bab i revisi joos.docx
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB I revisi joos.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082606/5572140e497959fc0b93a8fb/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat dalam berbagai bidang yang salah satunya
adalah bidang transportasi. Kemajuan dalam bidang transportasi ini
ditandai dengan jumlah peningkatan kendaraan bermotor yang sangat
pesat ( Setiawan, 2011). Dengan adanya peningkatan jumlah kendaraan
bermotor tentunya mempunyai beberapa dampak yaitu sering terjadi
kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan data menurut Purbaya (2011) sepeda
motor dinilai menjadi salah satu faktor tingginya angka kecelakaan di
Indonesia. Dari data 4.600 korban jiwa kecelakaan bermotor di Jawa
Tengah selama tahun 2011, 70 persennya adalah pengendara sepeda
motor.
Akibat dari kecelakaan lalu lintas bisa mengakibatkan patah
tulang atau fraktur. Fraktur kebanyakan disebabkan oleh trauma, dimana
terdapat tekanan yang berlebih pada tulang. Fraktur diharuskan segera
dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan fisik.
Kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui mobilisasi
persendian, yaitu dengan latihan ROM. Latihan ini untuk
mempertahankan/memperbaiki tingkat kesempurnaan dan kemampuan
1
![Page 2: BAB I revisi joos.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082606/5572140e497959fc0b93a8fb/html5/thumbnails/2.jpg)
menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
maju otot dan tonus otot (Potter & Perry 2005).
Dampak dari imobilisasi dalam tubuh dapat mempengaruhi
sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolisme tubuh,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan
nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernafasan,
perubahan kardiovaskuler, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan
kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil), dan perubahan
perilaku (Aziz, 2006, hal 174). Menurut gambaran epidemiologi, fraktur
merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan kecacatan paling
tinggi. Data yang tercatat di RSO Dr. Soeharso Surakarta menunjukkan
bahwa penderita penderita fraktur cruris 54 orang, dan tahun 2005
sebanyak 4549 orang dengan penderita fraktur cruris 1613 orang
(Soeharso dalam Ilsa 2010)
Fraktur cruris atau tibia fibula adalah terputusnya hubungan
tulang tibia dan fibula. Secara klinis fraktur cruris ini merupakan fraktur
terbuka karena disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit, jaringan
saraf, pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan
antara fragmen tulang yang patah dengan udara di luar. Pada mekanisme
cedera pada pasien dengan fraktur cruris dapat terjadi akibat adanya daya
putar atau puntir dapat juga menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang
kaki dalam tingkat yang berbeda ( Noor. 2012, hal 525).
2
![Page 3: BAB I revisi joos.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082606/5572140e497959fc0b93a8fb/html5/thumbnails/3.jpg)
Menurut Gustillo (1990) fraktur cruris terbuka dapat
diklasifikasikan menyesuaikan dengan derajat kerusakan pada jaringan
lunak yang terjadi. Pada fraktur tipe I panjang luka <1 cm (tidak ada
kontaminasi), tipe II panjang luka >1 cm (tidak ada kerusakan jaringan
lunak), tipe IIIA luas luka mengalami kerusakan pada jaringan lunak, tipe
IIIB luas luka mengalami keluarnya fragmen tulang, dan tipe IIIC luka
luas disertai kerusakan arteri besar.
Terjadinya fraktur cruris akan berpengaruh besar terhadap aktifitas
penderita khususnya yang berhubungan dengan gerak dan fungsi anggota
yang mengalami cidera akibat fraktur. Pada pasien dengan fraktur cruris ini
dapat mengalami gangguan mobilisasi fisik di sebabkan ada beberapa hal
yaitu kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri/ketidaknyamanan. Hal ini
tentunya akan mengakibatkan ketidaknyamanan klien untuk bergerak
sesuai tujuan dalam lingkungan fisik. Disamping itu biasanya karena
ketidaknyamanan/ nyeri dapat mengakibatkan klien menolak untuk
bergerak sehingga terjadi keterbatasan rentang gerak ( Doenges, 1999 ).
Pada pasien fraktur cruris harus dilakukan mobilisasi karena pada
kondisi tersebut pasien mengalani kondisi yang mengganggu pergerakan
(aktivitas) (Aziz, 2006). Gangguan imobilisasi adalah ketidakmampuan
untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau impairment
(gangguan pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental dapat
juga disebut sebagai suatu keadaan yang dibutuhkan untuk tidak bergerak /
3
![Page 4: BAB I revisi joos.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082606/5572140e497959fc0b93a8fb/html5/thumbnails/4.jpg)
tirah baring secara terus – menerus selama 5 hari atau lebih akibat dari
perubahan fungsi fisiologis (Tejo, 2009).
Berdasarkan sebab dan akibat yang dialami oleh pasien fraktur
cruris maka peran perawat sangat perlu untuk mengatasi gangguan
mobilisasi untuk mengembalikan kelainan fungsi klien secara seoptimal
mungkin. Untuk rencana tindakan dalam mobilisasi menurut NIC (2006)
adalah latihan kekuatan, latihan untuk ambulasi, latihan mobilisasi dengan
kursi roda, latihan keseimbangan, dan perbaikan posisi tubuh yang benar.
Pada pasien yang mengalami disfungsi ekstremitas bawah
biasanya dimulai dari melatih gerakan kaki, setelah itu pasien dilatih untuk
duduk ditempat tidur. Aktivitas ini dapat dilakukan sehari 2 atau 3 kali
dalam jangka waktu 10 sampai 15 menit dengan bantuan perawat sesuai
dengan kebutuhan pasien (Lewis et al, 1998 dalam Yanty. M. N 2009).
Untuk itu penulis tertarik untuk mendalami kasus fraktur dengan
gangguan mobilisasi fisik pada kasus yang berjudul “ Gangguan
Mobilisasi pada pasien dengan Fraktur Cruris di RSUP Dr. Kariadi
Semarang’’.
4
![Page 5: BAB I revisi joos.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082606/5572140e497959fc0b93a8fb/html5/thumbnails/5.jpg)
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui penatalaksanaan gangguan mobilisasi pada pasien
dengan fraktur cruris.
C. Manfaat Penulisan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
dalam keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan
kasus gangguan mobilisasi pada pasien fraktur cruris pada Nn. N. Juga
diharapkan menjadi informasi bagi tenaga kesehatan lain terutama dalam
pengelolaan kasus yang bersangkutan.
5