya yang dimiliki individu, dan proses kognitif. Ice dan James
(2007) mengartikan stres sebagai sebuah proses diawali dengan hadirnya
stimulus yang memunculkan reaksi emosi, perilaku, dan/atau fisiologis
individu yang dipengaruhi faktor personal, biologis, dan nilai-nilai budaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah
sebuah proses dimulai dari munculnya stimulus yang memunculkan reaksi
subjektif, baik emosi, biologis, kognisi, dan perilaku sebagai hasil
interaksi individu dengan lingkungannya yang menuntut sumber daya
individu dan dipengaruhi faktor personal, biologis, dan nilai-nilai budaya
individu.
2. Gejala-gejala Stres
Gejala – gejala stres menurut Sarafino dan Smith (2011), yaitu:
a. Gejala fisiologis, seperti gangguan sistem kekebalan tubuh, jantung
berdebar cepat dan kuat, kelelahan, gangguan pada tekanan darah,
gangguan tidur.
b. Gejala psikis/emosi, seperti cemas, takut, perasaan sedih, marah.
c. Gejala perilaku, seperti agresif, gangguan konsentrasi, impulsif, jarang
bersosialisasi, tidak peka terhadap kondisi orang lain, sikap
bermusuhan dengan orang lain.
d. Gejala kognisi, seperti kesulitan konsentrasi, gangguan pada ingatan,
kesulitan dalam menghadapi masalah, kontrol diri rendah.
16
Ice dan James (2007) menyatakan bahwa reaksi individu terhadap stres
berbentuk perilaku, afeksi, dan fisiologis. Reaksi stres dapat muncul
bersamaan atau satu persatu. Hal ini juga memungkinkan reaksi stres
saling memengaruhi. Misalnya, respon perilaku (merokok atau konsumsi
alkohol) terhadap stres memengaruhi aspek fisiologis. Respon perilaku
terhadap stres dapat berwujud positif dan negatif. Wujud respon positif
antara lain olahraga, aktivitas spiritual, atau mencari dukungan sosial.
Wujud respon negatif antara lain meningkatnya perilaku merokok atau
konsumsi alkohol. Respon afeksi terhadap stres memunculkan emosi-
emosi negatif. Respon fisiologis terhadap stres membuat aktif kelenjar
hipotallami pituitari dan simpatetis arenal sistem adrenal.
Taylor (Kholidah, 2009) menjabarkan tentang respon terhadap stres
pada mahasiswa, yaitu:
a. Respon fisiologis
Respon fisiologis terhadap stres memiliki beragam bentuk dan
melibatkan sistem saraf dan endokrin. Stres memicu sistem saraf
simpatik menjadi aktif sehingga tekanan darah dan detak jantung
meningkat lebih cepat, konduksi kulit meningkat, dan pernapasan
bertambah berat. Mahasiswa dengan kondisi stres menunjukkan
kondisi wajah memucat, keringat dingin, dan jantung berdebar keras.
b. Respon kognitif
Respon kognitif stres meliputi hasil dari proses persepsi dan
kemampuan mahasiswa mengelola diri. Respon kognitif juga meliputi
17
respon stres terhadap situasi yang tidak diharapkan, seperti
kebingungan dan hambatan untuk konsentrasi, hambatan performansi
pada tugas-tugas kognitif, dan pikiran-pikiran tidak wajar.
c. Respon emosional dan perilaku
Respon emosional meliputi ketakutan, kecemasan, merasa malu,
marah, stres, sikap sabar, tabah, dan penyangkalan. Respon perilaku
stres yang umum terjadi adalah melawan stresor (fight) atau melarikan
diri dari ancaman (flight).
Kesimpulannya adalah stres dapat dikenali dari respon individu
terhadap stres seperti aspek fisiologis, emosi, kognisi, dan perilaku.
Respon terhadap stres saling memengaruhi, seperti respon perilaku
memengaruhi aspek kognisi atau sosial. Seseorang dengan kondisi stres
akan mengalami kecemasan atau sedih dan secara kognisi cenderung
kesulitan untuk konsentrasi dan kontrol diri rendah. Gejala perilaku
terlihat cenderung agresif dan jarang bersosialisasi dan disertai dengan
keluhan fisik.
3. Faktor Penyebab Stres
Stres disebabkan persepsi terhadap stres, strategi koping, kemampuan
menguasai situasi, dan kepribadian (Ogden, 2004).
a. Faktor Kognisi
Lazarus dan Folkman (Ogden, 2004) menyebutkan bahwa stres
disebabkan persepsi (appraisal). Stres terjadi saat individu menilai
(primary appraisal) bahwa lingkungan menjadi potensi besar sebagai
18
stresor dan kemampuan dirinya dalam berhadapan dengan stres
(secondary appraisal). Kondisi lingkungan yang dinilai memunculkan
membuat kondisi stres, yaitu pekerjaan, keluarga, tuntutan atau beban
berlebih, kejadian dengan banyak makna, dan peristiwa di luar kendali
(Ogden, 2004). Strategi koping menjadi faktor penentu individu
mengalami stres atau tidak. Koping sebagai cara individu berhadapan
dengan stresor yang dinilai telah melampaui kemampuan dan
usahanya dengan harapan dirinya tetap dalam kondisi
seimbang/normal. Koping dapat dilakukan dengan merubah cara
berpikir seseorang tentang masalahnya atau beragam cara untuk
menyelesaikan permasalahannya.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis memengaruhi sistem kekebalan tubuh seseorang.
Penelitian menunjukkan peranan mood, nilai-nilai kepercayaan
(beliefs), ekspresi emosi, stres, kontrol diri (self-control), efikasi diri,
ketahanan (hardiness), tingkat penguasaan diri.
c. Faktor Dukungan Sosial
Wills (Ogden, 2004) menyebutkan beberapa tipe dukungan sosial,
seperti meningkatkan harga diri (self-estem) dari sosial, dukungan
informasi, kebersamaan, dan dukungan instrumental.
d. Faktor kepribadian
Kepribadian tipe A (terburu-buru, kompetitif, selalu bersemangat,
bermusuhan, berkata “harus”) yang cenderung berkaitan dengan
19
kondisi stres dibandingkan tipe B (santai, cenderung diam, dan tidak
mendominasi).
Sarafino dan Smith (2011) menyatakan bahwa faktor penyebab stres
berasal dari individu, keluarga, dan komunitas sosial. Stresor yang
bersumber dari diri sendiri, seperti sakit fisik. Sakit fisik mengakibatkan
tuntutan secara fisiologis dan psikis. Stresor dari individu juga berasal dari
penilaian individu dan konflik yang muncul dari sebuah peristiwa atau
kejadian. Faktor penyebab stres kedua adalah keluarga, seperti kelahiran
anak. Kehadiran anak membawa kebahagiaan sekaligus menjadi stresor
bagi keluarga., seperti orangtua khawatir kondisi kesehatan bayi. Selain
kehadiran anggota keluarga baru, faktor penyebab stres dalam konteks
keluarga adalah perceraian pasutri, kematian anggota keluarga, dan
anggota keluarga sakit fisik. Faktor penyebab stres ketiga adalah
komunitas sosial. Stresor orang dewasa berkaitan dengan pekerjaan dan
lingkungan tempat mereka tinggal. Pekerjaan menjadi stresor, seperti
beban kerja berlebih, jenis pekerjaan (misalnya profesi dokter yang
berkaitan dengan keselamatan hidup orang lain), evaluasi pekerjaan dari
atasan, lingkungan fisik tempat bekerja, dan masa pensiun.
Uraian di atas merangkum bahwa faktor penyebab stres berasal dari
faktor dalam dan luar individu. Faktor dari dalam individu, seperti kondisi
fisik, persepsi individu terhadap stresor dan kemampuannya dalam
menghadapi stres, strategi koping, psikologis (misalnya mood, kontrol diri,
efikasi diri, ketahanan diri), faktor kepribadian. Faktor dari luar individu
20
antara lain pekerjaan, lingkungan pekerjaan, situasi dalam keluarga
(kehadiran anggota keluarga baru, kematian anggota keluarga, atau
perceraian).
4. Efek Stres
Stres mengakibatkan efek negatif pada kondisi fisiologi, perilaku, dan
kehidupan sosial individu (Ogden, 2004; Sarafino & Smith, 2011). Stres
yang dialami terus menerus memengaruhi kesehatan melalui menurunnya
perilaku hidup sehat (meningkatnya konsumsi alkohol dan rokok atau
kembali merokok) dan perubahan pada sistem fisiologi (sistem endokrin
melepas catecholamines dan corticosteroids yang menyebabkan kerusakan
terhadap jantung dan pembuluh darah serta fungsi sistem kekebalan
tubuh). Stres juga berperan terhadap sejumlah gangguan kesehatan, seperti
asma, sakit kepala migraine, dan kanker.
Pada aspek kognitif, stres memengaruhi kemampuan seseorang untuk
mengingat informasi dan perhatian. Seseorang dalam kondisi stres
memengaruhi performansi tugas-tugas bersifat kognitif dan proses kognisi,
yaitu fungsi eksekutif (fungsi yang berperan dalam mengendalikan dan
mengarahkan perilaku). Stres memengaruhi perilaku dan sosial seseorang,
seperti menurunnya interaksi sosial dan hidup sehat, cenderung pemarah,
agresif, kurang kontrol diri, dan tidak peka terhadap kondisi orang lain.
Oleh karena itu, dapat diringkas bahwa stres memiliki efek negatif
terhadap aspek kognisi, fisiologi, perilaku, dan sosial. Efek negatif antar
21
aspek saling memberi pengaruh, seperti stres kronis membuat perilaku
merokok yang berakibat pada menurunnya kesehatan.
5. Stres pada Mahasiswa
Stresor mahasiswa beragam, seperti persaingan prestasi diantara
mahasiswa, ujian, tugas kuliah, tekanan untuk mencapai prestasi akademik
yang ditunjukkan dengan IPK yang tinggi, adaptasi dengan lingkungan
(kampus atau kos), tuntutan hidup mandiri, strategi koping yang tidak
sesuai, ketidakpahaman terhadap pemicu stres, dan hambatan relasi
interpersonal (sesama mahasiswa atau dosen) (Kholidah, 2009;
Nurhidayati, 2011; Supradewi, 2006; Triaswari, 2014).
Stres mengakibatkan efek negatif pada kondisi fisik (fisiologis),
perilaku, dan kehidupan sosial individu (Ogden, 2004; Sarafino & Smith,
2011). Pada aspek fisiologis, seseorang dengan kondisi stres terus menerus
mengalami penurunan fungsi imun tubuh, penyakit jantung, dan sistem
endokrin. Pada aspek sosial dan perilaku, kondisi stres yang terus menerus
mengakibatkan seseorang menarik diri dari pergaulan sosial, kurang peka
terhadap kondisi orang lain, gampang marah sehingga lingkungan sosial
melakukan penolakan (Sarafino & Smith, 2011).
Penelitian-penelitian terkait stres pada mahasiswa cukup banyak
mendapat perhatian para peneliti. Triaswari (2014) menyimpulkan dari
hasil penelitiannya bahwa ada hubungan negatif antara stres dengan
kesejahteraan psikologis mahasiswa. Artinya, semakin tinggi tingkat stres
akan mengakibatkan turunnya kesejahteraan psikologis mahasiswa. Purba
22
(2017) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres
dan kecenderungan learned helplessness. Artinya, semakin tinggi tingkat
stres maka semakin tinggi kecenderungan learned helplessness.
Berdasarkan berbagai uraian yang telah dijelaskan, stres pada
mahasiswa diartikan sebagai situasi yang disebabkan oleh faktor
akademik, relasi interpersonal, kemampuan diri dalam berhadapan dan
mengelola stres sehingga berakibat negatif terhadap aspek fisik,
psikososial, dan perilaku mahasiswa.
6. Cara-cara untuk Menurunkan Tingkat Stres
Tingkat stres dapat ditanggulangi dan dikurangi dengan berbagai cara
seperti dukungan sosial dan memperkuat kontrol diri, manajemen diri,
olahraga, manajemen stres, farmasi, metode perilaku dan kognitif
(relaksasi, desensitisasi sistematis, biofeedback, atau meditasi), serta
strategi koping (problem focused dan emotion focused) (Sarafino & Smith,
2011). Penelitian-penelitian di Indonesia terkait penanganan stres pada
mahasiswa telah telah banyak dikerjakan, seperti pelatihan berpikir positif
(Kholidah, 2009), diskusi kelompok dan pelatihan efikasi diri (Rohmah,
2006), pelatihan mentoring (Nurhidayati, 2011), serta pelatihan dzikir
(Supradewi, 2006).
Metode lain dalam penanganan stres adalah penerapan konseling
singkat berfokus solusi (KSFS). Kim et al. (2017) dalam buku berjudul
“Solution-Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of the
Research and Practice Principles”, menceritakan pengalaman-pengalaman
23
penerapan KSFS di lingkungan pendidikan, pada usia sekolah dasar dan
remaja. Kasus-kasus yang ditemui antara lain usaha bunuh diri, kekerasan,
perilaku agresif, prestasi akademik, dan hambatan relasi sosial (guru
dengan murid atau murid dengan murid).
Lebih jauh lagi, penerapan KSFS pada usia remaja (usia SMP dan
SMA) di Indonesia cukup banyak telah dikerjakan dan memberikan hasil
positif. Miranda, Patmonodewo, Soetikno, dan Tehuteru (2017)
menerapkan KSFS pada remaja perempuan penderita leukimia. Peneliti
tidak menemukan perbedaan tingkat self-esteem subjek penelitian sebelum
dan sesudah pemberian KSFS. Kaharja (2016) menerapkan KSFS dengan
variabel tergantung self-esteem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan meningkatkan self-esteem subjek penelitian. Penelitian dengan
variabel tergantung serupa dikerjakan oleh Pratiwi dan Nuryono (2014)
dengan subjek penelitian siswa kelas XI. Hasilnya adalah terjadi
peningkatan self-esteem pada subjek penelitian. Fadilah dan Setiawati
(2015) menerapkan KSFS untuk meningkatkan keterbukaan diri. Subjek
penelitian mereka adalah siwa SMP. Hasil yang didapat bahwa perlakuan
meningkatkan sikap keterbukaan diri siswa SMP.
Penelitian dengan menguji penerapan KSFS di lingkungan perguruan
tinggi di Indonesia, sejauh peneliti ketahui, belum banyak dikerjakan.
Rusandi dan Rachman (2014) menerapkan KSFS untuk meningkatkan
self-esteem mahasiswa. Mereka menjelaskan bahwa self-esteem subjek
mengalami peningkatan sesudah pemberian perlakuan. Oleh karena itu,
24
peneliti memilih KSFS sebagai metode perlakuan untuk menurunkan
tingkat stres mahasiswa pada penelitian ini.
KSFS, secara singkat, menilai individu mampu dan proses konseling
berpusat pada klien. Individu yang mendapatkan KSFS sudah mengalami
perubahan bahkan pada sesi pertama. Selain itu, KSFS memandang bahwa
seseorang adalah ahli dalam menyelesaikan masalah sehingga peranan
konselor sebagai orang yang membantu untuk menemukan kemampuan
klien dan menguatkannya.
B. Konseling Singkat Berfokus Solusi (KSFS)
1. Pendekatan KSFS
KSFS adalah konseling dengan pendekatan fokus pada tujuan dan
harapan di masa mendatang dengan proses singkat yang dikembangkan
oleh Steve De Shazer dan Insoo Kim Berg. Pendekatan ini
menitikberatkan pada pencarian solusi, kualitas positif diri, dan
keberhasilan di masa lampau klien. Konselor mendorong klien untuk
meneruskan perilaku positif yang sudah terjadi sehingga memberdayakan
klien (Corey, 2012). Franklin (2015) menambahkan bahwa KSFS
membantu klien untuk mengenali kapasitan dan keberhasilan masa
lampau, berpusat pada klien (clien-centered), kolaborasi klien-konselor.
Pendekatan KSFS ialah fokus solusi yang berbeda dengan problem-
focused approach. De Shazer (Brasher, 2009) menilai bahwa klien
memiliki daya dan kompetensi untuk menyejahterahkan diri sendiri.
25
Visser (2013) menjelaskan bahwa praktek psikoterapi cenderung fokus
pada permasalahan dan faktor-faktor penyebab permasalahan, terapis
dinilai sebagai ahli dalam menganalisa permasalahan dan menemukan
solusi dari permasalahan, terapis memberi penjelasan tentang
permasalahan dan hasil akhir yang perlu dicapai, menggunakan beragam
teknik, seperti analisa mimpi, obat-obatan, hipnosis. Visser menambahkan
bahwa psikoterapi memerlukan sesi yang panjang dengan
mengesampingkan aspek manfaat riil dan berorientasi pada tujuan.
2. Prinsip KSFS
KSFS adalah pendekatan berbasis kompetensi yang lebih menekankan
kepada kekuatan, keberhasilan, dan mengarahkan klien kepada kondisi
yang akan terjadi di masa mendatang (Lutz, 2014). Lutz menambahkan
bahwa pendekatan yang digunakan di KSFS selaras dengan psikologi
positif, yaitu menekankan kesejahteraan, keberfungsian optimal,
pengalaman-pengalaman positif, serta karakter positif. Konselor percaya
bahwa klien memiliki kemampuan untuk membuat diri mereka sendiri
sejahtera, percakapan antara klien dan konselor berpusat pada kemampuan
dan kekuatan klien, serta konselor memperkuat kemampuan dan karakter
positif klien (Lutz, 2014).
O’Connell (Palmer, 2011) menjelaskan bahwa KSFS ialah bentuk
konseling dengan mendasarkan kekuatan klien, memberi penekanan pada
masa depan klien, kerjasama konselor dan klien dalam membangun solusi,
26
dan mendefinisikan sejelas mungkin hal yang diinginkan klien dalam
hidupnya.
Franklin (Lutz, 2014) merangkum prinsip-prinsip KSFS, yaitu fokus
pada solusi ketimbang analisis masalah, fokus konseling pada masa depan
yang diharapkan klien, konselor mengarahkan klien untuk meneruskan
perilaku yang berguna bagi diri klien, permasalahan klien tidak terjadi
sepanjang waktu sehingga ada masa saat permasalahan tidak muncul
(exception), kolaborasi konselor dan klien guna menemukan beragam
alternatif pada pola-pola perilaku, pemikiran, dan interaksi yang tidak
diinginkan dan bersama-sama membangun ulang pola baru, keberhasilan-
keberhasilan kecil berdampak pada keberhasilan besar, solusi tidak harus
berkaitan langsung dengan permasalahan yang telah ditemukan klien dan
konselor, dan keterampilan dialog dibutuhkan oleh konselor untuk
bersama klien menemukan solusi.
Guterman (2013) menyebutkan prinsip-prinsip KSFS, yaitu fokus pada
solusi, pendekatan kolaborasi klien dan konselor, perubahan-perubahan
kecil menghasilkan perubahan besar, penekanan pada proses konseling,
terbuka pada ekletik, desain konseling singkat dan padat, serta menghargai
keberagaman nilai-nilai budaya individu.
Steve de Shazer et al. (Walsh, 2010) menyebutkan prinsip-prinsip
utama dalam solution-focused therapy, yaitu dinamika permasalahan
dilihat dengan sudut pandang relasi interpersonal, tujuan konseling adalah
membuat klien melakukan cara berbeda dalam mencapai sasaran, konselor
27
memandang klien sebagai ahli dalam menyelesaikan masalah mereka,
resistensi dipandang sebagai cara klien berkomunikasi dengan konselor,
pemberian arti terhadap suatu perilaku dinilai sebagai hal yang penting
guna menghindari labelisasi, tujuan harus dibuat kecil dan dapat diraih
oleh karena perubahan-perubahan kecil membawa pada perubahan besar.
Steve de Shazer (Lutz, 2014) menambahkan bahwa solusi tidak harus
berkaitan langsung dengan permasalahan klien. Artinya KSFS langsung
fokus pada deskripsi rinci mengenai situasi berbeda yang akan terjadi pada
klien saat permasalahan selesai, bukan pada analisa permasalahan atau
kondisi patologis klien. KSFS fokus pada konteks saat ini dan masa yang
akan datang (De Shazer et al., 2007).
Dari beberapa uraian tentang prinsip KSFS, dapat dirangkum secara
ringkas tentang prinsip KSFS yang menjadi dasar kualifikasi konselor
KSFS, yaitu.
a. Menekankan pada kekuatan dan keberhasilan masa lampau klien.
b. Konselor percaya pada kemampuan klien untuk membuat dirinya
sendiri sejahtera.
c. Memberi penekanan pada masa depan yang diharapkan klien.
d. Konseling mendasarkan pada solusi dibandingkan pemecahan
masalah.
e. Kolaborasi antara konselor dan klien.
f. Perubahan-perubahan kecil mengarah kepada perubahan besar.
g. Proses menjadi hal yang lebih diutamakan dalam konseling.
28
h. Solusi tidak harus berkaitan langsung dengan permasalahan.
3. Teknik KSFS
Teknik yang sering digunakan KSFS (Kottler & Shepard, 2011)
adalah sebagai berikut.
a. Miracle question
“Jika keajaiban terjadi dan masalah Anda hilang, apa yang
berbeda/berubah dan bagaimana Anda tau?”. Kalimat “apa yang
berbeda/berubah dan bagaimana Anda tau?” pada teknik ini
mengajak klien untuk membayangkan secara jelas kondisi dirinya saat
masalah terpecahkan. Jawaban dari klien mengandung solusi-solusi
atau strategi pemecahan masalah yang akan menjadi bahan diskusi
klien dan konselor terkait masalah klien. Teknik miracle question
bertujuan mengenali solusi dan sumber daya yang ada dan
mengklarifikasi tujuan klien secara realistis. Teknik miracle question
bisa digunakan pada sesi pertama dan sesi selanjutnya (O’Connell
dalam Palmer 2011).
b. Pretending
Teknik ini meminta klien untuk melakukan hal kebalikan.
Misalnya, klien ingin menurunkan berat badan dan konselor meminta
klien untuk menaikkan berat badannya. Kondisi ini akan
mengakibatkan, pertama, klien menaikkan berat badan atau
sebaliknya. Jika klien menaikkan berat badannya, maka konselor
mencermati ada kemampuan untuk menaikkan serta indikasi
29
kemampuan untuk menurunkan berat badan. Kemungkinan kedua
adalah klien menilai konselor tidak masuk dan semakin kuat untuk
menurunkan berat badannya.
c. Exception Finding
Konselor dan klien bersama-sama menemukan saat masalah tidak
muncul. Situasi saat masalah tidak muncul menjadi indikasi bahwa
klien memiliki solusi dalam mengelola atau menyelesaikan masalah.
Konselor membantu klien untuk mengenali beragam metode yang
sudah dilakukan sehingga masalah dapat dikelola atau diselesaikan
dengan baik.
d. Scaling question
Konselor mengajak klien untuk mengukur perubahan yang telah
terjadi sepanjang proses konseling terkait pencapaian tujuan klien.
Teknik ini juga membantu klien menentukan langkah-langkah dalam
meraih perubahan. Misalnya, “sebutkan 1 atau 2 hal yang ingin Anda
lakukan dalam minggu ini guna meningkatkan atau menurunkan 2
poin?”.
e. Task assignments
Konselor akan meminta atau memberi tugas kepada klien untuk
mengulangi metode yang sudah ditemukan pada “exception finding”.
Konselor memegang prinsip bahwa tugas yang dikerjakan klien sesuai
dengan tujuan dan kemampuan klien.
30
Dari uraian yang sudah ada, dapat dirangkum bahwa teknik-teknik yang
digunakan di KSFS adalah miracle question, pretending, finding exception,
scaling question, dan task assignments.
4. Tahap-tahap KSFS
Proses KSFS dibagi menjadi 3 garis besar (O’Connell, 2001), yaitu:
a. Problem talk
Konselor memperhatikan dan mendengarkan permasalahan klien.
Hal-hal yang dilakukan konselor pada proses ini, yaitu mengakui dan
membenarkan permasalahan klien; meminta klien untuk merangkum
permasalahan dalam satu kata dan menjabarkan kata dalam kalimat;
mengubah permasalahan menjadi tujuan; menggunakan deskripsi
operasional/deskripsi konkret ketimbang label; fleksibel dalam gaya
konseling; dan mendefinisikan ulang masalah.
b. Future talk
Konselor mengajak, memberi dukungan, dan memperkuat perilaku
positif klien. Konselor memperkuat orientasi masa mendatang selama
proses dialog yang harapannya klien terlibat. Klien mungkin tidak
mampu mempertahankan perspektif masa mendatang dalam jangka
waktu lama oleh karena klien cenderung berkutat pada penyebab
masalah atau perasaan dan pikiran yang ditimbulkan. Saat klien sudah
terlibat dalam dialog (berorientasi solusi), konselor mengikuti proses
dialog klien dengan membimbingnya menggunakan teknik miracle
question atau scalling.
31
c. Strategy talk
Tahap strategy talk terjadi setelah klien mengetahui tujuan atau
harapan di masa depan. Tahap ini menggali sebanyak mungkin
langkah untuk sampai tujuan. Langkah-langkah yang didapatkan
mendasarkan pada langkah-langkah yang pernah berhasil dilakukan
klien. Strategi yang digunakan oleh konselor mendasarkan pada
prinsip utilisasi (utilization). Zeig dan Munion (O’Connell, 2001)
menjelaskan prinsip utilisasi sebagai usaha konselor menggunakan
beragam hal yang dibawa klien saat proses konseling, seperti
ketidaksadaran, kesadaran, sumber daya, pengalaman, kemampuan,
kegemaran, relasi, sikap, permasalahan, dan kekurangan.
Proses KSFS menurut Lutz (2014) adalah sebagai berikut.
a. Mengenali kekuatan dan sumber daya klien
Tahap awal dari proses KSFS, yaitu konselor memulai dengan
mengenali kekuatan dan sumber daya yang dimiliki klien, seperti
karakter positif, bakat, atau sosok penting dalam hidup klien yang
menjadi sumber penting dalam membantu proses konseling. Tahap
awal ini penting untuk membangun relasi antara klien dan konselor.
Konselor dapat menggunakan beberapa cara, seperti problem-free talk.
Artinya klien mendapatkan waktu untuk menceritakan kekuatan,
bakat, karakter positif diri, serta keberhasilan-keberhasilan yang sudah
mereka capai. Cara berikutnya adalah mengucapkan terima kasih
kepada klien. Sikap konselor berterimakasih kepada klien menjadi
32
sarana yang sangat membantu untuk memperkuat fokus pada solusi.
Cara lainnya adalah pujian terhadap hal-hal positif atau pengalaman
sukses klien dalam menghadapi masalah.
b. Penentuan tujuan konseling
Penentuan tujuan konseling dilakukan bersama antara klien dan
konselor. Artinya ada kesepakatan antara klien dan konselor. Hal ini
dilakukan mengingat bahwa harapan atau keinginan klien tentu lebih
dari satu. Hal ini dapat dilakukan dengan menanyakan tentang situasi
yang diinginkan klien di masa mendatang. Penentuan tujuan
membantu proses dan keberhasilan konseling serta memperkuat relasi
klien-konselor. Tujuan konseling harus realistis, spesifik, dapat diraih
(skala kecil), operasional, positif, dan kalimat proaktif. Konselor
dalam membantu klien menentukan tujuan dapat menggunakan teknik
miracle question. Teknik Scaling membantu klien menyusun langkah
langkah dalam meraih tujuan konseling.
c. Akhir sesi
Konselor memberi pujian atau tugas kepada klien di akhir sesi.
Pujian difokuskan terhadap perilaku positif klien seperti, menemui
konselor, fokus pada karakter positif, kooperatif dalam mengikuti
proses konseling. Akhir sesi juga dapat digunakan konselor
memberikan saran kepada klien untuk melanjutkan cara atau usaha
yang sampai sekarang berhasil membantu klien, mengamati berbagai
perubahan positif yang terjadi (jika konselor menggunakan teknik
33
scaling kepada klien), dan melakukan langkah-langkah kecil guna
mencapai tujuan yang diinginkan klien.
Guterman (2013) membuat tahapan yang berbeda, yaitu pelaksanaan
pretreatment change sebelum masuk ke sesi pertama. Guterman menyatakan
bahwa perubahan positif sudah terjadi pada rentang waktu klien memutuskan
untuk melakukan konsultasi dan pertemuan awal. Pretreatment change dapat
dilakukan pada konteks konselor sudah atau belum mendengarkan penjelasan
tentang permasalahan dari klien. Cara ini akan memicu tercapainya tujuan dan
penyelesaian lebih cepat terkait permasalahan klien. Konselor menggunakan
teknik exception pada tahap pretreatment change. Klien mampu mengidentifikasi
exception adalah tanda tercapai tujuan dan penyelesaian masalah klien.
Sesi pertama konseling terdiri atas memahami permasalahan dan menentukan
tujuan, mengenali dan memperkuat exception (kondisi saat klien bebas dari
permasalahan atau tetap mengalami permasalahan dalam tingkat rendah), serta
menyusun tugas. Tahap memahami permasalahan dapat dimulai dengan
pertanyaan konselor kepada klien, seperti, “apa yang mendorong Anda untuk
datang menemui saya?” atau “ada permasalahan apa sehingga Anda memutuskan
datang menemui saya pada hari ini?”. Cara lain dalam memahami permasalahan
adalah dengan cara problem talk. Artinya klien menceritakan tentang
permasalahan yang sedang dialaminya tanpa interupsi dari konselor. Cara kedua
adalah membuat peta pengaruh permasalahan. Artinya klien diajak untuk
mengenali pengaruh permasalahan pada diri mereka. Cara ini juga dapat menjadi
34
pintu masuk untuk mengenali exception dan membantu klien untuk keluar dari diri
mereka.
Tahap berikutnya adalah membuat tujuan. Salah satu konsep yang bisa
digunakan adalah metode SMART (spesific, measureable, achieveable, relevant,
dan time-based). Jika klien belum mampu membuat tujuan, konselor dan klien
menggunakan teknik exception. Teknik Exception membantu klien dalam
menghadapi permasalahan mereka. Konselor memperkuat perilaku klien yang
menemukan exception dengan serangkaian pertanyaan tertentu, baik yang sudah
pernah terjadi maupun memiliki potensi untuk terjadi.
Penting untuk menentukan tujuan yang operasional dan konkret (Perry, 2010).
Tujuan yang operasional dan konkret membantu klien meraih tujuan sehingga
menaikkan harapan dan selanjutnya mampu meningkatkan motivasi klien untuk
terus mencoba. Salah satu metode menentukan tujuan ialah SPAMO (spesific-
tidak kabur atau umum; positive-apa yang diinginkan klien; achievable-klien
mampu meraih tujuan secara mandiri; measureable-dapat diukur; observable-
dapat diamati).
Tahap selanjutnya adalah menyusun tugas. Tahap ini diberikan setelah
konselor membuat rangkuman proses konseling, seperti hal-hal yang sudah
dicapai klien (memahami permasalahan, menyusun tujuan, menemukan exception)
dan memberikan penghargaan kepada klien. Tugas yang dikerjakan klien
mendasarkan pada hasil dari proses sebelumnya. Contohnya konselor meminta
klien untuk mengamati hal-hal yang terjadi sehingga klien dapat mencapai tujuan
35
yang telah disusun dalam proses konseling, dimulai dari selesai sesi dan sesi
berikutnya.
Tahap sesi kedua dan selanjutnya terdiri atas evaluasi efektivitas tugas yang
dikerjakan klien serta evaluasi ulang permasalahan dan tujuan. Hal ini menjaga
fokus klien senantiasa berorientasi pada solusi sehingga perubahan terus terjadi.
Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:
a. Konselor mengulang rangkuman pada pertemuan sebelumnya dan bertanya
tentang tugas yang telah dikerjakan klien. Tujuannya adalah mengajak klien
untuk mengenali perubahan positif yang telah terjadi sejak pertemuan
sebelumnya. Konselor dapat mengajak klien mengenali exception dan
konselor memperkuat exception yang sudah disadari klien. Selain teknik
exception, konselor menggunakan teknik scaling atau buku catatan yang
dipakai klien untuk mencatat perubahan-perubahan positif atau kesuksesan
yang sudah dicapai klien.
b. Tahap selanjutnya adalah evaluasi ulang permasalahan dan tujuan. Konselor
menilai bahwa klien telah banyak melakukan perubahan positif yang semakin
mengarahkan klien pada tujuannya atau bahkan klien telah mencapai
tujuannya. Oleh karena itu, konselor perlu bertanya kepada klien untuk
melanjutkan konseling atau melakukan terminasi.
Dari beberapa uraian yang sudah dijelaskan disimpulkan tahapan KSFS ialah,
pertama pretreatment change sebelum masuk ke sesi 1 konseling. Tahap kedua
adalah sesi 1, yaitu konselor dan klien memahami permasalahan, menentukan
tujuan, mengenali, memperkuat exception klien, mengenali kekuatan klien,
36
memberi pujian kepada klien di akhir sesi, mengajak klien untuk melanjutkan
usaha yang sudah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan, dan meminta klien
untuk mengamati perubahan-perubahan yang terkait pencapaian tujuan atau klien
menentukan tugas rumah. Tahap ketiga adalah sesi 2 dan selanjutnya adalah sesi
tindak lanjut dengan melakukan review pertemuan sebelumnya dan mengajak
klien mengenali beragam perubahan positif terkait permasalah atau tujuan,
mengevaluasi efektivitas tugas rumah, evaluasi ulang tentang tujuan dan
permasalahan. Tahap terakhir ialah terminasi dengan mengevaluasi ulang
permasalahan dan tujuaan serta mempertanyakan tentang kelanjutan konseling.
C. Konsep Teoritik Konseling Singkat Berfokus Solusi
Konsep teoritik KSFS mendasarkan pada rangkuman teori-teori KSFS yang
akan digunakan sebagai panduan alur kerja intervensi penelitian. Tahapan KSFS
ialah, pertama ialah problem-free talk, yaitu konselor mengajak klien mengenali
beragam kualitas positif diri klien, sumber daya klien, bakat dan minat, kesukaan,
dan keberhasilan atau prestasi klien. Selanjutnya, konselor masuk ke tahap kedua,
yaitu pretreatment change dengan tujuan mengenali perubahan-perubahan positif
terkait permasalahan partisipan.
Tahap kedua adalah sesi 1, yaitu konselor dan klien memahami permasalahan,
menentukan tujuan, mengenali, memperkuat exception klien, mengenali kekuatan
klien, memberi pujian kepada klien di akhir sesi, mengajak klien untuk
melanjutkan usaha yang sudah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan, dan
meminta klien untuk mengamati perubahan-perubahan yang terkait pencapaian
37
tujuan atau klien menentukan tugas rumah. Tahap ketiga adalah sesi 2 dan
selanjutnya adalah sesi tindak lanjut dengan melakukan review pertemuan
sebelumnya dan mengajak klien mengenali beragam perubahan positif terkait
permasalah atau tujuan, mengevaluasi efektivitas tugas rumah, evaluasi ulang
tentang tujuan dan permasalahan.
Tahap terakhir ialah terminasi dengan mengevaluasi ulang permasalahan dan
tujuaan serta mempertanyakan tentang kelanjutan konseling. Hal yang penting
dilakukan konselor adalah memberikan apresiasi terhadap klien tentang perilaku
positif yang sudah dilakukan klien selama proses konseling di akhir pertemuan.
38
Keterangan:
= rincian kegiatan
Gambar 1. Alur Kerja Intervensi
Sesi 1
Sesi 2
1. Klien mengenali kekuatan, kualitas positif diri,
keberhasilan masa lampau (problem free-talk)
2. Tujuan klien
3. Rangkuman kegiatan pujian kepada klien
4. Mengenali perubahan positif
Sesi 3
Sesi 4
1. Review kegiatan
2. Pretreatment change
3. Strategy talk
4. Rangkuman kegiatan dan apresiasi kepada
klien
5. Mengenali perubahan positif
1. Review kegiatan dan re-evaluasi tujuan
2. Rangkuman kegiatan dan apresiasi kepada
klien
3. Mengenali perubahan positif
1. Terminasi intervensi
2. Rangkuman kegiatan dan pujian kepada klien
3. Mengenali perubahan positif
39
D. Konseling Singkat Berfokus Solusi
Untuk Menurunkan Tingkat Stres Pada Mahasiswa
Mahasiswa dalam kesehariannya menghadapi beragam situasi yang dapat
ditanggapi secara positif atau negatif, baik atau buruk (Lazarus & Folkman,
1984). Suatu peristiwa dinilai positif oleh mahasiswa, yaitu sebagai tantangan dan
kesempatan untuk berkembang dan pada sisi lain situasi ini berpotensi menjadi
sumber stres. Misalnya persaingan prestasi diantara mahasiswa, ujian, tugas
kuliah, adaptasi dengan lingkungan sosial, tuntutan hidup mandiri, strategi koping
yang tidak sesuai, ketidakpahaman terhadap pemicu stres, dan hambatan relasi
interpersonal (Kholidah, 2009; Nurhidayati, 2011; Supradewi, 2006; Triaswari,
2014). Kondisi stres yang berlangsung terus menerus pada individu berdampak
negatif pada kesehatan, perilaku, dan kehidupan sosial (Ogden, 2004; Sarafino &
Smith, 2011). Triaswari (2014) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa
tingginya tingkat stres akan mengakibatkan kesejahteraan psikologis mahasiswa
menurun.
Mahasiswa dapat memandang bahwa situasi tersebut menjadi sumber stres
oleh karena kemampuan mahasiswa untuk menghadapinya terbatas dan di luar
kapasitas mahasiswa (O’Connell, 2001). Pada saat mahasiswa terus menerus
menilai bahwa dirinya tidak berdaya dan kemampuannya terbatas, akibat yang
ditimbulkan adalah pandangan negatif klien terhadap dirinya bahwa dirinya akan
terus berada di bawah masalah. Pandangan negatif pada diri sendiri yang
berkepanjangan menutup pandang positif diri klien tentang kapabilitas dan
kompetensi klien dalam menghadapi permasalahan (O’Connell, 2001). Oleh
40
karena itu, diperlukan metode intervensi guna membantu mahasiswa berhadapan
dan mengelola stres serta tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai
mahasiswa. Salah satu metode tersebut adalah konseling singkat berfokus solusi
(KSFS).
KSFS percaya bahwa individu mampu secara mandiri membuat diri
mereka sejahtera dan pada saat kondisi tekanan dan stres kondisi tersebut menjadi
terhalangi (Luzt, 2014). Konselor masuk pada tahap problem-free talk, yaitu
proses konselor untuk mengenali kekuatan positif mahasiswa yang akan berguna
untuk menyelesaikan permasalahan atau mencapai harapan dan membangun relasi
antara konselor dengan klien (Luzt, 2014). Tahap ini juga membantu klien
mengenali dan mengoptimalkan sumber daya individu yang terlupakan sementara
oleh karena mahasiswa berada dalam kondisi stres (O’Connell, 2001). Pengenalan
karakter positif oleh klien (positive self esteem) terhadap diri sendiri
mengakibatkan klien menilai bahwa mereka berdaya dan mampu menghadapi
permasalahan (Lutz, 2014). Hasil penelitian Hubbs et al. (2012) dan Aboalshamat
et al. (2017) menyimpulkan bahwa stres dan self-esteem memiliki korelasi negatif.
Artinya, tingkat stres mahasiswa yang tinggi mengakibatkan self-esteem turun.
Self-esteem yang rendah mengakibatkan mahasiswa merasa sedih, kesepian, dan
pesimis (Orth & Robins, 2013).
KSFS memiliki asumsi bahwa mahasiswa yang berada dalam kondisi stres
tinggi disebabkan pemaknaan tentang peristiwa melampaui kapasitas dirinya
sehinga mahasiswa perlu menyusun ulang pemaknaan atau melihat dari sudut
pandang lain yang terjadi dalam proses dialog antara klien dan konselor
41
(O’Connell, 2001). Hal ini terjadi di selanjutnya, yaitu problem talk (O’Connell,
2001). Quick (1996) menyebut problem talk sebagai tahap klarifikasi
permasalahan dan memilih yang penting bagi klien. Dialog interaktif antara klien
dan konselor membuat permasalahan menjadi jelas atau konkret sehingga klien
mengetahui permasalahan yang sebenarnya dan menjadi langkah baik bagi proses
konseling selanjutnya. Artinya, klien dan konselor mengetahui tujuan atau
harapan klien terhadap kegiatan konseling (Luzt, 2014; O’Connell, 2001). Tujuan
atau harapan yang jelas membantu klien dan konselor menyusun langkah-langkah
kecil yang bisa diraih oleh klien sehingga menimbulkan kepercayaan diri untuk
mencapai harapan konseling (O’Connell, 2001). Penelitian menyatakan bahwa
percaya diri (efikasi diri), optimisme, atau resiliensi memiliki korelasi negatif
dengan stres (Kaur & Amin, 2017; Kevereski et al., 2016). Artinya tingkat stres
individu rendah disebabkan naiknya tingkat rasa percaya diri individu. Lebih jauh
lagi, Patnaik (2013) menyebutkan bahwa sikap optimis berdampak positif pada
aspek afeksi dan motivasi serta membantu individu mengelola stres sehingga
mampu berfungsi secara optimal.
Pada tahap selanjutnya, yaitu pretreatment change, yaitu konselor mengajak
klien untuk mengenali perubahan positif yang telah terjadi pada hidup klien sejak
klien kali pertama memutuskan mengikuti kegiatan konseling sampai dengan
pertemuan perdana. Ajakan konselor untuk mengenali perubahan positif memicu
dan memperkuat hal-hal positif yang sudah dikerjakan klien (Corey, 2012).
Kesadaran klien terhadap perubahan yang terjadi memicu perubahan pada tahap
selanjutnya, meningkatkan kepercayaan diri dan optimisme pada diri klien
42
(O’Connell, 2001). Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa percaya diri
(efikasi diri), optimisme, atau resiliensi memiliki korelasi negatif dengan stres
(Kaur & Amin, 2017; Kevereski et al., 2016). Artinya tingkat stres individu
rendah disebabkan naikknya tingkat rasa percaya diri individu. Patnaik (2013)
secara khusus melihat bahwa sikap optimis berdampak positif pada aspek afeksi
dan motivasi serta membantu individu mengelola stres sehingga mampu berfungsi
secara optimal.
Pada kedua dan selanjutnya, konselor dan klien akan melanjutkan
mengidentifikasi perubahan-perubahan positif. Konselor memperkuat perubahan
positif dan langkah-langkah yang sudah dilakukan sehingga perubahan positif
terus terjadi pada diri klien. Pada saat klien menilai diri mereka mampu untuk
mandiri dalam mengelola permasalahan dan mencapai harapan klien, maka proses
konseling dihentikan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
scaling untuk mengukur kesiapan klien mandiri dalam mengelola permasalahan
(O’Connell, 2001).
E. Landasan Teori
Mahasiswa dalam kesehariannya berhadapan dengan beragam situasi,
seperti tuntutan akademik, penyesuaian diri dengan lingkungan baru, belajar hidup
mandiri, dan relasi sosial, yang bisa mahasiswa nilai sebagai kesempatan
berkembang atau hal yang berada di luar kemampuan untuk dikelola (Lazarus &
Folkman, 1984). Stres terjadi oleh karena mahasiswa menilai kemampuan dirinya
berada di bawah tuntutan situasi (O’Connell, 2001). Pada saat mahasiswa terus
43
menerus menilai bahwa dirinya tidak berdaya dan kemampuannya terbatas, akibat
yang ditimbulkan adalah pandangan negatif klien terhadap dirinya bahwa dirinya
akan terus berada di bawah masalah. Pandangan negatif pada diri sendiri yang
berkepanjangan menutup pandang positif diri klien tentang kapabilitas dan
kompetensi klien dalam menghadapi permasalahan (O’Connell, 2001). Selain
penilaian negatif, stres juga berdampak negatif terhadap aspek fisiologis, perilaku
dan emosi individu (Ice & James, 2007; Sarafino & Smith, 2011; Taylor, 1995).
KSFS memiliki asumsi bahwa mahasiswa mampu secara mandiri
membuat diri mereka sejahtera dan pada saat kondisi stres kondisi tersebut
menjadi terhalangi (Luzt, 2014). KSFS memunculkan dan menyadarkan individu
tentang kekuatan dan karakter positif yang mampu menjadi kekuatan untuk
mengurangi efek stres. Pengenalan karakter positif oleh klien (positive self
esteem) terhadap diri sendiri mengakibatkan klien menilai bahwa mereka berdaya
dan mampu menghadapi permasalahan (Lutz, 2014). Hasil penelitian Hubbs et al.
(2012) dan Aboalshamat et al. (2017) menyimpulkan bahwa stres dan self-esteem
memiliki korelasi negatif. Artinya, tingkat stres mahasiswa yang tinggi
mengakibatkan self-esteem turun. Self-esteem yang rendah mengakibatkan
mahasiswa merasa sedih, kesepian, dan pesimis (Orth & Robins, 2013).
Selain itu, proses konseling membuat mahasiswa mengenali keberhasilan di
masa lampau, hal-hal yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan,
memperkuat perilaku positif terkait permasalahan, dan perubahan-perubahan
positif yang sudah dicapai dalam mengelola permasalahan atau mencapai tujuan.
Perubahan-perubahan kecil yang sudah dicapai meningkatkan kepercayaan diri
44
dan optimisme individu. Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa percaya
diri (efikasi diri), optimisme, atau resiliensi memiliki korelasi negatif dengan stres
(Kaur & Amin, 2017; Kevereski et al., 2016). Artinya tingkat stres individu
rendah disebabkan naiknya tingkat rasa percaya diri individu. Patnaik (2013)
menyebutkan bahwa sikap optimis berdampak positif pada aspek afeksi dan
motivasi serta membantu individu mengelola stres.
Dinamika psikologis stres pada mahasiswa program studi magister psikologi
UMBY dapat diringkas dengan menggunakan bagan pada Gambar 2.
45
Keterangan:
: dampak
: indikasi
: pengaruh perlakuan
KSFS : Konseling Singkat Berfokus Solusi
Gambar 2.
Skema Landasan Teori
Tingkat stres tinggi
Peristiwa pemicu stres, seperti hambatan relasi interpersonal, tuntutan prestasi akademik, ujian, mandiri, tugas
kuliah, dan penyesuaian diri dengan lingkungan baru
Stres yang terjadi terus menerus menyebabkan dirinya menjadi tidak berdaya dan menutup pandangan bahwa dirinya memiliki kapabilitas dan keberhasilan dalam mengelola permasalahan.
Indikasi: Fisik: kesehatan fisik
menurun Perilaku dan sosial:
menurun interaksi sosial, perilaku agresif, meningkat konsumsi rokok dan alkohol.
Psikis: cemas, takut, sikap bermusuhan.
Kognitif: gangguan konsentrasi dan tugas-tugas kognitif, kontrol diri rendah.
KSFS
Tingkat stres rendah
Indikasi: Perilaku dan sosial: meningkatkan kontak sosial (bertemu teman
atau bergabung dengan komunitas sosial), perilaku hidup sehat Psikis: emosi negatif menurun, optimisme meningkat dalam
menjalani kegiatan perkuliahan, persepsi positif meningkat terhadap diri sendiri.
Kognisi: strategi koping adaptif, konsentrasi terhadap tugas-tugas kognisi, kontrol diri, pikiran-pikiran positif
Tahap KSFS Sesi problem-free talk. Sesi Pre-treatment change. Sesi 1, yaitu pemahaman
masalah dan penentuan tujuan konseling dan tugas (jika diinginkan klien). Konselor menggunaan teknik KSFS (exception, scaling, miracle question, pujian di setiap akhir sesi).
Sesi 2, follow-up, review tugas (teknik exception, scaling)
Terminasi.
46
F. Hipotesis
Hipotesis yang peneliti ajukan pada penelitian ini adalah tingkat stres
partisipan lebih rendah setelah mendapatkan konseling singkat-berfokus solusi
dibandingkan sebelum mendapatkan konseling singkat-berfokus solusi.