bab i pendahuluan 1.1. latar...

31
15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gejolak isu krisis yang pangan terjadi serangkaian dengan krisis energi dan finansial global di tahun 2008, telah menempatkan kembali ketahanan pangan dan energi menjadi diskursus penting dalam institusi global, maupun organisasi internasional. Dalam setiap pertemuan institusional di tingkat global, seperti FAO, WFS, APEC, maupun organisasi regional, bilateral lainnya permasalahan krisis pangan dan upaya penanganannya tidak pernah dikesampingkan. Rekomendasi- rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan-pertemuan tersebut pada umumnya meneropong jalan keluar krisis pangan dalam kemasan pembangunan agrikultural yang tak terlepas dari pengaruh ideologi neoliberal. Rekomendasi-rekomendasi tersebut diantaranya, liberalisasi perdagangan pasat komoditas pangan dengan berpedoman pada instrumen AOA dari WTO, deregulasi investasi agrikultur, industrialisasi, dan modernisasi agrikultur guna mendongkrak jumlah produksi pangan, pemaksimalan sektor swasta/korporasi dan dukungan finansialisasi skala global dalam menggerakkan investasi dalam produksi pangan global (Mc Michael, 2012 : 682). Resolusi atas krisis pangan global ditahun-tahun tersebut juga turut berfokus pada upaya pendongkarakan produksi pangan. Untuk itu, pembukaan lahan-lahan agrikultur dalam menjadi rekomendasi lanjutan dalam merespon fokus pengembangan pasca krisis tersebut. Pada perkembangannya, investasi lahan dalam skala luas untuk pengembangan produksi pangan, maupun agrofuel meningkat pesat secara global, khususnya pasca krisis tersebut (Von braun dan Meizen dick, 2009). Sebagai sebuah negara yang telah lama terintegrasi dalam kancah ekonomi politik global, dinamika ekonomi politik terkait panagan di tingkat global juga turut berpengaruh pada kebijakan pangan Indonesia, termsuk dinamika krisis pangan global serta norma-norma pembangunan agrikultur globl yang muncul sebagai respon terhadapnya. Agustus 2010, pemerintah Indonesia meluncurkan sebuah program pengembangan pangan skala luas (food estate) yang dimaknai sebagai upaya

Upload: lamkhanh

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gejolak isu krisis yang pangan terjadi serangkaian dengan krisis energi dan

finansial global di tahun 2008, telah menempatkan kembali ketahanan pangan dan

energi menjadi diskursus penting dalam institusi global, maupun organisasi

internasional. Dalam setiap pertemuan institusional di tingkat global, seperti FAO,

WFS, APEC, maupun organisasi regional, bilateral lainnya permasalahan krisis

pangan dan upaya penanganannya tidak pernah dikesampingkan. Rekomendasi-

rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan-pertemuan tersebut pada umumnya

meneropong jalan keluar krisis pangan dalam kemasan pembangunan agrikultural

yang tak terlepas dari pengaruh ideologi neoliberal.

Rekomendasi-rekomendasi tersebut diantaranya, liberalisasi perdagangan

pasat komoditas pangan dengan berpedoman pada instrumen AOA dari WTO,

deregulasi investasi agrikultur, industrialisasi, dan modernisasi agrikultur guna

mendongkrak jumlah produksi pangan, pemaksimalan sektor swasta/korporasi dan

dukungan finansialisasi skala global dalam menggerakkan investasi dalam produksi

pangan global (Mc Michael, 2012 : 682). Resolusi atas krisis pangan global

ditahun-tahun tersebut juga turut berfokus pada upaya pendongkarakan produksi

pangan. Untuk itu, pembukaan lahan-lahan agrikultur dalam menjadi rekomendasi

lanjutan dalam merespon fokus pengembangan pasca krisis tersebut. Pada

perkembangannya, investasi lahan dalam skala luas untuk pengembangan produksi

pangan, maupun agrofuel meningkat pesat secara global, khususnya pasca krisis

tersebut (Von braun dan Meizen dick, 2009). Sebagai sebuah negara yang telah

lama terintegrasi dalam kancah ekonomi politik global, dinamika ekonomi politik

terkait panagan di tingkat global juga turut berpengaruh pada kebijakan pangan

Indonesia, termsuk dinamika krisis pangan global serta norma-norma pembangunan

agrikultur globl yang muncul sebagai respon terhadapnya.

Agustus 2010, pemerintah Indonesia meluncurkan sebuah program

pengembangan pangan skala luas (food estate) yang dimaknai sebagai upaya

16

pembangunan ketahanan pangan, dan juga sebagai respon pemerintah Indonesia

atas gejolak krisis yang terjadi di tingkat global. Food estate, adalah sebuah

program pembangunan berupa usaha kegiatan budidaya tanaman skala luas (> 25

ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sistem industrial berbasis ilmu

pengetahuan dan teknologi, modal serta organisasi dan manajemen modern (Buku

Pintar food estate, 2010 :2). Dengan motto, feed indonesia feed the world,

program food estate pada akhirnya diharapkan dapat mengantarkan Indonesia

menjadi salah satu negeri lumbung pangan dunia atau pusat logistik global,

memperkuat ketahanan pangan nasional, sekaligus menyokong pertumbuhan

ekonomi1 melalui aktivitas pemasokan kebutuhan ekspor (Zakaria dkk, 2011 : 3-4).

Program food estate di Indonesia pertama kali terinisiasikan kedalam sub

mega proyek di wilayah Merauke dengan nama Merauke Integrated Food and

Energy Estate (MIFEE). Tidak hanya untuk menjawab tantangan pemenuhan

ketahanan pangan, MIFEE juga diharapkan dapat menjadi pusat pengembangan

ketahanan energi. Meskipun demikian pengembangan pangan tetap menjadi

prioritas utama. Senada dengan food estate, MIFEE juga dirancang dengan

manajemen pertanian modern dengan penggunaan lahan yang sangat luas (Buku

Pintar food estate, 2011 ;6). Pelaksanaan modernisasi agrikultur membutuhkan dana

yang besar. Disisi lain, dana pemerintahan terbatas, sehingga memerlukan, sumber-

sumber pembiayaan lain diluar APBN dan APBD (Buku Pintar food estate, 2010 :

2). Hal ini dijawab dengan mengundang kesempatan investasi sebesar-besarnya

kepada investor dari korporasi nasional maupun transnasional, dan dipandang perlu

untuk menghadirkan iklim investasi yang kondusif. Oleh karena itu,setelah

program diluncurkan, pemerintah Indonesia, semakin membuka kesempatan bagi

perusahaan swasta nasional, BUMN, BUMS atau swasta asing untuk berinvestasi2.

1 Apabila berjalan sesuai desain, maka pada tahun 2030 MIFEE akan berkontribusi pada

penyediaan stok pangan pertahun : Padi 1,95 uta ton, jagung, 2.02 juta ton, kedelai 167.000 ton,

ternak sapi 64.000 ton, gula 2,5 juta ton dan Crude Palm Oil (CPO) 937.00 ton. Pendapatan

Domestik Regional Bruto Kabupaten Merauke diperkirakan akan mencapai 124,2 juta

perkapita/tahun dan impor akan dikurangi sampai Rp 4,7 Trilyun. 2 Dalam buku panduan food estate, pemberian kesempatan investasi sebesar-besarnya diartikulasikan

dengan pemberian fasilitasi investasi, meliputi fasilitas kepabeanan, keringanan bea masuk, maupun

pajak penghasilan kepada investor yang akan melakukan perluasan usaha dan atau investasi baru.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia membuka keran

17

Rancangan food estate secara umum dan MIFEE secara khusus dihadirkan

dengan kesan yang begitu ideal. Program tersebut diletakkan atas dasar keterpaduan

sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis yang memanfaatkan sumberdaya

secara optimal dan lestari. Dikelola secara profesional, didukung oleh sumber daya

manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan

kelembagaan yang kokoh. Lalu dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat

lokal, pengembangan food estate menekankan pentingnya pengaturan kemitraan

antara investor dengan masyaraklat lokal (adat) berdasarkan prinsip-prinsip

kesetaraan, saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan

(Buku pintar food estate, 2010 : 6).

Terlepas dari gambaran ideal MIFEE sebagai proyek alternatif ketahanan

pangan dalam menghadapi krisis, berbagai laporan dari dilapangan menunjukkan

bahwa pengembangan proyek tersebut sangat konfliktual. Berbagai resistensi untuk

menolak pengembangan MIFEE berdatangan dari masyarakat lokal, akademisi,

peneliti, organisasi-organisasi non-pemerintah, maupun kelompok-kelompok

solidaritas. Resistensi yang bermunculan menampakkan konflik-konflik yang

berlangsung dalam dimensi socio-environmental conflict. Resistensi yang

mengemuka pada proyek MIFEE pada umumnya berkaitan dengan perubahan-

perubahan sosial dan lingkungan sebagai efek lanjut atas benturan kepentingan

antar kelas dalam memandang hak pengelolaan lahan. Lahan/tanah dipandang

sebagai sarana mendasar pemenuhan kebutuhan pangan harian oleh masyarakat

lokal yang harus dibenturkan dengan penguasaan lahan dalam skala besar oleh

sejumlah korporasi yang memiliki izin konsesi dalam skema pengembangan food

estate.

Resistensi dari masyarakat adat berkembang terhadap pelaksanaan proyek

dengan sejumlah keluhan seperti, misalnya terampasnya lahan atas akitifitas

operasional korporasi investor yang menimbulkan efek domino sulitnya

masyarakat lokal/adat untuk mengakses lahan sumber penghidupan mereka (Lihat

Zakaria dkk, 2011; AGRA dan PAN-AP, 2011; Savitri, 2013). Terokupasinya

investasi seluas-luasnya kepada pengelolaan swasta, maupun badan usaha yang masih berafiliasi

dengan sistem birokrasi kenegaraan.

18

lahan oleh korporasi, dikhawatirkan dapat memberi perubahan pada metode

perekonomian dan pendapatan harian masyarakat adat (Tempo Investigation

Report, 2012 : 38; Savitri : 2013). Selain itu problematika ketidaksesuaian nilai

ganti rugi, tidak transparannya informasi pembangunan ke masyarakat, efek-efek

degradasi kulaitas kesehatan masyarakat sebagai akibat dari pencemaran limbah

aktifitas operasional korporasi turut mengemuka menjadi keluhan masyarakat atas

proyek MIFEE.

Kemunculan konflik dalam bentuk resistensi ini secara tak langsung telah

menempatkan food estate sebagai program yang sarat akan kritik. Ditambah dengan

kenyataan, bahwa pembangunan pangan yang melibatkan lahan dalam skala luas

serupa dengan food estate tidak hanya terjadi di Indonesia, namun telah

berkembang secara global pasca krisis pangan dan energi di tahun 2007-2008,

khususnya dinegara-negara. berkembang yang memiliki potensi lahan agrikultur

begitu besar. Sebagian besar investornya didominasi dari negara-negara yang

minim sumberdaya agrikultur, maupun mega korporasi transnasional yang

bertujuan untuk mengamankan cadangan pangan maupun untuk mengembangkan

komoditi agrofuel dan biofuel (Lihat juga Von Braun dan Meizen Dick, 2009 : 1,

De Schutter, 2011).

Seperti halnya pada proyek MIFEE, proyek food estate di negara lain juga

menampakkan kecenderungan untuk menghadirkan socio-environmental conflict

pada wilayah pengembangannya (Franci dkk, 2013; lihat juga Cotula dkk 2009;

Fradejas et al 2011; Deineger et al , 2011). Berdasarkan reportase media, sebuah

kontrak pengelolaan lahan antara Cina dan Filipina terblokade akibat mencuatnya

masalah serius terkait validitas kontrak dan implikasinya terhadap ketahanan

pangan lokal (Von Braun dan Meizen Dick, 2009 :3-5). Di Mozambique, muncul

resistensi atas keterlibatan ribuan pekerja agrikultur asal Cina pada perusahaan dari

negara yang sama di negeri mereka, yang dinilai akan membatasi perlibatan dari

para pekerja lokal Mozambiq. Kemudian Di Madagaskar misalnya negosiasi,

dengan perusahaan logistik asal korea, Daewoo Logistic Corporation yang

mengeksplorasi sebesar 1,3 juta hektar jagung dan minyak sawit dilaporkan

19

memainkan peranan dalam konflik politik yang membawa pergantian

pemerintahan di Madagaskar pada tahun 2009.

Disamping itu, liberalisasi investasi yang seluas-luasnya kepada investor

swasta melalui regulasi-regulasi permisif, telah memberi pandangan tersendiri dari

berbagai akademisi dan peneliti bahwa megaproyek tersebut sarat akan kepentingan

pembangunan neoliberal (Zakaria dkk, 2011; Rachman dan Savitri, 2011; Itho dkk,

2011; Lamonge, 2011). Sementara model inkorporasi yang kental dalam

pembangunannya, juga memberi pemikiran tersendiri bahwa MIFEE akan memberi

kekuatan berdiri bagi rezim korporasi untuk mengendalikan produksi dan distribusi

pangan, yang berujung pada peraupan profit, dan terlaksana melalui proses

accumulation by disposession (dengan cara-cara perampasan, pemisahan

masyarakat lokal/adat dari lahan kehidupannya beralih ke penguasaan segelintir

pihak). Dalam pandangan Harriet Friedman dan Philip Mc Michael (1989)

dinamika ini menggambarkan pola pembangunan pangan yang telah berada pada

era corporate food regime. Sebuah era yang menampakkan korporasi memiliki

porsi yang besar dalam aktivitas produksi-distribusi pangan, yang berjalan seiring

dengan glorifikasi paragdima neoliberal sebagai ideologi kebijakan ekonomi politik

secara global.

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dalam penelitian ini penulis tertarik

menganalisis, tentang mengapa kemudian program pembangunan yang diklaim

pemerintah sebagai pembangunan yang sangat ideal dalam membangun ketahanan

pangan, dapat menjadikan Indonesia sebagai lumbung logistik dunia sekaligus

menjadi penopang perekonomian nasional melalui ekspor komoditi pangannya,

kemudian menuai banyak kritik dan menghadirkan konflik. Berangkat dari logika

tersebut, pada akhirnya harus pula digali lebih jauh, bagaimana prinsip, model

pembangunan program food estate secara mendasar dan bagaimana relasinya atas

socio-environmental conflict yang berlangsung, khususnya dalam kerangka MIFEE.

Untuk itu penulis mengangkat penelitian ini dengan judul, Pengembangan Pertanian

Pangan Skala luas dan socio-environmental conflict dalam kasus Merauke

Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

20

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan satu

rumusan masalah utama yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini :

Mengapa proses pembangunan MIFEE mendorong keberlangsungan Socio-

environmental conflict ?

Berdasarkan pertanyaan utama tersebut maka penelitian ini juga selanjutnya

akan menelurusi faktor-faktor penyebab socio-environmental conflict pada kasus

MIFEE secara lebih jauh, tidak hanya dari segi praktikal namun juga ditinjau dari

ide mendasar atau paradigma yang diaplikasikan ke dalam pembangunannya. Maka

dari itu dalam proses penyusunan penelitian ini, akan ada sub-sub pertanyaan

penelitian lanjutan yang akan berkembang demi menjawab rumusan uatama

pertanyaan penelitian diatas, yakni :

1. Bagaimana pendekatan solutif paradigma neoliberal atas krisis pangan

sehingga mendorong lahirnya pola-pola pengembangan food estate secara

global

2. Bagaimana insitusionalisasi paradigma neoliberal dalam kerangka MIFEE

sebagai salah satu dinamika pembangunan agrikultur dalam era corporate

food regime

3. Bagaimana dinamika accumulation by disposession dan socio-environmental

conflict, serta bagaimana korelasi yang terbangun antara paradigma neoliberal,

accumulation by disposession dan Socio environmental conflict yang dapat

dijumpai pada pengembangan Food estate secara umum dan MIFEE secara

khusus?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri faktor-faktor konflik-konflik sosial

dan lingkungan yang bereskalasi dalam pembangunan MIFEE. Hal ini penting

untuk menjawab mengapa mega proyek jutaan hektar yang dibangun dalam ideal

elite pemerintahan sebagai upaya pembangunan agrikultur dalam tekanan global

21

untuk pembangunan ketahanan pangan dan sebagai jalan keluar atas tantangan

krisis yang dapat terjadi di masa mendatang, justru berlangsung sangat konfliktual

dan mendapatkan respon berupa protes yang ditujukan dari berbagai pihak,

khususnya oleh masyarakat lokal/adat Malind Anim3. Untuk itu berdasarkan uraian

pertanyaan penelitian maka rumusan tujuan dari penelitian ini meliputi :

1) Memahami bagaimana pendekatan neoliberal melihat solusi atas krisis pangan

dan arahan pembangunan agrikultural kontemporer, serta bagaimana relasinya

terhadap pengembangan globalisasi food estate

2) Mengetahui pola institusionalisasi paradigma pembangunan neoliberal kedalam

food estate MIFEE, sebagai salah satu bentuk proyek pengembangan agri-

pangan dalam era corporate food regime.

3) Mengetahui bagaimana korelasi antara paradigma neoliberal, accumulation by

dispossession dan socio environmental conflict serta bagaimana dinamikanya

berlangsung dalam kerangka MIFEE.

1.4. Studi Literatur

Beberapa studi sebelumnya, meneropong MIFEE secara parsial dari sudut

pandang yang berbeda-beda. Misalnya dari analisis antropologi sosial yang

mengkaji transformasi-transformasi yang dihadikan MIFEE terhadap struktur sosio-

demografis masyarakat lokal/adat, seperti yang dibahas oleh Savitri (2013) pada

karyanya yang berjudul korporasi politik dan perampasan tanah. Studi terkait

MIFEE pada umumnya lebih berfokus pada proses internal ditingkat negara atas

lahirnya kebijakan pembangunan pertanian pangan dan energi skala luas tersebut,

serta analisis dampak sosial-lingkungannya atas pola kebijakan yang memberikan

ruang besar kepada korporasi untuk menguasai dan mengelola lahan (Lihat lebih

lanjut, Zakaria dkk, 2011; Zakaria 2011; Itho 2011,2014 ; Tempo Investigation

Report, 2012; Forest People Programme, 2013).

3 Masyarakat Malind Anim adalah sebutan untuk masyarkat adat yang merupakan penduduk asli

kabupaten Merauke.

22

Kajian dinamika pangan di tingkat global dan aspek paradigma ekonomi

politik yang mempengaruhinya, masih cenderung jarang diperdalam, khususnya

dalam melihat bagaimana aspek-aspek tersebut, memiliki relasi terhadap eskalasi

socio-environmental conflict MIFEE. Pada studi Zakaria, dkk 2011, yang berjudul

MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind, pembahasan mengenai paradigma

pembangunan MIFEE, sedikit dibahas dibagian awal. Meski kemudian tidak

dikupas lebih mendalam tentang stukrutr relasi antara paradigma dengan dinamika

unevent development (ketimpangan pembangunan) serta dampak yang hadir atas

lahirnya kebijakan pengembangan MIFEE. Salah satu studi yang secara jelas

menyasar, tentang paradigma politik serta konflik sosial MIFEE, disusun oleh

Moureen N Lamonge (2011). Meski tidak banyak berkutat pada data dinamika

lapangan, Lamonge,menyematkan paradigma neoliberalisme sebagai landasan

pelaksanaan MIFEE. Ia juga turut menggunakan konsep Accumulation by

Disposession David Harvey untuk menarik keterkaitan paradigma dengan kondisi

unevent development yang secara tak langsung memicu hadirnya konflik antara

pemangku kepentingan terkait proyek MIFEE.

Dalam menempatkan pengembangan MIFEE, sebagai kajian akademik studi

Hubungan Internasional, maka penelitian ini mencoba menggali posisi MIFEE

dalam dinamika pengembangan agrikultur, serta struktur produksi-distribusi

pangan global. Itho, dkk (2011), melalui laporan analisis yang berjudul

Naturalizing Land Disposession : A Policy Discourse Analysisi of the Merauke

Integrted Food and Energy Estate, menggunakan analisis food regime guna

memposisikan MIFEE sebagai sebuah manifestasi kebijakan negara yang tak

terlepas dari dinamika pola pembangunan agrikultur dirumuskan dan oleh aktor

negara, korporasi maupun institusi kepentingan di pada tataran global,tanpa

mengeksklusi relasi antara norma kebijakan pembangunan tersebut dari dinamika

ekonomi kapital.

Dalam analisisnya, Itho dkk tidak secara langsung menyasar mengenai konflik

yang berlangsung melainkan lebih menekankan MIFEE sebagai bentuk naturalisasi

perampasan lahan (Land Disposession) karena terbentuk sebagai kebijakan negara

yang mengikuti arahan pembangunan dan logika produksi-distribusi pangan global.

23

Paradigma neoliberal juga diangkat dalam analisis tersebut, namun analisis itho

tidak berfokus pada menemukan bangunan relasi antara paradigma yang melandasi

pembangunan MIFEE dengan kehadiran socio-environmental conflict. Berdasarkan

beberapa literatur tersebut penelitian ini kemudian menarik analisis MIFEE dan

keberlangsungan socio-environmental conflict didalamnya, kedalam ruang analisis.

yang mengelompokkan dinamika terkait pembangunan MIFEE melalui tiga tinjauan

aspek, yakni, ditinjau dari aspek paradigma, institusional, dan praktik. Kemudian,

penelitian ini juga mencoba untuk menghadirkan keterkaitan diantara masing-

masing aspek tersebut, lalu menggali relasinya dengan keberlangsungan socio-

environmental Conflict dalam kasus MIFEE.

1.4.1. Aspek paradigma

Hasil studi Moureen N. Lamonge (2012 : 39), mengungkapkan bahwa

pembangunan MIFEE adalah proyek pengembangan agrikultur pangan yang kental

akan karakteristik paradigma pembangunan neoliberal. Paradigma neoliberal

merupakan sebuah pandangan ekonomi politik mengklaim bahwa proyek

pembangunan yang mengedepankan liberalisasi pasar dan determinasi sektor

swasta dalam merangsang pertumbuhan ekonomi dan menghapus kemiskinan

(Fakih, 2009 : 49). Menurut Lamonge, aspek neoliberalisme dalam proyek

pembangunan MIFEE, dapat dilihat dari kentalnya upaya-upaya komodifikasi dan

privatisasi atas lahan-lahan adat dan komunal, dibawah kekuasaan negara

(Lamonge, 2012 : 39.). Lamonge mendirikan argumennya tanpa mengesampingkan

MIFEE, dalam posisinya sebagai salah satu program utama yang dirancang untuk

menyokong percepatan pembangunan ekonomi Indonesia melalui MP3EI. Dalam

rancangan MP3EI, pemerintah menegaskan bahwa pemerintah turut berungsi

sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi dengan menjanjikan komitmen

debottlenecking4 kepada investor swasta asing maupun domestik. (Grand Design

MP3EI, 2011 : 10).

4 Istilah ini merujuk pada makna penghapusan segala macam hambatan demi memperlancar arus

liberalisasi investasi

24

Terkait pola pembangunan neoliberal ini, kristikus David Harvey memandang

bahwa pembangunan demikian secara gamblang mencerminkan tentang misi

fundamental dari negara neoliberal, yakni dengan menciptakan iklim bisnis liberal

bagi para investor, yang dapat menstimulasi, dan memberikan ruang baru bagi

siklus kapital berakumulasi (Harvey, 2005 : 19). Paradigma neoliberal

mengasumsikan bahwa melalui fasilitasi minat bisnis, pertumbuhan ekonomi dapat

dipercepat, sehingga upaya untuk mengurangi kemiskinan dapat tercapai dengan

mempercayai logika ekonomi pasar (Harvey, 2005 : 20). Hal ini sejalan dengan

prinsip mendasar liberalisme ekonomi klasik, yang memandang bahwa fungsi-

fungsi kemasyarakatan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya ekonomi,

akan berjalan lebih baik jika diarahkan pada mekanisme pasar.

Pandangan yang menyorot paradigma pembangunan pangan neoliberal dalam

proyek MIFEE serupa juga turut dikemukakan oleh Noer Fauzi Rachman (Dalam

Zakaria, dkk, 2010 : xvi-xvii). Menurut Rahman, sebagai praktik kelembagaan,

neoliberalisme memberi pengaruh besar bagi kebijakan pembangunan. Dengan

meminjam analisis Harvey, Rachman mengemukakan bahwa dalam konteks

MIFEE pembangunan neoliberal dapat dipahami sebagai agenda konsolidasi dari

kelas-kelas penguasa (pemilik modal) untuk mengatasi krisis akibat kejenuhan

kapital, dimana krisis tersebut terjadi pada sektor agri-pangan. Kelas-kelas yang

berkuasa yang dimaksud dalam pembangunan MIFEE ini adalah elit pemerintahan

baik di tingkat pusat dan daerah/negara, serta para investor. Sementara itu,

kekuasaan negara dalam paradigma pembangunan neoliberal yakni menjadi

fasilitator bagi terciptanya iklim kondusif atas investasi kapital tersebut.

1.4.2. Aspek Institusional/Rezim Pangan Global

Sedikit menambahkan dari kajian-kajian paradigmatik yang telah ada, Itho

dkk (2011) membedah MIFEE sebagai produk pembangunan yang lahir tanpa

terlepas dari bagaimana dinamika dan karakteristik pembangunan agrikultur global

diarahkan dewasa ini. Dalam menggali karakteristik tersebut, Itho dkk, berangkat

dari titik analisa rezim pangan global atau yang lebih dikenal melalui istilah food

regime. Konsep food regime hadir untuk memberikan penggambaran lebih jauh

25

tentang dinamika-dinamika ekonomi politik global dan relasinya terhadap sistem

produksi, ditribusi hingga konsumsi pangan global antar keberlangsungan periode

sejarah (Mc Michael, 2010 : 610).

Dalam kaitannya dengan arahan pembangunan agrikultural, menurut Itho dkk

food regime mencerminkan proses developmentalisasi yang berlangsung untuk

memperkokoh sistem kapitalisme global dalam lingkup hubungan produksi-

konsumsi pangan (Itho dkk, 2011 : 13). Dalam proses pembangunan tersebut,

negara memiliki peranan penting dalam perumusan strategi kebijakan apapun yang

bersentuhan dengan pola produksi-konsumsi panganSecara khusus, Itho

mengemukakan bahwa sistem produksi-konsumsi pangan dewasa ini telah

memasuki periode yang ketiga, atau yang dikemukakan ke dalam istilah Third

Food Regime. Salah satu diskursus yang paling menonjol dari third food regime

adalah yakni pendekatan dalam menangani krisis pangan global dan kapitalisme

hijau5. Wacana krisis dan kapitalisme hijau ini kemudian secara tak langsung turut

menjadi landasan integral yang mendorong tuntutan untuk pengembangan investasi

lahan tanaman pertanian skala luas, yang akan dikonversi menjadi agrofuel atau

biofuel.

Pengembangan monokulturisasi agrikultur skala luas, diiringi dengan

penerapan manajemen teknologi modern yang memanfaatkan lahan-lahan yang

dianggapp masih belum terjamah untuk meningkatkan produksi suplai kebutuhan

pangan yang semakin melunjak adalah beberapa alternatif pendekatan dalam

merespon krisis (Itho dkk, 2011 : 13). Model pengembangan lahan agrikultural

skala luas ini bukan hal yang baru sebenarnya. Revolusi hijau yang mulai

berkembang sejak era developmentalisme juga mempraktikkan hal yang sama. Baik

pengembangan revolusi hijau dan food estate memiliki kesamaan mendasar, yakni

penggunaan lahan dalam skala sangat luas serta penerapan modernisasi agrikultur.

Perbedaannya, dalam pelaksanaan revolusi hijau, pengelolaan produksi komoditi

pertanian,khususnya beras di Indonesia secara teknis menyasar petani-petani skala

5 Fenomena kapitalisme ini merujuk pada semakin meningkatnya upaya untuk transformasi fungsi

produksi pangan menjadi sumber alternatif agrofuel/biofuel. khususnya dalam merespon wacana

kelangkaan energi global . Lihat lebih lanjut Friedman

26

kecil sebagai pelaku produksi, meski pada perkembangannya ditemukan kerancuan

pola pikir pembangunan agrikultur pada proyek tersebut. Sementara food estate

sebagai salah satu bentuk pembangunan yang begitu bertumpu pada korporasi

sebagai penggerak modal untuk mengelola produksi pangan. Dinamika dan

karakteristik-karakteristik tersebut dapat terbaca jelas dalam pola pengembangan

MIFEE.

Terlepas dari dinamika tersebut Itho dkk, juga turut menyepakati bahwa

keberlangsungan model-model pembangunan agrikultural dalam era third food

regime, secara khusus sangat mencerminkan adaptasi atas paradigma pembangunan

neoliberal. Prinsip-prinsip mendasar neoliberalisme yang secara fundamental

berakar kuat pada pandangan liberalisme ekonomi klasik seperti, liberalisasi

(perdagangan barang, jasa dan investasi), privatisasi, deregulasi, perlindungan atas

hak kekayaan intelektual, serta finansialisasi global dipandang sebagai paradigma

politik yang turut berinfiltrasi menjadi corak program pengembangan pangan

dewasa ini. Penamaan lain dari konsep third food regime ini adalah corporate food

regime yang dipopulerkan oleh Philip Mc Michael secara khusus demi menonjolkan

gambaran peranan korporasi yang begitu kuat dalam dinamika produksi, distribusi

dan konsumsi pangan global dewasa ini. Selanjutnya konsep corporate food regime

ini yang kemudian akan lebih ditonjolkan dalam melihat dominasi korporasi dalam

pelaksanaan program pembangunan agrikultu secara umum, dan MIFEE secara

khusus.

1.4.3. Aspek Praktik

Analisis dinamika konflik ranah sosial dan lingkungan pada pengembangan

MIFEE, tidak terhenti pada tataran paradigma dan institusional. Pada ranah

praktikal, baik Lamonge, maupun Itho dkk turut menggambarkan bahwa disamping

sebagai sebuah program yang disuarakan untuk membangun ketahanan energi-

pangan, serta untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung logistik global, MIFEE

juga turut terintegrasi dalam skema percepatan pembangunan ekonomi Indonesia

(P3EI). Sementara itu, logika pembangunan ekonomi negara yang tertuang dalam

MP3EI menargetkan pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui aktifitas

27

modernisasi dan industrialisasi terpadu yang menuntut porsi besar investasi,

khusunya dari sektor swasta/korporasi. Dengan kalkulasi kebutuhan dana

pembangunan mengikuti skema MP3EI yang mencapai 4.000 Trilyun (Grand

Design MP3EI, 2011) dapat dipastikan proyek-proyek percepatan pembangunan

ekonomi Indonesia adalah ruang untuk mengundang investasi korporasi dan arus

perputaran kapital secara besar-besaran, termasuk MIFEE.

Maka, hal ini menempatkan food estate MIFEE sebagai program

pembangunan yang tidak dapat terlepas dari logika akumulasi kapital. Sebagai

proyek yang membutuhkan dana dan penggunaan ruang/lahan dalam skala luas,

lahan dalam proyek MIFEE berfungsi menjad modal perputaran siklus kapital.

Guna menggambarkan penyebab praktik dari dinamika konflik yang berlangsung

dalam MIFEE, Lamonge dan Rachman mengajukan konsep accumulation by

disposession yang dirumuskan oleh David Harvey. Accumulation by disposession

berhubungan dengan siklus akumulasi kapital, atau bahkan konsep ini

menggambarkan dinamika yang berlangsung dalam siklus akumulasi kapital itu

sendiri. Accumulation by dispossession, secara sederhana dapat diartikan sebagai

praktik akumulasi kapital yang berlangsung diiringi pola-pola perampasan ruang

maupun alat produksi.

Kontur geografis Merauke yang didominasi oleh bentang hutan alam dan

belum banyak terjamah dianggap sebagai unutilized resources6, serta mode hidup

bertani dan berburu secara tradisional yang masih dipertahankan oleh sebagian

besar masyarakat di lokasi pengembangan MIFEE, menjadi katalis tersendiri yang

memicu anggapan tentang lahan potensial Merauke belum tergarap sempurna dan

membutuhkan pembangunan industrialisasi dan modernisasi pertanian (Zakaria

dkk, 2011 : 18). Oleh karena itu investasi kapital terbuka lebar bagi korporasi lokal

maupun asing untuk mengakusisi lahan dalam skala luas adalah pengantar guna

mewujudkan logika pembangunan bercorak neoliberal tersebut. Corak berfikir

demikian telah menempatkan MIFEE dalam diskursus kritik program

6 Istilah ini merujuk pada sumber-sumber daya alam yang masih murni dan berlum terkelola dalam

konteks pembangunan.

28

pembangunan yang berlangsung dibawah tekanan arus globalisasi kapital-neoliberal

(Itho dkk, 2011).

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa dalam proses pengembangannya,

proyek MIFEE kental atas praktik land disposession (perampasan lahan). Kebijakan

pengarusutamaan peranan korporasi telah memberi kesempatan luas untuk

berlangsungnya sirkulasi kapitalisme melalui praktik accumulation by disposession

terhadap lahan-lahan sumber kehidupan masyarakat lokal. Sebagai hasilnya

terciptalah serangkaian bentuk perubahan sosial dan lingkungan yang rentan

menimbulkan konflik, seperti berupa komodifikasi lahan dan manusia, konversi

kepemilikan tanah-tanah komunal menjadi tanah milik swasta, perubahan moda

produksi-konsumsi untuk tujuan industrial yang berujung pada pemiskinan

struktural. Fakta-fakta tersebutlah kini yang tengah dihadapi masyarakat lokal/adat

Merauke atas keberlangsungan proyek MIFEE.

Diskursus lanjutan yang muncul tentang MIFEE juga menghadirkan wacana

perdebatan tentang model pembangunannya yang dapat mengancam kedaulatan

pangan dan menempatkan masyarakat lokal Merauke kedalam posisi marjinal.

Industrialisasi/modernisasi agrikultur mendorong transformasi relasi dan mode

produksi tradisional yang selama ini dilakoni masyarakat lokal menjadi pengelolaan

skala luas namun dikuasai oleh kelompok-kelompok perusahaan-perusahaan untuk

kepentingan agribisnis modern. Situasi tersebut dipastikan dapat merubah struktur

kebiasaan masyarakat agraris pedesaan yang dapat menimbulkan benturan yang

berujung pada konflik.

1.5. Kerangka Konseptual

Literatur-literatur sebelumnya telah memberikan kontribusi terhadap

gambaran konsep yang dapat digunakan dalam menganalisis proses pembangunan

MIFFE dan relasinya terhadap socio-environmental conflict. Dibandingkan istilah

third food regime, penelitian ini akan lebih menggunakan konsep corporate food

regime untuk menekankan kebijakan terkait sistem produksi-distribusi

(perdagangan) pangan global dewasa ini yang membentuk situasi dimana korporasi

memiliki power dan ruang kuasa yang besar. Selain itu melalui penjabaran yang

29

lebih luas mengenai karakteristik corporate food regime, dapat digali dinamika

yang lebih kompleks terkait diskursus arah pembangunan agrikultur yang

berkembang secara global, paradigma ekonomi politik apa yang mengarahkan

konsep pembangunan tersebut, konsep teknis penerjemahannya alam program

pembangunan negara dan apa saja institusi-institusi pengarahnya.

Konsep neoliberalisme juga turut digunakan sebagai alat analisis paradigma

pembangunan berbagai sektor ekonomi dewasa ini, termasuk sektor pangan, tanpa

terlepas dari analisis relasi akumulasi kapital. Konsep neoliberalisme dalam

penelitian ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran David Harvey. Selain itu,

accumulation by disposession juga turut dihadirkan sebagai konsep yang digunakan

guna menjelaskan relasi antara paradigma pembangunan neoliberal dalam proses

keberlangsungan akumulasi kapital dengan hadirnya ketegangan-ketegangan sosial-

lingkungan, khususnya dalam pengembangan MIFEE.

1.5.1. Neoliberalisme Pembangunan Agrikultur di era Corporate Food

Regime

Analisis rezim internasional memiliki peranan penting dalam konteks

ekonomi politik dan hubungan internasional. Stephen Krasner mendeskripsikan

rezim internasional sebagai sebuah kesatuan hukum atau prinsip eksplisit dan

implisit, norma, aturan,dan prosedur pembuatan keputusan atas kepentingan-

kepentingan antara aktor yang berlangsung dalam dinamika hubungan internasional

(Krasner, 1982 :186 dalam Plahe et al, 2013 ). Umumnya ada dua pandangan utama

yang menganalisis tentang formasi rezim dan sebab musabab terbentuknya. Dalam

pandangan realis, rezim itu didesain oleh aktor hegemon yang menciptakan aturan-

aturan untuk mencapai tujuan strategis dan memaksakan kepatuhan kepada aktor-

aktor lainnya (Kindleberger 1986, 841-842 dalam Plahe et al, 2013). Menurut

pandangan ini stabilitas rezim akan tercipta secara alamiah sesuai dengan distribusi

kekuasaan yang ada. Kemudian dalam pandangan yang lebih liberal, rezim dilihat

sebagai respon atas kebutuhan dan kepentingan antar negara maupun aktor-aktor

lainnya yang menuntut mereka (aktor) berinteraksi dalam konteks kerjasama dan

30

menghasilkan keputusan atau norma yang harus dijalankan bersama (Keohane,

1984, 51-54).

Rezim dapat berwujud dalam berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor

pangan/agrikultur. Dinamika yang melingkupinya menyangkut misalnya aktivitas

perdagangan, finansial, politik dan ekonomi. Corporate food regime pada dasarnya

merupakan perkembangan lebih lanjut atas analisis food regime yang pertama kali

dikembangkan oleh Harriet Friedman dan Philip Mc Michael (1989) untuk

menggambarkan sistem produksi-distribusi pangan dibawah suatu relasi kekuasaan

(power) geopolitik global dan tak terpisahkan dari konteks akumulasi kapital.

Analisis food regime atau rezim pangan, kiranya dapat digunakan untuk

meneropong secara historis karakter dari dinamika produksi, distribusi maupun

norma pembangunan agri-pangan secara global yang dijalankan oleh negara-negara

didunia dalam struktur ekonomi-politik kapitalis global (Mc, Michael, 2009 : 139).

Karakteristik dari food regime tersebut tersusun berdasarkan struktur, aturan,

prosedur, norrma yang diarahkan oleh sebuah ideologi tertentu.

Baik oleh Friedman dan McMichael, menetapkan analisa periodisasi atau

pembabakan eskalasi rezim pangan7 dengan nama-nama yang berbeda, namun pada

dasarnya memiliki karakteristik yang sama jika ditarik berdasarkan garis historis.

Secara garis besar dapat ditarik pembabakan : colonial/first food regime (1870-

1914), post-war,second food regime (1947-1970), corporate/third food regime

(sejak 1980) (Plahe et al, 2013 : 312, Mc Michael, 2009, Fairbairn, 2010 : 5). First

food regime ditandai dengan dominasi kolonialisme oleh negara-negara Eropa,

terutama Inggris terhadap negara-negara koloni di wilayah pasifik. Pola produksi

pangan dinegara-negara koloni yang awalnya diutamakan untuk pemenuhan

kebutuhan internal diarahkan oleh pihak kolonial untuk berorientasi ekspor dan

dialirkan kepada negara-negara Eropa yang saat itu berada pada tahap awal

industrialisasinya. Dalam menjalankan rezim ini, negara-negara kolonial Eropa

7 Pengelompokan oleh Friedmann, Food Regime dimulai pada periode 1870-1914 sebagai Prewar

International Food Order, Colonial Diasporic Food regime, postwar food regime (1947-1973), the

mercantile industrial food regime dan yang termutakhir adalah corporate environmental food regime.

Sementara dalam kolaborisanya dengan Philip Mc Michael, baik friedmaan maupun Mc Michael

keduanya lebih menyerderhanakan pembabakan dalam first food regime, second food

regime/Postwar food regime, Third Food Regime/Corporate Food Regime.

31

industrial meliputi Inggris, Perancis, Jerman bekerjasama dalam kondisi yang

diistilahkan dengan “Imprealisme Kooperatif”8.

Second food regime atau post war food regime berlangsung beriringan

dengan prevalensi penerapan embedded liberalism sebagai ideologi kebijakan

ekonomi politik pembangunan suatu negara. Embedded liberalism lekat dengan

karakteristik kentalnya intervensi negara dalam perekonomian, termasuk dalam hal

pengembangan industri agrikultur. Pada masa ini, sektor agrikultur mendapat porsi

perhatian yang besar dalam pembangunan. Alat-alat kebijakan intervensionis

seperti subsdidi, kuota, dan insentif harga pada awalnya diterapkan oleh negara-

negara industrial maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang kemudian menjadi

norma praktikal dan diterima menjadi resep pembangunan agrikultur global (Plahe,

2013 : 314). Subsidi ini menghasilkan surplus produksi atas komoditas-komoditas

unggulan yang berkembang di negara-negara maju, seperti gandum, jagung dan

kedelai (Gimenez dan Shattuck, 2011 : 110).

Meski, era second food regime mengedepankan pola proteksionisme,

namun tidak dapat dikatakan bahwa liberalisme benar-benar ditinggalkan. Negara-

negara maju menggunakan strategi proteksionis dalam industri nasional, namun

dalam konteks perdagangan, negara-negara maju juga yang mendorong dibukanya

pasar untuk menyalurkan surplus produk agrikultural mereka khususnya kepada

negara-negara berkembang9. Surplus yang dialirkan kenegara-negara berkembang

ini, menciptakan karakteristik baru dari rezim sebelumnya, yakni dominannya arus

perdagangan komoditas pangan negara-negara maju ke negara-negara berkembang

(Gimenez dan Shattuck, 2011 : 110). Salah satu bentuk pengaliran surplus tersebut

adalah melalui program food aid Amerika Serikat, yang menjadikan negara ini

sangat menonjol dalam keberlangsungan rezim pangan kedua karena melalui

8 Imprealisme kooperatif merujuk pada kondisi dimana antar sesama negara imperialis, menjalani

kerjasama dan kesepakatan–kesepakatan tertentu untuk menggapai stabilitas hegemonik secara

lontinyu 9 Philip McMichael selalu menggunakan istilah untuk negara-negara industri maju yang hegemonik

ini sebagai northern Country dan negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang yang

baru lahir, maupun wilayah-wilayah jajahan sebagai Southern Country.

32

program food aid, Amerika Serikat berhasil secara perlahan membangun

hegemoninya atas perdagangan komoditas gandum dan gabah kasar10

.

Pada masa ini, sektor-sektor perekonomian mulai bergerak menuju

modernisasi dengan karakteristik konsumsi massa yang tinggi (mass high

consumption) (Rostow dalam Fakih, 2009 :50), dan sektor agrikultur merupakan

sektor vital perhatian pemabangunan. Proses developmentalisasi ini kemudian

mengawali titik subur pertumbuhan industri-industri swasta yang menguasai dunia

produksi maupun perdagangan komoditas agrikultur dan pangan. Krisis yang terjadi

di Amerika Latin di pertengahan tahun 1970-an dan kebangkitan kekuatan

korporasi secara perlahan meruntuhkan kepercayaan atas pola pembangunan

intervensi negara. Keadaan ini semakin mapan didukung dengan kemunculan

institusi-institusi keuangan global mapan yang gencar mendorong liberalisasi

ekonomi politik yang harus diterapkan dalam pembangunan, seperti IMF dan World

Bank. Oleh karena itu, agenda-agenda ekonomi politik neoliberal pun kemudian

berkembang secara global (Gwynne dan Kay dalam Gwynne and Kay, ed : 2004).

Kondisi demikian menggiring kemunculan era baru dalam rezim pangan

global, yakni penguatan kekuatan korporasi dalam pengelolaan produksi dan

distribusi produkproduk agrikultur yang tumbuh beriringan dengan globalisasi

paradigma neoliberal (Mc Michael, 2005). Era ini diistilahkan oleh Mc Michael

sebagai corporate food regime, yang melingkupi karakteristik :

In the corporate food regime, the political decomposition of citizenship and

or national sovereignity, via the neo-liberal „Globalization Project, reverse

the political gains („welfare‟ iand development states) associated ith the

periode of U.S. Hegemony. Fascilitating an unprecedented conversion of

agriculture across the world to supply a relatively affluent global consumer

class. The vehicle of this corporate driven process is the WTO‟S Agreement

on Agriculture, which institutionalizes a distinctive form of economic

liberalis geared to deepening market relations via the privatization of States

(Mc Michael, 2005 : 273).

10

Food Aid juga terkenal dengan nama Food For Peace Program yang diterbitkan pemerintahan

Amerika dalam sebuah aturan Hukum Publik (PL 408). Tujuan dari Food Aid itu sendiri telah

ditegaskan oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, yakni Dwight D, Eisenhower sebagai upaya

untuk ekspansi pasar ekspor komoditas agribisnis Amerika Serikat Sekaligus membendung pengaruh

dari Uni Soviet

33

Dekomposisi kedualatan nasional, privatisasi, pengarahan pembangunan

korporatik dan liberalisasi agrikultur untuk memenuhi kebutuhan kelas konsumen

sejahtera skala global, adalah beberapa ciri yang melekat pada corporate food

regime. Dinamika ini terus menerus didorong oleh institusi pendukung neoliberal

sebagai kendaraan penggeraknya, misalnya pada aspek perdagangan, terdapat

WTO melalui instrumen AOA-nya yang memperdalam kemandirian ekonomi

pasar. Keberadaan institusi WTO begitu dominan dalam menetukan regulasi

perdagangan bebas komoditas pangan. Proteksi perdagangan pada produk-produk

agri-pangan harus dihapuskan dan diganti menjadi hambatan tarif (Mc Michael,

2005 : 283-284).

Dalam konteks sistem produksi, secara lebih khusus, Mc Michael

mengemukakan bahwa sistem produksi pangan negara-negara selatan (negara-

negara berkembang) dalam corporate food regime berarti : peningkatan fokus

terhadap industrialisasi, agrikultur berorientasi ekspor, peningkatan dependensi

petani-petani skala kecil terhadap korporasi pertanian transnasional utamanya

dalam konteks kendali atas alat produksi. Analisis karakteristik corporate food

regime turut mengalami perkembangan berdasarkan dinamika-dinamika lain yang

terjadi dan memiliki pengaruh terhadap sektor agrikultur pangan. Misalnya adanya

dinamika penipisan cadangan energi dan implikasinya terhadap pangan (yang

menjadi salah satu faktor pendoring terjadinya krisis pangan), diikuti dengan

gencarnya investasi lahan skala luas dalam rangka pembangunan lahan

biofuel/agrofuel maupun produksi cadangan pangan turut menjadi karakteristik

dinamika global yang melekat dalamnya. Keseluruhan dinamika tersebut

bereskalasi dan berjalan beriringan dengan pengarusutamaan liberalisasi

perdagangan, investasi dan industrialisasi agri-pangan (Mc Michael. 2012 : 683).

Lebih lanjut, Mc Michael mengemukakan khususnya dalam konteks

pendekatan terhadap permasalahan krisis pangan, praktik-praktik perampasan dan

displacement (penggusuran) populasi masyarakat pedesaan nampak menjadi

fenomena lanjutan atau lebih tepatnya sebagai konsekuensi lanjutan atas pola

pembangunan agrikultur global pasca krisis, yang mengharuskan industrialisasi dan

penyediaan lahan dalam skala luas yang dikelola melalui kapital. Pola

34

pengembangan demikian menempatkan investasi korporasi sebagai sumber

penggerak kapital dan memberi keleluasaan dalam mengakselerasi dan

merestrukturisasi sirkulasi produksi-distribusi pangan global.

Dinamika -dinamika tersebut yang kemudian menguatkan pandangan tentang

sistem pangan global dalam era corporate food regime sengat erat dengan ideologi

neoliberalisme. Secara lebih kompleks, Erick Holt Gimenez membangun matriks

analisa terkait karakter sistem produksi, distribusi agri-pangan dalam era corporate

food regime. Analisis gimenez yang dikemukakan dalam penelitian ini secara

khusus menyorot tentang paradigma politik neoliberal yang mengarahkan pola

pengembangan agrikultur dalam konteks corporate food regime, dapat dilihat pada

tabe 1. Aspek-aspek yang diajukan oleh Gimenez meliputi : Diskursus; Institusi

Utama; Orientasi; Model;Pendekatan Terhadap Krisis pangan dan dokumen

pemandu.

Tabel 1. Matriks Dinamika Corporate Food Regime, dari Sudut Pandang

Politik Neoliberal.

10 Corporate Food Regime

Politik Neoliberal

Diskursus Food Enterprise

Institusi

utama

International Financial Corporation (World Bank); IMF, WTO USDA, Global food security bill, Green

Revolution, Millenium Challenge, Heritage Foundation, Chicago Global Council, Bill and Foundation, Feed

and Future (USAID)

Orientasi Korporasi

Model Overproduksi; Konsentrasi Korporasi; deregulasi pasar dan monopoli; monokulturisasi (termasuk untuk

bahan pangan organik); GMO, pengembangan agrouel; konsumsi global secara massal atas bahan pangan

industrial, pemarjinalisasian kaum pedesaan dan pertanian keluarga (skala kecil) serta sistem retail lokal.

Pendekatan

terhadap

krisis

pangan

Meningkatkan produksi industrial, nir-regulasi monopoli korporasi, perampasan lahan, ekspansi GMO,

Public-Private Partnership, liberalisasi pasar, bantuan pangan bersumber internasional

Dokumen

pemandu

World Bank Development Report 2009 ; Realizing a New Vision for Agricultur (World Economic Forum)

Sumber : Dikelola dari, Gimenez. 2010. Food security, Food Justice or Food

Sovereignity. Food First Backgrounder, Institute For Development Policy.

35

1.5.2. Neoliberalisme Dalam Kaitannya dengan Accumulation By Disposession

David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005 : 2)

mengemukakan bahwa neoliberalisme adalah bentuk mendasar liberalisasi

ekonomi yang terkemas dalam cara pandang institusional. Neoliberalisme

menjamin hak kepemilikan pribadi yang kuat, mekanisme pasar dan perdagangan

bebas (Robinson, 2008 : 17). Negara ideal dalam pemahaman neoliberal ialah

yang tidak mengintervensi mekanisme pasar, kecuali memfasilitasi dengan

mengeluarkan kebijakan-kebijakan pro-pasar, menciptakan pembukaan pasar bagi

pengelolaan elemen-elemen sumberdaya alam, bahkan hingga mempersiapkan

perlindungan “kemanan” guna menjamin keberlangsungan hak properti pihak

swasta, (Harvey, 2005). Untuk itu dipandang perlu untuk dibuat serangkaian

kebijakan seperti deregulas, privatisasi, liberalisasi perdagangan dan investasi,

pemotongan anggaran publik, serta hubungan kerja yang fleksibel11

.

Neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari pandangan klasik tentang

Ekonomi liberal. Hal ini berdasar pada argumen Balaam dan Veseth (2005 : 507)

bahwa neoliberalisme mengandung elemen-elemen penting liberalisme klasik yang

berangkat dari pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Kepercayaan pada

kebebasan individu (personal liberty), kepemilikan pribadi (private property),

inisiatif serta usaha swasta (private enterprise) untuk beraktifitas dalam

mengakumulasi profit. Selain itu neoliberalisme juga selalu diasosiasikan dengan

kapitalisme12

.

11

Penjabaran mengenai kebijakan-kebijakan teknis yang menjadi acuan negara dalam menjalankan

pembangunan bercorak politik neoliberal, tertuang dalam kemasan Konsensus Washington, yang

dirumuskan Joh Williamson. Meliputi : 1)Disiplin fiskal 2) Pencabutan anggaran belanja public

3)Reformasi perpajakan, perluasan basis pajak dan pemotongan tingkat pajak marjinal 4) Liberalisasi

finansial 5) pengaturan nilai tukar guna memicu pertumbuhan nilai tradisional 6) liberalisasi

peragangan 7) penghapusan halangan investasi asing langsung 8)deregulasi 9) perlindungan hak

kekayaan intelektual, dimana sistem hukum yang berlaku harus menjamin perlindungan hak milik

atas tanah, kapital dan bangunan 10) minimalisasi peran negara dalam pasar 11) Liberalisasi

Investasi , termasuk penghapusan hambatan untuk investasi asing. 12

Dalam pemahaman ekonomi klasik, Marx mengemukakan bahwa kapitalisme merupakan sebuah

sistem ekonomi yang didalamnya terbentuk hubungan sosial produksi antara pemilik alat produksi

dengan mereka yang tidak memiliki alat produksi dan harus menjadi tenga kerja dalam sebuah

sistem ekonomi (Marx, 1993 dalam Pontoh, 2014 : 6), melainkan (Pontoh, 2014 : 7). Dengan

demikian kapitalisme bukan hanya mengenai hubungan manusia dengan benda-benda produksi,

melainkan hubungan antar kelas.

36

Dalam kaitannya terhadap kapitalisme, neoliberalisme tidak hanya

ditempatkan sebagai paradigma ekonomi politik melainkan sebuah sistem yang

memungkinkan kapitalisme menemukan ruang perputarannya secara lebih leluasa.

Hal ini dapat dilihat dari sifat produksi kapital yang berujung pada pertukaran

komoditi di pasar bebas, dan disatu sisi paradigma neoliberal cenderung

memfasilitasi kebijakan pro-pasar. Sebagai tambahannya pemikir-pemirkir Marxis,

melihat neoliberalisme sebagai sebuah koreksi atas krisis dan pengorganisasian

kapitalisme yang pernah terjadi di dekade 1960-an dan pertengahan 1970-an.

Sebagaimana dibahasakan oleh Filho dan Johnston (2005 : 3), bahwa

neoliberalisme dalam perkembangannya hadir untuk mereproduksi siklus akumulasi

kapital.

Dalam siklus kapitalisme, sistem produksi komoditi bukan ditujukan untuk

dikonsumsi langsung melainkan diperdagangkan atau ditukarkan pada pasar, serta

adanya watak alamiah pemilik alat produksi untuk mengakumulasi profit tanpa

batas, yang melibatkan ekpolitasi tenaga kerja dan alam yang melintasi batas ruang

dan waktu (Pontoh, 2014 : 25). Logika kapitalisme mengharuskan modal/kapital

untuk terus menerus diputar agar surplus dan modal kembali (Antoro, 2012 : 40).

Hingga pada taraf tertentu surplus tidak dapat lagi diputar dalam suatu wilayah

ekonomi, maka krisis dapat tercipta akibat kelebihan akumulasi yang terjadi, oleh

karena dibutuhkan ruang baru untuk perpetuasi kapital secara terus menerus

(Harvey 2010 : 97). Ruang baru perputaran modal tidak hanya sekedar bertumpu

aspek finansial atau likuiditas uang, melainkan tanah, air, sumber daya alam, tenaga

kerja, infrastruktur dan tatanan kelembagaan dalam sistem kapitalisme merupakan

alat pembentuk siklus kapital yang baru utamanya dalam sektor agikultur.

Namun, modal berupa tanah, dan sumber daya alam lainnya, tidak bisa

didapatkan dengan mudah, sebaba ia begitu melekat secara kultural pada penduduk

lokal seperti petani. Seringkali ia harus didapatkan melalui cara tekanan dan

perampasan (Noer Fauzi Rachman, pengantar dalam Zakaria, dkk, 2011 : iv-xvi).

Dalam proses pembentukan kapital dari ruang baru, masyarakat lokal pedesaan

yang umumnya bekerja sebagai petani seringkali dipisahkan dari lahan hidup dan

lahan garapnya. Dengan kata lain sumber pembentuk kapital diraih melalui cara

37

perampasan (disposession). Hal ini yang kemudian dimaksud Harvey sebagai

proses accumulation by disposession. Atau akumulasi melalui perampasan. Proses

ini menjadi begitu permisif untuk dilaksanakan dibawah sistem Neoliberal, dan

pada konteks tersebut, negara memainkan peranan penting dalam, melegalkan

proses akumulasi perampasan lahan dalam rangka menjamin stabilitas keamanan

pembangunan.

Accumulation by disposession pada dasarnya, dirumuskan Harvey untuk

menggambarkan cara-cara yang digunakan pelaku ekonomi kapitalis atas kebutuhan

ruang baru untuk kembali memulai siklus akumulasi kapital. Dalam lingkup

pembangunan agrikultural, khususnya food estate, ekspansi kapital sering dijumpai

dilakukan dengan cara-cara perampasan, pemisahan masyarakat lokal /adat atas

tanah dan ruang hidup mereka yang merupakan alat produksi harannya melalui

mode komodifikasi dan privatisasi. Kondisi-kondisi pemisahan masyarakat lokal

dengan lahan sebagai alat produksi/mata pencaharian ini lah yang kemudian

menampakkan keberlangsungannya dalam proyek MIFEE dan dianggap sangat

kuat mendorong terdinya konflik-konflik berdimensi sosial dan lingkungan.

1.5.3. Socio-Environmental Conflict dan Manifestasinya dalam Kasus MIFEE

Dalam pemahaman yang disodorkan Lumerman dkk (2011 : 10), socio-

enviornmental conflict, terjadi apabila dua atau lebih aktor saling memiliki

ketidaksepahaman atas pola distribusi, kontrol dan penggunaan atas materi atau

elemen simbolik serta akses terhadap sumber daya alam13

. Menggunakan analisa

Bebbington (1997), konflik sosial terjadi melibatkan elemen-elemen aktor disertai

ruang kekuasaan yang mereka pegang dalam struktur sosial masyarakat. Analisa

tersebut dipertajam melalui pandangan Ralf Dahrendorf, bahwa konflik berkaitan

dengan siapa yang memegang kontrol atas alat produksi14

(Ngadisah :2003 hal 255-

257).

13

Konsepsi tersebut mengajukan pemahaman bahwa ada ketegangan yang terjadi disebabkan oleh

benturan kepentingan antar aktor atau subjek-subjek konflik untuk mengendalikan kekuasaan atas

melihat sumber daya alam, utamanya dalam kerangka fungsinya sebagai modal produksi 14

Merujuk pada pandangan ini, sumber terjadinya konflik adalah karena ada dominasi dari salah satu

pihak, dalam kepemilikan alat alat produksi yang menimbulkan negasi hak pada pihak lainnya..

38

Konflik pada dasarnya dipicu oleh rasa tidak adil, yang berangkat dari

permasalahan distribusi keuntungan, retribusi, prosedural, eksklusi moral, dan

hilangnya kesempatan mengakses sumber daya alam (Deutsch dalam Deutsch et

Coleman : 2000, 41). Lebih lanjut, Lumerman et al mengemukakan bahwa

pemahaman akan socio environmental conflict juga perlu dipandang dari bagaimana

karateristik yang membentuknya (Lumerman et al, 2011 : 10). Yakni : 1) Adanya

transformasi yang dapat berbentuk negatif maupun positif maupun negatif. 2) Ada

persaingan kekuasaan antar aktor pada sektor publik, privat dalam konteks

pembangunan sosial pada berbagai sektor. Di dalam relasi konflik tersebut, terdapat

strategi-strategi yang dilancarkan antar aktor yang ditujukan untuk memperkuat

keleluasaann untuk mengakses, menggunakan dan mengkontrol sumber-sumber

daya alam yang bernilai strategis. 3) Terakhir, socio-environmental conflict hadir

berdasarkan perbedaan pemahaman tentang pola kepengelolaan atas lingkungan

alam sebagai sumber penghidupan sehari-hari15

.

Eskalasi socio-environmental conflict nampak jelas mengemuka pada

pengembangan mega proyek MIFEE. Konflik utama berlangsung melibatkan

kepentingan aktor negara dan korporasi swasta, berhadapan dengan kepentingan

masyarakat lokal dan adat, organisasi-organisasi non pemerintah yang

menunjukkan sikap resistensi terhadap proyek pengembangan MIFEE. Negara

adalah aktor perumus kebijakan pembangunan modernisasi agrikultur semacam

MIFEE, sedangkan korporasi atau swasta adalah aktor dominan penggerak

modal/investasi atas lahan-lahan agrikultural dalam proyek tersebut. Sementara itu

diposisi yang berhadapan dengan negara dan korporasi, masyarakat lokal/adat pada

area pengembangan MIFEE,ialah komunitas yang telah lama bermukim mengelola

sumber daya alam dan lahan di wilayah pengembangan MIFEE dengan cara-cara

tradisional komunal yang harus menghadapi efek atas perubahan-perubahan sosial

ekonomi maupun sosial lingkungan dengan hadirnya pengembangan MIFEE yang

mengusung modernisasi agrikultur, menggunakan lahan dalam skala luas, dan

15 Secara lebih mendalam, dalam analisanya Lumerman dkk, mempertegas socio-environmental

conflict konflik dalam konteks diskursus ini, mencerminkan adanya kontradiksi antara pola

pengelolaan tradisional berhadapan dengan pola modernisasi pembangunan.

39

mengutamakan peranan korporasi sebagai pengelola produksi. Identifikasi

mengenai aktor dan diskursus kepetingannya dalam kerangka socio-environmental

conflict MIFEE digambarakan dalam Bagan 1.

Pada perkembangannya, selain berlangsung secara vertikal, antara

masyarakat lokal dengan perusahaan dan pemerintah, perkembangan konflk

sebbagai dinamika lanjutan yang terjadi pasca penerapan MIFEE juga medorong

munculnya konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Dinamika konflik

horizontal tersebut biasanya terjadi misalnya karena tidak kuatnya sikap solid antar

kelompok masyarakat dalam mempertahankan tanah adat dari tawaran

pembelian/penyewaan oleh perusahaan.

Bagan 1. Identifikasi aktor, diskursus kepentingan socio-environmentalconflict

dalam MIFEE.

Sumber : Penulis, 2014. Hasil analisis atas data perkembangan kasus.

1.5.4. Kerangka Pemikiran Antar Konsep

Pengembangan food estate secara umum dan MIFEE dalam kerangka lebih

khusus, secara dominan menunjukkan beberapa dinamika karakter pembangunan

agrikultural dalam era corporate food regime yang telah dijabarkan sebelumnya.

Modernisasi, industrialisasi, penekanan investasi korporatik pada lahan-lahan

agrikultural dalam skala luas, dan tuntutan untuk penghasilan produksi besar-

Konflik

Civil Society ,

Meliputi : (Masyarakat lokal/adat Malind

Anim, Organisasi non pemerintah, Kelompok

advokasi, kelompok solidaritas) :

Diskursus :

- Kedaulatan akan ruang hidup/lahan,

kebudayaan dan identitas

- Kedaulatan pangan

- Marjinalisasi masyarakat adat/lokal

dalam pembangunan

- Kekerasan

- Dampak MIFEE terhadap aspek

kehidupan sosial ekonomi dan

demografi lanjutan mayarakat

lokal/adat disekitar wilayah

pengembangan MIFEE

Negara, (Pemerintah pusat daerah )

Diskursus :

- Merespon tuntutan pembangunan agrikultur, khususnya pasca

krisis pangan dan energi 2008.

- Akselerasi pembangunan ekonomi nasional melalui sektor

pangan dan energl

- Pemaksimalan pemanfaatan ruang untuk pembangunan

- Menjadikan Indonesia sebagai lumbung logistik Global,

Modernisasi dan penghapusan kemiskinan khususnya wilayah

Papua melalui metode industrialisasi agrikultu dengan

penggunaan lahan skala luas

Korporasi Nasional dan Transnasional/

Diskursus :

- Mendudkung strategi pembangunan pemerintah

- Maksimalisasi profit melalui pola modernisasi agrikultur dalam

lahan skala luas

40

besaran adalah beberapa contoh karateristik pola pengembangan agri-pangan dalam

era corporate food regime. Karaktersitik tersebut terus didorong tanpa terlepas dari

pengaruh corak ekonomi politik neoliberal. Pola pengembangan MIFEE yang lekat

dengan karakteristik neoliberalisme, telah mengundang pro-kontra tersendiri. Bagi

para pendukung pembangunan ekonomi investasi, investasi yang masuk dalam

pengembangan food estate selain dianggap dapat merangsang percepatan produksi

pangan, dapat merangsang pendapatan pemerintah dan sekaligus juga untuk

mendapatkan pendapatan petani. Sehingga diharapkan bahwa program food estate

dapat menjadi pembelajaran bagi petani skala kecil untuk menjadikan lahan mereka

berorientasi bisnis, bukan sekedar lahan bercocok tanam semata (Nadjib, 2010

dalam Zakaria dkk, 2011 : 30).

Premis tersebut mendapatkan tantangan pesimis yang meneropong efek

negatif pola pembangunan pangan yang demikian. Serikat Petani Indonesia

menganggap bahwa program pembangunan food estate terlalu fokus kepada

kepentingan investor/korporasi, yang akan menciptakan permasalahan struktural

lebih lanjut yakni, intensitas keberlangsungan konflik sosial dan lingkungan

(Arsyad, 2010, dalam Zakaria dkk, 2011 : 29), sebagai dampak dari perubahan atas

mode produksi pangan dan pengelolaan lahan yang dihadirkan MIFEE kepada

masyarakat lokal/adat. Berdasarkan orientasi pengelolaan lahan, terdapat perbedaan

yang signifikan, antara tujuan pemenuhan kebutuhan pangan harian oleh

masyarakat lokal/adat, diperhadapkan dengan orientasi produksi massal guna

memenuhi kebutuhan suplai perdagangan komoditas pangan, yang ditawarkan

proyek MIFEE16

. Sementara itu kontradiksi paling mendasar, berkaitan dengan hak

kepengelolaan propertial atas lahan sebagai alat produksi pangan harian yang akan

bertransformasi dari kepemilikan publik lokal/adat menjadi hak pengelolaan oleh

korporasi dan segelintir pihak.

MIFEE yang hadir untuk mengemas agrikultur dengan metode

pengembangan modern, teknokratik, dan sistem properti privat, ciri khas

kapitalisme neoliberal, sangat bertolak belakang dengan tradisi otonomitas dan

16

Argumen tersebut sangat beralasan sebab dalam rancangan idealnya, Food Estate memang

dijalankan untuk menghasilkan produksi pangan berorientasi ekspor.

41

komunal masyarakat lokal/adat merauke. Pola agrikultural tradisional dan komunal

masyarakat lokal Malind Anim ditekan untuk bertranformasi secara drastis kepada

model industrialisasi, korporatisasi dan ekploitasi lahan dalam skala luas melalui

proyek Food Estate MIFEE. Perbedaan antara kedua mode produksi antara MIFEE

dengan kebiasaan masyarakat lokal/adat Merauke, tidak hanya menyangkut jenis

teknologinya, melainkan juga hal-hal yang menyangkut sumber daya manusia

(Thorne Steve, 2007 dalam Zakaria dkk, 2011). Oleh karena itu, perbedaan ini

memiliki kecenderungan benturan, persaingan antara kegiatan baru dengan yang

telah ada baik dari segi waktu sumber daya, pengorganisasian, maupun gagasan

(Vel, 2010 dalam Zakaria dkk, 2011 : 77). Selanjutya benturan antara kedua mode

produksi pangan dan sistem agrikultur tersebut tergambarkan dalam bagan 2.

Bagan 2. Benturan Perbedaan Antara Pola Agrikultur MIFEE dan pola

Agrikultur Tradisional masyarakat lokal/adat

Sumber : Penulis, hasil analisis atas literatur penelitian dan perkembangan kasus.

Keberadaan konflik tercermin melalui suburnya resistensi dari masyarakat

lokal, maupun ogranisasi non pemerintah terhadap proyek MIFEE, yang secara

mendasar memperlihatkan kecemasan tentang dampak lanjutan dari upaya

tranformasi tersebut. Terampasnya lahan dalam skala yang mulanya dikelola secara

komunal dan tradisional kemudian beralih dibawah hak penguasaan korporasi,dengan

Pola hidup dan Pengembangan

Agrikultu oleh masyarakat lokal/adat

di wilayah pengembangan MIFEE):

- Tradisional

- Pengelolaan lahan dalam skala

kecil

- Tanah dan sumber daya alam

agikultural dipercaya sebagai

sumber kehidupan dan symbol leluhur

- Adanya sistem pelestarian alam

(sebagai bentuk tanggung jawab

kepada sumberdaya alam sebagai alat produksi harian dan

- Produksi tidak berorientasi ekspor

atau perdagangan dalam skala luas, melainkan untuk memenuhi

kebutuhan pangan harian

- Sistem retail masih lokal

- Pengelolaan lahan agrikultural

secara komunal

- Non GMO

Mode Pengembangan Agrikultur Modern secara Global

Aspek Paradigma Pembangunan Neoliberal

Aspek Praktik

Accumulation By Disposeesion

Dinamika Institusional

Corporate

Food Regime

Pola pembangunan agrikultur dan pendekatan

terhadap krisis pangan di era Corporate Food Regime

- Overproduksi

- Konsentrasi korporasi, (liberalisasi investasi korporasi dalam hal produksi dan ekspansi lahan agrikultural

- Deregulasi pasar perdagangan pagan

- Monokulturisasi

- Pengembangan GMO

- Peningkatan produksi Industrial

- Peningkatan ekspansi lahan dalam skala luas

- Public-Private Partnership,

- Produksi Pangan orientasi ekspor atau perdagangan

VS

Socio – Environmental Conflict

Kebijakan

agrikul-

tur negara

Food

Estate :

MIFEE

Kapitalisme

42

metode produksi industrial adalah dampak mayor yang kemudian dapat menciptakan

dampak sosial ekonomi dan lingkungan lanjutan17

.

1.6. Argumen Utama

Penelitian ini melihat MIFEE sebagai satu model pembanguan agrikultur dan

terhubung dengan arahan pembangunan sektor agrikultur serta sistem produksi-

distribusi pangan secara global dalam keberlangsungan era corporate food regime,

khususnya pasca krisis pangan 2007-2008. Sementara itu, dinamika pembangunan

sektor agrikultur dalam era corporate food regime dewasa ini, berjalan beriringan

dengan pengarusutamaan corak pembangunan ekonomi politik neoliberal, yang

ditandai oleh liberalisasi perdagangan dan investasi, dominasi korporasi dan

manajemen industrial. Pembangunan sektor agri-pangan yang berjalan diatas

paradigma neoliberal, khususnya dalam menempatkan pendekatan atas krisis secara

dominan berfokus mengarahkan produksi massal berorientasi ekspor, penerapan

manajemen modern/industrialisasi, liberalisasi perdagangan dan investasi, serta

ekstensifikasi lahan-lahan agrikultur guna mencapai target produksi.

Keberlangsungan socio environmental conflict dalam program MIFEE dilihat

sebagai dampak lanjutan atas kebijakan pembangunan yang berakar dari paradigma

neoliberal. Pola pembangunan agrikultur-pangan neoliberal tersebut, secara

prinsipil, memiliki benturan fundamental yang berkaitan dengan perubahan pola

kelola/metode produksi dan struktur kepemilikan lahan dengan sistem agrikultur

17

Berdasarkan literatur penelitian, dan berita perkembangan terkini kasus MIFEE, didapatkan

bahwa dampak sosial ekonomi telah dirasakan semenjak awal pemerataan lahan dilakukan oleh

perusahaan. Masyarakat mengeluhkan tentang semakin berkurangnya area hutan yang merupakan

lahan berburu dan memangkur sagu sehari-hari oleh masyarakat adat, semakin berkurangnya hewan

buruan akibat pemerataan lahan hutan, yang mengakibatkan lamanya rentang waktu mereka bisa

mendapatkan makanan sebagi sumber nutrisi. Masyarakat secara perlahan diarahkan untuk

bergantung pasa sistem ekonomi kerja-upahan, yang mana dikeluhkan masyarakat, mereka hanya

diposisikan sebagai pekerja kelas bawah berstatus Buruh Harian Lepas dengan upah yang tidak

memadai dalam memnuhi kebutuhan pangan keluarga. Kemudian dari aspek lingkungan, masyarakat

mengeluhkan tercemarnya beberapa sungai utama yang merupakan sumber perairan masyarakat.

Selain memberi dampak kesehatan, pencemaran tersebut juga secara langsung semakin dapat

memperdalam rentannya kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya dalam mengakses makanan.

Sebab pencemaran sungai juga merusak ekosistem sumber daya alam yang ada disekitarnya.

43

skala kecil, tradisional dan komunal masyarakat lokal/adat Malind Anim. Berangkat

dari hal tersebut, maka argumen utama yang dirumuskan pada bagian pembahasan

awal ini adalah bahwa dinamika ekonomi socio environmental conflict yang terjadi

di MIFEE, tidak hanya terletak pada aspek teknis pelaksanaan, namun ia juga

berakar dari penyerapan paradigma pembangunan pangan neoliberal yang

digunakan untuk mengembangkannya.

Paradigma neoliberal terbangun dan mempengaruhi pola-pola pengembangan

agrikultur dalam era corporate food regime. Paradigma yang berakar dari prinsip

mendasar liberalisme ekonomi klasik tersebut dalam konsep pertanian pangan

skala luas, secara timpang akan memberi ruang yang besar bagi swasta

(korporasi/pemilik faktor-faktor produksi, investor) untuk mengelola lahan skala

luas dan meraih profit atasnya. Disamping itu, pada aspek praktiknya,

pembangunan neoliberal dalam kaitannya dengan kapitalisme, sangat mudah

mengakomodasi praktik-praktik accumulation by dispossession (kegitan akumulasi

kapital yang terlaksanan dengan serangkaian praktik perampasan)18

khususnya

dalam kerangka menghadirkan lahan sebagai modal awal pengembangan food

estate. Aktor korporasi menjadi mesin penggerak utama praktik tersebut yang

mendapatkan kemudahan liberalisasi maupun deregulasi investasi dan izin konsesi

lahan dari negara.

Praktik accumulation by disposession ini sendiri telah menghadirkan

perubahan-perubahan drastis yang berdampak negatif kepada masyarakat lokal/adat

dalam konteks sosial-ekonomi dan lingkungan. Perubahan-perubahan yang tidak

sesuai dan cenderung memisahkan masyarakat lokal/adat dari pembangunan,

mengabaikan hak ekonomi, sosial dan budaya mendorong timbulnya socio

environmental conflict. Konflik tersebut tercermin melalui setiap bentuk resistensi

dan kritik yang dilancarkan oleh masyarakat adat/lokal Merauke, akan

pengembangan proyek MIFEE.

18

Perampasan yang dimaksud adalah perampasan ruang/lahan yang sebelumnya telah digunakan

secara tradisional oleh masyarakat adat/lokal sebagai sumber produksi, secara drastis beralih

menjadi Hak Guna Usaha korporasi melalui izin konsesi yang diberikan oleh negara dan sebagai

rasionalisasi atas proyek pembangunan.

44

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Teknik Pengumpulan data

Riset penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan

dilakukan melalui penelusuran literatur buku dan dokumen-dokumen yang

merupakan hasil penelitian lapangan terkini yang dipublikasikan oleh peneliti,

berbagai organisasi non-pemerintah, maupun organisasi global. Data-data tersebut

berkaitan dengan dinamika sistem pangan global, pengembangan food estate dan

socio-environmentl conflict yang terjadi atasnya. Kemudian secara teoretik,

penelitian ini menelusuri teori-teori dari para yang berkaitan dengan fenomena

sistem pangan global dewasa ini. Sebagian besar data-data tersebut didapatkan

dengan cara menjalin komunikasi organisasi yang telah melakukan penelitian

lapangan langsung pada proyek MIFEE, diantaranya adalah Sayogjo Institute,

Indonesia for Global Justice, Serikat Petani Indonesia/La Via Campesina, Yayasan

Pusaka dan Tim Riset Awas MIFEE.

Data yang digunakan bersifat sekunder diperoleh melalui telusur

kepustakaan,berupa buku-buku, artikel, jurnal, dokumen resmi, artikel berita dan

data-data lain terkait permasalahan MIFEE, karakteristik rezim pangan global,

paradigma neoliberal dalam keberlangsungan corporate food regime,kapitalisme

dan akumulasi kapital, socio-environmental conflict, yang dapat menunjang

penelitian ini. Selanjutnya data-data yang telah diperoleh dari sejumlah literatur

tersebut akan diklarifikasi untuk menunjang kebuuhan setiap bab dalam tesis ini.

Sedangkan untuk penelitian lebih mendalam penulis mengakses kebijakan-

kebijakan pemerintah indonesia dalam hal regulasi hukum terkait dengan konsep

pengembangan food estate di Indonesia dan kebijakan pemerintah daerah Merauke

dalam program MIFEE.

1.7.2. Teknik Analisis Data

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian ilmu sosial yang

mencoba melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat untuk menjelaskan

makna-makna tertentu yang terjadi dalam konteks sosial (Cassel Simon dalam

45

Bogdan dan Taylor : 2003). Metode ini menekankan pada pentingnya penelitian

pada data-data melalui sumber-sumber tertulis dengan harapan akan mendapatkan

data secara menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti. Studi

kasus akan penulis gunakan untuk mengeksplorasi lebih dekat dalam konteks

faktual berbagai faktor yang berpengaruh yang telah diidentifikasi sebelumnya.

1.8. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini terdiri atas 5 Bab. 4 bab diantaranya digunakan untuk

pembahasan penelitian. Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang

mengapa penelitian diambil. Pada bagian pendahuluan ini juga akan dibahas

mengenai klaim-klaim rasionalisasi elit pemerintahan yang menjadi dasar tentang

pendirian Food estate MIFEE. Pada bab 1 pula, khususnya bagian studi literature

dan keranka konseptual dijelaskan tentang bagaimana karakteristik pengembangan

food estate sehingga ia diasosiasikan sebagai program pembangunan agrikultu

pangan yang berjalan di atas logika pembangunan neoliberal. Bab 2 akan

menjawab sub pertanyaan penelitian pertama mengenai bagaimana pearadigma

neoliberal digunakan sebagai pendekatan dalam memahami dan mencari solusi atas

krisis pangan global dan bagaimana relasinya terhadap fenomena global Food

estate dalam konteks dinamika corporate food regime. Bab 3 membahas mengenai

bagaimana paradigma neoliberal terinstitusionalisasikan secara lebih khusus ke

dalam kedalam proyek food estate MIFEE. Bab 4 pembahasan terakhir membahas

mengenai praktik dan dampak socio-environmental conflict dalam MIFEE, serta

menguraikan bangunan korelasi antara paradigma neoliberal, accumulation by

disposession dan dorongan keberlangsungan socio-environmental conflict. Bab 5

adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan penelitian