bab 1 pendahuluan a. latar...

25
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Salah satu daerah yang secara historis memiliki karakter khas dalam bidang pertumbuhan sosial dan budaya. Banyuwangi juga sebagai tempat bertemunya beragam budaya. Terdapat berbagai macam etnis di Banyuwangi yang tentunya membawa budaya khasnya masing-masing. Masing-masing budaya tersebut mempunyai ciri khas dan bentuk seni yang melatarbelakangi setiap lingkungan masyarakatnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dalam seni di tiap daerah tetap mempunyai pengaruh dan hubungan yang kuat antara satu dan lainnya. Letak geografis Banyuwangi yang dekat dengan laut menjadikan semakin mudahnya budaya luar masuk ke Banyuwangi, hal ini dikarenakan laut merupakan salah satu akses jalannya informasi dari luar Banyuwangi masuk ke Banyuwangi. Sehingga banyak etnis datang ke Banyuwangi terutama setelah pembukaan berbagai macam perkebunan oleh Belanda yang menyebabkan banyaknya orang luar masuk ke Banyuwangi sebagai pekerja perkebunan. Penduduk Banyuwangi terdiri dari multi etnis yang mendiami daerah-daerah berlainan dan membentuk kantong-kantong pemukiman. Seperti komunitas Using yang berada di daerah utara berdekatan dengan kota Banyuwangi, etnis Jawa yang bermukim di daerah selatan, serta etnis Madura yang bermukim di area perkebunan dan dekat pantai. Selain itu juga terdapat etnis Bugis, Bali, Cina dan

Upload: duongtu

Post on 24-Apr-2018

222 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau

Jawa. Salah satu daerah yang secara historis memiliki karakter khas dalam bidang

pertumbuhan sosial dan budaya. Banyuwangi juga sebagai tempat bertemunya

beragam budaya. Terdapat berbagai macam etnis di Banyuwangi yang tentunya

membawa budaya khasnya masing-masing. Masing-masing budaya tersebut

mempunyai ciri khas dan bentuk seni yang melatarbelakangi setiap lingkungan

masyarakatnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dalam seni di tiap daerah tetap

mempunyai pengaruh dan hubungan yang kuat antara satu dan lainnya.

Letak geografis Banyuwangi yang dekat dengan laut menjadikan semakin

mudahnya budaya luar masuk ke Banyuwangi, hal ini dikarenakan laut

merupakan salah satu akses jalannya informasi dari luar Banyuwangi masuk ke

Banyuwangi. Sehingga banyak etnis datang ke Banyuwangi terutama setelah

pembukaan berbagai macam perkebunan oleh Belanda yang menyebabkan

banyaknya orang luar masuk ke Banyuwangi sebagai pekerja perkebunan.

Penduduk Banyuwangi terdiri dari multi etnis yang mendiami daerah-daerah

berlainan dan membentuk kantong-kantong pemukiman. Seperti komunitas Using

yang berada di daerah utara berdekatan dengan kota Banyuwangi, etnis Jawa yang

bermukim di daerah selatan, serta etnis Madura yang bermukim di area

perkebunan dan dekat pantai. Selain itu juga terdapat etnis Bugis, Bali, Cina dan

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

2

Arab. Dilihat dari sejarahnya, jumlah penduduk Banyuwangi (yang pada waktu itu

masih bernama Blambangan) setelah jatuhnya Bayu pada tahun 1772 tidak lebih

dari 3.000 orang atau sekitar 8,3 persen dari jumlah penduduk sebelum

kedatangan Belanda di Blambangan.1

Kedatangan Belanda ke Ujung Timur Jawa diawali oleh ketidakmerataan

populasi penduduk di pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang

padat di daerah Jawa bagian barat sementara di daerah Jawa bagian timur jumlah

penduduknya sangat sedikit. Penyebaran penduduk yang tidak merata tersebut

salah satunya disebabkan oleh sikap Belanda yang tidak ramah sehingga sering

mendapat perlawanan dari penduduk setempat. Kemudian muncullah gagasan

untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu

Blambangan yang pada abad 18 merupakan wilayah kekuasaan Mataram. Belanda

tidak dengan mudah menguasai daerah timur Jawa, karena pada pertengahan abad

18 Inggris juga mulai melirik kawasan timur Jawa dalam rangka ingin mencari

komoditas bagi perdagangan Inggris.2

1Sri Margana, Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni

Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012), hlm. 229. Sisa penduduk Bayu

inilah yang kemudian di klaim sebagai penduduk asli Banyuwangi yang sering

disebut sebagai orang Using. Wong Using dianggap sebagai penghuni asli

(indigeneous people) di wilayah Banyuwangi yang dulu dikenal dengan nama

kerajaan Blambangan (Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (United

Kingdom: Cambridge University Press, 1999), hlm. 16-17). Beatty mengatakan

bahwa orang Using adalah keturunan sisa-sisa penduduk tahun 1768 atau sesudah

berakhirnya perang Puputan Bayu. Untuk lebih jelas mengenai asal penggunaan

kata Blambangan lihat Sri Margana hlm. 24.

2Thomas Stamford Raffles, History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008),

hlm. 40; Sri Margana, op. cit., hlm. 2.

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

3

Sebagai wilayah yang dihuni oleh berbagai etnis, Banyuwangi sangat kaya

akan potensi seni dan budaya serta adat istiadatnya. Hampir semua etnis yang

tinggal di Banyuwangi sangat peduli terhadap budayanya. Menurut

Koentjaraningrat kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur yang

membentuk kebudayaan.3 Kesenian sebagai hasil dari kebudayaan manusia

mempunyai nilai penting dalam kehidupan dan perkembangan umat manusia. Hal

ini karena seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dan

sering dikaitkan dengan keindahan (estetika). Unsur keindahan itu dapat

diwujudkan dalam karya-karya seni atau budaya, baik yang tradisional maupun

yang modern. Seperti seni tari, seni sastra, seni lukis, seni patung, seni musik, dan

seni drama.

Dalam rangkaian perjalanan sejarah Banyuwangi telah mengalami beragam

perkembangan sosial budaya. Seni sebagai salah satu unsur dari kebudayaan juga

tidak luput dari perkembangan. Seni pertunjukan Banyuwangi memiliki corak

atau ragam yang dapat digolongkan menjadi 3 kelompok: (1) Kelompok seni

pertunjukan daerah Banyuwangi. Mencakup semua jenis pertunjukan dan tradisi

3Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru,

1980), hlm., 287. Tujuh unsur yang membentuk kebudayaan menurut

Koentjaraningrat adalah (1) Bahasa, merupakan alat atau perwujudan budaya yang

digunakan manusia untuk saling berkomunikasi baik melalui tulisan, lisan ataupun

gerakan (isyarat); (2) Sistempengetahuan, secara sederhana pengetahuan adalah

segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan dan harapan-

harapan; (3) Sistem organisasi kemasyarakatan, merupakan budaya manusia

dalam menciptakan dan menata sistem kelembagaan; (4) Sistem peralatan hidup

dan teknologi, menyangkut teknik produksi dan reproduksi, memakai serta

memelihara segala peralatan dan perlengkapan; (5) Sistem mata pencaharian yang

berhubungan dengan bagaimana cara manusia mengelola sumber daya alam dan

sumber daya lainnya untuk mempertahankan hidup; (6) Sistem religi atau ritual

keagamaan; (7) Kesenian, merupakan satu unsur budaya yang mengacu pada nilai

keindahan (estetika).

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

4

yang secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi dan tetap

mewarisi nilai dan norma-norma atau adat setempat contoh: Hadrah, Kuntulan,

Angklung, Jaranan Buto, Barong, Gandrung (2) Kelompok seni pertunjukan

daerah non-daerah Banyuwangi yaitu kesenian yang berasal dari daerah lain,

dibawa dan dikembangkan oleh para imigran yang datang ke Banyuwangi.

Contoh: Wayang dan Ludruk (3) Kelompok seni pertunjukan nasional yaitu

kesenian yang secara idiomatis tidak berpijak atau berorientasi pada nilai-nilai

kedaerahan tetapi bersifat nasional misalnya orkes band.4

Walaupun komposisi masyarakat Banyuwangi plural, namun kenyataannya

Banyuwangi sering diidentifkasi sebagai Using. Sehingga identitas Using melekat

begitu orang menyebut nama Banyuwangi. Sebenarnya Using sendiri dapat dilihat

dari pengguna tutur dialek Using dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa jumlah komunitas Using merupakan

jumlah terbanyak dari seluruh penduduk Banyuwangi.5 Masyarakat luar lebih

mengenal kesenian Using adalah kesenian Banyuwangi, padahal di Banyuwangi

juga terdapat berbagai macam etnis yang membawa budayanya masing-masing.

Selain itu Banyuwangi merupakan tempat pemberian stigma. Setiap mendengar

4Peni Puspito, “Damarwulan Seni Pertunjukan Rakyat di Kabupaten

Banyuwangi Jawa Timur akhir abad 20” (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 1998),

hlm. 3.

5Dari penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti menyebutkan bahwa

jumlah penutur Using menempati posisi teratas dari jumlah total penduduk

Banyuwangi. Suhalik, Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi.

(Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2009), hlm. 46; Arcana, P.F dan

Suwarna, B. “Hasnan Singadimayan Yang Asing Jadi Using”, Kompas. 5 Mei

2013; Hasan Ali, “Masa Depan Bahasa Using di Banyuwangi dalam Pesatnya

Perkembangan Kehidupan Masyarakat dan Bahasa Indonesia”, Laporan

Penelitian (Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan, 1990).

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

5

kata “Banyuwangi” masyarakat luar selalu menganggap bahwa Banyuwangi

adalah tempat pemberontakan, perselingkuhan, komunis, kekerasan dan santet.

Stigma tersebut semakin kuat melekat seiring dengan perjalanan sejarah

Banyuwangi yang diwarnai dengan peristiwa-peristiwa kekerasan, seperti

peristiwa Karangasem, Cemethuk, peristiwa pembantaian dukun santet pada tahun

1998 bahkan karena tradisi lisan Banyuwangi berupa mantra-mantra masih sangat

kuat, Banyuwangi juga mendapat julukan sebagai “Gudang Dukun”. Tidak hanya

itu dalam bidang seni pun stigma juga melekat pada kesenian Banyuwangi seperti

kesenian Damarwulan dengan tokoh Minakjinggo yang antagonis, kesenian

Gandrung yang identik dengan perempuan “nakal” serta musik lokal Banyuwangi

yang dinilai kiri6.

Stigmatisasi terhadap masyarakat Banyuwangi berkembang melalui

kesenian dapat dilihat dari tiga jenis kesenian yaitu Damarwulan, Gandrung dan

musik lokal Banyuwangi. Damarwulan adalah kesenian berbentuk drama yang

menstigmakan masyarakat Banyuwangi sebagai pemberontak yang digambarkan

melalui tokoh Minakjinggo. Penggambaran tokoh Minakjinggo ini sangat jelas

sebagai bentuk stigmatisasi terhadap masyarakat Banyuwangi. Sedangkan

Gandrung sebagai tari tradisi Banyuwangi distigmakan dengan tarian erotis, tarian

yang digunakan untuk menggoda laki-laki sehingga secara umum perempuan

Banyuwangi distigmakan sebagai perempuan “nakal”. Banyaknya seniman musik

Banyuwangi yang tergabung dalam organisasi Lekra menimbulkan stigma bahwa

aliran musik yang diusung oleh para seniman Banyuwangi adalah aliran musik

6Musik kiri diartikan sebagai aliran musik dengan tema lagu-lagu yang

diciptakan oleh seniman mengandung unsur komunis.

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

6

kiri. Stigmasi terhadap tiga jenis seni pertunjukan ini tidak terjadi secara

bersamaan. Stigmatisasi terhadap Damarwulan terjadi ketika cerita tentang

Damarwulan-Minakjinggo populer di Banyuwangi pada tahun 1930-an. Gandrung

terstigma terkait dengan banyaknya kasus yang menimpa perempuan Banyuwangi

seperti kawin cerai dan maraknya prostitusi. Musik lokal Banyuwangi ketika para

seniman musik Banyuwangi bersentuhan dengan organisasi Lekra pada tahun

1960-an.

Pada tahun 1960-an Lekra7 berperan penting dalam mengembangkan

kesenian di Banyuwangi. Lekra sebagai lembaga kesenian PKI berusaha

membangkitkan kesenian-kesenian daerah agar tetap bertahan dari gempuran

budaya global yang dibawa oleh kaum imperialis. Oleh karena itu Lekra mencoba

menjadi penggerak bagi seni-seni budaya di berbagai daerah.8 Begitu pula dengan

kesenian Banyuwangi, seni Banyuwangi mulai bersinggungan dengan Lekra,

berawal dari lagu Genjer-genjer karya seorang seniman Banyuwangi Muhammad

7Lekra adalah organisasi bentukan PKI yang bernuansa kerakyatan. Lekra

banyak mengangkat kesenian kaum tani dan wong cilik yang merepresentasikan

kesenjangan sosial. Lekra terkenal dengan konsep dasar yaitu “seni untuk rakyat

dan politik adalah panglima”. Seni untuk rakyat mengandaikan perkembangan

seni untuk membela kaum buruh tani yang digambarkan tertindas oleh kaum

borjuis-kapitalis. Sementara politik adalah panglima berarti bahwa sebuah karya

dan perkembangan seni pasti mengabdi pada kepentingan politik demi membela

kaum buruh dan kaum tani. Ayu Sutarto menjelaskan bahwa pada masa demokrasi

terpimpin PKI benar-benar menguasai kesenian rakyat. Berbagai jenis seni tradisi

dihimpun dan digunakan sebagai alat propagnda politik. Ayu Sutarto, Menguak

Pergumulan Seni, Politik, Islam dan Indonesia (Jember: Kompaswidya

bekerjasama dengan Propinsi Jawa Timur, 2004), hlm. 149.

8Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar

Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (Yogyakarta:

Merakesumba, 2008), hlm. 337.

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

7

Arif9 yang kemudian menjadi lagu yang dikenal oleh seluruh masyarakat dan di

klaim sebagai lagu PKI yang kemudian dipopulerkan oleh Bing Slamet. Alat

musik yang digunakan Muhammad Arif untuk mengiringi lagunya adalah

angklung. Arif mulai meng-arrangement lagu-lagu dan memberikan notasi pada

angklung serta mengorganisir lagu-lagu Banyuwangi sehingga terciptalah lagu

Genjer-genjer pada tahun 1943 (pada masa pendudukan Jepang)10

sebagai

ungkapan penderitaan rakyat atas pendudukan Jepang.

Dominasi kultural Using di Banyuwangi memunculkan isu perpecahan

dalam masyarakat Banyuwangi yaitu pemekaran wilayah dengan Genteng sebagai

ibukota etnis Jawa (Mataraman) dan Wongsorejo sebagai ibukota bagi etnis

Madura di Banyuwangi. Hal ini sangat menarik perhatian penulis. Banyuwangi

sebagai sebuah entitas yang terbentuk pada awal abad 20 dengan berbagai

9Seorang anggota “Sri Muda” kelompok kesenian angklung Banyuwangi

yang merupakan anak cabang Lekra. Nama Mohammad Arif kemudian terkenal

setelah menciptakan lagu Genjer-genjer yang diklaim sebagai lagu PKI.

10

Wawancara dengan Suhalik, (53 tahun) sejarawan lokal Banyuwangi pada

tanggal 1 April 2013 pukul 14.55 WIB di Perum Permata Giri Blok DE No.9.

Pada tahun 1965-1974 kesenian Banyuwangi vacuum dikarenakan pada saat itu

terjadi huru-hara PKI dan semua yang berhubungan dengan seni dihubungkan

dengan Lekra dan PKI. Sehingga para seniman Banyuwangi lebih baik mencari

aman dengan cara vacuum berkesenian. Kemudian setelah suasana politik

mendukung untuk dibangkitkannya kembali kesenian Banyuwangi, maka tokoh-

tokoh seperti Armaya, Hasan Ali, Fatkhurrahman Abu Ali, Pranoto

menghidupkan kembali kesenian Banyuwangi yang mati suri tersebut yang

ditandai dengan rekaman pertama lagu-lagu Banyuwangi. Karena takut dengan

cap “merah” maka musik tersebut dibuat dengan nuansa islami. Musik

Banyuwangi Kendang Kempul digagas oleh para tokoh diantaranya adalah

Wiroso, Suroso, Sutrisno dan Hawadin yang kemudian Kendang Kempul tersebut

dikenal dengan musik dangdut Banyuwangenan. Usaha ini didukung oleh Bupati

Banyuwangi pada saat itu yaitu Djoko Supaat Slamet. Dalam bidang teater

muncullah teater “Drama Melayu”. Kemudian pada tahun 1980-an muncullah

generasi Seperti Sumiyati, Yuliatin dan Cahyono yang membawakan lagu-lagu

Kendang Kempulan.

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

8

kompleksitas, mulai dari politik hingga seni budaya ingin membangun

Banyuwangi, memperkenalkan Banyuwangi di mata dunia luar dengan

identitasnya sendiri.

Dalam masyarakat yang plural identitas sangat diperlukan untuk

meneguhkan keberadaan dirinya. Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh

seseorang, kelompok, lembaga atau bangsa. Dengan adanya ciri-ciri yang berbeda

itu maka akan muncul kekhasan serta keunikan tersendiri sehingga akan mampu

memberikan kebanggaan bagi pemiliknya. Salah satu peluang untuk menyatakan

identitas diri ini adalah melalui seni. Seni dianggap potensial karena mampu

mengekpresikan identitas diri kelompok secara alamiah. Melalui seni simbol

budaya, mitos dan keyakinan dari suatu kelompok dapat dinyatakan secara efektif

dan otentik. Seni sebagai pemberi identitas mempunyai maksud bahwa melalui

kekayaan seni yang ada di Banyuwangi mampu menunjukkan jati diri

Banyuwangi di tingkat nasional maupun global. Sebagai ekspresi dari masyarakat

pendukungnya, kesenian mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tidak

ternilai harganya. Oleh sebab itulah penelitian ini dibuat untuk mengetahui

identitas baru yang dibentuk oleh masyarakat Banyuwangi dengan cara melawan

stigma terhadap masyarakat Banyuwangi melalui tiga jenis seni pertunjukan yaitu

Damarwulan, Gandrung dan musik lokal Banyuwangi.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Bertolak dari fakta sosial dan kultural serta demografis dan etnis masyarakat

Banyuwangi dikategorikan sebagai masyarakat plural. Salah satu persoalan pokok

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

9

yang dihadapi masyarakat yang plural adalah merumuskan identitas bersama yang

dapat diterima oleh semua kalangan. Di Banyuwangi, pergumulan mencari

identitas budaya memiliki elemen sosial politik dan sejarah yang panjang. Faktor

sejarah telah menempatkan posisi masyarakat Banyuwangi menjadi sasaran

stigmatisasi budaya dan politik. Perjuangan membangun identitas budaya di

Banyuwangi tidak sekedar sebuah pencarian tetapi juga perlawanan terhadap

stigmatisasi itu. Kesenian Banyuwangi menjadi elemen penting dari struktur dan

bangunan identitas sekaligus sebagai alat dalam membangun identitas itu sendiri.

Dalam proses inilah terjadi persinggungan antara kesenian (budaya) dan politik.

Permasalahan pokok studi ini adalah tentang perjuangan membangun identitas

budaya oleh masyarakat Banyuwangi melalui kesenian dari masa kolonial hingga

pasca kolonial. Pemilihan sub tema seni yang diwakili oleh Damarwulan,

Gandrung dan musik lokal Banyuwangi berdasar pada pemberian stigma pada

masing-masing kesenian itu.

Dalam penelitian ini hipotesis yang dapat dikemukakan pertama, telah

terjadi stigmatisasi di Banyuwangi melalui seni. Stigmatisasi seni tersebut

terbentuk melalui tiga jenis kesenian yang dijadikan sumber stigma, yaitu seni

Damarwulan, seni Gandrung dan musik lokal Banyuwangi. Kedua, muncul

kesadaran terhadap stigmatisasi yang disebabkan oleh situsi politik, sosial dan

budaya. Kesadaran tersebut memunculkan gerakan anti stigma. Gerakan ini

merevisi bentuk, makna dan berbagai tahap dalam tiga kesenian yang tersebut

diatas. Ketiga, adanya upaya untuk keluar dari stigmatisasi terhadap kesenian di

Banyuwangi yaitu dengan cara merumuskan identitas baru.

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

10

Dari hipotesis diatas maka muncul pertanyaan pokok yaitu mengapa

masyarakat Banyuwangi memerlukan identitas baru? Jika pertanyaan tersebut

dirinci maka akan memunculkan tiga pertanyaan inti, pertama bagaimana

munculnya stigma terhadap kesenian di Banyuwangi? Kedua, bagaimana

munculnya kesadaran dan gerakan melawan stigma terhadap kesenian di

Banyuwangi? Ketiga, bagaimana upaya masyarakat Banyuwangi dalam

merumuskan identitas baru?

Lingkup temporal penelitian ini adalah mulai tahun 1930-an sampai tahun

2008. Tahun 1930-an dijadikan batas awal penelitian karena pada tahun tersebut

grup-grup kesenian Damarwulan mulai muncul di daerah Banyuwangi. Tahun

2008 dijadikan batas akhir penelitian karena pada tahun 2008 musik lokal

Banyuwangi mengalami “mati suri” di mana musik lokal Banyuwangi sudah

berkiblat pada pasar, bukan lagi mengikuti pakem yang ada.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Fokus kajian dalam penulisan tesis ini adalah pada tiga bentuk kesenian

terpopuler di Banyuwangi yaitu Damarwulan, Gandrung dan musik lokal daerah

Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan, pertama untuk menjelaskan munculnya

stigma yang melekat pada kesenian di Banyuwangi. Kedua, untuk mengetahui

munculnya kesadaran terhadap stigma serta gerakan anti stigma yang dilakukan

oleh masyarakat Banyuwangi. Ketiga, untuk mengetahui upaya yang dilakukan

masyarakat Banyuwangi dalam mencari identitas baru.

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

11

Berdasarkan tujuan diatas penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat terhadap penggalian penulisan sejarah lokal, terutama pada masa

kontemporer. Sugeng Priyadi11

menjelaskan sumbangan sejarah lokal yang

terpenting adalah Sejarah Nasional Indonesia yang berwawasan kebudayaan yang

multi etnik. Selain itu juga memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang

khazanah seni budaya bangsa.

D. Tinjauan Pustaka

Minimnya penelitian tentang sejarah Banyuwangi menyebabkan penulis

tertarik untuk mengkaji tentang Banyuwangi secara keseluruhan. Dalam tinjauan

pustaka ini penulis mencoba mengemukakan penelitian yang sejenis dengan apa

yang penulis teliti baik itu dari penelitian tentang Banyuwangi sendiri ataupun

tentang daerah lain yang mempunyai tema yang sejenis berupa buku, laporan

penelitian, jurnal maupun artikel dan karya ilmiah lainnya. Referensi yang akan

dijadikan rujukan oleh peneliti diantaranya adalah Sri Margana dalam bukunya

yang berjudul Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni

Blambangan,12

Sri Margana menguraikan minimnya penelitian tentang peran

Blambangan dalam mengontrol Ujung Timur Jawa. Dalam buku tersebut Sri

Margana mengupas sejarah Blambangan dimulai dengan hubungan Blambangan

dengan Mataram dan Mengwi, kedatangan VOC, perlawanan rakyat Blambangan

11

Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal Konsep, Metode dan Tantangannya

(Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 44.

12

Sri Margana, Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni

Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012)

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

12

terhadap VOC sampai terbentuknya daerah dengan nama Banyuwangi. Walaupun

dalam buku ini tidak menjelaskan mengenai seni dan budaya Banyuwangi namun

penulis mendapatkan informasi yang sangat banyak mengenai awal mula

terbentuknya Banyuwangi sehingga bisa dijadikan rujukan dalam penelitian ini.

Rujukan lain adalah Suhalik dalam bukunya yang berjudul Mengenal

Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi,13

dalam buku tersebut dijelaskan mulai

dari sejarah Kerajaan Blambangan, terbentuknya Banyuwangi, potensi budaya

yang ada di Banyuwangi, perkembangan keseniannya sampai makanan khas

Banyuwangi. Buku ini ditulis dengan tujuan untuk dijadikan buku pedoman bagi

siswa sekolah menengah dalam pembelajaran muatan lokal. Hal ini dapat dilihat

dari adanya Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta evaluasi (diskusi

kelompok) pada tiap akhir bab. Walaupun sebagai buku pedoman pengajaran,

namun buku ini memberikan banyak informasi kepada penulis tentang seni yang

ada di Banyuwangi mulai dari seni musik, tari dan teater. Selain itu artikel Suhalik

yang berjudul Sejarah Masuknya Agama Islam dan Multikultural Banyuwangi14

menjelaskan tentang sejarah masuknya agama Islam di Blambangan yang berawal

dari perkawinan cucu penguasa Blambangan Prabu Menak Sembuyu (Menak

Dedali Putih), yaitu Putri Sekardadu dengan Syeh Maulana Ishak atau Syeh Wali

Lanang. Dari situlah kemudian Islam berkembang di bumi Blambangan. Tentang

multikultural Banyuwangi, Suhalik menyebutkan bahwa Banyuwangi sebagai

13

Suhalik, Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi (Banyuwangi:

Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2009)

14

Suhalik, “Sejarah Masuknya Agama Islam dan Multikultural

Banyuwangi”. Lembar Kebudayaan. Edisi 20 (2011), hlm. 11.

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

13

tempat berseminya diaspora beberapa kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia.

Suhalik juga menjelaskan bahwa keanekaragaman tersebut selain menjadi faktor

daya tarik juga merupakan kelemahan pembangunan Banyuwangi. Karya Suhalik

ini memberikan gambaran yang sangat banyak terhadap sejarah Banyuwangi.

Sementara itu artikel Wolbers yang berjudul Gandrung and Angklung From

Banyuwangj; Remnants of a Past Shared With Bali15

mengulas dua genre tradisi

Banyuwangi yaitu Gandrung dan Angklung. Dua genre tersebut merupakan

perpaduan antara tradisi Banyuwangi dengan tradisi Bali pada masa lalu.

Tesis Rhiza Eka Purwanto yang berjudul Politik Representasi Penari

Gandrung Sebagai Maskot Kabupaten Banyuwangi16

antara lain menjelaskan

mengenai politik identitas yang dijalankan pada masa Bupati Samsul Hadi dengan

membawa jargon “Banyuwangi Jenggirat Tangi”. Kebijakan Banyuwangi

Jenggirat Tangi yang diusung Samsul Hadi dinilai Usingisasi di segala aspek

kehidupan masyarakat Banyuwangi terutama bagi penari Gandrung untuk tetap

meneguhkan eksistensi mereka.

15

Paul Arthur Wolbers, “Gandrung and Angklung From Banyuwangj;

Remnants of a Past Shared With Bali”. Asian Music. Volume 18 Nomor 1, 1986.

http://www.jstor.org/stable/3351210. [diunduh pada tanggal 17 April 2013]

16

Rhiza Eka Purwanto, “Politik Representasi Penari Gandrung Sebagai

Maskot Kabupaten Banyuwangi”. (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 2012).

Program Jenggirat Tangi ditetapkan sesuai SK Bupati No. 371 tahun 2002.

Bentuk realisasi program Jenggirat Tangi Samsul Hadi antara lain penetapan

Gandrung sebagai maskot pariwisata, pemancangan patung-patung Gandrung,

pendirian akademi Gandrung, penerbitan Kamus Bahasa Using, penggunaan

bahasa Using pada Hari Jadi Banyuwangi, pekan berbusana Using dan

diajarkannya bahasa Using sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah. Program

tersebut dipandang tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan kehidupan

sosial masyarakat Banyuwangi. Dengan alasan bahwa etnis yang bertempat

tinggal di Banyuwangi bukan hanya masyarakat Using saja.

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

14

Tesis Bambang Soeyono juga menjelaskan tentang Gandrung sebagai

identitas budaya, Gandrung Banyuwangi Sebagai Identitas Budaya Masyarakat

Using di Jawa Timur17

tesis ini menjelaskan tentang awal mula munculnya

Gandrung dan segala perubahannya, fungsi Gandrung, bentuk sajian, nilai dan

estetika Gandrung, bahkan sampai Gandrung yang menjadi pilihan profesi bagi

wanita-wanita muda di Banyuwangi. Eksistensi penari Gandrung dalam

kehidupan sehari-hari di masyarakat Using, latar belakang perjalanan penari

Gandrung serta arti Gandrung bagi masyarakat Using, hingga menjadi identitas

budaya. Pertunjukan Gandrung mendapat perhatian dari pemerintah daerah.

Pemerintah daerah kemudian berupaya memelihara membina dan

mengembangkan demi kepentingan generasi penerus.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, belum ada penelitian yang

mengungkapkan stigmatisasi terhadap masyarakat Banyuwangi dalam segala

bidang kehidupan terutama dalam bidang seni. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian yang sudah ada adalah mengungkapkan bagaimana sebuah identitas

baru Banyuwangi terbentuk melalui stigma yang selama ini melekat pada

kesenian di Banyuwangi khususnya Damarwulan, Gandrung dan musik lokal

Banyuwangi.

E. Kerangka Konseptual

Penelitian ini mengungkapkan beberapa konsep yang akan mempertegas

pemahaman permasalahan pokok studi ini. Konsep pertama adalah seni dan yang

17

Bambang Soeyono, “Gandrung Banyuwangi Sebagai Identitas Budaya

Masyarakat Using di Jawa Timur” (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 1998).

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

15

kedua adalah stigma serta ketiga adalah identitas. Fokus kajian penulis adalah seni

pertunjukan di Banyuwangi yang dispesifikkan lagi berupa seni drama, seni tari

dan seni musik. Seni pertunjukan diambil beberapa contoh yaitu seni drama

dengan kesenian Damarwulan, seni tari yaitu kesenian Gandrung, seni musik

yaitu musik lokal Banyuwangi.

Seni pertunjukan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia

yang sebagaian besar berasal dari tradisi pertunjukan tradisional yang terdapat

pada berbagai etnis yang ada di Indonesia. Istilah seni pertunjukan dapat diartikan

sebagai “tontonan” yang bernilai seni, seperti drama, tari dan musik yang

disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Seni pertunjukan bermula dari

tradisi pertunjukan yang biasanya didapati dari kerajaan atau dari etnis tertentu

yang dalam perkembangannya diubah menjadi seni pertunjukan yang

dipertontonkan untuk masyarakat umum.18

Edi Sedyawati menambahkan bahwa

seni pertunjukan Indonesia berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh

dalam lingkungan etnik yang berbeda-beda satu sama lain. Peristiwa ke-adatan

merupakan landasan yang utama pelaksanaan seni pertunjukan. Dalam lingkungan

etnik di Indonesia kesenian dapat berfungsi sebagai pemanggil kekuatan gaib,

perlengkapan upacara dan perwujudan dari pengungkapan keindahan.19

18

Dewi Handayani, “Perubahan Seni Pertunjukan Indonesia”. Laporan

Penelitian. (Medan: Universitas Sumatra Utara, 2007), hlm. 2.

19

Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan,

1981), hlm. 12.

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

16

Seni pertunjukan selama perjalanan sejarah memperlihatkan keragaman

fungsi yang disandangnya. Beragam fungsi ini oleh R.M. Soedarsono20

dikelompokkan ke dalam tiga, yaitu (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai hiburan

pribadi, dan (3) sebagai presentasi estetis. Pemilahan ke dalam tiga wilayah ini

berdasarkan kepentingan pengamat atau penontonnya. Ketiga wilayah yang

dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih.

Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga

menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk

hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya wujudnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,21

identitas diartikan sebagai “ciri”

atau “keadaan khusus” seseorang atau suatu benda. Identitas juga diartikan

sebagai jati diri. Jati diri dalam pandangan Soehardi22

dimaknai sebagai suatu

aspek kepribadian berupa penglihatan seseorang terhadap identitas dan ciri-

cirinya. Artinya jati diri memiliki konstruksi yang jelas dan dapat diidentifikasi

dari berbagai ciri yang melekat pada benda atau orang dalam sebuah entitas.

Menurut Chris Barker Identitas bukan suatu hal paten yang kita miliki,

tetapi suatu proses “menjadi”.23

Sementara itu Giddens dalam Barker24

20

Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2002), hlm. 123.

21

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi

keempat, (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 567.

22

Soehardi, “Jati Diri Semar, Konteks Pakeliran dan Kosmologi Jawa”.

Bulletin Antropologi. Edisi 11 Nomor 20 (1996), hlm. 11-24.

23

Chris Barker, Cultural Studies. Terjemahan Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2006), hlm. 175.

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

17

menjelaskan identitas merupakan salah satu cara berpikir tentang diri kita yang

berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktu. Identitas

mencakup siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri dan

bagaimana penilaian orang lain terhadap diri kita. Sehingga Giddens menyebut

identitas sebagai “proyek”. Hall seperti dikutip Barker juga mengatakan bahwa

identitas tidak membangun dirinya sendiri melainkan aspek yang terbangun

melalui proses akulturasi.25

Sementara itu Madan Sarup menjelaskan bahwa identitas tidak hanya

berdasar pada apa yang melekat pada diri seseorang melainkan identitas itu

muncul bersamaan dengan interaksinya dengan yang lain.26

Douglas Kellner

identitas merupakan penegasan esensi bawaan yang menentukan “siapa saya”,

sementara bagi yang lain, identitas merupakan sebuah konstruksi dan kreasi dari

berbagai peran sosial.27

Sebagai masyarakat yang plural, Banyuwangi memerlukan identitas untuk

meneguhkan keberadaannya. Tentunya identitas tersebut tidak memihak pada

salah satu elemen dalam pluralitas di Banyuwangi. Sehingga identitas ini benar-

benar menjadi ciri khas Banyuwangi.

24

Chris Barker, Cultural Studies. Terjemahan Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2006), hlm. 202.

25

Ibid., hlm. 177.

26

Madan Sarup, Identity, Culture and Posmodern World (Edinburgh:

Edinburgh University Pres, 2002), hlm. 14.

27

Douglas Kellner, Budaya Media Teori dan Praktek (Yogyakarta: Jalasutra,

2010), hlm. 317.

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

18

Studi tentang stigma dan perkembangan teori stigma dimulai pada awal

tahun 1900-an. Konsep stigma pada awalnya digunakan dalam bidang kesehatan

terutama kesehatan yang menyangkut psikis pasien. Seperti stigma yang diberikan

kepada penderita AIDS, Skizofernia, Kusta dan penyakit-penyakit yang dianggap

menjijikkan. Istilah stigma berasal dari bahasa Yunani yaitu “stizein” yang berarti

tato atau tanda, sebuah tanda pembeda dengan cara membakar atau menyayat

masuk ke dalam tubuh para budak atau penjahat yang dilakukan oleh orang

Yunani kuno. Sehingga orang akan mengetahui mereka adalah orang-orang yang

kurang dihargai di masyarakat.28

Menurut Goffman seperti dikutip Dovidio29

mengatakan bahwa stigma digambarkan sebagai sinyal atau tanda yang

menamakan pembawanya sebagai “sesuatu yang merusak atau kotor”, sehingga

menjadi kurang bernilai dibandingkan orang normal. Orang yang distigma

dianggap sebagai orang yang cacat, membahayakan dan rendah dari manusia yang

lain.

Menurut Goffman yang dikutip Yang30

memformulasikan stigma sebagai

sebuah atribut yang sangat mendiskreditkan dan tujuan dari menstigmatisasi

seseorang adalah untuk merendahkan orang tersebut dari manusia yang utuh dan

28

Arboleda-Fl‟orez dalam R. Budi Sarwono, “Dinamika Psikologis Pasien

Psikosis Fase Awal dalam Proses Re-Integrasi Dengan Masyarakat dalam konteks

Budaya Jawa” (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 2013), hlm. 38.

29

J.F Dovidio, B. Major, dan J. Crocker, “Stigma: Introduction and

overview”, dalam Heatherton (eds). The Psychology of Stigma (New York:

GuifordPress, 2003), hlm. 1-28.

30

L.S Yang, A Kleinman, B.G Link, J.C Phelan, S. Lee, and B. Good.

“Culture and Stigma: Adding Moral experience to stigma theory”, Social Science

and Medicine, 64 (2006), hlm. 1524-1535.

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

19

berguna menjadi seseorang yang ternoda dan tidak diperhitungkan. Menurut

Goffman proses pembentukan stigma dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Stigma

merupakan suatu relasi khusus antara atribut dan stereotip. Stigma muncul sebagai

ketidaksesuaian antara identitas virtual sosial dan identitas aktual sosial atau

dengan kata lain perbedaan antara identitas sosial oleh masyarakat dan identitas

diri individu sesungguhnya.

Stigma merupakan situasi yang mengancam. Stigma menempatkan

seseorang/kelompok dalam suatu situasi sosial yang mempengaruhi cara

seseorang diperlakukan. Stigma cenderung membuat seseorang/kelompok

menghasilkan keluaran yang buruk yang mengancam harga diri, prestasi

akademis, kesehatan fisik dan mental individu tersebut. Stigma disebut sebagai

usaha-usaha yang menerapkan stereotip, prasangka (reaksi emosional negatif) dan

perilaku negatif (diskriminatif).31

Menurt Goffman stigma sosial adalah celaan terhadap karakteristik atau

kepercayaan seseorang yang dianggap melawan norma kultural. Goffman

menjelaskan stigma terbentuk dari tiga hal yaitu: pertama, perubahan luar yang

terjadi pada seseorang. Kedua, penyimpangan sifat dalam kehidupan sosial.

Ketiga adalah stigma terhadap suku, etnik, kewarganegaraan atau agama tertentu

yang dianggap menyimpang.32

Hal ini dapat diartikan bahwa suku, etnik dan

31

Major dalam Corriaty Mahdalena Sirait, “Persepsi Stigma dan Dukungan

Sosial Dikaitkan Dengan Perilku Pencegahan Penularan Penyakit „Herpes‟ di desa

Giripurwo kecamatan Purwosari kabupaten Gunungkidul” (Tesis. Universitas

Gadjah Mada, 2013), hlm. 19-20.

32

Erving Goffman, Stigma: Notes on Management of Spoiled Identity

(London: Pinguin Group, 1963), hlm. 64.

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

20

kepercayaan yang dimaksud hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan

dirinya. Kelompok diluar mereka menganggap apa yang dilakukannya

menyimpang.

Proses stigma bergantung pada kehidupan sosial, ekonomi dan kekuatan

politik untuk mendiskriminasi seseorang atau kelompok.33

Kutipan berikut

menjelaskan bahwa stigmatisasi itu memang digunakan untuk membedakan

dirinya dan orang yang berada diluar kelompoknya. Pada umumnya stigma itu

diberikan oleh orang berbeda yang tinggal dalam wilayah yang sama.

Stigma and stigmatization refers to an invisible sign of disapproval which

permits “insiders” to draw a line around the “outsiders” in order to demarcate

the limits of inclusion in any group. The demarcation permits “insider to know

who is “in” and who is “out” and allows the group to maintain its solidarity by

demonstrating what happen to those who deviate from acepted norms of

conduct.34

Stigmatization is an issue of disempowerment and social injustice.35

Kesenian sebagai hasil dari kebudayaan manusia mempunyai nilai penting

dalam kehidupan dan perkembangan umat manusia. Setiap daerah di Indonesia

33

Link and Phelan dalam Anna Scheyett. “The Mark of Madness: Stigma,

Serious Mental Illnesess and Social Work”. Mental Health. Volume 3 no. 4 tahun

2005, hlm. 79-97.

34

Gerhard Falk. Stigma: How We Treats Outsiders (New York: Prometheus

Books, 2001), hlm. 13.

35

Anna Scheyett. loc. cit., hlm. 79-97.

Terjemahan: Stigma dan stigmatisasi merujuk pada tanda yang tak terlihat

dari “orang dalam” untuk menggambarkan garis di sekitar “orang luar” untuk

membatasi penyertaan dalam berbagai kelompok. Batas ini memberikan

pengertian “orang dalam untuk mengetahui siapa yang ada „di dalam‟ dan „di luar‟

suatu kelompok untuk mempertahankan solidaritas dengan menunjukkan apa yang

menyimpang dari norma. Stigmatisasi adalah isu ketidakberdayaan dan

ketidakadilan sosial.

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

21

memiliki kebudayaan yang masing-masing menunjukkan identitas daerahnya

sendiri-sendiri dan mengembangkan kebudayaannya yang mempunyai ciri khas

dan berfungsi sebagai pengenal bagi para penduduknya. Banyuwangi merupakan

sebuah entitas baru yang membutuhkan pengakuan serta penilaian dari

masyarakat luas tentang keberadaannya sehingga bisa bergaul dengan dunia luar

dengan baik. Jadi pentingnya identitas bagi suatu entitas adalah meneguhkan

keberadaannya sehingga diakui dan dapat dinilai oleh dunia luar.

Penelitian ini mencoba mengungkapkan seni pertunjukan Banyuwangi

secara detail dari asal-usul, karakter dan pengaruh yang oleh masyarakat luar

diberikan nilai negatif sehingga memberi kesan buruk pada Banyuwangi.

F. Metode Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, sangat penting untuk memperhatikan

Metode Penelitian. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode

penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan

menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan

rekonstruksi yang imajinatif.36

Adapun langkah-langkah dalam metode penelitian

ini meliputi empat langkah sebagai berikut: 1) heuristik, 2) kritik, 3) interpretasi,

4) historiografi.37

36

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terjemahan oleh Nugroho

Notosusanto (Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 32.

37

Nugroho Notosusanto, Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan

Sedjarah (Djakarta: Pusat Sedjarah ABRI Dephankam Yayasan Kanisus, 1971),

hlm. 17.

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

22

Sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah

tertulis dan sumber sejarah lisan. Sumber tertulis yang ditemukan berupa

dokumen, arsip, laporan tugas akhir, laporan penelitian, jurnal dan buku-buku

yang berkaitan dengan tema penelitian ini, sedangkan sumber lisan berasal dari

kegiatan wawancara. Data-data tersebut berasal dari sumber primer dan sekunder.

Untuk mendapatkan data atau sumber yang diinginkan, maka peneliti

menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumenter. Wawancara

dilakukan dengan beberapa narasumber yang berkompeten di antaranya adalah

pelaku seni, pecinta seni, pengamat budaya dan sejarawan lokal Banyuwangi.

Studi dokumenter dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa buku, dokumen, laporan tugas

akhir, laporan penelitian dan jurnal yang didapatkan dari Arsip Nasional Republik

Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas

Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Balai Pustaka,

Perpustakaan Kollese Ignatius, Perpustakaan Universitas Jember (terdapat ruang

koleksi khusus tentang Using, Madura dan Tengger), Perpustakaan ISI Surakarta,

Koleksi perpustakaan IVAA, Koleksi Pusat Studi Budaya Banyuwangi dan

koleksi pribadi.

Kritik sumber dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara antara

satu informan dengan informan lain. Penulis juga membandingkan hasil

wawancara dengan sumber-sumber dokumenter yaitu dengan buku-buku yang

relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Setelah semua data

dikumpulkan kemudian dipilah-pilah, kemudian membandingkan dan

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

23

menghubungkan fakta-fakta sejarah yang dikumpulkan (interpretasi) sehingga

menghasilkan informasi yang relevan dan dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

Langkah terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini akan dibagi kedalam enam bab dengan rincian sebagai

berikut; Bab 1 berupa latar belakang yang merupakan alasan penulis mengambil

tema identitas Banyuwangi dalam penelitian ini. Gambaran singkat mengenai

sejarah Banyuwangi dan keseniannya serta pentingnya identitas bagi suatu daerah.

Bab 2 penelitian ini didahului dengan menjelaskan latar belakang kondisi

ekologis, demografis, etnis, agama dan kepercayan serta sosio kultural

Banyuwangi. Persoalan ini penting dibahas lebih dahulu untuk memberi

pemahaman yang lebih tentang latar belakang pluralisme di Banyuwangi kepada

pembaca. Aspek ekologis perlu dijelaskan untuk melihat bagaimana keadaan alam

Banyuwangi bisa menyebabkan timbulnya budaya agraris yang masih terus

dipertahankan sampai sekarang. Aspek demografis perlu dijelaskan untuk melihat

komposisi penduduk yang ada di Banyuwangi dari waktu ke waktu baik penduduk

asli maupun pendatang yang berperan dalam mendukung terpeliharanya kesenian

yang ada di Banyuwangi. Aspek etnisitas perlu dijelaskan untuk melihat etnis apa

saja yang hidup di Banyuwangi dan sejauh mana peran etnis mempengaruhi

kesenian-kesenian Banyuwangi. Aspek agama perlu dijelaskan untuk melihat

peran elit agama dalam mendukung kesenian Banyuwangi. Aspek sosio kultural

perlu dijelaskan untuk melihat sejauh mana penduduk Banyuwangi yang plural

melestarikan kesenian yang ada di Banyuwangi.

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

24

Bab 3 menjelaskan tentang deskripsi tiga jenis kesenian Banyuwangi yang

terstigma. Seni pertama adalah Damarwulan. Sejarah masuknya Damarwulan ke

Banyuwangi yang tidak lepas dari migrasi penduduk dari daerah Jawa Tengah

atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mataraman ke daerah Banyuwangi pada

sekitar tahun 1930-an. Mereka membawa Damarwulan ke Banyuwangi yang

kemudian mengalami perkembangan. Gandrung yang merupakan akulturasi dari

kesenian Jawa, Bali dan Banyuwangi. Gandrung adalah sisa-sisa budaya awal

yang muncul di Banyuwangi. Gandrung adalah perwujudan rasa terima kasih

masyarakat agraris kepada dewi kesuburan yang telah menganugerahkan tanah

yang subur dan hasil pertanian yang melimpah. Rasa terima kasih tersebut

diwujudkan dalam bentuk tarian. Selanjutnya dibahas mengenai musik lokal

Banyuwangi. Sejarah lahirnya musik lokal dan perkembangannya.

Bab 4 menjelaskan stigmatisasi yang terjadi pada tiga kesenian Banyuwangi

yang sudah dijelaskan ada bab 3. Stigmatisasi yang terjadi pada tiga kesenian itu

tidak terlepas dari proses budaya dan politik yang terjadi di Banyuwangi.

Damarwulan distigmatisasi dengan tokoh Minakjinggo yang diyakini masyarakat

sebagai Raja Blambangan. Namun Minakjinggo digambarkan dengan sosok yang

buruk rupa. Gandrung sebagai kesenian tradisional Banyuwangi distigmakan

sebagai seni yang erotis. Gerak dalam tarian ini dianggap menggoda para

penonton, terutama penonton laki-laki. Secara tidak langsung perempuan

Banyuwangi terstigma sebagai perempuan penggoda. Sedangkan musik lokal

Banyuwangi distigmatisasi sebagai musik kiri. Hal ini tidak lepas dari keterkaitan

para seniman dengan Lekra.

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87231/potongan/S2-2015... · untuk melakukan penguasaan terhadap daerah Timur Pulau Jawa yaitu Blambangan

25

Bab 5 penulisan tesis ini menjelaskan tentang adanya gerakan melawan

stigmatisasi dan pembentukan identitas dari ketiga jenis kesenian itu. Damarwulan

melawan stigma dengan membalikkan tokoh Minakjinggo dari sosok buruk rupa

menjadi kesatria yang rupawan. Dengan adanya otonomi daerah, Gandrung

menjelma menjadi seni pertunjukan yang komersil. Gandrung menjadi bagian

penting dalam kegiatan pariwisata di Banyuwangi. Bentuk perlawanan terhadap

stigma dari musik lokal Banyuwangi adalah dengan mengubah aliran musik dari

realisme sosial menjadi sosial religius. Perlawanan terhadap stigma ini

berhubungan erat dengan identitas baru yang dibentuk untuk menghindari

Banyuwangi dari stigma. Untuk membentuk identitas baru, dalam cerita

Damarwulan, Minakjinggo dijadikan sebagai pahlawan Blambangan. Gandrung

yang awalnya sebuah tarian erotis, kini menjadi icon pariwisata kabupaten

Banyuwangi. Sedangkan musik lokal menjelma menjadi musik pop dengan tema-

tema yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat.

Bab terakhir penelitian ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari

rumusan masalah dalam penelitian ini serta saran untuk perbaikan penelitian ini

dikemudian hari.