bab i pendahuluan i.1. latar...

4
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Serabut saraf intraepidermal merupakan bagian dari sistem saraf tepi. Serabut ini merupakan cabang akhir saraf sensorik yang berada dalam jaringan kulit (Malik, et al., 2011; Periquet et al., 1999). Serabut saraf intraepidermal merupakan salah satu parameter diagnosis neuropati selain perubahan fisiologis dan perilaku nyeri (Chen et al., 2015; Malik et al., 2011; Tesfaye et al., 2010; Pittenger et al., 2004). Neuropati dapat dinilai dengan adanya penurunan densitas serabut saraf intraepidermal. Data penurunan densitas serabut saraf ini didapatkan melalui irisan jaringan sampel kulit yang didapatkan secara acak sistematis. Oleh karenanya serabut saraf intraepidermal harus dapat divisualisasi dan dikuantifikasi pada semua irisan sampel. Visualisasi ini dapat menggunakan metode pewarnaan imunohistokimia dengan mengenali penanda yang diekspresikan oleh serabut saraf intraepidermal tersebut. Salah satunya adalah protein gene product 9.5 (PGP 9.5) (Sun et al., 2014). Berbagai penelitian telah memvisualisasi serabut saraf intraepidermal tersebut dengan antibodi anti PGP 9.5. Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut berbeda dari sisi metode pewarnaan imunohistokimianya, mulai dari ketebalan irisan jaringan, proses antigen retrieval dan juga produk antibodi yang digunakan. Perbedaan tersebut terkait dengan fasilitas laboratorium yang digunakan.

Upload: duongkhanh

Post on 09-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Serabut saraf intraepidermal merupakan bagian dari sistem saraf tepi.

Serabut ini merupakan cabang akhir saraf sensorik yang berada dalam jaringan

kulit (Malik, et al., 2011; Periquet et al., 1999). Serabut saraf intraepidermal

merupakan salah satu parameter diagnosis neuropati selain perubahan fisiologis

dan perilaku nyeri (Chen et al., 2015; Malik et al., 2011; Tesfaye et al., 2010;

Pittenger et al., 2004).

Neuropati dapat dinilai dengan adanya penurunan densitas serabut saraf

intraepidermal. Data penurunan densitas serabut saraf ini didapatkan melalui

irisan jaringan sampel kulit yang didapatkan secara acak sistematis. Oleh

karenanya serabut saraf intraepidermal harus dapat divisualisasi dan dikuantifikasi

pada semua irisan sampel. Visualisasi ini dapat menggunakan metode pewarnaan

imunohistokimia dengan mengenali penanda yang diekspresikan oleh serabut

saraf intraepidermal tersebut. Salah satunya adalah protein gene product 9.5 (PGP

9.5) (Sun et al., 2014).

Berbagai penelitian telah memvisualisasi serabut saraf intraepidermal

tersebut dengan antibodi anti PGP 9.5. Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut

berbeda dari sisi metode pewarnaan imunohistokimianya, mulai dari ketebalan

irisan jaringan, proses antigen retrieval dan juga produk antibodi yang digunakan.

Perbedaan tersebut terkait dengan fasilitas laboratorium yang digunakan.

2

Sebagian besar teknik yang telah dilaporkan menggunakan irisan tebal

yang didapatkan dari potong beku (Schmid et al., 2014). Potong beku dilakukan

untuk mempertahankan struktur yang akan dideteksi supaya dapat dikenali oleh

antibodi yang digunakan. Akan tetapi teknik ini memiliki kekurangan pada proses

pembekuan dan penyimpanan yang memerlukan suhu rendah. Bila suhu

pembekuan tidak cukup rendah ada kemungkinan terbentuk artefak kristal es.

Blok parafin juga digunakan untuk deteksi serabut saraf intraepidermal.

Keuntungannya adalah penyimpanan yang lebih mudah dalam jangka waktu lama.

Irisan yang dibuat dapat berupa irisan tebal (> 20 µm) atau irisan tipis (< 20 µm).

Keunggulan irisan tipis ini adalah penetrasi antibodi yang digunakan lebih cepat

dan baik. Bila menggunakan irisan tebal, laboratorium sederhana tidak didukung

alat potong dan mikroskop khusus yang dapat mengevaluasi penetrasi antibodi ke

seluruh ketebalan irisan.

Label yang digunakan untuk evaluasi dapat berupa fluoresens atau enzim

terutama Horseradish peroxidase (HRP)-enzim (Drel et al., 2007). Penggunaan

label HRP memiliki keunggulan menghasilkan gambaran struktur jaringan yang

lebih lama diamati dibandingkan label fluoresen dan tidak memerlukan mikroskop

khusus.

Untuk mendapatkan hasil visualisasi serabut saraf intraepidermal yang

dapat dikuantifikasi dengan pewarnaan imunohistokimia maka teknik

pewarnaannya harus tepat. Teknik pewarnaan yang tepat didapatkan dengan

melakukan pengoptimumam sebelumnya, terlebih dilaksanakan pada laboratorium

sederhana dengan menggunakan jaringan dari blok parafin. Pengoptimumam ini

3

termasuk proses antigen retrieval, perlu diperhatikan, dalam berbagai penelitian

informasi mengenai tahap ini sangat sedikit dan berbeda metode dan suhunya

(Thomsen et al., 2009). Pewarnaan dengan antibodi primer juga perlu

dipertimbangkan mulai dari pengenceran, suhu dan lama inkubasinya. Pada

penelitian ini akan dilakukan pengoptimuman pewarnaan imunohistokimia dengan

menggunakan antibodi anti PGP 9.5 (Abcam ab8189) untuk mendeteksi serabut

saraf intraepidermal mencit.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka muncul permasalahan sebagai

berikut:

Bagaimana cara terbaik melakukan pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi

anti PGP 9.5 untuk deteksi serabut saraf intraepidermal menggunakan jaringan

dari blok parafin.

I.3. Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan hasil pengoptimumam pewarnaan imunohistokimia dengan

antibodi anti PGP 9.5 untuk deteksi serabut saraf intraepidermal menggunakan

jaringan dari blok parafin.

I.4. Keaslian Penelitian

Belum adanya artikel yang menjelaskan mengenai pengoptimumam

metode pewarnaan imunohistokimia menjadi keaslian penelitian ini. Berdasarkan

studi literatur, dengan kriteria dilakukan imunohistokimia dengan antibodi anti

4

PGP 9.5 untuk visualisasi serabut saraf intraepidermal pada hewan coba mencit

didapatkan 4 artikel penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu:

1. Stavniichuk et al. (2014) persamaan dengan penelitian ini adalah

dilakukan imunohistokimia dengan antibodi anti PGP 9.5 pada kulit

mencit. Perbedaan dengan penelitian ini adalah ketebalan irisan jaringan

dari blok parafin dan perbedaan produsen antibodi.

2. Yamakawa et al. (2011) persamaan dengan penelitian ini adalah

dilakukan imunohistokimia dengan antibodi anti PGP 9.5 pada kulit

mencit. Perbedaan dengan penelitian ini adalah lama inkubasi antibodi

primer dan perbedaan produsen antibodi.

3. Vareniuk et al. (2008) persamaan dengan penelitian ini adalah dilakukan

imunohistokimia dengan antibodi anti PGP 9.5 pada kulit mencit.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada produsen antibodi yang

digunakan.

I.5. Manfaat Penelitian

Memberi informasi tentang metode optimum pewarnaan imunohistokimia

menggunakan antibodi anti PGP 9.5 untuk deteksi serabut saraf intraepidermal

dari blok parafin. Hasil pewarnaan tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk

mendiagnosis terjadinya perubahan struktur serabut saraf misalnya pada keadaan

neuropati.