bab i pendahuluan 1.1 latar...

45
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad pertengahan, tepatnya abad ke-14 dan ke-15, Eropa dihebohkan oleh isu witch-hunt atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt mengakibatkan banyak orang diadili, disiksa, dieksekusi, bahkan digantung atau dibakar hidup-hidup di depan umum karena dianggap penyihir. Larner (2000:3) menyebutkan tiga-perempat dari para korban tersebut adalah perempuan. Pada masa itu, perempuan hampir menjadi jaminan melakukan praktek sihir. Para perempuan Eropa, baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa, secara selektif telah ditargetkan untuk menjadi korban kekejaman tersebut. Secara keseluruhan sekitar 75- 80 persen dari mereka yang dituduh dan dihukum karena sihir di masa awal era Eropa Modern adalah perempuan. Sekitar 9 juta perempuan dibakar hidup-hidup. Melihat jumlah ini, dapat dikatakan bahwa perburuan penyihir ini merupakan kasus pembunuhan massal terbesar berbasis gender. Di abad pertengahan, konsep orang Eropa dalam memahami perempuan berangkat dari tradisi teologi tentang Eve dan Lilith. Perempuan dianggap sebagai perwujudan negatif yang tidak ada habisnya. Secara ontologi, perempuan adalah sepupu pertama yang muncul dari “kiri” atau sisi buruk manusia (Katz, 1994: 435). Sebuah buku berjudul Malleus Maleficarum (The Hammer of Witches) yang diterbitkan oleh Otoritas Inkuisisi Katolik mencatat hal tersebut. Buku ini telah

Upload: lynhi

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada abad pertengahan, tepatnya abad ke-14 dan ke-15, Eropa dihebohkan oleh

isu witch-hunt atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt

mengakibatkan banyak orang diadili, disiksa, dieksekusi, bahkan digantung atau

dibakar hidup-hidup di depan umum karena dianggap penyihir. Larner (2000:3)

menyebutkan tiga-perempat dari para korban tersebut adalah perempuan. Pada masa

itu, perempuan hampir menjadi jaminan melakukan praktek sihir. Para perempuan

Eropa, baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa, secara selektif telah

ditargetkan untuk menjadi korban kekejaman tersebut. Secara keseluruhan sekitar 75-

80 persen dari mereka yang dituduh dan dihukum karena sihir di masa awal era Eropa

Modern adalah perempuan. Sekitar 9 juta perempuan dibakar hidup-hidup. Melihat

jumlah ini, dapat dikatakan bahwa perburuan penyihir ini merupakan kasus

pembunuhan massal terbesar berbasis gender.

Di abad pertengahan, konsep orang Eropa dalam memahami perempuan

berangkat dari tradisi teologi tentang Eve dan Lilith. Perempuan dianggap sebagai

perwujudan negatif yang tidak ada habisnya. Secara ontologi, perempuan adalah

sepupu pertama yang muncul dari “kiri” atau sisi buruk manusia (Katz, 1994: 435).

Sebuah buku berjudul Malleus Maleficarum (The Hammer of Witches) yang

diterbitkan oleh Otoritas Inkuisisi Katolik mencatat hal tersebut. Buku ini telah

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

2

menimbulkan aib pada ribuan perempuan, yang sekaligus menjadi penyulut misogini

gila.

“sebagian dari kejahatan adalah kejahatan perempuan… perempuan adalah musuh dari persahabatan, hukuman yang tak dapat terhindari, hasrat akan bencana, bahaya yang sifatnya domestik, kelezatan yang merugikan, sebuah sifat jahat, yang terbungkus dalam balutan kecantikan…. Pada dasarnya perempuan adalah instrument dari setan—mereka pada dasarnya adalah cacat struktural yang berakar pada penciptaannya (Katz, 1994: 438–439).

Menurut Katz (1994: 350) ada beberapa aspek yang membuat perempuan

dituduh sebagai penyihir. Perempuan yang tampaknya paling independen terhadap

norma-norma patriarkal sering dianggap sebagai peyihir. Selain itu, perempuan tua

yang hidup sendiri tanpa anak dan suami, serta banyak meminta dari tetangganya

untuk bertahan hidup, tetapi tidak banyak yang bisa ia tawarkan sebagai imbalannya

adalah golongan yang paling rentan terhadap tuduhan praktik sihir. Perempuan seperti

ini dianggap sebagai beban ekonomi oleh lingkungannya, sehingga dirasa merupakan

lokus dari sifat dengki yang berbahaya dan kekerasan verbal.

Keyakinan bahwa witch adalah perempuan yang memiliki kemampuan magis

dan menggunakannya untuk kejahatan, kemudian diadopsi ke dalam cerita anak-anak

Barat. Cerita anak yang mengangkat penyihir perempuan (witch) sebagai tokoh

antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, Donal Duck, Alice in

Wonderland, dan The Chronicle of Narnia. Dalam dongeng-dongeng anak, seperti

Sleeping Beauty, Snow White, dan Rapunsel, Witch digambarkan bahwa perempuan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

3

adalah makhluk yang mengerikan, hidup sendirian di tempat-tempat menyeramkan

dan berusaha merusak kebahagiaan orang lain karena rasa iri dan dengki. Sementara

di cerita Alice in Wonderland dan The Chronicle of Narnia, Witch adalah perempuan

keji yang berusaha menguasai dunia dengan kejahatannya. Deskripsi ini sama persis

dengan apa yang diyakini masyarakat di masa awal Eropa Modern tentang

perempuan. Cerita-cerita ini terus bertahan dari masa ke masa, dibaca oleh generasi

ke generasi, yang tidak diragukan lagi telah membentuk stereotip Witch di

masyarakat.

Di tahun 1997, seorang penulis perempuan asal Inggris memunculkan novel

bertema sihir dengan judul Harry Potter. Dia adalah J.K Rowling. Dia adalah seorang

orang tua tunggal dan sebelum menjadi penulis, dia bekerja di lembaga penelitian

yang berfokus pada hak asasi manusia. Rowling sudah senang menulis cerita-cerita

fantasi sejak kanak-kanak dan mengaku bahwa dia sangat dipengaruhi oleh cerita The

Lion, The Witch, and Wardrobe karya C.S. Lewis. Merujuk pada latar belakangnya

tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian Rowling menulis cerita bertema sihir

yang sarat akan isu persamaan hak.

Setelah berabad-abad lamanya, keyakinan tentang penyihir (witch) itu tumbuh

di masyarakat khususnya di Eropa, J.K Rowling hadir dengan perspektif berbeda

mengenai witch dan witchcraft. Melalui Novel anak fantasi yang ditulisnya, Rowling

merekonstruksi definisi penyihir yang diyakini masyarakat selama ini. Dalam novel

Harry Potter, tidak ada penyihir nenek-nenek berwajah mengerikan yang tinggal di

tempat-tempat menyeramkan dan suka menculik anak-anak. Sebaliknya novel ini

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

4

diisi dengan tokoh-tokoh yang peduli pada anak-anak, misalnya Profesor Albus

Dumbledore Kepala sekolah Hogwarts yang pembawaannya tenang, kalem, ramah,

lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Rowling menceritakan kehidupan menyenangkan yang penuh hal-hal fantastik

yang dialami anak-anak penyihir di dunia sihir. Di sekolah sihir “Hogwarts”, ada

banyak permainan-permainan luar biasa, seperti : telinga terjulur yang membuat kita

bisa menguping dari kejauhan, makanan-makanan yang sangat ajaib seperti cokelat

kodok yang bisa melompat seperti kodok sungguhan dan lain sebagainya. Kekuatan

sihir yang dimiliki anak-anak dalam novel ini membuat kehidupan di dunia sihir

sangat menyenangkan.

Novel Harry Potter karya J.K. Rowling ini, ingin mengubah persepsi orang

tentang penyihir yang jahat dan menyeramkan. Dia menempatkan Harry Potter yang

berpenampilan layaknya orang biasa sebagai pemeran utama, serta menceritakan

dunia sihir yang penuh dengan suka ria sebagai fantasi cerita. Bersamaan dengan itu,

novel ini juga merombak konstruksi maskulinitas dan femininitas berhubungan

dengan isu witch yang telah menjadi momok bangsa Eropa selama berabad-abad.

Rowling menggambakan witch tidak selamanya perempuan jahat yang diidentikkan

dengan setan. Bangsa Eropa khususnya pada abad pertengahan percaya bahwa

witchcraft adalah simbol dari kelemahan perempuan. Oleh karena mereka lemah,

tetapi ingin memiliki kuasa, maka mereka keluar dari sistem patriarkal dan bersekutu

dengan setan untuk mendapatkan kekuatan. Kondisi ini membuat bangsa Eropa pada

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

5

umumnya menganggap menjadi witch merupakan perbuatan terhina dan perlu

dimusnahkan.

Posisi perempuan yang dianggap witch diputarbalikkan dan maskulinitas

konvensional dibongkar. Novel Harry Potter tetap menggunakan sebutan witch untuk

penyihir perempuan dan wizard untuk penyihir laki-laki. Namun, tidak seperti yang

lazim terjadi dimana witch diartikan sebagai penyihir perempuan yang jahat dan

wizard penyihir laki-laki yang baik dan bijaksana. Di dunia sihir yang diciptakan J.K.

Rowling, semua penyihir belajar bersama-sama di sekolah sihir Hogwarts. Apapun

yang dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan, misalnya olahraga,

menjadi auror—semacam polisi yang bertugas menangkap penyalahgunaan sihir

hitam, bahkan bertarung. Setiap anak punya kesempatan untuk belajar di Hogwarts,

selama mereka memiliki bakat sihir, baik itu laki-laki, perempuan, darah murni, darah

campuran, bahkan mugle (orang biasa yang bukan keturunan penyihir).

Tokoh perempuan yang sangat menonjol dan berdampingan dengan Harry

Potter dalam novel ini adalah Hermione Granger. Dia adalah sahabat Harry Potter

yang selalu ada bersama Harry dan memiliki andil yang besar dalam setiap

petualangannya. Namun Rowling tidak mengambil Hermione sebagai tokoh

utamanya. Ia justru menggunakan seorang anak laki-laki yaitu Harry Potter. Namun

begitu, perlu diingat bahwa sosok Harry dalam novel ini bukanlah seperti sosok

maskulin yang umumnya dimunculkan dalam cerita-cerita barat misalnya bertubuh

kekar, jago berkelahi, ganteng, atau kaya. Sebaliknya, Harry adalah gambaran anak

laki-laki yang dalam hirarki maskulinitas barat merupakan laki-laki yang masuk

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

6

dalam kategori tidak maskulin (wimpy boy). Dia adalah anak laki-laki yatim piatu

dengan penampilan yang selalu berantakan, memakai kacamata bulat yang gagangnya

diselotape, dan tubuh kecilnya tenggelam dalam pakaian lusuh yang kebesaran, serta

sangat sentimental dan emosional. Kemenangannya melawan Voldemort yang jahat

pun kebanyakan adalah keberuntungan sihir yang melindunginya. Sihir menjadi satu-

satunya harapan Harry untuk bertahan. Sihir ini menjadikan penampilan yang

ditunjukkan Harry tak lagi penting dalam menentukan apakah dia maskulin atau

tidak. Ini mengindikasikan bahwa Rowling ingin melakukan perubahan baik itu pada

konsep maskulinitas maupun witchcraft.

Di satu sisi, witch dan wizard mencoba untuk disatukan untuk memberikan

persepsi bahwa sihir merupakan sesuatu yang dapat diterima. Namun di sisi lain,

tetap saja simbol-simbol yang digunakannya adalah laki-laki. Namun laki-laki yang

digunakan Rowling bukanlah laki-laki seperti yang lazim didefinisikan sebagai

maskulinitas hegemonik konvensional. Untuk itu, penelitian ini mencoba menggali

lebih dalam makna sihir dalam novel Harry Potter dan bagaimana sihir

mengonstruksi maskulinitas dan femininitas, serta citra perempuan tukang sihir

(witch) dalam novel tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Mengingat dalam sejarah, witch mendapat perlakuan yang sangat keji di masa

lalu, serta persepsi buruk itu terus melekat hingga sekarang, pengarang melalui

novelnya Harry Potter jelas ingin mengubah persepsi buruk tersebut. Witch dan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

7

wizard disatukan untuk menunjukkan bahwa witch tidak selalu buruk. Witchcraft

yang pada kenyataannya dianggap sebagai simbol lemahnya perempuan, dalam novel

ini dibalik posisinya menjadi simbol kekuatan, tetapi tetap saja simbol-simbol yang

digunakan adalah laki-laki. Namun, laki-laki yang dipakai disini bukanlah laki-laki

yang kekar, kuat, jago berkelahi, seperti kriteria maskulin yang lazim kita temui

melainkan anak laki-laki yang umumnya masuk dalam kelompok wimpy boy yang

sering diejek karena penampilan mereka yang tidak maco, misalnya Harry yang

berkacamata tebal, berantakan, sentimental, dan emosional. Selain untuk mengangkat

posisi sihir, novel ini juga membongkar wacana maskulinitas hegemonik.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat tiga pertanyaan yang menjadi

dasar dari penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana sihir (witchcraft), witch dan wizard

diposisikan dalam novel Harry Potter; 2) Bagaimana konstruksi maskulinitas dan

femininitas terkait isu witch dan wizard dalam novel Harry Potter; dan 3) Bagaimana

pemosisian sentral dan periferi terkait femininitas dan maskulinitas tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk memperlihatkan makna dari sihir itu

diputarbalikkan untuk mengubah persepsi tentang witchcraft yang diyakini

merupakan simbol bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah. Maka, mereka

bersekutu dengan setan. Penelitian ini juga melihat bagaimana melalui sihir tersebut,

konstruksi maskulinitas dibongkar, serta melakukan pencitraan ulang terhadap

perempuan tukang sihir (witch) dalam novel Harry Potter.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

8

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian terhadap novel Harry Potter ini diharapkan dapat

memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan dalam dunia sastra, akademik, dan

masyarakat secara luas. Diharapkan nantnya hasil penelitian ini dapat memberikan

sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap dunia akademik yang melihat karya sastra

sebagai produk budaya yang menjadi cerminan serta refleksi masyarakat serta dapat

dijadikan sebagai acuan serta referensi tambahan dalam penelitian selanjutnya. Selain

itu, secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu bukan saja

kalangan pendidik, mahasiswa, tetapi secara keseluruhan pada masyarakat agar dapat

lebih kreatif dalam menciptakan karya sastra sebagai cerminan dan wujud dari

kelompok masyarakat.

1.5 Tinjauan Pustaka

Selama beberapa tahun terakhir, sudah sangat banyak penelitian-penelitian

yang membahas novel Harry Potter kaitannya dengan gender, feminisme, ataupun

unsur-unsur sihir dan magis yang ada di dalamnya. Namun, sampai saat ini penulis

belum menemukan ada penelitian yang mengaitkan antara isu gender dan sihir yang

ada dalam novel ini.

Dalam tesisnya yang mengangkat isu peran gender dalam novel Harry Potter,

Tsatsa (2013) menganalisis bagaimana gender ditampilkan oleh tiga pemeran utama

dalam novel ini yaitu Harry, Ron dan Hermione. Tsatsa mengfokuskan penelitiannya

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

9

untuk melihat apakah ketiga tokoh tersebut melawan stereotip gender, ataukah

mereka membangun sebuah klise, norma, dan sereotype terkait dengan gender.

Dengan mengacu pada teori gender yang dikemukakan oleh Judith Butler mengenai

gender sebagai sesuatu yang performatif, Tsatsa menemukan bahwa sifat maskulin

dan feminin tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Ketiga tokoh tersebut merupakan

perwakilan performa gender yang berbeda-beda. Harry diperlihatkan sebagai tokoh

yang memiliki karakteristik maskulinitas tradisional, Ron sebagai laki-laki yang

memiliki sisi-sisi feminin dan Hermione adalah perempuan yang memiliki sisi-sisi

maskulin dalam dirinya, tetapi juga tetap sebagai perempuan yang feminin.

Oskarsdottir (2012) membandingkan antara representasi gender yang

dimunculkan dalam novel dan film Harry Potter dan efeknya sebagai agen sosialisasi

gender. Oskarsdottir menemukan bahwa walaupun karakter-karakter perempuan

dalam novel ini tidak sepasif karakter dalam cerita-cerita dongeng barat, tapi laki-laki

tetap memegang posisi yang lebih tinggi dan menguasai. J.K. Rowling gagal

menempatkan tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya sejajar dengan laki-laki.

Dalam filmnya, persamaan posisi perempuan dengan laki-laki digambarkan dengan

lebih baik jika dibandingkan dengan novelnya, khususnya dalam penggambaran

tokoh Hermione.

Menganalisis karakter keluarga Weasley, Dursley, Harry, Hermione, Nevil,

dan Ginny, Oskarsdottir berpendapat bahwa novel Harry Potter memuat opini umum

tentang stereotip gender bahwa jenis kelamin secara alamiah berbeda. Menurutnya,

buku ini akan berperan sebagai agen untuk meneruskan keyakinan tentang perbedaan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

10

gender antara feminin dan maskulin, sekaligus mengajarkan anak-anak bagaimana

berperilaku sesuai gendernya.

Turbiville (2005) melakukan sebuah penelitian untuk melihat apakah ada

korelasi antara pencekalan film Bewitch pada era 1960-an dan novel Harry Potter

pada awal kemunculannya di tahun 1999. Hasilnya, terdapat korelasi antara alasan

dicekalnya Bewitch dan Harry Potter, yaitu karena ada unsur witch dan witchcraft

dalam film dan novel tersebut. Buku Harry Potter dianggap membahayakan karena

unsur witch dan witchcraft yang ada di dalamnya.

Milwee (2009) menganalisis apakah Harry Potter adalah novel bertema

keluarga atau rahasia sihir hitam. Ia menemukan bahwa Harry Potter adalah bacaan

yang menarik, tidak seperti yang dikecam para penganut Kristen fanatik. J.K Rowling

berhasil menghadirkan sihir sebagai dunia yang menarik, penuh dengan imajinasi dan

humor. Para penyihir yang mengalami berbagai komplikasi yang hampir sama dengan

manusia pada umumnya memunculkan persepsi tidak ada perbedaan antara penyihir

dan bukan penyihir selain mereka memiliki kemampuan magis namun sama dengan

dunia kita, dunia sihir juga bukan dunia yang sempurna.

Di tahun 2011, Debbie June Rodrigues menulis sebuah tesis yang

menganalisis sihir dan gender dalam novel Harry Potter. Namun, sihir dan gender

dibahas secara terpisah dalam dua kerangka yang berbeda. Hal-hal magis yang terjadi

dalam novel Harry Potter dianalisis dengan teori semiotik, karena dianggap sebagai

simbol dan metafora. Simbol dan metafora ini mewakili fenomena yang terjadi di

masyarakat kita, agar pembaca dapat menyadari fenomena yang ada di sekitar mereka

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

11

dengan cara yang lebih segar. Sementara fenomena gender dilihat dari sifat para

tokoh dan perubahan yang terjadi pada diri tokoh-tokoh tersebut dari novel seri

pertama sampai ke tujuh. Menurut Rodrigues (2011), J.K. Rowling menunjukkan

bahwa gender adalah proses sosial. Gender bersifat cair dan asumsi gender yang

sudah ada berpotensi untuk ditolak atau diganti dengan perspektif yang baru.

Sebagaimana yang ditunjukkan Wannamaker, kemungkinan mendefinisikan ulang

asumsi gender menjadi lebih inklusif dan kurang memiliki batasan, karena buku-buku

menggambarkan harapan masyarakat melalui tokoh-tokoh yang tidak selalu sesuai

atau dengan jelas masuk ke dalam salah satu kategori-kategori gender tertentu. Sama

hanya seperti Rowling yang menunjukkan bahwa maskulinitas dan femininitas

didefinisikan sebagai konsep yang dapat tumpang tindih dalam diri individu.

Krunoslav (2009) menganalisis relasi gender yang terdapat dalam novel Harry

Potter karya J.K. Rowling dan menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan

ditempatkan dalam posisi yang setara tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan

yang fundamental dari keduanya. Niat Rowling tidak menghapus perbedaan,

sebaliknya dia menempatkan mereka di ujung-ujung lingkaran bayangan, pada

lintasan berjarak sama, sehingga mereka tidak pernah menghapuskan satu sama lain.

Dalam sistem ini, baik androgenisasi karakter perempuan, maupun feminisasi

karakter laki-laki tampaknya diperlukan untuk mencapai saling menghormati dan

kesetaraan dalam tekstur sosial dunia modern.

Ruthann (2003) mengkritik cara J.K. Rowling dalam mengkonstrusi gender,

serta agensi karakter perempuan dengan cara mendekonstruksi representasi dari

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

12

agensi perempuan dalam teks. Ruthann melihat agensi perempuan dalam novel Harry

Potter dengan menggunakan analisis wacana kritis. Interpretasi agensi perempuan

dalam disertasinya ditekankan pada 5 tema: taat/pelanggar aturan, kecerdasan,

pengesahan/kemungkinan, perempuan tipe pengasuh dan perlawanan yang “tertahan”.

kelima tema ini mengandung unsur oposisi biner, ikatan gender, dan perempuan

sebagai “yang lain/ other”. Dalam disertasinya Ruthann menemukan adanya

konstruksi gender tradisional dalam novel Harry Potter.

Menurut Ruthann (2003), J.K Rowming mengkonstruksi perempuan dan laki-

laki dalam sebuah oposisi yang sangat jelas satu sama lain. Petualangan dalam novel

ini menonjolkan karakter laki-laki yang aktif, sementara karakter perempuan yang

pasif hanya sekedar sebagai tubuh di belakang laki-laki yang mendukun aksi laki-

laki. Adapun yang membuat novel ini menjengkelkan dan menarik di saat yang

bersamaan adalah perlawanan tokoh perempuan. Kebanyakan tokoh perempuan

dalam teks melakukan perlawanan, tetapi ketika mereka melawan hanya sampai pada

titik tertentu dan kemudian mundur kembali. Dengan mengkonstruksi karakter

perempuan seperti ini, Rowling memberikan pesan kepada pembaca bahwa

perempuan harus menunjukkan diri, tetapi hanya sampai pada titik tertentu dan tidak

mengambil posisi laki-laki.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketujuh penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya menganalisis unsur gender dalam novel Harry Potter hanya

pada tataran yang sangat umum. Ketujuh penelitian tersebut juga hanya sampai pada

menjelaskan bagaimana karakteristik dan pemosisian laki-laki dan perempuan dalam

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

13

novel ini. Untuk itu, penelitian yang penulis lakukan ini mengaitkan unsur sihir yang

menjadi tema novel ini—sekaligus menjadikan novel ini populer—dengan konstruksi

maskulin – feminin dan posisi laki-laki – perempuan, serta melihat dampaknya

terhadap citra perempuan yang dalam novel ini merupakan perempuan tukang sihir

(witch).

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Gender dan Konstruksi Maskulinitas dan Femininitas

Dalam ruang kajian gender, laki-laki dan perempuan dibagi ke dalam

dikotomi maskulin dan feminin yang kemudian melahirkan oposisi biner dalam

hubungan keduanya. Oleh karena gender merupakan sebuah pencapaian status

(Connell, 1995:71) baik laki-laki maupun perempuan memerankan gendernya

masing-masing. Relasi gender ini pada dasarnya merupakan relasi power (Cornwall,

1997:8). Bagi laki-laki, gender tidak hanya menyangkut fisik, tetapi juga menyangkut

sikap, persepsi, dan kecerdasan. Secara historis, kecerdasan itu sendiri adalah sifat

yang hanya ada pada diri laki-laki, khususnya dalam bidang seperti psikoanalisis,

filosofi, dan ilmu kedokteran. Secara tradisional, maskulinitas identik dengan seorang

laki-laki yang kuat, rasional, penentu, kompetitif, kuat secara fisik,

mengesampingkan aspek emosional, dan non-feminin (Connell via Barker 2011: 53)

dan perempuan adalah seseorang yang menarik secara fisik, pengasuh/pemelihara,

emosional, dan peduli.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

14

Dalam sebuah proses pengulangan praktik sosial yang terjadi secara terus

menerus, kualitas konten maskulinitas dan femininitas menjadi bukan hanya sekedar

identitas gender atau menunjukkan jenis individu, tetapi juga yang lebih penting,

pengulangan kolektif dalam bentuk budaya, struktur sosial, dan organisasi sosial.

Ciri-ciri ideal maskulinitas dan femininitas sebagai dua kubu yang saling melengkapi

dan hirarkis memberikan alasan adanya relasi-relasi sosial antara laki-laki dan

perempuan pada semua level organisasi sosial mulai dari diri, interaksi, struktur

institusional, sampai pada hubungan global dominasi. Individu, kelompok, dan

masyarakat menggunakan maskulinitas dan femininitas sebagai alasan atas apa yang

dilakukan, bagaimana melakukannya, dan secara kolektif melakukannya secara

berulang pada berbagai keadaan institusional. Tidak hanya perbedaan gender, tetapi

juga hubungan implisit antara gender yang menjadi ciri-ciri taken-for-granted dari

relasi interpersonal, budaya, dan struktur sosial. Artinya, perbedaan gender kini

dilembagakan, begitu pula rasionalitas gender (Schippers, 2007: 91).

Dalam suatu masyarakat, selalu terdapat lebih dari satu jenis maskulinitas dan

femininitas. Jenis-jenis maskulinitas dan femininitas ini tidak begitu saja saling

berdampingan satu sama lain. Ada sebuah relasi dimana jenis maskulinitas tertentu

lebih dihargai dan lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan jenis maskulinitas

yang lain, begitu pula yang terjadi dalam relasi antar femininitas. Maskulinitas dan

femininitas ini mendominasi pada waktu dan tempat tertentu, tetapi bukan berarti

mematikan jenis maskulinitas dan femininitas yang lain. Jenis- jenis maskulinitas dan

femininitas yang lain masih tetap bertahan, tetapi menjadi yang subordinat.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

15

Maskulintas dan femininitas hegemonik merupakan ideologi tentang bagaimana

menjadi laki-laki atau perempuan yang dapat diterima (Connell, 2000:4).

Maskullinitas dan femininitas yang lebih tinggi posisinya disebut sebagai

maskulinitas dan femininitas hegemonik. Hegemonik berarti berkaitan dengan

dominasi budaya dalam masyarakat secara keseluruhan (Connell, 1995:78). Jadi,

wacana maskulinitas dan/atau femininitas ini menggunakan aspek budaya, institusi,

dan cara-cara persuasif untuk meyakinkan masyarakat sampai masyarakat tidak

menyadari bahwa mereka sedang dipengaruhi untuk ikut pada satu ideologi. Oleh

karena itu, Connell menyebutnya sebagai maskulinitas dan/atau femininitas yang

mendominasi secara kultural.

Femininitas hegemonik yang konvensional mengatur penampilan dan perilaku

perempuan, bahwa perempuan dinilai dari proporsi tubuh, penampilan dan kecantikan

mereka. Salah satu contohnya adalah keyakinan bahwa perempuan yang ideal harus

bertubuh langsing. Penelitian menunjukkan adanya tekanan sosial budaya yang

signifikan pada perempuan untuk menjadikan tubuhnya kurus. Dalam masyarakat

Amerika mas kini, gemuk disamakan dengan "devaluasi feminin" (Dworkin &

Wachs, 2004: 611). Dworkin dan Wachs menemukan bahwa tekanan untuk menjadi

kurus dan bugar telah meningkat dengan sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Bahkan tubuh perempuan sebelum, selama, dan setelah kehamilan dinilai berdasarkan

penampilan bugar, yang berhubungan dengan femininitas. Pentingnya tipe tubuh

tertentu untuk mencapai femininitas memupuk sikap usaha untuk mendorong

penampilan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

16

Selain tubuh langsing sebagai tolak ukur ideal perempuan, kosmetik dan

rambut adalah penanda lain dari femininitas. Rambut yang panjang dan sehat sebagai

tipe yang ideal. Koppelman (1996:87) menyebutkan bahwa perempuan dengan kepala

botak atau rambut berwarna abu-abu atau putih dianggap menentang konstruksi sosial

kecantikan perempuan. Kata feminin pada dasarnya merupakan naskah yang diikuti

oleh perempuan untuk bisa menjadi menarik dan diinginkan oleh laki-laki

heteroseksual, serta untuk membuat perempuan lain iri (Leavy, 2009: 272). Artinya,

terjadi sebuah kompetisi di antara perempuan untuk menunjukkan dirinya sebagai

yang paling tinggi posisinya dalam hirarki femininitas, berdasarkan kriteria

femininitas hegemonik.

Meskipun keduanya hegemonik, femininitas dan maskulinitas hegemonik

adalah struktur yang tidak setara. Maskulinitas hegemonik adalah suprastruktur

dominasi sementara femininitas hegemonik terbatas pada hubungan kekuasaan

kalangan perempuan. Namun begitu, kedua struktur ini saling terkait dimana

femininitas hegemonik dibangun untuk melayani maskulinitas hegemonik,

sebagaimana legitimasi yang diberikan terhadap femininitas (Schippers, 2007: 88).

Femininitas hegemonik tidak pernah bisa berada sejajar dengan maskulinitas

hegemonik. Connell (1987: 187) menyebutkan bahwa semua bentuk femininitas di

masyarakat dikonstruksi dalam konteks subordinsi penuh perempuan pada laki-laki.

Untuk alasan ini, tidak ada femininitas yang memegang kekuasaan di antara

perempuan yang mampu memperoleh posisi dalam maskulinitas hegemonik laki-laki.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

17

Femininitas hegemonik sekalipun akan selalu berada di bawah maskulinitas. Ia

kemudian membuat istilah emphasized femininity :

Salah satu bentuk [femininitas] didefinisikan semacam kepatuhan terhadap subordinasi ini dan diorientasikan untuk mengakomodasi kepentingan dan keinginan laki-laki. Saya akan menyebutnya “emphasized feminity”. Bentuk yang lain ada yang diartikan secara sentral dengan strategi-strategi resistensi atau bentuk-bentuk ketidakpatuhan. Yang lainnya lagi diartikan dengan kombinasi strategi kompleks kepatuhan, resistensi, dan kerjasama (Connell, 1987: 184 –185)

Disini Connell mengungkapkan bahwa ada banyak bentuk femininitas, tetapi fokus

dari kesemuanya itu lebih pada relasi dengan maskulinitas. Connell (1987:188)

menulis bahwa femininitas diatur sebagai bentuk adaptasi kekuasaan laki-laki, dan

menekankan kerelaan, pengasuhan, dan empati sebagai sifat kebajikan feminin untuk

membentuk hegemoni atas semua bentuk femininitas.

Berbeda halnya dengan femininitas hegemonik yang hanya membawahi

femininitas-femininitas lain yang subordinat, maskulinitas hegemonik tidak hanya

hegemonik dalam konteks hubungannya dengan bentuk maskulinitas yang lain,

melainkan dalam relasinya dengan susunan gender secara umum. Maskulinitas

hegemonik merupakan wujud hak istimewa laki-laki secara kolektif terhadap

perempuan. Identitas maskulinitas hegemonik dibentuk menentang “yang lain

(otherness)” baik itu perempuan pada umumnya dan homosexual khususnya,

kebencian terhadap perempuan dan homophobia. Di bawah hirarki maskulinitas

hegemonik ini, hadir maskulinitas subordinat, femininitas hegemonik, dan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

18

femininitas subordinat, yang artinya mereka tunduk di bawah dominasi maskulinitas

hegemonik dan mengikuti segala aturan yang diberlakukan oleh maskulinitas ideal

dalam patriarki. Maskulinitas hegemonik sebagai kualitas kelaki-lakian yang

membentuk dan melegitimasi relasi hirarkis dan saling melengkapi dengan

femininitas (Connell, 1995: 78–80). Berangkat dari definisi ini, Schippers, 2007: 94)

mendefinisikan femininitas hegemonik terdiri dari ciri-ciri yang mendefinisikan

keperempuanan yang membentuk dan meligitimasi relasi hirarkis, sehingga saling

melengkapi dengan maskulinitas hegemonik. Dengan demikian, konsep itu menjamin

posisi dominan laki-laki dan subordinasi perempuan.

Hegemoni gender beroperasi tidak hanya melalui subordinasi femininitas pada

maskulinitas hegemonik, tetapi juga melalui subordinasi dan marginalisasi

maskulinitas lainnya. Jadi, meskipun penekanannya lebih pada femininitas sebagai

pusat dominasi maskulin, hal itu bukan satu-satunya mekanisme untuk memastikan

dominasi laki-laki. Dalam hegemoni gender, pengaruh maskulinitas hegemonik atas

kelompok maskulinitas terpinggirkan lainnya sama pentingnya dengan kekuasaan

maskulin terhadap kelompok tersubordinasi (perempuan). Maskulinitas hegemonik

memastikan dominasi laki-laki, sehingga semua laki-laki bisa mendapatkan

keuntungan pada tingkat-tingkat tertentu meskipun kebanyakan laki-laki tidak harus

"di garis depan" atau mewujudkan maskulinitas hegemonik dalam dirinya. Connell

(1995:77) mendefinisikan maskulinitas hegemonik sebagai konfigurasi praktek

gender yang memberikan jawaban yang dapat diterima menyangkut masalah

legitimasi partiarki, yang menjamin (atau memberikan jaminan) posisi dominan laki-

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

19

laki dan subordinasi perempuan. Maskulinitas hegemonik, ketika diwujudkan oleh

sekurangnya beberapa laki-laki dari waktu ke waktu, akan melegitimasi dominasi

laki-laki atas perempuan sebagai kelompok.

Stereotip maskulinitas hegemonik itu, menurut Barker (2011: 241) umumnya

adalah maskulinitas tradisional—yang merupakan suatu generalisasi—yang

menjelaskan nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kontrol, independensi,

keswadayaan, perkawanan/ jalinan persahabatan laki-laki, kerja dan lain-lain. Adapun

yang dipandang rendah adalah dependensi, kemampuan verbal, kehidupan domestik,

kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak. Sejalan dengan itu, Connel

(1995:68) menyebutkan konsep mendasar dari maskulinitas hegemonik adalah

kekuatan fisik, heteroseksualitas eksklusif, daya saing, homofobia, ketangguhan

emosional, kemampuan untuk menggunakan kekerasan interpersonal, kemampuan

dalam menghadapi konflik, dan pemilik otoritas. Karakteristik ini menjamin dominasi

yang sah laki-laki atas perempuan, hanya ketika mereka secara simbolis dipasangkan

dengan sifat-sifat inferior yang melekat pada femininitas. Sifat-sifat itu meliputi

kerentanan, ketidakmampuan untuk menggunakan kekerasan secara efektif, dan

kepatuhan.

Laki-laki heteroseksual pada umumnya mendapatkan apa yang diistilahkan

sebagai keuntungan patriarkal, misalnya gaji yang lebih tinggi, kesempatan yang

lebih luas dalam hal pekerjaan dan partisipasi politik dibandingkan perempuan.

Namun, ada grup-grup laki-laki tertentu yang tidak mendapatkan hal tersebut.

Kelompok-kelompok ini biasa disebut kelompok maskulinitas yang termarginalkan,

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

20

yaitu mereka yang dianggap tidak dapat memenuhi kriteria maskulinitas hegemonik.

Laki-laki yang masuk dalam golongan ini misalnya mereka yang memiliki sifat

menyerupai perempuan, lemah, atau karena kelas sosial dan ras mereka otomatis

menjadi laki-laki yang terpinggirkan (Connell, 1997:64). Maskulinitas marginal bisa

juga mereka yang berasal dari kelas atau ras subordinat/ kelompok etnis tertentu.

Sementara hegemoni, subordinasi, dan komplisitas adalah aspek-aspek dari aturan

gender.

Oleh karena alasan tersebut, laki-laki menggunakan tingkat maskulinitas

untuk berkompetisi satu sama lain. Mereka mereka saling membandingkan satu sama

lain berdasarkan segala jenis sumberdaya yang mereka miliki, yang dianggap dapat

menunjukkan maskulinitasnya. Semakin besar ciri-ciri maskulinnya dan paling

mendekati kriteria maskulinitas hegemonik yang diperesyaratkan oleh lingkungan

tempat mereka hidup, maka semakin tinggi pula posisinya (top level masculinity).

Sebaliknya, jika seorang laki-laki tidak mampu memenuhi dan jauh dari stereotip

maskulinitas hegemonik, maka dia dianggap bukan bagian dari mereka (low level

masculinity). Dalam konteks lingkungan sekolah misalnya, laki-laki yang masuk

dalam kelompok high level masculinity adalah kelompok remaja laki-laki yang

dianggap memiliki pengaruh besar di lingkungannya dan diidolakan oleh anak-anak

lain yang tidak mampu meniru penampilan mereka, sementara low level masculinity

ini biasanya yang berkacamata, berkawat gigi, berpenampilan culun, kutu buku,

dan/atau berasal dari kelas sosial yang dianggap lebih rendah. Maskulinitas dapat

dipaparkan sebagai nilai-nilai yang membangun identitas kelaki-lakian dalam

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

21

masyarakat sebagai pembatas tentang nilai-nilai, bukan feminin atau dengan kata lain

merupakan perwujudan ideal laki-laki.

Oleh karena legitimasi bahwa ciri-ciri maskulin adalah milik laki-laki, serta

melekat pada tubuh laki-laki, maka perempuan yang menunjukkan ciri maskulin

dianggap keluar dari jalurnya. Mereka dicela karena dianggap sebagai perempuan

yang rendah kualitas femininitasnya, karena femininitas mereka dicemari oleh sifat-

sifat maskulin. Schippers (2007: 95) mengistilahkan perempuan seperti ini sebagai

pariah femininity. Pariah artinya “kasta yang terendah” bahkan arti kasarnya “sampah

masyarakat”. Perempuan yang masuk dalam kategori ini misalnya mereka yang

tangguh dan agresif dicela sebagai “badass girl”, yang membebaskan dari kekuasaan

patiarki disebut “bitch”, atau yang mandiri dan tidak mudah mengalah (“cock-teaser”

and slut). Perempuan yang seperti ini secara sosial tidak diinginkan dan dianggap

mencemari masyarakat. sebaliknya jika sifat seperti ini melekat pada laki-laki,

posisinya akan sangat positif. Schippers (2007: 97) meyakini bahwa hal ini dilakukan

untuk menjaga tatanan gender, serta hubungan subordinasi dan dominasi antara laki-

laki dan perempuan. Sama halnya dengan perempuan, laki-laki yang menunjukkan

ciri-ciri feminin misalnya tertarik pada laki-laki, lemah, selalu tunduk dan mengalah

juga dianggap sebagai pencemaran dan meresahkan masyarakat. Laki-laki seperti ini

menjadi sasaran stigma dan sanksi sosial. Laki-laki seperti ini biasa diejek sebagai

“fag,” “pussy”, dan “the wimp”. Apa yang oleh Connell disebut sebagai maskulinitas

subordinat.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

22

Maskulinitas dan femininitas bisa menjadi "proyek gender" dalam kehidupan

individu, tetapi tidak mengacu pada fitur atau jenis orang tertentu. Alih-alih

menguasai atau memiliki maskulinitas, individu juga akan bergerak dan

menghasilkan maskulinitas dengan terlibat dalam praktik maskulin. Dengan begitu,

maskulinitas adalah praktek teridentifikasi yang muncul di seluruh ruang, dari waktu

ke waktu, akan diakui dan disahkan secara kolektif oleh kelompok, komunitas, dan

masyarakat. Dengan pengesahan yang berulang dari waktu ke waktu, praktek-praktek

ini membentuk sebuah produksi dan distribusi sumber daya, distribusi kekuasaan

dalam bentuk otoritas, cathexis, dimana Connell mengartikannya sebagai arena sosial

keinginan dan seksualitas, dan simbolisme atau produksi makna dan nilai-nilai. Oleh

karena itu, secara ringkas dapat dikatakan bahwa maskulinitas adalah posisi sosial,

seperangkat praktek, dan efek dari perwujudan kolektif praktek-praktek pada

individu, hubungan, struktur institusional, dan hubungan global dari dominasi.

Konsep maskulinitas dan femininitas dihasilkan, diperebutkan, dan diubah

melalui proses diskursif, dan karena itu dapat tertanam dengan baik, serta sarat

dengan hubungan kekuasaan. Dalam model ini, maka, dinamika kekuasaan adalah

pusat, tidak hanya dalam fokus konseptual pada hubungan hirarkis antara

maskulinitas dan femininitas daripada karakteristik tertentu ideal, tetapi juga dalam

hal dinamika produksi, proliferasi, dan kontestasi wacana yang mengartikulasikan apa

laki-laki dan perempuan dan hubungan mereka satu sama lain. Femininitas dan

maskulinitas sebenarnya merupakan suatu konsep yang sangat kompleks dan dapat

selalu berubah (shifting). Penelitian di bidang sosiologi menemukan bahwa

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

23

masyarakat dengan budaya dan periode sejarah yang berbeda mengkonstruksi

karakter maskulinitas yang berbeda (Connell, 2000:3). Dalam setiap lingkungan

kerja, bertetangga atau kelompok teman sebaya misalnya, masing-masing memiliki

pemahaman yang berbeda mengenai karakter laki-laki maskulin.

Apa yang disebut sebagai “isu-isu perempuan” menyangkut opresi dan

patriarki juga adalah “isu-isu laki-laki”, karena sama seperti halnya perempuan, laki-

laki juga tergenderkan (Connel, 1997: 63). Adanya stereotip maskulin dan feminin

membuat perempuan tersubordinasi karena dianggap lemah. Sementara bagi laki-laki

hirarki maskulinitas dalam dunia mereka membuat mereka yang tidak dapat

menunjukkan ciri-ciri maskulinitas hegemonik menjadi laki-laki yang terpinggirkan.

Pendikotomian gender menjadi maskulin dan feminin telah memunculkan dualisme

dalam diri perempuan dan laki-laki. Hasil penelitian terbaru meyakini bahwa gender

tidak boleh dilekatkan pada tubuh seperti yang selama ini diartikan bahwa

maskulinitas melekat pada tubuh laki-laki dan femininitas pada tubuh perempuan,

melainkan lebih sebagai seperangkat perilaku yang dominan dan diekspresikan

melalui wacana seksual. Connell (1987:67) menyatakan bahwa dalam diri setiap

orang, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama memiliki sisi maskulin dan

feminin. Sementara itu gender memaksa mereka untuk memilih masuk ke kategori

maskulin atau feminin. Ketika dikotomi gender ini dihilangkan, maka sifat-sifat

feminin dan maskulin dalam diri individu dapat dinegosiasikan, sehingga terjadi

keselarasan antar keduanya.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

24

Penelitian yang dilakukan oleh Barker di tahun 2011 pada sebuah sekolah

gulat menunjukkan bahwa bahkan di lingkungan sekolah gulat yang sangat

menekankan kekuatan fisik, homofobia, daya saing, dan mengesampingakan perasaan

(emosi), tetap ditemukan perilaku-perilaku inklusif yang mengarah ke feminin.

Sejalan dengan pernyataan Connel dan hasil penelitian Barker, Cornwall (1997: 11)

menerangkan bahwa walaupun maskulinitas hegemonik berhubungan dengan

dominasi dan kekuasaan (power), tetapi atribut yang menandakan maskulinitas tidak

selalu berasosiasi dengan laki-laki. Perempuan juga dapat memiliki beberapa atribut

ini. Dengan begitu, tidak semua laki-laki memiliki power, dan tidak semua yang

memiliki power adalah laki-laki.

Dalam konseptualisasi yang ditawarkan di sini, maskulinitas bukanlah sebuah

tempat, praktik, atau struktur yang dihasilkan. Bagi Connell (1997: 66), "tempat"

merujuk pada posisi sosial "perempuan" dan "laki-laki", sementara perwujudan

karakter maskulinitas atau femininitas oleh individu adalah perwujudan gender atau

display. Mewujudkan dan memproduksi relasi antara maskulinitas dan femininitas

dalam interaksi sosial adalah "doing gender". Sejauh mana relasi hirarkis dan saling

melengkapi antara maskulinitas dan femininitas yang dilembagakan merupakan

struktur gender (Schippers, 2007: 93). Hal ini menawarkan jalur konseptual dan

empirik keluar dari peleburan antara praktik laki-laki dan perempuan, dengan

maskulinitas dan femininitas yang memungkinkan mereka menduduki posisi sebagai

"perempuan" untuk terlibat dalam praktik atau mewujudkan ciri-ciri yang dianggap

maskulin, serta bagi "laki-laki" untuk mewujudkan ciri-ciri femininitas. Maskulinitas

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

25

dan femininitas beserta konstruksi relasi mereka satu sama lain merupakan sebuah

alasan yang terbuka untuk praktik, sekaligus sebagai rujukan yang dapat digunakan

untuk menafsirkan dan menilai, tidak hanya sekedar display gender dan praktik

individu, tetapi semua relasi sosial, kebijakan, aturan, dan praktik institusional dan

struktur (Schippers, 2007: 93).

Connell (1997:67) tidak setuju dengan dimensi tubuh gender yang sering

dianggap batas absolut perubahan. Menurutnya, jika kita memahami gender sebagai

cara tubuh ditarik ke dalam proses historis, maka kita bisa mengenali kontradiksi

dalam perwujudan yang ada, serta dapat melihat besar kemungkinan untuk

perwujudan kembali tubuh laki-laki. Menurut Connell (1997:66), ada banyak cara

berbeda untuk menggunakan, merasakan, dan menunjukkan tubuh laki-laki.

Hubungan gender bersifat historis, sehingga hierarki gender dapat berubah. Oleh

karena itu, maskulinitas hegemonik muncul dalam situasi tertentu dan terbuka untuk

perubahan yang sifatnya historis. Penggunaan kostum berwarna pink oleh tim tasional

sepak bola Amerika yang tidak menimbulkan komentar negatif, adalah bukti bahwa

gender bisa dinegosiasikan, sehingga perubahan selalu terbuka (Barker, 2011: 61).

Di tahun 1970, sebuah gerakan yang disebut “men’s Liberation”

menyimpulkan bahwa feminisme baik untuk laki-laki, karena laki-laki juga menderita

akibat dikotomi jenis kelamin ini. Tujuan yang diusung oleh kelompok ini adalah

penghapusan maskulinitas (dan femininitas) melalui sebuah gerakan menuju

androgini, pencampuran dua sex roles yang berarti bahwa kita harus mengubah

kehidupan pribadi. Namun, menurut Connell hal ini meremehkan kompleksitas

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

26

maskulinitas dan femininitas, sehingga pembahasan terlalu banyak menekankan sikap

pada kesenjangan material dan isu-isu kekuasaan. Untuk itu, Connell (1997: 66) lebih

menyarankan “mengubah komposisi” elemen gender; membuat berbagai macam

simbolisme gender dan kegiatan yang didesain terbuka untuk semua orang.

Contohnya di sekolah siswa perempuan diberi peluang untuk mempelajari sains dan

teknologi, sehingga mendukung siswa laki-laki untuk belajar memasak dan menjahit.

Connell (1995: 71) mendefinisikan gender sebagai sebuah cara dimana “arena

reproduksi”, yang mencakup "struktur tubuh dan proses reproduksi manusia",

mengatur praktik di semua tingkat organisasi sosial mulai dari identitas, ritual

simbolik, sampai ke lembaga-lembaga dalam skala besar. Sebagai fitur utama dari

relasi gender, ia mendefinisikan maskulinitas sebagai sebuah posisi dalam relasi

gender yang secara bersamaan merupakan praktek, dimana laki-laki dan perempuan

terlibat pada posisi tersebut dalam gender, dan efek dari praktek tersebut terhadap

pengalaman tubuh, kepribadian dan budaya. Menurut Schippers (2007: 86),

maskulinitas memiliki tiga komponen; pertama, maskulinitas merupakan lokasi sosial

perorangan, terlepas dari jenis kelamin, dapat berpindah melalui praktek; kedua,

merupakan serangkaian praktek dan karakteristik yang dipahami sebagai "maskulin";

ketiga, ketika praktik-praktik ini diwujudkan terutama oleh laki-laki, tetapi juga oleh

perempuan, maka akan memberikan efek budaya dan sosial yang luas.

Dari berbagai penelitian empirik mengenai relasi maskulinitas dan

femininitas, Schippers (2007: 97) menyimpulkan bahwa karakteristik dan praktik

ideal maskulinitas dan femininitas merupakan hal yang bervariasi tergantung pada

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

27

konteks, kelompok, dan masyarakatnya. Variasi budaya, ekonomi, dan politik di

semua kelompok dan masyarakat, serta ciri-ciri khusus dari maskulinitas dan

femininitas yang memastikan dominasi laki-laki terhadap perempuan akan berbeda-

beda sesuai dengan konteks.

Di tahun 2002, Schippers melakukan sebuah penelitian empiris dan

menyimpulkan bahwa terdapat peluang untuk secara sengaja mengganti maskulinitas

hegemonik, femininitas hegemonik, pariah feminity, male femininities dengan

maskulinitas dan/atau femininitas alternatif. Dalam penelitiannya, Schippers

mengidentifikasi bagaimana anggota subkultur musik rock tertentu menolak

maskulinitas dan femininitas hegemonik yang telah menjadi wacana mainstream

dalam komunitas rock. Wacana baru yang mereka bentuk untuk menolak wacana

yang lama merupakan maskulinitas dan femininitas alternative (Schippers, 2007: 97)

Cornwall (1997:12) menyatakan bahwa hanya karena beberapa laki-laki

menempati posisi subyek pada beberapa keadaan yang memberikan mereka

kekuasaan atas orang lain, tidak berarti bahwa posisi ini kongruen dengan semua

aspek kehidupan mereka. Dia kemudian menyimpulkan bahwa gender adalah

masalah setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kita perlu

menemukan cara konstruktif yang lebih baik untuk menyelesaikan permasalahan

dikotomi laki-laki perempuan ini. Ia menyarankan merekonstruksi asumsi kultural

tentang “menjadi laki-laki”. Menurutnya, dengan begitu akan dicapai sebuah

kesadaran bahwa gender menempatkan banyak orang pada posisi yang tidak

menguntungkan dan membangun kepercayaan diri untuk bersikap berbeda.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

28

Menurutnya sudah waktunya keluar dari ide-ide lama tentang peran gender dan

dominasi laki-laki yang universal. Ini adalah waktunya untuk menemukan cara

berpikir dan analisis gender yang lebih masuk akal, serta cocok dengan kompleksitas

realitas hidup masyarakat.

1.6.2 Gender dan Posisi Sentral – Periferi

Periferi adalah sebuah kondisi. Kondisi dimana seseorang menjadi periferi

atau sentral sangat tergantung dengan konteks keberadaan, sehingga periferi dan

sentral adalah posisi yang selalu berubah (shifting). Cornwall (1997: 10) menjelaskan

bahwa setiap hari dalam hidup, identitas kita sebagai perempuan atau laki-laki tidak

pernah tetap atau absolut, melainkan beragam dan berubah-ubah. Menurut Cornwall

(1997: 10), relasi gender tergantung pada konteks di mana kita berada. Hollway

menyebutnya “subject-position”. Saat perempuan menganalisis kehidupannya, tidak

satu pun dari perempuan yang selalu berada dalam posisi subordinasi orang lain.

Hubungan perempuan dengan orang-orang di sekitarnya mungkin merupakan

“hubungan gender”, dalam artian hubungan jenis kelamin yang membuat perbedaan,

tetapi tidak dalam arti hanya satu dimensi hubungan kekuasaan. Sebagai perempuan,

mungkin memiliki anak laki-laki, ayah, saudara, teman-teman laki-laki atau karyawan

laki-laki. Dengan orang-orang yang posisinya berbeda-beda ini, tentunya perempuan

juga memiliki pola hubungan yang berbeda dibandingkan dengan hubungan

dibandingkan dengan kekasih, suami atau atasan. Oleh karena itu, dalam konteks

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

29

yang menempati posisi sentral atau periferi, bisa saja laki laki dan perempuan saling

tumpang tindih.

Dikotomi laki-laki – perempuan, maskulin-feminin telah menghasilkan sebuah

oposisi biner yang membuat dua kubu ini bertentangan satu sama lain. Laki-laki

ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi (sentral) dan perempuan pada posisi

marginal (periferi). Bartky (1988: 30) menuliskan hal tersebut.

Ruang perempuan bukan bidang di mana intensionalitas tubuhnya dapat secara bebas direalisasikan, tetapi sebuah kandang di mana dia merasa dirinya diposisikan, serta di mana dia di kurung. Konsepsi ruang perempuan menggambarkan ide umum dari ruang tertutup, daya / ketidakberdayaan, dan tubuh sebagai situs gender performativity (Butler via Leavy, 2009: 261).

Hubungan antara feminin dan maskulin ini telah membentuk sebuah hirarki

gender dimana perempuan sebagai yang feminin berada pada posisi di bawah,

diyakini menjadi pihak yang terdomestifikasi, teropresi, dan korban kekerasan

berbasis gender. Sementara itu, laki-laki sebagai yang maskulin berada di posisi atas

hirarki, sebab dianggap memiliki power untuk menguasai. Kalkulasi, kompetensi, dan

logika yang dianggap merupakan kemampuan laki-laki memungkinkan laki-laki

untuk memiliki kontrol atas konstruksi kultural femininitas, serta telah memposisikan

tubuh perempuan sebagai situs objektifikasi (Leavi, 2009: 262). Baik secara pikiran

maupun fisik laki-laki, selalu diletakkan dalam posisi menguasai perempuan atau

sebagai perbandingan dengan tubuh perempuan, untuk membuat pemisahan antara

yang kuat dan kurang kuat (Leavy, 2009: 262). Melalui seksualisasi tubuh

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

30

perempuan, tubuh fisik itu sendiri menjadi situs seksualitas, di mana kepribadian dan

emosi dihapus atau diabaikan.

Dalam konteks dunia barat, hubungan sentral dan periferi umumnya

ditentukan oleh ras dan kelas. Konsep ini didasarkan pada etnosentrisme yang dianut

oleh ras kulit putih. Imperialisme Barat yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih

memungkinkan kolonisasi oleh bangsa kulit putih terhadap ras dan kelompok lain,

utamanya ras kulit hitam dan negara dunia ketiga. Dengan demikian, ras kulit putih

mampu menempati posisi sentral dan ras kulit hitam, serta negara dunia ketiga

sebagai the other (periferi). Berbagai penelitian dalam bidang kajian gender

membuktikan bahwa ketidaksetaraan gender bisa sangat beragam diakibatkan oleh

ras/etnisitas dan kelas. Gender, ras dan kelas saling mempengaruhi sistem dominasi

yang berefek pada akses terhadap kekuasaan dan hak-hak istimewa, mempengaruhi

relasi sosial, mengkonstruksi makna, dan membentuk pengalaman sehari-hari

masyarakat (Cotter dkk, 1999: 433). Dalam relasi laki-laki kulit putih dan kulit hitam,

laki-laki kulit putih merupakan sentral, sementara laki-laki kulit hitam menempati

posisi periferi. Namun, antara laki-laki kulit hitam dan perempuan kulit hitam, laki-

laki kulit hitam menempati posisi sentral dan perempuan kulit hitam merupakan

periferi. Dalam hirarki ini, perempuan kulit hitam selalu menempati posisi periferi

baik dalam relasinya dengan laki-laki kulit hitam, laki-laki kulit putih, maupun

dengan perempuan kulit putih. Hirarki ini terjadi karena posisi sentral dan periferi

merupakan posisi yang dinamis, tergantung dengan siapa seseorang direlasikan.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

31

Dalam teori Connell (1997:64), ada yang dia sebut sebagai maskulinitas yang

termarginalisasi. Connell memberikan istilah marginalisasi untuk mengkarakterisasi

hubungan antara laki-laki yang merupakan hasil dari persinggungan antara kelas, ras

dan gender. Maskulinitas yang terpinggirkan (marginalized masculinity) adalah

mereka yang berasal dari kelas-kelas atau kelompok ras/etnis subordinat. Hubungan

ini merupakan salah satu otorisasi dan marjinalisasi, karena maskulinitas hegemonik

digabungkan dengan kulit putih dan status kelas menengah, dimana laki-laki kulit

putih diberikan kewenangan, sementara ras dan kelas lain yang dianggap marginal

tidak (Schippers, 2007: 88).

Schippers (2007:88) menyebutkan bahwa di tahun 2003, Peaky dan Johnson

mengaplikasikan teori Connell dalam penelitian terhadap perempuan generasi ke-2 di

Korea dan Vietnam. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat relasi subordinasi dan

dominasi antara perempuan kulit putih dan perempuan Asia. Hasil penelitian ini

menemukan bahwa perempuan kulit putih menduduki posisi hegemonic, sedangkan

perempuan Asia pada posisi subordinasi. Studi ini meningkatkan pemahaman kita

tentang bagaimana kinerja gender rasial yang terlibat dalam ketidaksetaraan antara

perempuan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ada femininitas yang lebih

berkuasa dari femininitas yang lain, karena aspek ras. Tentunya, hubungan antara

perempuan kulit putih dan perempuan Asia adalah hasil dari persimpangan gender

dan ras.

Penelitian lain dilakukan oleh Bettie pada tahun 2003 di sebuah sekolah di

Inggris mengenali pola hirarki femininitas, yaitu hubungannya dengan ras dan kelas.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

32

Ia menemukan bahwa perempuan kulit putih kelas menengah yang menunjukkan

heterosexualitas, dianggap sebagai perwujudan “gadis baik” dan “siswa yang baik”.

Sementara Las Chilas, siswa keturunan Mexico-Amerika yang berasal dari golongan

kelas pekerja (working class) dianggap sebagai hiper-seksual dan lebih fokus pada

hetero-romance daripada sekolah karena alasan race-class femininity (Schippers,

2007:99). Apa yang dialami oleh Chilas, bukan lagi hanya masalah gendernya,

melainkan ras dan kelasnya. Meskipun dia tidak benar-benar mengacuhkan sekolah,

orang-orang tetap berpendapat demikian, karena melihat latar belakang ras dan

kelasnya.

Butler via Schippers (2007:99) mengungkapkan bahwa tidak memasukkan ras

dan kelas subordinat dalam kategori laki-laki dan perempuan "sejati", berarti

memberikan legitimasi yang sangat jelas akan subordinasi sosial, politik, dan

ekonomi mereka. Selain itu hal ini, berarti melegitimasi supremasi dan hak istimewa

bangsa kulit putih, dan bahwa kualitas ideal konten maskulinitas dan femininitas

ditekankan pada posisi seseorang secara social, apakah dia berada pada kelompok

dominan atau subordinat (Schippers, 2007:100). Schippers (2007: 99) menambahkan

bahwa kelompok ras/etnis minoritas, serta kelas pekerja dan ekonomi kelas bawah

dikonstruksi sebagai the other yang tidak memiliki kelayakan atau sebagai kelompok

bermasalah, karena praktik gender mereka. Kondisi ini ditunjukkan oleh Pyke dan

Johnson bahwa stereotip praktik gender yang sesungguhnya dari kelompok ras dan

kelas subordinat seringkali mendukung hegemoni gender, tetapi terhalangi oleh

hegemoni ras dan kelas.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

33

Dalam pemikiran biner, the Other dilihat sebagai objek yang dikontrol dan

dimanipulasi. Collins (2000:70) mengungkapkan bahwa gagasan Barat mengharuskan

objeksifikasi, sebuah proses “pemisahan knowing self dari knowing object dalam

konsep tersebut. Dominasi selalu melibatkan usaha untuk mengobjeksi kelompok

subordinat. Subyek memiliki hak untuk mendefinisikan realitas mereka sendiri,

membentuk identitas mereka sendiri, menamai sejarah mereka. Sementara itu realitas,

identitas, dan kesejarahan mereka didefinisikan dan dibentuk oleh kelompok lain

yang disebut obyek (Collins, 2000:71). Untuk masyarakat kulit putih, kelompok

masyarakat “kulit berwarna” selalu dianggap stranger. Tidak hanya itu, mereka

dianggap stranger yang tuli, sehingga tak ada yang bisa disampaikan pada mereka.

Sebagai “Others” yang tidak akan pernah bisa masuk dalam masyarakat, strangers

mengancam tatanan moral dan sosial (Collins, 2000:70).

Yang paling mencolok di Barat adalah ketidaksetaraan ekonomi yang

diakibatkan oleh gender, kelas, dan ras karena kesenjangan upah dan pengkotak-

kotakan jenis pekerjaan berdasarkan ketiga aspek yang saling berhubungan tersebut.

Dalam sebuah studi empitik mengenai perbedaan penghasilan hubungannya dengan

gender, ras, dan kelas, Cotter dkk (1999) menemukan bahwa perempuan kulit putih

secara ekonomi dirugikan dalam hubungannya dengan laki-laki kulit putih, karena

mereka adalah perempuan. Namun, ketidaksetaraan penghasilan yang dialami oleh

perempuan kulit putih tidak separah yang dialami oleh perempuan African American

dan Amerika Latin. Hal ini disebabkan keuntungan yang didapatkan perempuan kulit

putih karena masuk dalam kelompok ras/etnik yang dominan. Perempuan African

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

34

American dan Amerika Latin di lain sisi menjadi pihak yang terhukum karena mereka

perempuan dan bukan ras kulit putih. Perempuan Asia, walaupun tidak separah

African Afro Amerika dan Amerika Latin, tetap mendapatkan kerugian karena non-

kulit putih.

Ras dan kelas sering dianggap sebagai faktor sekunder dalam organisasi

sosial. Teori feminis menulis dari pengalaman di mana ras dan kelas dirasa bukan

merupakan elemen yang menindas dalam kehidupan mereka. Ini adalah teori dari

kulit putih, pengalaman kelas menengah yang memberikan kontribusi untuk

etnosentrisme yang sering terdapat dalam tulisan-tulisan feminis putih (Palmer, 1983:

154). Faktanya, opresi ras, gender, dan kelas menjadi penyebab utama dari

kemelaratan perempuan kulit hitam (Collins, 2000:1). Telah banyak yang dibuktikan

bahwa masalah ras dan kelas ini, dengan sendirinya ikut mempengaruhi relasi gender

dan studi feminis. Patricia L. Collins contohnya merupakan salah satu tokoh yang

paling santer berbicara masalah ras dan kelas hubungannya dengan relasi gender dan

wacana feminis.

Collins mengfokuskan kritiknya terhadap pemosisian perempuan kulit hitam

oleh bangsa kulit putih. Perspektif feminis kulit putih telah menghasilkan teori dan

tindakan yang berfokus pada masalah perilaku seks dan prasangka terhadap laki-laki,

dimana semua laki-laki dilihat sebagai penindas dengan level yang sama. Hal ini

membuat perempuan kulit hitam dicela karena keengganan mereka untuk berbicara

tentang seks dalam masyarakat hitam. Suatu realitas yang perlu dibahas, tetapi tidak

dalam cara yang sama seperti yang dialami perempuan kulit putih. Perempuan kulit

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

35

hitam berargumen bahwa sulit untuk memperhatikan seksisme kulit laki-laki hitam,

ketika teori dan praktek feminis kulit putih tidak memberi pertimbangan lebih pada

aspek historis masyarakat Amerika, yaitu bahwa laki-laki kulit putih, sebagai pihak

yang utama dengan hak istimewa berdasarkan kelas sosial mereka merupakan

penerima manfaat utama dalam hal seksisme dan rasisme (Palmer, 1983: 154-155).

Ras, kelas, gender, seksualitas, kebangsaan, usia, dan etnisitas merupakan

bentuk operasi utama yang terjadi di USA. Konvergensi karakteristik penindasan ras,

kelas, dan gender terhadap budak di USA membentuk hubungan konsekuensional

perempuan keturunan Afrika dalam keluara Afrika Amerika dan komunitas, dengan

majikan, dan antara sesame mereka. Hal ini juga menciptakan sebuah konteks politik

untuk karya intelektual perempuan kulit hitam (Collin, 2000: 4).

Dalam budaya Amerika, ideologi budaya, ras, dan seks meresap ke dalam

struktur sosial sebagai semacam “tingkatan” yang menjadi hegemonik, dilihat sebagai

hal yang natural, normal, dan tidak terelakkan. Stereotip negatif dilekatkan pada

perempuan kulit hitam dan telah menjadi hal yang mendasari opresi yang mereka

alami. Sistem penindasan ini bekerja untuk menekan ide-ide intelektual perempuan

kulit hitam, untuk melindungi kepentingan para elit laki-laki kulit putih elit, serta

pandangan dunia. Studi perempuan di Amerika dan Eropa telah menentang pemikiran

hegemonik elit laki-laki kulit putih. Ironisnya, feminis barat juga menekan pemikiran-

pemikiran perempuan kulit hitam. Ketidakhadiran pemikiran feminis kulit hitam

dalam studi feminis di barat menempatkan perempuan kulit hitam ke dalam posisi

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

36

yang lebih lemah lagi dari hegemoni ideologi mainstream yang ada pada separuh dari

para kaum perempuan.

Di Barat, perempuan kulit hitam mengalami dualisme. Di satu sisi, untuk

menunjukkan bahwa perempuan juga bisa seperti laki-laki, sehingga mereka

menuntut kesetaraan gender, mereka menggunakan perempuan kulit hitam sebagai

ikon. Namun, di sisi lain perempuan kulit hitam tidak mendapat pengakuan atas

identitas diri mereka. Mereka selalu dianggap powerless, baik itu oleh laki-laki

maupun oleh perempuan kulit putih. Perempuan kulit hitam, menurut Collin dan

Palmer memiliki semua ciri-ciri keperempuanan, seperti yang melekat pada

perempuan kulit putih. Sama seperti perempuan kulit putih, mereka juga adalah ibu.

Mereka memiliki semangat laki-laki : tegas, gagah giat, memiliki jiwa mandiri, dan

tidak mengenal rasa takut—sifat-sifat yang menurut feminis Barat juga dapat dimiliki

oleh perempuan, sehingga mereka seharusnya punya hak yang sama dengan laki-laki.

Namun begitu, karena label mereka adalah “kulit hitam”, mereka tak mendapatkan

pengakuan yang seharusnya menjadi milik mereka. Bangsa Barat khususnya di

Amerika menyebut “the daughter of Africa tidak memiliki ambisi dan kekuatan”

(Collins, 2000: 2).

Perempuan kulit hitam telah lama menjadi kelompok yang paling tertindas di

Amerika. Mereka merupakan kelompok dengan pendapatan terendah, presentasi

penyelesaian studi di perguruan tinggi rendah, dan proporsi tertinggi untuk kehamilan

remaja. Bagi banyak perempuan kulit putih, perempuan kulit hitam adalah korban

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

37

klasik dalam hal penindasan seks (Palmer, 1983: 153). Collins (2000: 54) menulis

pengakuan seorang perempuan kulit hitam.

Saya kehilangan posisi saya, karena saya menolak mengizinkan suami Nyonya saya mencium saya. Ketika suami saya datang kepada laki-laki yang telah melecehkan saya, dia mengumpat suami saya, dan menamparnya, lalu suami saya ditangkap dan diadili. Meskipun, perempuan ini telah memberikan kesaksian di pengadilan, suaminya tetap membayar denda $25 dan ketua majelis hakim berkata “Pengadilan ini tidak akan pernah memihak kesaksian seorang nigger yang melawan perintah laki-laki kulit putih”.

Pengalaman historis kolektif perempuan kulit hitam terkait opresi

menstimulasi pendirian definisi diri perempuan kulit hitam ini, dapat membantu

aktivisme perempuan kulit hitam (Collins, 2000: 30). Bagi perempuan Afro Amerika,

pengalaman yang diperoleh dari opresi ras, kelas, dan gender, telah memeberikan

stimulus pada mereka untuk mengangkat pengetahuan tentang teori sosial kritis

perempuan kulit hitam yang tidak pernah diindahkan (Collins, 2000 : 9).

Sebagai kelompok yang selalu teropresi, perempuan kulit hitam di Amerika

telah menciptakan gagasan sosial yang didesain untuk melawan opresi. Tujuan dari

gagasan kolektif perempuan kulit hitam sangat jelas berbeda dengan teori sosial yang

sudah ada. Teori sosial yang dimunculkan oleh separuh perempuan kulit hitam di

Amerika dan kelompok lain, selalu bertujuan untuk mendapatkan jalan bertahan dan

keluar dan/atau melawan ketidak adilan social, serta ekonomi yang mereka alami.

Teori sosial “kritis” ini berpegang pada komitmen akan keadilan baik untuk

perempuan kulit hitam di Amerika, maupun kelompok-kelompok lain yang sama

teropresi seperti mereka (Collins, 2000: 8-9).

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

38

Melihat kehidupan yang dialami oleh perempuan kulit putih, perempuan kulit

hitam kemudian mempertanyakan kontradiksi-kontradiksi antara ideologi dominan

perempuan kulit putih dan status devaluasi perempuan kulit hitam. Jika perempuan

diasumsikan pasif dan rapuh, lalu kenapa perempuan kulit hitam disebut

“bagal/mules” dan disuruh mengerjakan pekerjaan rumah yang berat? Jika ibu yang

baik adalah yang tinggal di rumah bersama anak-anak mereka, lalu kenapa

perempuan kulit hitam dipaksa untuk mencari pekerjaan dan meningalkan anak

mereka di penitipan anak? Jika prioritas tertinggi perempuan adalah menjadi ibu, lalu

kenapa perempuan kulit hitam yang menjadi ibu di usia muda ditekan untuk

menggunakan Norplant dan Depo Provera? (Collins, 2000 : 12)

Baik dalam kelompok ras kulit putih maupun kulit hitam, ada pengkotak-

kotakan lagi menurut kelas mereka, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas

pekerja pada hirarki terbawah. Antara perempuan kulit hitam middle class dan

working class mengalami jenis opresi yang berbeda karena mereka memiliki kelas

yang berbeda. Namun tetap saja, pekerja yang berasal dari ras kulit putih

mendapatkan keuntungan lebih dibanding kulit hitam. Dalam masing-masing kelas

ini, perempuan memiliki posisi di bawah laki-laki.

Sementara, segregasi rasial memisahkan Afro Amerika dari Amerika kulit

putih, relasi gender dalam masyarakat kulit hitam memisahkan laki-laki dan

perempuan. Ruang laki-laki adalah jalanan, rumah cukur, rumah biliar, sedangkan

ruang perempuan adalah rumah dan gereja. Selain itu, sebenarnya ada perbedaan

kelas di kalangan masyarakat kulit hitam, tetapi tertutupi oleh segregasi yang lebih

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

39

besar, yaitu segregasi rasial. Laki-laki kulit hitam bisa mendapatkan gaji yang tinggi,

tetapi pekerjaannya beresiko, sementara perempuan kulit hitam mendapatkan upah

yang lebih rendah, pekerjaan yang lebih banyak. Namun, karena laki-laki kulit hitam

berkompetisi langsung dengan laki-laki kulit putih, maka mereka lebih rentan di PHK

(Collins, 2000:55).

Meskipun kebanyakan perempuan kulit hitam menolak untuk diobjeksi

sebagai the Other, pengendalian image ini masih kuat pengaruhnya dalam relasi

perempuan kulit hitam dengan ras kulit putih, laki-laki kulit hitam, grup rasial/etnis

yang lain, dan sesama perempuan kulit hitam. Standar kecantikan yang berlaku

(terutama warna kulit, bentuk wajah, tekstur rambut) merupakan salah satu contoh

spesifik bagaimana kontrol image menghina diri perempuan kulit hitam. Perempuan

Afro Amerika mengalami penderitaan, karena tidak pernah mampu mencapai standar

kecantikan yang berlaku; standar yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan kulit

putih, laki-laki kulit hitam, dan yang paling menyedihkan sesama perempuan kulit

hitam juga demikian. Hal ini karena pengendakian image kontrol ini sifatnya

hegemonik dan taken for granted, sehingga pada hakekatnya tidak mungkin untuk

keluar darinya (Collins, 2000: 89-90).

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap,

kemudian diaplikasikan secara sistematis. Tahap pertama adalah proses pengumpulan

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

40

data. Setelah data selesai dikumpulkan, kemudian melangkah ke tahap ke dua yaitu

analisis data.

Adapun objek dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu objek

material dan objek formal. Objek material penelitian ini adalah novel Harry Potter,

sedangkan objek formalnya adalah konstruksi femininitas dan maskulinitas.

1. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

sekunder. Data primer diperoleh dari Novel Harry Potter yang sekaligus merupakan

objek material dari penelitian ini, sedangkan data sekunder diperoleh dari buku –

buku, artikel, jurnal, serta hasil penelitian relevan dengan permasalahan yang diteliti.

Data-data yang diambil, baik data primer maupun sekunder adalah yang berhubungan

dengan citra sihir serta witch dan wizard di masyarakat khususnya di Eropa, wacana

maskulinitas hegemonik, posisi laki-laki dan perempuan, hubungan keduanya dalam

relasi gender, serta pemosisian sentral dan periferi akibat persinggungan

gender/ras/kelas.

Dalam proses pengumpulan data ini, yang pertama kali dilakukan adalah

membaca novel Harry Potter secara keseluruhan, kemudian menentukan aspek apa

yang akan menjadi fokus kajian penelitian, dimana yang menjadi fokus kajian dalam

penelitian ini adalah hubungan antara sihir dan konstruksi masskulinitas femininitas.

Setelah itu, menentukan konsep teoretis apa yang akan digunakan untuk mendukung

analisis. Konsep teoretis dalam penelitian ini adalah konsep maskulinitas dan hirarki

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

41

gender R.W. Connell. Kemudian dilakukan pengelompokan narasi dan dialog-dialog

dalam teks Harry Potter yang didasarkan beberapa implikatur sebagai berikut:

a. Sihir sebagai penentu kekuasaan

Contohnya:

“…Dumbledore is particularly famous… for the discovery of twelve uses of dragon’s blood, and his work on alchemy with his partner, Nicolas Flamel” (HP Vol.1, 67).

(Dumbledore khususnya terkenal… karena penemuannya untuk dua belas kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakan bersama temannya, Nicolas Flamel).

b. Kesetaraan posisi dalam memaknai witch dan wizard

Contohnya:

The name of Grindelwald is justly famous: In a list of Most Dangerous Dark Wizards of All Time, he would miss out on the top spot only because You-Know-Who arrived, a generation later, to steal his crown… (HP Vol. 7, 355)

(Nama Grindelwald pantas terkenal dalam daftar Penyihir Hitam paling berbahaya sepanjang masa, dia terusir dari tempat pertamanya hanya karena kemunculan Voldemort, satu generasi kemudian untuk mencuri mahkotanya…).

c. Karakteristik maskulinitas hegemonik

Contohnya:

“That Harry Potter’s got more backbone than the whole Ministry of Magic put together!” (HP Vol. 6, 139).

(“Si Harry Potter itu punya keberanian lebih besar daripada seluruh Kementerian Sihir bersama-sama!”).

d. Perempuan sebagai individu yang cerdas, kuat dan mandiri

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

42

Contohnya:

Harry now saw red hair flying like flames in front of him: Ginny was locked in combat with the lumpy Death Eater,… (HP Vol. 5, 598).

(Harry sekarang melihat rambut merah berkibar seperti lidah api di depannya. Ginny sedang bertempur melawan si Pelahap Maut gendut,…).

e. Relasi laki-laki dan perempuan dalam hirarki gender

Contohnya:

Hermione let out a great sigh "Brilliant," said Hermione. "This isn't magic—it’s logic—a puzzle. A lot of the greatest wizards haven't got an ounce of logic, they'd be stuck in here forever.""But so will we, won't we?" "Of course not," said Hermione. "Give me a minute." Hermione read the paper several times. Then she walked up and down the line of bottles, muttering to herself and pointing at them. (HP Vol. 1, 231)

(Hermione mengembuskan napas lega “Brilian! Ini bukan sihir,” puji Hermione. “Ini bukan sihir—ini logika—teka-teki. Banyak penyihir besar yang tidak punya logika sama sekali, akan terkurung di sini selamanya.”“Kita juga begitu, kan?”“Tentu saja tidak,” kata Hermione. “Beri aku waktu sebentar.” Hermione membaca kertas itu beberapa kali. Kemudian dia berjalan mondar mandir di depan deretan botol, bergumam sendiri dan menunjuk-nunjuk botol itu).

f. Pemosisian sentral dan periferi yang dipengaruhi oleh persinggungan antara

gender dengan ras dan kelas.

Contohnya:

“…choked the elf. “Dobby has neverbeen asked to sit down by a wizard — like an equal—” (HP Vol. 2, 13)

(Si peri tersedak. “Belum pernah Dobby dipersilahkan duduk oleh seorang penyihir—seakan kita sederajat…”).

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

43

2. Klasifikasi Data

Pada tahap ini penulis mendaftar semua penggalan isi cerita dan dialog yang

menjadi korpus data, kemudian mengelompokkannya sesuai dengan poin-poin yang

menjadi pembahasan. Data yang diperoleh dikelompokkan ke dalam dua kelompok

besar. Yang pertama adalah pencitraan ulang sihir, wirch, dan wizard. Yang kedua

relasi antara konstruksi wacana maskulinitas dan femininitas. Dari dua kelompok

besar ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi enam kelompok yang lebih kecil

agar pembahasan dapat menjadi lebih spesifik. Keenam kelompok tersebut meliputi:

a. Pemosisian sihir sebagai penentu kekuasaan

b. Pemaknaan witch dan wizard sebagai dua hal yang setara

c. Rekonstruksi wacana maskulinitas hegemonik

d. Perempuan sebagai individu yang cerdas, kuat, dan mandiri

e. Relasi saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan

f. Pemosisian sentral dan periferi

3. Metode Analisis Data

Tahapan yang dilakukan dalam menganalisis data yang sudah dikumpulkan

adalah menganalisis sifat dan karakter para tokoh, interaksi antar tokoh, dan dinamika

lingkungan sosial yang dibangun pengarang dalam novel tersebut melalui dialog-

dialog, serta narasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Kemudian, hasil analisis itu

digunakan untuk menjabarkan hubungan antara sihir dan konstruksi maskulinitas

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

44

femininitas dalam novel dengan konsep-konsep dalam teori Connell sebagai

acuannya.

1.8 Sistematika Penyajian

Studi tentang wajah baru maskulinitas hegemonik dan witch (perempuan

tukang sihir) dalam novel Harry Potter ini disajikan dalam empat bab. Secara garis

besar penyajiannya terdiri dari bagian pendahuluan, pembahasan permasalahan

penelitian, dan kesimpulan. Secara lebih spesifik, akan dijelaskan sebagai berikut.

Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari poin-poin sebagai

berikut : 1). Latar Belakang, berisikan alasan yang mendasari penulis untuk

mengambil kajian tentang pembongkaran wacana maskulinitas hegemonik dan citra

witch dalam novel Harry Potter; 2). Rumusan Masalah, yaitu tentang permasalahan-

permasalahan yang akan dikaji dalam studi ini; 3). Tujuan Penelitian; 4). Manfaat

Penelitian; 5). Tinjauan Pustaka; 6). Landasan Teori; 7). Metode Penelitian.

Bab II merupakan pembahasan yang menjawab pertanyaan penelitian pertama

yang ada di rumusan masalah. Bab II dibagi menjadi dua sub poin yaitu; 1). Tentang

sihir yang ditempatkan sebagai penentu kekuasaan dalam novel Harry Potter. Narasi

ini menjelaskan tentang bagaimana Rowling mengubah makna dan posisi sihir. Sihir

yang tadinya merupakan simbol kelemahan dan keburukan yang melekat pada

perempuan diubah menjadi sesuatu yang bernada positif dan lekat dengan kekuasaan;

2). Witch dan Wizard yang dimaknai sebagai dua hal yang setara. Sub poin ini

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83800/potongan/S2-2015... · antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, ... yang membahas

45

menjelaskan bagaimana Rowling mengubah makna witch. Menunjukkan bahwa

Witch tidak selalu berarti perempuan yang menggunakan sihir untuk kejahatan.

Bab III merupakan pembahasan yang menjawab rumusan masalah kedua dan

ketiga. Bab ini dibagi menjadi empat sub poin; 1). Wajah baru maskulinitas

hegemonik. Bagian ini membahas karakteristik maskulinitas hegemonik dalam Novel

Harry Potter yang menentang ciri-ciri maskulinitas hegemonik yang kerap dijumpai

di masyarkat. Disini digambarkan sebagai seorang laki-laki, merupakan hal yang

wajar kalau seseorang menunjukkan sisi feminine; 2). Karakteristik perempuan yang

merupakan individu yang cerdas, kuat, mandiri, tetapi tetap tidak menghapus

femininitasnya; 3). Mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan, sehubungan

dengan karakteristik yang sudah dibahas pada sub poin 1 dan 2; 4). Membahas

hubungan sentral-periferi yang lebih kompleks dalam hirarki gender, sebagai akibat

persinggungan antara gender, ras, dan kelas.

Bab IV merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Berisi tentang

kesimpulan yang diperoleh dari kajian yang sudah dilakukan.