bab i pendahuluan a. latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah mencatat bahwa konflik yang dilandasi oleh perbedaan identitas sering kali terjadi di belahan dunia. Perang salib di Yerusalem, gerakan reformasi yang dimotori oleh Martin Luther memecah kelompok Katolik dan Protestan di Jerman, kerusuhan antara kelompok Muslim dan Kristen di Poso, pertikaian antara kelompok etnis Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dan masih banyak lagi yang lain. Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga menyebabkan banyak kehilangan nyawa. Konflik antar identitas juga masuk ke ranah politik. Memang, wujud konflik di ranah politik tidak selalu terbuka atau memakan korban jiwa tetapi identitas seringkali dijadikan sebagai komoditas politik oleh para politisi. Mereka menggunakan identitas sebagai alat untuk mendapatkan dukungan suara yang menjadi prasyarat untuk meraih jabatan politik. Penggunaan identitas untuk memperoleh suara sangat fungsional sebab identitas memiliki segmen pasar tersendiri. Status sosial dan ekonomi, domisili, dan agama dipercaya menentukan pilihan partai politik atau kandidat para pemilih (Ambardi, 2011: 253). Mereka cenderung memilih kandidat atau partai politik berdasarkan kesamaan identitas mereka. Secara operasional, pemilih menentukan pilihan politik mereka di pemilihan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) misalnya. Dalam Pilkada, semua kandidat memiliki peluang yang sama untuk menang karena kemenangan ditentukan oleh jumlah perolehan suara tertinggi. Di Jakarta, Pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur digelar pada tahun 2012. Pilkada 2012 adalah Pilkada ke dua yang digelar secara langsung di Ibu Kota setelah Pilkada tahun 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo dan Priyanto. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat. Mereka adalah Foke-Nara, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono. Mereka bersaing untuk memperebutkan kursi 01 dan 02 di Ibu Kota Negara.

Upload: trinhthuy

Post on 29-Jul-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah mencatat bahwa konflik yang dilandasi oleh perbedaan identitas

sering kali terjadi di belahan dunia. Perang salib di Yerusalem, gerakan reformasi

yang dimotori oleh Martin Luther memecah kelompok Katolik dan Protestan di

Jerman, kerusuhan antara kelompok Muslim dan Kristen di Poso, pertikaian

antara kelompok etnis Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dan

masih banyak lagi yang lain. Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan

kerugian materil tetapi juga menyebabkan banyak kehilangan nyawa.

Konflik antar identitas juga masuk ke ranah politik. Memang, wujud konflik

di ranah politik tidak selalu terbuka atau memakan korban jiwa tetapi identitas

seringkali dijadikan sebagai komoditas politik oleh para politisi. Mereka

menggunakan identitas sebagai alat untuk mendapatkan dukungan suara yang

menjadi prasyarat untuk meraih jabatan politik. Penggunaan identitas untuk

memperoleh suara sangat fungsional sebab identitas memiliki segmen pasar

tersendiri. Status sosial dan ekonomi, domisili, dan agama dipercaya menentukan

pilihan partai politik atau kandidat para pemilih (Ambardi, 2011: 253). Mereka

cenderung memilih kandidat atau partai politik berdasarkan kesamaan identitas

mereka.

Secara operasional, pemilih menentukan pilihan politik mereka di pemilihan,

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) misalnya. Dalam Pilkada, semua kandidat

memiliki peluang yang sama untuk menang karena kemenangan ditentukan oleh

jumlah perolehan suara tertinggi. Di Jakarta, Pilkada untuk memilih gubernur dan

wakil gubernur digelar pada tahun 2012. Pilkada 2012 adalah Pilkada ke dua yang

digelar secara langsung di Ibu Kota setelah Pilkada tahun 2007 yang dimenangkan

oleh pasangan Fauzi Bowo dan Priyanto. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti

oleh enam pasangan kandidat. Mereka adalah Foke-Nara, Hendardji-Riza,

Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono. Mereka bersaing

untuk memperebutkan kursi 01 dan 02 di Ibu Kota Negara.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

2

Pilkada DKI Jakarta 2012 digelar dua putaran karena pada putaran pertama

yang digelar pada tanggal 11 Juli 2012 tidak memunculkan satu pasangan

kandidat yang mampu memperoleh suara mayoritas, minimal 50% + 1. Oleh

karena itu, empat pasangan harus tersingkir di putaran pertama, masing-masing

adalah Hendardji-Riza, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono sementara

dua pasangan lain yang memiliki perolehan suara tertinggi satu dan dua di putaran

pertama berhak melaju ke putaran kedua yang digelar tanggal 20 September 2012.

Mereka adalah pasangan Foke-Nara dan pasangan Jokowi-Ahok.

Persaingan antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok untuk merebut kursi 01 DKI

menjadi menarik tidak hanya karena keduanya diusung oleh partai yang memiliki

basis massa yang kuat tetapi juga karena latar belakang identitas kedua pasangan

tersebut berbeda secara mendasar. Foke-Nara diusung oleh Partai Demokrat,

PAN, PPP, Hanura, dan PKB serta di putaran kedua mereka mendapat tambahan

dukungan dari Partai Golkar dan PKS yang calon-nya tersingkir di putaran

pertama. Jokowi-Ahok diusung oleh Partai PDIP dan Partai Gerindra.

Perbedaan latar belakang identitas antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok paling

mendasar dapat terlihat dari dua hal yaitu: perbedaan etnis dan agama. Foke dan

Nara berasal dari etnis Betawi dan keduanya penganut ajaran agama Islam. Etnis

Betawi adalah etnis asli yang mendiami DKI Jakarta dan penduduk DKI Jakarta

mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, pasangan ini seringkali mengklaim

diri sebagai kandidat yang paling mengetahui dan paling mampu menyelesaikan

persoalan di Jakarta, terlebih saat ini Foke masih menjabat sebagai incumbent atau

gubernur patahanna.

Berbeda halnya dengan Jokowi-Ahok, pasangan ini berlatar belakang

campuran antara etnis Jawa dan Tionghoa. Jokowi berasal dari etnis Jawa

sementara Ahok dari etnis Tionghoa. Agama mereka juga berbeda, Jokowi

beragama Islam sementara Ahok beragama Kristen Protestan. Latar belakang

identitas pasangan ini menjadi penyebab mereka seringkali dianggap tidak

mewakili kepentingan rakyat DKI Jakarta. Selain itu, mereka juga diidentifikasi

sebagai “orang lain” atau pendatang karena keduanya berasal dari luar Jakarta.

Jokowi berasal dari Kota Solo sementara Ahok berasal dari Belitung.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

3

Kedua pasangan tersebut dapat menggunakan identitas sebagai alat untuk

menggaet suara serta dapat menggunakannya untuk menyerang kandidat lawan.

Pasangan Foke-Nara dapat memanfaatkan identitas sebagai alat untuk meraih

dukungan dari pemilih yang beretnis Betawi atau beragama Islam sementara

pasangan Jokowi-Ahok dapat memanfaatkan identitas untuk meraih dukungan

dari pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau etnis lain yang juga banyak

mendiami Ibu Kota. Pasangan Jokowi-Ahok juga berpotensi untuk merebut suara

dari pemilih yang beragama non-muslim di Jakarta. Di sisi lain, pasangan Jokowi-

Ahok bisa diserang sebagai representasi “orang lain” karena mereka berasal dari

luar Jakarta.

Konsekuensi dari penggunaan identitas dalam arena politik adalah munculnya

kontestasi identitas. Hal ini nampak dalam iklan politik para kandidat. Baik Foke-

Nara maupun Jokowi-Ahok menggunakan iklan politik sebagai sarana kampanye.

Penanda-penanda identitas (seperti: etnis, agama, dan gender) ditampilkan

menonjol dalam iklan politik mereka. Penanda-penanda identitas dalam iklan

politik itu digunakan untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih. Sasarannya

adalah pemilih yang identitas-nya sama dengan penanda identitas yang

ditampilkan di iklan.

Mereka beriklan di media massa cetak dan elektronik. Iklan politik digunakan

karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk bertemu langsung

dengan pemilih. Dengan bantuan iklan politik mereka berharap pesan-pesan

politik-nya sampai kepada pemilih tanpa mereka harus bertemu secara langsung.

Tujuan akhir dari penggunaan iklan politik oleh para kandidat agar mereka

dikenal dan dipilih saat pemilihan berlangsung sebab perolehan suara mayoritas

dalam pemilihanlah yang dapat mengantarkannya memenangkan Pilkada DKI

Jakarta 2012.

B. Rumusan Masalah

Dari gambaran permasalahan penelitian tersebut memunculkan rumusan

masalah yang kemudian diangkat menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah

bagaimana politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

4

dalam iklan politik mereka periode tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode

14-16 September 2012 di Pilkada DKI Jakarta 2012?

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,

tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan atau mengungkap fakta-fakta tentang

politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok di iklan politik

mereka dalam keikutsertaan-nya di Pilkada DKI Jakarta 2012.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan dua manfaat, yaitu: manfaat secara teoritis

dan manfaat secara praktis:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya komunikasi politik.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi

dan rujukan para politisi dalam menggunakan iklan politik untuk tujuan

politik, yaitu memperebutkan jabatan politik seperti: bupati, wali kota,

gubernur, presiden, atau anggota legislatif. Selain itu, penelitian ini

diharapkan dapat menjadi materi pendidikan politik masyarakat luas.

E. Kerangka Pemikiran

Pilkada DKI Jakarta yang berhasil mengantarkan pasangan Jokowi-Ahok

menduduki kursi 01 di DKI Jakarta menyita perhatian masyarakat luas.

Kedudukan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara menjadikan proses Pilkada DKI

Jakarta selalu dinantikan oleh rakyat di seluruh penjuru negeri. Mereka bukan

hanya yang memiliki hak pilih atau penduduk Jakarta melainkan juga publik yang

tinggal di pelosok negeri ikut memerhatikan pesta demokrasi rakyat ibu kota.

Proses Pilkada DKI Jakarta yang digelar dua putaran senantiasa menjadi isu

hangat di media massa. Baik media cetak maupun media elektronik menyoroti

beragam informasi seputar Pilkada DKI Jakarta. Mereka memberitakan tahapan

pendaftaran calon, aktivitas kampanye, debat kandidat, pemilihan, perhitungan

suara, penetapan pemenang, sampai pelantikan gubernur dan wakil gubernur

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

5

terpilih tidak luput dari pemberitaan. Oleh karena itu, melalui media massa, publik

dapat mengikuti perkembangan Pilkada DKI Jakarta di manapun mereka berada.

Aktor utama dalam komunikasi politik di Pilkada DKI Jakarta yaitu aktor

politik, media massa, dan publik berhasil memaksimalkan perannya masing-

masing. Aktor politik, baik Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, menggunakan

media massa untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat luas.

Beriklan, misalnya, di media massa. Secara sederhana iklan politik adalah

penggunaan ruang iklan secara komersial untuk menyampaikan pesan politik

kepada khalayak massa (McNair, 1999: 94). Tujuan aktor politik beriklan di

media massa adalah untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih.

Media massa, selain menjalankan fungsi bisnis melalui iklan, juga

menjalankan fungsi sebagai bank informasi. Hal ini sejalan dengan pendapat

McQuail (2010: 54) yang berpandangan bahwa media massa bisa menjadi

kekuatan ampuh untuk mencerahkan publik. Dalam hal ini, media massa

mencerahkan publik dengan pelayanan informasi seputar Pilkada DKI Jakarta.

Berjalannya fungsi informasi oleh media massa memungkinkan terpilihnya

pemimpin yang berkualitas.

Hubungan saling menguntungkan antara aktor politik, media massa, dan

publik pada gilirannya akan meningkatkan kualitas demokrasi. Publik dapat

memilih pemimpin yang berkualitas karena mereka memilih berdasarkan pilihan

rasional. Hal ini dimungkinkan karena mereka memperoleh informasi yang

memadai melalui media massa tentang calon pemimpin yang mereka akan pilih.

Lain halnya dengan iklan politik, meskipun mengandung informasi tetapi pesan

yang dimuat dalam iklan politik sepenuhnya dikendalikan oleh aktor politik. Oleh

karena itu, publik tidak mendapatkan informasi yang lebih komprehensif.

Aktor politik dan tim-nya menentukan dan memformat materi iklan mereka

sendiri. Setelah itu, mereka membeli ruang iklan di media massa untuk

dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Iklan tersebut bertujuan untuk

mempengaruhi dan membujuk pemilih agar mereka memilih-nya di bilik suara.

Olehnya, materi iklan tidak hanya memuat visi misi kandidat atau tawaran solusi

atas permasalahan yang terjadi di masyarakat tetapi juga materi iklan yang bisa

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

6

menyentuh hubungan emosional para pemilih. Di sinilah pentingnya identitas

menjadi bagian dari materi iklan politik.

Tujuan penggunaan identitas sebagai materi iklan politik tidak lain adalah

untuk memperoleh suara dari pemilih yang memiliki kesamaan identitas dengan

kandidat. Hal ini terjadi karena sebagian pemilih menggunakan pendekatan

sosiologis untuk memilih pemimpin. Pendekatan ini menolak pendekatan

individualistik baik model pilihan rasional maupun identifikasi partai tetapi lebih

menekankan pada pendekatan kelompok (Martin Harrop dan William L. Miller,

1987:157). Pemilih diyakini akan memilih pemimpin berdasarkan kesamaan

kelompok identitas antara mereka dan calon pemimpin-nya, seperti: kesamaan

etnis, agama, gender, kelas sosial, dan sebagainya.

1. Konsep Identitas

Konsep identitas menjadi perbincangan hangat dalam kajian ilmu sosial

beberapa dekade terakhir ini. Pusat perdebatannya terletak pada dua gagasan

yang saling bertentangan. Kedua gagasan tersebut adalah esensialisme dan

anti-esensialisme (Barker, 2011: 174). Gagasan esensialisme berpandangan

bahwa identitas bersifat universal, stabil, dan melekat pada diri setiap

individu. Sejak lahir, mereka telah membawa identitas masing-masing. Oleh

karena itu, deskripsi tentang diri kita mencerminkan identitas yang esensial.

Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, konsep tentang feminitas, maskulinitas,

religiusitas, etnisitas, nasionalitas, dan kategori identitas lainnya adalah esensi

yang melekat pada individu yang tidak akan berubah.

Gagasan anti-esensialisme berbanding terbalik dengan gagasan

esensialisme. Anti-esensialisme menolak pandangan yang menganggap

bahwa identitas bersifat esensial atau universal. Sebaliknya, ia justru

memandang identitas sebagai konstruksi sosial yang keberadaannya terikat

oleh ruang dan waktu. Anti-esensialisme berpandangan bahwa identitas

adalah proses menjadi (proses of becoming) yang dilandasi oleh kemiripan

dan perbedaan (Barker dan Galasinski, 2001: 30). Stuart Hall dalam salah

satu artikel-nya, bahkan, berpandangan bahwa identitas akan terus-menerus

mengalami perubahan dan bertransformasi.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

7

It accepts that identities are never unified and, in late modern times,

increasingly fragmented and fractured; never singular but multiply

constructed across different, often intersecting and antagonistic,

discourses, practices and positions. They are subject to a radical

historicization, and are constantly in the process of change and

transformation. (Hall, 2005: 17).

Identitas tidak tunggal melainkan beragam yang didasari oleh perbedaan.

Perbedaan tersebut akan membedakan identitas satu dengan lainnya, semisal

identitas yang bersifat komunal seperti: agama, etnis, nasionalitas, kelas

sosial, dan afiliasi politik dan identitas lain yang bersifat personal yang akan

membedakan antara individu satu dengan lainnya. Keberadaan mereka dapat

berubah mengikuti perubahan ruang dan waktu dimana mereka berada.

Terlepas dari kedua gagasan tersebut, Hall (1992: 275) dalam artikel lain

menawarkan tiga konsep identitas yang berbeda, yaitu: subjek pencerahan,

subjek sosiologis, dan subjek pasca-modern. Subjek pencerahan atau

enlightenment subject menekankan peranan individu sebagai yang utama.

Konsep ini didasarkan oleh pemahaman dimana manusia sebagai individu

sepenuhnya terpusat dan terpadu yang didukung oleh kapasitas rasio,

kesadaran, dan tindakan yang ada sejak lahir. Pusat esensi diri terletak pada

identitas pribadi.

Louise Althusser menyebut individu sebagai “knowing subject” dimana

individu dipahami sebagai penguasa penuh, rasional, kesadaran yang menyatu

dalam kontrol bahasa dan makna (Althusser dalam Chris Weedon, 2004: 5).

Kekuatan Individu berpusat oleh subjek dan untuk subjek. Althusser

menggambarkan proses individu menjadi subjek dengan sebuah ilustrasi

dimana seorang polisi memanggil pejalan kaki “Hey, You There”. Pejalan

kaki tersebut merasa menjadi subjek karena dia tahu bahwa orang yang

dipanggil adalah dirinya, bukan yang lain.

I have imagined takes places in the street, the hailed individual will turn

round. By this more one-hundred-and-eighty-degree physical conversion,

he becomes a subject. Why? Because he has recognized that the hail was

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

8

„really‟ addressed to him, and that „it was really him who was hailed‟

(and not someone else). (Althusser, 2005: 33).

Individu sebagai subjek tidak berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan

individu yang lain atau masyarakat. Dengan demikian, identitas terbentuk dari

proses interaksi sosial. Interaksi sosial inilah yang oleh Hall sebut sebagai

subjek sosiologis atau sociological subject.

The notion of sociological subject reflected the growing complexity of the

modern world and the awareness that this inner core of the subject was

not autonomous and self-sufficient, but was formed in relation to

„significant others‟, who mediated to the subject the values, meaning, and

symbols – the culture – of the worlds he/she inhabited. (Hall, 1992: 275).

Subjek sosiologis berpandangan bahwa orang lain atau lingkungan

sekitar memiliki peranan penting dalam membentuk identitas. Individu yang

meskipun memiliki esensi sebagai subjek yang otonom tetapi mereka tetap

akan dibentuk oleh lingkungannya. Subjek sosiologis akan mempertemukan

antara individu yang otonom dan masyarakat melalui proses interaksi sosial.

Pandangan ini merujuk kepada teori interaksi simbolik oleh George Herbert

Mead. Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa makna sebagai produksi

sosial dibentuk melalui interaksi antar manusia (West dan Turner, 2010: 80).

Keluarga adalah lingkungan terkecil yang paling banyak mempengaruhi

identitas kita.

Pandangan subjek sosiologis yang diungkap oleh Hall sejalan dengan

pandangan identity negotiation theory atau teori negosiasi identitas. Baik

subjek sosiologis maupun teori negosiasi identitas menekankan interaksi

sebagai titik yang sentral. Teori negosiasi identitas berpandangan bahwa

domain identitas tertentu mempengaruhi interaksi keseharian kita (Ting-

Toomey, 2005: 217). Identitas dalam perspektif negosiasi merupakan proses

interaksi transaksional dimana individu membangkitkan, mendefinisikan,

memodifikasi, atau menonjolkan identitas diri dan di saat yang sama mereka

juga dapat menantang, mendukung, atau mempengaruhi identitas orang lain.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

9

Subjek pasca-modern atau post-modern subject. Konsep subjek pasca-

modern berpandangan bahwa tidak ada identitas permanen melainkan akan

mengalami perubahan terus-menerus. Individu sebagai subjek memiliki ruang

gerak yang luang untuk menentukan posisi kultural mereka. Mereka tidak

terikat oleh kekuatan yang mengharuskannya pasif dalam posisi kultural.

Hall, bahkan, berpendapat bahwa mereka dapat memiliki identitas yang

berbeda dalam kurun waktu yang berbeda dan tidak menutup kemungkinan

saling kontradiktif karena identitas yang beragam.

The subject assumes different identities at different time, identity which

are not unified around a coherent „self‟. Within us are contradictory

identities, pulling in different directions, so that our identifications are

continuously being shifted about. If we feel we have a unified identity

from birth to death, it is only because we construct a comforting story or

„narrative of the self‟ about ourselves. (Hall, 1992: 277).

Dari berbagai pandangan tentang identitas sebagaimana yang telah

diungkap oleh para ahli, penelitian ini memfokuskan pada pandangan yang

menganggap bahwa identitas itu tidak esensial atau tidak stabil melainkan

selalu berubah. Identitas terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu,

penelitian ini menempatkan identitas Foke-Nara dan Jokowi-Ahok tidak

esensial. Mereka dapat memperlakukan identitas sesuai kepentingan-nya

yaitu ingin mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.

2. Politik Identitas and Perbedaan

Gagasan esensialisme dan anti-esensialisme berbeda secara mendasar

tetapi mereka sepakat bahwa keberadaan identitas didasarkan oleh adanya

perbedaan atau difference. Identitas adalah kepemilikan, yaitu apa yang kamu

miliki yang umum dimiliki orang lain dan apa yang membedakannya dengan

orang lain (Weeks, 1990: 88). Dengan demikian, identitas diri hadir karena

ada yang berbeda dengan yang lain atau others.

Perbedaan tersebut bisa sebatas tersirat tetapi tidak tertutup kemungkinan

terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Weedon membenarkan

adanya kontradiksi identitas. Dia (2004: 19) berpandangan bahwa semua

identitas memiliki bentuk tersendiri yang membuatnya berbeda dengan yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

10

lain. Kontradiksi dalam identitas bisa terlihat, misalnya; antara laki-laki dan

perempuan, maskulin dan feminin, Jawa dan Bugis, Islam dan Kristen, kulit

hitam dan kulit putih, dan Indonesia dan Jepang. Dalam politik praktis pun

ditemukan perbedaan mendasar, misalnya: antara Partai Golkar dan Partai

PDIP atau antara Jokowi-Ahok dan Foke-Nara dalam Pilkada DKI Jakarta.

Castells (2010: 8) membedakan tiga bentuk konstruksi identitas kolektif

yang berbeda. Pertama, legitimizing identity. Identitas model ini menekankan

peranan institusi-institusi publik dalam pembentukan identitas. Negara/bangsa

dan agama adalah dua institusi publik yang paling dominan dalam

membentuk identitas. Mereka menciptakan aturan dan cara sesuai dengan

kehendak yang ideal menurut mereka. Anggota dari institusi dominan

tersebut akan hidup sebagai suatu identitas meski anggota mereka tidak saling

mengenal dan tidak pernah bertemu. Anderson (2008: 8) menyebut komunitas

ini sebagai komunitas terbayang.

Kedua, resistance identity. Jenis identitas ini adalah oposan dari

legitimizing identity. Resistance identity atau identitas perlawanan dibangun

oleh mereka yang tidak terlibat dalam institusi dominan atau legal. Resistance

identity biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang oleh sejarah tidak

memihak kepadanya. Oleh karena itu, mereka secara kolektif membentuk

identitas sebagai bentuk perlawanan atas identitas dominan yang didukung

oleh institusi publik.

Terakhir, project identity. Konstruksi project identity atau identitas

proyek terjadi dimana aktor sosial membentuk identitas baru yang bertujuan

untuk mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat. Pembentukan

identitas sebagai proyek dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap

dominasi identitas tertentu. Gerakan feminisme misalnya, gerakan feminisme

menantang dominasi laki-laki dalam keluarga patrinial. Konstruksi identitas

menimbulkan konsekuensi politik. Aktor-aktor sosial yang berbeda berusaha

mempertahankan dominasi mereka. Oleh karenanya, politik identitas marak

terjadi.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

11

Politik identitas berawal dari gerakan sosial atas kesadaran masyarakat

yang menginginkan perubahan. Gerakan sosial tersebut diantaranya adalah

gerakan feminisme, lesbian, kaum kulit hitam, kaum buruh, dan lain

sebagainya. Mereka memperjuangkan kesetaraan perlakuan. Di Amerika

misalnya, gerakan kaum kulit hitam yang dimotori oleh Martin Luther King

berjuang untuk menjadi bagian integral identitas Amerika dimana

sebelumnya identitas Amerika hanya menjadi milik kaum kulit putih yang

mengakibatkan kaum kulit hitam selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi

di Amerika (Spencer, 1994: 553).

Dalam konteks politik terkini, identitas tidak lagi hanya dipergunakan

sebagai alat mobilisasi gerakan sosial untuk mencapai perubahan melainkan

banyak dipergunakan sebagai alat untuk meraih jabatan politik. Di

Kalimantan Barat misalnya, politik identitas etnis dimanfaatkan oleh elit etnis

sebagai upaya untuk mendapatkan perwakilan mereka di bidang eksekutif dan

legislatif (Tanasaldy, 2007: 461-462). Dua kelompok etnis, Melayu dan

Dayak, memiliki peranan penting dalam perpolitikan di Kalimantan Barat.

Tidak jarang power sharing antara kedua kelompok menjadi alternatif dalam

pemilihan kepada daerah.

3. Iklan Politik dalam Pemilihan

Pemilihan atau election adalah arena pertarungan untuk memperebutkan

jabatan politik secara legal. Pilpres atau Pilkada misalnya, ajang tersebut

merupakan ajang resmi untuk mengganti presiden atau kepala daerah yang

baru. Dalam pemilihan semua aktor politik atau kandidat memiliki peluang

yang sama untuk menang, menjadi: presiden, gubernur, wali kota, atau bupati.

Oleh karena itu, mereka harus melakukan berbagai upaya untuk merebut

suara mayoritas sebagai prasyarat untuk menang di pemilihan.

Mereka harus berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat: turun

ke bawah, bertatap muka, mendengarkan keluhan, dan memberikan solusi

atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, mereka juga

harus memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menjangkau publik

secara massif karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

12

berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat. Kini peran media massa

dalam kehidupan politik sudah semakin besar. Castells, bahkan,

berpandangan bahwa hanya mereka yang memanfaatkan media massa yang

mampu mempengaruhi pilihan publik.

Messages, organizations, and leaders who do not have a presence in the

media do not exist in the public mind. Therefore, only those who can

convey their messages to the citizens at large have the chance to

influence their decisions in ways that lead to their own access to power

positions in the state and/or maintain their hold over political

institutions. (Castells, 2009: 194).

Pemanfaatan media massa oleh aktor politik untuk tujuan politik bisa

beragam bentuk: propaganda, spin doctoring atau hubungan masyarakat

politik, dan iklan politik. Kajian disini akan fokus membahas iklan politik.

Secara umum iklan didefinisikan sebagai bentuk komunikasi massa dari

sponsor yang menggunakan media massa untuk membujuk atau

mempengaruhi masyarakat (Wells dkk, 1992: 10). Danesi (2004: 256)

mendefinisikan iklan sebagai jenis pengumuman publik yang bertujuan untuk

mempromosikan penjualan komoditas atau jasa atau menyebarkan pesan

sosial dan politik.

Iklan politik seringkali diasosiasikan dengan makna iklan komersial, yaitu

sebagai proses komunikasi untuk mempromosikan produk atau jasa melalui

media massa, dalam iklan politik yaitu mempromosikan kandidat atau

gagasan. Kaid (2004: 156) menjelaskan bahwa iklan politik merupakan

proses komunikasi dari sumber (biasanya kandidat atau partai politik) untuk

menyampaikan pesan-pesan politik melalui media massa dengan tujuan untuk

mempengaruhi perilaku, keyakinan, dan sikap politik publik.

Para kandidat atau partai politik menjadikan iklan politik sebagai sarana

untuk memperkenalkan diri dan menawarkan gagasan atau program kerja

dengan maksud agar mereka dipilih oleh publik saat pemilihan berlangsung.

Mereka menggunakan iklan politik di berbagai media massa, baik cetak

maupun elektronik. Dengan demikian, pesan-pesan politik mereka dapat

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

13

diketahui oleh masyarakat tanpa mereka harus bertemu secara langsung. Hal

ini karena media massa mampu menembus ruang-ruang privat keluarga.

Iklan politik di media cetak seperti poster, baliho, atau koran

mengandalkan kemampuan visual sementara iklan di media elektronik

memadukan kemampuan audio dan visual. Iklan politik, sebagaimana iklan

secara umum, menjual produk melalui gambar atau image, retorika, slogan,

dan tata artistik yang luar biasa (Kellner, 1995: 251). Dalam hal ini, kandidat

atau partai politik berusaha mempengaruhi pilihan masyarakat dengan

menciptakan asosiasi dirinya dengan apa yang ditampilkan dalam iklan

politik mereka.

Iklan politik dapat membantu pengiklan atau politisi lebih dikenal secara

personal oleh masyarakat luas, termasuk program-program yang mereka

tawarkan. Lebih dari itu, Matheson (2005: 50) menjelaskan bahwa iklan

dikatakan sukses bila keberadaan iklan tersebut mampu mengubah perilaku

dan kebiasaan masyarakat sesuai dengan yang diinginkan oleh pengiklan

dalam iklan tersebut. Dalam hal ini, iklan politik dianggap sukses bila ia

mampu merubah pilihan politik masyarakat dan mempengaruhi mereka untuk

memilih kandidat atau partai politik pengiklan.

4. Politik Identitas dalam Iklan Politik

Marcel Danesi, dalam bukunya yang berjudul Understanding Media

Semiotic, memaparkan dua teknik utama yang sering dipakai oleh para

pengiklan untuk menanamkan iklan ke dalam pola pikir masyarakat. Kedua

teknik yang dimaksud adalah positioning dan image-creation (Danesi, 2002:

183). Positioning adalah penempatan atau penargetan produk kepada orang

yang tepat. Iklan Gudang Garam misalnya, produk rokok asal Jawa Timur itu

mengambil positioning sebagai produk kaum laki-laki. Oleh karena itu, iklan

Gudang Garam sengaja mengasosiasikan diri sebagai produk kaum laki-laki

dengan slogannya yang terkenal Pria Punya Selera.

Gagasan image-creating dalam iklan menyasar individu tertentu. Kellner

(1995: 248) menjelaskan bahwa symbolic image atau citra simbolik dalam

iklan menciptakan asosiasi antara produk yang ditawarkan dan individu

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

14

tertentu yang diinginkan secara sosial. Oleh karena itu, individu yang

mengonsumsi produk yang ditawarkan oleh iklan tertentu secara tidak

langsung telah mendefinisikan diri sebagai bagian dari image yang diciptakan

dalam iklan tersebut. Iklan Rokok Gudang Garam, misalnya,

mengasosiasikan diri dengan citra para kaum pria. Oleh karena itu, orang

yang mengonsumsi Rokok Gudang Garam secara tidak langsung telah

mendefinisikan diri sebagai Pria Sejati sebagaimana dalam iklan Gudang

Garam.

Dalam iklan politik, strategi positioning dan image-creating “memaksa”

aktor politik untuk memetakan kelompok-kelompok identitas di dalam

masyarakat. Mereka mengidentifikasi dan memisahkan kelompok agama,

suku, gender, dan kelas sosial secara berbeda antara yang satu dengan

lainnya. Kemudian, mereka menjadikan kelompok-kelompok yang telah

teridentifikasi secara berbeda itu sebagai segmentasi tersendiri dalam

menyampaikan iklan politik.

Kandidat memformat iklan politik selain memuat gagasan yang akan

ditawarkan juga memuat citra simbolik identitas tertentu yang didasari oleh

segmentasi identitas yang diinginkan. Mereka menggunakan citra simbolik

dalam iklan politik sebagai asosiasi diri dengan kelompok identitas tertentu.

Dengan cara ini, mereka berharap dapat memperoleh suara dari kelompok

identitas tertentu karena mereka dicitrakan sebagai representasi dari

kelompok identitas tersebut.

5. Politik Identitas dalam Iklan Politik di Pilkada DKI Jakarta

Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat.

Mereka bersaing untuk memperebutkan kursi 01 DKI Jakarta.

Pelaksanaannya digelar dua putaran karena pada putaran pertama tidak satu

pun pasangan kandidat yang mampu memperoleh suara mayoritas. Semua

pasangan kandidat menggunakan iklan politik untuk meraih dukungan

mayoritas pemilih, baik di putaran pertama maupun di putaran kedua. Mereka

menyampaikan beragam isu melalui iklan politik, di dalamnya termasuk isu

identitas.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

15

Isu identitas paling dominan yang menjadi “jualan” dalam iklan politik di

Pilkada DKI Jakarta adalah agama, etnis, dan gender. Di satu sisi, kandidat

mengungkap isu identitas sebagai alat untuk meraih simpati pemilih tetapi di

sisi lain juga digunakan sebagai alat untuk menyerang kandidat lawan. Isu

agama mempertentangkan agama Islam dan non Islam, isu etnis

mempertentangkan antara etnis Betawi dan etnis non-Betawi. Etnis Betawi

diidentifikasi sebagai etnis penduduk asli Jakarta dipertentangkan dengan

etnis non-Betawi yang dianggap sebagai etnis pendatang. Isu gender terkait

dengan peran laki-laki dan perempuan.

Pasangan Jokowi-Ahok adalah kandidat yang paling banyak mendapatkan

serangan politik identitas. Hal ini disebabkan oleh setidaknya dua hal, yaitu:

pasangan ini dianggap sebagai pendatang dan tidak mewakili kepentingan

kelompok agama mayoritas di Jakarta. Mereka dianggap bukan representasi

penduduk etnis lokal “Betawi” Jakarta karena keduanya berasal dari luar,

Jokowi berasal dari Solo sementara Ahok berasal dari Belitung. Pasangan ini

juga dianggap tidak mewakili kelompok agama mayoritas karena Ahok yang

beretnis Tionghoa dan beragama Kristen Protestan sedangkan mayoritas

penduduk DKI Jakarta beragama Islam.

6. Iklan Politik dan Analisis Semiotika

Iklan politik, sebagaimana iklan pada umumnya, merupakan aktivitas

penandaan. Teks, image visual, dan bunyi dalam iklan menjadi penanda.

Petanda-petanda dalam pesan iklan dibentuk oleh atribut-atribut khas dalam

produk tersebut (Barthes, 2010: 20). Kajian ini merupakan ranah semiotika

yaitu ilmu yang mempelajari tanda. Istilah semiotika berasal dari bahasa

Yunani yaitu semeion, yang berarti tanda. Kajian semiotika dikembangkan

oleh Charles S. Pierce di Amerika sementara di dataran Eropa dikembangkan

oleh Ferdinand de Saussure. Meski demikian, Saussure tidak memakai istilah

semiotika sebagaimana Pierce melainkan lebih mempopulerkan istilah

semiologi.

Dalam kajian semiologi, Barthes mengamini terminologi yang

dipopulerkan oleh Saussure yaitu sign, signifier, dan signified. Sign (tanda)

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

16

adalah perpaduan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier

merupakan aspek material atau benda, yaitu obyek yang berupa: tulisan,

bunyi, dan gambar. Petanda bukan aspek material melainkan gambaran

mental atau konsep dari penanda. Petanda adalah apa yang dipikirkan tentang

benda, semisal petanda dari sapi bukan hewan sapi melainkan citra atau

konsep yang dipikirkan tentang sapi itu.

Pijakan semiologi Saussure adalah kajian linguistik yang meletakkan

bahasa sebagai konvensi sosial yang mutlak diterima sebagai prasyarat dalam

berkomunikasi. Bahasa merupakan institusi sosial sekaligus sebagai sistem

nilai. Bahasa bersifat otonom dan memiliki aturan tersendiri. Lain halnya

dengan tuturan, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa.

Tuturan adalah tindakan seleksi atau aktualisasi individual yaitu aktivitas

yang memadukan kode-kode bahasa. Dengan demikian, tuturan dapat terjadi

bila penutur dapat memadukan kode-kode bahasa yang bertujuan untuk

mengungkapkan pikiran personal-nya (Barthes, 1981: 15).

Barthes, kemudian, mengembangkan semiologi Saussure dengan

menawarkan dua bentuk penandaan yaitu denotasi dan konotasi. Kedua

bentuk penandaan ala Barthes adalah bentuk penandaan bertingkat yaitu

denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan penandaan tingkat pertama

sementara konotasi merupakan penandaan tingkat kedua. Sistem penandaan

tingkat pertama atau denotasi adalah relasi antara petanda dan penanda di

dalam tanda, atau dalam hal ini relasi aspek material dan gambaran mental

atau konsep. Sistem penandaan tingkat dua atau konotasi yaitu penanda

konotasi dibentuk oleh tanda, yaitu gabungan penanda dan petanda (Barthes,

1981: 91).

F. Kerangka Konseptual

Merujuk kepada kerangka pemikiran yang telah dibahas sebelumnya, penulis

menarik kerangka konseptual sebagai berikut:

1. Politik Identitas

Politik identitas adalah penggunaan isu identitas, utamanya identitas:

etnis, agama, dan gender oleh aktor politik sebagai upaya untuk memperoleh

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

17

jabatan politik. Dalam hal ini, aktor politik adalah pasangan calon gubernur

dan calon wakil gubernur DKI Jakarta yang bertarung dalam Pilkada DKI

Jakarta 2012. Mereka memanfaatkan identitas untuk memperoleh dukungan

masyarakat sebagai prasyarat untuk menang dalam Pilkada DKI Jakarta dan

menjadikan mereka menduduki jabatan gubernur dan wakil gubernur di Ibu

Kota Indonesia periode 2012-2017.

Sesuai amanat Undang-Undang, Komisi Pemilihan Umum Daerah

(KPUD) DKI Jakarta mensyaratkan seorang kandidat harus memperoleh

suara mayoritas terbatas untuk dapat dinyatakan sebagai pemenang dalam

Pilkada DKI Jakarta. Oleh karena itu, kandidat berusaha menggunakan segala

cara untuk meraih dukungan suara minimal 50 % + 1. Penggunaan isu

identitas untuk tujuan politik karena aktor politik menyasar masyarakat yang

memilih pemimpin berdasarkan faktor sosiologis, bukan karena faktor pilihan

rasional. Faktor sosiologis menekankan alasan kesamaan identitas dalam

memilih pemimpin.

2. Iklan Politik

Iklan politik adalah proses pengumuman publik oleh aktor politik melalui

media massa yang bertujuan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Aktor politik, kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta,

menggunakan iklan politik untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya

kepada masyarakat. Melalui iklan politik, mereka ingin mempengaruhi

masyarakat agar mereka memilihnya saat pemilihan berlangsung.

Iklan politik digunakan agar pesan politik oleh aktor-aktor politik dapat

menjangkau masyarakat yang lebih besar. Hal ini dilakukan karena mereka

memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk menyampaikan pesan politik

secara langsung. Aktor politik menyampaikan iklan melalui media cetak dan

elektronik. Di media cetak misalnya: poster, baliho, spanduk, dan koran

sementara di media elektronik seperti radio dan televisi.

3. Pilkada DKI Jakarta 2012

Pemilihan Kepada Daerah atau Pilkada DKI Jakarta 2012 merupakan

ajang pesta demokrasi yang bertujuan untuk mengganti pemimpin di DKI

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

18

Jakarta secara legal. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 digelar untuk memilih

gubernur dan wakil gubernur yang akan memimpin DKI Jakarta periode

2012-2017. Dalam Pilkada, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih

pemimpin karena Pilkada digelar secara langsung, bebas, dan rahasia. Oleh

karena itu, mereka dapat memilih pemimpin yang berkualitas yang bisa

menyelesaikan persoalan-persoalan yang melanda Ibu Kota. Pilkada DKI

2012 adalah Pilkada DKI ke dua yang digelar secara langsung setelah Pilkada

tahun 2007.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, jenis penelitian yang

sering kali dianggap sebagai antitesis dari penelitian kuantitatif. Berbeda

dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada analisis data-data

statistik, penelitian kualitatif menekankan gagasan yaitu makna dikonstruksi

secara sosial oleh individu dalam interaksi dengan dunianya (Merriam, 2002:

3). Konstruksi makna dalam penelitian kualitatif tidak tunggal melainkan

beragam dan terus berubah mengikuti perkembangan zaman.

Denzin dan Lincoln (2000: 3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif

merupakan penggunaan kajian dan pengumpulan berbagai data empiris –

studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, cerita hidup, wawancara,

artifak-artifak, produksi dan teks-teks budaya, pengamatan, historis,

interaksional, dan teks visual – yang menggambarkan makna dan momen-

momen problematik keseharian dalam kehidupan individu. Dalam bahasa

yang lebih sederhana, Maleong (2006: 6) menyatakan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah melalui deskripsi dalam bentuk kata-

kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini yaitu iklan politik oleh pasangan Foke-Nara dan

Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Iklan politik yang

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

19

dimaksud adalah iklan politik yang pernah dipublikasikan di media cetak,

khususnya koran yaitu: Koran Kompas dan Koran Sindo. Fokus penelitian ini

mengarah kepada iklan politik yang di dalamnya memuat pesan identitas

yaitu identitas etnis, agama, dan gender.

Publisitas iklan politik kedua kandidat melalui koran cukup intens, tidak

hanya di koran lokal dengan wilayah sirkulasi DKI Jakarta tetapi juga di

koran nasional. Hal inilah yang mendasari koran dipilih sebagai objek

penelitian ini. Selain itu, koran dapat memberikan ruang informasi yang lebih

banyak dibanding jenis media massa lain semisal televisi atau radio. Koran

Kompas dan Koran Sindo dipilih karena kedua koran tersebut dianggap

sebagai koran yang memiliki basis pembaca dengan jumlah yang besar.

Pemilihan iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, meskipun empat

kandidat lain juga memanfaatkan iklan politik untuk meraih dukungan

pemilih, karena kedua kandidat inilah yang berhasil lolos ke putaran kedua

sementara pasangan lain tersingkir di putaran pertama. Jokowi-Ahok dan

Foke-Nara berhak melaju ke putaran ke dua karena mereka berhasil meraih

dukungan suara tertinggi pertama dan kedua di putaran pertama. Sesuai hasil

rekapitulasi hasil perhitungan suara pada putaran pertama yang dikeluarkan

oleh KPU DKI Jakarta, Jokowi-Ahok berhasil memperoleh suara tertinggi,

sebanyak 1.847.157 (42,60 %), dan Foke-Nara meraih suara tertinggi kedua,

sebanyak 1.476.648 (34,05 %).

3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian studi pustaka, yaitu penelitian yang

sumber datanya berasal dari teks, baik teks verbal maupun teks visual.

Peneliti membagi dua jenis data dalam penelitian ini. Kedua jenis data

tersebut adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama

yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Data primer diperoleh dari iklan politik pasangan Foke-Nara dan Jokowi-

Ahok yang pernah dipublikasikan di dua media cetak, yaitu koran: Kompas

dan Sindo. Periode publikasi iklan yang dimaksud adalah antara tanggal 24

Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012. Iklan-iklan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

20

tersebut dipetakan menjadi dua elemen yaitu verbal dan visual. Elemen verbal

berupa teks-teks sedangkan elemen visual adalah gambar atau image dalam

iklan tersebut. Elemen verbal dan visual iklan merupakan penanda.

Sebanyak tujuh iklan, masing-masing empat iklan Foke-Nara dan tiga

iklan Jokowi-Ahok, dipilih untuk dijadikan sebagai objek analisis dalam

penelitian ini. Empat Iklan Foke-Nara masing-masing tiga edisi di Koran

Sindo dan satu edisi di Koran Kompas. Mereka adalah edisi tanggal 25 Juni

2012 Hal. Jaket 3, 26 Juni 2012 Hal. 5, dan 27 Juni 2012 Hal. 3 di Koran

Sindo serta edisi 7 Juli 2012 Hal. 1 di Koran Kompas. Tiga iklan Jokowi-

Ahok masing-masing dua edisi di Koran Kompas, yaitu 14 September 2012

Hal. 41 dan 16 September 2012 Hal. 5 serta satu edisi di Koran Sindo, edisi

27 Juni 2012 Hal. 9. Ke tujuh iklan tersebut dipilih karena mereka dianggap

relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

Data pendukung atau data sekunder diambil dari data-data dokumentasi

berupa: buku, jurnal, koran, laporan hasil penelitian, atau data-data

dokumentasi lainnya yang berelasi langsung dengan data primer. Data primer

dan data sekunder tersebut menjadi satu-kesatuan yang akan dijadikan

sebagai bahan analisis dalam penelitian ini.

4. Metode dan Analisa Data

Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis teks. Oleh karena itu, untuk

menganalisisnya digunakan metode dan analisa semiotika Roland Barthes.

Metode ini dianggap tepat karena ia mampu mengungkap makna yang

tersembunyi dibalik teks. Selain itu, ketersediaan data menjadi pertimbangan

lain untuk memilih metode ini. Teks mudah diakses karena bentuknya

terekam. Data dalam penelitian ini terekam dalam bentuk media iklan, yaitu

iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok.

Semiotika atau dalam bahasa Barthes dan Saussure dikenal sebagai

semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda. Barthes terinspirasi oleh

konsep semiologi Saussure yang mempopulerkan istilah sign, signifier, dan

signified. Selain itu, Barthes mengembangkan semiologi Saussure dengan

memperkenalkan sistem penandaan bertingkat, yaitu makna denotasi dan

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

21

makna konotasi. Denotasi merupakan sistem penandaan tingkat pertama dan

konotasi merupakan sistem penandaan tingkat kedua.

Dengan metode dan analisis semiotika Barthes, penelitian ini akan

mengungkap sistem penandaan, yaitu penanda-penanda yang memuat

identitas agama, identitas etnis, dan identitas gender dalam iklan politik

Jokowi-Ahok dan iklan politik Foke-Nara. Penanda iklan baik penanda verbal

atau teks maupun penanda visual atau image. Untuk menjelaskan penanda

teks, penelitian ini mengacu kepada makna denotasi dan makna konotasi.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, makna denotasi adalah makna yang

terlihat atau nyata dalam teks sedangkan makna konotasi adalah makna yang

tersirat atau tersembunyi di balik teks. Makna denotasi dan konotasi yang

dimaksud adalah makna denotasi-konotasi dalam teks iklan politik Jokowi-

Ahok dan iklan politik Foke-Nara yang relevan dengan materi atau isu politik

identitas.

Penjelasan tentang penanda image mengacu kepada tahap konotasi dalam

produksi foto. Barthes (2010: 7-11) menjelaskan enam tahap konotasi atau

pelapisan makna kedua dalam foto. Ke enam tahap itu dikelompokkan dalam

dua tahap yaitu tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama mencakup

tiga hal yaitu efek tiruan, sikap atau pose, dan objek. Konotasi pada tiga tahap

pertama dihasilkan melalui proses modifikasi terhadap realitas itu sendiri atau

modifikasi terhadap pesan denotatif. Efek tiruan merupakan manipulasi

gambar secara artifisial, pose atau sikap mengarah kepada gaya objek foto,

sementara objek terkait dengan pengaturan sikap atau posisi objek.

Konotasi tahap kedua berkaitan dengan wilayah estetis foto. Tahap ini

juga mencakup tiga hal yaitu fotogenia, estetisisme, dan sintaksis. Fotogenia

yaitu berkaitan dengan aspek-aspek teknis dalam produksi atau pengambilan

gambar seperti pencahayaan, pengaburan, atau pencetakan hasil. Estetisisme

merupakan imitasi atau perubahan komposisi gambar secara keseluruhan dan

sintaksis adalah rangkaian cerita yang terbentuk dari foto atau gambar. Makna

konotasi dalam tahap sintaksis tidak terbentuk dari satu foto melainkan

beberapa foto dalam artian cerita bergambar. Secara prinsip ke enam tahap itu

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

22

dijadikan sebagai rujukan analisis namun dalam tataran praktis ke enam tahap

tidak digunakan secara menyeluruh melainkan hanya yang relevan dengan

penelitian.

5. Limitasi Penelitian

Penulis memberikan batasan penelitian agar pembahasan tidak meluas.

Pertama, Pilkada DKI Jakarta 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat dan

ke-enam pasangan tersebut menggunakan iklan politik untuk mempengaruhi

pemilih. Oleh karena itu, penulis membatasinya yaitu memilih iklan politik

pasangan Jokowi-Ahok dan iklan politik pasangan Foke-Nara dan

mengeliminasi iklan politik empat pasangan yang lain. Pemilihan iklan politik

Jokowi-Ahok dan iklan politik Foke-Nara karena kedua pasangan ini berhasil

melaju ke putaran kedua sementara pasangan lainnya tersingkir di putaran

pertama.

Kedua, iklan politik yang dipilih adalah iklan politik yang legal dan

pernah dipublikasikan di media massa cetak, yaitu Koran Harian Kompas dan

Koran Harian Sindo. Ketiga, periode publikasi iklan yang dimaksud adalah

antara tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012.

Periode tersebut dipilih karena periode itu adalah jadwal kampanye resmi

pada Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama dan kedua. Terakhir, materi

iklan yang dipilih adalah iklan politik yang memuat isu identitas, yaitu:

agama, etnis, dan gender.

6. Tahapan Penelitian

Tahapan analisis data merupakan serangkaian aktivitas atau proses yang

berkelanjutan terhadap data, meliputi: pengumpulan data, pencatatan,

penafsiran, hingga pelaporan hasil penelitian. Secara operasional tahapan

analisis penelitian ini merujuk kepada pendapat Miles dan Huberman (dalam

Nicholas Walliman, 2006:132) yang mengungkapkan tiga langkah utama

analisis data penelitian kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan.

Banyak data yang terkumpul namun tidak semua data relevan untuk

dianalisis. Oleh karena itu, data perlu direduksi sesuai kebutuhan. Reduksi

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

23

data diawali pada pengklasifikasian data. Iklan kedua pasangan kandidat

diklasifikasi berdasarkan kebutuhan penelitian. Hanya iklan yang memuat

unsur identitas (etnis, agama, dan gender) diambil untuk dianalisis. Hal ini

didasarkan pada elemen verbal dan visual iklan. elemen-elemen tersebut yang

akan dijadikan sebagai unit analisis menggunakan metode semiotika.

Langkah selanjutnya adalah penyajian data. Proses ini merupakan tindak

lanjut dari reduksi data. Data-data yang telah diklasifikasi sebelumnya

dideskripsikan dalam bentuk narasi yang terorganisir. Kemudian, data-data

tersebut diinterpretasikan secara semiotika. Pemaknaan denotasi dan konotasi

terhadap iklan kedua pasangan kandidat berdasarkan pada elemen verbal dan

visual iklan mereka. Proses ini sepenuhnya untuk menemukan politik

identitas dalam iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok.

Terakhir, penarikan kesimpulan. Tahap ini merupakan tindak lanjut dari

penyajian data sekaligus sebagai tahap akhir dalam proses analisis penelitian.

Bagian ini ditulis di bagian kesimpulan. Narasinya didasarkan pada

interpretasi sajian data yang kesemuanya untuk menjawab pertanyaan

penelitian yaitu bagaimana politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara

dan Jokowi-Ahok dalam iklan politik mereka di Pilkada DKI Jakarta 2012.

H. Sistematika Penulisan atau Pelaporan

Pelaporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab I: Bab ini adalah bab pendahuluan yang di dalamnya memuat desain

penelitian secara menyeluruh meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

dan manfaat, kerangka pemikiran, kerangka konseptual, metode penelitian, dan

sistematika penulisan atau pelaporan.

Bab II: Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang mengungkap beberapa

hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Bab ini juga

merupakan pengembangan atau tindak lanjut pembahasan dari kerangka

pemikiran di bab pendahuluan. Poin-poin yang menjadi fokus bab ini adalah

politik identitas, Pilkada, dan Iklan Politik.

Bab III: Bab ini mengulas tentang deskripsi objek penelitian. Beberapa hal

yang menjadi fokus ulasan pada bab ini adalah DKI Jakarta, Pilkada DKI Jakarta,

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68725/potongan/S2-2014... · Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga

24

profil kandidat gubernur dan wakil gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan

iklan politik kontestan Pilkada DKI Jakarta 2012.

Bab IV: Bab ini adalah bab analisis atau pembahasan yaitu analisis terhadap

data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. Data yang dimaksud berupa teks

iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok yang memuat isu identitas di Pilkada

DKI Jakarta 2012. Metode analisis yang digunakan adalah metode semiotika

Roland Barthes.

Bab V: Ini adalah bab terakhir yang merupakan penutup pelaporan penelitian.

Bab ini merupakan kesimpulan dari bab analisis dan merupakan jawaban atas

rumusan masalah sebagaimana yang tertera di desain penelitian.