bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini berangkat dari pengalaman peneliti ketika peneliti membaca
novel berbahasa Inggris dengan judul The Maze Runner.Peneliti merasa sangat
menikmatinya karena gaya penulisan James Dashner yang enteng, terkesan
“slengekan”, memberikan efek menegangkan namun santai dan komunikatif.
Dashner seolah- olah dapat membawa peneliti sebagai pembaca teks sumber ke
dalam alam fantasi novel The Maze Runner. Hal yang sangat berbeda yang
dirasakan peneliti ketika membaca hasil terjemahan The Maze Runner oleh Yunita
Candra. Di dalamnovel terjemahan The Maze Runner, terdapat onomatope yang
diterjemahkan secara kurang akurat, serta banyak ungkapan makian yang tidak
diterjemahkan. Hal ini mengakibatkan berbedanya novel asli dengan novel
terjemahannya. Apakah suatu karya novel terjemahan yang berbeda dengan novel
aslinya dikatakan baik?
Suatu terjemahan dapat dikatakan baik atau tidak, dapat dinilai dari tiga
hal yaitu keakuratan (accuracy),keberterimaan (acceptability), dan keterbacaan
(readability). Keakuratan dimaksudkan bila tidak terjadi distorsi makna antara
karya asli dan karya terjemahan sehingga isi atau makna dari karya asli dan karya
terjemahannya sama atau memiliki kesepadanan makna.Keberterimaan mengacu
pada seberapa lazim istilah yang digunakan, dan apakah penggunaan
2
ungkapannya sudah sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.Keterbacaan mengacu
pada seberapa mudah suatu ungkapan dipahami oleh pembaca teks sasaran.
Berangkat dari penjabaran tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji
kualitas dari hasil terjemahan novel The Maze Runnertanpa memperhitungkan
proses penerjemahannya. Kata kualitas disini digunakan sebagai istilah payung
(umbrella term) yang terdiri dari dua hal yang dinilai, antara lain keakuratan
(accurancy) dan keterbacaan (readability).Dalam menilai keakuratan dan
keterbacaan terjemahan novel The Maze Runner,peneliti memfokuskan
penelitiannya pada aspek semantik saja, dimana onomatope, ungkapan makian,
dan ungkapan budaya merupakan fokus dalam penelitian ini. Data dari penelitian
ini merupakan onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya yang berada
dalam tataran kalimat. Peneliti memfokuskan penelitiannya hanya pada ke tiga hal
tersebut karena di dalam novel The Maze Runner banyak ditemukan onomatope,
ungkapan makian, dan ungkapan budaya yang sangat menarik untuk dikaji.Kajian
ini diberi judul Keakuratan dan Keterbacaan Terjemahan Onomatope, Ungkapan
Makian dan Ungkapan Budaya dalam Novel The Maze Runner ke dalam Bahasa
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka penelitian ini
merumuskannya dalam dua rumusan masalah, antara lain:
1. Bagaimana keakuratan terjemahan onomatope, ungkapan makian, dan
ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner?
3
2. Bagaimana keterbacaan terjemahan onomatope, ungkapan makian, dan
ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan sesuai dengan rumusan masalah yang
ada, antara lain:
1. Mendeskripsikan keakuratan terjemahan onomatope, ungkapan makian,
dan ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner.
2. Mendeskripsikan keterbacaan terjemahan onomatope, ungkapan makian,
dan ungkapan budaya dalam novel terjemahan The Maze Runner.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoretis
maupun manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian linguistik terapan,
khususnya dalam kaitannya dengan terjemahan (translation).
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis yaitu dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat memberikan panduan bagi pembelajar tentang penerjemahan
khususnya mengenai keakuratan (accuracy) dan keterbacaan (readability)
terjemahan onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menambah referensi di bidang penerjemahan bagi peneliti
selanjutnya yang memiliki minat yang sama.
4
1.5 Tinjauan Pustaka
Pelawi (2014) telah melakukan penelitian mengenai terjemahan dalam
disertasinya yang berjudul Dampak Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan
terhadap Hasil Terjemahan Teks The Gospel According to Matthew dalam Teks
Bahasa Indonesia. Data penelitian berupa 1) kata, frasa, klausa, kalimat, dan teks;
2) pernyataan-pernyataan ahli terjemahan mengenai keakuratan terjemahan; 3)
pernyataan- pernyataan para ahli keagamaan mengenai tingkat keberterimaan
terjemahan; 4) pernyataan-pernyataan para umat Kristen mengenai tingkat
keterbacaan terjemahan. Dalam menilai keakuratan dan terjemahan, Pelawi
menggunakan Instrumen Penilai Tingkat Keakuratan Terjemahan (disajikan dalam
tabel 1) dan Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan (disajikan dalam tabel 2).
Tabel 1. Instrumen Penilai Tingkat Keakuratan Terjemahan (Pelawi,2014)
Kategori
Terjemahan
Skor Parameter kualitatif
Akurat 3
Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, dan kalimat
atau teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke
dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi
distorsi makna.
Kurang
Akurat 2
Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa,
klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah
dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran.
Namun, masih terdapat distorsi makna atau
terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna
yang dihilangkan yang mengganggu keutuhan
pesan.
Tidak
Akurat 1
Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat
atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak
akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan
(deleted).
5
Tabel 2. Instrumen Penilai Tingkat Keterbacaan Terjemahan (Pelawi,2014)
Kategori
Terjemahan
Skor Parameter kualitatif
Tingkat
Keterbacaan
Tinggi
3
Kata, istilah teknis, frasa, klausa, dan kalimat atau
teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah
oleh pembaca
Tingkat
Keterbacaan
Sedang
2
Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh
pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus
dibaca lebih dari satu kali untuk memahami
terjemahan
Tingkat
Keterbacaan
Rendah
1
Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca
Dalam penelitian ini, Pelawi menemukan teknik terjemahan yang
diterapkan, antara lain teknik tunggal, kuplet, triplet dan kwartet. Secara teori, dari
sembilan teknik penerjemahan yang diterapkan, teknik harfiah dan peminjaman
alamiah berorientasi pada bahasa dan budaya bahasa sumber, sedangkan enam
lainnya, yaitu modulasi, transposisi, amplifikasi, penghilangan, penambahan,
reduksi, dan generalisasi berorientasi pada bahasa dan budaya sasaran. Metode
penerjemahan yang diterapkan antara lain metode bebas, komunikatif, adaptasi
dan harfiah. Ideologi penerjemahan yang diterapkan yaitu ideologi foreignisasi
dan ideologi domestikasi. Berdasarkan frekuensi penggunaannya, ideologi
domestikasi yang berorientasi pada bahasa dan budaya sasaran paling banyak
diterapkan, kemudian diikuti oleh ideologi foreignisasi yang berorientasi pada
bahasa dan budaya sumber. Penerapan teknik yang berorientasi pada bahasa
sasaran, kecuali teknik penghilangan, berdampak positif pada hasil terjemahan,
yaitu akurat, berterima dan mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi.
6
Penelitian mengenai terjemahan juga telah dilakukan oleh Setyowati
(2014) dalam tesisnya yang berjudul Pergeseran dalam Penerjemahan Kohesi
Leksikal dan Faktor-faktor Penyebabnya: Studi Kasus pada Novel Infernodan
Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.Dalam tesisnya, Setyowati meneliti
mengenai jenis-jenis kohesi leksikal yang digunakan dalam novel Inferno asli
(bahasa Inggris) dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, jenis - jenis
pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal dalam novel Inferno, dan faktor-
faktor penyebab terjadinya pergeseran dalam penerjemahan tersebut. Sumber
datanya berupa lima bab pertama dari novel Inferno karya Dan Brown, novel
bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Setyowati menemukan
adanya 184 penggunaan kohesi leksikal pada data bahasa Inggris, yang terbagi ke
dalam 9 jenis, antara lain repetisi, sinonim, superordinat, antonim, komplementer,
ko-hiponim, ko-meronim, dan collocation proper. Sedangkan pada data bahasa
Indonesia, Setyowati mendapati 226 kohesi leksikal yang terbagi ke dalam 10
jenis, yaitu repetisi, sinonim, superordinat, istilah umum, antonim, komplementer,
ko-hiponim, ko-meronim, dan collocation proper. Pada rumusan masalah yang
kedua, Setyowati mendapati 221 fenomena pergeseran dalam penerjemahan
kohesi leksikal yang terbagi menjadi 8 jenis, yaitu penghilangan, penambahan,
perubahan leksikon, pergeseran level, pergeseran struktur, pergeseran kelas,
pergeseran intra-sistem dan pergeseran unit. Sedangkan faktor penyebab
terjadinya pergeseran, terdapat dua faktor penyebab, yaitu faktor intralinguistik
dan faktor ekstralinguistik. Faktor intralinguistik terdiri dari perbedaan kaidah/
aturan gramatikal (perbedaan kaidah klausa relatif, struktur f rase nom ina, penanda
7
jumlah jamak, obyek dari suatu verba, artikel takrif, nomina terbilang serta
morfosintaksis) dan pada butir leksikon (bahasa Indonesia tidak memiliki padanan
dari beberapa kata Bahasa Inggris dan untuk menghindari ketaksaan makna).
Faktor ekstralinguistik terdiri dari perbedaan budaya dan juga pilihan penerjemah
(penerjemah memilih untuk mengutamakan kesepadanan makna daripada bentuk
dalam beberapa data dan penerjemah menganut ideologi domestication sehingga
berorientasi pada bentuk- bentuk dalam Bahasa Indonesia).
Penelitian lain yang mengusung tema terjemahan telah dilakukan oleh
Setiawan (2015). Setiawan membahas mengenai Strategi penerjemahan teks
Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris (Studi kasus laman resmi kementrian
sekretariat negara republik Indonesia). Dalam tesisnya, Setiawan mengkaji dua
strategi penerjemahan dari Machali, yaitu strategi penerjemahan pergeseran
bentuk dan strategi penerjemahan pergeseran makna yang diterapkan oleh
penerjemah dalam menerjemahkan teks- teks berita berbahasa Indonesia yang ada
di dalam laman resmi Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia ke
dalam teks berbahasa Inggris. Terdapat dua rumusan masalah penelitian, antara
lain 1) Bagaimana pergeseran bentuk dalam strategi menerjemahkan berita - berita
dalam laman resmi Kementerian Sekretariat Negara RI dan 2) Bagaimana
pergeseran makna dalam strategi menerjemahkan berita - berita dalam raman resmi
Kementerian Sekretariat Negara RI. Hasilnya menunjukkan bahwa di dalam
menerjemahkan teks sumber berbahasa Indonesia ke dalam teks sasaran berbahasa
Inggris dalam Kementerian Sekretariat Negara, penerjemahan menggunakan dua
strategi yaitu strategi pergeseran bentuk atau transposisi dan pergeseran makna
8
atau modulasi. Strategi pergeseran bentuk lebih dominan dibandingkan strategi
pergeseran makna.
Anisah (2012) mengkaji mengenai terjemahan dalam tesisnya dengan
judul Transformasi Terjemahan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia: Studi Kasus
dalam Buku A Child Called It. Anisah meneliti bentuk transformasi segi konvensi
bahasa pada penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia buku A Child
Called It, bentuk transformasi segi konvensi budaya yang ada pada penerjemahan
bahasa Inggris ke bahasa Indonesia buku A Child Called It dan juga fungsi
transformasi terjemahan pada buku A Child Called It. Hasil menunjukkan bahwa
transformasi terjemahan terbagi menjadi dua macam antara lain terjemahan segi
konvensi bahasa yang terdiri dari penambahan, pengurangan, dan transformasi
makna, dan terjemahan segi konvensi budaya yang terdiri dari penambahan ,
pengurangan dan transformasi makna. Sedangkan fungsi transformasi terjemahan
dalam buku A Child Called It antara lain fungsi informatif, penegasan, ekspresif
dan adaptatif, dan referensial.
Dari keempat tinjauan pustaka tersebut diatas, terdapat beberapa
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu perbedaan
pertama terdapat pada rumusan masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Pelawi
hampir mirip dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, hanya saja Pelawi
merangkumnya menjadi satu rumusan masalah saja (keakuratan, keberterimaan
dan keterbacaan). Kedua, objek penelitian dari penelitian ini adalah novel ber -
genre fantasi, dari beberapa penelitian tersebut diatas, belum ada yang
menggunakan objek yang ber-genre fantasi. Ketiga, data pene litian ini merupakan
9
onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya dimana data penelitian ini
berbeda dengan data pada keempat penelitian di atas. Oleh karena itu, diharapkan
penelitian ini nantinya akan menghasilkan sesuatu yang berbeda dari penelitian -
penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Penerjemahan
Secara umum, penerjemahan merupakan aktifitas mentransfer pesan dari
satu bahasa yang disebut sebagaibahasa sumber (Source Language) ke dalam
bahasa lainnya (Target Language). Definisi yang sama juga disampaikan oleh
Kridalaksana (1985) dalam Nababan (2013:19) yang mengartikan “Penerjemahan
sebagai pemindahan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran
dengan pertama- tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya
bahasanya”. Newmark (1988:10) mendefinisikan penerjemahan dengan lebih
mendalam, “Translation is now used as much to transmit knowledge and to create
understanding between groups and nations, as to transmit culture ”. Dengan kata
lain, penerjemahan tidak sekedar menransfer pesan namun juga menransfer
kebudayaan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Nida dan Taber (1982:33) menjelaskan lebih detail mengenai sistem
penerjemahan yang terdiri dari tiga tahapan, antara lain: 1) analisis, dimana pesan
dari bahasa A dianalisis (a) hubungan gramatikalnya (b) makna dari kata- kata dan
kombinasi kata- katanya, 2) transfer, dimana materi yang telah dianalisis
ditransfer dari bahasa A ke dalam bahasa B (tahap ini terjadi di dalam otak
manusia), 3) restrukturisasi, dimana materi yang telah ditransfer direstrukturisasi
10
untuk menghasilkan pesan akhir yang secara penuh dapat diterima dalam bahasa
sasaran. Sistem penerjemahan tersebut digambarkan lebih lanjut dalam diagram
berikut ini.
A (Source) B (Receptor)
(Analysis) (Restructuring)
Message
X (Transfer) Y
Gambar 1
Sistem Penerjemahan menurut Nida & Taber (1982:33)
Dari penjelasan mengenai penerjemahan diatas, jelas terlihat bahwa
penerjemahan merupakan proses menganalisis pesanbahasa sumber yang
kemudian makna yang telah dianalisis tersebut diproses di dalam pikiran manusia
untuk dicarikan padanannya di dalam bahasa sasarankemudian dilanjutkan dengan
merestrukturisasi ulang ke dalam bahasa sasaran. Dalam proses transfer tersebut,
terdapat kemungkinan munculnya beberapa kesulitan dalam menerjemahkan,
seperti ketidaksepadanan makna. Oleh karena itu, topik mengenai penerjemahan
erat kaitannya dengan kesepadanan.
11
1.6.2 Kesepadanan
Penerjemahan merupakan aktifitas pencarian padanan dari bahasa sumber
(Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Oleh karenanya, kesepadanan adalah kunci
utama di dalam menerjemahkan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Catford (1965:21), “The term „equivalent‟ is clearly a key term .” Catford
menekankan bahwa masalah yang paling utama dalam menerjemahkan yaitu
menemukan kesepadanan terjemahan dalam bahasa sasaran. Newmark (1988 :11)
juga menyadari sulitnya mencari kesepadanan dari bahasa sum ber (Bsu) ke dalam
bahasa sasaran (Bsa) yang m ungkin sebenarnya tidak eksis, mengingat setiap
bahasa memiliki ciri dan struktur yang berbeda- beda. Kesepadanan yang
dimaksudkan Newmark adalah kesepadanan yang masih dimungkinkan adanya
gap antara teks sumber (Tsu) dan teks sasaran (Tsa), namun gap tersebut bisa
dipersempit. Oleh karena itu, Newmark dalam Zulaeni (2013:22)mengusulkan
cara baru untuk mempersempit kesepadanan yaitu dengan apa yang disebutnya
Communicative Translation dan Semantic Translation. Penerjemahan
Komunikatif (Communicative Translation) dimaksudkan untuk mendapatkan
kemiripan efek pembaca terjemahan dengan efek yang sama dirasakan oleh
pembaca novel aslinya, sedangkan Penerjemahan Semantik (S emantic
Translation) yaitu membuat semua unsur sintaktik dan semantik dari bahasa
sumber diterjemahkan sedekat mungkin dengan makna kontekstual bahasa
sasaran.
Zulaeni (2013:19) mengutip tulisan Tytler (1791) dalam Bell (1997:10 -
11)yang berjudul „Essay on the Principles of Translation‟, khususnya pada sub-
12
bab pertama „Description of a Good Translation: general rules flow ing from that
description‟ yang menyatakan bahwa terjemahan yang bagus haruslah mengacu
pada tiga aturan umum menerjemahkan, antara lain: 1) terjemahan harus bisa
menyajikan transkrip yang utuh dari semua ide yang ada pada karya asli, 2) gaya
dan cara „style and manner‟ dari penulisan haruslah berkarakter sama dengan
karya asli dan 3) Bahasa sasaran haruslah mempunyai dan mengandung semua
kasus yang ada pada bahasa sumber. Dengan kata lain, suatu terjemahan dapat
dikatakan baik apabila tercapai kesepadanan antara bahasa sumber dan bahasa
target sehingga pembaca karya terjemahan dapat merasakan efek yang sama
sebagaimana pembaca bahasa sumber membaca karya aslinya.
1.6.3 Teknik Penerjemahan
Molina dan Albir (2002) mendefinisikan teknik terjemahan sebagai
“…..understood as an instrument of textual analysis that, in combination with
other instruments, allows us to study how translation equivalence works in
relation to the original text”. Molina dan Albir (2002) mengklasifikasikan teknik
penerjemahan menjadi beberapa kelompok, antara lain:
1. Peminjaman (borrowing). Teknik ini dilakukan dengan cara kata dipinjam
secara langsung dari bahasa lain (bahasa sumber). Terdapat dua macam
teknik peminjaman, yaitu peminjaman murni (pure borrowing) dan
peminjaman alami (naturalized borrowing). Sebagai contohnya
peminjaman murni yaitu kata hamburger dari bahasa Inggris
diterjemahkan hamburger dalam bahasa Indonesia, sedangkan peminjaman
13
alami yaitu mayonnaise dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi
mayones dalam bahasa Indonesia.
2. Kalke (Calque). Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara
menerjemahkan kata atau frasa bahasa sumber secara literal ke dalam
bahasa sasaran. Ciri khas dari teknik ini adalah adanya interferensi struktur
teks sumber pada bahasa sasaran (Molina dan Albir, 2002). Contoh dari
penggunaan teknik ini adalah Directorate Generaldalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi Direktorat Jendral dalam bahasa Indonesia.
3. Penerjemahan harfiah (literal translation). Penerjemahan ini dilakukan
dengan cara menerjemahkan kata per- kata dengan mengesampingkan
konteks.Contoh dari penerjemahan harfiah adalah Killing two birds with
one stone (bahasa Inggris) diterjemahkan menjadi Membunuh dua burung
dengan satu batu (bahasa Indonesia).
4. Transposisi (transposition).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan
cara mengubah kelas kata. Kata kerja di dalam teks sumber dirubah
menjadi kata benda dalam bahasa sasaran, atau kata benda dirubah
menjadi preposisi. Contohnya yaitu adept dari bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi terampil dalam bahasa Indonesia.
5. Modulasi (modulation).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara
merubah sudut pandang atau kategori kognitif. Sebagai contohnya, kalimat
I cut my finger(bahasa Inggris) tidak diterjemahkan menjadi Aku mengiris
jariku, tetapi diterjemahkan menjadi Jariku teriris (bahasa Indonesia).
14
6. Adaptasi (adaptation). Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara
menggantikan ungkapan budaya teks sumber menjadi ungkapan budaya
bahasa sasaran yang memiliki makna yang sama atau serupa. Sebagai
contoh ungkapan As white as snow dalam bahasa Inggris diterjemahkan
menjadi Seputih Kapas dalam bahasa Indonesia.
7. Kompensasi (compensation).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan
menyampaikan pesan dari teks sumber ke bagian lain dari teks bahasa
sasaran karena adanya pengaruh stilistika, kata/ frasa tersebut tidak dapat
diletatakkan pada tempat yang sama seperti teks sumber. Sebagai
contohnya frasa A pair of scissors (bahasa Inggris) diterjemahan menjadi
Sebuah gunting (bahasa Indonesia).
8. Amplifikasi (amplification).Teknik penerjemahan ini menerjemahkan
dengan cara memparafrase suatu informasi yang implisit dari teks sumber
ke bahasa sasaran (Molina dan Albir, 2002). Contoh ungkapan dari
penggunaan teknik ini adalah Idul Fitri yang diparafrase menjadi Hari
besar/ raya umat Islam.
9. Generalisasi (generalization). Menerjemahkan istilah teks sumber dengan
istilah bahasa sasaran yang lebih umum. Sebagai contohnya istilah
mansiondalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi tempat tinggal dalam
bahasa Indonesia.
10. Partikularisasi (particularization).Penerjemahan dengan teknik ini
dilakukan dengan cara menggantikan suatu istilah teks sum ber dengan
istilah yang lebih konkrit, presisi atau spesifik (seperordinat ke
15
subordinat). Teknik ini merupakan kebalikan dari generalisasi. Contoh dari
penggunaan teknik ini adalah Air transportation dalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi pesawat dalam bahasa Indonesia.
11. Reduksi (reduction).Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara
menghapuskan secara parsial karena penghapusan tersebut dianggap tidak
menimbulkan distorsi makna atau mengimplisitkan suatu informasi yang
eksplisit dalam bahasa sasaran. Teknik ini merupakan kebalikan dari
teknik amplifikasi. Sebagai contohnya Jokowi the president of Indonesia
dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Jokowi dalam bahasa
Indonesia).
12. Substitusi (substitution).Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan
mengubah unsur- unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi atau isyarat).
Sebagai contoh menganggukkan kepala diterjemahkan menjadi ungkapan
setuju.
13. Variasi (variation).Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara
mengubah unsur linguistik dan paralinguistik yang mempenga ruhi variasi
linguistik, seperti perubahan tona tekstual, gaya bahsa, dialek sosial, dialek
geografis. Teknik penerjemahan ini biasanya digunakan untuk
menerjemahkan naskah drama.
14. Amplifikasi linguistic (linguistic amplification). Teknik penerjemahan ini
dilakukan dengan cara menambahkan unsur- unsur linguistik dalam bahasa
sasaran. Teknik ini biasa digunakan pada sulih suara.
16
15. Kompresi linguistik (linguistic compression).Teknik penerjemahan ini
dilakukan dengan cara mensintesa unsur- unsur linguistik pada bahasa
sasaran (Molina dan Albir, 2002). Teknik ini lazim digunakan dalam
penerjemahan teks film. Contohnya Yes so what? (bahasa Inggris)
diterjemahkan menjadi Y? (bahasa Spanyol).
16. Deskripsi (description).Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara
menggantikan sebuah ungkapan dengan deskripsi fungsi dan bentuknya.
Sebagai contohnya Nursing Room(bahasa Inggris) diterjemahkan menjadi
Ruang untuk menyusui (bahasa Indonesia).
17. Kreasi diskursif (discursive creation).Teknik penerjemahan ini dilakukan
dengan menerjemahkan ungkapan dengan menggunakan padanan diluar
konteks teks sum ber. Teknik ini biasa digunakan dalam judul buku atau
judul film. Sebagai contohnya Husband for A Year (bahasa Inggris)
diterjemahkan menjadi suami sementara (bahasa Indonesia).
18. Kesepadanan Lazim (established equivalent). Teknik penerjemahan ini
dilakukan dengan cara menggantikan istilah dalam bahasa sasaran yang
sudah lazim digunakan atau didengar. Sebagai contohnya penggunaan
istilah efisien dan efektif lebih lazim digunakan daripada istilah sangkil
dan mangkus.
19. Penambahan. Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan menambahkan
informasi bertujuan untuk memperjelas konsep. Sebagai contoh kalimat
He is a dentist (bahasa Inggris) diterjemahkan menjadi Laki- laki muda itu
adalah dokter gigi (bahasa Indonesia).
17
20. Penghapusan (deletion). Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara
menghapuskan informasi bsu secara menyeluruh. Teknik ini hampir mirip
dengan teknik reduksi. Teknik reduksi hanya menghilangkan informasi
secara parsial sedangkan teknik penghapusan menghilangkan informasi
secara menyeluruh.
1.6.4 Keakuratan (Accuracy)
Dikarenakan penerjemahan merupakan kegiatan memindahkan pesan dari
bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), istilah keakuratan
pemindahan pesan daribahasa sumber ke dalam bahasa sasaran menjadi hal yang
penting. Apabila pesan dari bahasa sumber tidak tersampaikan secara utuh ke
dalam bahasa sasaran dapat diartikan bahwa terjemahannya tidak atau kurang
akurat. Nida dan Taber (1982:1) meyakini bahwa keakuratan terjemahan
ditentukan oleh apakah pembaca terjemahan memahami pesan secara akurat
seperti yang dimaksudkan oleh penulis aslinya. Seperti yang disebutkan oleh
Kridalaksana (1985) dalam Nababan (2013:19) bahwasannya penerjemahan
sebagai proses penyampaian amanat, sehingga seharusnya amanat tersebut dapat
disampaikan secara utuh, akurat, tanpa ada pengurangan ataupun
penambahan.Dapat disimpulkan bahwa keakuratan adalah pemindahan pesan
semirip mungkin dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
18
1.6.5 Keterbacaan (Readability)
Karya terjemahan erat kaitannya dengan keterbacaan. Ricards et a l.
(1985:238) dalam Pelawi (2014:77) menyatakan bahwa keterbacaan merujuk pada
seberapa mudah sebuah teks dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Terkadang
pembaca bahasa sasaran (Bsa) tidak membaca karya aslinya dalam bahasa sumber
sehingga mereka mengharapkan agar terjemahan yang mereka baca dapat dengan
mudah mereka pahami, dengan kata- kata senatural mungkin dalam bahasa
sasaran dan struktur kalimat yang mudah dipahami, seolah- olah karya tersebut
karya asli, bukan hasil dari penerjemahan. Larson (1998:545) menambahkan
bahwa sebuah teks yang dapat dibaca yaitu teks yang memiliki penulisan yang
baik. Penulisan yang baik yang dimaksud Larson mencakup gaya penulisan yang
menyenangkan, ritme yang baik dan tidak terlalu terburu- buru. Secara lanjut
Nababan (2000:317) dalam Pelawi (2014:77) menambahkan faktor - faktor lainnya
yang dapat mempengaruhi keterbacaan sebuah teks terjemahan, yaitu penggunaan
kata- kata asing dan daerah, penggunaan kata dan kalimat taksa, penggunaan
kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut. Pelawi menambahkan,
keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik. Pengukuran keterbacaan
didasarkan pada beberapa hal, seperti panjang rata - rata kalimat, kompleksitas
struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks (Ricards et al.,
1985:238 dalam Pelawi, 2014:77-78).
19
1.6.6 Onomatope
Sebuah bunyi atau suara dapat dipersepsikan dan diproduksi berbeda - beda
oleh setiap penutur yang memiliki la tar belakang budaya yang berbeda. Sebagai
contohnya tiruan suara kucing, penutur berbahasa Indonesia menirukan suara
kucing dengan Meong, penutur bahasa Jepang menirukannya dengan Nyanya,
sedangkan penutur bahasa Inggris menirukannya Miaow . Tiruan suara kucing
Meong, Nyanya, dan Miaow ini disebut dengan onomatope.
Onomatope berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata
onomatopoila, onoma, -atos yang berarti nama dan poieo yang berarti membuat
(Ullmann,1972:82). Menurut Kridalaksana d i dalam Kamus Linguistik
(2008:167), “Onomatope (onomatopeia) adalah penamaan benda atau perbuatan
dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu;
misalnya berkokok, suara dengung, deru, aum, cicit, dsb.” Dapat disimpulkan
bahwa onomatope adalah kosakata tiruan bunyi maupun tiruan suara gerakan atau
perbuatan.
Onomatope dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu onomatope primer d an
onomatope sekunder (Ullmann,1972:84). Onomatope primer merupakan kata
yang merepresentasikan tiruan bunyi. Yang termasuk ke dalam onomatope primer
contohnya kring, dor, kotek, kukuruyuk dan masih banyak tiruan bunyi yang
lainnya. Sedangkan onomatope sekunder adalah kata yang merepresentasikan
suara gerakan atau kondisi fisik atau mental. Onomatope yang termasuk ke dalam
kategori ini antara lain gema, gemeretak, raung, derak, dentum, gemer esik, keriut
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
20
Menerjemahkan onomatope juga bukan merupakan hal yang mudah. Tak
jarang penerjemah menemukan kesulitan dalam menerjemahkan onomatope. Hal
ini disebabkan karena adanya kearbitreran bunyi dan antara penutur satu d engan
penutur lain berbeda dalam mempersepsikan suatu bunyi. Dalam disertasinya,
Zulaeni (2014:146-148) juga menjelaskan empat hal yang menyebabkan sulitnya
menerjemahkan onomatope, yaitu adanya kontroversi mengenai kearbriteran
onomatope, onomatope sangat tergantung pada alat artikulasi sistem ortografi
suatu bahasa, onomatope juga tergantung pada tempat tinggal penutur bahasa
tersebut, dan yang terakhir kebudayaan, tata cara, adat dan norma yang ada pada
sebuah kelompok masyarakat penutur sebuah bahasa juga menentukan ada
tidaknya onomatope dalam kelom pok masyarakat tersebut.
1.6.7 Ungkapan Makian
Memaki atau mengumpat merupakan aktifitas linguistik yang
memanfaatkan kata tabu untuk mengekspresikan emosi yang kuat (Stapleton,2010
dalam Vingerhoets dkk,2013:287). Menurut Cambridge Dictionary , ungkapan
makian merupakan bahasa yang kasar dan menyinggung yang digunakan
seseorang, terutama ketika marah. Definisi yang serupa diungkapkan oleh
Andersson dan Trudgill (1990:53) dalam Zulaeni (2013:108), makian
didefinisikan sebagai “Sebentuk bahasa berupa ekspresi- ekspresi yang a.
Berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat tabu atau distigmakan dalam
kultur kehidupan; b. Tidak boleh diinterpretasikan secara literal; dan c. Bisa
dipergunakan untuk mengekspresikan emosi dan sikap yang dalam dan kuat”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makian merupakan kata tabu, kasar,
21
vulgar dan dapat menyakitkan hati yang digunakan untuk mengungkapkan emosi
yang kuat seperti marah maupun kecewa.
Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat bahwasanya makian cenderung
dikaitkan dengan ekspresi negatif, seperti pengungkapan kemarahan maupun
kekecewaan. Seiring penggunaannya, makian kini memiliki fungsi yang lebih
luas, tidak hanya berkaitan dengan pengungkapan ekspresi- ekspresi negatif saja.
Hal tersebut diungkapkan pula oleh Utama (2015:6) dalam skripsinyabahwa kata
makian umumnya digunakan untuk menghina, namun juga memiliki fungsi lain
seperti mempertegas ekspresi lisan dari sebuah emosi yang kuat. Selain untuk
mengekspresikan kemarahan, menghina seseorang, dan mempertegas ataupun
melebih- lebihkan suatu pernyataan, fungsi lain dari kata makian juga
diungkapkan oleh Gati dan Hartman (2014:6) yaitu untuk membuat orang tertawa.
Dapat diambil kesimpulan bahwasannya kata makian memiliki beberapa fungsi
yaitu untuk mengekspresikan kemarahan, kekesalan ataupun kekecewaan, untuk
mengekspresikan diri, untuk menghina, untuk menguatkan suatu pernyataan,
untuk membuat humor maupun untuk menunjukkan kedekatan.
Makna dari kata makian bukanlah makna literal, namun merupakan makna
konotasi. Oleh karenanya, dalam menerjemahkan kata makian, penerjemah tidak
diperkenankan menerjemahkannya secara literal tanpa memperhitungkan konteks.
Sebagai contohnya, eksklamasi “you bitch!” tidak dapat semena- mena
diinterpretasikan bahwa dia adalah seekor anjing betina, melainkan orang tersebut
di konotasikan seperti anjing betina (bitch). Dalam menerjemahkan kata makian,
hal yang harus diperhatikan adalah kesepadanan maknanya, baik kesepadanan
22
komponen maknanya, maupun makna emotifnya. Konteks tentunya memiliki
andil yang sangat besar dalam penerjemahan kata makian. Oleh karenanya,
menerjemahkan makian memberikan tantangan tersediri bagi setiap penerjemah
karena makian memuat unsur budaya dari bahasa sumber.Zulaeni dalam
Disertasinya (2014:118) menjelaskan bahwa dalam menerjemahkan makian,
penerjemah harus mencari padanan kata makian dari bahasa sumber di dalam
bahasa sasaran. Apabila padanannya tidak diketemukan, maka penerjemah harus
mencari makna kata makian tersebut dan mempelajari konteks yang meliputinya,
kemudian menggantikan kata makian bahasa sumber dengan kata makian lain dari
bahasa sasaran yang sesuai dengan konteks kata makian dalam bahasa sumber.
1.6.8 Ungkapan Budaya
Newmark (1988:94) di dalam bukunya A Textbook of Translation
mengungkapkan bahwa budaya merupakan pandangan hidup atau cara hidup
masyarakat dan manifestasinya yang menggunakan bahasa sebagai media
ekspresinya. Newmark (1988:95), membagi kata- kata budaya menjadi beberapa
kategori, antara lain:
1. Ecology
Flora, fauna, winds, plains, hills, honeysuckle, downs, sirocco,
tundra, pampas, tabuleiros, plateau.
2. Material Culture (Artifact)
a. food: zabaglione, sake, kaiserrschmarren
b. clothes: anorak, kanga (Afrika), sarong (South East), dhoti
(India)
c. Houses and towns: kampong, bourg, bourgade, chalet, low -
rise, tower, mansion
d. Transportation: bike, rikshaw, moulton, cabriolet, tilbury,
caleche.
3. Social Culture ( work and leisure): ajah, amah, condotirre,
biwa, sithar
23
4. Organisations, customs, activities, procedures, concept
a. political and administrative
b. religious
c. artistic
5. Gestures and habit
Penerjemahan tidak dapat terlepas dari budaya bahasa sumber karena
menerjemahkan bahasa berarti menerjemahkan budaya. Proses pembentukan
bahasa dihasilkan oleh kebudayaan dimana bahasa tersebut berada, sehingga suatu
bahasa merupakan bentuk manifestasi budaya yang berbentuk struktur bahasa
(jenis kelamin dari nomina tak bernyawa), bentuk sapaan (seperti Bapak, Ibu,
Mister, Sir, dll), dan juga leksis („the sun sets‟) (Newmark, 1988:95). Oleh
karenanya, bahasa akan memiliki arti apabila bahasa tersebut berada di dalam
kebudayaannya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa proses penerjemahan tidak
hanya dipandang sebagai aktifitas bilingual namun juga sebagai aktifitas
bikultural (Mohanty, 1994:25 dalam Prasetyani).
Menerjemahkan kata- kata budaya satu ke dalam kata- kata budaya yang
lain tentunya akan menemui banyak permasalahan, karena bahasa memiliki
makna apabila berada dalam kebudayaan yang mewadahinya (Prasetyani).
Terlebih lagi apabila budaya bahasa sumber sanga t berbeda dengan budaya bahasa
sasaran. Newmark (1988:94) berpendapat bahwa menerjemahkan kata budaya
tidak akan terlepas dari adanya „gap‟ kebudayaan atau „distance‟ antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Oleh karenanya, seorang penerjemah harus memilik i
kompetensi bahasa dan kompetensi budaya bahasa sumber dan budaya bahasa
sasaran. Selain itu, seorang penerjemah juga harus memiliki kemampuan untuk
menetukan teknik penerjemahan apa yang akan digunakannya untuk
24
menerjemahkan kata budaya sehingga didapatkan terjemahan kata budaya yang
akurat dan berterima. Hal tersebut telah disampaikan oleh Nida (1975:130) dalam
Nababan (2008) bahwa “ .....translators are permanently faced with the problems
of how to treat the cultural aspects implicit in a source text (SL ) and finding the
most appropriate technique of successfully conveying these aspects in the target
language (TL)”. Dengan kata lain, keberhasilan penerjemahan kata budaya
ditentukan oleh kompetensi penerjemah dan keputusan penerjemah dalam
menggunakan teknik terjemahan yang tepat.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dimana menurut
Sudaryanto (1993:62) merupakan pemaparan secara apa adanya akan fakta
kebahasaan yang ada. Peneliti mendeskripsikan data dan disesuaikan dengan
tujuan penelitian sehingga kajian teori yang dituangkan dalam kerangka teori
bukan sebagai tujuan penelitian tetapi sebagai landasan dalam menganalisis data
(Pelawi, 2014:66). Penelitian ini merupakan penelitian pustaka atau content
analysis. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel The Maze Runner karya
James Dashner versi aslinya (bahasa Inggris) dan novel terjemahan dengan judul
yang sama The Maze Runner yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Yunita Candra. Data utama penelitian ini berupa onomatope, ungkapan makian,
dan ungkapan budaya yang berada dalam tataran kalimat.
Penelitian ini juga menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil
questioner.Data kuantitatif ini digunakan untuk menentukan tingkat keakuratan
25
dan keterbacaan serta digunakan sebagai alat untuk menguji validitas dan
reliabilitas Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan dan Instrumen Penilai
Keterbacaan Terjemahan yang digunakan dalam penelitian ini.Selanjutnya,
terdapat tiga tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan penelitian deskriptif,
yaitu penyediaan data, pengelompokan data sesuai kategori (onomatope,
ungkapan makian, dan ungkapan budaya), analisis data, dan penyajian/ perumusan
hasil analisis (Mahsun, 2012:86).
1.8 Metode Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data merupakan tahapan yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan tahapan analisis data (Mahsun, 2012:86). Sumber data dalam
penelitian ini adalah sum ber data tertulis, yaitu novel The Maze Runner versi
bahasa asli (Bahasa Inggris) dan terjemahan (B ahasa Indonesia). Purposive
sampling digunakan dalam pengumpulkan data, dimana sampel data yang diambil
disesuaikan dengan tujuan penelitian (Baryadi, 2015). Data yang dikumpulkan
dari penelitian ini berupa onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya.
Pengumpulan onomatope berdasarkan pada daftar onomatope yang digunakan
oleh Sugahara (2010) dalam disertasinya yang berjudul Onomatopeia in Spoken
and Written English: Corpus- and Usage-based Analysis. Pengum pulan ungkapan
budaya berdasarkan pada kategori yang digunakan Newmark (1988:95).Adapun
langkah kerja yang dilakukan peneliti, antara lain:
1. Membaca novel The Maze Runner dalam teks sumber yaitu Bahasa Inggris dan
novel terjemahan The Maze Runner berbahasa Indonesia.
26
2. Memberi tanda pada onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan budaya
dalam novel asli The Maze Runner dan dalam novel terjemahannya.
3. Mencatat data yang berupa onomatope, ungkapan makian, dan ungkapan
budaya yang telah diberi tanda.
4. Mengelompokkan sesuai kategorisasi yaitu onomatope, ungkapan makian,dan
ungkapan budaya dan dimasukkan ke dalam tabel.
5. Menyusun alat ukur yaitu Instumen Penilai Keakuratan Terjemahan yang
dikembangkan dari Instrumen Penilai Kekuratan Terjemahandan Instrume n
Penilai Keterbacaan Terjemahan yang dikembangkan dari Instrumen Penilai
Keakuratan Terjemahan oleh Pelawi, 2014.
6. Melakukan pengujian validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur untuk
mendapatkan alat ukur yang valid dan reliabel.
7. Setelah data terkumpul dan alat ukur teruji, peneliti m enganalisis data sesuai
rumusan masalah, yaitu kekuratan dan keterbacaan.
Dalam menyusun alat ukur, peneliti melakukan metode lain. Peneliti
menyusun alat ukur dengan mengembangkan alat ukur yang telah digunakan oleh
Pelawi (2014) dalam disertasinya.Peneliti mengembangkan alat ukur yang
digunakan Pelawi (2014) karena sejauh peneliti melakukan tinjauan pustaka,
belum ada alat ukur yang dapat mengukur keakuratan dan keterbacaan selain yang
digunakan oleh Pelawi (2014).Meskipun demikian, pengembangan diperlukan
mengingat data yang digunakan oleh Pelawi (2014) berbeda dengan data pada
penelitian ini.Dalam penelitian ini, terdapat dua instrumen yang digunakan yang
27
dikembangkan, yaitu Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan dan Instrumen
Penilai Keterbacaan Terjemahan.
Langkah selanjutnya setelah alat ukur dikembangkan, peneliti melakukan
uji validitas dan reliabilitas.Terdapat 15 data yang diuji validitas dan
reliabilitasnya.Ke-15 data tersebut terdiri dari 5 data onomatope, 5 data makian
dan 5 data budaya.Pemilihan 5 data pada setiap masing- masing kategori
didasarkan pada sering munculnya ke-15 data tersebut. Setelah dipilih ke-15 data
tersebut, peneliti menyebarkan questioner yang berisi 30 data, dimana 15 data
untuk menguji Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan dan 15 data untuk
menguji Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan. Quesioner diberikan kepada
12 orang teknisi penerjemah yang minimal telah menjadi penerjemah selama satu
tahun.
a. Validitas alat ukur
Menurut Azwar (1997:5), “validitas adalah sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya”. Suatu tes dikatakan
memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur
secara tepat atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud
dilakukannya pengukuran tersebut.Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan
dengan menggunakan validitas isi (Content Validity). Validitas isi adalah sejauh
mana alat ukur telah mewakili semua aspek yang akan diukurnya.
Pengujian validitas ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS
dengan korelasi Produk Momen Pearson.Dalam pengujian validitas terhadap
28
questioner, digunakan validitas item dimana perhitungan dilakukan dengan
mengkorelasikan masing- masing skor item dengan skor total item
(qmc.binus.ac.id).Skor total merupakan hasil pen jumlahan dari keseluruhan skor
item. Suatu data dinyatakan valid apabila item - item berkorelasi signifikan
terhadap skor total atau r hitung ≥ r tabel.
b. Reliabilitas alat ukur
Reliabilitas berasal dari kata reliability, yaitu keajegan pengukuran
(Walizer and Wienir,1978:105). Suatu hasil pengukuran dapat dikatakan reliabel
(dapat dipercaya) apabila ketika dilakukan beberapa kali pengukuran terhadap
kelompok subjek yang sama, hasil pengukuran yang diperoleh relatif sama,
selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar,
1997:4). Dikatakan reliabel atau handal apabila jawaban responden terhadap
pernyataan dalam questioner stabil a tau konsisten dari waktu ke waktu. Apabila
pengukuran tersebut menghasilkan hasil pengukuran yang berbeda - beda ketika
dilakukan pengukuran ulang, berarti penelitian tersebut tidak bisa diandalkan atau
tidak reliabel.
c. Hasil pengukuran
Dilihat dari hasil uji validitas dan reliabilitas Instrumen Penilai Kekuratan
Terjemahan dan Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan dengan tingkat
kepercayaan sebesar 95%, diperoleh hasil bahwa r hitung ≥ r tabel, sehingga
didapatkan hasil bahwa keseluruhan data reliabel atau konsisten atau stabil
29
sehingga instrumen penelitian ini dapat diandalkan.Instrumen Penilai Keakuratan
Terjemahan yang telah diuji validitas dan reliabilitas disajikan pada tabel 3 dan
Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan disajikan pada tabel 4.
Tabel 3. Instrumen Penilai Keakuratan Terjemahan
Kategori
Terjemahan
Skor Parameter Kualitatif
Akurat 1 Makna kata atau frasa teks sumber dialihkan
secaraakurat ke dalam teks sasaran; sama sekali
tidak terjadi distorsi makna.
Kurang
Akurat
2 Sebagian besar makna kata atau frasa teks
sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam
teks sasaran, namun masih terdapat distorsi
makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau
ada makna yang dihilangkan yang mengganggu
keutuhan pesan atau masih terdapat kesalahan
dalam menerjemahkan elemen- elemen tunggal
seperti kesalahan penerjemahan pada
penggunaan infleksi atau fungsi gramatikal.
Tidak Akurat 3 Makna kata atau frasa teks sumber dialihkan
secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau
dihilangkan (deleted) atau terdapat kesalahan
dalam struktur kalimat seperti kesalahan urutan
kata sehingga mengganggu keutuhan pesan.
Tabel 4. Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan
Kategori
Terjemahan
Skor Parameter Kualitatif
Keterbacaan
Baik
1 Terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh
pembaca bahasa sasaran.
Keterbacaan
Kurang Baik
2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh
pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus
dibaca lebih dari satu kali untuk memahami
terjemahan.
Keterbacaan
Tidak Baik
3 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca bahasa
sasaran.
30
1.9 Metode Analisis Data
Pada tahap ini, peneliti melakukan analisis untuk mengkaji mengenai
keakuratan dan keterbacaan novel terjemahan The Maze Runner.Dalam
menganalisis, untuk menentukan keakuratan novel terjemahan, peneliti
menggunakan Cambridge Dictionary , Oxford Dictionary dan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Peneliti juga mencaritahu makna dari kata atau frasa
dari berbagai sumber, seperti buku, internet dan bertanya kepada native ataupun
ahli terjemahan. Setelah mengetahui makna ungkapan, kemudian peneliti
membandingkannya dengan terjemahannya. Peneliti juga menggunakan hasil uji
statistik guna menentukkan apakah terjemahan tersebut akurat, kurang akurat atau
tidak akurat. Menentukkan keakuratan data, didasarkan pada Instrumen Penilai
Keakuratan Terjemahan yang telah disajikan pada Tabel 3.
Dalam menganalisis keterbacaan, peneliti menggunakan kemampuan
peneliti sendiri sebagai penutur asli bahasa sasaran dan sebagai penilai hasil
terjemahan. Dikarenakan penelitian ini berorientasi pada hasil terjemahan,
sehingga peneliti dapat menilai dan mengevaluasi hasil terjemahan(Nababan,
2000:121). Penilaian terhadap padanan semua tataran lingual secara objektif sulit
dicapai sehingga penentuan keterbacaan pun tetap terpengaruh pada subjektifitas
peneliti sebagai penilai hasil terjemahan karena apa yang dianggap enak dibaca
oleh orang satu belum tentu dianggap enak dibaca oleh orang yang lainnya
(Machali, 2000:115; Nababan, 2004:60; Larson, 1998:545). Selain itu, dalam
menentukkan keterbacaan hasil terjemahan, peneliti menggunakan hasil uji
statistik dan Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan yang telah
dikembangkan, yang disajikan pada Tabel 4.
31
Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam menganalisis keakuratan
dan keterbacaan:
1. Setelah onomatope, ungkapan makian, danungkapan budaya terkumpul, dan
dimasukkan ke dalam tabel, kemudian dianalisis sesuai rumusan masalah,
yaitu kekuratan dan keterbacaan dengan menggunakan hasil uji statistik dan
Instrumen Penilai Keakuratan dan Keterbacaan Terjemahan.
2. Dalam menganalisis keakuratan data, peneliti mencari komponen makna
ungkapanTsu dan Tsa, kemudian dibandingkan. Setelah dibandingkan
ditentukkan keakuratannya dengan menggunakan Istrumen Penilai
Keakuratan Terjemahan. Data yang akurat diberi skor 1 dan, data yang
kurang akurat diberi skor 2, dan data yang tidak akurat diberi skor 3.
3. Dalam menganalisis keterbacaan, peneliti menilai hasil terjemahan
berdasarkan pada Instrumen Penilai Keterbacaan Terjemahan kemudian
diberi skor 1 untuk keterbacaan yang tinggi, skor 2 untuk keterbacaan yang
sedang dan skor 3 untuk keterbacaan yang rendah.
4. Hasil dari kedua analisis dipadukan untuk mendapatkan kesimpulan akan
kualitas menyeluruh terjemahan novel The Maze Runner.
1.10 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam penyajian hasil analisis data, penelitian ini menggunakan metode
informal. Metode informal merupakan perumusan dengan menggunakan kata -
kata biasa sehingga penjabaran akan dengan mudah dipahami (Mahsun, 006:116).
32
1.11 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis. Kelima
bab tersebut antara lain:
BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian yang dibagi menjadi
manfaat teoretis dan manfaat praktis, tinjauan pustaka, landasan
teori,metode penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis
data, metode penyajian hasil analisis data, dan sistematika penyajian.
BAB II Keakuratan Terjemahan Novel The Maze Runner.
BAB III Keterbacaan Terjemahan novel The Maze Runner.
BAB IV Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan.