bab 1 pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau
Jawa. Salah satu daerah yang secara historis memiliki karakter khas dalam bidang
pertumbuhan sosial dan budaya. Banyuwangi juga sebagai tempat bertemunya
beragam budaya. Terdapat berbagai macam etnis di Banyuwangi yang tentunya
membawa budaya khasnya masing-masing. Masing-masing budaya tersebut
mempunyai ciri khas dan bentuk seni yang melatarbelakangi setiap lingkungan
masyarakatnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dalam seni di tiap daerah tetap
mempunyai pengaruh dan hubungan yang kuat antara satu dan lainnya.
Letak geografis Banyuwangi yang dekat dengan laut menjadikan semakin
mudahnya budaya luar masuk ke Banyuwangi, hal ini dikarenakan laut
merupakan salah satu akses jalannya informasi dari luar Banyuwangi masuk ke
Banyuwangi. Sehingga banyak etnis datang ke Banyuwangi terutama setelah
pembukaan berbagai macam perkebunan oleh Belanda yang menyebabkan
banyaknya orang luar masuk ke Banyuwangi sebagai pekerja perkebunan.
Penduduk Banyuwangi terdiri dari multi etnis yang mendiami daerah-daerah
berlainan dan membentuk kantong-kantong pemukiman. Seperti komunitas Using
yang berada di daerah utara berdekatan dengan kota Banyuwangi, etnis Jawa yang
bermukim di daerah selatan, serta etnis Madura yang bermukim di area
perkebunan dan dekat pantai. Selain itu juga terdapat etnis Bugis, Bali, Cina dan
2
Arab. Dilihat dari sejarahnya, jumlah penduduk Banyuwangi (yang pada waktu itu
masih bernama Blambangan) setelah jatuhnya Bayu pada tahun 1772 tidak lebih
dari 3.000 orang atau sekitar 8,3 persen dari jumlah penduduk sebelum
kedatangan Belanda di Blambangan.1
Kedatangan Belanda ke Ujung Timur Jawa diawali oleh ketidakmerataan
populasi penduduk di pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang
padat di daerah Jawa bagian barat sementara di daerah Jawa bagian timur jumlah
penduduknya sangat sedikit. Penyebaran penduduk yang tidak merata tersebut
salah satunya disebabkan oleh sikap Belanda yang tidak ramah sehingga sering
mendapat perlawanan dari penduduk setempat. Kemudian muncullah gagasan
untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu
Blambangan yang pada abad 18 merupakan wilayah kekuasaan Mataram. Belanda
tidak dengan mudah menguasai daerah timur Jawa, karena pada pertengahan abad
18 Inggris juga mulai melirik kawasan timur Jawa dalam rangka ingin mencari
komoditas bagi perdagangan Inggris.2
1Sri Margana, Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni
Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012), hlm. 229. Sisa penduduk Bayu
inilah yang kemudian di klaim sebagai penduduk asli Banyuwangi yang sering
disebut sebagai orang Using. Wong Using dianggap sebagai penghuni asli
(indigeneous people) di wilayah Banyuwangi yang dulu dikenal dengan nama
kerajaan Blambangan (Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (United
Kingdom: Cambridge University Press, 1999), hlm. 16-17). Beatty mengatakan
bahwa orang Using adalah keturunan sisa-sisa penduduk tahun 1768 atau sesudah
berakhirnya perang Puputan Bayu. Untuk lebih jelas mengenai asal penggunaan
kata Blambangan lihat Sri Margana hlm. 24.
2Thomas Stamford Raffles, History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008),
hlm. 40; Sri Margana, op. cit., hlm. 2.
3
Sebagai wilayah yang dihuni oleh berbagai etnis, Banyuwangi sangat kaya
akan potensi seni dan budaya serta adat istiadatnya. Hampir semua etnis yang
tinggal di Banyuwangi sangat peduli terhadap budayanya. Menurut
Koentjaraningrat kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur yang
membentuk kebudayaan.3 Kesenian sebagai hasil dari kebudayaan manusia
mempunyai nilai penting dalam kehidupan dan perkembangan umat manusia. Hal
ini karena seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dan
sering dikaitkan dengan keindahan (estetika). Unsur keindahan itu dapat
diwujudkan dalam karya-karya seni atau budaya, baik yang tradisional maupun
yang modern. Seperti seni tari, seni sastra, seni lukis, seni patung, seni musik, dan
seni drama.
Dalam rangkaian perjalanan sejarah Banyuwangi telah mengalami beragam
perkembangan sosial budaya. Seni sebagai salah satu unsur dari kebudayaan juga
tidak luput dari perkembangan. Seni pertunjukan Banyuwangi memiliki corak
atau ragam yang dapat digolongkan menjadi 3 kelompok: (1) Kelompok seni
pertunjukan daerah Banyuwangi. Mencakup semua jenis pertunjukan dan tradisi
3Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru,
1980), hlm., 287. Tujuh unsur yang membentuk kebudayaan menurut
Koentjaraningrat adalah (1) Bahasa, merupakan alat atau perwujudan budaya yang
digunakan manusia untuk saling berkomunikasi baik melalui tulisan, lisan ataupun
gerakan (isyarat); (2) Sistempengetahuan, secara sederhana pengetahuan adalah
segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan dan harapan-
harapan; (3) Sistem organisasi kemasyarakatan, merupakan budaya manusia
dalam menciptakan dan menata sistem kelembagaan; (4) Sistem peralatan hidup
dan teknologi, menyangkut teknik produksi dan reproduksi, memakai serta
memelihara segala peralatan dan perlengkapan; (5) Sistem mata pencaharian yang
berhubungan dengan bagaimana cara manusia mengelola sumber daya alam dan
sumber daya lainnya untuk mempertahankan hidup; (6) Sistem religi atau ritual
keagamaan; (7) Kesenian, merupakan satu unsur budaya yang mengacu pada nilai
keindahan (estetika).
4
yang secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi dan tetap
mewarisi nilai dan norma-norma atau adat setempat contoh: Hadrah, Kuntulan,
Angklung, Jaranan Buto, Barong, Gandrung (2) Kelompok seni pertunjukan
daerah non-daerah Banyuwangi yaitu kesenian yang berasal dari daerah lain,
dibawa dan dikembangkan oleh para imigran yang datang ke Banyuwangi.
Contoh: Wayang dan Ludruk (3) Kelompok seni pertunjukan nasional yaitu
kesenian yang secara idiomatis tidak berpijak atau berorientasi pada nilai-nilai
kedaerahan tetapi bersifat nasional misalnya orkes band.4
Walaupun komposisi masyarakat Banyuwangi plural, namun kenyataannya
Banyuwangi sering diidentifkasi sebagai Using. Sehingga identitas Using melekat
begitu orang menyebut nama Banyuwangi. Sebenarnya Using sendiri dapat dilihat
dari pengguna tutur dialek Using dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa jumlah komunitas Using merupakan
jumlah terbanyak dari seluruh penduduk Banyuwangi.5 Masyarakat luar lebih
mengenal kesenian Using adalah kesenian Banyuwangi, padahal di Banyuwangi
juga terdapat berbagai macam etnis yang membawa budayanya masing-masing.
Selain itu Banyuwangi merupakan tempat pemberian stigma. Setiap mendengar
4Peni Puspito, “Damarwulan Seni Pertunjukan Rakyat di Kabupaten
Banyuwangi Jawa Timur akhir abad 20” (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 1998),
hlm. 3.
5Dari penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti menyebutkan bahwa
jumlah penutur Using menempati posisi teratas dari jumlah total penduduk
Banyuwangi. Suhalik, Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi.
(Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2009), hlm. 46; Arcana, P.F dan
Suwarna, B. “Hasnan Singadimayan Yang Asing Jadi Using”, Kompas. 5 Mei
2013; Hasan Ali, “Masa Depan Bahasa Using di Banyuwangi dalam Pesatnya
Perkembangan Kehidupan Masyarakat dan Bahasa Indonesia”, Laporan
Penelitian (Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan, 1990).
5
kata “Banyuwangi” masyarakat luar selalu menganggap bahwa Banyuwangi
adalah tempat pemberontakan, perselingkuhan, komunis, kekerasan dan santet.
Stigma tersebut semakin kuat melekat seiring dengan perjalanan sejarah
Banyuwangi yang diwarnai dengan peristiwa-peristiwa kekerasan, seperti
peristiwa Karangasem, Cemethuk, peristiwa pembantaian dukun santet pada tahun
1998 bahkan karena tradisi lisan Banyuwangi berupa mantra-mantra masih sangat
kuat, Banyuwangi juga mendapat julukan sebagai “Gudang Dukun”. Tidak hanya
itu dalam bidang seni pun stigma juga melekat pada kesenian Banyuwangi seperti
kesenian Damarwulan dengan tokoh Minakjinggo yang antagonis, kesenian
Gandrung yang identik dengan perempuan “nakal” serta musik lokal Banyuwangi
yang dinilai kiri6.
Stigmatisasi terhadap masyarakat Banyuwangi berkembang melalui
kesenian dapat dilihat dari tiga jenis kesenian yaitu Damarwulan, Gandrung dan
musik lokal Banyuwangi. Damarwulan adalah kesenian berbentuk drama yang
menstigmakan masyarakat Banyuwangi sebagai pemberontak yang digambarkan
melalui tokoh Minakjinggo. Penggambaran tokoh Minakjinggo ini sangat jelas
sebagai bentuk stigmatisasi terhadap masyarakat Banyuwangi. Sedangkan
Gandrung sebagai tari tradisi Banyuwangi distigmakan dengan tarian erotis, tarian
yang digunakan untuk menggoda laki-laki sehingga secara umum perempuan
Banyuwangi distigmakan sebagai perempuan “nakal”. Banyaknya seniman musik
Banyuwangi yang tergabung dalam organisasi Lekra menimbulkan stigma bahwa
aliran musik yang diusung oleh para seniman Banyuwangi adalah aliran musik
6Musik kiri diartikan sebagai aliran musik dengan tema lagu-lagu yang
diciptakan oleh seniman mengandung unsur komunis.
6
kiri. Stigmasi terhadap tiga jenis seni pertunjukan ini tidak terjadi secara
bersamaan. Stigmatisasi terhadap Damarwulan terjadi ketika cerita tentang
Damarwulan-Minakjinggo populer di Banyuwangi pada tahun 1930-an. Gandrung
terstigma terkait dengan banyaknya kasus yang menimpa perempuan Banyuwangi
seperti kawin cerai dan maraknya prostitusi. Musik lokal Banyuwangi ketika para
seniman musik Banyuwangi bersentuhan dengan organisasi Lekra pada tahun
1960-an.
Pada tahun 1960-an Lekra7 berperan penting dalam mengembangkan
kesenian di Banyuwangi. Lekra sebagai lembaga kesenian PKI berusaha
membangkitkan kesenian-kesenian daerah agar tetap bertahan dari gempuran
budaya global yang dibawa oleh kaum imperialis. Oleh karena itu Lekra mencoba
menjadi penggerak bagi seni-seni budaya di berbagai daerah.8 Begitu pula dengan
kesenian Banyuwangi, seni Banyuwangi mulai bersinggungan dengan Lekra,
berawal dari lagu Genjer-genjer karya seorang seniman Banyuwangi Muhammad
7Lekra adalah organisasi bentukan PKI yang bernuansa kerakyatan. Lekra
banyak mengangkat kesenian kaum tani dan wong cilik yang merepresentasikan
kesenjangan sosial. Lekra terkenal dengan konsep dasar yaitu “seni untuk rakyat
dan politik adalah panglima”. Seni untuk rakyat mengandaikan perkembangan
seni untuk membela kaum buruh tani yang digambarkan tertindas oleh kaum
borjuis-kapitalis. Sementara politik adalah panglima berarti bahwa sebuah karya
dan perkembangan seni pasti mengabdi pada kepentingan politik demi membela
kaum buruh dan kaum tani. Ayu Sutarto menjelaskan bahwa pada masa demokrasi
terpimpin PKI benar-benar menguasai kesenian rakyat. Berbagai jenis seni tradisi
dihimpun dan digunakan sebagai alat propagnda politik. Ayu Sutarto, Menguak
Pergumulan Seni, Politik, Islam dan Indonesia (Jember: Kompaswidya
bekerjasama dengan Propinsi Jawa Timur, 2004), hlm. 149.
8Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar
Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (Yogyakarta:
Merakesumba, 2008), hlm. 337.
7
Arif9 yang kemudian menjadi lagu yang dikenal oleh seluruh masyarakat dan di
klaim sebagai lagu PKI yang kemudian dipopulerkan oleh Bing Slamet. Alat
musik yang digunakan Muhammad Arif untuk mengiringi lagunya adalah
angklung. Arif mulai meng-arrangement lagu-lagu dan memberikan notasi pada
angklung serta mengorganisir lagu-lagu Banyuwangi sehingga terciptalah lagu
Genjer-genjer pada tahun 1943 (pada masa pendudukan Jepang)10
sebagai
ungkapan penderitaan rakyat atas pendudukan Jepang.
Dominasi kultural Using di Banyuwangi memunculkan isu perpecahan
dalam masyarakat Banyuwangi yaitu pemekaran wilayah dengan Genteng sebagai
ibukota etnis Jawa (Mataraman) dan Wongsorejo sebagai ibukota bagi etnis
Madura di Banyuwangi. Hal ini sangat menarik perhatian penulis. Banyuwangi
sebagai sebuah entitas yang terbentuk pada awal abad 20 dengan berbagai
9Seorang anggota “Sri Muda” kelompok kesenian angklung Banyuwangi
yang merupakan anak cabang Lekra. Nama Mohammad Arif kemudian terkenal
setelah menciptakan lagu Genjer-genjer yang diklaim sebagai lagu PKI.
10
Wawancara dengan Suhalik, (53 tahun) sejarawan lokal Banyuwangi pada
tanggal 1 April 2013 pukul 14.55 WIB di Perum Permata Giri Blok DE No.9.
Pada tahun 1965-1974 kesenian Banyuwangi vacuum dikarenakan pada saat itu
terjadi huru-hara PKI dan semua yang berhubungan dengan seni dihubungkan
dengan Lekra dan PKI. Sehingga para seniman Banyuwangi lebih baik mencari
aman dengan cara vacuum berkesenian. Kemudian setelah suasana politik
mendukung untuk dibangkitkannya kembali kesenian Banyuwangi, maka tokoh-
tokoh seperti Armaya, Hasan Ali, Fatkhurrahman Abu Ali, Pranoto
menghidupkan kembali kesenian Banyuwangi yang mati suri tersebut yang
ditandai dengan rekaman pertama lagu-lagu Banyuwangi. Karena takut dengan
cap “merah” maka musik tersebut dibuat dengan nuansa islami. Musik
Banyuwangi Kendang Kempul digagas oleh para tokoh diantaranya adalah
Wiroso, Suroso, Sutrisno dan Hawadin yang kemudian Kendang Kempul tersebut
dikenal dengan musik dangdut Banyuwangenan. Usaha ini didukung oleh Bupati
Banyuwangi pada saat itu yaitu Djoko Supaat Slamet. Dalam bidang teater
muncullah teater “Drama Melayu”. Kemudian pada tahun 1980-an muncullah
generasi Seperti Sumiyati, Yuliatin dan Cahyono yang membawakan lagu-lagu
Kendang Kempulan.
8
kompleksitas, mulai dari politik hingga seni budaya ingin membangun
Banyuwangi, memperkenalkan Banyuwangi di mata dunia luar dengan
identitasnya sendiri.
Dalam masyarakat yang plural identitas sangat diperlukan untuk
meneguhkan keberadaan dirinya. Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh
seseorang, kelompok, lembaga atau bangsa. Dengan adanya ciri-ciri yang berbeda
itu maka akan muncul kekhasan serta keunikan tersendiri sehingga akan mampu
memberikan kebanggaan bagi pemiliknya. Salah satu peluang untuk menyatakan
identitas diri ini adalah melalui seni. Seni dianggap potensial karena mampu
mengekpresikan identitas diri kelompok secara alamiah. Melalui seni simbol
budaya, mitos dan keyakinan dari suatu kelompok dapat dinyatakan secara efektif
dan otentik. Seni sebagai pemberi identitas mempunyai maksud bahwa melalui
kekayaan seni yang ada di Banyuwangi mampu menunjukkan jati diri
Banyuwangi di tingkat nasional maupun global. Sebagai ekspresi dari masyarakat
pendukungnya, kesenian mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tidak
ternilai harganya. Oleh sebab itulah penelitian ini dibuat untuk mengetahui
identitas baru yang dibentuk oleh masyarakat Banyuwangi dengan cara melawan
stigma terhadap masyarakat Banyuwangi melalui tiga jenis seni pertunjukan yaitu
Damarwulan, Gandrung dan musik lokal Banyuwangi.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
Bertolak dari fakta sosial dan kultural serta demografis dan etnis masyarakat
Banyuwangi dikategorikan sebagai masyarakat plural. Salah satu persoalan pokok
9
yang dihadapi masyarakat yang plural adalah merumuskan identitas bersama yang
dapat diterima oleh semua kalangan. Di Banyuwangi, pergumulan mencari
identitas budaya memiliki elemen sosial politik dan sejarah yang panjang. Faktor
sejarah telah menempatkan posisi masyarakat Banyuwangi menjadi sasaran
stigmatisasi budaya dan politik. Perjuangan membangun identitas budaya di
Banyuwangi tidak sekedar sebuah pencarian tetapi juga perlawanan terhadap
stigmatisasi itu. Kesenian Banyuwangi menjadi elemen penting dari struktur dan
bangunan identitas sekaligus sebagai alat dalam membangun identitas itu sendiri.
Dalam proses inilah terjadi persinggungan antara kesenian (budaya) dan politik.
Permasalahan pokok studi ini adalah tentang perjuangan membangun identitas
budaya oleh masyarakat Banyuwangi melalui kesenian dari masa kolonial hingga
pasca kolonial. Pemilihan sub tema seni yang diwakili oleh Damarwulan,
Gandrung dan musik lokal Banyuwangi berdasar pada pemberian stigma pada
masing-masing kesenian itu.
Dalam penelitian ini hipotesis yang dapat dikemukakan pertama, telah
terjadi stigmatisasi di Banyuwangi melalui seni. Stigmatisasi seni tersebut
terbentuk melalui tiga jenis kesenian yang dijadikan sumber stigma, yaitu seni
Damarwulan, seni Gandrung dan musik lokal Banyuwangi. Kedua, muncul
kesadaran terhadap stigmatisasi yang disebabkan oleh situsi politik, sosial dan
budaya. Kesadaran tersebut memunculkan gerakan anti stigma. Gerakan ini
merevisi bentuk, makna dan berbagai tahap dalam tiga kesenian yang tersebut
diatas. Ketiga, adanya upaya untuk keluar dari stigmatisasi terhadap kesenian di
Banyuwangi yaitu dengan cara merumuskan identitas baru.
10
Dari hipotesis diatas maka muncul pertanyaan pokok yaitu mengapa
masyarakat Banyuwangi memerlukan identitas baru? Jika pertanyaan tersebut
dirinci maka akan memunculkan tiga pertanyaan inti, pertama bagaimana
munculnya stigma terhadap kesenian di Banyuwangi? Kedua, bagaimana
munculnya kesadaran dan gerakan melawan stigma terhadap kesenian di
Banyuwangi? Ketiga, bagaimana upaya masyarakat Banyuwangi dalam
merumuskan identitas baru?
Lingkup temporal penelitian ini adalah mulai tahun 1930-an sampai tahun
2008. Tahun 1930-an dijadikan batas awal penelitian karena pada tahun tersebut
grup-grup kesenian Damarwulan mulai muncul di daerah Banyuwangi. Tahun
2008 dijadikan batas akhir penelitian karena pada tahun 2008 musik lokal
Banyuwangi mengalami “mati suri” di mana musik lokal Banyuwangi sudah
berkiblat pada pasar, bukan lagi mengikuti pakem yang ada.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Fokus kajian dalam penulisan tesis ini adalah pada tiga bentuk kesenian
terpopuler di Banyuwangi yaitu Damarwulan, Gandrung dan musik lokal daerah
Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan, pertama untuk menjelaskan munculnya
stigma yang melekat pada kesenian di Banyuwangi. Kedua, untuk mengetahui
munculnya kesadaran terhadap stigma serta gerakan anti stigma yang dilakukan
oleh masyarakat Banyuwangi. Ketiga, untuk mengetahui upaya yang dilakukan
masyarakat Banyuwangi dalam mencari identitas baru.
11
Berdasarkan tujuan diatas penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat terhadap penggalian penulisan sejarah lokal, terutama pada masa
kontemporer. Sugeng Priyadi11
menjelaskan sumbangan sejarah lokal yang
terpenting adalah Sejarah Nasional Indonesia yang berwawasan kebudayaan yang
multi etnik. Selain itu juga memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang
khazanah seni budaya bangsa.
D. Tinjauan Pustaka
Minimnya penelitian tentang sejarah Banyuwangi menyebabkan penulis
tertarik untuk mengkaji tentang Banyuwangi secara keseluruhan. Dalam tinjauan
pustaka ini penulis mencoba mengemukakan penelitian yang sejenis dengan apa
yang penulis teliti baik itu dari penelitian tentang Banyuwangi sendiri ataupun
tentang daerah lain yang mempunyai tema yang sejenis berupa buku, laporan
penelitian, jurnal maupun artikel dan karya ilmiah lainnya. Referensi yang akan
dijadikan rujukan oleh peneliti diantaranya adalah Sri Margana dalam bukunya
yang berjudul Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni
Blambangan,12
Sri Margana menguraikan minimnya penelitian tentang peran
Blambangan dalam mengontrol Ujung Timur Jawa. Dalam buku tersebut Sri
Margana mengupas sejarah Blambangan dimulai dengan hubungan Blambangan
dengan Mataram dan Mengwi, kedatangan VOC, perlawanan rakyat Blambangan
11
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal Konsep, Metode dan Tantangannya
(Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 44.
12
Sri Margana, Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni
Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012)
12
terhadap VOC sampai terbentuknya daerah dengan nama Banyuwangi. Walaupun
dalam buku ini tidak menjelaskan mengenai seni dan budaya Banyuwangi namun
penulis mendapatkan informasi yang sangat banyak mengenai awal mula
terbentuknya Banyuwangi sehingga bisa dijadikan rujukan dalam penelitian ini.
Rujukan lain adalah Suhalik dalam bukunya yang berjudul Mengenal
Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi,13
dalam buku tersebut dijelaskan mulai
dari sejarah Kerajaan Blambangan, terbentuknya Banyuwangi, potensi budaya
yang ada di Banyuwangi, perkembangan keseniannya sampai makanan khas
Banyuwangi. Buku ini ditulis dengan tujuan untuk dijadikan buku pedoman bagi
siswa sekolah menengah dalam pembelajaran muatan lokal. Hal ini dapat dilihat
dari adanya Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta evaluasi (diskusi
kelompok) pada tiap akhir bab. Walaupun sebagai buku pedoman pengajaran,
namun buku ini memberikan banyak informasi kepada penulis tentang seni yang
ada di Banyuwangi mulai dari seni musik, tari dan teater. Selain itu artikel Suhalik
yang berjudul Sejarah Masuknya Agama Islam dan Multikultural Banyuwangi14
menjelaskan tentang sejarah masuknya agama Islam di Blambangan yang berawal
dari perkawinan cucu penguasa Blambangan Prabu Menak Sembuyu (Menak
Dedali Putih), yaitu Putri Sekardadu dengan Syeh Maulana Ishak atau Syeh Wali
Lanang. Dari situlah kemudian Islam berkembang di bumi Blambangan. Tentang
multikultural Banyuwangi, Suhalik menyebutkan bahwa Banyuwangi sebagai
13
Suhalik, Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi (Banyuwangi:
Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2009)
14
Suhalik, “Sejarah Masuknya Agama Islam dan Multikultural
Banyuwangi”. Lembar Kebudayaan. Edisi 20 (2011), hlm. 11.
13
tempat berseminya diaspora beberapa kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia.
Suhalik juga menjelaskan bahwa keanekaragaman tersebut selain menjadi faktor
daya tarik juga merupakan kelemahan pembangunan Banyuwangi. Karya Suhalik
ini memberikan gambaran yang sangat banyak terhadap sejarah Banyuwangi.
Sementara itu artikel Wolbers yang berjudul Gandrung and Angklung From
Banyuwangj; Remnants of a Past Shared With Bali15
mengulas dua genre tradisi
Banyuwangi yaitu Gandrung dan Angklung. Dua genre tersebut merupakan
perpaduan antara tradisi Banyuwangi dengan tradisi Bali pada masa lalu.
Tesis Rhiza Eka Purwanto yang berjudul Politik Representasi Penari
Gandrung Sebagai Maskot Kabupaten Banyuwangi16
antara lain menjelaskan
mengenai politik identitas yang dijalankan pada masa Bupati Samsul Hadi dengan
membawa jargon “Banyuwangi Jenggirat Tangi”. Kebijakan Banyuwangi
Jenggirat Tangi yang diusung Samsul Hadi dinilai Usingisasi di segala aspek
kehidupan masyarakat Banyuwangi terutama bagi penari Gandrung untuk tetap
meneguhkan eksistensi mereka.
15
Paul Arthur Wolbers, “Gandrung and Angklung From Banyuwangj;
Remnants of a Past Shared With Bali”. Asian Music. Volume 18 Nomor 1, 1986.
http://www.jstor.org/stable/3351210. [diunduh pada tanggal 17 April 2013]
16
Rhiza Eka Purwanto, “Politik Representasi Penari Gandrung Sebagai
Maskot Kabupaten Banyuwangi”. (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 2012).
Program Jenggirat Tangi ditetapkan sesuai SK Bupati No. 371 tahun 2002.
Bentuk realisasi program Jenggirat Tangi Samsul Hadi antara lain penetapan
Gandrung sebagai maskot pariwisata, pemancangan patung-patung Gandrung,
pendirian akademi Gandrung, penerbitan Kamus Bahasa Using, penggunaan
bahasa Using pada Hari Jadi Banyuwangi, pekan berbusana Using dan
diajarkannya bahasa Using sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah. Program
tersebut dipandang tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan kehidupan
sosial masyarakat Banyuwangi. Dengan alasan bahwa etnis yang bertempat
tinggal di Banyuwangi bukan hanya masyarakat Using saja.
14
Tesis Bambang Soeyono juga menjelaskan tentang Gandrung sebagai
identitas budaya, Gandrung Banyuwangi Sebagai Identitas Budaya Masyarakat
Using di Jawa Timur17
tesis ini menjelaskan tentang awal mula munculnya
Gandrung dan segala perubahannya, fungsi Gandrung, bentuk sajian, nilai dan
estetika Gandrung, bahkan sampai Gandrung yang menjadi pilihan profesi bagi
wanita-wanita muda di Banyuwangi. Eksistensi penari Gandrung dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat Using, latar belakang perjalanan penari
Gandrung serta arti Gandrung bagi masyarakat Using, hingga menjadi identitas
budaya. Pertunjukan Gandrung mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah kemudian berupaya memelihara membina dan
mengembangkan demi kepentingan generasi penerus.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas, belum ada penelitian yang
mengungkapkan stigmatisasi terhadap masyarakat Banyuwangi dalam segala
bidang kehidupan terutama dalam bidang seni. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang sudah ada adalah mengungkapkan bagaimana sebuah identitas
baru Banyuwangi terbentuk melalui stigma yang selama ini melekat pada
kesenian di Banyuwangi khususnya Damarwulan, Gandrung dan musik lokal
Banyuwangi.
E. Kerangka Konseptual
Penelitian ini mengungkapkan beberapa konsep yang akan mempertegas
pemahaman permasalahan pokok studi ini. Konsep pertama adalah seni dan yang
17
Bambang Soeyono, “Gandrung Banyuwangi Sebagai Identitas Budaya
Masyarakat Using di Jawa Timur” (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 1998).
15
kedua adalah stigma serta ketiga adalah identitas. Fokus kajian penulis adalah seni
pertunjukan di Banyuwangi yang dispesifikkan lagi berupa seni drama, seni tari
dan seni musik. Seni pertunjukan diambil beberapa contoh yaitu seni drama
dengan kesenian Damarwulan, seni tari yaitu kesenian Gandrung, seni musik
yaitu musik lokal Banyuwangi.
Seni pertunjukan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia
yang sebagaian besar berasal dari tradisi pertunjukan tradisional yang terdapat
pada berbagai etnis yang ada di Indonesia. Istilah seni pertunjukan dapat diartikan
sebagai “tontonan” yang bernilai seni, seperti drama, tari dan musik yang
disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Seni pertunjukan bermula dari
tradisi pertunjukan yang biasanya didapati dari kerajaan atau dari etnis tertentu
yang dalam perkembangannya diubah menjadi seni pertunjukan yang
dipertontonkan untuk masyarakat umum.18
Edi Sedyawati menambahkan bahwa
seni pertunjukan Indonesia berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh
dalam lingkungan etnik yang berbeda-beda satu sama lain. Peristiwa ke-adatan
merupakan landasan yang utama pelaksanaan seni pertunjukan. Dalam lingkungan
etnik di Indonesia kesenian dapat berfungsi sebagai pemanggil kekuatan gaib,
perlengkapan upacara dan perwujudan dari pengungkapan keindahan.19
18
Dewi Handayani, “Perubahan Seni Pertunjukan Indonesia”. Laporan
Penelitian. (Medan: Universitas Sumatra Utara, 2007), hlm. 2.
19
Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan,
1981), hlm. 12.
16
Seni pertunjukan selama perjalanan sejarah memperlihatkan keragaman
fungsi yang disandangnya. Beragam fungsi ini oleh R.M. Soedarsono20
dikelompokkan ke dalam tiga, yaitu (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai hiburan
pribadi, dan (3) sebagai presentasi estetis. Pemilahan ke dalam tiga wilayah ini
berdasarkan kepentingan pengamat atau penontonnya. Ketiga wilayah yang
dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih.
Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga
menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk
hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya wujudnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,21
identitas diartikan sebagai “ciri”
atau “keadaan khusus” seseorang atau suatu benda. Identitas juga diartikan
sebagai jati diri. Jati diri dalam pandangan Soehardi22
dimaknai sebagai suatu
aspek kepribadian berupa penglihatan seseorang terhadap identitas dan ciri-
cirinya. Artinya jati diri memiliki konstruksi yang jelas dan dapat diidentifikasi
dari berbagai ciri yang melekat pada benda atau orang dalam sebuah entitas.
Menurut Chris Barker Identitas bukan suatu hal paten yang kita miliki,
tetapi suatu proses “menjadi”.23
Sementara itu Giddens dalam Barker24
20
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002), hlm. 123.
21
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
keempat, (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 567.
22
Soehardi, “Jati Diri Semar, Konteks Pakeliran dan Kosmologi Jawa”.
Bulletin Antropologi. Edisi 11 Nomor 20 (1996), hlm. 11-24.
23
Chris Barker, Cultural Studies. Terjemahan Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2006), hlm. 175.
17
menjelaskan identitas merupakan salah satu cara berpikir tentang diri kita yang
berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktu. Identitas
mencakup siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri dan
bagaimana penilaian orang lain terhadap diri kita. Sehingga Giddens menyebut
identitas sebagai “proyek”. Hall seperti dikutip Barker juga mengatakan bahwa
identitas tidak membangun dirinya sendiri melainkan aspek yang terbangun
melalui proses akulturasi.25
Sementara itu Madan Sarup menjelaskan bahwa identitas tidak hanya
berdasar pada apa yang melekat pada diri seseorang melainkan identitas itu
muncul bersamaan dengan interaksinya dengan yang lain.26
Douglas Kellner
identitas merupakan penegasan esensi bawaan yang menentukan “siapa saya”,
sementara bagi yang lain, identitas merupakan sebuah konstruksi dan kreasi dari
berbagai peran sosial.27
Sebagai masyarakat yang plural, Banyuwangi memerlukan identitas untuk
meneguhkan keberadaannya. Tentunya identitas tersebut tidak memihak pada
salah satu elemen dalam pluralitas di Banyuwangi. Sehingga identitas ini benar-
benar menjadi ciri khas Banyuwangi.
24
Chris Barker, Cultural Studies. Terjemahan Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2006), hlm. 202.
25
Ibid., hlm. 177.
26
Madan Sarup, Identity, Culture and Posmodern World (Edinburgh:
Edinburgh University Pres, 2002), hlm. 14.
27
Douglas Kellner, Budaya Media Teori dan Praktek (Yogyakarta: Jalasutra,
2010), hlm. 317.
18
Studi tentang stigma dan perkembangan teori stigma dimulai pada awal
tahun 1900-an. Konsep stigma pada awalnya digunakan dalam bidang kesehatan
terutama kesehatan yang menyangkut psikis pasien. Seperti stigma yang diberikan
kepada penderita AIDS, Skizofernia, Kusta dan penyakit-penyakit yang dianggap
menjijikkan. Istilah stigma berasal dari bahasa Yunani yaitu “stizein” yang berarti
tato atau tanda, sebuah tanda pembeda dengan cara membakar atau menyayat
masuk ke dalam tubuh para budak atau penjahat yang dilakukan oleh orang
Yunani kuno. Sehingga orang akan mengetahui mereka adalah orang-orang yang
kurang dihargai di masyarakat.28
Menurut Goffman seperti dikutip Dovidio29
mengatakan bahwa stigma digambarkan sebagai sinyal atau tanda yang
menamakan pembawanya sebagai “sesuatu yang merusak atau kotor”, sehingga
menjadi kurang bernilai dibandingkan orang normal. Orang yang distigma
dianggap sebagai orang yang cacat, membahayakan dan rendah dari manusia yang
lain.
Menurut Goffman yang dikutip Yang30
memformulasikan stigma sebagai
sebuah atribut yang sangat mendiskreditkan dan tujuan dari menstigmatisasi
seseorang adalah untuk merendahkan orang tersebut dari manusia yang utuh dan
28
Arboleda-Fl‟orez dalam R. Budi Sarwono, “Dinamika Psikologis Pasien
Psikosis Fase Awal dalam Proses Re-Integrasi Dengan Masyarakat dalam konteks
Budaya Jawa” (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 2013), hlm. 38.
29
J.F Dovidio, B. Major, dan J. Crocker, “Stigma: Introduction and
overview”, dalam Heatherton (eds). The Psychology of Stigma (New York:
GuifordPress, 2003), hlm. 1-28.
30
L.S Yang, A Kleinman, B.G Link, J.C Phelan, S. Lee, and B. Good.
“Culture and Stigma: Adding Moral experience to stigma theory”, Social Science
and Medicine, 64 (2006), hlm. 1524-1535.
19
berguna menjadi seseorang yang ternoda dan tidak diperhitungkan. Menurut
Goffman proses pembentukan stigma dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Stigma
merupakan suatu relasi khusus antara atribut dan stereotip. Stigma muncul sebagai
ketidaksesuaian antara identitas virtual sosial dan identitas aktual sosial atau
dengan kata lain perbedaan antara identitas sosial oleh masyarakat dan identitas
diri individu sesungguhnya.
Stigma merupakan situasi yang mengancam. Stigma menempatkan
seseorang/kelompok dalam suatu situasi sosial yang mempengaruhi cara
seseorang diperlakukan. Stigma cenderung membuat seseorang/kelompok
menghasilkan keluaran yang buruk yang mengancam harga diri, prestasi
akademis, kesehatan fisik dan mental individu tersebut. Stigma disebut sebagai
usaha-usaha yang menerapkan stereotip, prasangka (reaksi emosional negatif) dan
perilaku negatif (diskriminatif).31
Menurt Goffman stigma sosial adalah celaan terhadap karakteristik atau
kepercayaan seseorang yang dianggap melawan norma kultural. Goffman
menjelaskan stigma terbentuk dari tiga hal yaitu: pertama, perubahan luar yang
terjadi pada seseorang. Kedua, penyimpangan sifat dalam kehidupan sosial.
Ketiga adalah stigma terhadap suku, etnik, kewarganegaraan atau agama tertentu
yang dianggap menyimpang.32
Hal ini dapat diartikan bahwa suku, etnik dan
31
Major dalam Corriaty Mahdalena Sirait, “Persepsi Stigma dan Dukungan
Sosial Dikaitkan Dengan Perilku Pencegahan Penularan Penyakit „Herpes‟ di desa
Giripurwo kecamatan Purwosari kabupaten Gunungkidul” (Tesis. Universitas
Gadjah Mada, 2013), hlm. 19-20.
32
Erving Goffman, Stigma: Notes on Management of Spoiled Identity
(London: Pinguin Group, 1963), hlm. 64.
20
kepercayaan yang dimaksud hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan
dirinya. Kelompok diluar mereka menganggap apa yang dilakukannya
menyimpang.
Proses stigma bergantung pada kehidupan sosial, ekonomi dan kekuatan
politik untuk mendiskriminasi seseorang atau kelompok.33
Kutipan berikut
menjelaskan bahwa stigmatisasi itu memang digunakan untuk membedakan
dirinya dan orang yang berada diluar kelompoknya. Pada umumnya stigma itu
diberikan oleh orang berbeda yang tinggal dalam wilayah yang sama.
Stigma and stigmatization refers to an invisible sign of disapproval which
permits “insiders” to draw a line around the “outsiders” in order to demarcate
the limits of inclusion in any group. The demarcation permits “insider to know
who is “in” and who is “out” and allows the group to maintain its solidarity by
demonstrating what happen to those who deviate from acepted norms of
conduct.34
Stigmatization is an issue of disempowerment and social injustice.35
Kesenian sebagai hasil dari kebudayaan manusia mempunyai nilai penting
dalam kehidupan dan perkembangan umat manusia. Setiap daerah di Indonesia
33
Link and Phelan dalam Anna Scheyett. “The Mark of Madness: Stigma,
Serious Mental Illnesess and Social Work”. Mental Health. Volume 3 no. 4 tahun
2005, hlm. 79-97.
34
Gerhard Falk. Stigma: How We Treats Outsiders (New York: Prometheus
Books, 2001), hlm. 13.
35
Anna Scheyett. loc. cit., hlm. 79-97.
Terjemahan: Stigma dan stigmatisasi merujuk pada tanda yang tak terlihat
dari “orang dalam” untuk menggambarkan garis di sekitar “orang luar” untuk
membatasi penyertaan dalam berbagai kelompok. Batas ini memberikan
pengertian “orang dalam untuk mengetahui siapa yang ada „di dalam‟ dan „di luar‟
suatu kelompok untuk mempertahankan solidaritas dengan menunjukkan apa yang
menyimpang dari norma. Stigmatisasi adalah isu ketidakberdayaan dan
ketidakadilan sosial.
21
memiliki kebudayaan yang masing-masing menunjukkan identitas daerahnya
sendiri-sendiri dan mengembangkan kebudayaannya yang mempunyai ciri khas
dan berfungsi sebagai pengenal bagi para penduduknya. Banyuwangi merupakan
sebuah entitas baru yang membutuhkan pengakuan serta penilaian dari
masyarakat luas tentang keberadaannya sehingga bisa bergaul dengan dunia luar
dengan baik. Jadi pentingnya identitas bagi suatu entitas adalah meneguhkan
keberadaannya sehingga diakui dan dapat dinilai oleh dunia luar.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan seni pertunjukan Banyuwangi
secara detail dari asal-usul, karakter dan pengaruh yang oleh masyarakat luar
diberikan nilai negatif sehingga memberi kesan buruk pada Banyuwangi.
F. Metode Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, sangat penting untuk memperhatikan
Metode Penelitian. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan
rekonstruksi yang imajinatif.36
Adapun langkah-langkah dalam metode penelitian
ini meliputi empat langkah sebagai berikut: 1) heuristik, 2) kritik, 3) interpretasi,
4) historiografi.37
36
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terjemahan oleh Nugroho
Notosusanto (Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 32.
37
Nugroho Notosusanto, Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan
Sedjarah (Djakarta: Pusat Sedjarah ABRI Dephankam Yayasan Kanisus, 1971),
hlm. 17.
22
Sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah
tertulis dan sumber sejarah lisan. Sumber tertulis yang ditemukan berupa
dokumen, arsip, laporan tugas akhir, laporan penelitian, jurnal dan buku-buku
yang berkaitan dengan tema penelitian ini, sedangkan sumber lisan berasal dari
kegiatan wawancara. Data-data tersebut berasal dari sumber primer dan sekunder.
Untuk mendapatkan data atau sumber yang diinginkan, maka peneliti
menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumenter. Wawancara
dilakukan dengan beberapa narasumber yang berkompeten di antaranya adalah
pelaku seni, pecinta seni, pengamat budaya dan sejarawan lokal Banyuwangi.
Studi dokumenter dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa buku, dokumen, laporan tugas
akhir, laporan penelitian dan jurnal yang didapatkan dari Arsip Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas
Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Balai Pustaka,
Perpustakaan Kollese Ignatius, Perpustakaan Universitas Jember (terdapat ruang
koleksi khusus tentang Using, Madura dan Tengger), Perpustakaan ISI Surakarta,
Koleksi perpustakaan IVAA, Koleksi Pusat Studi Budaya Banyuwangi dan
koleksi pribadi.
Kritik sumber dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara antara
satu informan dengan informan lain. Penulis juga membandingkan hasil
wawancara dengan sumber-sumber dokumenter yaitu dengan buku-buku yang
relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Setelah semua data
dikumpulkan kemudian dipilah-pilah, kemudian membandingkan dan
23
menghubungkan fakta-fakta sejarah yang dikumpulkan (interpretasi) sehingga
menghasilkan informasi yang relevan dan dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.
Langkah terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan dibagi kedalam enam bab dengan rincian sebagai
berikut; Bab 1 berupa latar belakang yang merupakan alasan penulis mengambil
tema identitas Banyuwangi dalam penelitian ini. Gambaran singkat mengenai
sejarah Banyuwangi dan keseniannya serta pentingnya identitas bagi suatu daerah.
Bab 2 penelitian ini didahului dengan menjelaskan latar belakang kondisi
ekologis, demografis, etnis, agama dan kepercayan serta sosio kultural
Banyuwangi. Persoalan ini penting dibahas lebih dahulu untuk memberi
pemahaman yang lebih tentang latar belakang pluralisme di Banyuwangi kepada
pembaca. Aspek ekologis perlu dijelaskan untuk melihat bagaimana keadaan alam
Banyuwangi bisa menyebabkan timbulnya budaya agraris yang masih terus
dipertahankan sampai sekarang. Aspek demografis perlu dijelaskan untuk melihat
komposisi penduduk yang ada di Banyuwangi dari waktu ke waktu baik penduduk
asli maupun pendatang yang berperan dalam mendukung terpeliharanya kesenian
yang ada di Banyuwangi. Aspek etnisitas perlu dijelaskan untuk melihat etnis apa
saja yang hidup di Banyuwangi dan sejauh mana peran etnis mempengaruhi
kesenian-kesenian Banyuwangi. Aspek agama perlu dijelaskan untuk melihat
peran elit agama dalam mendukung kesenian Banyuwangi. Aspek sosio kultural
perlu dijelaskan untuk melihat sejauh mana penduduk Banyuwangi yang plural
melestarikan kesenian yang ada di Banyuwangi.
24
Bab 3 menjelaskan tentang deskripsi tiga jenis kesenian Banyuwangi yang
terstigma. Seni pertama adalah Damarwulan. Sejarah masuknya Damarwulan ke
Banyuwangi yang tidak lepas dari migrasi penduduk dari daerah Jawa Tengah
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mataraman ke daerah Banyuwangi pada
sekitar tahun 1930-an. Mereka membawa Damarwulan ke Banyuwangi yang
kemudian mengalami perkembangan. Gandrung yang merupakan akulturasi dari
kesenian Jawa, Bali dan Banyuwangi. Gandrung adalah sisa-sisa budaya awal
yang muncul di Banyuwangi. Gandrung adalah perwujudan rasa terima kasih
masyarakat agraris kepada dewi kesuburan yang telah menganugerahkan tanah
yang subur dan hasil pertanian yang melimpah. Rasa terima kasih tersebut
diwujudkan dalam bentuk tarian. Selanjutnya dibahas mengenai musik lokal
Banyuwangi. Sejarah lahirnya musik lokal dan perkembangannya.
Bab 4 menjelaskan stigmatisasi yang terjadi pada tiga kesenian Banyuwangi
yang sudah dijelaskan ada bab 3. Stigmatisasi yang terjadi pada tiga kesenian itu
tidak terlepas dari proses budaya dan politik yang terjadi di Banyuwangi.
Damarwulan distigmatisasi dengan tokoh Minakjinggo yang diyakini masyarakat
sebagai Raja Blambangan. Namun Minakjinggo digambarkan dengan sosok yang
buruk rupa. Gandrung sebagai kesenian tradisional Banyuwangi distigmakan
sebagai seni yang erotis. Gerak dalam tarian ini dianggap menggoda para
penonton, terutama penonton laki-laki. Secara tidak langsung perempuan
Banyuwangi terstigma sebagai perempuan penggoda. Sedangkan musik lokal
Banyuwangi distigmatisasi sebagai musik kiri. Hal ini tidak lepas dari keterkaitan
para seniman dengan Lekra.
25
Bab 5 penulisan tesis ini menjelaskan tentang adanya gerakan melawan
stigmatisasi dan pembentukan identitas dari ketiga jenis kesenian itu. Damarwulan
melawan stigma dengan membalikkan tokoh Minakjinggo dari sosok buruk rupa
menjadi kesatria yang rupawan. Dengan adanya otonomi daerah, Gandrung
menjelma menjadi seni pertunjukan yang komersil. Gandrung menjadi bagian
penting dalam kegiatan pariwisata di Banyuwangi. Bentuk perlawanan terhadap
stigma dari musik lokal Banyuwangi adalah dengan mengubah aliran musik dari
realisme sosial menjadi sosial religius. Perlawanan terhadap stigma ini
berhubungan erat dengan identitas baru yang dibentuk untuk menghindari
Banyuwangi dari stigma. Untuk membentuk identitas baru, dalam cerita
Damarwulan, Minakjinggo dijadikan sebagai pahlawan Blambangan. Gandrung
yang awalnya sebuah tarian erotis, kini menjadi icon pariwisata kabupaten
Banyuwangi. Sedangkan musik lokal menjelma menjadi musik pop dengan tema-
tema yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat.
Bab terakhir penelitian ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari
rumusan masalah dalam penelitian ini serta saran untuk perbaikan penelitian ini
dikemudian hari.