bab i pendahuluan 1. latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Burma-Myanmar 1 . Hal ini menarik untuk diteliti karena selama ini tulisan yang ada sebatas berbicara mengenai perlakuan yang diterima bukan tindakan yang dilakukan. Etnis Muslim Rohingya ini merupakan satu dari total 135 etnis minoritas yang ada di Burma-Myanmar. Adapun dari sejumah etnis minoritas tersebut, etnis Muslim Rohingya dianggap etnis yang paling teraniaya (most persecuted ethnic) menurut UN (United Nations-PBB). Etnis ini tidak hanya teraniaya akibat diskriminasi yang diperoleh dari kebijakan pemerintah setempat tetapi juga dari kelompok atau etnis lainnya. Presiden Thein Sein pernah menyarankan bahwa satu-satunya solusi terkait masalah Muslim Rohingya ini adalah dengan cara mendeportasi mereka. Kenyataannya sampai sekarang belum ada satu negara yang benar-benar memberikan hak kewarganegaraan terhadap mereka. Penduduk Muslim Rohingya pun masih dianggap sebagai kelompok etnis yang tidak berkewarganegaraan. 1 Dikarenakan belum ada nama yang pasti untuk menyebutkan nama negara ini, maka penulis menggunakan nama ‘Burma-Myanmar’.

Upload: vuminh

Post on 12-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau

resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan

diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Burma-Myanmar1. Hal ini menarik

untuk diteliti karena selama ini tulisan yang ada sebatas berbicara mengenai

perlakuan yang diterima bukan tindakan yang dilakukan. Etnis Muslim Rohingya

ini merupakan satu dari total 135 etnis minoritas yang ada di Burma-Myanmar.

Adapun dari sejumah etnis minoritas tersebut, etnis Muslim Rohingya dianggap

etnis yang paling teraniaya (most persecuted ethnic) menurut UN (United

Nations-PBB).

Etnis ini tidak hanya teraniaya akibat diskriminasi yang diperoleh dari

kebijakan pemerintah setempat tetapi juga dari kelompok atau etnis lainnya.

Presiden Thein Sein pernah menyarankan bahwa satu-satunya solusi terkait

masalah Muslim Rohingya ini adalah dengan cara mendeportasi mereka.

Kenyataannya sampai sekarang belum ada satu negara yang benar-benar

memberikan hak kewarganegaraan terhadap mereka. Penduduk Muslim Rohingya

pun masih dianggap sebagai kelompok etnis yang tidak berkewarganegaraan.

1 Dikarenakan belum ada nama yang pasti untuk menyebutkan nama negara ini, maka penulis menggunakan nama ‘Burma-Myanmar’.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

2

Etnis muslim Rohingya ini telah didiskriminasi sejak tahun 1948 ketika

adanya pemisahan etnis yang dilakukan oleh Inggris. Pemisahan yang dilakukan

di wilayah Rakhine tersebut memisahkan etnis Buddha Myanmar dan Muslim

Rohingya. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa etnis Rohingya

bukanlah merupakan bagian dari Burma-Myanmar. Sebenarnya diskriminasi yang

dialami oleh etnis Muslim Rohingya juga dialami oleh etnis minoritas lainnya

seperti Kachin, Chin, Mon,dan Shan. Akan tetapi perbedaan yang mencolok

adalah bahwa junta yang berkuasa menyatakan bahwa tidak ada yang disebut

sebagai kelompok etnis minoritas Rohingya dalam sejarah Burma-Myanmar.

Dibawah pemerintahan militer yang menguasai Burma-Myanmar, pada

tahun 1982 muncul kebijakan baru yang disebut Burma Citizenship Law (BCL)

dimana warga Rohingya tidak mendapat kewarganegaraan, hak atas tanah, dan

pendidikan serta pekerjaan yang layak dan cukup. Tidak seperti golongan etnis

minoritas lainnya yang setidaknya diakui kewarganegaraannya oleh rezim Burma-

Myanmar, etnis Muslim Rohingya ini dianggap sebagai penduduk sementara dan

tidak mendapat hak kewarganegaraan secara penuh. Sayangnya demokrasi baru

yang telah diusung juga tidak membawa perubahan signifikan bagi mereka. Hal

ini terlihat sejak juli dimana biksu-biksu Buddha sudah melancarkan aksi anti-

Rohingya di berbagai kota di segala penjuru negara. Pada bulan Oktober, ratusan

mahasiswa yang beragama Buddha berunjuk rasa di Sittwe (Ibu Kota negara

bagian Rakhine) untuk melawan Rohingya dengan mengatakan bahwa mereka

adalah “teroris Bengali” (Aziz, Businessweek.com, 12 Nov 2012).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

3

Ada sebuah kepercayaan diantara mereka yang menyatakan bahwa

Rohingya bukanlah termasuk Burmese (warga Burma-Myanmar), tetapi “Bengali”

yang berasal dari Bangladesh atau manapun. Presiden Thein Sein sendiri pernah

menyatakan bahwa satu-satunya solusi bagi etnis tersebut adalah mendeportasi

mereka semua. Tidak ada negara manapun yang menerima mereka. Tidak heran

jika akhirnya mereka tidak menjadi warga negara yang diakui secara legal

dimanapun (Economist.com, 20 Okt 2012). Permasalahan terkait warga negara

inilah yang dianggap sebagai pemicu utama terjadinya berbagai konflik yang

menimpa etnis Muslim Rohingya. Karena hal inilah maka etnis Muslim Rohingya

sering dijadikan objek yang diskriminasi.

Kebijakan maupun perlakuan diskriminatif yang selama ini diterima oleh

warga Muslim Rohingya akhirnya menimbulkan respon atau sikap yang

ditunjukkan. Beberapa tulisan pernah menyatakan bahwa etnis Muslim Rohingya

juga pernah melakukan perlawanan. Respon pertama yang ditunjukkan adalah

dibentuknya semacam tentara “Mujahid” yaitu pada masa pemerintahan Junta

Militer. Organisasi yang dibentuk di bawah deklarasi Dobboro Chaung pada 20

Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain yang dikenal dengan nama Jafar

Kawal (Tha, 2006). Organisasi ini bertujuan untuk membentuk daerah otonomi

atau negara bagian khusus penduduk Muslim. Selain itu mereka menuntut agar

bagian utara Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw dimasukkan ke dalam

wilayah negara Pakistan.

Pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya bukanlah

satu-satunya respon yang dilakukan . Selama rentang waktu 64 tahun semenjak

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

4

Burma-Myanmar merdeka, warga Muslim Rohingya pun akhirnya memiliki

respon yang berbeda-beda. Berbagai perlawanan baik secara langsung atau tidak

ditunjukkan etnis ini. Hal ini dikarenakan Burma-Myanmar yang sekarang dalam

masa transisi demokrasi pun masih menunjukkan sikap yang diskriminatif. Hal ini

terbukti dengan sikap pemerintah Burma-Myanmar yang tidak memihak bahkan

terkesan membiarkan ketika konflik etnis berlangsung pada Juni dan Oktober

2012. Hal ini akhirnya menimbulkan pola respon yang dilakukan oleh etnis

Muslim Rohingya bisa dikatakan berbeda dari masa periode sebelumnya yaitu

periode Junta Militer.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan respon yang dilakukan etnis Muslim Rohingya terhadap

kebijakan diskriminatif yang diterapkan, maka penulis mengajukan pertanyaan

yaitu:

1. Bagaimana perlawanan yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam

menghadapi kebijakan yang diterapkan pemerintah Burma-Myanmar?

3. Tujuan Penelitian 3.1 Untuk mengetahui apa sebenarnya pola atau respon yang dilakukan

etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif

dari pemerintah Burma-Myanmar.

3.2 Untuk mengetahui mengapa terdapat perbedaan respon dari sejak

kemerdekaan Burma-Myanmar pada tahun 1948 hingga sekarang?

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

5

4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan pedoman bagi

ilmu pengetahuan serta mengetahui bagaimana sikap resistensi yang dilakukan

oleh etnis Muslim Rohingya selaku etnis minoritas yang selama ini dianggap

teraniaya. Selain itu tulisan ini juga diharapkan dapat mendukung dan

memperkaya tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya. Dimana nantinya

diharapkan hasil dari penelitian ini bisa memberikan salah satu solusi dalam

menyelesaikan masalah terkait etnis Muslim Rohingya.

5. Jangkauan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada rentang waktu antara tahun 1948 – 2012.

Pengambilan tahun 1948 karena terhitung pada awal kemerdekaan Burma –

Myanmar dari Inggris dan tahun 2012 dimana terjadi konflik besar yang

menyebabkan eksodus warga Burma-Myanmar dalam jumlah yang besar.

Sehingga dalam kurun waktu sekitar 64 tahun tersebut dapat dilihat apa saja

tindakan yang telah dilakukan warga Muslim Rohingya dalam menghadapi

kebijakan yang didapat, baik dari jaman otoriter pemerintah Junta hingga masa

transisi demokrasi seperti sekarang ini.

6. Landasan Teori / Kerangka Berfikir

6.1 Etnis Minoritas Etnis adalah sebuah kolektivitas yang anggotanya memiliki kesamaan

gaya hidup, sejarah dan bahasa namun identifikasi mereka terhadap tanah air

nenek moyang bersifat lemah dan beresiko untuk hilang sama sekali sementara

etnisitas adalah hasil tarik menarik antara teritori dan budaya. Jika suatu etnis

berusaha dan sukses dalam membangun klaim terhadap teritori yang ditempatinya

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

6

dan dengan teritori itu etnis tersebut menganggapnya sebagai tanah air, maka etnis

tersebut dianggap sebagai bangsa (Oommen, 1997: 69). Kelompok etnik

merupakan suatu kategori khas penduduk dalam masyarakat lebih luas dalam

kebudayaannya yang biasanya berbeda dengan kebudayaan kita. Para anggota

kelompok tersebut adalah orang/ kelompok yang merasa terikat oleh kesamaan

ras, nasionalitas atau kebudayaan (Moris, 1968: 161).

Secara sosiologis, minoritas dapat didefinisikan dalam konteks perbedaan

kekuatan dimana kelompok didalam struktur sosial, menjadi subjek yang di

diskriminasi dan atau mendapatkan prasangka buruk dari kelompok yang lebih

kuat atas dasar perbedaan yang nyata atau digunakan sebagai kriteria sebuah

pengelompokkan tertentu (Carlier, 1974: 7 dalam Carlier, 1974: 36). Untuk

menjelaskan mengenai minoritas ini memerlukan proses yang sangat akurat,

dimana elemen seperti pengelompokkan, pelabelan dan keseimbangan kekuatan

harus ditekankan, tidak hanya sebatas data statistik. Jika bersandar pada teori

sosiologi secara umum dan studi minoritas secara khusus (Newman 1973, Rex,

1961, Werthem, 1971 dalam Carlier, 1977: 36), maka kata kunci yang kemudian

muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

sering dijadikan kelompok yang berkuasa sebagai senjata di dalam konflik sosial.

Sedangkan menurut Theodorson & Theodorson (1979: 258-259),

kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang diakui

berdasarkan perbedaan ras, agama, atau suku bangsa, yang mengalami kerugian

sebagai akibat prasangka (prejudice) atau diskriminasi istilah ini pada umumnya

dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

7

untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan

seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai

contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat

kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering

digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat,

yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah

didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah

memperoleh hak-hak istimewa (privileged) atau tidak didiskriminasikan, tetapi

tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam

kelompok minoritas.

Oleh karenanya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang

berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok

minoritas hanya ditujukan kepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk

masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi. Akhimya perlu

juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok (lntergroup relation) .

Menurut Theodorson & Theodorson (1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti

penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas

dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-

suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehingga dapat dianggap sebagai

masalah sosial (social problem).

6.2 Teori Pergerakan Sosial Konsepsi gerakan sosial memuat gagasan tentang sebuah kekuatan sosial

yang ringkas dan padat yang terutama bersumber kuat dari keluhan-keluhan sosial

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

8

yang terpencar-pencar namun satu dari kelompok-kelompok, kasta-kasta dan

komunitas-komunitas masyarakat yang teraniaya, terpinggirkan dan dikecewakan.

Konsep tersebut menunjuk pada proses gerak-mandiri (self-action) dari

masyarakat untuk mereproduksi dan mencipta kembali (regenerate) dirinya

sendiri dalam proses kehidupan dan pertumbuhannya. Gerakan sosial sendiri

merujuk pada sekelompok dan sekumpulan utuh aksi-aksi konflik dari sebuah

kolektivitas dalam perlawanannya terhadap musuh demi memperjuangkan tujuan-

tujuan jangka panjang dan jangka pendek tertentu (Singh, 2010: 428).

Pergerakan sosial sering diartikan adanya tindakan kolektif yang dilakukan

sekelompok masyarakat dalam memperjuangkan hak maupun kepentingannya.

Pada perkembangannya, studi gerakan sosial berkembang menjadi dua yaitu

gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan sosial lama atau klasik

sering diartikan gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir dan

bertujuan untuk mendapatkan atau menjawab permasalahan yang ada seperti

gerakan melawan kolonialisme dan sebagainya. Serta gerakan sosial ‘baru’ (GSB)

yang sifatnya lebih kontemporer.

Adapun permasalahan gerakan dari kelompok yang tidak berdaya, Scott

(1989) lebih senang menyebutnya sebagai ‘perlawanan’ (resistance) ketimbang

Oommen (1990) yang menyebutnya sebagai ‘protes’ didalam studinya. Menurut

pembacaan Oommen terhadap studi-studi mengenai protes, ada lima tipe tulisan

mengenai protes dalam hal jenisnya. Yaitu (ibid: 392):

a) Aksi-aksi kekerasan kolektif yang terorganisir

b) Aksi-aksi non-kekerasan kolektif yang terorganisir

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

9

c) Mobilisasi pada level mikro (micro-mobilisation) yang bersifat non-

kekerasan atau kekerasan yang terorganisir

d) Mobilisasi pada level mikro (micro-mobilisation) yang bersifat sesaat dan

tak terorganisir

e) Protes-protes individual.

Terkait dengan seni perlawanan, Singh (2010) menyatakan bahwa data

mengenai ekspresi-ekspresi resistensi telah ada sepanjang keberadaan masyarakat.

Dimana dalam proses perlawanan tersebut berlangsunglah proses diferensiasi dan

perjuangan demi mempertahankan diri. Dimana Singh juga mengatakan bahwa

gerak pertempuran menjadi syarat organis bagi perjuangan demi mempertahankan

diri. Lebih lanjut, Singh juga memetakan tema-tema terkait gerakan sosial lama

atau klasik. Tema-tema tersebut antara lain gerakan-gerakan petani dan

perjuangan agrarian, post-history dan kesadaran kaum tani serta studi-studi

subaltern, gerakan suku, dan gerakan buruh. Adapun didalam penulisan tesis ini,

penulis lebih menekankan konsepsi gerakan suku.

Gerakan mengenai suku, sering berkenaan dengan konsep primordialisme.

Selama ini literatur yang ada menulis mengenai perlawanan etnis atau suku

tertentu terhadap sistem pemerintahan kolonialisme. Tidak heran, gerakan suku

sering dianggap sebagai salah satu gerakan kemerdekaan. Dimana gerakan-

gerakan kesukuan secara tradisional berusaha membela komunitas, yaitu demi

pelestarian warisan sosial, cultural, dan simbolik mereka, serta untuk bisa

menjalankan kontrol dan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam latar

kolonial, basis sosial gerakan-gerakan kesukuan secara umum tidak mengandung

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

10

elemen-elemen teknologi modern, sarana-sarana komunikasi yang cepat, maupun

terfokus pada nilai-nilai ekonomi dari perjuangan demokrasi. Perjuangan suku

tidak dikarakteristikan oleh tantangan kontemporer. Inilah mengapa, meskipun

banyak gerakan suku yang mengandung banyak aspek GSB, gerakan tersebut

sebenarnya masih termasuk perjuangan ‘lama’. Mereka termasuk gerakan sosial

‘lama’ dikarenakan sifat dasar dari inti-inti konfliktual mereka tidaklah’baru’

(Singh, 2010: 340).

Tema yang diangkat oleh GSB ini lebih beragam seperti gerakan terkait

lingkungan hidup, perempuan, kesukuan hingga pertahanan identitas-kolektif.

Terkait dengan isu kontemporer, sebenarnya dapat memunculkan bentuk-bentuk

aksi kolektif yang berbeda-beda seperti aksi kolektif yang bersifat kesukuan dan

agrarian, persoalan otonomi, hak asasi manusia dan sebagainya. Bahkan, masih

ada bentuk-bentuk lain yang masih tersembunyi di latar belakang yang menunggu

kesempatan untuk muncul di atas medan sosial yang tak adil (Singh, 2010: 428).

Terkait dengan, GSB, timbul pula beragam konsepsi tentang gerakan

kemasyarakatan. Gerakan kemasyarakatan yang terkait dengan GSB ini dapat

dilihat terkait periode perkembangannya. Mirsel menyatakan (2006: 16-18) ada

tiga tahapan atau periode yang mendukung terjadinya pola perbedaan dalam hal

gerakan kemasyarakatan yaitu:

1. Tahapan pertama ditandai oleh pandangan negatif terhadap gerakan

kemasyarakatan dan cenderung menjelaskannya dari sudut pandang

psikologi sosial. Sebagai reaksi terhadap popularitas psikoanalisis dan

pengaruh “dunia nyata” Nazisme, fasisme, Stalinisme, tindakan-tindakan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

11

main hakim sendiri (dengan mengeroyok dan membunuh) dan kerusuhan-

kerusuhan berbau ras, maka pada tahun 1940-an dan 1950-an teori gerakan

kemasyarakatan meneliti asal-usul irasional dari setiap gerakan yang

muncul, sambil menggunakan paradigma teori psikoanalisis, psikologi

sosial, dan teori perkumpulan massa (mass society).

2. Tahapan kedua, teori-teori gerakan kemasyarakatan didasarkan pada

pandangan yang lebih positif mengenai aneka gerakan yang muncul.

Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki

strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi structural tertentu.

Di tahun 1960-an, gerakan-gerakan kemasyarakatan muncul dan sekaligus

merangsang para pencetus teori-teori gerakan kemasyarakatan untuk

memandang fenomena-fenomena tersebut secara lebih baik.

3. Periode ketiga dapat pula disebut sebagai periode dekonstruksi. Sejak

akhir tahun 1970-an hingga saat ini, gerakan-gerakan baru bermunculan,

namun tidak lagi terlalu terkait dengan nilai-nilai liberal, demokratis,

pluralis, dan atau kekirian seperti yang telah dikemukakan oleh para ahli

gerakan kemasyarakatan. Menurut aliran-aliran pemikiran baru ini, semua

fenomena yang berhubungan dengan manusia merupakan tafsir sosial

(socially constructed) di dalam proses wacana dan interaksi sosial; karena

itu, tidak ada unsur baku di dalam komunitas manusia.

Adapun para sosiolog gerakan kemasyarakatan menanggapi berbagai

kenyataan dan gaya pemikiran baru ini dengan mengajukan teori yang

berdasarkan konsep seperti kebudayaan, pembingkaian (framing) dan konstruksi

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

12

identitas. Dinamika gerakan kemasyarakatan dan gerakan tandingan, aktivisme

lintas-negara dan persoalan-persoalan lintas batas, dan hubungan antar gerakan

kemasyarakatan dengan media telah mendapat perhatian semakin besar. Pada

periode ini tumbuh kembali minat terhadap teori-teori psikologi sosial, dengan

pusat perhatian pada proses pembentukan identitas kolektif (Mirsel, 2006: 20).

Selain tipe-tipe dari gerakan sosial, ada pula faktor-faktor yang

mendukung terbentuknya gerakan sosial ini. Faktor terkait dengan gerakan sosial

ini bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal merupakan faktor yang lebih cenderung berasal dari dorongan masyarakat

itu sendiri untuk melakukan perubahan. Faktor internal juga dapat dilihat dari

situasi dalam negeri sebuah negara dalam mendukung adanya perubahan. Terkait

gerakan sosial, faktor internal dapat dilihat dari segi politik (pemerintahan yang

cenderung otoriter atau demokratis), kondisi sosial maupun budaya masyarakat

setempat. Sedangkan faktor eksternal dapat terjadi karena pengaruh dari luar.

Dalam hal ini pengaruh luar yang dimaksud dapat dilihat dari luar suatu negara

atau komunitas. Bentuk faktor dari luar ini dapat didorong oleh kondisi budaya,

ekonomi (Kriesi, 1996: 159), fisik maupun terjadinya peperangan. Faktor

eksternal ini menjadi dibutuhkan ketika pengaruh tersebut dapat membantu

menyelesaikan permasalahan ataupun membantu terjadinya perubahan didalam

sebuah tatanan masyarakat.

6.3 Teori Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel (1957) dalam upaya

untuk menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok dan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

13

perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah non-reduksionis, yaitu membedakan

antar proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi harus dibedakan antar

proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari orang lain) dan proses

identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang dengan ciri-ciri tertentu

termasuk dalam suatu kelompok tertentu). Menurutnya perilaku kelompok

berbeda dari perilaku individu. Yang termasuk dalam perilaku kelompok antara

lain ethnosentrisme, ingroup bias, kompetisi dan diskriminasi antar kelompok,

stereotip, prasangka, uniformitas, konformitas, dan keterpaduan kelompok (Sari:

2011).

Menurut teori ini, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri

dan memungkinkan orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam

jaringan hubungan sosial yang rumit. Proses-proses yang mendasari perilaku

kelompok adalah kategorisasi dan perbandingan sosial. Hal ini memungkinkan

penekanan persamaan pada hal-hal yan terasa sama dan penekanan pada

perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda. Pada gilirannya kategorisasi dan

perbandingan sosial ini meningkatkan persepsi ingroup. Tidak ada kebenaran

yang semata-mata objektif, semua kebenaran disimpulkan dari perbandingan.

Tajfel mendefinisikan Identitas Sosial sebagai pengetahuan individu di

mana dia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan

emosi serta nilai (Tajfel, 1979). Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik,

kelas pekerja, agama, umur, gender, suku keturunan, dll. Biasanya pendekatan

dalam identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan interrelationship serta

kehidupan alamiah masyarakat dan society (Hogg & Abrams, 1988). Kemudian,

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

14

pendekatan identitas sosial juga mengamati bagaimana kategori sosial yang ada

dalam masyarakat tidak terbentuk secara sejajar, tapi juga menimbulkan status

sosial dan kekuasaan. Pada mulanya teori identitas sosial adalah evolusi teori yang

keluar dari teori kategorisasi sosial. Teori kategori sosial sendiri diperkenalkan

oleh Tajfel tahun 1972. Teori identitas sosial adalah teori yang dikembangkan

setelah Tajfel melihat kategorisasi yang dilakukan individu melekatkan juga nilai-

nilai di dalamnya pada kelompoknya dalam menilai kelompok lain.

6.4 Diskriminasi Menurut Banton, diskriminasi yang didefinisikan sebagai perlakuan yang

berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu menciptakan apa

yang disebut dengan jarak sosial (social distance). Sedangkan Ransford (1980)

membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan

diskriminasi institusi (Institutional Discrimination). Diskriminasi individu

merupakan tindakan seorang pelaku yang berprasangka (prejudice). Sedangkan

diskriminasi institusional merupakan tindakan diskriminasi yang tidak ada

kaitannya dengan prasangka individu, melainkan merupakan dampak kebijakan

atau praktik tertentu berbagai institusi dalam masyarakat (Edward, 1980 dalam

Sunarto, 2004: 156).

Menurut Theodorson & Theodorson (1997: 115 – 116): Diskriminasi

adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelmpok,

berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas,

seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas

sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

15

mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah,

sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan

tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau

aspek yang dapat terlihat dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice)

terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita

kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi

demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan

yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada

hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya.

Danandjaja (2003) menyatakan bahwa dalam arti tertentu diskriminasi

mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang

pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek

diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama,

adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap ilegal, tergantung dari

nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam

masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip

diskriminasi. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan

diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.

Diskriminasi adalah bentuk prasangka yang telah diwujudkan dalam

tindakan nyata. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh mereka yang

memiliki sikap prasangka sangat kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan

budaya, adat-istiadat, kebiasaan atau hukum (Supartiningsih, 2007: 42).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

16

Doob (1995) yang dikutip Supartiningsih (Supartiningsih, 2007: 43)

bahkan melihat diskriminasi menjadi perilaku yang ditujukan untuk mencegah

atau membatasi satu kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan

sumber daya. Ia dapat dilakukan dengan mengurangi, memusnahkan, menaklukan,

atau mengasimilasi kelompok lain. Ini berarti, sikap diskriminasi tidak lain adalah

satu kompleks berpikir.

Didalam interaksinya terkait etnis, diskriminasi adalah memperlakukan

orang berdasarkan kelompok atau darimana ia berasal dibanding kepribadian

maupun karakteristik individu tersebut. Diskriminasi juga biasanya dilakukan oleh

sekelompok orang yang merasa dominan untuk melindungi kepentingannya

sendiri. (Horton dan Hunt, 1980: 356)

7. Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mencari dan menelaah tentang

bagaimana bentuk resistensi yang telah dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya

namun pembahasannya hanya menjadi bagian dari salah satu penelitian atau

hanya berupa jurnal. Hasil-hasil penelitian diantaranya oleh Martin Smith (1991)

dalam Burma: Insurgency and the Politics of Ethnicity merupakan buku yang

menerangkan secara lengkap tentang Burma-Myanmar secara gambaran umum.

Di dalam buku tersebut diceritakan tentang konflik-konflik yang terjadi dan

tentang pemberontakan di Burma, termasuk pemberontakan Mujahid yang

melibatkan etnis Muslim Rohingya.

Tulisan lain yang dikemukakan Clive J Christie (1996) dengan judul A

Modern History of Southeast Asia: Decolonization, Nationalism, and Separatism

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

17

dalam salah satu bahasannya yang berjudul “At the Frontier of the Islamic World:

Arakanese Muslim” membahas perselisihan dan pemberontakan di dunia Islam.

Dimana dalam hal ini adalah Muslim Arakan atau Muslim Rohingya yang

menjadi masyarakat minoritas yang terlupakan di negaranya sendiri. Diceritakan

pula keadaan di Arakan selama dan setelah perang dunia kedua, serta berbagai

pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh gerakan Mujahidin.

Buku hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Politik dan

Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) (2000).

Penelitian tersebut berjudul Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara:

Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, penelitian itu membahas problematika ketiga

muslim minoritas dilihat dari perspektif masalah represi di bidang ekonomi,

represi politik, serta membahas tentang gerakan resistensi ketiga minoritas muslim

dengan dimensi internasional, dalam hal ini adalah peranan negara-negara OKI

dalam menyikapi masalah muslim Rohingya.

Vincent Bodreau (2004) dalam Resisting Dictatorship: Repression and

Protest in Southeast Asia membahas mengenai perbandingan kasus yang ada di

Burma-Myanmar, Indonesia dan Filipina terkait perlawanan terhadap pemerintah

masing-masing. Berbagai variasi strategi yang diusung terhadap negara dan

hubungan antara strategi dan model-model aksi kolektif serta perlawanan menjadi

fokus utama tulisan ini. Variasi-variasi perlawanan yang dianggap penting dalam

prosesnya dan hasil dari perjuangan mereka di dalam setiap kasus merefleksikan

adanya pola yang menyangkut historis. Selain itu, masa pemerintahan Ne Win di

Burma-Myanmar, Suharto di Indonesia dan Ferdinand Marcos di Filipina

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

18

menjadikan pola perlawanan yang ada melihat bagaimana politik dan ekonomi

berperan terkait krisis yang melanda.

Azizah (2006) dalam Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pasca

Kemerdekaan Burma 1948-1988 membahas mengenai pemberontakan Muslim

Rohingya yang dilakukan secara sporadis akibat tekanan yang berkepanjangan

oleh masyarakat mayoritas Buddha dan pemerintah junta militer Burma-

Myanmar. Tulisan ini juga membahas mengenai alasan pemberontakan yang

dilakukan demi mendapatkan otonomi atas negara bagian Arakan Utara yang

merupakan wilayah dengan penduduk muslim terbesar di Burma-Myanmar.

Dari beberapa tulisan diatas, terlihat belum ada yang secara signifikan

menulis tentang tindakan perlawanan apa saja yang dilakukan oleh etnis Muslim

Rohingya. Tulisan yang selama ini ada mayoritas berbicara dari perspektif

kebijakan negara yang terkesan sangat represif terhadap etnis Muslim Rohingya

ini. Ada beberapa tulisan yang mencoba menjelaskan tentang resistensi yang

dilakukan etnis Muslim Rohingya tetapi masih berkisar dalam satu pola resistensi

saja. Sehingga tulisan ini diharapkan tidak hanya dapat memberikan penjelasan

mengenai pola-pola gerakan sosial yang selama ini telah dilakukan sebagai bentuk

resistensinya terhadap kebijakan maupun perlakuan diskriminatif otoritas

setempat. Tetapi juga memberikan penjelasan terkait terdapatnya perbedaan pola-

pola didalam gerakan sosial yang selama ini telah dilakukan.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

19

8. Argumen Utama Pola respon yang ditunjukkan oleh etnis Muslim Rohingya merupakan

jawaban atas tindakan maupun kebijakan diskriminatif yang ditunjukkan oleh

pemerintah Burma-Myanmar. Penulis kemudian membaginya kedalam dua

periode yaitu periode Junta Militer dan periode Transisi Demokrasi. Dalam

perkembangannya, ternyata pada kedua periode tersebut terdapat perbedaan pola

perlawanan.

Adanya perbedaan perlawanan pada masing-masing periode didukung

oleh faktor maupun peristiwa yang terjadi pada tiap periode. Pada periode pertama

yaitu zaman Junta Militer, respon yang dilakukan lebih kepada respon terhadap

kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah Burma-Myanmar. Pada

masa ini, perlawanan yang dilakukan lebih ditujukan kepada pemerintah otoritas

Burma-Myanmar yang kala itu dipimpin oleh Junta Militer. Sedangkan respon

pada periode yang kedua yaitu Transisi Demokrasi, lebih disebabkan oleh gesekan

atau konflik horizontal yang terjadi seperti konflik antar etnis. Selain itu, masalah

identitas dan budaya menjadi salah satu hal yang membuat terdapat perbedaan

pola resistensi terutama saat periode Transisi Demokrasi. Sehingga faktor yang

yang menyebabkan terdapat perbedaan kedua respon tersebut juga bisa terlihat

dari masa atau situasi dalam negeri yang mendukung pada setiap periode.

Perbedaan pola perlawanan juga diakibatkan oleh berubahnya sistem tatanan

dunia yang ada. Sehingga terdapat perbedaan strategi maupun perlawanan yang

dilakukan. Hal ini juga diakibatkan adanya perbedaan kepentingan yang diusung

oleh etnis Muslim Rohingya itu sendiri.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

20

9. Metodologi Penelitian

9.1 Jenis Penelitian Pendekatan penelitian dikenal ada dua jenis yaitu pendekatan kualitatif

dan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan

pendekatan kualitatif. Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud

dengan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial

yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya

sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan

peristilahannya” (Moleong, 2004: 131).

Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti

pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrumen

kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat

induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada

generalisasi.

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney

dalam Moh Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan

interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi

tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,

pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan

pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 2003: 16).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

21

9.2 Sumber Data dan Informasi Sumber data meliputi data sekunder. Data sekunder adalah data yang

diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mempelajari literatur, tulisan ilmiah,

serta dokumen yang terkait dengan objek penelitian yang diangkat.

9.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang berhubungan

dengan penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan pustakan seperti buku,

artikel, koran, majalah, laporan penelitian sebelumnya serta bahan pustaka

penunjang lainnya serta melalui studi kepustakaan, penulis menggunakan media

internet untuk mendapatkan data-data tersebut.

10. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini disusun berdasarkan Bab I sampai dengan

Bab V, dengan rincian sebagai berikut:

Bab I atau bab Pendahuluan menyajikan: latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, batasan penelitian,

landasan teori, kerangka konseptual, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II, memuat profil negara dan etnis muslim yang terdapat di Burma-

Myanmar, sejarah etnis Muslim Rohingya, serta gambaran umum mengenai

kebijakan diskriminatif yang didapat oleh etnis Muslim Rohingya.

Bab III, merupakan bab yang berisi mengenai berbagai tindakan atau pola-

pola yang dilakukan etnis Muslim Rohingya terhadap kebijakan diskriminatif

yang telah diterapkan pemerintah Burma-Myanmar.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut

22

Bab IV, merupakan analisis terkait faktor-faktor yang mendukung

terjadinya perlawanan serta dinamika yang terjadi terhadap pola-pola tindakan

yang telah dilakukan etnis Muslim Rohingya secara keseluruhan.

Bab V, merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran.