bab i pendahuluan 1.1 latar...

41
1 | Tesis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang […] The present age may be the age of space Michel Foucault 1 Dalam waktu beberapa tahun terakhir sampai saat ini, di Yogyakarta dipenuhi dengan perumahan-perumahan berlabelkan agama. Terutama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perumahan muslim. Merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta memang merupakan fenomena empirikal yang aktual, dan nampaknya, akan terus happening selama beberapa tahun ke depan. Terbukti, jika menyempatkan diri berkeliling menyusuri pelbagai tempat di Yogyakarta atau cukup “berselancar” di dunia maya, tidak akan sulit untuk menemukan perumahan-perumahan muslim—baik yang sudah dibangun dan ditempati, atau masih baru ditawarkan dalam bentuk produk properti dalam brosur-brosur maupun situs-situs perumahan di internet. Penulis melakukan pengamatan dan pemetaan awal sederhana terkait perumahan-perumahan muslim berdasarkan empat lingkup kabutapen yang ada di Yogyakarta. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa perumahan-perumahan muslim 1 Seperti dikutip Walter Prigge dalam artikel, “Reading The Urban Revolution: Space and Representation”, yang terhimpun dalam buku “Space, Difference dan Everyday Life”, Routledge, New York dan London: 2008. PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahan Muslim di Yogyakarta) KAMIL ALFI ARIFIN Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: dodan

Post on 16-Aug-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

1 | Tesis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

[…] The present age may be the age of space

Michel Foucault1

Dalam waktu beberapa tahun terakhir sampai saat ini, di Yogyakarta

dipenuhi dengan perumahan-perumahan berlabelkan agama. Terutama yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah perumahan muslim. Merebaknya

perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta memang merupakan fenomena

empirikal yang aktual, dan nampaknya, akan terus happening selama beberapa

tahun ke depan. Terbukti, jika menyempatkan diri berkeliling menyusuri pelbagai

tempat di Yogyakarta atau cukup “berselancar” di dunia maya, tidak akan sulit

untuk menemukan perumahan-perumahan muslim—baik yang sudah dibangun

dan ditempati, atau masih baru ditawarkan dalam bentuk produk properti dalam

brosur-brosur maupun situs-situs perumahan di internet.

Penulis melakukan pengamatan dan pemetaan awal sederhana terkait

perumahan-perumahan muslim berdasarkan empat lingkup kabutapen yang ada di

Yogyakarta. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa perumahan-perumahan muslim

1 Seperti dikutip Walter Prigge dalam artikel,“Reading The Urban Revolution: Space and

Representation”, yang terhimpun dalam buku “Space, Difference dan Everyday Life”, Routledge,

New York dan London: 2008.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

2 | Tesis

di Yogyakarta memang merebak. Dari pengamatan dan pemetaan tersebut,

didapatkan seluruh kabupaten di Yogyakarta (meliputi Bantul, Sleman,

Kulonprogo dan Gunung Kidul) dijadikan lokus dari proyek penggarapan

perumahan-perumahan muslim oleh para pengembang (developer). Di Bantul saja

misalnya, untuk menyebut beberapa di antaranya, ada perumahan Muslim

“Sedayu”, perumahan Muslim “Nirwana Residence”, perumahan Muslim “Baitus

Sakinah”, perumahan Muslim “Madina Residence Yogyakarta”, perumahan

Muslim “Griya Baiturahman” dan perumahan Muslim “Puri Sakinah 2”. Di

Kabupaten Sleman, ada perumahan Muslim “Darussalam”, perumahan Muslim

“Djogja Village”, dan perumahan Muslim “Villa Green Madani”. Sedangkan di

Kulonprogo, ada perumahan Muslim “Griya Nadhifa”. Sementara di Gunung

Kidul, ada perumahan Muslim “De Afifa Residence”, perumahan Muslim

“Rahmani Green Resident”, serta masih banyak yang lainnya.

Sulit untuk memastikan secara spesifik mengenai kapan sebenarnya

perumahan-perumahan muslim tersebut muncul pertama kalinya di Yogyakarta.

Selain karena belum ditemukannya data yang cukup meyakinkan dan bisa

dipertanggungjawabkan, juga mengingat bahwa proses perubahan sosial dan

budaya, kata Umar Kayam—dalam artikelnya berjudul “Arsitektur Masyarakat

Transisi”—terkadang memang tidak pernah berjalan secara jelas kapan

“sebenarnya-benarnya” titik mula dan akhirnya. Tiba-tiba, terhampar begitu saja

dihadapan kita, tanpa kita bisa menandai proses-proses perubahan itu dengan

sangat tandas akan tonggak-tonggaknya (dalam Budihardjo, dkk, 1996: 175).

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

3 | Tesis

Hanya saja, untuk memberikan penjelasan secara umum atas munculnya

perumahan-perumahan muslim itu, barangkali perlu melihat kembali ke dalam

konteks pada kisaran antara tahun 1970 sampai 1980-an. Pada tahun 1970-an,

terdapat kondisi-kondisi yang mendorong program perumahan yang kemudian

banyak diikuti oleh munculnya proyek-proyek perumahan yang dikelola oleh

swasta. Kondisi-kondisi ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan pembangunan

nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian

ekonomi (Siregar dalam Tjahjono, dkk, 2012: 131). Pertengahan tahun 1980-an,

deregulasi ekonomi2 juga semakin memberikan peluang yang cukup besar kepada

swasta atau pengembang non-pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

akan perumahan. Lantas para pengembang kemudian mulai melakukan upaya-

upaya “akrobatik” dengan inovasi-inovasi berbagai macam konsep perumahan

yang dikembangkan untuk menarik minat dan perhatian para konsumen3.

Misalnya, muncul konsep “perumahan hijau”, yang tidak hanya menekankan pada

kenyamanan dan kemegahan hunian semata, melainkan juga keasrian dan

kesegaran alam. Tidak hanya itu, para pengembang juga memasukkan konsep

agama (Islam) ke dalam persaingan bisnis properti perumahan.

Dimasukkannya konsep agama ke dalam bisnis properti perumahan

tersebut, diperkirakan mulai muncul pada sekitar tahun 1990-an, terlebih di

Jakarta dan beberapa kota besar lainnya (Lasman, 2007: 2). Tak mengherankan,

pada waktu itu, arus kesadaran Islam kultural dan islam politik—minimal dalam

2 Mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi ekonomi ini, lebih lengkap silahkan lihat

dalam CST Kansil “Paket Kebijakan Deregulasi 1988”, Karyasastra Tridarma, Jakarta: 1989. 3 Lihat dan pelajari artikel Farabi Faqih “Rumah ‘Indonesia Indah’” dalam situs www.

karbonjournal.org.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

4 | Tesis

level dan tataran simbolik—mengalami peningkatan yang pesat (Ibrahim dalam

Latif, 2007). Islamisasi merebak di berbagai bidang dan aspek kehidupan di

masyarakat (Ricklefs, 2012: 453; Turmudi, 2014: 6; Baso, 2002: 20).

Menguatnya proses islamisasi ini, tak bisa dilepaskan dari konteks politik

yang melingkupinya. Semua bermula dari sebuah pergeseran politik penguasa

Orde Baru terhadap Islam. Jika sebelumnya, negara di bawah rezim Orde Baru

menerapkan political scape-goating yang penuh kebencian terhadap Islam4.

Namun, pada akhir tahun 1980-an, penguasa mulai tampak merangkul hampir

seluruh elemen umat Islam. Islam mulai diakomodasi oleh penguasa sejak saat itu.

Pada awal tahun 1990-an, akomodasi penguasa terhadap Islam dianggap berada

pada titik puncaknya (Maliki, 2010: 298). William Liddle bahkan mencatat

pergeseran politik ini sebagai Islamic turn in Indonesia5. Martin van Bruinessen

mengganggapnya sebagai “pembalikan dramatis dari kebijakan-kebijakan Orde

Baru sebelumnya” (Bruinessen, 2013: 223). Robert Hefner menyebutnya sebagai

regimist Islam6. Fachry Ali dalam pidato politik akhir tahunnya di LIPI pada

tahun 1994 menyebutnya sebagai “institusionalisasi tidak resmi penyatuan Islam

dan negara” (dalam Husaini, 1995: 90). Sebagian pengamat lain, menggambarkan

fenomena ini sebagai era “bulan madu” antara Islam dan pemerintah (Afandi,

4 Mengenai hubungan yang sublim antara Islam dan negara, terutama bagaimana represi yang

dilakukan negara terhadap Islam pada masa Orde Baru, bisa dilihat dalam Robert Pringle

“Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity” pada bagian “The Suharto Era: Islam

Repressed, Islam Resurgent”, Singapore, EDM. Lihat juga dalam Noorhaidi Hasan “Laskar Jihad:

Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jakarta, LP3ES dan

KITLV, hal 45. 5 Untuk membaca lebih jauh analisa William Liddle, lihat artikelnya berjudul “The Islamic Turn

in Indonesia: A Political Explanation” dalam The Journal of Asian Studies No 3 Volume 55 tahun

1996. 6 Pemahaman lebih detail, lihat Robert Hefner, dalam “Civic Islam: Muslim and

Democratizationin Indonesia”, Princeton University Press, 2000, terutama bagian dalam hal 128-

43.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

5 | Tesis

1997: 3). Islam mulai bangkit dari tiarap panjang, dari pengucilan struktural, dari

keterpinggiran, dan mulai mendapatkan akses yang besar dalam pemerintahan

serta memiliki keberanian mengartikulasikan identitasnya, kesadaran

relijiusitasnya di ranah publik (SCHMIDT, 2012: 384; Assyaukanie, 2009: 177;

Hasbullah, 2012: 49). Suatu hal yang sebelumnya betul-betul tak dapat dan

mustahil dilakukan. Perumahan muslim, diakuti tidak, merupakan salah satu

wujud ekspresi dan artikulasi identitas Islam7—setelah akomodasi Islam ini—

dalam produk-produk kultural yang dimanfaatkan seluas-luasnya oleh para

kapitalis8 (developer/pengembang perumahan) untuk mereguk profit dan

keuntungan-keuntungan material yang sebesar-besarnya.

[ ]

Mencermati fenomena muncul dan merebaknya perumahan-perumahan

muslim di Yogyakarta, secara teoretis kita menemukan dua hal, apa yang oleh

Ronald Lukens-Bull (dalam Kittiarsa, 2008: 220) disebut sebagai ideologization

of commodities (religification of commodities) dan commoditization of ideologies.

Dua konsep yang mengacu pada proses-proses yang menyambungkan dan

melekatkan (embodement) nilai-nilai, ide-ide dan ideologi pada suatu komoditas,

serta proses-proses yang menjadikan yang ideologis tersebut menjadi sekedar

7 Identitas Islam dalam ruang publik, diakui tidak, merupakan dunia sosial yang terepresentasikan

di dalam dunia material melalui berbagai tanda, wacana dan struktur. Untuk pemahaman mengenai

dunia sosial yang direpresentasikan dalam dunia material tersebut, lihat buku “Discourse in Place:

Language in the Material World”, karya Ron Scollon dan Suzie Wong, Routlledge, 2003. 8 Menurut Yoshihara Kunio dalam bukunya yang cukup terkenal “The rise of Ersazt capitalism in

Southeast Asia”, dalam negara-negara sedang berkembang, istilah “kapitalis” memiliki konotasi

yang buruk dan negatif. Istilah ini kemudian diganti dengan istilah yang terdengar lebih netral

seperti “elit bisnis” dan “wirausahawan”. Lihat Yoshihara Kunio, “Kapitalisme Semu Asia

Tenggara”, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta, 1990: 1

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

6 | Tesis

komoditas itu sendiri. Dalam konteks perumahan muslim, kita melihat bagaimana

para pengembang (developer) memasukkan dan melekatkan konsep agama

(Islam) ke dalam komoditas properti perumahan.

Bagi para pengembang yang orientasinya sekedar bisnis dan profit, tentu

perumahan-perumahan muslim diproduksi karena menganggap prospek pasar

yang bagus. Mengingat jumlah kelas menengah muslim9, termasuk di Yogyakarta,

cukup besar. Meskipun dari pengamatan awal yang penulis lakukan, ada beberapa

proyek perumahan muslim di Yogyakarta (untuk tidak mengatakan sebagian

besar) yang dibangun bukan semata-mata karena tujuan mencari keuntungan

material, melainkan juga digerakkan dan “dipandu” oleh hal-hal yang sifatnya

ideologis-keagamaan, baik dari sisi pengembang sendiri maupun konseptor

perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Konseptor yang penulis maksud

adalah orang-orang yang merumuskan konsep perumahan muslim dan

membangun relasi kerja dengan pengembang dalam merealisasikan perumahan

muslim yang dikonsepnya. Konseptor perumahan muslim ini, penulis sebut

sebagai ‘elit kelompok Islam’. Disebut demikian, sebab konseptor mendaku

membawa muatan “dakwah agama” dalam proses produksi perumahan muslim

yang mereka lakukan. Pada titik ini, penulis menemukan adanya dominasi

kekuatan kapitalis (developer/pengembang perumahan) dan elit kelompok Islam

yang bersekongkol dalam memproduksi perumahan muslim di Yogyakarta.

9 Menurut banyak ilmuwan sosial, seperti Hefner, Kuntowijoyo, Arif Budiman, dll, kelas

menengah di Indonesia muncul secara fenomenal pada tahun 1980-1990-an, termasuk kelas

menengah muslim di dalamnya. Yang menarik, dalam konteks Indonesia, kemunculan lapisan

masyarakat baru ini nyaris bersamaan dengan meningkatnya semangat kembali pada agama. Lihat

Moeflich Hasbullah dalam “Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia”, Penerbit Pustaka

Setia, Bandung, 2014: 94-96.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

7 | Tesis

Elit-elit Islam sendiri, secara pemikiran, nampaknya tidak seragam dalam

memandang fenomena perumahan muslim. Sebagian mereka memandang Islam

itu bersifat holistik, integral, mengatur semua aspek kehidupan seorang muslim

termasuk urusan bagaimana membangun rumah dan tempat tinggal. Al-Quran dan

Hadis sebagai teks dasar acuan dalam Islam, memang tidak memberikan tuntunan

yang eksplisit tentang bagaimana membangun rumah dan tempat tinggal, tetapi

keduanya, tetap mengatur dalam bentuk aturan-aturan akhlak perilaku sehari-hari

sebagai individu dan kelompok masyarakat. Nilai-nilai keislaman ini pada

gilirannya kemudian dianggap mempengaruhi perwujudan arsitekturnya

(Nurjayanti, 2014: 310). Sebaliknya, sebagian yang lain, menegaskan bahwa tidak

terlalu penting menonjolkan identitas keislaman dalam ruang publik. Salah satu

pemikir Islam terkemuka, Mohammad Arkoun, misalnya, menuding bahwa

bangunan-bangunan (termasuk perumahan) yang mengekspresikan dan diberikan

label Islam merupakan subjek persoalan dari sebuah proses kemunduran yang

menarik (Arkoun, 1990: 49)10

.

Fenomena merebaknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta,

bagi penulis, bukan hanya persoalan komodifikasi agamanya yang penting dikaji

dan dipersoalkan. Yang tidak kalah menarik, juga persoalan tarik menarik

kepentingan ideologis tertentu yang kemungkinan bermain di dalamnya.

Mengingat perumahan muslim merupakan sebuah ruang (sosial). Diakui tidak,

10

Mohammad Arkoun bahkan menuding banyak arsitek yang tiba-tiba menjadi kaya karena

proyek bangunan-bangunan yang diberikan label Islam, pesanan sponsor. Lihat artikelnya

“Islamic Culture, Developing Studies, Modern Thought” dalam “Expression of Islam in

Buildings”, Proceeding of An International Seminar yang disponsori oleh Aga Khan Award for

Architecture, 1990, hal 54.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

8 | Tesis

perumahan muslim menjadi salah satu dari problem-problem keruangan di

Yogyakarta, selain massifnya pembangunan mall, apartemen, dan hotel mewah

yang belakangan mendapatkan gugatan serius dari publik.

Dalam teori-teori ruang yang dirumuskan beberapa ilmuwan sosial kritis,

ruang selalu diyakini sebagai hasil dari konstruksi sosial, dari relasi-relasi sosial

yang dinamis dan terus berubah dan selalu bertaut dengan pertanyaan seputar

kekuasaan dan simbolisme (Shields, 2006: 148; Barker, 2008: 309). Ruang

dengan manusia itu selalu berdialog (Ajidarma, 2008: 229). Bahkan bagi Henri

Lefebvre, salah seorang teoretikus neo-Marxian terkemuka, ruang bukan hanya

sekedar sesuatu yang dapat dikonsumsi semata, tetapi ruang juga dijadikan alat

kekuasaan untuk meraih kendali atas ruang yang semakin besar oleh kelas-kelas

yang berkuasa (Lefebvre, 1991: 26-27). Dalam praktik dominasi atas ruang,

hampir selalu pasti akan selalu terjadi peminggiran.

[ ]

Perumahan muslim sangat terkait dengan arsitektur, sebab teknis

perencanaan dan pembangunannya selalu membutuhkan peran kerja seorang

arsitek. Para arsitek-lah (tentu setelah bekerja sama dengan para pengembang dan

elit kelompok Islam) yang kemudian mengkonsep bagaimana perumahan muslim

itu didesain dan ditata sedemikian rupa. Dalam hal ini, kolaborasi di antara

mereka dapat dianggap sebagai pialang budaya baru (intelectuals of new culture

intermediaries) bagi tersebarnya perumahan muslim di Indonesia, dan khususnya

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

9 | Tesis

di Yogyakarta11

. Dalam perspektif kajian arsitektur kritis, arsitektur memang tidak

dipahami hanya sekadar urusan gambar dan bangunan semata. Para arsitek

menghasilkan karyanya tidak melulu hanya dengan menggunakan dan

menerapkan teknik konstruksi dan fungsi bangunan. Lebih dari itu, arsitek ikut

terlibat dalam menyusun tatanan simbolik dan membentuk sistem sosial dan

budaya (Kusno, 2012: 2 - 3; Ikhwanuddin, 2005: 1). Manneka Budiman dalam

pengantar untuk buku Abidin Kusno “Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah

Catatan Arsitektur” juga memandang arsitek bukan sekumpulan tukang12

yang

hanya tahu dan mengerti soal-soal teknis. Mereka mau tidak mau, kata dia,

terseret dalam pusaran sejarah dan dipaksa untuk turut menjadi pemain penting

dalam transformasi zaman dan formasi identitas zaman tersebut (Kusno, 2012).

Konsepsi ruang Henri Lefebvre tampak memiliki semangat yang sama dengan

perspektif arsitektur kritis, karena konsepsi ruang Lefebvre memang banyak

menginspirasi kajian-kajian arsitekur.

1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari argumentasi dan pemaparan yang cukup panjang di atas,

penulis tertarik untuk mengkaji fenomena merebaknya perumahan-perumahan

muslim di Yogyakarta sebagai ruang (sosial). Pertanyaan-pertanyaan seperti,

proses-proses dan relasi-relasi sosial seperti apakah yang menciptakan dan

membentuk perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta sebagai ruang (sosial)?

11

Mengenai konsep intellectuals of new cultural intermediaries bisa dilihat lebih jauh dalam Mike

Featherstone “Consumer Culture and Postmodernism”, SAGE Publication, 2007, hal. 89 12

Ada perbedaan antara arsitek tukang dengan arsitek intelektual yang terpejalar. Lihat dalam

“Ruang dalam Arsitektur”, karya Cornelis Van de Van, penj. Imam Djokomono dan Prihminto

Widodo, Jakarta, Gramedia, 1991: XIV dan XIV

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

10 | Tesis

Siapa sajakah para aktor dan agen yang terlibat dalam produksi perumahan-

perumahan muslim dan bagaimana tarik-ulur dinamika kepentingannya? Siapa

yang dominan dan siapa terpinggirkan dalam proses penciptaan dan produksi

ruang perumahan-perumahan muslim, mengingat ruang dalam konsepsi Lefebvre

(1991) selalu diorientasikan untuk kepentingan dominasi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dirasa lebih tepat jika diarahkan ke

dalam rumusan masalah yang spesifik sebagai berikut:

1. Bagaimana produksi ruang perumahan-perumahan muslim di

Yogyakarta?

2. Bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi politik dari pengembang

dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses produksi ruang

perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana proses produksi ruang perumahan-perumahan

muslim di Yogyakarta.

2. Mengetahui bagaimana relasi dan kepentingan ekonomi politik dari

pengembang dan elit kelompok Islam yang terlibat dalam proses

produksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

1. Diharapkan dapat menambah dan memperkaya literatur ilmiah

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

11 | Tesis

tentang studi dan kajian mengenai ruang, terutama ruang dalam

perspektif Neo-Marxian.

2. Kajian kritis mengenai perumahan-perumahan muslim di

Yogyakarta relatif belum banyak dikaji.

b. Manfaat Praktis

1. Diharapkan dapat memberikan informasi yang bisa

mempengaruhi kebijakan-kebijakan terkait perumahan,

khususnya di daerah Yogyakarta.

2. Diharapkan dapat menjadi rujukan para praktisi, aktivis dan

publik secara luas dalam mengadvokasi persoalan-persoalan

ruang di Yogyakarta.

1.5 Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka ini, penulis menelusuri penelitian-penelitian

terdahulu yang dianggap relevan, terutama mengenai persoalan semakin

menguatnya identitas keislaman dan mengentalnya proses islamisasi di Indonesia

menjelang akhir dan pasca Orde Baru, serta kajian kritis soal perumahan (lebih

spesifik, perumahan muslim), gate community (komunitas berpagar), dan terutama

dalam kaitannya dengan persoalan tata ruang dan segregasi sosial di Yogyakarta.

Penelusuran penelitian terdahulu ini sangat penting dilakukan untuk memberikan

pijakan ilmiah dan penegasan akan aspek kebaruan penelitian yang akan

dilakukan.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

12 | Tesis

1.5.1 Islamisasi Pasca Orde Baru

Persoalan semakin menguatnya proses islamisasi dan identitas keislaman

di Indonesia menjelang akhir dan terutama pasca Orde Baru sudah banyak dikaji.

Beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian tesis ini,

di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh M.C. Ricklefs berjudul

“Islamisation and Its Opponents in Java”13

. Tesis penting dari Ricklefs dalam

karyanya ini yang patut ditebalkan adalah: masyarakat Indonesia pasca Orde Baru

semakin terislamkan. Islamisasi di Indonesia (terutama di Jawa) semakin

mendalam. Jawa semakin “hijau”. Bahkan, saking mengental dan menguatnya

islamisasi tersebut, kata Ricklefs, saat ini tidak ada lagi penentangan yang cukup

signifikan terhadapnya, bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Dalam buku ini, Ricklefs memang menyinggung pergulatan dan

pertarungan antara kaum islamis dengan kaum sekuler, santri dan abangan, sejak

memperjuangkan dan memperdebatkan dasar-dasar negara Indonesia, perdebatan

Konstituante pada masa Orde Lama, sampai Orde Baru. Namun kata Ricklefs,

memasuki periode jelang akhir dan terutama pasca Orde Baru, sulit ditampik dan

diingkari bahwa islamisasi di Indonesia (terutama di Jawa) mengalami

kecenderungan semakin menguat. Perkembangan islamisme di tahun-tahun 1980

dan berpuncak pada tahun 1990-an ini, menurut Ricklefs, disebabkan oleh adanya

beberapa peristiwa besar yang muncul dan mengitarinya: Pertama, rezim yang

mendambakan hegemoni ideologis. Kedua, pendekatan antara NU dan rezim yang

13

Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Fx Dono Sunardi dan Satrio Wahono

dengan judul “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930

sampai Sekarang”, Serambi, Jakarta, 2013. Buku yang dipakai dalam studi pustaka ini adalah buku yang versi terjemahan.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

13 | Tesis

mendukung kemajuan dakwahisme. Ketiga, kemunculan kelompok-kelompok

revivalis dan islamis yang aspirasinya sejalan dengan beberapa unsur di dalam elit

rezim. Keempat, ketiga peristiwa besar tersebut di atas membawa konsekuensi

logis berupa islamisasi yang lebih dalam, yang kemudian lazim disebut

“penghijauan” rezim Orde Baru (Ricklefs, 2013). Sebagaimana diketahui,

sebelum tahun 1980-an, hubungan antara rezim Orde Baru dengan Islam

mengalami pasang surut. Bahkan, Islam pernah mengalami pengucilan struktural

dan dipinggirkan oleh rezim.

Seorang Indonesianis lain, R. William Liddle—dalam memahami

mengapa rezim Orde Baru pada tahun 1980-an mulai condong “beralih ke kanan”

dan merangkul Islam—menjelaskan dua kelompok pendekatan yang berusaha

menjawabnya: pendekatan pertama, mengajukan penjelasan kemasyarakatan dan

menekankan kekuatan politik pertumbuhan islamisasi masyarakat dan kebudayaan

Indonesia, dan pendekatan kedua yang memfokuskan lebih sempit pada masalah

konflik elit di dalam negara otoriter, terutama dari perilaku politik Presiden

Soeharto (Liddle, 1997: 72). Dalam pendekatan yang pertama, kata Liddle, Robert

Hefner termasuk salah ilmuwan sosial terkemuka yang memberikan analisa cukup

tajam dan menarik. Menurut Liddle dengan mengutip Hefner, argumentasi Hefner

setidaknya mengandung tiga hal: Pertama, Hefner percaya bahwa selama Orde

Baru sejumlah besar orang yang sebelumnya abangan telah menjadi pemeluk

Islam yang saleh atau santri. Kedua, banyak santri baru yang menjadi kelas

menengah yang sedang tumbuh, karena mendapatkan pendidikan modern,

dipekerjakan sebagai karyawan “berkerah putih”, manajer, profesional baik di

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

14 | Tesis

sektor pemerintahan atau swasta. Kelompok santri baru ini menampilkan budaya

agama yang lebih toleran, moderat dan terbuka dibandingkan dengan generasi

sebelumnya. Nurcholis Madjid dianggap sebagai juru bicara kelas menengah

Islam baru ini. Dan ketiga, penerimaaan Presiden Soeharto terhadap bagian-

bagian pokok rencana aktivis Islam, termasuk dukungannya pada pembentukan

ICMI sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat

Indonesia, terutama sekali islamisasi dari kelas menengah tadi (Liddle, 1997: 72-

74). Perkembangan islamisasi ini dipandang terus tumbuh dan semakin menguat

pasca Orde Baru, sebagaimana ditegaskan Ricklefs di atas.

Untuk meneguhkan pendapatnya mengenai semakin menguatnya

islamisasi di Indonesia (terutama dalam kehidupan masyarakat di Jawa) yang

semakin islami tersebut, Ricklefs mengajukan data-data yang meyakinkan soal

mengentalnya kesadaran akan Islam di kalangan masyarakat yang ditunjukkan

dari semakin menjamurnya label-label Islam di semua bidang dan aspek

kehidupan di Indonesia, seperti bisnis, pemerintahan, kebudayaan populer,

pendidikan dan lain sebagainya. Islam semakin menonjol dan memiliki pengaruh

kuat baik di pemerintahan, kebudayaan, dan semua praktik sosial sehari-hari.

Meskipun tetap, sebagai ilmuwan sosial, Ricklefs menyadari bahwa proses-proses

sosial di mana pun termasuk di Indonesia (terlebih di Jawa) tidak akan pernah

selesai, dan mengenal titik akhir. Dengan rendah hati, Ricklefs mengatakan ketika

buku ini sedang ditulis, cerita islamisasi di Indonesia tak akan rampung dibahas

dan diperdebatkan. Tetapi, lanjut dia, adalah hal yang keliru bila transformasi

sosial, pergeseran-pergesaran yang terjadi pada tahun-tahun 1980 dan akhir Orde

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

15 | Tesis

Baru yang menunjukkan adanya tren ke arah islamisasi yang lebih mendalam

diabaikan begitu saja. Tren ke arah islamisasi yang terus tumbuh dan mendalam

pasca Orde Baru, tidak mungkin bisa begitu saja dibalikkan (Ricklefs, 2014: 429).

Penelitian terdahulu kedua yang menyinggung tentang menguatnya proses

islamisasi dan identitas keislaman di Indonesia pasca Orde Baru, ditulis oleh S.

Bayu Wahyono berjudul “Kejawen dan Aliran Islam: Studi tentang Respons

Kultural dan Politik Masyarakat Kejawen terhadap Penetrasi Gerakan Islam

Puritan di Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan disertasi S. Bayu Wahyono di

Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Penelitian ini menegaskan bahwa

ketika negara mengalami surut—setelah sebelumnya, selama lebih dari tiga puluh

tahun lamanya menjadi kekuatan hegemonik dan dominatif terhadap

masyarakat—mengakibatkan pertarungan identitas dan ideologis serta benturan

nilai semakin tak bisa dihindari di dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat lebih

leluasa mengekspresikan nilai, identitas dan ideologinya dengan memanfaatkan

ruang-ruang publik yang ada tanpa adanya kontrol yang efektif dari negara.

Bahkan, benturan nilai itu mengarah pada keinginan untuk saling mendominasi

dan meniadakan satu sama lain. Dalam konteks sosio-politik seperti itu, Wahyono

mencoba melihat bagaimana benturan nilai, identitas dan ideologi antara

masyarakat Kejawen dan Islam di Yogyakarta. Sebab dekade 1990-an di

Indonesia, kelompok Islam puritan mengalami gelombang kebangkitan.

Bagaimana pergulatan keduanya di tengah-tengah kondisi politik yang terbuka,

menjadi pertanyaan yang menarik perhatiannya. Maka, Wahyono memfokuskan

penelitiannya tersebut pada pertanyaan yang lebih spesifik: (1) dalam proses

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

16 | Tesis

pergulatan kedua entitas kebudayaan dan politik tersebut, bagaimana warga

masyarakat kejawen mempertahankan identitasnya ketika menghadapi penetrasi

gerakan Islam puritan? Secara kultural, apakah masyarakat kejawen dalam

merespon tekanan pengaruh Islam puritan, mengalami proses kehilangan

identitasnya atau terus berupaya mempertahankannya? (2) Secara politik

bagaimana masyarakat kejawen merespon tekanan pengaruh gerakan Islam

puritan, apakah terjadi proses transformasi menjadi basis pendukung partai-partai

Islam, atau tetap berusaha memberikan dukungan terhadap partai-partai nasionalis

yang dianggap mampu menjamin dan memberi proteksi terhadap kelangsungan

tradisi kejawen? (3) Dalam proses pergulatan antara warga masyarakat kejawen

yang masih mendukung tradisi kebudayaannya dengan pendukung gerakan Islam

puritan, bagaimana karakter hubungan kedua entitas tersebut? Bersifat interrelatif,

kontestatif atau bahkan konfliktual?

Dengan menggunakan metode etnografi, penelitian disertasi ini

menemukan bahwa dalam menghadapi gempuran penguatan islamisasi,

masyarakat kejawen di tingkat akar rumput melakukan respons kultural berupa

strategi perumitan budaya, reproduksi nilai-nilai, tradisi-tradisi dan ritual-ritual

Jawa dengan intens. Masyarakat kejawen menghidupkan dan semakin

menggiatkan kembali acara seperti, ruwatan, methik padi, jamasan, kirap pusaka,

serta meningkatkan kegairahan untuk mengunjungi tempat-tempat yang dianggap

keramat, yang notabennya dianggap syirik dalam kacamata Islam puritan. Ke

semuanya itu, dilakukan untuk membentengi masyarakat kejawen dari

penerobosan program-program puritanasisasi Islam dan islamisasi yang semakin

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

17 | Tesis

meluas. Sementara respons politik masyarakat kejawen terhadap gempuran

islamisasi dan Islam puritan tersebut, dilakukan dengan cara memilih, berafiliasi

dan bersedia menjadi basis pendukung partai-partai nasionalis dibandingkan

partai-partai Islam. Alasannya, partai-partai nasional dianggap lebih menjamin

kelestarian tradisi dan nilai-nilai kejawen dibandingkan partai-partai Islam.

Penelitian terdahulu ketiga mengenai semakin menguatnya islamisasi dan

identitas keislaman di Indonesia, yang dianggap relevan adalah“On Secularization

and Islamization: A Sosiological Interpretation”, sebuah tesis yang ditulis oleh

Yudi Latif untuk meraih gelar Magister di Universitas Nasional Australia pada

tahun 199914

. Tesis ini juga berangkat dari fakta yang menarik perhatian Latif:

menguatnya islamisasi di republik ini. Sekalipun Latif menyadari bahwa partai-

partai Islam masih kalah bersaing dengan partai-partai nasional, tetapi dalam Orde

Reformasi, menurutnya, kepemimpinan kenegaraan dan birokrasi pemerintahan

memperlihatkan representasi kaum santri yang sangat mencolok. Tidak hanya di

level pemerintahan, dalam kehidupan sosial sehari-hari tren islamisasi mengalami

penguatan. Padahal kata Latif, di bawah rezim developmentalisme Orde Baru,

Indonesia diterpa arus modernisasi yang cukup kuat. Seharusnya, jika mengikuti

asumsi umum modernisme Barat yang mengatakan bahwa modernisasi akan

selalu berjalan secara bertolak belakang dengan agama, maka mengapa di

Indonesia modernisasi dapat berjalan seiring dengan islamisasi? Mengapa

modernisasi di Indonesia tak berjalan seperti trayek modernisasi di Barat? Inilah

yang menjadi fokus penelitian Latif. Latif melalui penelitian tesisnya ini

14

Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dibukukan oleh penerbit Jalasutra dengan

judul “Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia”, 2007.

Buku yang dipakai dalam studi pustaka ini adalah buku yang versi terjemahan.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

18 | Tesis

menawarkan apa yang disebut sebagai “pendekatan dari bawah” untuk

membedakan dengan “pendekatan dari atas”. Maksud pendekatan dari atas

adalah bahwa modernisasi secara tak terhindarkan akan selalu mengarah pada

penyingkiran agama sebagaimana dipahami secara luas selama ini, seperti dalam

trayek modernisasi di Barat. Sebaliknya, pendekatan dari bawah meyakini bahwa

modernisasi bisa berjalan seiring dengan islamisasi, dengan memperhatikan

karakter khusus dari agama dan sosio-historis dari masyarakat itu sendiri.

Dalam kesimpulannya, Latif menegaskan bahwa di Indonesia, tak akan

ada modernisasi total ataupun islamisasi total. Sebab respon dan sikap muslim di

Indonesia terhadap modernisasi tidaklah homogen. Sebagian muslim lebih

akomodatif terhadap gagasan-gagasan modernisme demi memajukan masyarakat

Islam sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman modern. Sebagian yang lain,

menghendaki modernisasi yang berorientasi Islam. Yang satu menghendaki

“modernisasi islam”, yang lainnya menghendaki “islamisasi modern”. Tapi kata

Latif, tujuannya sama: merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia

modern (Latif, 2007). Oleh karena itu, Latif meyakini bahwa modernisasi dan

islamisasi di Indonesia dapat berjalan secara simultan, dan memiliki arena dan

senjatanya masing-masing untuk saling bertahan. Perumahan muslim merupakan

salah satu arena bagi islamisasi tersebut.

1.5.2 Perumahan, Segregasi Sosial dan Tata Ruang di Yogyakarta

Perlu ditegaskan, bahwa sejauh penelusuran penulis, studi dan kajian

tentang perumahan (secara spesifik, tentang perumahan muslim) yang

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

19 | Tesis

menggunakan pendekatan dan perspektif teori kritis belum banyak dilakukan,

terlebih di Indonesia. Yang banyak, hanyalah penelitian-penelitian tentang

perumahan dari disiplin manajemen (pemasaran), arsitektur dan teknik sipil, yang

menurut penilaian penulis, kurang tepat untuk dijadikan pustaka terdahulu

penelitian tesis ini, karena kajian-kajian tersebut kurang terasa political-culture-

nya.

Dalam penelusaran tersebut, akhirnya ditemukan beberapa penelitian

terdahulu berupa artikel-artikel ilmiah yang dianggap terkait dan relevan dengan

topik yang dibahas. Penelitian tersebut adalah artikel ilmiah berjudul “Displaying

Desire and Distinction in Housing” yang ditulis Elizabeth Silva dan David

Wright. Artikel ini dimuat dalam jurnal “Cultural Sociology” Volume 3, Nomer I,

Maret 2009 dan diterbitkan oleh SAGE Publication.

Dalam artikel ini, Elizabeth Silva dan David Wright mendiskusikan

mengenai makna modal kultural untuk memahami persoalan kekinian mengenai

perumahan-perumahan di Britain, Inggris. Artikel ini menunjukkan bahwa

perumahan di Britain terkait dengan posisi individual dalam ruang sosial. Menurut

Silva dan Wright, aspek-aspek material dari perumahan ternyata sangat

berhubungan dengan “pamer hasrat” untuk menunjukkan posisi, status dan

perbedaan sosial yang diekspresikan dengan atau melalui dekorasi rumah dan ide-

ide individual tentang sebuah rumah ideal yang diimpikan. Dengan kata yang

lebih sederhana, Silva dan Wright, dengan menyandarkan penelitiannya pada

teori-teori Pierre Bourdieu terutama “Distinctions”, ingin menegaskan bahwa

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

20 | Tesis

perumahan di Britain dijadikan semacam penanda dan pembeda kelas sosial di

sana.

Artikel ini didasarkan pada sebuah investigasi ekstensif mengenai modal

kultural dan eksklusi sosial dengan mempertimbangkan perumahan aktual di

Britain, baik berupa lokasi, tipe dan dekorasi perumahan serta imajinasi tentang

perumahan ideal yang diimpikan. Penelitian ini menggabungkan dua pendekatan

yakni kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Secara kuantitatif, artikel ini

mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang lokasi, tipe, dan dekorasi

perumahan serta imajinasi tentang perumahan ideal yang diimpikan dalam bentuk

kuesioner yang disebar kepada 1564 responden. Responden dengan jumlah

tersebut dianggap sebagai sample utama yang merepresentasikan populasi di

Inggris dan juga melibatkan 227 responden dari tiga komunitas etnis minoritas

terbesar di Britain. Secara kualitatif, penelitian ini melakukan wawancara

mendalam terhadap 22 responden yang diwawancara di rumah mereka masing-

masing terkait dengan pertanyaan yang sama.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal kultural yang diidentifikasi

dengan pengalaman atau tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan selera seseorang

sangat menentukan orientasi mengenai perumahan yang ideal yang didambakan.

Modal kultural dari seseorang adalah sumber yang berhubungan dengan posisi

sosial dan mobilitas sosial dalam sebuah perumahan. Dalam penelitian ini

disebutkan orang-orang yang masuk dalam kategori “lower class position” di

Britain tidak memiliki imajinasi tentang rumah ideal yang menjadi impian.

Mereka umumnya hanya memaknai perumahan hanya sebagai ruang fungsional

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

21 | Tesis

semata. Berbeda halnya dengan orang-orang yang masuk dalam kategori “high

class position”, umumnya mereka selalu memahami perumahan sebagai ruang

aestetik yang merefleksikan posisi sosial yang bersangkutan. Dengan kata lain,

perumahan bagi mereka, merupakan tempat mempertontonkan hasrat, posisi dan

stratifikasi sosial yang membedakan diri mereka dengan yang lain.

Penelitian terdahulu berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Derajad

S. Widhyharto berjudul “Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan

Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta

Indonesia)” yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP),

Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menyoroti fenomena berkembangnya

gates communities atau komunitas berpagar di Yogyakarta, terutama di wilayah

Sleman dan Bantul yang ditandai dengan munculnya perumahan-perumahan

berpagar, memiliki portal dan dilengkapi dengan penjagaan yang cukup ketat oleh

satpam. Artinya, telah terjadi privatisasi ruang yang menghalangi aksesibilitas

publik yang kemudian mengakibatkan terjadinya fragmentasi ruang dan segregasi

sosial di tengah-tengah masyarakat. Perumahan-perumahan tersebut sejak awal,

kata Widhyharto, memang dirancang oleh pengembang dengan bentuk site-plan

perumahan model cluster mengantong, cul-de-sac, atau dead-end. Dalam

penelitiannya ini, Widhyharto menegaskan bahwa gates communities di

Indonesia, termasuk juga di Yogyakarta, bukan hanya dihuni oleh orang-orang

yang kaya, tetapi juga dari kalangan kelas menengah yang mempunyai

kecenderungan gaya hidup dan tingkat konsumtif yang cukup mewah.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

22 | Tesis

Di Indonesia secara umum, gate communities, diperkirakan mulai mengalami

perkembangan yang pesat pada tahun-tahun 1990-an, terutama di kota-kota besar

seperti Jakarta. Dalam laporan riset Mahardika, dkk (2006), seperti dikutip

Widhyharto, perkembangan tersebut ditandai dengan kehadiran Bumi Serpong

Damai di Jakarta. Meskipun, fenomena ini dianggap tidak terlalu mendapatkan

perhatian kritis dari banyak pihak. Setidaknya hanya dua artikel Kompas yang

menyoroti tentang fenomena ini, yaitu tulisan Ridwan Kamil berjudul “Arogansi

Gated-Community di Kota Kita” yang dimuat dalam harian Kompas, pada

Minggu 29 Oktober 2000. Tulisan yang lainnya, ditulis oleh Wahyu Dewanto

berjudul “Ketidakamanan Mengubah Arsitektur Kota Kita”.

Di Yogyakarta sendiri, menurut Widhyharto, telah mengenal konsep

komunitas berpagar sejak awal dekade ketiga abad ke-20, seiring dengan

berkembangnya wilayah Kotagede. Komunitas berpagar tersebut, umumnya

berdasarkan profesi pekerjaan, pendapatan, dan etnis. Termasuk juga berdasarkan

agama. Perkembangan gate communities ini kemudian terus mengalami

peningkatan yang pesat pada tahun-tahun berikutnya, setelah pemerintah daerah

juga seperti berlomba-lomba mempromosikan wilayahnya sebagai tempat

investasi yang aman demi mengejar tingkat pertumbuhan daerah. Menurut

Widhyharto, ketiadaan platform teoritis yang cukup dari kalangan ilmuwan

mengakibatkan ketiadaan respon yang massif dari lembaga yang bertanggung

jawab terhadap perencanaan kota dan perumahan. Padahal, fenomena gates

communites yang mengakibatkan fragmentasi ruang dan segregasi sosial, baik

berdasarkan kelas dan etnis ini, akan mendatangkan persoalan baru seperti urban

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

23 | Tesis

sprawl, perubahan tata guna lahan secara cepat dan tak terkendali, semakin

jauhnya disparitas kaya dan miskin, dan berbagai macam hirarki lainnya dalam

masyarakat. Intinya, fenomena gate communities di Yogyakarta menyimpan

potensi ketegangan sosial, kegagalan untuk menciptakan tatanan sosial yang baik

dan sehat, serta harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari

pemerintah (Widhyharto, 2009: 207).

Penelitian terdahulu berikutnya yang menyinggung soal fragmentasi ruang

dan segregasi sosial di Yogyakarta dilakukan oleh Suryanto, dkk berjudul “Aspek

Budaya dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta” yang dimuat dalam

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Volume 26, Desember 2015. Penelitian

ini memang tidak secara spesifik membahas soal fragmentasi ruang dan segregasi

sosial di Yogyakarta, melainkan menjelaskan aspek kebudayaan yang mewujud

sebagai keistimewaan tata ruang di Yogyakarta. Namun ada sejumlah hal penting

yang akan digaris-bawahi terutama menyangkut riwayat tata ruang Yogyakarta

dan keistimewaan tata ruang Yogyakarta sebagaimana dijelaskan dalam UU

Nomor 13 Tahun 2012. Jika dalam penelitian sebelumnya, kemunculan gate

community di Yogyakarta dianggap dapat membuat sekat-sekat sosial, dalam

penelitian ini ditegaskan bahwa fragmentasi ruang dan segresasi sosial sebetulnya

sudah dapat dijumpai dalam riwayat kota Yogyakarta sejak dulu kala. Hal

tersebut, kata Suryanto, paling tidak dapat dibuktikan melalui hal berikut ini.

Dengan mengutip Selo Sumardjan (1962), Suryanto, dkk. menyatakan sejak mula

setidaknya sampai awal abad ke 20 atau sampai pemerintahan HB VIII (era

kolonial), masyarakat Yogyakarta masih berbudaya tradisional feodal. Konsep

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

24 | Tesis

feodal yang membentuk piramida kekuasaan dan berorientasi konsentris

(memusat) tersebut, pada kenyataannya diwujudkan dalam tata ruang dan wilayah

Yogyakarta oleh penguasa. Ruang-ruang kemudian tersekat berdasarkan kelas-

kelas sosialnya. Kraton adalah pusat kekuasaan, tempat tinggal sultan dan

keluarganya. Ini merupakan lapis pertama. Di lapis kedua, terdapat ibu kota

(kutho negoro), yang ditinggali para bangsawan dengan jabatan yang tinggi. Para

bangsawan tidak diperkenankan tinggal di wilayah lungguhnya, melainkan harus

tinggal di wilayah kutho negoro, agar sultan dapat mudah mengawasi mereka. Di

lapis terluar, terdapat monconegoro yaitu wilayah yang tidak langsung “terawasi”

oleh sultan, tetapi wilayah ini tetap mengakui kesultanan dan biasanya ditinggali

oleh rakyat biasa (Suryanto, 2015). Di era kolonial, kelas bangsawan ini memiliki

mitra yang dianggap sejajar dan sepadan secara kelas dengan pejabat tinggi

Belanda dan pemilik dan pengusaha perkebunan. Fragmentasi ruang dan segregasi

sosial di Yogyakarta ini nampaknya terus menjadi persoalan sampai saat ini,

meski menampakkan dirinya dengan bentuk-bentuk yang sama sekali baru.

Artinya, fragmentasi ruang dan segregasi sosial selalu ada di tengah-tengah

masyarakat. Jika dahulu, sekat-sekat sosial itu dilakukan secara struktural oleh

penguasa (raja) dan pemerintah, tetapi saat ini hal tersebut nampaknya juga

dilakukan oleh swasta. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari fenomena merebaknya

perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta yang sepenuhnya dibangun oleh

pengembang non pemerintah.

Penelitian terdahulu yang terakhir berupa artikel ilmiah berjudul

“Representasi Identitas dalam Brosur dan Artikel Perumahan Muslim” yang

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

25 | Tesis

ditulis oleh Diah Kartini Lasman. Artikel ilmiah yang dimuat di jurnal dosen

Universitas Indonesia (UI) ini menyoroti persoalan representasi identitas

(keislaman) dalam brosur-brosur perumahan muslim yang marak belakangan ini.

Artikel ini membedakan antara apa yang disebut “perumahan muslim”,

“perumahan islami”, dan “arsitektur islami”, sebagai konsep-konsep yang dijual

oleh para pengembang atau sebagai strategi para pengembang untuk memikat para

konsumen dalam dunia bisnis properti perumahan. Alasannya, kata “muslim” dan

“islami” yang dipakai oleh para pengembang dalam bisnis properti perumahan,

sebenarnya ingin memberikan penekanan yang berbeda. Sesuai dengan KBBI,

kata “muslim” dan “islami” memiliki makna yang tak sama. Kata “islami”,

dianggap lebih mengacu pada nuansa atau suasana keislaman. Sementara kata

“muslim” dianggap lebih mengacu pada individu dan identitas seseorang.

Dalam konteks perumahan, perumahan islami adalah perumahan yang

menawarkan nuansa keislaman di dalamnya. Berbeda dengan perumahan islami,

perumahan muslim dianggap hanya menawarkan sesuatu yang sifatnya lebih

simbolik. Sedangkan arsitektur islami, dalam konteks perumahan muslim adalah

perumahan yang dalam proses pembangunannya memperhatikan hal-hal yang

dianggap “syar’ie”. Meskipun, dalam penilaian penulis, perumahan muslim dan

perumahan islami sebetulnya kurang lebih sama saja, keduanya sama-sama

mengandung aspek simbolik dan nuansa Islam sekaligus. Apapun sebutannya,

perumahan muslim, perumahan islami, arsitektur islami, pada akhirnya sama-

sama menunjukkan dan menegaskan identitas agama.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

26 | Tesis

Artikel ini juga menegaskan bahwa konsumsi atas nama-nama Islam yang

dipakai dalam iklan-iklan perumahan muslim, diakui tidak, semakin menegaskan

identitas konsumen. Mengikuti Baudrillard, konsumen produk perumahan

muslim, bukan semata-mata membeli perumahan muslim karena nilai

fungsionalnya. Melainkan juga berdasarkan pemaknaan total atas citra-citra

“Islam” yang dihembuskan oleh iklan-iklan perumahan tersebut. Selain

menggunakan teori Baudrillard, artikel ini juga menegaskan persoalan selera akan

perumahan muslim dengan merujuk pada teori Pierre Bourdieu. Artikel ini

menuding bahwa selera akan perumahan muslim itu tidak netral. Selera

merupakan representasi kelas sosial dominan yang mententukan budaya, integrasi

kelompok dan sistem komunikasi. Selera pada gilirannya juga bisa membuat

posisi sosial konsumen berbeda dengan yang lain.

Dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai menguatnya proses islamisasi

dan identitas keislaman pasca Orde Baru serta kajian mengenai perumahan, gate

communities (komunitas berpagar) dalam kaitannya dengan persoalan fragmentasi

ruang dan segregasi sosial serta tata ruang di Yogyakarta di atas, dapat ditarik

beberapa benang merah yang tegas: Pertama, islamisasi di Indonesia pasca Orde

Baru semakin mengalami pendalaman dan penguatan. Masyarakat semakin

terislamkan. Sekalipun di bawah rezim Orde Baru, masyarakat Indonesia diterpa

arus modernisme yang intens, tapi islamisasi tetap berkembang. Islamisasi dan

modernisasi dianggap dapat berjalan seiring dan simultan. Meski demikian, dalam

era yang terbuka seperti sekarang ini dan lemahnya kontrol negara, tak dapat

ditampik bahwa pertarungan ideologis, identitas dan nilai akan selalu tetap saling

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

27 | Tesis

berebut pengaruh dan dominasi dengan berbagai macam strategi yang dilakukan.

Mulai dari strategi struktural dengan cara memperebutkan negara, hingga strategi

kultural dalam berbagai rupa cara untuk “mengislamikan” masyarakat. Salah

satunya dengan cara merebut ruang-ruang keseharian, termasuk perumahan

muslim sebagai ruang (sosial). Penting ditegaskan, bahwa perumahan berdasarkan

studi pustaka terdahulu di atas, bukan ruang yang netral. Perumahan dapat

menjadi arena mempertontonkan hasrat, kedudukan, status sosial untuk

membedakan diri dengan yang lain, yang pada akhirnya, ditemukan

mendatangkan persoalan fragmentasi ruang dan segregasi sosial. Sekali lagi,

perumahan bukan kotak-ruang yang netral. Di dalamnya terdapat reproduksi kelas

dan sistem nilai. Kedua, iklan-iklan perumahan muslim yang dikaji menandai

bahwa produk perumahan muslim memang banyak diproduksi oleh para

pengembang saat ini. Perumahan muslim bukan hanya semata-mata menyangkut

soal konsumsi nilai tanda dan nilai guna seperti fokus kajian yang dilakukan

dalam penelitian terdahulu tersebut di atas. Lebih dari itu, perumahan muslim

menjadi korpus kajian yang menarik, yang perlu dilakukan penelitian lanjutan

dengan fokus kajian yang berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Misalnya,

kajian ruang perumahan muslim sebagai (produk) sosial.

1.6 Perspektif Teoretik

1.6.1 Teori Ruang Henri Lefebvre

Ruang merupakan salah satu konsep yang kompleks, yang selama ini,

telah banyak didekati dan dirumuskan dari pelbagai sudut pandang dan perspektif,

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

28 | Tesis

mulai dari filsafat, sciences dan sosial (Kuper dalam Setha dan Zuniga, 2003:

247). Termasuk dari perspektif ilmu sosial Neo-Marxian, terutama dari sudut

pandang salah satu tokoh terkemuka Neo-Marxis yang akan dipaparkan dalam

bagian ini, yakni Henri Lefebvre.

Banyak pemikir ilmu sosial yang menyatakan bahwa tumbuhnya minat

ruang dalam teori-teori Neo-Marxian—yang merupakan sebagian terkecil dari

bangkitnya minat ruang dalam studi sosiologi—menemukan pijakan awalnya pada

kajian Michel Foucault dimana Foucault menegaskan bahwa teori-teori Marxian

sebenarnya menempatkan ruang dalam posisi yang istimewa (Ritzer dan

Goodman, 2013: 164). Seperti diketahui, dalam lapangan ilmu pengetahuan sosial

sebelumnya, ruang dianggap sebagai statis, diam, tidak bergerak dan tidak

dialektis, bila dibandingkan dengan waktu. Oleh sebab itu, kajian ruang cenderung

kurang diminati. Akibatnya, terjadi devaluasi ruang yang cukup lama. Padahal,

waktu dan ruang itu saling terkait, tak dapat dipisahkan. Seharusnya, ruang dan

waktu harus dipandang sebagai sesuatu yang sama-sama kaya, terus bergerak,

dinamis dan dialektis. Ruang kemudian mulai kembali dikaji secara serius.

Bahkan, Foucault mengatakan dengan sangat optimistik bahwa epos zaman

sekarang adalah sangat mungkin epos zaman bagi ruang (seperti dikutip dalam

Soja, 1989: 10). Henri Lefebvre pada tahun 1960-an, juga menangkap dan

mendeteksi fenomena spasial turn: yakni adanya sebuah pergeseran epoch dari

“waktu” ke “ruang” ini (Ronneberger dalam Goonewardena, 2008: 136).

Hanya saja kemudian, di tangan Lefebvre, teori ruang Marxian mengalami

pergeseran yang cukup signifikan: dari sasaran produksi (industri) ke produksi

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

29 | Tesis

ruang. Artinya, jika sebelumnya dalam teori-teori Marxian fokus perhatiannya

terarah pada urusan sarana produksi dalam ruang, dalam analisis spasial Lefebvre,

fokus perhatiannya terarah pada produksi ruang aktual itu sendiri. Tapi, tetap

semangatnya adalah membongkar dominasi kapitalis dalam menguasai ruang

dalam keseharian. Lefebvre menghubungkan dominasi ruang terhadap reproduksi

kapitalisme. Dengan kata lain, produksi ruang merupakan fokus analitis Lefebvre,

sekaligus kritik dan tujuan politisnya: produksi ruang sebagai landasan bagi

transformasi sosial sehari-hari (Ritzer dan Goodman, 2013: 170).

Lefebvre memang menekankan pada persoalan everyday life dalam

filsafatnya. Menurut Lefebvre, kapitalisme dapat bertahan di akhir abad ke dua

puluh dan dapat mengatasi kontradiksi internalnya karena menduduki ruang dan

memproduksi ruang. Ini juga menjadi evaluasi mengapa revolusi gagal. Di dalam

“Urban Revolution”, Lefebvre menjelaskan bagaimana pertumbuhan industri dan

kekuatan industri mendorong proses-proses urbanisasi. Dan, di dalam ruang-ruang

urban ini, kapitalisme mereproduksi dirinya (Charnok dan Fumas, 2011: 6).

Kapitalisme menciptakan ruang-ruang urban, yang di dalamnya, kapitalisme dapat

dengan mudah membentuk kondisi-kondisi permisif untuk mereproduksi secara

totalitas masyarakat borjouis.

1.6.2 Ruang Sebagai Produk (Sosial)

Lefebvre banyak dipengaruhi Karl Marx dalam merumuskan konsep

ruangnya. Meskipun pada mulanya, menurut Elden dan Shield (dalam Wilson,

2013: 356) sepanjang masa karir intelektualnya—mulai tahun 1920-an sampai

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

30 | Tesis

1980-an—ia concern dengan persoalan alienasi dalam masyarakat modern yang

kapitalistik. Bertitik tolak pada problem alienasi yang ditulis Marx dalam

Manuscript 1844 itulah, Lefebvre kemudian sampai pada ketertarikan untuk

mengembangkan konsep ruang dalam tradisi Marxian. Alienasi, dalam pemikiran

Marx, disebabkan karena adanya pemisahan antara produsen dengan makna

produksi. Namun para Marxist ortodoks membatasi persoalan alienasi itu hanya

sekadar dalam ruang ekonomi. Berbeda dengan mereka, Lefevbre mengatakan

bahwa problem alienasi tidak hanya terjadi dalam ruang produksi dan relasi

kepemilikan, tetapi alienasi juga dapat terjadi dalam lingkup yang lebih luas

dalam kehidupan sehari-hari. Alienasi membentuk peningkatan pemisahan

manusia dari hakekat hidup mereka. Dan, ruang abstrak, kata Lefebvre,

merupakan tempat dan sumber pemisahan itu. Dengan kata lain, alienasi dalam

masyarakat kapitalis terjadi dalam penaklukan dari perebutan akan hidup yang

dibayangkan, melalui penguasaan ruang dalam kehidupan keseharian. Kapitalisme

semakin meneguhkan dirinya dengan cara ini: menyusun ruang, lalu

menguasainya. Ruang abstrak memang merupakan ruang bagi kapitalisme

(Wilson, 2013: 364; Charnok dan Fumas, 2011: 5). Ruang abstrak (sepadan

dengan representasi ruang yang akan dijelaskan secara lebih jelas di bagian

berikutnya) adalah alat kekuasaan, bahkan kekuasaan itu sendiri. Kapitalis tidak

hanya sekedar ingin melakukan kontrol terhadap suatu ruang, melainkan meraih

kendali atas ruang-ruang yang semakin besar dan menyeluruh (Ritzer dan

Goodman, 2013: 168).

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

31 | Tesis

Dalam karya utamanya “The Production of Space” Lefebvre menegaskan

bahwa ruang adalah produk (sosial). Ruang memproduksi struktur kelas, sistem

kapitalis, ruang juga tempat dimana praktik–praktik perebutan wacana dan

ideologi tertentu selalu terjadi, memperebutkan pengaruh di dalamnya. Ruang,

kata Lefevbre, seperti alat berpikir dan bertindak. Ruang bisa mengarahkan

bagaimana orang berpikir dan bertindak tertentu dalam kesehariannya, karena

ruang memang dimaksudkan untuk kepentingan kontrol dan dominasi. Lefebvre

menulis:

(social) space is a (social) product … the space thus produced also serves

as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of

production it is also a means of control, and hence of domination, of

power; yet that, as such, it escapes in part from those who would make

use of it. The social and political (state) forces which engendered this

space now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has

forced spatial reality towards a sort of uncontrollable autonomy now

strives to run it into the ground, then shackle and enslave it” (Lefebvre,

1991: 26-27).

Lefebvre juga mengatakan bahwa di dalam ruang, semua orang seperti

“disituasikan”, dimana mereka harus mengakui diri mereka atau menghilangkan

diri mereka sendiri (Lefebvre, 1991: 35). Ruang bukanlah suatu area yang kosong

dan kotak yang netral. Ruang-ruang yang secara sosial diproduksi menjadikan

ruang itu sebagai sesuatu yang tidak sederhana, melainkan sesuatu yang kompleks

dan selalu bertaut erat dengan persoalan kekuasaan (Mansvelt, 2005: 56). Di

dalam memahami tesis mendasar ruang sebagai produk sosial yang bertaut erat

dengan kekuasaan ini, kata Lefebvre, adalah pertama-tama memahami bahwa

ruang itu tidak dapat eksis dalam dirinya sendiri. Melainkan, ia selalu diproduksi

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

32 | Tesis

dan hanya dapat dipahami di dalam konteks masyarakat yang spesifik (Schmid

dalam Goonewardena, 2008: 28-29).

1.6.3 Triad Konseptual Lefebvre

Lefebvre seperti ditegaskan dalam bagian sebelumnya, memandang ruang

itu sebagai produk (sosial). Tetapi, pertanyaannya, bagaimana ruang itu

diproduksi (secara sosial)? Lefebvre mengemukakan tiga konsep penting yang

menjadi kunci dalam pemahamannya yang canggih atas ruang yang sering disebut

sebagai momen-momen produksi ruang. Di satu sisi, Lefebvre merujuk pada

konsep triadik/tripartit yaitu praktik spasial (spatial practice), representasi ruang

(representation of space) dan ruang representasional (representational space)

(Lefebvre, 1991: 38-39; Schmid dalam Goonewardana, 2008: 29). Sementara di

sisi yang lain, dia juga merujuk pada apa yang disebutnya sebagai perceived

space, conceived space dan lived space. Triad konseptual ini yang kemudian

dimaksud sebagai praktik memproduksi ruang yang dilakukan oleh manusia

melalui relasi produksi pada sebuah relasi dan praktik sosial.

Menurut Lefebvre, makhluk hidup, termasuk juga manusia, pada dasarnya

memang mengorientasikan diri mereka di dunia dengan menciptakan ruang

(producing space). Memproduksi ruang merupakan metafisika Lefebvre. Scott

Lash mengatakan bahwa gagasan Lefebvre ini lebih ambisius dari metafisika

Nietzsche yang menekankan pada kehendak berkuasa (will to power) agar

manusia tetap survive, atau metafisika Marx yang menekankan pada sekedar

kepemilikan modal dan alat produksi. Bagi Lefebvre, untuk survive, manusia

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

33 | Tesis

tidak hanya perlu memiliki kekuataan modal dan menguasai sarana produksi, atau

juga mengenyahkan mentalitas budak, tetapi cara kita menyesuaikan diri kita di

dunia adalah dengan memproduksi ruang (Lash, 2006: 116)

Lefebvre mencontohkan bagaimana laba-laba (spider) mula-mula

menciptakan ruang, berupa jaring-jaring laba-laba yang dikeluarkan dari tubuhnya

sendiri. Tubuh dianggap penting, yang menandai, bahwa dalam diri laba-laba,

memang sudah terdapat sistem yang inheren untuk memproduksi ruang-ruang

bagi kehidupannya sendiri (Lash, 2006: 116). Laba-laba, kata Lefevbre,

memproduksi ruang dengan prinsip mimesis, melalui proses pencerminan

(mirroring) dan penggambaran (imaging) pada tubuhnya sendiri. Seperti halnya

laba-laba, semua makhluk hidup tak terkecuali manusia, dengan kemampuannya,

selalu menciptakan ruang dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam menenun

jaring-jaring, laba-laba—dan juga makhluk yang lainnya seperti manusia—juga

“menenun” imajinasi mereka dan memperluas kekuasaan mereka di atas sebuah

arena ruang (Lash, 2006: 117). Inilah yang disebut praktik spasial oleh Lefevbre.

Praktik spasial (spatial practice) dalam skema pemikiran Lefebvre

dianggap sama dan tidak dibedakan dengan praktik sosial (Wilson, 2013: 367).

Praktik sosial, kata Lefebvre, memiliki implikasi-implikasi ruang. Sebab dalam

kesehariannya, manusia selalu melakukan aktivitas di dalam pelbagai ruang.

Praktik sosial selalu memiliki ruang-ruangnya sendiri. Sederhananya, praktik

meruang (atau praktik sosial) terkait dengan bagaimana manusia mencerap,

memaknai secara terus menerus ruang-ruang di sekelilingnya. Pemaknaan

manusia pada ruang tersebut, disadari tidak, telah menciptakan dan memproduksi

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

34 | Tesis

ruang yang berbeda dengan ruang yang diapresiasinya dalam konteks tertentu.

Nah, dengan menyamakan praktik spasial dan praktik sosial, Lefebvre ingin

menegaskan bahwa hanya melalui relasi-sosio historis dari sebuah sosial sebuah

ruang dapat diproduksi. Dengan kata lain, praktik spasial adalah proses-proses

sosial yang mereproduksi ruang, yang keduanya, bisa menjadi alat dan sekaligus

hasil dari aktivitas manusia (Mansvelt, 2005: 57).

Sedangkan representasi ruang (representations of space) merupakan ruang

normatif, ruang ideal, ruang konseptual yang dirumuskan dan dikonseptualisasi

oleh para arsitek, ahli planologi, teknokrat, insinyur sipil dan pemerintah. Menurut

Lefebvre, ruang ini adalah ruang dominan di banyak masyarakat. Ruang abstraksi

dalam pikiran para ahli tersebut hanya mungkin dikonkretkan melalui sistem

representasi dan tanda-tanda yang spesifik (Lefebvre, 1991: 38-39). Ruang

representasi ini, bagi Lefebvre adalah “ruang yang sebenarnya” yang dijadikan

alat untuk mencapai dan mempertahankan dominasi. Misalnya, program

perbauran kota sejak dari awal oleh para arsitek dan planolog didesain, secara

teoretis, untuk menghancurkan perumahan-perumahan kumuh milik warga miskin

dan kemudian menggantikannya dengan perumahan yang lebih modern dan

mewah. Warga miskin dipinggirkan dan dipindahkan ke tempat-tempat baru, ke

wilayah-wilayah baru, hanya untuk membangun proyek-proyek perumahan yang

biasanya hanya ditempati oleh kelas menengah dan kelas atas saja. “Praktik

sosial” warga miskin diganti secara radikal oleh “representasi ruang” (Ritzer dan

Goodman, 2013: 166). Ada kekerasan yang intrinsik dalam banyak abstraksi:

sebab, kata Lefebvre, semua “rencana (plan)” yang dirumuskan oleh elit itu tidak

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

35 | Tesis

hanya berhenti di atas kertas, buldozer akan merealisasikan “rencana” tersebut

(Charnok dan Fumas, 2011: 12).

Menurut Lefebvre, representasi memang tak bisa dihindari, problemnya

muncul saat representasi memisahkan bahkan kemudian mendominasi praktik

spasial. Bahkan, representasi ruang ini menguasai praktik spasial dan ruang

representasional sekaligus. Representasi ruang dapat membunuh praktik-praktik

spasial (Lash, 2006: 118-119). Buku “The Production of Space” Lefevbre

sebetulnya diposisikan sebagai kritik atas representasi ruang tersebut.

Sementara yang terakhir, ruang representasional (representasional space)

merupakan ruang yang secara langsung ditempati dan ditinggali oleh warga dan

penggunanya (Lefebvre, 1991: 38-39). Menurut Lefevbre, dalam ruang

representasional ini, kita dapat melihat semacam pewujudan simbolisme yang

kompleks, kadang-kadang semacam kode, baik berupa artikulasi tindakan,

perilaku, hasrat, ritual-ritual tertentu dan gaya hidup—sebagaimana

dikonseptualisasikan di dalam representasi ruang (Lefebvre, 1991: 33). Dengan

kata lain, jika representasi ruang yang dianggap sebagai “ruang yang sebenarnya”

diciptakan oleh kelompok dominan, maka representasi ruang betul-betul

menghasilkan “kebenaran ruang”. Orang-orang yang berada di dalamnya akan

merasakan dan merefleksikan hal-hal yang benar-benar terjadi di pengalaman

hidup lebih dari sekedar “kebenaran asbtrak” seperti yang ada dalam representasi

ruang yang diciptakan oleh kelompok dominan untuk mencapai dominasi dan

melanggengkan kekuasaan. Ruang representasi lenyap menjadi representasi

ruang (Ritzer dan Goodman, 2013: 166).

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

36 | Tesis

Konsep triadik/tripartit di atas, bagi Lefebvre, merupakan sesuatu yang

bersifat determinan: ruang muncul hanya dalam pengaruh-mempengaruhi di

antara ketiganya (Schmid dalam Goonewardana, dkk, 2008: 41). Namun, konsep

triadik/tripartit yang sudah dijelaskan tersebut, dalam skema pemikiran Lefebvre,

berada dalam tataran yang ideal dan terkesan pesimistis. Dalam bahasa yang lebih

material dan optimistik, Lefebvre membedakan dengan tiga ruang lagi yang

disebutnya sebagai ruang absolut (ruang alamiah), ruang abstrak dan ruang

differensial. Menurut Lefevbre, ruang absolut (ruang alamiah) adalah ruang yang

tidak mengalami kolonisasi dan dihantam oleh kekuataan ekonomi dan politik.

Ruang abstrak sebetulnya serupa dengan representasi ruang. Ia merupakan ruang

yang dibentuk oleh perencana kota, arsitek dan lain sebagainya. Namun, ruang

abstrak tidak hanya sekedar bersifat ideasional. Ruang abstrak bukan hanya

ditandai oleh tidak adanya hal-hal yang diasosiasikan dengan ruang absolut, tetapi

ruang yang diduduki, didominasi dan dikendalikan. Sementara ruang differensial

merupakan ruang yang mengaksentuasi perbedaan dan kebebasan dari kontrol dan

dominasi sebagaimana dalam ruang abstrak. Tapi, Lefevbre sendiri, hanya tertarik

dan fokus mengembangkan pemikirannya pada ruang abstrak (Ritzer dan

Goodman, 2013: 169). Sebab ruang abstrak, bagi Lefebvre, ruang bagi

kapitalisme untuk terus mempertahankan dirinya.

1.7 Metodologi dan Metode Penelitian

Penelitian ini sebagaimana tercermin dalam rumusan pertanyaan,

merupakan penelitian kritis yang mengambil perspektif cultural studies.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

37 | Tesis

Kedudukannya sebagai penelitian cultural studies, penelitian ini akan

menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Audifax, salah satu karakteristik

penting (kalau bukan kunci) dari pendekatan kualitatif adalah tujuannya untuk

mengkonstruksi makna budaya, dan nilainya yang mensyaratkan peneliti untuk

“hadir” dan “terlibat”. Berkebalikan dan kontras dengan pendekatan kuantitatif

yang salah satu karakteristik utamanya adalah bertujuan untuk mengukur fakta

objektif dan menekankan pada prinsip bebas nilai (Audifax, 2008: 57).

Pendekatan kualitatif dalam cultural studies dapat diterima dan terus

dikembangkan. Hal tersebut sangat mungkin mengingat penelitian kualitatif tidak

terikat dengan disiplin keilmuan manapun (Denzin dan Lincoln, 2009: 4). Selain

itu juga, analisis kualitatif selalu berurusan dengan konsep kebudayaan dan

menjelaskan secara penuh makna tindakan. Sementara cultural studies, di satu

sisi, tetap mengambil kebudayaan secara serius tanpa mereduksinya, dan sisi yang

lain (dan ini yang penting), cultural studies menempatkan kebudayaan dan sistem

makna tersebut sebagai sesuatu yang pasti terkait dengan politik dan kekuasaan

(Alasuutari, 1996: 2).

Mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan,

menginterpretasi dan menganalisis bagaimana produksi ruang perumahan-

perumahan muslim di Yogyakarta, serta menganalisis bagaimana relasi dan

kepentingan ekonomi-politik dari pengembang dan elit kelompok Islam yang

terlibat dalam proses produksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta

tersebut.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

38 | Tesis

1.7.1 Lokasi Penelitian

Penelitian tentang perumahan muslim sebagai ruang (sosial) ini hanya

akan dibatasi dan difokuskan pada tiga perumahan muslim yang ada di

Yogyakarta, yaitu: perumahan Muslim Darussalam 1 dan 2 yang terletak di

Godean, perumahan Muslim Darussalam 3 yang terletak di Condongcatur, serta

perumahan Muslim Gapura Sitimulya Estate yang terletak di Piyungan, Jalan

Imogiri Km 9. Dua perumahan yang pertama terletak di Kabupaten Sleman.

Sementara yang terakhir terletak di Bantul. Pemilihan dua kabupaten ini dilakukan

karena di Yogyakarta, perumahan-perumahan muslim memang banyak ditemukan

di dua kabupaten tersebut.

Penentuan lokasi dan ketiga perumahan muslim ini dilakukan dengan

beberapa pertimbangan: (1) Perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta

merebak dan terus tumbuh barangkali sampai beberapa tahun ke depan, terutama

di Kabupaten Sleman dan Bantul (2) Yogyakarta merupakan daerah yang

memiliki karakteristik penting, selain karena kemajemukan nilai-nilai, budaya dan

ideologi di dalamnya, Yogyakarta juga menjadi miniatur bangsa yang sering

dijadikan referensi dan rujukan bagi daerah-daerah yang lain. 3) Perumahan

Muslim Darussalam 1 dan 2 dan perumahan Muslim Darussalam 3 relatif

merupakan perumahan muslim awal di Yogyakarta, sedangkan perumahan

Muslim Gapura Sitimulya Estate merupakan perumahan muslim yang relatif baru

dibangun. Berdasarkan pertimbangan atas waktu pemroduksian perumahan-

perumahan muslim tersebut, penulis bisa melihat apakah ada kesamaan dan

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

39 | Tesis

perubahan konsep perumahan muslim dari tahun ke tahun di Yogyakarta, terutama

mulai tahun awal 2000-an sampai sekarang ini.

1.7.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer

dan sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan, berupa

hasil wawancara mendalam dan hasil observasi (pengamatan) yang dilakukan

mengenai seputar perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Sementara data

sekunder dalam penelitian ini adalah sumber-sumber tertulis, berupa penelitian-

penelitian terdahulu yang dianggap terkait dan relevan dengan penelitian ini.

1.7.3 Teknik Penentuan Informan

Dalam penelitian ini informan ditentukan secara purposive. Informan yang

dipilih adalah orang-orang yang tinggal di perumahan-perumahan muslim, yang

dianggap dan diasumsikan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang seputar

perumahan-perumahan muslim. Selain orang-orang yang tinggal di perumahan

muslim, beberapa pihak yang dianggap terkait dengan perumahan muslim akan

dijadikan informan penelitian ini, seperti para pengembang dan konseptor

perumahan muslim di Yogyakarta dan lain sebagainya.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan pengamatan, serta studi

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

40 | Tesis

dokumen tentang perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta dan lain

sebagainya yang dianggap terkait. Menurut Perti Alasuutari, data-data penelitian

lapangan yang dihasilkan dari teknik pengumpulan data ini bukanlah hasil

penelitian itu sendiri, melainkan hanya sekedar petunjuk-petunjuk (clues), untuk

kemudian diinterpretasikan melalui metode tertentu sehingga ditemukan suatu

tatanan “tersembunyi dari fenomena sosial”, lebih dari sekedar yang tampak di

permukaan (Alasuutari, 1996: 39).

1.7.5 Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan secara deskriptif dan

interpretatif kritis, dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: tahapan

pertama adalah reduksi data, tahapan kedua adalah penyajian dan interpretasi, dan

tahapan terakhir berupa penyimpulan (Denzin, 2009: 591-592).

1.8 Alur dan Sistematika Penulisan

Alur dan sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi ke dalam beberapa

bab, sebagai berikut: Bab I pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, perspektif

teoretik, metodologi dan metode penelitian, serta alur dan sistematika penulisan.

Bab II, berisi tentang ulasan mengenai kebangkitan kelas menengah muslim di

Yogyakarta. Ulasan ini cukup penting, sebab kelas menengah muslim dapat

dianggap sebagai penggerak islamisasi dan sekaligus konsumen terbesar

perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Oleh sebab itu, di dalam bab ini

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91848/potongan/S2-2015-356380...nasional pemerintah yang memusatkan pada pertumbuhan dan pencapaian ekonomi

41 | Tesis

dieksplorasi bagaimana kemunculan dan perkembangan kelas menengah muslim

di Indonesia, secara lebih spesifik di Yogyakarta. Bab III dan Bab IV, merupakan

bab pembahasan. Dalam Bab III dibahas bagaimana produksi ruang perumahan-

perumahan muslim di Yogyakarta dalam perspektif Henri Lefebvre terutama triad

konseptual atau konsep triadiknya. Lebih tegas, dalam bab ini, melihat bagaimana

praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional perumahan-

perumahan muslim di Yogyakarta. Sementara Bab IV, membahas relasi dan

kepentingan ekonomi-politik di antara pengembang dan elit kelompok Islam

dalam memproduksi perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta. Kesimpulan

yang diperoleh dalam penelitian tesis ini, dikemukakan pada Bab V. Selain berisi

kesimpulan yang telah diperoleh, bab ini juga memuat saran bagi penelitian

selanjutnya yang masih terkait.

PERUMAHAN MUSLIM DAN POLITIK RUANG (Analisis Produksi Ruang Perumahan-perumahanMuslim diYogyakarta)KAMIL ALFI ARIFINUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/