bab ii kajian hukum perbuatan melawan hukum materil

14
BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon 40 1. Sistem Civil Law Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode: 41 40 Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 80. 41 Ibid., hal. 84-85 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: hacong

Post on 07-Feb-2017

230 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA

A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum

Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan

hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa

perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan

orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan

kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil

dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke

Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365

KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari

KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak

mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum

Anglo Saxon40

1. Sistem Civil Law

Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di negeri

Belanda dapat dibagi dalam tiga periode:41

40 Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 80.

41 Ibid., hal. 84-85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

a. Periode sebelum tahun 1838

Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda baru dikodifikasikan pada

tahun 1838, secara otomatis ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di

Indonesia bahkan belum ada di Belanda.

b. Periode antara tahun 1838-1919

Setelah BW Belanda dikodifikasi, mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal

1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan

melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah ditafsirkan

bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu (aktif

berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik

yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap

tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya

merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan

dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Periode setelah tahun 1919

Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan

melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata

Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah

dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup

kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Munir Fuady menyebut rumusan dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai

“rumusan ajaib” yang diharapkan dapat mencakupi setiap macam perbuatan

melawan hukum, seperti satu jenis obat yang dapat mengobati segala macam

penyakit.

Di Belanda sendiri, saat ini terdapat perumusan yang memiliki inti yang

sama, namun dengan susunan kata yang berbeda yaitu dalam Nieuw Nederlands

Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3

artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai42

Adalah hal yang sangat masuk akal bahwa perumusan baru ini lebih jelas,

oleh karena mengenai unsur perbuatan melawan hukum, tidak hanya mencakup

:

“Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een

doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens

ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens

de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.

(Terjemahannya bebasnya yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan

yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat)

bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan

dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh

seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat

adanya alasan pembenar menurut hukum.)

42 M. Erza Pahlevi, Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Menurut Hukum, http://semuatentanghukum.blogspot.com/2009/12/perbedaan-perbuatan-melawan-hukum-dan.html, diakses 4 maret 2013, pukul 16.12.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

melanggar hak orang lain atau melanggar kewajiban, namun juga mencakup

kesusilaan dan sikap baik bermasyarakat, dimana dua unsur yang terakhir ini

timbul pada tahun 1919 yang berasal dari suatu putusan Hoge Raad dan bukan

dari peraturan perundang-undangan, sementara Belanda sebagai negara Civil

Law membutuhkan perumusan yang baku melalui kodifikasi dalam bentuk

peraturan perundang-undangan (dan bukan yurisprudensi) demi terpenuhinya

kepastian hukum.

2. Sistem Common Law

Sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum

dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya

merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak

terhubung satu sama lain.43

Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan

proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum

mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem

hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian

44

1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)

:

2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)

3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak)

43 Munir Fuady, Op,Cit., hal. 81 44 Munir Fuady, Op,Cit., hal. 3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder:

bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di

dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain

adalah dari:

a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.

b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.

c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian

yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga

dengan hukum yang tidak tertulis.

d. Van hamel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.

e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan

hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).

f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain

disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti ”hukum” dan

dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata

wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian

“bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang

lain atau hukum subjektif”.45

“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang

lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa

Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat,

antara lain sebagai berikut:

45Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 31-32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan

masyarakat.”46

3) Harus ada kerugian.

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-

norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka

perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana,

pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang

tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas.

Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.

Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik,

maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan

maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan

dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:

1) Perbuatan tersebut melawan hukum;

2) Harus ada kesalahan pada pelaku;

47

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum

bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan

melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak

tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak

46Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 44

47Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, 2009, hal. 73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat

untung.

B. Jenis – Jenis Sifat atau Perbuatan Melawan Hukum

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum

pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan

hukum yang formal dan materil.

a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik

undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat

dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu

perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak

pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar

maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-

undang.

b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil

Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum

yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus

dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum

itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan

yang tidak tertulis.48

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur

rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat

48Teguh Prasetyo,Op.cit., hal. 34-35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui

alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar

dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister,

pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:

1) Sifat melawan hukum secara umum

2) Sifat melawan hukum secara khusus

3) Sifat melawan hukum secara materil

4) Sifat melawan hukum secara formil49

49D. Schaffmeister, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Liberty, Yogyakarta, 2003, Cet. Kedua, hal. 39

Ad. 1. Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis

sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat

dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan

hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.

Ad. 2. Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun

1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya

“melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus

dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.

Ad. 3. Sifat melawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan

kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan

melawan hukum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ad. 4. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah

dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah

melawan hukum. Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang

formal dengan pandangan yang materil, maka perbedannya yaitu :

1. Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan

hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,

sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut

dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang

sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP,

mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan

2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana,

juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang

bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada

perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-

nyata, barulah menjadi unsur delik.50

Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan

terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele

wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materil atau

materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila

perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan

undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya

paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam

50Moeljatno , Op.Cit., hal. 134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan

hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan

suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan

sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam

pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik

melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan

perundang-undangan.51

C. Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni:

Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya

suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia

termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua,

kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat

melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu

perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur

dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil

mengandung dua pandangan sebagai berikut:52

1. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan

kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang

rumusan delik.

51Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115

52http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/03/25/perbuatan-melawan-hukum-materil-(Bagian III) diakses tanggal 4 maret 2013, pukul 17. 30 WIB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung

pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di

masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi

sifat melawan hukum materl dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan

hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur

delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan

itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif

mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika

perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di

masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir

apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana

yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada

pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai

sarana pencegahan kejahatan.53

53Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2005 hal. 102

Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa

pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh

mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi

dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi

unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur

dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum ( wederrechtelijk) baik yang

secara eksplisit maupun yang ada secara implisit yang ada dalam suatu pasal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Adanya sifat melawan hukum secara implisit dan eksplisit terdapat dalam

suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini

merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si

pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.

Jika meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan

hukum (wederrechlijk) untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud.

Penggunaan kata wederrechlijk untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan

terdapat dalam Pasal 167 ayat (1), 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 – 257, 333

ayat (1), 334 ayat (1), 335 ayat (1) angka 1, 372, 429 ayat (1), 431, 433 angka 1,

448, 453 – 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke

untuk menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368

ayat (1), 369 ayat (1), 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP.54

2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar

atau bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu

dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan

Pada umumnya para

sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari

tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua Pasal

dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan

oleh beberapa hal, antara lain:

1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah

sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara

eksplisit;

54Lamitang, Op.Cit., hal. 332

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya

perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.55

Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena

secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan

apakah seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat

apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan

delik atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid.

Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri

ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya

menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu

hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum

tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam

kehidupan masyarakat yang tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan

hukum yang materil di Indonesia ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda.

Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari

Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi

alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan

pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus

atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum

ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil (formele

wederrechtelijkheid) maupun sifat melawan hukum yang materil (materiele

wederretelijkheid).

55Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), Alumni, Bandung, 1987, hal. 269-270

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi

perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah

Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan

peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan

hukum yang materil (materiele wederrechtlikheid) sebagai alasan pembenar.56

Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut:57

Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan

ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula dalam

beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain.

”Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya

berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga

berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan

bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor :

a. negara tidak dirugikan;

b. kepentingan umum dilayani;dan

c. terdakwa tidak mendapat untung.

58

56Verdianto I. Bitticaca, Op,Cit., hal. 52 57http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5329/6/Chapter%20II.pdf, diakses

tanggal 4 Maret 2013, pukul 17.45 WIB 58Lihat juga putusan MARI No. 30 /K/Kr/1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI

NO. 72 K/Kr/1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 K/Kr/1973, dalam kasus Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 K/Kr/1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 K/Kr /1973 dalam kasus Reboisasi Hutan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA