bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Depresi secara umum dapat dipahami sebagai suatu gangguan psikis yang
menyebabkan perubahan perasaan, kognisi dan perilaku yang terjadi pada
individu. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
(PPDGJ) III (1993) mendeskripsikan gangguan depresi sebagai suatu fenomena
psikis dimana individu merasakan suasana perasaan kehilangan minat dan
kegembiraan yang mengakibatkan individu yang memiliki gejala depresi mudah
seperti merasa lelah dan berkurangnya keinginan individu tersebut untuk
melakukan aktifitas sehari-hari. Sebagai contoh: individu yang mengalami depresi
karena permasalahan rumah tangganya, individu tersebut berubah perilakunya
mulai menarik diri dari lingkungan, mudah tersinggung, serta merasakan
kesedihan yang besar.
Depresi terbagi dalam tiga tingkatan spektrum psikopatologikal, dimulai
dari spektrum depresi ringan, sedang hingga berat (Beck dan Alford, 2009).
Identifikasi awal gejala depresi dapat dilakukan melalui pengamatan sederhana
dengan melihat perubahan kemampuan individu dalam melaksanakan aktivitas
kesehariannya. Seorang individu yang menderita gangguan depresi ringan
memiliki kecenderungan mengalami perubahan perasaan secara mendadak, yang
berdampak pada menurunnya konsentrasi kerja, meningkatnya potensi stress,
serta hadirnya hambatan (kecil) dalam interaksi sosial dengan orang lain. Bila
tahapan depresi telah meningkat menjadi depresi sedang, maka individu akan
mulai mengalami “fase kesulitan yang nyata1” untuk melaksanakan kegiatannya
1 Fase ini adalah sebuah fase ketika individu merasakan hambatan yang cukup besar untuk melakukan
kegiatan sehari-hari.
2
sehari-hari. Tahap paling fatal (depresi berat) adalah ketika individu yang memiliki
depresi tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat, maka akan
mengalami tekanan psikis yang sangat berat, hingga sampai pada kondisi tidak
dapat melaksanakan aktivitas apapun. Pada titik ini seorang penderita gangguan
depresi akan merasa selalu terancam (insecure), kehilangan harga diri bahkan
mempunyai keinginan bunuh diri (PPDGJ III, 1993).
Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang banyak dialami oleh
setiap orang di seluruh dunia. World Health Organization merilis bahwa lebih dari
300 juta orang didunia menderita depresi. Setiap tahun selalu ditemukan kurang
lebih 800.000 kasus kematian dan bunuh diri yang dilatarbelakangi karena
depresi. Rata-rata kasus depresi banyak diderita oleh remaja dan dewasa pada
rentang usia 15-29 tahun (WHO, 2017). Sementara itu di Indonesia sendiri,
Merujuk dari paparan data Kemetrian Kesehatan Indonesia tahun 2013 terdapat
sebanyak 6%2 penduduk mengalami gangguan mental emosional yang di
dalamnya termasuk gangguan depresi (Depkes, 2013).
Depresi merupakan gangguan mental yang cukup meresahkan walaupun
gangguan ini cukup umum dialami oleh setiap individu, namun jika tidak cepat
ditangani, depresi dapat berkembang menjadi ganguan yang mematikan. Hal ini
dikarenakan individu dengan tingkat depresi yang berat dapat saja memutuskan
untuk membunuh dirinya sendiri. Afek-afek khas yang menyertai gangguan ini
seperti berkurangnya minat, sering merasa lelah serta menurunnya harga diri tidak
bisa dianggap sepele karena hal ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari
individu bahkan mempengarhui lingkungannya. Oleh karena itu, penanganan yang
tepat untuk gangguan ini terus menerus diteliti oleh para ahli. Salah satu
penanganan untuk menangani depresi adalah dengan teknik cognitive behavioral
2 Jumlah ini termasuk gangguan mood lainnya seperti kecemasan, mania dan bipolar.
3
therapy. Cogntive behavioral therapy adalah sebuah teknik yang menekankan
pada rekonstruksi kognisi.
Teknik Cogntive behavioral therapy dalah sebuah perspektif kognitif dalam
masalah klinis yang menekankan pada peran kognisi/pikiran yang dapat
mempengaruhi afeksi dan perilaku. Meskipun masih ada beberapa masalah
psikologis yang efektif menggunakan terapi perilaku tradisional (behaviour
therapy), namun permasalahan seperti depresi tidak dapat dengan mudah
diintervensi dengan teknik clasical atau operant conditioning (Trull dan Prinstein
2013). Argumen ini diperkuat dengan temuan Bradley (1994) yang menyebutkan
mengenai bukti-bukti penelitian yang menunjukkan bahwa Cogntive behavioral
therapy adalah terapi yang lebih ampuh dibandingkan cognitive therapy ataupun
pharmacotherapy dalam membantu individu dengan gangguan depresi (Bradley,
1994). Selain itu, karena teknik ini bertujuan untuk merubah kognisi dan perilaku
individu, bagi pengidap depresi teknik ini akan cocok untuk membantu
meringankan gejala kognisi seperti merasa tidak mampu atau gejala perilaku
seperti perilaku menarik diri.
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk individu yang mengalami
gejala depresi sendiri salah satunya melalui konseling. Metode konseling
konvensional yang saat ini masih sering dipakai adalah konseling face to face atau
dengan pertemuan secara langsung, Namun metode ini belum mampu secara
optimal menjembatani beberapa hal; pertama permasalahan jarak dan waktu
antara penderita dengan psikolog, kedua kondisi ketika individu yang memiliki
gejala depresi kehilangan minat untuk melakukan kegiatan maka akan dapat
dipastikan menemui seorang psikolog secara langsung juga merupakan hambatan
yang besar baginya. Dua permasalahan tersebut merupakan kendala teknis
namun sangat mengganggu proses penanganan depresi melalui konseling
konvensional. Disisi lain, metode konvensional juga dihadapkan pada
4
keterbatasan tenaga kesehatan mental yang tidak seimbang dengan banyaknya
jumlah penderita depresi di Indonesia3 (Viora, 2015). Persebaran tenaga
kesehatan mental yang timpang tersebut menyebabkan banyak individu yang
mengalami gejala depresi, khususnya di daerah terpencil kesulitan untuk
mengakses layanan kesehatan mental di daerah mereka, hal ini diperparah
dengan masih rendahnya kesadaran kesehatan mental di kawasan-kawasan
terpencil4.
Perkembangan teknologi pada saat ini telah banyak memberikan
sumbangsih bagi peradaban manusia. Teknologi memungkinkan manusia untuk
bisa berkomunikasi satu dengan yang lain dalam konteks real time dan jarak tidak
lagi menjadi penghalang berlangsungnya interaksi antar individu. Perubahan
budaya komunikasi tersebut juga membawa dampak pada dunia konseling
psikologi, saat ini konseling psikologi tidak lagi dilakukan hanya dengan metode
face to face, salah satu media yang digunakan untuk melakukan konseling
psikologi melalui media online. Perkembangan konseling secara online telah
menciptakan peluang dan juga tantangan bagi para profesional yang
berkecimpung dalam dunia konseling. Beberapa penelitian untuk menyelidiki
besarnya indikasi pengaruh konseling online di berbagai lapisan masalah
psikologis mulai diupayakan oleh para psikolog modern hari ini (Dowling, 2015;
Lawrence Murphy, Paul Parnass, Daniel L. Mitchell, Rebecca Hallett & Paula
Cayley, 2009). Pengembangan konseling Cognitive Behavioural Therapy online
juga dilakukan oleh Doherty, Coyle, dan Sharry (2012) yang memperkenalkan
3 Di Indonesia yang memiliki penduduk sekitar 250 juta saat ini hanya memiliki sekitar 451 psikolog
klinis (0,51 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk) dan perawat jiwa
6500 orang (2 per 100.000 penduduk).
4 Rendahnya kesadaran kesehatan mental di daerah ini terefleksikan dengan pemahaman masyarakat yang
masih sempit ketika menyikapi permasalahan-permasalahan kesehatan mental yang sering dihubungkan
dengan stigma negatif terhadap gangguan jiwa yang di dalam masyarakat.
5
program SilverCloud, yaitu platform online yang membantu menangani
pemasalahan psikologis penggunanya dimana peneliti menyediakan psikolog yang
menangani masalah depresi partisipan. Salah satu gangguan yang diatasi dalam
platform ini adalah gangguan depresi (dengan partisipan mahasiswa tahun
pertama dan kedua) dimana hasilnya menunjukkan penurunan tingkat depresi
menggunakan alat ukur Beck’s Depression Inventory (BDI) ( Doherty, G., Coyle,
D., & Sharry, J., 2012).
Sementara itu di Indonesia, inovasi pengembangan support online program
berbasis cognitive behavioral therapy (Cognitive Behavioural Therapy) pada
remaja telah dilakukan dalam oleh Ramdhani, Widjaja, dan Rahmawati (2015)
yang meneliti mengenai program BERANI yaitu support program online berbasis
Cognitive Behavioural Therapy untuk remaja penderita kecemasan sosial dan
mendapatkan hasil dimana 52,5 % partisipan mengalami penurunan kecemasan
sosial (Ramdhani, Widjaja, dan Rahmawati, 2015). Selain itu terdapat juga website
konsultasi online yaitu; http://pijarpsikologi.org/, yang menyediakan menu
konsultasi seputar permasalahan psikologis yang dialami oleh pembacanya
dengan pilihan konsultasi melalui email yang disediakan di website tersebut.
Berefleksi dari hal tersebut, sebenarnya praktik konsultasi online di Indonesia
sudah mulai berkembang namun perlu diadakan penelitian untuk mengoptimalkan
kinerjanya dan mensosialisasikannya di masyarakat luas. Oleh karena itu,
penelitian mengenai konseling online ini diharapkan dapat memberi sumbangsih
akademis untuk mengkaji lebih luas kemungkinan-kemungkinan konseling online
dapat dikembangkan dalam dunia psikologi di Indonesia. Dengan memanfaatkan
teknologi diharapkan konseling yang sebelumnya dilaksanakan dengan cara
konvensional atau face to face dengan berbagai kendalanya, dapat diatasi melalui
terobosan ini.
6
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aplikasi chatting Telegram,
penggunaan aplikasi ini didasarkan pada fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh
aplikasi ini yang dapat mendukung proses intervensi. Fasilitas-fasilitas tersebut
antara lain: aplikasi ini dapat diunduh secara gratis dan merupakan salah satu
aplikasi yang memiliki tampilan sederhana dan mudah digunakan serta memiliki
fitur emotikon serta stiker yang bisa membantu partisipan dan psikolog lebih
komunikatif dalam mengungkapkan perasaannya. Kapasitas penyimpanan cloud
telegram juga dianggap mumpuni sehingga jika partisipan dan psikolog
mengirimkan file di dalam chat, data konseling partisipan dapat dijaga hingga akhir
sesi. Kemudahan lainnya yang ditawarkan oleh aplikasi ini adalah selain berbasis
aplikasi, Telegram juga berbasis web sehingga ketika pengguna melakukan log in
ke halaman web, pengguna tersebut tidak perlu mengaktifkan koneksi mobile data
pada handphone pengguna sehingga proses konseling dapat dilakukan dengan
media handphone ataupun desktop secara terpisah.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan meneliti mengenai konseling
online menggunakan teknik Cognitive Behavioural Therapy pada pengidap
depresi. Selain itu, peneliti ingin mengetahui formulasi tenik konseling yang efektif
untuk menghadapi partisipan yang menderita gangguan depresi dengan media
internet. Metode yang digunakan adalah dengan chatting karena text adalah
sarana komunikasi yang paling familiar digunakan oleh remaja dan dewasa di era
komunikasi digital saat ini (Sherman, Michikyan, & Greenfield, 2013). Di Indonesia
sendiri, penelitian mengenai konseling online belum banyak dilakukan walaupun
pada praktiknya sudah ada website dan konselor yang melayani partisipan dengan
media online. Sehingga diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh bukti yang
valid dan reliabel mengenai konseling online di Indonesia.
7
B. Perumusan masalah
Penelitian ini dilakukan berlandaskan masalah depresi yang banyak terjadi
di masyarakat. Hambatan untuk menyelesaikan hal ini adalah keterbatasan
masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan mental dikarenakan ketidak
seimbangan ketersediaan tenaga kesehatan mental. Pertanyaan penelitian ini
adalah: “Apakah konseling online menggunakan aplikasi chatting online dapat
mengurangi gejala depresi sedang?”
C. Tujuan dan manfaat penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui indikasi besarnya pengaruh konseling
online berbasis brief Cognitive Behavioural Therapy menggunakan media aplikasi
chatting telegram dalam menurunkan gejala depresi. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoritis sebagai berikut:
a) Manfaat praktis: penelitian ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan
masalah bagi masyarakat untuk mengakses layanan psikologis dengan mudah
dan terjangkau, di sisi lain dapat dijadikan sebagai alternatif mode konseling
yang lebih cepat,aman dan nyaman.
b) Manfaat teoritis: penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khazanah
pengetahuan mengenai konseling online di Indonesia, mengingat sudah mulai
menjamurnya situs-situs online yang menawarkan konseling psikologis,
sehingga perlu diteliti buktinya secara ilmiah sebagai penjamin bahwa mode
konseling ini benar-benar dapat membantu konsumennya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
D. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya
Dari hasil kajian literatur yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan bahwa konseling
online dengan metode Cognitive Behavioural Therapy sudah mulai marak dilakukan di
beberapa negara maju seperti Belanda dan Australia(Silva, Siegmund, & Bredemeier,
2015). Hasil dari beberapa penelitian tersebut menyebutkan bahwa konseling online
8
dengan cognitive Behavioural therapy mampu menurunkan gejala depresi pada remaja
dan pasien pada klinik kesehatan (Kessler et al., 2009; Richards & Richardson, 2012;
Smith et al., 2015). Salah satu temuan eksperimen terbaru mengenai pengembangan
teknik CBT dilakukan oleh Calleo (2015), eksperimen ini menunjukkan bahwa teknik CBT
yang dilakukan pada pengidap penyakit parkinson potensial untuk menurunkan tingkat
kecemasan dan depresi pada partisipan (Calleo, 2015). Intervensi CBT yang dilakukan
dengan pendekatan problem-solving pada partisipan pengidap depresi terbukti
menurunkan tingkat depresi mereka (Chen, S.-Y., Jordavn, C., dan Thompson, 2006).
Pada penelitian ini, akan diteliti mengenai konseling secara online dengan teknik brief
Cognitive Behavioural Therapy selama lima sesi yang ditujukan untuk menurunkan gejala
depresi. Konseling dilakukan dengan media aplikasi chatting online Telegram yang dapat
diunduh secara gratis dan media Google Docs yang bisa diakses melalui link yang
diberikan selama sesi konseling berlangsung. Partisipan konseling ini adalah individu
dengan pendidikan mahasiswa berumur 18-25 tahun yang sedang mengalami gejala
depresi tingkat sedang berdasarkan skor Beck’s Depression Inventory bahasa Indonesia
yang diisi oleh partisipan pada saat pre-test.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Depresi
1. Teori depresi
Penggunaan kata depresi umumnya dipakai untuk menunjukkan pola yang
mengganggu dalam hal perasaan, kognisi dan perilaku, depresi sendiri bisa
dianggap sebagai suatu syndrome ataupun symptom-complex (Beck dan Alford,
2009). Kumpulan gejala-gejala dan symptom sering dikonseptualisasikan sebagai
dimensi psikopatologikal dam rentang intensitas dari ringan ke berat (Beck dan
Alford, 2009). Walaupun begitu, banyak orang yang mengalami gangguan ini tidak
menyadari bahwa mereka sedang mengalami depresi (Wilding dan Milne, 2008),
sehingga terkadang gangguan ini baru terlihat setelah menjadi gangguan depresi
berat.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ)
III (1993) mendeskripsikan diagnosis depresi sebagai suatu situasi dimana
individu merasakan kesedihan yang berlarut-larut, mulai dari hilangnya minat dan
kegembiraan akan aktivitas sehari-hari, mudah merasakan lelah dan mulai
menurunnya tingkat konsentrasi serta berkurangnya minat individu untuk
melakukan interaksi dengan orang lain. Individu yang mengalami gejala depresi
juga umumnya memiliki persepsi yang negatif tentang masa depannya dan
mengalami gangguan fisik seperti gangguan tidur. Keadaan ini harus ada dalam
diri individu minimal dalam rentang waktu dua minggu. Gangguan depresi yang
paling sering dijadikan diagnosis dan paling mudah dikenali adalah gangguan
depresi mayor5 (Barlow & Durand, 2015). Di dalam buku DSM V (APA, 2013)
menjelaskan bahwa keadaan depresi yang ekstrem adalah ketika dalam waktu
5 Gangguan depresi dengan skala terberat.
10
dua minggu individu mengalami gejala kognitif6 dan mengalami gangguan fungsi
fisik7 hingga individu tersebut merasa bahwa kegiatan yang sederhana sekalipun
memerlukan usaha yang berat. Keadaan ini biasanya diikuti dengan kehilangan
minat akan sesuatu dan ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan hidup
termasuk interaksi dengan orang lain. Salah satu contoh kasus depresi yang
pernah ditemukan oleh peneliti adalah seorang klien yang selama beberapa bulan
terakhir mudah menangis jika teringat akan keadaan keluarganya. Gejala-gejala
yang dialami klien saat itu adalah sering menangis, mudah tersinggung oleh
adiknya, lebih suka menghabisakan waktu di kamarnya, dan merasa malas untuk
melakukan aktivitas sosial dengan orang lain.
Depresi adalah salah satu masalah psikologis yang paling banyak diidap oleh
orang-orang di dunia, bahkan depresi bisa dikatakan sebagai gangguan yang juga
banyak memakan biaya untuk pemulihannya, di samping itu depresi juga
merupakan gangguan berulang dengan kenaikan onset pada masa muda (Gotlib &
Hammen, 2009) .Setiap tahunnya, 6% orang dewasa akan mengalami episode
depresi, dan lebih dari 15% populasi orang di dunia akan mengalami minimal satu
episode depresi, depresi juga dipandang sebagai penyebab utama bunuh diri dan
baru-baru ini menjadi salah satu dari empat gangguan tertinggi dalam komunitas
dan akan berpengaruh kepada keluarga dan karier serta berdampak dalam
produktivitas di tempat kerja (Pilling, Anderson, Goldberg, Meader, dan Taylor,
2009). Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sekitar 20% populasi orang
Amerika, terutama perempuan akan mengalami episode depresi klinis dalam
kehidupan mereka. Sebagai tambahan dari penemuan dampak depresi pada
kesehatan dan produktivitas kerja, saat ini sudah banyak bukti yang menunjukkan
6 Merasa tidak berharga dan bimbang/ragu-ragu
7 Gangguan tidur, gangguan selera makan hingga perubahan yang ekstrem dalam berat badan dan mudah
merasa lelah.
11
bahwa depresi berakibat buruk pada hubungan interpersonal, terutama dengan
pasangan dan anak (Gotlib & Hammen, 2009).
Definisi depresi sendiri banyak dikemukakan oleh para ahli, salah satunya
yang diungkapkan oleh Beck dan Alford (2009) depresi adalah suatu keadaan
yang mencakup atribut-atribut di bawah ini:
a. Perubahan yang spesifik pada mood antara lain kesedihan, kesepian serta
apati terhadap lingkungan.
b. Konsep-diri yang negatif, dimana individu merasa rendah diri dan cenderung
suka untuk menyalahkan diri sendiri. Individu akan merasa dirinya tidak
berharga dan tidak berdaya serta tidak ada orang yang benar-benar
mencintainya.
c. Regresi, dimana perilaku individu menjadi tidak sesuai dengan usianya seprti
individu yang dewasa menolak untuk bertanggung jawab atas dirinya dan lebih
dependen dengan orang lain. Serta harapan untuk menghukum diri sendiri
dimana individu merasa dirinya pantas dihukum atas segala masalah yang
terjadi dan mempunyai keinginan untuk melarikan diri dari masalah, atau
bahkan keinginan untuk mati/bunuh diri.
d. Perubahan vegetatif yang terjadi pada individu seperti: anoreksia, imsomnia
serta kehilangan gairah seksual yang membuat individu terlihat tidak sehat
secara fisik.
Di samping itu, salah satu hal yang penting dari individu yang mengidap
depresi mayor adalah gangguan tidur, hubungan antara gangguan tidur dengan
depresi sudah lama diketahui oleh para ahli. Hampir semua individu yang
mengidap depresi mayor melaporkan gangguan tidur yang mereka alami seperti
insomnia, oversleeping dan buruknya kualitas tidur (Kennedy, Lam, Nutt, & Thase,
2007).
12
Paradigma primary triad di bawah ini menunjukkan hubungan antar aspek
kognitif, afektif, motivational dan fenomena fisik pada depresi, paradigma ini dapat
diterapkan pada segala jenis depresi (Beck dan Alford, 2009).
Gambar 1. Paradigma primary triad (Beck dan Alford, 2009)
Gangguan depresi bisa dilihat dari tiga aktivasi besar pola kognitif yang
memaksa individu untuk melihat diri sendiri, dunia dan masa depan dalam cara
yang negatif, pola pemikiran ini menuntun individu untuk masuk ke dalam keadaan
depresi (Beck dan Alford, 2009) Komponen pertama adalah pola melihat
pengalaman dalam cara yang negatif, dimana pasien secara konsisten
mengartikan interaksi mereka dengan lingkungan sebagai suatu kekalahan,
kehilangan atau penghinaan, mereka melihat hidupnya dikuasai beban, halangan
atau situasi yang traumatis. Komponen kedua, individu melihat bahwa dirinya idak
berharga dan tidak berdaya, cenderung suka menyalahkan dirinya sendiri.
Komponen terakhir menunjukkan bahwa individu merasa masa depannya suram
dan kejadian-kejadian buruk akan terus menimpanya.
Teori kognitif dari gangguan depresi menyatakan bahwa pikiran, perilaku dan
interpretasi seseorang dalam memikirkan atau mengingat suatu kejadian akan
menentukan respon emosionalnya. Hal ini menyebabkan kognisi memainkan
peran yang krusial mengenai bagaimana seseorang dipengaruhi oleh pengalaman
yang dipersepsi negatif dan menentukan apakah individu tersebut akan bisa cepat
pulih atau malah mengalami depresi (Gotlib & Hammen, 2009).Komponen kedua
adalah melihat diri sendiri dalam cara yang negatif. Individu menilai diri mereka
13
sebagai seseorang yang kurang, inadekuat, tidak pantas dan mengatribusikan
pengalaman tidak menyenangkan pada fisik, mental atau kerusakan moral pada
diri sendiri, lebih jauh, individu merasa dirinya tidak menarik dan tidak berharga
karena merasa dirinya rusak dan cenderung menolak diri sendiri karena hal-hal
tersebut. Terakhir adalah melihat masa depan dalam cara yang negatif dimana
individu merasa bahwa mereka akan terus berada dalam keadaan sulit, mereka
juga melihat penderitaan tak berujung, frustasi dan keadaan yang hina (Beck dan
Alford, 2009).
Banyak ahli yang telah membuat konsep mengenai depresi berdasarkan
model biopsikososial, yaitu gangguan yang diakibatkan dari interaksi antara
variabel gen, sosial dan kognitif, dan menemuan bahwa tidak ada gen yang
spesifik yang menjadi penyebab depresi(Leventhal, 2008). Teori postulat yang
sudah disebutkan sebelumnya mengenai gangguan depresi dimana individu yang
mempunyai pola pikiran yang aneh (schemas) dipengaruhi oleh stres yang spesifik
atau oleh stres yang tidak spesifik (Beck dan Alford, 2009).
Menurut World Health Organization (2002) gangguan mental adalah salah
satu gangguan yang banyak dialami oleh pemuda di Amerika. Di samping itu,
departemen pendidikan Amirika menemukan bahwa masalah gangguan mental
terus naik dan menjangkiti pemuda terutama yang sedang menjadi mahasiswa
(U.S. Department of Education, National Center for Education Statistics, 2005).
Eisenberg, Gollust, Golberstein, dan Hefner (2007) menemukan dari berbagai
literatur bahwa bunuh diri banyak ditemukan pada mahasiswa berumur lebih dari
25 tahun atau mahasiswa laki-laki. Para pelaku bunuh diri ini ditemukan pernah
mengalami kekerasan seksual, bermasalah dengan identitas seksual atau
mempuanyai hubungan yang bermasalah dengan orang lain serta mempunyai
masalah dengan obat-obatan.
14
Eisenberg dkk (2007) juga menemukan bahwa perkiraan gangguan depresi
dan kecemasan pada mahasiswa adalah sebanyak 15,6% pada mahasiswa yang
belum lulus dan 13% pada mahasiswa yang sudah lulus. Penelitian ini dilakuakn
pada 2.843 mahasswa, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa
yang mempunyai masalah finansial mempunyai resiko yang lebih tinggi dalam
gangguan mental. Di samping itu, sebanyak 2% responden ditemukan mempunyai
ide bunuh diri.
Penelitian lainnya menemukan bahwa sindrom depresi ditemukan lebih
banyak pada populasi mahasiswa dibandingkan populasi lainnya pada pemuda
berusia di atas 16 tahun (Margitics & Pauwlik, 2009). Penelitian ini dilakukan pada
sampel sebanyak 681 mahasiswa Hungaria (465 perempuan dan 216 laki-laki)
pada 2004 dan kembali dilakukan pengukuran pada 712 mahasiswa (545
perempuan dan 167 laki-laki) pada 2007 menggunakan Beck’s Depression
Inventory (BDI). Di penelitian ini juga ditemukan bahwa lebih dari setengah
mahasiswa mengalami perasaan tidak berharga dan tidak puas. Selain itu, hampir
semua mahasiswa tingkat kedua mempunyai karakteristik mudah lelah, tidak
teguh pendirian serta merasa tidak mempunyai harapan. Hal ini tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin, dan data menunjukkan bahwa keadaan ini bukanlah sementara
namun terus berjalan setidaknya empat tahun di kehidupan para mahasiswa
tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa adalah salah satu pihak yang rentan
mengalami gangguan psikologis terutama depresi. Hal ini perlu menjadi konsen
semua pihak karena mahasiswa umumnya berada pada umur produktif sehingga
jika penanganan untuk masalah gangguan mental tidak ditingkatkan ditakutkan
angka prevalensi gangguan mental pada mahasiswa akan terus mengalami
kenaikan setiap tahunnya.
15
2. Aspek-aspek depresi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan referensi dari buku Depression:
Causes and Treatment oleh Beck dan Alford (2009) yang mengungkapkan aspek-
aspek berupa gejala-gejala yang dialami oleh individu yang mengalami depresi
ditinjau dari keadaan emosional, manifestasi kognitif, manifestasi motivasi,
manifestasi fisik, delusi serta halusinasi. Keadaan-keadaan tersebut harus
menetap selama minimal dua minggu(PPDGJ III, 1993; DSM V, 2013). Berikut
penjelasan dari beberapa aspek tersebut:
a. Keadaan emosional
Pada penderita depresi, umumnya mereka memiliki keadaan emosional yang
cenderung lemah dan menunjukkan afek sedih. Beberapa keadaan emosional itu
antara lain: mood sedih, ketidaksukaan kepada diri sendiri, tidak bersyukur,
kehilangan kelekatan dengan orang lain, keinginan menangis serta kehilangan
kegembiraan. Keadaan lainnya adalah anhedonia dimana individu mengalami
keadaan afek positif yang rendah dengan afek negatif yang tinggi (Barlow &
Durand, 2015). Individu yang mengalami gejala depresi umumnya merasakan
kesedihan yang berlarut-larut bahkan terkadang tidak mampu menjelaskan
mengapa perasaan tersebut tidak kunjung hilang. Perilaku menangis yang
berlebihan bahkan ketika individu sudah tidak dapat lagi mengeluarkan air mata
perlu diwaspadai sebagai keadaan yang mengarah kepada gejala depresi.
b. Manifestasi kogntif
Manifestasi kognitif pada penderita depresi diwarnai dengan pandangan
negatif mengenai diri sendiri, lingkungan dan juga masa depan. Pandangan
negatif tersebut terwujud dalam bentuk: merendahkan diri sendiri, mempunyai
ekspektasi yang negatif terhadap kejadian yang akan berlangsung, suka
menyalankan dan mengkritisi diri sendiri, merasa tidak percaya diri dengan bentuk
tubuhnya serta susah membuat keputusan. DSM V (APA, 2013) menuliskan aspek
16
kognitif pada individu yang memiliki gangguan depresi antara lain merasa tidak
berharga dan mudah bimbang serta ragu-ragu. Individu yang dengan gejala
kognitif ini sering menyalahkan diri sendiri ketika ada hal yang membuatnya tidak
nyaman. Individu juga merasa pesimis akan masa depan dan umumnya
menganggap bahwa masa depannya tidaka akan berjalan dengan baik dan
kejadian-kejadian buruk akan selalu menimpanya. Dalam beberapa kasus, individu
juga sering menyalahkan lingkungannya untuk mencari pembenaran akan
keadaannya.
c. Manifestasi motivasional
Bagi penderita dpresi, aspek ini ditandai dengan keadaan regresif dimana
individu akan cenderung menarik diri dari aktivitas yang membutuhkan tanggung
jawab, inisiatif ataupun usaha yang besar. Mereka akan menghindari kegiatan
yang berhubungan dengan peran orang dewasa dan lebih memilih kegiatan
dengan peran seperti anak-anak. Keadaan ini ditandai dengan beberapa situasi
antara lain: keinginan untuk berdiam diri, suka menghindar dan ingin menarik diri
dari lingkungan, adanya keinginan untuk bunuh diri serta meningkatnya
dependensi. Individu akan merasakan kehilangan minat untuk melakukan semua
atau hampir semua kegiatan sehari-hari8 (APA, 2013). Individu dengan gejala
motivasional umumnya akan berusaha menghindari situasi sosial dimana ketika
individu sudah melakukan hal ini, biasanya hal ini dikarenakan minat mereka untuk
berhubungan dengan orang lain mulai menurun atau hilang sama sekalai.
Sehingga dalam kasus yang parah individu bisa saja tidak keluar rumah dalam
waktu yang lama dikarenakan sudah kehilangan minat untuk bersosialisasi.
8 Didapat dari penilaian partisipantif atau pengamatan objektif dari orang lain
17
d. Manifestasi fisik
Manifestasi fisik pada penderita depresi adalah hal yang mudah untuk diamati
dan memudahkan untuk mengidentifikasi keadaan individu yang diduga
mengalami gangguan ini. Manifestasi fisik yang terlihat dari penderita depresi
antara lain: kehilangan selera makan, mengalami gangguan tidur, kehilangan
libido serta sering kelihatan lelah. Perubahan berat badan yang signifikan9, baik itu
kenaikan atau penurunan berat badan yang tidak normal juga ditandai sebagai
gejala depresi (APA, 2013). Gangguan tidur merupakan salah satu gangguan yang
sering ditemui terutama bagi individu yang mengalami depresi mayor (Kennedy et
al., 2007). Individu kadang merasakan dirinya selalu lelah tanpa sebab yang pasti,
bahkan kegiatan bangun dari tempat tidur bisa menjadi hal yang berat bagi
individu yang mengalami manifestasi fisik. Dengan selera makan yang menurun
beberapa individu juga mengalami penurunan berat badan yang drastis dalam
waktu yang singkat. Keinginan terhadap kegiatan seksual pun berangsur-angsur
akan menurun bahkan bisa hilang sama sekali.
e. Delusi dan Halusinasi
Pada penderita depresi, umumnya mereka mengalami delusi yang
mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu. Situasi-situasi tersebut antara
lain: individu merasa dirinya tidak berharga, merasa bahwa dirinya pantas untuk
dihukum, delusi nilihisrik, delusi somatik dan delusi kemiskinan. Beck menuliskan
bahwa setidaknya sebanyak 25% penderita depresi juga mengalami halusinasi
auditori dan visual seperti mendengar suara bisikan ataupun melihat orang yang
sudah mati. Keadaan ini umunya dialami oleh perasaan tidak berharga dan tidak
berdaya dalam menghadapi situasi sosial yang menekannya. Bahkan dalam
beberapa kasus, individu merasa dirinya harus dihukum karena menurutnya yang
9 Perubahan berat badan lebih dari 5% perbulan
18
menyebabkan segala permasalahan yang terjadi dalam hidupnya adalah dirinya
sendiri
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi
Menurut Beck dan Alford (2009) mengatakan bahwa ada beberapa keadaan
yang menjadi pemicu timbulnya depresi pada individu. Keadaan-keadaan
tersebut antara lain:
a. Stres yang spesifik
Stres yang spesifik dapat dikatakan adalah dimana sebuah terdapat situasi
yang membuat self esteem individu semakin rendah dan akhirnya membuat
individu tersebut menjadi depresi. Kejadian-kejadian ini contohnya seperti
gagal dalam ujian, patah hati, ditolak oleh teman sebaya atau dipecat dari
pekerjaan. Situasi lainnya seperti mendapatkan halangan ketika akan meraih
suatu tujuan yang penting atau menghadapi dilema yang dirasa tidak ada
solusinya. Kejadian yang stressful seperti di atas dapat membuat individu
rentan dengan gangguan depresi.
b. Konstalasi genetik
Penza dkk (Beck dan Alford, 2009) mengatakan bahwa faktor
neurobiologis akan dapat menjelaskan mengenai kerentanan individu yang
mengalami kekerasan saat anak-anak (fisik, seksual atau psikologis) atau
stres saat dewasa (seperti kematian pasangan). Stres yang dialami ketika
individu dalam masa kanak-kanak selama masa neuronal plasticy dapat
menyebabkan hypersensitivity dalam sistem neuroendocrine stress response
yang bisa membuat individu sangat mudah merasakan stres. Sirkuit neural
yang mengandung corticotropin-releasing factor (CRF) diidentifikasi sebagai
mediator yang penting dalam merespon stres. Kejadian yang tidak
menyenangkan ketika masa kanak-kanak dapat menyebabkan perubahan
dalam CRF dan meningkatkan resiko depresi pada individu.
19
c. Stres yang tidak spesifik
Individu mungkin mengembangkan sebuah gangguan psikologis ketika
terpapar dengan berbagai macam bentuk stres, walaupun tidak mengacu pada
suatu sensitivitas tertentu. Seringkali gangguan depresi tercetus bukan hanya
dari sebuah kejadian spesifik namun juga bisa terjadi karena beberapa
kejadian yang traumatik. Contohnya ketika individu kehilangan pekerjaan hal
ini tidak membuatnya langsung mengalami depresi namun jika kemudia
individu tersebut kembali menemui masalah yang berat seperti kehilangan
pasangan, bisa jadi pertahanan dirinya melemah dan rentan mengalami
gangguan depresi.
d. Faktor lainnya (psychological strain)
Faktor lainnya yang bisa mempengaruhi keadaan depresi adalah hal-hal
yang tidak tercakup dalam situasi-situasi di atas. Salah satunya adalah
psychological strain. Psychological strain merupakan perbedaan keadaan
individu dimana individu dapat memberikan respon yang berbeda saat
dihadapkan dengan keadaan yang kurang lebih sama, tergantung apakah saat
itu mereka sedang berada dalam psychological strain atau tidak. Artinya,
individu memiliki masa-masa yang rentan untuk terserang depresi yang bisa
saja dikarenakan banyak faktor. Misalnya, saat seorang individu sedang
mengalami beberapa masalah ketika individu tersebut dihadapkan dengan
ujian akhir dapat membuatnya mengalami depresi berbeda dengan saat
individu tersebut sedang tidak mempunyai masalah lain.
Selain faktor-faktor di atas, Durand dan Barlow (2015) menuliskan mengenai 3
faktor yang berpengaruh pada gangguan perasaan termasuk depresi yaitu dimensi
fisik, aktivitas gelombang otak dan juga dimensi psikologis. Penjelasan mengenai
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
20
a. Dimensi fisik
Dimensi fisik adalah salah faktor yang dipercaya berpengaruh terhadap
adanya gejala gangguan depresi pada individu. Dimensi ini meliputi kontalasi
genetik, sistem neuro transmitter, sistem endokrin dan ritme tidur.
a) Konstalasi genetik
Individu yang mempunyai anggota keluarga yang juga mengalami
depresi mempunyai kemungkinan dua hingga tiga kali lebih tinggi
dibandingkan individu yang tidak mempunyai anggota keluarga yang
mengalami depresi. Di samping itu, bagi individu yang terlahir dengan
keistimewaan kembar identik akan mempunyai resiko lebih tinggi
mengidap gangguan depresi jika saudara kembarnya juga mengidap
hal depresi dibandingkan individu kembar yang hanya memiliki 50%
gen identik. Selain itu, perempuan memiliki resiko lebih tinggi
dibandingkan laki-laki, perempuan memiliki heritabilitas 36%-44%
dibandingkan laki-laki yang hanya berkisar 18-24%.
1. Sistem neurotransmitter
Penelitian-penelitian terkini menemukan bahwa serotonin
mempunyai hubungan yang erat dengan gangguan perasaan.
Serotonin adalah hormon yag mengatur reaksi-reaksi emosional di
dalam diri manusia. Rendahnya serotonin dapat menyebabkan
perasaan yang cenderung mudah berubah-ubah dan kurang dapat
mengontrol reaksi emosional dalam diri.
2. Sistem endokrin
Peneliti menemukan bahwa ada hubungan antara sistem
endokrin dengan depresi dimana pasien dengan gangguan sistem
endokrin juga cenderung mengalami depresi. Aktivitas
21
neurotransmitter di dalam hipotalamus mengatur pelepasan
hormon-hormon yang mempengaruhi sirkuit otak yang disebut
aksis-HPA. Di sisi lain, peningkatan hormon yang mengatur stres
pada manusia juga cenderung menyebabkan depresi. Selain itu,
peningkatan hormon ini juga menyebabkan penyusutan pada
struktur otak yang disebut hipokampus yang bertanggung jawab
terhadap proses-proses kognitif penting seperti ingatan jangka
pendek.
3. Ritme tidur
Salah satu tanda gangguan perasaan yag mudah diamati
adalah adanya gangguan tidur. Bagi orang yang mengalami
depresi, hanya ada waktu yang lebih pendek/lebih cepat sebeum
rapid eye movement (REM) dimulai dibandingkan orang lain. Selain
itu, penderita depresi juga mengalami REM dengan lebih intens
sehingga tahapan-tahapan tidur yang nyenyak hanya dialami
sebentar atau tidak sama sekali. Oleh karena itu, individu yang
mengalami depresi cenderung mudah lelah karena tidak bisa
memaksimalkan waktu istirahat yang dipunyainya.
4. Aktivitas gelombang otak
Peneliti menemukan ada aktivitas gelombang alfa
(gelombang otak yang mengindikasikan perasaan tenang dan
positif) yang berbeda di kedua belahan otak pada penderita
depresi. Gelombang ini menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi
pada anterior sebelah kanan dibandingakn sebelah kiri. Keadaan
seperti ini juga masih berlangsung walaupun individu tersebut tidak
lagi mengalami depresi yang menunjukkan kerentanan terhadap
gangguan ini pada individu tersebut. aArtinya ketika individu
22
mengalami depresi sekali dalam hidupnya, maka individu tersebut
akan lebih rentan untuk kembali mengalami gangguan tersebut
dikemudian hari.
b. Dimensi psikologis
Penjelasan mengenai kondisi depresi secara psikologis dibahas
dalam beberapa poin, antara lain: pertama, peristiwa kehidupan yang
stressful, ditemukan bahwa 20%-50% orang yang mengalami kejadian
hidup yang berat rentan terhadap depresi. Hampir semua penderita
depresi pernah mengalami kejadian hidup yang berat, namun tidak
semua orang yang mengalami kejadian berat mengalami gangguan
depresi. Hal ini berhubungan dengan makna dan konteks kejadian
tersbut bagi individu itu sendiri. Misalnya, kehilangan pekerjaan akan
mempunyai efek yang berbeda bagi perempuan yang menjadi single
parent dibandingkan perempuan yang masih mempunyai suami.
Kedua, learned helplessness atau individu cenderung megalami
kecemasan dan depresi ketika mereka merasa tidak dapat mengontrol
atas stres-stres yang mereka alami. Depresi terjadi ketika individu
merasa putus asa terhadap kemampuannya menghadapi
permasalahan hidupnya. Bagi penderita depresi, mereka mempunyai
stye atributional deppresive yang bersifat: (1) internal, dimana pengidap
depresi mengatribusikan kejadian-kejadian negatif pada
ketidakmampuannya; (2) stabil, penderita depresi akan merasa bahwa
kejadian-kejadian buruk tersebut akan terus ada dan terjadi dalam
hidupnya; (3) global, artinya kejadian ini tidak hanya akan terjadi pada
kondisi spesifik namuan akan terjadi juga di aspek-aspek kehidupannya
yang lain. Ketiga negative coping style, Beck (Durand & Barlow, 2015)
menemukan bahwa penderita depresi mempunyai pandangan yang
23
negatif terhadap dirinya sendiri, dunia dan juga masa depan.
Pandangan negatif ini ditandai dengan berbagai macam kesalahan
berpikir yang membuat individu menagmbil hal-hal yang negatif dari
suatu kejadian dibandingkan sisi positifnya. Cara berpikir orang yang
depresi konsisten lebih negatif dibanding orang yang tidak mengidap
depresi. Penderita depresi dipercaya dapat menurunkan gangguannya
dengan merubah pola kognitif yang salah ini.
B. Brief Cognitive Behavioral Therapy (Cognitive Behavioural Therapy)
a. Teori Brief Cognitive Behavioural Therapy
Aaron Beck membangun sebuah bentuk psikoterapi pada awal 1960 yang
dinamakannya “cognitive therapy”. Terapi ini yang saat ini lebih dikenal dengan
sebutan cognitive behavioral therapy. Inti dari psikoterapi ini menekankan pada
suatu terapi yang terstruktur, terbatas waktu serta berorientasi pada keadaan saat
ini yang ditujukan untuk mengobati depresi serta memperbaiki pemikiran dan
perilaku yang bermasalah (Beck dalam Beck, 2011). Sejak saat itu, terapi ini telah
membantu menangani permasalahan-permasalahan individu dari berbagai
kalangan dan dengan berbagai permasalahan. Terapi ini terus berkembang
terutama dari segi fokus, teknik dan panjang terapi namuan tetap membawa nilai
esensialnya dimana terapi didasarkan pada formulasi kognitif, kepercayaan dan
strategi perilaku untuk menangani gangguan yang spesifik (Alford dan Beck dalam
Beck, 2011).
Prosedur dalam terapi ini berusaha untuk mendorong individu dengan
gangguan depresi untuk melakukan refleksi pada konten-konten kognitif mereka
dan mengidentifikasi kepercayaan mereka serta mengganti pandangan mereka
yang tidak realistis (Chen, Jordavn, & Thompson, 2006). Secara singkat, terapi ini
menyatakan bahwa cara berpikir yang bermasalah merupakan hal yang
24
mempengaruhi mood dan perilaku individu dengan masalah psikologis. Ketika
individu mulai menyadari dan belajar untuk mengevaluasi cara pikir mereka dalam
cara yang lebih realistik dan adaptif, mereka akan merasakan peningkatan yang
postif dalam perilaku dan keadaan emosionalnya. Sebagai contoh, jika seseorang
merasa depresi dan ia mempunyai pemikiran otomatis dalam pikirannya: “saya
tidak bisa melakukan apapun dengan benar”, dimana pemikiran ini akan menuntun
orang tersebut untuk bereaksi seperti sedih (emosi) dan ingin terus menerus tidur
di kasur (perilaku). Ketika orang tersebut mulai mengevaluasi cara berpikirnya,
bukan tidak mungkin ia menemukan bahwa pemikirannya tidak benar dan bahwa
ia sebenarnya banyak melakukan sesuatu dengan benar. Melihat pengalaman dari
perspektif yang baru seperti ini akan membuat individu merasakan emosi dan
melakukan perilaku yang berbeda dan lebih adaptif (Beck, 2011).
Untuk meningkatkan mood dan perilaku individu, terapis Cognitive Behavioural
Therapy akan bekerja pada level kognisi yang lebih dalam, dimana disana
tersimpan kepercayaan dasar tentang kepercayaan mengenai diri sendiri, dunia
serta orang lain. Memodifikasi kepercayaan yang salah akan membuat individu
melakukan perubahan dalam cara hidupnya. Sebagai contoh, seseorang yang
terus menerus memandang rendah kemampuannya sendiri akan mempunyai
kepercayaan bahwa dirinya tidak kompeten, dengan memodifikasi kepercayaan
ini, individu dapat melihat dirinya dalam cara yang lebih realistis bahwa manusia
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Maka individu tersebut dapat mengubah
persepsinya dalam keadaan sehari-hari yang spesifik , dimana ia tidak lagi
mempunyai pikiran “aku tidak bisa melakukan apapun dengan benar dan
menggantinya dengan pikiran “aku tidak bagus dalam bidang ini” saat menemui
kesulitan dalam bidang tertentu(Beck, 2011).
Pendekatan model terapi Cognitive Behavioural Therapy sebagai terapi yang
berfokus pada problem-focus approach merupakan terapi yang ditandai dengan
25
waktu terapi yang terbatas dan cenderung singkat. Terapi Cognitive Behavioural
Therapy mampu untuk meningkatkan keadaan klinis secara signifikan juga bisa
mereduksi symptom dan biasanya berlangsung selama 10-20 sesi. Walaupun
begitu, para ahli terus mengembangkan terapi yang lebih efektif dengan membuat
formula yang lebih murah dan terjangkau. Cara yang biasa digunakan adalah
dengan mengurangi sesi terapi atau yang akrab disebut Brief Cognitive
Behavioral Therapy (Bond, 2002) .
Untuk meningkatkan efisiensi dalam terapi brief Cognitive Behavioural
Therapy menggunakan beberapa pendekatan serta menyertakan teknik seperti
format kelompok, self-help materials dan bibliotherapy serta program terapi
menggunakan media komputer. Menurut Bond (2002) pengurangan sesi pada
Brief Cognitive Behavioral Therapy dibandingkan terapi Cognitive Behavioural
Therapy adalah kurang dari 10 sesi per-terapi. Pengurangan jumlah pertemuan
ini juga dibarengi dengan berbagai karakteristik partisipan, terapis, masalah serta
asesmen untuk menunjang hasil yang diinginkan dalam terapi.
b. Karakteristik partisipan Brief Cognitive Behavioural Therapy
Pendekatan dengan metode Brief Cognitive Behavioural Therapy
menargetkan perubahan yang jelas dan terbatas dimana partisipan yang
mempunyai gangguan psikologis yang parah (seperti aksis II) kemungkinan akan
membutuhkan program yang lebih panjang. Brief Cognitive Behavioural Therapy
juga memerlukan partisipan yang mempunyai motivasi serta siap untuk melakukan
perubahan kognisi dan perilaku. Partisipan juga akan diharapkan untuk ikut aktif
dalam mempelajari materi-materi yang diberikan. Beberapa penelitian menemukan
bahwa brief Cognitive Behavioural Therapy akan lebih efektif jika diterapkan pada
populasi yang tidak begitu parah (gangguannya) (Bond, 2002).
26
c. Karakteristik terapis Brief Cognitive Behavioural Therapy
Brief Cognitive Behavioural Therapy membutuhkan terapis yang
mempunyai kemampuan untuk menjaga partisipan untuk bisa berfokus pada
tujuan yang spesifik dan menyelesikana tugas-tugas selama terapi. Hal ini
membutuhkan terapis yang mampu mengarahkan partisipan secara cepat
disamping melakukan therapeutic alliance yang kuat. Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa brief Cognitive Behavioural Therapy dapat digunakan
dalam setting primary care dan komunitas (Bond, 2002)..
d. Penelitian penanganan depresi menggunakan konsep Cognitive Behavioural
Therapy.
Cognitive Behavioural Therapy sudah mulai diteliti sejak tahun 70-an dan
mulai banyak sekali publikasi ilmiah yang membuktikan mengenai efikasi dari
terapi Cognitive Behavioural Therapy untuk berbagai permasalahan psikiatris,
psikologis bahkan permasalahan kesehatan fisik dengan komponen psikologis
(Butler, Chapman, Forman, dan Beck; Chambless dan Ollendick, dalam Beck,
2011). Penelitian lainnya menemukan bahwa Cognitive Behavioural Therapy
dengan teknik komputerisasi terbukti efektif pada pasien yang ada di fasilitas
kesehatan primer (Kessler et al., 2009). Penelitian sebelumnya juga menemukan
bahwa teknik Cognitive Behavioural Therapy dapat digunakan untuk menurunkan
kecemasan sosial pada siswa (Ramdhani et al., 2015). Penelitian yang dilakukan
oleh Ammerman dkk (2011) menemukan bahwa ibu yang mempunyai
pendapatan rendah mempunyai tingkat depresi yang tinggi, setelah dilakukan
intervensi dengan Cognitive Behavioural Therapy dan intervensi dilakukan di
rumah, sebanyak 64 partisipan mengalami penurunan depresi yang signifikan.
Penelitian yang dilakukan Scott dkk (Bond, 2002) menemukan bahwa brief
Cognitive Behavioural Therapy dalam enam minggu (dengan waktu 30 menit
setiap sesi) dengan partisipan depresi berat di setting primary care terbukti
27
menunjukkan hasil yang positif secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol
setelah setahun di follow-up. Penelitian lainnya oleh Katon dkk (Bond, 2002)
menemukan bahwa treatment kolaboratif dengan melibatkan empat hingga enam
sesi Cognitive Behavioural Therapy individu dengan digabungkan obat-obatan
medis dari psikiater menunjukkan hasil yang cukup signifikan pada partisipan
dengan diagnosis depresi.
e. Teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian
Beberapa teknik di dalam Brief Cognitive Behavioural Therapy sudah
disiapkan untuk membantu menurunkan gejala depresi yang dialami oleh
partisipan. Teknik-teknik ini dimaksudkan untuk menyasar aspek-aspek psikologis
dari gejala depresi yang dialami partisipan (langkah-langkah detail dapat dilihat di
modul). Teknik yang akan digunakan di dalam modul yang diadaptasi dari Cully
dan Teten (2009) antara lain:
1. Mengidentifikasi dan memodifikasi pikiran otomatis
Pikiran otomatis adalah pikiran yang umum dialami oleh semua
orang kita umumnya mmenyadari adanya pikiran ini namun hanya
sedikit usaha untuk membawanya ke dalam kesadaran (Beck, 2011).
Kebanyakan individu lebih berfokus pada emosi yang ditimbulkan
pikirannya dibandingkan pikirannya sendiri. Ketika mengalami stres,
pikiran otomatis ini cenderung maladaptif. Identifikasi pikiran yang
maladaptif adalah langkah pertama dalam komponen kognitif terapi
Cognitive Behavioural Therapy. Fokus intervensi Brief Cognitive
Behavioural Therapy adalah pikiran otomatis ini. Partisipan harus bisa
mengidentifikasi dan menantang pikiran yang disfungsional untuk bisa
menguasai konsep dan teknik mengubah belief. Karena hubungan
alami antara pikiran dan belief, maka intervensi yang menargetkan
pikiran otomatis maka juga akan bisa mengubah belief. Oleh karena itu,
28
Brief Cognitive Behavioural Therapy bertujuan untuk memodifikasi
belief, walaupun yang disasar selama terapi adalah pikiran otomatis.
2. Melakukan aktivasi perilaku
Individu yang mengalami gejala depresi umumnya akan menarik diri
dari kegiatan mereka. bahkan kegiatan yang dulunya terasa
menyenangkan dan mengasyikkan tidak lagi mereka lakkan. Individu
yang mengalami gejala depresi sering mempercayai bahawa mereka
tidak bisa mengubah perasaan mereka, memberikan kegiatan yang
menyenangkan serta memuji mereka bisa meningkatkan mood serta
efikasi diri bahwa mereka mampu mengontrol dirinya sendiri (Beck,
2011). Aktivasi perilaku mencakup seperangkat prosedur dan teknik
yang ditujukan untuk meningkatkan aktivitas dan akses partisipan pada
situasi penguatan dengan tujuan untuk memperbaiki mood dan fungsi.
Dari sudut pandang perilaku, seperti depresi, misalnya, mengandung
sejumlah karakteristik yang berfungsi untuk melindungi diri dari
pengaruh depresi (misalnya, kepasifan, kelelahan, perasaan putus asa)
dan mengurangi kemungkinan penanganan adaptif dengan
meningkatkan penghindaran. Kuncinya di sini adalah bahwa kesulitan
dengan suasana hati sering kali berfungsi untuk meningkatkan
penghindaran penanganan adaptif, termasuk kejadian menyenangkan,
yang membantu meringankan dan menghindari depresi. Mengenal
kembali kejadian menyenangkan (salah satu bentuk aktivasi perilaku)
dapat membantu memperbaiki mood dengan berbagai cara:
1) Membalikkan penghindaran (avoidance)
2) Meningkatkan aktivitas fisik,
3) Meningkatkan rasa percaya diri
29
4) Meningkatkan perasaan berguna dan “memiliki tujuan”
3. Penyelesaian masalah
Teknik pemecahan masalah umumnya melibatkan proses dimana
seseorang mencoba untuk mengidentifikasi cara efektif untuk
mengatasi masalah kehidupan sehari-hari. Hal ini sering melibatkan
serangkaian langkah untuk menganalisis masalah, mengidentifikasi
opsi untuk mengatasinya, mengevaluasi opsi, menentukan rencana,
dan mengembangkan strategi untuk menerapkan rencana tersebut.
Strategi pemecahan masalah dapat digunakan dengan berbagai
masalah, termasuk depresi, kecemasan, kemarahan dan agresi,
manajemen stres, penanganan penyakit medis, kecanduan, dan
masalah keluarga. Teknik pemecahan masalah mengajarkan
keterampilan yang membantu partisipan dalam merasakan kontrol yang
meningkat atas masalah kehidupan yang sebelumnya terasa luar biasa
atau tidak dapat diatur. Dengan cara ini, pemecahan masalah dapat
membantu penyelesaian masalah praktis serta penanganan yang
berfokus pada emosi (misal: meningkatkan kontrol, mengurangi stres,
dan meningkatkan harapan).
4. Relapse prevention
Mengakhiri sesi adalah sebuah proses kolaboratif dimana partisipan
bisa menilai kesiapannya untuk mengakhiri konseling dan siap untuk
menghadapi masalahnya tanpa disampingi terapis. Pada sesi ini,
penting untuk mereview kembali kemampuan-kemampuan yang sudah
dipelajari klien dan juga membicarakan bagaimana kemampuan ini
diaplikasikan di luar konseling oleh partisipan. Semua hal ini akan
membantu klien mengurangi kecemasannya akan berhentinya
hubungan terapeutik dengan terapis. Relapse prevention dilakukan
30
dengan mempersiapkan rencana-rencana cadangan jika partisipan
mengalami hal yang tidak diinginkan setelah menjalani sesi dengan
konselor. Rencana-rencana ini termasuk kemana mereka akan pergi
jika kembali merasakan gejala-gejala depresi.
C. Konseling online menggunakan Brief Cognitive Behavioural Therapy
a. Pengertian konseling online
Santhiveeran (Robinson, 2009) mencatatkan bahwa pertama kali penggunaan
untuk keperluan terapi dilakukan pada tahun 1972 dengan adanya papan buletin
dan online support groups. Web-based mental health advice pertama yang
dkenal pada tahun 1986 bernama “Ask Uncle Ezra” yang menawarkan situs
nasehat untuk mahasiswa di Cornell University (US) dan masih beroperasi hingga
saat ini (Robinson, 2009). The International Society of Mental Health Online
didirikan pada akhir tahun 1990-an untuk mempromosikan tekhnologi online
kepada para profesional kesehatan mental (Chester dan Glass dalam Robinson,
2009).
Definisi online counseling menurut ahli adalah suatu pelayanan kesehatan
mental dan perilaku termasuk tapi tidak terbatas dengan terapi, konsultasi serta
psikoedukasi oleh praktisi berlisensi kepada partisipan bukan dalam setting face
to face melainkan melalui komunikasi jarak jauh degan teknologi seperti telepon,
asynchronous e-mail, synchronous chat, dan video konferens (Mallen, 2005).
Menurut The National Board for Certified Counselors atau Badan Nasional
Sertifikasi Konselor (NBCC, 1998) konseling online adalah sebuah proses
konseling, dimana penyampaian informasi yang terjadi antara partisipan dan
konselor dilakukan di tempat terpisah atau lokasi terpencil dengn memanfaatkan
sarana elektronik untuk berkomunikasi melalui internet.
Intervensi menggunakan komputer sebagai alat bantu baik itu sebagai
tambahan (dalam terapi) atau untuk sebagai pengganti (intervensi face to face
31
dengan profesional), dapat membantu mengurangi biaya dan meningkatkan
kemudahan untuk mengakses bantuan yang ada (Doherty et al., 2012).
Komponen terpenting dari intervensi secara online adalah penyampaian konten
psikoedukasi, biasanya melalui teks, audio atau penjelasan dalam video (Doherty
et al., 2012). Pemberian kuesioner juga biasanya digunakan dalam intervensi ini,
baik untuk diagnosis maupun untuk kebutuhan terapeutik (Doherty et al., 2012).
Barak (1999) mengatakan bahwa konseling online mempunyai terminologi yang
bisa saja berbeda antar satu sama lain namun yang menjadikan berbeda adalah
cara konseling tersebut disajikan:
a) Apakah itu mengikutsertakan komunikasi antar manusia( dengan terapis)
atau self-help dimana partisipan bisa menggunakan program komputer
tanpa didampingi konselor atau terapis
b) Real time atau delayed communication.
c) Jenis komunikasi (audio, video, text)
d) Individu atau kelompok
e) Tipe pendekatan terapi yang dipakai
Chat dan email mempunyai perbedaan yang besar secara format dan cara
kerja dimana chat menyerupai percakapan karena percakapan terjadi dalam
waktu yang singkat dan interaksi yang terjadi adalah berupa dialog. Sedangkan
email lebih menyerupai surat-menyurat dibandingkan dialog (Sekerler, 2008).
b. Penggunaan chatting sebagai media komunikasi
Chatting dipilih sebagai media komunikasi dalam penelitian ini karena
komunikasi menggunakan text dalam dunia digital mempunyai beberapa kelebihan
di bandingkan metode lain. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain:
a) Text adalah media komunikasi digital yang paling banyak digunakan
oleh remaja dan dewasa, selain itu text juga berkontribusi terhadap
32
perasaan intimasi dan keterhubungan (Sherman, Michikyan, &
Greenfield, 2013).
b) Penggunaan teks dibandingkan suara di dalam media digital
menghasilkan kenaikan yang positif dalam motivasi intrinstik, persepsi
dan mengingat dimana pengguna merasa sedang melakukan interaksi
sosial sebenarnya dan tidak hanya berinteraksi dengan mesin
(Bracken, Jeffres, & Neuendorf, 2004).
c) Penggunaan text memberikan klien dan konselor lebih banyak waktu
untuk memikirkan respon yang tepat dalam menanggapi satu sama
lain.
d) Pada partisipan yang mempunyai gejala depresi, minat untuk
melakukan interaksi dengan orang lain mengalami penurunan,
sehingga media text dipandang sebagai media penghubung yang
cukup tepat.
e) Tidak seperti komunikasi verbal yang dapat langsung menguap,
komunikasi melalui text memberikan kelebihan dimana pikiran-pikiran
indivdu dapat terlihat, konkret, permanen dan dalam format yang lebih
objektif (Kraus, Stricker, & Speyer, 2010).
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas, peneliti memilih untuk
menggunakan text sebagai media komunikasi antara partisipan dan psikolog.
c. Penelitian dan aplikasi konseling online untuk menangani gangguan
psikologis
Salah satu konseling online yang cukup mumpuni dan diakui oleh peneliti
adalah program beating the blues yang direkomendasikan oleh National Institute
for Health and Clinical Excellence (NICE) sebuah lembaga penelitian di Inggris
yang menggunakan Cognitive Behavioural Therapy sebagai dasar terapinya.
Program ini diklaim dapat membantu penderita depresi dengan perkiraan delapan
33
sesi konseling Cognitive Behavioural Therapy. Nantinya setiap sesi akan berisi
sekitar 50 menit. Pasien akan dihadapkan dengan berbagai tugas yang harus
diselesaikannya untuk mendapatkan hasil yang optimal dari terapi ini. Beating the
Blues sendiri merupakan self help program melalui komputer interaktif yang dapat
merespon keadaan pasien dan membantu melatih cara berpikir yang baru
(http://www.beatingtheblues.co.uk).
Selain beating the blues, penelitian lainnya yang dilakukan oleh Kessler,
Lewis, Kaur, Wiles, King, Weich, dan Peters (2009) untuk melihat efektivitas
pemakaian psikoterapi melalui internet untuk pasien depresi pada setting primary
care. Penelitian melibatkan 297 responden yang terdiagnosis depresi dari skor
Beck depression inventory (BDI) 14 ke atas. Responden dibagi menjadi kelompok
penelitian dan kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi
Cognitive Behavioural Therapy online dengan setting real-time (dengan terapis)
terbukti efektif untuk menurunkan tingkat depresi pasien bahkan setelah 8 bulan
follow-up (Kessler et al., 2009). Penelitian yang dilakukan Smith, Scott, Eshkevari,
Jatta, Leigh, Harris, dan Yule (2015) menemukan bahwa intervensi Cognitive
Behavioural Therapy melalui media komputerterbukti efektif untuk menurunkan
depresi dan kecemasan pada remaja, hasil ini sama antara remaja laki-laki
maupun perempuan, keefektifan intervensi ini dibuktikan dengan perubahan
ruminative thinking yang dialami oeh partisipan dan juga dari hasil self-report dan
laporan dari sekolah bahwa setelah sebulan intervensi selesai dijaankan,
partisipan penelitian menghadiri sekolah lebih sering dibandingkan yang tidak
menerima intervensi (Smith et al., 2015).
Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Derek dan Thomas (2012)
menemukan bahwa intervensi psikologi melalui komputer dapat membantu
menurunkan depresi pada klien. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan
40 buah penelitian dengan 18 intervensi berbeda dimana intervensi berbasis
34
Cognitive Behavioural Therapy dideskripsikan di dalam sebagian besar penelitian.
Sebagian besar intervensi dilakukan secara online dan empat intervensi
dilakukan melalui CD-ROM. Salah satu intervensi dilakukan secara berkelompok
dan sisanya dalam lingkup individu. Cara yang dilakukan dalam melakukan
intervensi beragam yaitu dengan asynchronous, synchronous dan juga tatap
muka. Partisipan direkrut dari primary dan secondary care juga dari komunitas
yang ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Silva, Siegmud dan bredemeier
menemukan ada 17 penelitian yang melakukan intervensi krisis melalui media
onlien. Ada tiga konteks krisis yang ditangani yaitu : 1) Bencana, 2)pencegahan
bunuh diri, 3)trauma. Sebelas program intervensi berbeda yang dideskripsikan
dalam peneitian-penelitian tersebut dimana Cognitive Behavioral Therapy adalah
jenis terapi yang paling banyak digunakan. Hasil dari penelitian tersebut
menyebutkan bahwa intervensi psikologi melalui media online telah dilakukan di
beberapa negara maju seperti Belanda, Australia dan negara-negara tersebut
memperoleh keuntungan dari adanya program intervensi psikologi online (Silva et
al., 2015).
D. Brief Cognitive Behavioural Therapy melalui media online untuk
menurunkan gejala depresi pada mahasiswa
Depresi adalah salah satu gangguan mental yang banyak dialami oleh individu
di seluruh dunia, bahkan di Indonesia. Depresi bahkan dipandang sebagai
gangguan mental yang paling banyak membutuhkan biaya untuk
penanganannya. Beck dan Alford (Aaron T; Beck & Alford, 2009) mengemukakan
bahwa depresi sendiri bisa dipandang sebagai keadaan dimana seseorang
mempunyai pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunianya dan masa
35
depannya. Hal ini senada dengan Durand dan Barlow (2015) yang menyatakan
bahwa orang yang mengidap depresi akan cenderung mengatribusikan nilai-nilai
negatif ke dalam dirinya, merasa hal-hal negatif akan terus berlangsung dalam
hidupnya dan akan mempengaruhi aspek-aspek lain kehidupannya.
Salah satu faktor penyebab depresi sendiri diakui karena terdapat pola-pola
pikir yang salah dalam individu. Beck dan Alford (Beck & Alford, 2009)
mengemukakan beberapa pola pikir yang salah yang menyebabkan orang
mengalami depresi, antara lain:
a) All-or-nothing thinking: melihat situasi pada keadaan yang ekstrim dan
tidak melihatnya sebagai suatu kontinum. Contoh: “jika anakku melakukan
hal yang buruk, itu karena aku adalah orangtua yang buruk.
b) Catastrophizing: memprediksikan bahwa masa depan akan selalu buruk.
Contoh: “jika saya gagal dalam tes, maka hidup saya akan berakhir”
c) Disqualifying or discounting the positive: mengatakan kepada diri sendiri
bahwa hal baik yang terjadi pda diri sendiri adalah hal yang tidak berarti.
Contoh: “putriku memberitahu temannya bahwa aku adalah ayah terbaik di
dunia namun kurasa dia hanya berusaha sopan”
d) Emotional reasoning: membiarkan satu perasaan mengenai sesuatu
mengesampingkan fakta yang berkata sebaliknya. Contoh: “meskipun Heru
bekerja lembur setiap hari, aku tahu bahwa aku bekerja paling keras
diabndingkan yang lain.
e) Labeling: memberikan seseorang atau sesuatu sebuah label tanpa
berusaha mencari tahu lebih dalam mengenai hal tersebut. Contoh:
“putriku tidak akan pernah melakukan hal yang mengecewakan”
f) Magnification/minimization: menekankan hal yang negatif dan
mengabaikan hal yang positif dalam sebuah situasi. Contoh : “profesorku
36
mengatakan bahwa dia melakukan ebberapa koreksi dalam paperku, jasi
akau tahu aku akan gagal dalam kelas ini”.
g) Mental filter/tunnel vision: menempatkan semua perhatian dan hanya
terlihat hal yang negatif dalam sertiap sesuatu. Contoh: “suamiku
mengatakan bahwa aku seharusnya lebih baik dalam mengurus rumah,
jadi aku pasti adalah seorang istri yang buruk”.
h) Mind reading: percaya bahwa kamu mengetahui mengenai apa yang orang
lain pikirkan. Contoh: “rumahku kotor ketika teman-temanku datang, pasti
mereka berpikir aku orang yang jorok”
i) “Overgeneralization: membuat konklusi negatif dalam situasi saat ini.
Contoh: “suamiku tidak menciumku ketika ia pulang ke rumah sore ini,
mungkin ini akarena dia tidak lai mencintaiku”.
j) Personalization: berpikir bahwa perilaku negatif orang lain disebabkan oleh
dirinya. Contoh: “putriku hanya diam sepanjang hari ini, aku bertanya-tanya
apa yang telah aku lakukan dan membuatnya marah”.
k) “Should” and “must” statements: mempunyai ide yang konkret bagaimana
orang harus berperilaku. Contoh: “aku harus mendapatkan nilai A untuk
menjadi seorang murid yang baik”
Pola pikir negatif inilah yang menyebabkan individu cenderung berpikiran
negatif terhadap diri sendiri, dunia dan masa depannya. Selain itu, pikiran negatif
ini akhirnya akan mempengaruhi perasaan, perilaku serta sensasi fisik pada
individu. Berikut ini adalah contoh bagan yang menggambarkan bahwa pikiran
berpengaruh pada perasaan, perilaku serta sensasi fisik serta intervensi Brief
Cognitive Behavioral Therapy secara online diharapkan dapat menurunkan
gejala-gejala depresi yang dialami partisipan.
37
Gambar 2. Pengaruh pikiran terhadap perasaan, perilaku dan sensasi fisik
(Wilding & Milne, 2008)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pikiran yang
negatif/salah yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala depresi yang dialami
oleh individu. Salah satu terapi yang populer untuk menangani masalah ini
adalah Cognitive Behavioral Therapy (Cognitive Behavioural Therapy) yang
dipopulerkan oleh Aaron Beck, terapi ini berfokus pada perbaikan fungsi kognitif
sehingga individu tidak lagi mempunyai pola pikir negatif yang menyebabakan
depresi. Seperti terlihat dari bagan di atas, bahwa gejala-gejala depresi terbentuk
38
dari adanya situasi yang diartikan secara negatif oleh individu sehingga
mempengaruhi emosi, perilaku dan menimbilkan sensasi fisik yang tidak nyaman.
Sedangkan intervensi yang akan dilakukan yaitu pemberian brief Cognitive
Behavioural Therapy secara online kepada partisipan diharapkan dapat
menurunkan gejala-gejala depresi tersebut dengan munculnya insight positif,
pikiran alternatif, emosi positif serta perilaku yang menyenangkan selama sesi
berlangsung.
Salah satu populasi yang rentan terhadap gangguan ini adalah mahasiwa.
Dengan keadaan peralihan dari masa remaja ke masa dewasa, banyak
mahasiswa yang mempunyai masalah yang tidak dapat ditanganinya. Penelitian
menunjukkan bahwa populasi mahasiswa memiliki angka symptom depresi yang
lebih tinggi dibandingkan populasi pemuda lain yang berusia di atas 16 tahun
(Chatard, Selimbegovic, Pyszczynski, & Jaafari, 2017; Eisenberg et al., 2007;
Margitics & Pauwlik, 2009). Faktor-faktor seperti masalah hubungan dengan
orang lain, keadaan sosial ekonomi membuat para mahasiswa lebih rentan
terhadap gangguan depresi.
Beberapa aspek gejala depresi yang akan disasar dalam penelitian ini adalah
aspek kognitif, afektif serta perilaku. Treatment yang dilakukan memakai
beberapa teknik antara lain: identifikasi dan modifikasi pikiran otomatis, aktivasi
perilaku, penyelesaian masalah serta relapse prevention. Teknik identifikasi dan
modifikasi pikiran otomatisa akan menyasar pada aspek kognitif partisipan
dengan mengubah pola pikir yang salah/negatif menjadi lebih positif perubahan
pola pikir ini juga akan menyasar pada aspek afektif dimana diharapkan
partisipan bisa meningkatkan moodnya setelah menemukan pikiran alternatif
yang lebih positif. Aktivasi perilaku akan menyasar pada aspek perilaku dan
afeksi partisipan dimana partisipan akan diminta untuk melakuakan kegiatan-
kegiatan menyenangkan yang sudah lama ditinggalkannya sehingga bisa
39
meningkatkan mood dan efikasi diri partisipan bahwa dirinya dapat mengontrol
keadaan. Teknik penyelesaian masalah akan menyasar pada aspek kognitif dan
perilaku partisipan dimana partisipan diminta untuk memikirkan opsi-opsi untuk
menyelesaikan masalahnya dengan pertimbangan-pertimbangan baik dan buruk
dan mendorong partisipan untuk melaksanakan rencananya. Terakhir, teknik
relapse prevention digunakan untuk membantu klien dalam aspek kognitif,
perasaan dan perilaku dimana klien diminta untuk membuat strategi jika di
kemudian hari ia mengalami kembali gejala-gejala depresi yang sebelumnay
dirasakan.
Penelitian-penelitian terkini mebuktikan bahwa terapi Cognitive Behavioural
Therapy terbukti efektif untuk menurunkan gejala depresi (Ammerman et al.,
2011; J. S. Beck, 2011; Bond, 2002; Calleo et al., 2015). Terapi ini bekerja
dengan memperbaiki pola pikir yang salah pada individu dan menggantinya
depan pola pikir yang lebih baik sehingga individu tidak lagi merasakan hopeless
pada kehidupannya. Sayangnya, pemberian treatment pada penderita depresi
mengalami sebuah hambatan dimana salah satu karakteristik fisik orang yang
mengalami depresi adalah penurunan kegiatan yang dilakukan di luar rumah
bahkan bagi penderita yang mengalami depresi berat, mereka akan sulit untuk
bangun dari tempat tidur (Durand dan Barlow, 2006).
Hambatan inilah yang saat ini berusaha dijembatani dengan penelitian yang
akan dilakukan oleh peneliti. Konseling online merupakan salah satu metode
alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi gejala depresi dengan salah satu
kelebihannya bisa dilakukan dimanapun asalkan ada koneksi internet. Konseling
online sendiri sudah mengalami banyak perkembangan saat ini. Penelitian-
pepenelitian sebelumnya mengemukakan bahwa konseling online efektif untuk
membantu menurunkan gejala depresi (Darvell, Kavanagh, & Connolly, 2015;
Dowling, 2015; Meyer et al., 2015; Rosenbaum, Newby, Steel, Andrews, & Ward,
40
2015; Svartvatten, Segerlund, Dennhag, Andersson, & Carlbring, 2015; Wootten
et al., 2015). Hal ini menunjukkan bahwa konseling dengan media online dapat
menjadi konseling alternatif yang bisa membantu mengurangi hambatan yang
dihadapi oleh konseling face-to-face.
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian
ini adalah konseling Brief Cognitive Behavioural Therapy melalui media online
dapat menurunkan gejala depresi pada mahasiswa.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi dan Operasionalisasi Variabel
1. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu konseling Brief
Cognitive Behavioural Therapy secara online sebagai variabel independen dan
gangguan depresi sebagai variabel dependen. Penelitian ini akan melihat seberapa
besar pengaruh konseling Brief Cognitive Behavioural Therapy secara online sebagai
treatment untuk menurunkan gejala depresi pada mahasiswa.
2. Operasionalisasi Variabel Penelitian
a) Depresi: adalah keadaan gangguan psikologis yang ditandai dengan manifestasi
emosional seperti mood yang sedih, manifestasi kognitif seperti pandangan yang
negatif mengenai diri sendiri, lingkungan dan masa depan, manifestasi
motivasional dimana penderita cenderung pasif, manifestasi fisik seperti gangguan
tidur serta delusi dan halusinasi. Gejala depresi dalam penelitian ini diukur
menggunakan alat ukur Beck’s Depression inventory dimana partisipan adalah
yang mempunyai skor dalam rentang 17-29 (kategori sedang).
b) Konseling online (berbasis brief Cognitive Behavioural Therapy): adalah suatu
bentuk konseling yang berbasis pada konsep Cognitive Behavioural Therapy
dengan jumlah lima sesi dan dibawakan secara online oleh terapis yang sudah
diberikan pelatihan. Pemberian konseling didasarkan pada modul yang sudah
disusun oleh peneliti yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian modul di
bawah ini.
B. Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah 18 orang mahasiswa berbagai jurusan dan
berbagai tingkat semester. Peneliti akan membagi partisipan ke dalam dua kelompok
yang berbeda, yaitu 9 orang untuk kelompok eksperimen dan 9 orang masuk ke
42
dalam kelompok kontrol. Skrining partisipan penelitian dilakukan dengan alat ukur
Beck’s Depression Inventory (BDI) . Partisipan yang terpilih adalah yang mempunyai
skor ktegorisedang dengan nilai yang berkisar antara 17-29. Partisipan penelitian
dipilih dengan beberapa kriteria, kriteria-kriteria tersebut antara lain:
a. Individu dengan pendidikan mahasiswa
b. Berusia 18-25 tahun
c. Tidak sedang mengidap penyakit kronis
d. Tidak dalam pengaruh obat
e. Memiliki skor Beck’s Depression Inventory dalam kategori sedang (17-29).
f. Tidak sedang ditangani oleh psikolog/psikiater
g. Mampu mengakses internet
h. Bersedia menandatangani informed consent.
Dalam mencari partisipan, peneliti menyebarkan pengumuman melalui poster
yang ditempelkan di seluruh fakultas yang ada di Universitas Gadjah Mada dan juga
melalui media online berupa pesan broadcast yang berisi pengumuman mengenai
pencarian partisipan yang berminat untuk mengikuti konseling psikologi online. Para
partisipan yang tertarik akan langsung diarahkan untuk mengisi form Beck’s
Depression inventory versi bahasa Indonesia di dalam link yang sudah disediakan di
poster dan pesan broadcast tersebut. Dari partisipan yang terkumpul, dipilih 18 orang
partisipan yang memiliki hasil kategori sedang. Pemilihan kategori sedang adalah
untuk melihat apakah ada perubahan positif yang terjadi setelah terapi karena
partisipan dengan kategori berat tidak disarankan untuk mengambil terapi secara
online dengan brief Cognitive Behavioural Therapy.
Dari 18 partisipan yang sudah terkumpul, maka akan dibagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sembilan orang yang mendaftar
terlebih dahulu akan dimasukkan dalam kelompok eksperimen dan sembilan orang
yang mendaftar selanjutnya dimasukkan ke dalam kelompok kontrol. Sebelum
43
memulai proses secara online, partisipan kelompok eksperimen akan dikumpulkan
dan diberikan pengarahan mengenai penelitian.Tahapan selanjutnya, kelompok
eksperimen akan menerima perlakukan berupa konseling online berbasis Cognitive
Behavioural Therapy, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan. Setelah
terminasi terapi, kedua kelompok akan kembali diminta untuk mengisi Beck’s
Depression Inventory untuk melihat perubahan yang terjadi pada kedua kelompok.
Disamping kriteria sebagai partisipan, penelitian ini juga menetapkan kriteria-kriteria
terapis yang ditunjuk sebagai psikolog yang menangani partisipan. Kriteria-kriteria
tersebut antara lain:
a. Mempunyai gelar psikolog dan mempunyai surat izin praktek dari HIMPSI
b. Pernah menangani partisipan dengan gangguan depresi
c. Pernah memakai teknik Cognitive Behavioural Therapy atau Brief Cognitive
Behavioural Therapy
d. Bersedia menandatangani kontrak penelitian
e. Mampu mengakses internet
f. Telah terbiasa melakukan komunikasi melalui media text dengan aplikasi chatting.
44
C. Prosedur penelitian
a. Persiapan
Sebelum peneliti mengumpulkan data dari variabel Independen (konseling Brief
Cognitive Behavioural Therapy menggunakan media online) dan variabel dependen
(depresi). Persiapan yang sudah dilakukan berkaitan dengan penyusunan modul
(sebagai paduan terapis menjalani sesi konseling) dan mempersiapkan alat ukur
Beck’s Depression Inventory yang sudah diadaptasi ke dalam bahwa Indonesia serta
proses rekrutmen partisipan dan psikolog. Selain itu, sudah dilakukan uji coba
terhadap modul yang sudah disusun, berikut penjabaran prosedur penelitian kali ini:
a) Menyusun modul
Penyusunan modul intervensi yang diadaptasi dari modul brief Cognitive
Behavioural Therapy oleh Cully dan Teten (2008). Selanjutnya, dilakukan
pengujian terhadap validitas isi modul yang akan diberikan kepada partisipan.
Pengujian validitas isi modul ini akan menggunakan metode professional
judgement dengan memberikan modul kepada profesional (Azwar, 2013) dalam
bidang psikologi terutama yag menguasai teknik Cognitive Behavioural Therapy
dengan memberikan penilaian kepada modul ini.
45
Berikut adalah blueprint modul yang akan dinilai:
Tabel 1 Rancangan intervensi
Sesi Kegiatan/Bahan Tujuan Waktu Ket
“Ayo mulai perubahan”
Pengenalan (orientasi) konsep brief Cognitive Behavioural Therapy
Menentukan goal setting
Menentukan agenda terapi
Pemberian
PR
Awal sesi ini ditujukan untuk memperkenalkan partisipan mengenai konsep brief Cognitive Behavioural Therapy, menentukan batas tujuan terapi dan mulai mengatur agenda di sesi-sesi selanjutnya, hendaknya pada sesi ini terapis memberikan motivasi untuk partisipan mau dan siap untuk merubah pikiran, perasaan dan perilakunya.
90 menit Online dengan terapis
“Keadaan tidak seburuk itu”
Mengidentifikasi pikiran yang maladaptive
Menantang pikiran maladaptive
Pemberian
PR (Pekerjaa
n Rumah)
Sesi ini ditujukan untuk melatih partisipan mengidentifikasi pikiran-pikiran maladaptif yang menyebabkan partisipan depresi. Setelah itu, terapis akna membantu partisipan untuk melihat apakah pikirannya tersebut nyata atau hanya sebuah “kesalahan berpikir”. Pada akhir sesi, terapis akan memberikan pekerjaan rumah kepada partisipan untuk mempelajari mengenai depresi serta kasus-kasus yang sudah disedikan di dalam website.
90 menit Online dengan terapis
“Keadaan mulai dapat kukontrol”
Behavioral activation
Pemberian
PR
Pada sesi ini, terapis dan partisipan mendiskusikan aktivitas yang yang dapat dilakukan partisipan untuk membantunya bangkit dari depresi. Terapis dan partisipan bersama-sama akan merencanakan kegiatan sehari-hari yang akan dilakukan partisipan.
90 menit Online dengan terapis
“Aku yang baru”
Problem Solving
Pemberian
PR
Pada sesi ini, terapis dan partisipan membuat rencana untuk mengatasi permasalahan partisipan yang spesifik, dengan memberikan penilaian keuntungan dan kelemahan terhadap rencana yang disusun.
90 menit Online dengan terapis
Terminasi Pada sesi ini, partisipan akan dibeikan post test untuk mengukur tingkat depresinya. Selain itu, partisipan dan terapis akan mengevaluasi sesi-sesi terapi yang sudah dijalani, untuk kemudian terapis melakukan terminasi.
90 menit Online dengan terapis
46
Professional judgement dilakukan dengan memberikan modul kepada
masing –masing rater berjumlah delapan orang yang masing-masing terdiri
dari empat orang psikolog dan empat orang mahasiswa magister profesi
psikologi yang sudah menyelesaikan ujian praktek. Para rater akan diminta
untuk memberikan penilaiannya terhadap isi modul pada setiap sesi yang
sudah disusun sehingga terkumpul nilai aiken v untuk kelima sesi yang sudah
disusun. Rater juga diminta untuk memberikan masukan apabila dirasa isi
modul yang disusun belum sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan di tiap
sesi. Skor aiken yang didapatkan berkisar anatara 0,77 hingga 0,79 Menurut
Aiken (1985) dengan jumlah Rater sebanyak delpan orang dengan tujuh rating
categories, maka nilai yang dibutuhkan adalah minimal 0,71.
Uji coba modul dilakukan kepada partisipan yang mempunyai skor BDI
sebanyak 24 (sedang). Sebagai terapis, dipilih seorang mahasiswa magister
profesi yang sudah lulus ujian praktek dan pernah menangani klien melalui
media online. Uji coba dilaksanakan selama lima minggu dimana sesi
dilakukan seminggu sekali untuk melihat efektifitas waktu dan kenyamanan
klien dalam menjalani treatment.
Hasilnya, klien merasakan perubahan di dalam dirinya terutama ketika
diberikan tugas di sesi ke tiga (aktivasi perilaku) dan sesi ke empat
(penyelesaian masalah). Klien mengaku medapatkan insight dimana ia
merasa sudah mulai bisa menerima keadaannya dan merasa sudah mulai
bisa mengatur pikiran otomatis negatifnya.
Selama menjalani konseling, klien mengaku pada sesi satu ke sesi dua
dan sesi dua ke sesi tiga jaraknya terlalu lama dan itu membuatnya tidak
nyaman. Sedangkan dari sesi tiga ke sesi empat dan sesi empat ke sesi lima
menuutnya sudah cukup. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk
47
memberikan jarak dua hari per-sesi dari sesi satu ke sesi dua dan sesi dua ke
sesi tiga serta tetap mempertahankan jarak waktu seminggu untuk sesi tiga ke
sesi empat dan sesi empat ke sesi lima.
b) Menyusun alat ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Beck’s Depression
Inventory milik Beck yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Peneliti telah melakukan professional judgement dengan rater sebanyak 16
orang yang terdiri dari 14 orang mahasiswa S2 Magister dan Magister Profesi
Psikologi dan dua orang mahasiswa S3 Psikologi Universitas Gadjah mada.
Aiken (1985) menuliskan untuk rater sejumlah 16 orang, maka nilai minimum
aiken v yang dibutuhkan adalah 0,65 dan hasil paling kecil dari professional
judgment aitem-aitem Beck’s Depression Inventory BDI) bahasa Indonesia
yang dilakukan peneliti mempunyai rentang antara 0,66-0,90 yang berarti
memenuhi pra-syarat.
Beck’s Depression Inventory yang digunakan adalah alat ukur gejala
depresi yang dikembangkan oleh Beck et. al (1961). Alat ukur ini berisi
kumpulan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan gejala-gejala depresi
yang dialami oleh individu. Partisipan yang diambil adalah pasien dari
departemen psikiatris di rumah sakit universitas Pensylvania. Ada dua jenis
sampel partisipan yaitu kelompok asli (226 pasien) dan kelompok replikasi
(183 pasien). Partisipan mayoritas berkulit putih dengan rentang usia 15-44
tahun. Empat orang psikiater berpengalaman bertugas untuk mendiagnosis
setiap partisipan denga empat poin skala keparahan depresi.
Reliabilitas dari inventori menggunakan analisis Kruskal Wallis Non-
Parametric Analysis of Variance by Ranks, menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan hingga level 0,01. Koefisien reabilitas menggunakan
Pearson r menunjukkan skor 0,86 dan dengan Spearman-Brown Correction
48
menunjukkan skor 0,93. uji valisitas yang dilakukan menggunakan Mann-
Whitney U test untuk menilai kekuatan inventori dalam membedakan kategori
depresi dalam tidak ada, ringan, sedang dan parah menunjukkan skor yang
signifikan (<0,0004) dengan perbedaan pada kategori antara sedang hingga
berat yang mana nilai p pada partisipan asli menunjukkan nilai <0,0 dan subjek
replikasi <0,02. Untuk mengukur korelasi antara BDI dengan penilaian klinis
keparahan depresi, kriteria digabung dari empat menjadi dua kategori (tidak
ada dan ringan, sedang dan berat) Beck et al (1961) menggunakan Pearson
biserial r yang menunjukkan nilai p <0,01 yang berarti korelasi yang ada terjadi
secara signifikan.
Di samping itu, peneliti juga melakukan uji coba alat ukur dengan
mengujikannya secara online kepada 155 orang berusia antara 15-40 tahun.
Peneliti melakukan uji realibilitas cronbach alpha dan mendapatkan nilai
cronbach alpha senilai 0,902 yang menunjukkan bahwa kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini reliabel untuk mengukur gejala depresi. Di
samping itu, ketika dilakukan uji validitas dengan populasi data dari populasi
yang sama, didapatkan nilai validitas berkisar antara 0,268 hingga 0,742
dengan nilai minimal 0,205 pada taraf signifikansi 0,01 (dua-arah)
menunjukkan bahwa semua aitem tersebut teruji validitasnya.
c) Rekrutmen partisipan dan Psikolog
Proses rekrutmen partisipan dilakukan dengan penyebaran poster serta
broadcast secara digital. Poster disebarkan ke seluruh fakultas yang ada di
Universitas Gadjah Mada. Selain menempelkan poster, peneliti juga meminta
kepada pihak penerima poster untuk melakukan broadcast pesan yang berisi
ajakan untuk berpartisipasi dalam kegiatan konseling online yang akan
dilaksanakan peneliti. Para partisipan yang ingin ikut berpartisipasi dalam
kegiatan ini nantinya akan diarahkan untuk mengisi link yang berisi BDI
49
bahasa Indonesia. Nantinya, skor partisipan akan dijumahkan dan hanya
partisipan yang memenuhi rentang skor antara 17 hingga 29 yang akan
dipilih.
Psikolog yang dipilih dalam penelitian ini berjumlah satu orang, jumlah ini
berdasarkan pertimbangan agar seluruh partisipan mendapatkan tingkat
pelayanan yang kurang lebih sama. Psikolog yang dipilih adalah psikolog
yang mempunyai surat izin praktek psiklogi dan sudah berpraktek di sebuah
biro psikologi. Nantinya, pelaksanaan konseling akan dilakukan secara
individual. Sebelum melakukan sesi konseling, psikolog diberikan pengarahan
mengenai modul yang akan digunakan.
Sebelum memulai sesi, setiap partisipan kan diberikan akomodasi berupa
pulsa senilai seratus ribu rupiah per-partisipan selama menjalani sesi
konseling. Sedangkan pada akhir konseling, setiap partisipan juga akan
diberikan reward berupa sertifikat atas keikutsertaannya selama mengikuti
konseling. Untuk psikolog, peneliti memberikan reward berupa uang senilai
Rp.2.500.000 dan juga akomodasi pulsa selama sesi konseling berlangsung.
b. Pengumpulan data Variabel Independen (Brief Cognitive Behavioural
Therapy secara online)
Pengumpulan data Brief Cognitive Behavioural Therapy secara online
dalam penelitian ini akan dilakukan menggunakan aplikasi chat
messenger telegram. Alasan pemilihan aplikasi telegram adalah
tampilannya yang sederhana, mudah digunakan, menyediakan emotikon
yang dapat membantu menjelaskan keadaan mood partisipan, aman,
serta mudah diakses baik dari smartphone maupun komputer selama
terhubung ke internet.
Selain menggunakan aplikasi telegram, pemberian tugas pada setiap
sesi akan menggunakan aplikasi google docs. Partisipan dapat mengakses
50
tugas ini dari smartphone atau komputer yang terhubung dengan internet
selama mereka mengetahui link tugas yang akan diberikan setiap akhir
sesi. Para partisipan akan diminta untuk mengirimkan hasil tugas yang
sudah mereka kerjakan kepada peneliti melalui email paling lambat sehari
sebelum mereka melakukan sesi selanjutnya agar tugas tersebut bisa
diserahkan kepada terapis sebagai bahan evaluasi dan pembahasan pada
sesi selanjutnya.
c. Pengumpulan data variabel dependen (Gejala Depresi)
Data gejala depresi akan dikumpulkan melalui kuesioner Beck’s
Depression Inventory versi bahasa Indonesia. Kuesioner ini sudah
diletakkan ke dalam form google docs dan partisipan dapat mengaksesnya
secara online.
D. Desain Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh terapi
Brief Cognitive Behavioural Therapy melalui media online dalam menurunkan
gejala depresi pada mahasiswa. Pendekatan yang digunakan adalah metode
eksperimen kuasi dimana partisipan dipilih dari mahasiswa yang mempunyai skor
depresi sedang dengan pemilihan kelompok eksperimen dan kontrol tidak diacak.
Desain peneltian yang akan dipakai dalam penelitian ini disebut untreated control
group design with dependent pretest and posttest. Ke depannya akan dibentuk
dua kelompok yaitu kelompok penelitian dan kelompok kontrol dimana kelompok
penelitian adalah kelompok yang menerima perlakuan sedangkan kelompok
kontrol adalah kelompok yang tidak menerima perlakuan. Nantinya akan diukur
variabel dependen (depresi) dari kedua kelompok pada sebelum dan sesudah
intervensi (Shadish William R., 2002) . Hasil pretest dan post-test dari kedua
kelompok (eksperimen dan kontrol) akan dibandingkan untuk melihat keefektifan
51
konseling online dalam menurunkan skor gejala depresi. berikut adalah gambar
desain penelitian yang akan digunakan:
NR O X O
NR O O
Gambar 3. Desain penelitian
E. Prosedur Eksperimen
Awalnya, calon partisipan membuka situs untuk mengisi skala BDI (Becks’s
Depression Inventory) secara online melalui google form. Selanjutnya, peneliti
akan melihat hasil jawaban partisipan serta memilih partisipan yang sesuai dengan
kriteria. Akan dipilih sebanyak 9 partisipan sebagai kelompok penelitian dan 9
partisipan sebagai kelompok kontrol. Pemilihan partisipan akan dilakukan pada
partisipan dengan nilai skor BDI setiap partisipan adalah antara 17 hingga 29 yang
mengindikasikan bahwa partisipan memiliki tingkatan depresi sedang.
Setelah terkumpul partisipan yang diperlukan, maka para partisipan akan
diminta untuk mengisi data diri secara online beserta alasan dan permasalahan
yang ingin dikonsultasikan. Partisipan akan dikumpulkan dan diberikan
pengarahan mengenai penelitian serta dijelaskan hak dan kewajibannya selama
mengikuti penelitian sebelum penelitian dimulai. Partisipan akan diminta untuk
menandatangani informed consent yang sudah disediakan oleh penelitian (contoh
informed consent ada di bagian lampiran). Kemudian, partisipan akan
dipersilahkan untuk memilih waktu yang sudah disediakan untuk melaksanakan
konseling online. Langkah selanjutnya, psikolog yang dipilih akan langsung
menerima data-data yang sudah partisipan masukkan untuk kemudian proses
konseling online akan dimulai.
Konseling akan dilakukan secara online dimana posisi partisipan dan
psikolog akan terpisah. Partisipan bisa melakuakn konseling ditempat yang
menurutnya nyaman dan terjamin secara listrik dan sinyal internet. Terapis dan
52
partisipan sebelumnya sudah menentukan jadwal sehingga bisa langsung
berkomunikasi via online chat. Pada setiap akhir sesi, terapis berkewajiban untuk
mengirimkan transkrip selama sesi berlangsung ke email peneliti. Sebelum
dimulainya intervensi, penelti akan memastikan partisipan dan psikolog sedang
online dalam waktu yang bersamaan. Partisipan juga akan ditanyakan mengenai
keadaan di sekitarnya dan diminta untuk memastikan bahwa partisipan berada di
tempat yang minim gangguan. Proses ini disebut field experiment dimana selama
proses penelitian, ekperimen dilakukan dalam setting natural partisipan dengan
manipulasi pada variabel dependen. Dalam proses ini akan bisa didapatkan
keuntungan karena partisipan dapat berperilaku di lingkungan naturalnya maka
keinginan untuk dilihat secara positif (berpura-pura) bisa berkurang, sehingga
peneliti lebih yakin akan validitas eksternal penelitian (Furnham, 1997).
Proses intervensi yang akan dilaksanakan bagi kelompok eksperimen
dibagi dalam lima sesi, pada sesi pertama, partisipan akan dikenalkan mengenai
pendekatan Brief Cognitive Behavioural Therapy untuk menangani depresi, pada
akhir sesi, partisipan diharapkan mengerti mengenai konsep pikiran yang
berpengaruh terhadap perasaan dan perilaku. Pada sesi ini, partisipan juga akan
mengetahui gambaran konseling dan menentukan tujuan yang ingin dicapai pada
akhir konseling. Tugas yang diberikan pada sesi ini adalah partisipan diminta
untuk membaca psikoedukasi mengenai Cognitive Behavioural Therapy dan gejala
depresi yang sudah disediakan di dalam google form. Pada sesi kedua, partisipan
akan mulai membahas mengenai pikiran negatif otomatis yang dimilikinya dan
berlatih untuk melawan pikiran itu dan menggantinya dengan pikiran yang lebih
positif. Tugas yang diberikan pada sesi ini adalah partisipan melakukan latihan
melawan pikiran negatif di dalam kasus yag sudah disediakan oleh peneliti di
dalam google form. Pada sesi ketiga, partisipan akan diajak untuk membuat
rencana aktivasi perilaku dimana tugas pada sesi ini adalah partisipan diminta
53
untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatan menyenangkan yang akhir-akhir ini
tidak dilakukannya. Pada sesi keempat, partisipan dan terapis bersama akan
menyusun rencana penyelesaian masalah partisipan, tugas partisipan adalah
mengaplikasikan rencananya dalam jangka waktu seminggu yang akan dibahas
hasilnya pada sesi lima. Pada sesi lima atau sesi terakhir, partisipan dan terapis
mebahas megenai tugas sebelumnya dan melakukan evaluasi etrhadap
keseluruhan sesi konseling serta melakukan terminasi.
Dalam setiap sesi, partisipan akan belajar untuk mengurangi gejala
depresinya menggunakan berbagai teknik Cognitive Behavioural Therapy. Di
dalam rancangan intervensi, partisipan akan didampingi oleh terapis dan juga
akan diberikan bantuan dengan program yag sudah disediakan secara online.
Setela menyelesaikan proses intervensi, partisipan akan diminta untuk mengisi
form Beck’s Depression Inbventory versi bahasa Indonesia untuk melihat
perubahan gejala depresi yang dialami partisipan selama terapi. Pengisian
dilakukan dua minggu setelah intervensi selesai dilakukan hal ini didasarkan
karena dalam intervensi psikologi perubahan biasanya tidak langsung terjadi tepat
setelah penelitian (Azwar 2017). Prosedur penelitian dapat dilihat dari flowchart
dibawah ini:
54
Gambar 4. Prosedur eksperimen
F. Cara Analisis Data
Analisis data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik anava campuran
(mixed design). Hal ini disebabkan dpenelitian ini menggunakan kelompok kontrol.
Analisis akan dilakukan menggunakan software SPSS 15. Beberapa langkah analisis
yang dilakukan peneliti akan dijabarkan sebagai berikut:
- Analisis deskriptif
Analisis ini dilakukan guna mengetahui gambaran atau penyebaran data
secara deskriptif. Peneliti akan menyajikan data deskriptif jumlah partisipan, nilai
rata-rata (mean), skor minimum dan maksimum pada masing-masing kelompok
pada waktu (pretest dan posttest). Selain itu kaan dijabarkan pula standar deviasi
dari data yang diperoleh.
55
- Uji normalitas
Pengujian normalitas dilakukan untuk membuktikan bahwa data terdistribusi
secara nomal sebagai pra-syarat melanjutkan ke analisis selanjutnya.
- Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas data bertujuan untuk melihat apakah data yang
didapatkan homogen (tidak terlalu bervariasi) atau tidak.
- Tests of within subjects dan Test of between subjects
Tes ini dilakukan untuk melihat interaksi yang menunjukkan bahwa perubahan
skor pretest menuju posttest pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)
berbeda secara signifikan.
- Tes independent sample t-test
Pengujian ini dilakukan untuk melihat signifikasi perubahan skor variabel
dependen setelah intervensi dengan membandingkan mean dari gain score (skor
post-test dikurangi skor pre-test) antara kelompok eksperimen dan kontrol.
- Multivariate test
Pengujian untuk melihat berapa persen intervensi berpengaruh terhadap
perubahan yang dialami oleh para partsipan.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi partisipan
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 18 orang dengan komposisi
sembilan orang kelompok eksperimen dan sembilan orang kelompok kontriol. Para
partisipan yang terpilih telah melalui skrining dengan alat ukur Beck’s Depression
Inventory berada pada rentang skor 17-29 yang mengindikasikan bahwa partisipan
sedang mengalami gejala depresi sedang. Pemilihan partisipan yang sedang memiliki
gejala depresi sedang adalah agar bisa terlihat penurunan gejala depresinya dan dalam
keadaan yang siap untuk ditangani secara online. Partisipan juga dipilih dari pendaftar
yang berusia 19-25 tahun dengan pendidikan mahasiswa, kriteria ini dimaksudkan agar
partisipan dapat mengikuti konseling dengan baik karena konseling berbasis Cognitive
Behavioural Therapy membutuhkan tingkat intelegensi yang normal agar dapat
memahami setiap tahapan konseling. Selain itu, para partisipan diharuskan mau dan
mampu mengakses internet dan juga aplikasi telegram dan google docs karena
pelaksanaan konseling akan dilakukan secara online dengan fasilitas aplikasi telegram
dan google docs.
Partisipan eksperimen terdiri dari jurusan yang berbeda-beda dengan jenjang
pendidikan S1 dan D3. Berikut adalah tabel 2 yang berisi data deskriptif kelompok
eksperimen penelitian:
Tabel 2 Data deskriptif partisipan
Eksperimen Usia Jurusan Jenjang
Partisipan 1 24 Geografi S1
Partisipan 2 20 Matematika S1
Partisipan 3 21 Ked. Gigi S1
Partisipan 4 21 Antropologi S1
Partisipan 5 20 T. Industri D3
Partisipan 6 21 Psikologi S1
Partisipan 7 20 Psikologi S1
Partisipan 8 20 Fisika S1
57
Partisipan 9 20 Kartografi S1
Terlihat dari tabel di atas bahwa seluruh kelompok partisipan mempunyai jenjang
pendidikan setara perguruan tinggi dan berasal dari berbagai jurusan yang ada di
Universitas Gadjah Mada. Usia partisipan tidak terpaut jauh dengan rentang usia dari 20-
24 tahun. Setiap partisipan mempunyai gadget yang dapat digunakan sebagai media
chatting online dan juga terbiasa menggunakan gadget tersebut untuk aktivitas chatting.
Setiap partisipan juga sudah mendowload dan menginstal aplikasi Telegram dan mampu
menggunakannya tanpa hambatan yang berarti.
B. Deskripsi data
Bagian ini akan berisi mengenai deskripsi skor Beck’s Depression Inventory dari partisipan. Berikut adalah skor pre-test dan post-test dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol: Tabel 3 Skor hasil pengukuran partisipan penelitian
Eksperimen Pretest Postest Kontrol Pretest Postest
Partisipan 1 29** 12* Partisipan 10 28** 15*
Partisipan 2 27** 0* Partisipan 11 24** 28**
Partisipan 3 21** 2* Partisipan 12 27** 20**
Partisipan 4 22** 6* Partisipan 13 25** 25**
Partisipan 5 19** 5* Partisipan 14 24** 24**
Partisipan 6 27** 6* Partisipan 15 18** 19**
Partisipan 7 22** 2* Partisipan 16 22** 20**
Partisipan 8 20** 6* Partisipan 17 26** 14*
Partisipan 9 22** 2* Partisipan 18 19** 14* **=kategori sedang *=kategori ringan
1. Partisipan 1
Skor pretest partisipan 1 adalah 29 (sedang) dan skor post-testnya adalah
12(ringan). Terdapat penurunan skor sebanyak 17 poin, hal ini menunjukkan
bahwa ada perubahan kategori depresi partisipan. Secara umum, partisipan 1
mengerjakan seluruh tugas yang diberikan dan bisa mengikuti seluruh sesi
konseling dengan lengkap sehingga tujuan di tiap sesi tercapai.
58
2. Partisipan 2
Skor pretest partisipan 2 adalah 27 (sedang) dan skor post-testnya adalah
0(ringan). Hal ini mengindikasikan bahwa partisipan mengalami perubahan yang
signifikan selama konseling. Pada akhir konsleing, partisipan mengaku tidak lagi
memiliki pikiran negatif dan merasa lebih produktif dibandingkan sebelumnya.
3. Partisipan 3
Skor pretest partisipan 3 adalah 21 (sedang) dan skor post-testnya adalah
2 (ringan). Terdapat penurunan sebanyak 19 poin yang mengindikasikan
partisipan mengalami perubahan yang signifikan selama konseling. Di akhir
konsleing partisipan mengaku banyak mendapatkan insight-insight yang
membantunya berpikir lebih positif dalam menghadapi masalahnya.
4. Partisipan 4
Skor pretest partisipan 4 adalah 22 (sedang) dan skor post-testnya adalah
6 (ringan). Terdapat penurunan skor sebanyak 16 poin yang mengindikasikan
partisipan mengalami perubahan yang signifikan selama konseling. Selama
melaksanakan konseling, partisipan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
dengan baik dan mengaku pikiran negatif yang dulu mengganggunya perlahan
mulai menghilang digantikan dengan pikiran yang lebih positif.
5. Partisipan 5
Skor pretest partisipan 5 adalah 19 (sedang) dan skor post-testnya adalah
5(ringan). Terjadi penurunan skor sebesar 14 poin yang mengindikasikan gejala-
gejala depresi yang dialami partisipan menurun. Partisipan mengaku pikiran-
pikiran yang sebelumnya menganggu tidak lagi ada dan dapat mengambil
pelajaran dari proses konseling yang dilakukannya.
6. Partisipan 6
Skor pretest partisipan 6 adalah 27 (sedang) dan skor post-testnya adalah
6 (ringan). Terjadi penurunan skor sebanyak 21 poin, hal ini mengindikasikan
59
partisipan mengalami perubahan yang signifikan. Partisipan mengaku banyak
mendapat pelajaran selama konseling, di samping itu, partisipan menyadari
banyaknya pikiran negatif yang membuatnya tidak nyaman dan perlahan-lahan
mulai menghilangkannya.
7. Partisipan 7
Skor pretest partisipan 7 adalah 22 (sedang) dan skor post-testnya adalah
2(ringan). Hal ini menunjukkan bahwa partisipan mengalami penurunan gejala
depresi yang cukup signifikan. Partisipan melaksanakan semua tugas yang
diberikan dan mampu mencapai tujuan di setiap sesinya. Partisipan juga mengaku
sudah mampu mengendalikan pikiran negatifnya dengan melakukan hal-hal yang
disenanginya.
8. Partisipan 8
Skor pretest partisipan 8 adalah 20 (sedang) dan skor post-testnya adalah
6 (ringan). Hal ini mengindikasikan partisipan mengalami penurunan gejala depresi
secara signifikan. Partisipan 8 juga mengaku keadaannya sudah berbeda dari
sebelum konseling dimana saat ini partisipan merasa mampu untuk berpikir positif
akan masalah yang dihadapinya.
9. Partisipan 9
Skor pretest partisipan 9 adalah 22 (sedang) dan skor post-testnya adalah 2
(ringan). Penurunan yang signifikan ini diakui oleh partisipan dikarenakan
keadaannya saat ini jauh lebih baik dibandingkan sebelum konseling. Partisipan
mengaku saat ini sudah tidak lagi berpikiran negatif seperti sebelumnya dan
keadaannya saat ini lebih nyaman.
Diketahui bahwa pada pre-test kelompok kontrol memiliki nilai minimum 18 dan nilai
maksimum 28. Skor mean pre-test pada kelompok adalah 23.2222 dengan standar
deviasi 3.52767. Sedangkan pada postest, kelompok kontrol memiliki nilai minimum 0
dan nilai maksimum 12 yang kesemuanya berada dalam rentang kategori ringan. Skor
60
mean postest kelompok kontrol adalah 4.5556 dengan standar deviasi sebesar 3.57460,
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa kelompok ekspreimen mengalami penurunan
mean skor Beck’s Depression Inventory dari 23.2222 ke 4.5556 yang mengindikasikan
bahwa ada penurunan gejala depresi setelah partisipan melakukan konseling.
Kelompok kontrol dipilih dengan kategori rentang nilai yang sama dengan kelompok
eksperimen. Pada kelompok kontrol, skor minimum pada pre-test yang dimiliki kelompok
kontrol adalah 19 dan maksimum 29. Jumlah keseluruhan skor pre-test kelompok kontrol
adalah 213 dengan mean sebesar 23.6667 dan standar deviasi sebesar 3.42783. pada
post-test, kelompok kontrol memiliki mean 19.8889 dengan standar deviasi 5.03598. dari
skor di atas terlihat kelompok kontrol juga mengalami penurunan skor Beck’s Depression
Inventory .Data deskriptif tersebut disajikam dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4
Data Deskriptif pre-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
Kelompok Pretest Posttest
N Min Max Mean SD N Min Max Mean SD
Eksperimen 9 18 28 23,22 3,52767 9 0 12 4,56 3,57460
Kontrol 9 19 29 23,66 3,42783 9 14 28 19,89 5,03598
C. Hasil
Analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat perbedaan skor pretest dan postest pada
partisipan eksperimen dan partisipan kontrol. Nilai yang akan dilihat adalah nilai
normalitas, homogenitas, interaksi antara waktu (pre-test dan post test) dengan kelompok
(eksperimen-kontrol). Juga akan di lihat besarnya sumbangan konseling brief Cognitive
Behavioural Therapy online pada perubahan skor kelompok eksperimen. Uji normalitas
dalam teknik anova campuran menggunakan Shapiro-Wilk terpenuhi dengan p pre-test
0,319> 0,05 dan post-test 0,171 >0,05 yang mengindikasikan bahwa data terdistribusi
secara normal.
61
Tabel 5 Tes normalitas
Pengukuran N Nilai Shapiro-Wilk Keterangan
Pretest 9 0,948 Distribusi Normal
Posttest 9 0,927 Distribusi Normal
Nilai Box’s M menunjukkan nilai homogenitas skor Beck’s Depression Inventory pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Nilai yang di dapat adlah sig. 0,739 > 0,05
yang menunjukkan bahwa data homogen yang artinya skor Beck’s Depression Inventory
pada kelompok eksperimen dan kontrol tidak terlelu bervariasi (homogen).
Nilai Mauchly's Test of Sphericity menunjukkan hasil yang signifikan (sig. <0,05).
Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah melihat bagian baris Greenhouse-Geisser
yang menunjukkan nilai F= 38.782 (p <0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat interaksi
antara time (pretest dan postest) dengan kelompok (eksperimen-kontrol). Inetraksi ini
mengindikasikan bahwa perubahan skor pretest menuju post tes pada kedua kelompok
berbeda secara signifikan. Sedangkan pada Test of between subjects menunjukkan nilai
F sebesar 30,598 (p<0.05) yang menunjukkan perubahan skor pada kedua kelompok
partisipan.
Besarnya sumbangsih konseling brief Cognitive Behavioural Therapy online pada
kelompok eksperimen dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Dari tabel terlihat bahwa pada
kelompok 1 (eksperimen) terdapat sumbangan sebesar 88,4 % terhadap perubahan skor
Beck’s Depression Inventory partisipan sedangkan perubahan yang terjadi pada
kelompok kontrol adalah sebesar 23,8 %. Hal ini menunjukkan bahwa konseling Brief
Cognitive Behavioural Therapy Online memberikan dampak yang cukup signifikan
terhadap penurunan skor gejala Beck’s Depression Inventory kelompok eksperimen.
62
Tabel 6
Multivariate Tests
Kelompok Sumber Partial Eta Squared
Eksperimen Wilks’ lambda 0,884
Kontrol Wilks’ lambda 0,238
D. Analisis deskriptif
Pada bagian ini dilaporkan mengenai analisis deskriptif dari setiap sesi yang dijalani
oleh kelompok eksperimen. Analisa deskriptif didasarkan pada kata-kata yang dituliskan
oleh partisipan, untuk melihat apakah ada perubahan emosi, cara berpikir, berperilaku
serta pemahaman apa saja yang sudah didapatkan oleh setiap partisipan selama
melakukan sesi konseling online menggunakan teknik brief Cognitive Behavioural
Therapy. Pada bagian ini diberikan penjelasan beserta contoh yang diambil dari partisipan
1 untuk lebih memperjelas gambaran proses yang terjadi selama konseling online
berlangsung. Analisis ini diperlukan untuk melihat apakah rancangan konseling dapat
membantu setiap partisipan belajar dan bisa menerapkan kemampuan-kemampuan yang
akan diajarkan selama konseling. Kemampuan-kemampuan ini antara lain:
mengidentifikasi dan menantang pikiran negatif, aktivasi perilaku dan juga kemampuan
penyelesaian masalah.
Pada sesi pertama, para partisipan bersama koselor melakukan building rapport juga
pengenalan mengenai teknik cognitive behavioral therapy. Pada setiap awal dan akhir
sesi ini (serta sesi-sesi selanjutnya) konselor akan menanyakan emosi klien dengan
membaginya menjadi lima emosi yang dicontohkan dengan emotikon yang tersedia di
dalam aplikasi Telegram. Emotikon menandakan emosi sangat sedih, emotikon
menandakan emosi sedang sedih, emotikon menandakan emosi netral,
63
emotikon menandakan emosi senang, emotikon menandakan emosi sangat
senang. Hal ini ditujukan untuk melihat perubahan emosi yang dialami klien pada akhir
sesi dibandingkan di awal sesi. Hasilnya, para partisipan sering merasakan emosi yang
lebih positif pada akhir sesi dibandingkan awal sesi.
Pada sesi selanjutnya, partisipan dan konselor melakukan rekonstruksi kognitif. Pada
tahapan ini, konselor dan partisipan mengidentifikasi, melawan serta menggantikan
pikiran negatif klien dan menggantinya dengan pikiran yang lebih positif. pada sesi ini,
partisipan yang sebelumnya menuliskan mengenai kondisi yang membuat tidak nyaman
bersama konselor mencari pikiran negatif yang menyebabkan partisipan merasa
tidaknyaman. Misalnya yang terjadi pada partisipan 1 yang menuliskan mengenai
keluhan-keluhan yang dialaminya beberapa waktu belakangan ini, hal ini tercermin dari
kata-kata partisipan yang menunjukkan beberapa mood sedih ( afek depresi) seperti
kecewa dan merasa kesepian. Pada sesi ini, partisipan juga mulai menelusuri pikiran-
pikiran yang selama ini dianggapnya menjadi beban, seperti pikiran bahwa dirinya tidak
berguna dan bingung apa yang harus dilakukan. Kata-kata lain dari partisipan yang
menunjukkan dirinya merasa tidak berguna adalah ketika ia merasa belum bisa mandiri
secara finansial dan itu membuatnya merasa tidak berguna.
Jd kayak pesimis gitu ya
Kayak aku nggak ada apa apanya mbak hehe
Nggak berguna gitu hehe
Berpikir kenapa semua ini terjadi
Hehe
Trs aku bingung ingin melakukn apa
Dan merasa nggak berguna karna msh ngrepoti ortu hehe
Terlebih dlm hal finansial”
Selanjutnya, partisipan mulai diajak untuk menelusuri pikiran yang membuatnya
merasa tidak berguna. Konselor mengajak partisipan untuk menantang pikiran ini dengan
memberikan pertanyaan yang akan membuat klien memikirkan dan mempertimbangkan
kembali mengenai pikiran tersebut. Partisipan diminta untuk memikirkan ketika
64
keadaannya tersebut juga dialami oleh orang yang disayanginya, disini konselor meminta
partisipan untuk mengambil sudut pandang orang ketiga sehingga partisipan dapat
melihat permasalahannya secara lebih objektif.
Konselor:
“Nah. kalau misalnya ni, ada orang yang kamu sayangi berada dalam
situasi yang sama seperti yang kamu alami, dan dlm keadaan yang sama
juga berpikiran yang sama (merasa tidak berguna), apa yang bakal kamu
katakan ke orang ini?”
partisipan:
“Jangan menghakimi diri sendiri hehe
Ttp semangat dan optimis hehe”
Selain itu, partisipan juga diminta untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
mengenai kebenaran dan kesalahan pikiran yang dimilikinya. Setelah partisipan melihat
kembali mengenai pikiran negatifnya, partisipan mulai menyadari bahwa hal ini hanya ada
di dalam pikirannya sehingga kepercayaannya terhadap pikiran merasa tidak berguna
karena belum mendapatkan pekerjaan ini menurun dari 75% ke 50% dan mulai
mempercayai bahwa dirinya adalah manusia yang berguna jika sudah bisa membantu
banyak orang.
Konselor :
“kalau saya boleh tanya lagi ni, sekarang berapa persen kamu percaya
dengan pikiran negatif kamu "aku tidak berguna"?”
Partisipan :
“Berkurang menjadi 50 % mbak hehe
Aku merasa klo udah berguna klo bisa membakantu banyak orang lagi
mbak
Hehe”
Di sesi ketiga, partispan mulai diajak untuk melakukan aktivasi perilaku,
kemampuan ini berguna untuk membantu menaikkan mood partisipan. Partisipan diminta
untuk melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan yang sebelumnya sudah jarang
dilakukan oleh partisipan. Konselor akan mengajak partisipan untuk mengidentifikasi dan
menyusun jadwal kegiatan-kegiatan apa saja yang akan dilakukan oleh partisipan.
Partisipan:
“List kegiatan
1. Ngobrol sm temen selasa,rabu
65
2. Baca buku (tiap hari)
3. Beresin kamar (hari kamis / Jumat)
4. Bersihin kmr mandi (hari Jumat)
Iyaa kok mbaka, menyenangkan hehe”
Selain menyusun jadwal, konselor juga mengajak partispan untuk menelusuri
hambaatan-hambatan yang mungkin terjadi selama partisipan menjalankan aktivasi
perilaku yang dirancangnya serta menelusuri solusi yang mungkin diterapkan untuk
mengatasi hambaatan tersebut.
Konselor :
“hahha oke.. hambakatannya lebih ke eksternal berarti ya
kalau baca buku?”
Partisipan :
“Klo yg baca buku, sama bersih-bersih tergantung mood ama ada
nggaknya mager “
Konselor :
“nah antisipasinya apa ni untuk meminimalisir hambakatan?”
Partisipan :
“Menyemangati diri mbak, biar aku bisa sukses hehe
Ama menghindari hp mbak”
Pada sesi ke empat ini konselor melakukan review mengenai sesi sebelumnya
dan bersama partisipan melihat perubahan apa saja yang terjadi setelah partisipan
melakukan aktivasi perilaku. Partisipan mengaku bahwa setelah melakukan kegiatan yang
sudah direncanakannya, emosi partisipan menjadi lebih positif dan pikiran-pikiran
negatifnya tidak muncul. Partisipan juga berencana untuk melanjutkan kegiatan tersebut.
Konselor :
“iya ya. Saya liat juga di jurnal hariannya kamu rata-rata pikiran negatifnya
berkurang banget ya setelah beraktifitas. perasaannya juga cenderung
lebih baik ya”
Partisipan :
“Iyaa mbak hehe
Karna klo nggak ada kegiatan pikirannya aneh aneh mbak hehe”
Konselor :
“kira-kira kamu akan ngelanjutin rutinitas ini gak?”
Partisipan :
“Iyaa mbak ngalnjutin hrhe
Sbg bahan koreksi diri sendiri mbak, mungkin jadwalnyaperlu aku
matengkan lagi”
66
Selanjutnya, konselor akan mengajak partisipan untuk melakukan penyelesaian
masalah dengan menggunakan 5 langkah penyelesaian masalah strategi tersebut antara
lain, pertama, menetapkan masalah apa yang ingin diselesaikan secara spesifik, kedua,
membuka pikiran akan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah (bahkan ide yang
terkesan konyol sekalipun), ketiga, telusuri kelebihan dan kekurangan setiap opsi,
keempat memverifikasi solusi terbaik dan kelima, melaksanakan rencana tersebut dan
terakhir memutuskan apakah rencana berjalan dengan baik. Partisipan menginginkan
untuk lebih disiplin dalam mematuhi jadwal yang dibuat. Langkah selanjutnya, konselor
mengajak klien untuk membuka pikiran akan pilihan-pilihan penyelesaian masalah yang
dihadapinya. Konselor mengajak partisipan untuk menelusuri kelebihan dan kekurangan
dari setiap rencana yang akan dijalankannya serta menentukan rencana mana yang
paling baik untuk diterapkan sesuai dengan keadaan partisipan.
Konselor:
okeee.. berarti masalahnya gak disiplin mematuhi jadwal ya
Partisipan :
Iyaa mbak hehe
Konselor :
naaah kira-kira kemungkinan menyelesaikannya apa ya?
ada ide apa ni supaya bisa lebih disiplin?
Partisipan :
Membuat jadwal yg lebih fleksibel tapi tetap harus dilakukan hari itu ?
Hehe
sama merancang kegiatan yg menarik tiap harinya
Konselor :
iya. kalau ini kan tadi solusi yang coba dilakukannya pada saat
perencanaan jadwalnya. Nah solusi lain mungkin yang bisa membantu
kamu lebih disiplin pada jadwal yang sudah tersusun adakah?
Partisipan:
Memberikan reward buat diriku mbak klo aku udah maksimal lebih
melaksanakan itu hehe
Misal klo aku pengen makan empek empek aku mau beli empek2 klo itu
tercapai sempurna mbak
Pada sesi terakhir ini konselor dan partisipan bersama mengevaluasi tugas yang
sudah dijalankan partisipan di sesi sebelumnya. Di sesi ini juga akan direncanakan
relapse prevention yang berguna bagi partisipan jka suatu saat ia kembali mengalami hal
67
yang sama. Pada sesi terakhir ini partisipan juga menuliskan insight-insight yang
didapatnya selama konseling. Salah satu hal yang menurut partisipan paling berpengaruh
adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakannya selama sesi konseling. Kegiatan-
kegiatan tersebut memberikan dampak meningkatnya emosi positif dan menurunnya
emosi negatif partisipan serta dirinya yang mampu kembali menghargai diri dan tidak lagi
bermalas-malasan.
Konselor:
Nah.. kalau dibandingkan dengan saat awal2 kamu ikut sesi ni, gimana
pendapat kamu ttg keadaan kamu sekarang?
Partisipan:
Sudah semakin stabil mbak hehe
Sudah mulai terlatih berpikir positif hehe
Konselor:
Waah.. good joobb
Terkait pikiran negatifnya sendiri gimama?
Masih sering muncul pikiran atau oerasaan tidak berguna??
Partisipan:
Klo perasaan tdk berguna msh ada sebenarnya mb, karna aku blm dpt job
hehe
Tp setidaknya aku mulai menghargai aku
Dan harus berusaha lagi, nggak males2an
Dari penjelasan di atas, terlihat perubahan partisipan di tiap tahapan sesi. Pada sesi
awal, partisipan yang sebelumnya fokus pada kejadian negatif yang membuatnya tidak
nyaman dan menuliskan pikiran-pikira negatif yang akhirnya membuat perasaan dan
perilakunya juga menjadi negatif. Perubahan mulai bisa terlihat pada saat konselor dan
partisipan memasuki sesi rekonstruksi kognitif. Pada sesi ini, setelah partisipan
menemukan pikiran alternatifnya, maka kepercayaan partisipan terhadap pikiran negatif
yang sebelumnya mengganggu menjadi menurun ke level yang lebih rendah.
Setelah berhasil menemukan pikiran alternatif, para partisipan diajak untuk
merencanakan dan melakukan aktivasi perilaku. Kegiatan ini berguna untuk menaikkan
mood serta mendorong partisipan untuk lebih produktif. Selain itu, kegiatan ini juga
diharapkan membuat partisipan merasakan sense of achievement ketika para partisipan
68
berhasil melakukan hal yang direncanakan, partisipan akan merasa dirinya sudah
mencapai sesuatu. Hal ini penting karena umumnya partisipan yang mengalami gejala
depresi juga merasa dirinya tidak berguna/berharga.
Pada sesi selanjutnya partisipan diminta untuk merefleksikan keuntungan yang
didapatannya selama melakukan aktivasi perilaku. Para partisipan melaporkan bahwa
pikiran dan perasaan negatif yang sebelumnya dialami menurun setelah mereka
melakukan berbagai kegiatan tersebut. Selain itu, para partisipan juga melaporkan emosi
positifnya meningkat selama menjalani kegiatan-kegiatan tersebut. beberapa partisipan
juga melaporkan bahwa mereka menjadi lebih produktif dalam menjalani hari-harinya. Hal
ini mengindikasikan bahwa aktivasi perilaku yang dilakukan oleh para partisipan berhasil
mempengaruhi aspek kognitif (berkurangnya pikiran negatif), emosi (emosi positif
meningkat) serta perilaku (lebih produktif dalam menjalani hari).
Pada sesi selanjutnya, para partisipan diajak untuk melakukan pemecahan masalah.
Pada sesi ini, partisipan diminta untuk memilih masalah yang dapat diselesaikannya
dalam waktu seminggu, memikirkan alternatif penyelesaiannya, menimbang untung dan
rugi dari setiap solusi serta menetapkan solusi yang paling tepat untuk diterapkan. Para
partisipan mampu mengikuti instruksi dari konselor untuk melakukan tahapan-tahapan
penyelesaian masalah tersebut dan merencanakan penyelesaian masalah yang akan
dilakukannya dalam waktu seminggu setelahnya.
Pada sesi terakhir, partisipan diminta untuk kembali merefleksikan hal yang
didapatkannya selama melakukan kegiatan pemecahan masalah. Para partisipan
melaporkan pikiran dan perasaan negatif yang berkurang setelah melakukan rencana
penyelesaian masalah. Di samping itu, walaupun tidak semua masalah partisipan dapat
diselesaikan dalam waktu seminggu, sebagian besar partisipan melaporkan bahwa
mereka merasa dapat lebih menghargai dirinya karena telah berusaha menyelesaikan
hambatan yang selama ini dirasa menganggu.
69
Kegiatan penyelesaian masalah membantu partisipan merasakan sense of control
dimana partisipan diberikan kesempatan untuk merencanakan serta mempresiksi
hambatan serta keuntungan dan kerugian dari solusi yang akan diterapkan. Partisipan
belajar untuk kembali mempunyai kontrol akan masalahnya sekecil apapun permasalahan
tersebut. Pada sesi ini juga para partisipan mengungkapkan pemahaman-pemahaman
yang didapat selama menjalani sesi konseling bersama konselor.
Para partisipan melaporkan bahwa mereka merasa lebih dapat memikirkan masalah
dari sisi yang positif serta peraya bahwa mereka akan dapat menemukan solusi dari tiap
permasalahan yang ada. Di samping itu, sesi terakhir ini juga dimanfaatkan untuk
membuat rencana relapse prevention dimana para partisipan diminta untuk menuliskan
hal yang akan dilakukan jika dikemudian hari mengalami hal yang membuat mereka
kembali tidak nyaman. Kegiatan relapse prevention selain untuk mengantisipasi hal yang
tidak diinginkan juga untuk mempersiapkan para partisipan akan perpisahan dengan
konselor. Partisipan diharapkan memahami bahwa walaupun selama sesi konseling
konselor mendampingi dan membantu partisipan, pada akhirnya partisipan harus mampu
untuk menghadapi permasalahan yang akan datang tanpa bantuan dari konselor. Pada
akhir sesi partisipan diharapkan dapat menghadapi dan menyelesaikan masalahnya
secara mandiri dan tetap memakai kemampuan-kemampuan yang telah didapatkan
selama konseling berlangsung.
E. Pembahasan
Berdasarkan uraian hasil yang sudah dituliskan sebelumnya, pada bagian ini akan
dibahas mengenai kesimpulan hipotesis, serta implikasi dari hasil yang sudah didapatkan
oleh peneliti. Berdasarkan hasil yang sudah diperoleh, terlihat bahwa terjadi penurunan
gejala depresi yang diukur oleh beck’s depression inventory pada kedua kelompok baik
kelompok eksperimen ataupun kleompok kontrol. Dari analisis kuantitatif yang sudah oleh
peneliti, terlihat bahwa konseling brief Cognitive Behavioural Therapy online dapat
membantu partisipan untuk mengatasi gejala depresinya. Sumbangan konseling cukup
70
tinggi yaitu sebesar 88.4% yang menunjukkan bahwa konseling ini berpengaruh secara
signiifikan. Di sisi lain, perubahan juga ditunjukkan oleh kelompok kontrol walaupun masih
kalah jauh dari kelompok eksperimen. Perubahan yang terjadi pada kedua kelompok
adalah hal yang wajar terjadi pada penelitian eksperimen, dimana terjadi maturasi pada
kedua kelompok (Shadish William R., 2002).
Yang membedakan dari kedua kelompok ini adalah pada kelompok eksperimen
penurunan terjadi secara signifikan (menjadi kategori ringan) dan merata kepada seluruh
partisipan sedangkan pada kelompok kontrol penurunan tidak terjadi secara merata
karena beberapa partisipan masih mengalami gejala depresi pada tingkat sedang. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kassler et. al (2009) dan Smith et. al (2015)
bahwa pelaksanaan cognitive behavioral therapy yang dilakukan dengan media online
mampu untuk menurunkan gejala depresi yang dialami oleh partisipan.
Penggunaan media online sebagai alat komunikasi memberikan beberapa
kemudahan antara lain konselor dan partisipan tidak perlu berada di tempat yang sama
untuk melakukan konseling. Di samping itu, tugas-tugas yang diberikan melalui google
docs dapat diakses oleh konselor dan partisipan dari manapun tanpa harus bertemu
muka. Hal tersebut menguntungkan bagi individu yang mengalami gejala depresi dimana
salah satu cirinya adalah berkurangnya minat untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan
berhubungan dengan orang lain (Beck & Alford, 2009). Pelaksanaan konseling melalui
media text juga memberikan kelebihan dimana partisipan dapat kembali mengakses dan
membaca pencapaian-pencapaian yan sudah didapatkannya selama melakukan
konseling. Hal ini diharapkan dapat menjadi reward tersendiri bagi partisipan melihat
perkembangan dirinya hingga akhir sesi.
Semua partisipan mengalami penurunan skor beck’s depression inventory yang cukup
signifikan dimana skor partisipan yang sebelumnya berada dalam kategori sedang
menjadi ringan. Bahkan pada partisipan 3, skor beck’s depression inventory nya turun
hingga ke angka 0, Saat ditanyakan mengenai perubahan yang dialaminya, partisipan 3
71
mengaku sudah tidak lagi mempunyai pikiran negatif yang sebelumnya mengganggu
bahkan partisipan yang merasa tidak pantas mempunyai teman saat ini menyadari bahwa
dirinya mempunyai teman yang banyak bahkan selama masa konseling partisipan mampu
mendekatkan diri pada teman yang dulunya tidak begitu dekat.
Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah perubahan emosi yang dialami oleh
partisipan setelah selesai melakukan konseling. Perubahan yang terlihat adalah
kecenderungan partisipan mengalami kenaikan emosi menjadi lebih positif setelah
melakukan konseling. Hal ini menunjukkan bahwa proses konseling sendiri memberikan
efek terapeutik kepada partisipan. Hal ini tejadi terutama ketika sesi terakhir saat konselor
menutup sesi dengan menjabarkan hasil-hasil yang sudah dicapai oleh para partisipan
selama konseling dan memberikan pujian pada partisipan. Partisipan merasa semakin
bersemangat setelah merasa sudah mencapai sesuatu. Hal ini mengindikasikan bahwa
konseling yang dijalani oleh partisipan memberikan efek terapeutik yang diharapkan
mengingat emosi adalah hal yang penting dalam Cognitive Behavioural Therapy dimana
salah satu tujuan Cognitive Behavioural Therapy adalah menurunkan gejala depresi
(terutama penurunan level stres) yang dialami partisipan (Beck, 2011).
Pemberian tugas dan kemampuan yang bertujuan untuk membantu partisipan
menurunkan gejala depresi yang dialaminya pun memberikan efek yang positif bagi
partisipan. Pada sesi rekonstruksi kognitif dimana partisipan dan konselor bersama
menelusuri pikiran negatif partisipan dan menantang pikiran tersebut membantu klien
untuk menyadari beberapa hal. Salah satu contohnya yang diungkapkan oleh partisipan 9
yang sebelumnya merasa bahwa tuhan tidak adil karena hanya dirinya yang menderita
akibat permasalahannya dengan temannya dan merasa temannya tidak merasakan hal
yang sama dengannya. Pada sesi ini, partisipan menyadari bahwa kemungkinan
temannya juga merasakan hal yang tidak nyaman hanya saja lebih pandai
menyembunyikan perasaannya. Contoh lainnya adalah yang diungkapkan oleh partisipan
1 yang merasa dirinya tidak berguna karena belum mendapatkan pekerjaan seperti
72
teman-teman lainnya. Partisipan mulai menyadari bahwa dirinya berguna karena masih
bisa memberikan les pada muridnya.
Pada tugas aktivasi perilaku, kesemua partisipan merasakan emosi yang lebih positif
setelah mereka melakukan rencana aktivasi perilaku yang sudah mereka buat. Hal ini
mengindikasikan bahwa tugas aktivasi perilak yang diberikan memberikan dampak postif
sehingga partisipan bisa merasakan emosi yang lebih postif di tiap harinya. Poin yang
didapatkan oleh para partisipan adalah bahkan kegiatan sehari-hari yang paling remeh
sekalipun dapat memberikan dampak emosi yang lebih positif ketika disadari. Seperti
partisipan 6 yang mengaku bahwa mengoleskan hand-body lotion yang sudah lama tidak
dilakukannya jika dilakukan dengan kesadaran penuh bisa membangkitkan emosi positif
pada dirinya. Hal yang sama juga dirasakan oleh partisipan 3 yang merasa kegiatan
merajut yang sudah lama tidak dilakukannya juga mampu membantunya meningkatkan
emosi positif. Tugas ini membantu para partisipan menyadari bahwa untuk membuat
emosi yang lebih positif serta menurunkan pikiran dan emosi negatif dapat dilakukan
dengan hal-hal yang sederhana. Temuan ini mendukung temuan-temuan sebelumnya
yang menuliskan bahwa aktivasi perilaku dapat membantu individu yang sedang
mengalami gejala depresi (Cuijpers, Straten, & Warmerdam, 2007; Ekers et al., 2014;
Staley & Lawyer, 2010; Veale, 2008).
Kemampuan lain yang diberikan pada konseling ini adalah kemampuan pemecahan
masalah. Kemampuan ini di laksanakan dalam lima langkah penyelesaian masalah
strategi antara lain : pertama, menetapkan masalah apa yang ingin diselesaikan secara
spesifik, kedua, membuka pikiran akan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah
(bahkan ide yang terkesan konyol sekalipun), ketiga, telusuri kelebihan dan kekurangan
setiap opsi, keempat memverifikasi solusi terbaik dan kelima, melaksanakan rencana
tersebut dan terakhir memutuskan apakah rencana berjalan dengan baik. Para partisipan
diminta untuk memilih masalah yang mungki untuk di selesaikan dalam waktu dekat,
mencari kemungkinan penyelesaian masalah, menelusuri kelebihan dan kekurangan tiap
73
penyelesaian masalah, memilih rencana terbaik dan melaksanakannya. Pada sesi ini
partisipan menyadari bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah terdapat banyak solusi
bahkan yang terdengar konyol sekalipun. Di samping itu, pelaksanaan penyelesaian
masalah tersebut juga memabantu partisipan untuk menaikkan emosi positif dan
menurunkan pikiran negatif mereka. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui
bahwa kemampuan problem solving pada terapi Cognitive Behavioural Therapy mampu
membantu partisipan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah
yang sedang dihadapi dan menurunkan gejala-gejala depresi yang dialami partisipan
(Chen, S.-Y., Jordavn, C., & Thompson, 2006; Feinberg, Stein, & Diaz-linhart, 2017;
Mackin, Arean, & Elite-Marcandonatou, 2006; Spence et al., 2003).
Para partisipan yang mendapatkan konseling merasa makin mampu untuk berpikiran
positif. Keadaan ini sudah sesuai dengan tujuan teknik Cognitive Behavioural Therapy
untuk membantu partisipan menurunkan pikiran negatif karena pikiran-pikiran negatif
tersebut yang menjadi sebab partisipan mengalami masalah psikologis (Hofmann,
Asnaani, Vonk, Sawyer, & Fang, 2013). Hal ini tercermin dari insight-insight yang
didapatkan oleh para partisipan di sesi akhir. Beberapa partisipan bahkan sudah mampu
untuk menerapkan teknik-teknik yang didapatkannya seperti berpikir positif untuk
membantu temannya yang juga sedang dalam masalah. Insight yang didapatkan oleh
partisipan menunjukkan bahwa para partisipan sudah mulai mengalami perubahan cara
berpikir dalam memandang masalahnya dan ini adalah salah satu tujuan konseling yaitu
untuk membantu partisipan menyadari bahwa ada cara berpikir yang salah yang membuat
partisipan merasakan emosi yang tidak nyaman.
Kemampuan lain yang dilaksanakan para partisipan adalah membuat rencana relapse
prevention. Pembuatan rencana ini bertujuan untuk membantu para klien untuk
mempersiapkan diri pada tahap terminasi. Walaupun beberapa partisipan merasakan
sedih ketika konseling berakhir diharapkan dengan rencana yang sudah mereka susun
sendiri membuat partisipan lebih siap untuk mengakhiri konseling. Kemampuan ini
74
dibutuhkan untuk menyiapkan partisipan setelah berpisah dengan konselor karena pada
dasarnya teknik Cognitive Behavioural Therapy bertujuan agar individu dapat menghadapi
masalah secara mandiri dan menggunakan kemampuan yang sudah mereka dapatkan
selama sesi berjalan (J. S. Beck, 2011). Diharapkan agar di masa yang akan datang,
partisipan dapat mengatasi hambatan psikologis yang ditemuinya dengan kemampuan-
kemampuan yang sudah mereka dapatkan.
F. Hambatan penelitian
Hambatan yang dialami oleh peneliti selama pelaksanaan penelitian antara lain
adalah pengaturan jadwal. Pelaksanaan konseling secara individu dengan sembilan orang
dengan satu orang konselor membutuhkan penjadwalan yang ketat karena konselor
hanya mampu menangani satu orang partisipan per-hari. Partisipan yang tiba-tiba
membatalkan jadwal yang sudah disusun membuat peneliti harus mencarikan jawal
pengganti. Hambatan lainnya adalah partisipan yang lupa jika akan melaksanakan
konseling hari tersebut sehingga peneliti harus mempunyai nomor handphone partisipan
dan juga nomor hanphone significant other untuk mengantisipasi hal tersebut. Kekuatan
sinyal pada gagdet partisipan juga menjadi salah satu hambatan namun masih tidak
begitu menghalangi proses konseling karena proses yang dilakukan melalui chatting
sehingga tidak membutuhkan sinyal yang harus kuat. Kesadaran partisipan untuk
menuliskan tugas yang sudah dilakukannya juga menjadi salah satu hambatan karena
ada beberapa partisipan yang menulis segera setelah mereka melakukan tugas dan ada
beberapa partisipan yang baru menuliskan tugasnya sebelum diberikan kepada konselor
sehingga hanya melaporkan seadanya.
G. Ancaman Validitas
Pada penelitian kali ini, tidak dapat dipungkiri ada beberpa hal yang mungkin dapat
mencemari hasil penelitian yang sudah dikumpulkan oleh peneliti. Beberapa ancaman
valisitas tersebut antara lain:
75
a. Sejarah: selama melakukan konseling online, para partisipan dipersilahkan untuk
melakukannya di tempat yang paling nyaman baginya. Walaupun sedari awal
sudah disepakati bahwa partisipan kana melakukan konseling di tempat yang
minim gangguan, karena peneliti tidak mengontrol lingkungan saat klien
melakukan konseling, kemungkinan selama berjalannya konseling dapat terjadi
hal-hal seperti keributan, kekuatan sinyal atau gangguan yang dapat menganggu
jalannya konseling.
b. Maturasi: perubahan yang terjadi secara ilmiah yang mungkin dialami oleh
kelompok eksperimen dan kontrol. Sehingga kelompok kontrol pun mengalami
perubahan skor yang searah dengan kelompok partisipan.