bab i orto

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maloklusi adalah suatu bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak ada keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan serta hubungan yang tidak harmonis antara gigi geligi dengan komponen kraniofasial. Etiologi maloklusi terbagi atas penyebab khusus yang meliputi gangguan perkembangan embriologi, gangguan pertumbuhan skeletal, disfungsi otot, akromegali dan hipertrofi hemimandibula serta gangguan perkembangan gigi, pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan yang meliputi teori keseimbangan dan perkembangan oklusi gigi serta pengaruh fungsional pada perkembangan dentofasial (Basavaraj,2011; Mitchell, 2007, Proffit, 2007, Staley, 2011). Perawatan ortodonti yang ditujukan untuk merawat maloklusi bertujuan agar tercapai efisiensi fungsional, keseimbangan struktur dan keharmonisan estetik. Perawatan ortodonti tidak hanya akan memperbaiki penampilan wajah seseorang tetapi juga akan memperbaiki atau meningkatkan kesehatan gigi secara keseluruhan (Magalhaes, 2010, Nanda, 2010, Proffit, 2007). 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah cara diagnosis ortodonsia sesuai kartu status? 2. Bagaimanakah hasil dari analisa secara keseluruhan yang telah dilakukan? 3. Apa etiologi yang menyebabkan maloklusi pada skenario? 4. Apa diagnosa pasien pada skenario? 5. Bagaimana rencana perawatan yang dapat dilakukan? 6. Bagaimanakah prognosis dari skenario? 1.3 Tujuan Pembahasan 1. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan cara diagnosis ortodonsia sesuai kartu status. 2. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan hasil dari analisa secara keseluruhan yang telah dilakukan. 3. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan etiologi yang menyebabkan maloklusi pada skenario. 4. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan diagnosa pasien pada skenario. 5. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan rencana perawatan pada skenario. 6. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan prognosis pasien pada skenario. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prosedur Penegakan Diagnosis dan Pemeriksaan Prosedur diagnosis diperlukan untuk mendapatkan/memperoleh diagnosa yang tepat dari suatu maloklusi gigi serta menentukan rencana perawatan di bidang ortodonsia. Beberapa analisa yang diperlukan yaitu sebagai berikut : 1. Analisa umum 2. Analisa lokal 3. Analisa fungsional 4. Analisa model 2.1.1 Analisis Umum Biasanya pada bagian status awal suatu pasien tercantum nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pasien. Jenis kelamin dan umur pasien selain sebagai identitas 1

Upload: anisanhakima

Post on 11-Jul-2016

678 views

Category:

Documents


120 download

DESCRIPTION

contoh tugas orto

TRANSCRIPT

29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maloklusi adalah suatu bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak ada keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan serta hubungan yang tidak harmonis antara gigi geligi dengan komponen kraniofasial. Etiologi maloklusi terbagi atas penyebab khusus yang meliputi gangguan perkembangan embriologi, gangguan pertumbuhan skeletal, disfungsi otot, akromegali dan hipertrofi hemimandibula serta gangguan perkembangan gigi, pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan yang meliputi teori keseimbangan dan perkembangan oklusi gigi serta pengaruh fungsional pada perkembangan dentofasial (Basavaraj,2011; Mitchell, 2007, Proffit, 2007, Staley, 2011).

Perawatan ortodonti yang ditujukan untuk merawat maloklusi bertujuan agar tercapai efisiensi fungsional, keseimbangan struktur dan keharmonisan estetik. Perawatan ortodonti tidak hanya akan memperbaiki penampilan wajah seseorang tetapi juga akan memperbaiki atau meningkatkan kesehatan gigi secara keseluruhan (Magalhaes, 2010, Nanda, 2010, Proffit, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah cara diagnosis ortodonsia sesuai kartu status?2. Bagaimanakah hasil dari analisa secara keseluruhan yang telah dilakukan? 3. Apa etiologi yang menyebabkan maloklusi pada skenario? 4. Apa diagnosa pasien pada skenario?5. Bagaimana rencana perawatan yang dapat dilakukan?6. Bagaimanakah prognosis dari skenario? 1.3 Tujuan Pembahasan

1. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan cara diagnosis ortodonsia sesuai kartu status.2. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan hasil dari analisa secara keseluruhan yang telah dilakukan.3. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan etiologi yang menyebabkan maloklusi pada skenario.4. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan diagnosa pasien pada skenario.

5. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan rencana perawatan pada skenario.6. Mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan prognosis pasien pada skenario.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prosedur Penegakan Diagnosis dan PemeriksaanProsedur diagnosis diperlukan untuk mendapatkan/memperoleh diagnosa yang tepat dari suatu maloklusi gigi serta menentukan rencana perawatan di bidang ortodonsia. Beberapa analisa yang diperlukan yaitu sebagai berikut :1. Analisa umum

2. Analisa lokal

3. Analisa fungsional

4. Analisa model

2.1.1 Analisis Umum

Biasanya pada bagian status awal suatu pasien tercantum nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pasien. Jenis kelamin dan umur pasien selain sebagai identitas pasien juga sebagai data yang berkaitan dengan pertumbuhkembangan dentomaksilofasial pasien, misalnya perubahan fase geligi dari fase geligi sulung ke geligi pergantian akhirnya ke fase geligi permanen. Juga adanya perbedaan pertumbuhkembangan muka pria dan wanita, demikian juga adanya perbedaan pertumbuhkembangan pada umur tertentu pada jenis kelamin yang sama.

Keluhan utama pasien biasanya tentang keadaan susunan giginya, yang dirasakan kurang baik sehingga mengganggu estetik dentofasial dan mempengaruhi status sosial serta fungsi pengunyahannya. Pada tahap ini sebaiknya dokter gigi mendengarkan apa yang menjadi keluhan seorang pasien dan tidak mengambil kesimpulan secara sepihak tentang apa yang menjadi keluhan pasien.1. Keadaan Sosial

Keadaan ini kadang-kadang sukar diperoleh disebabkan orang tua pasien kadang-kadang enggan menjawab kondisi emosional anaknya sehingga bisa diganti dengan menanyakan prestasi anak di sekolah.

2. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga

Perlu diketahui riwayat kesehatan pasien sejak lahir sampai pasien datang untuk perawatan. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada orang tua pasien / pasien misalnya apakah pasien dilahirkan secara normal atau tidak. Beberapa tindakan persalinan dapat mengakibatkan trauma pada kondili mandibula sehingga menyebabkan maloklusi dikemudian hari.

3. Berat dan tinggi pasien

Dengan menimbang berat dan mengukur tinggi pasien diharapkan dapat diketahui apakah pertumbuhkembangan pasien normal sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya.

4. Ras

Pengertian ras dalam lingkup ini adalah ras dalam pengertian fisik, bukan dalam pengertian budaya. Penetapan ras pasien dimaksudkan untuk mengetahui ciri fisik pasien karena setiap ras mempunyai ciri fisik tertentu.

5. Bentuk skelet

Sheldon (1940), seorang antropologis, menggolongkan bentuk skelet berdasar jaringan yang dominan yang mempengaruhi bentuk skelet. Seseorang yang langsing dengan sedikit jaringan otot atau lemak digolongkan sebagai ektomorfik. Pada individu seperti ini yang dominan adalah kulit dan saraf yang berasal dari ektoderm. Seseorang yang berotot digolongkan sebagai mesomorfik dan orang yang pendek dengan otot yang kurang berkembang akan tetapi mempunyai lapisan lemak yang tebal disebut endomorfik. Bentuk skelet ini mempunyai hubungan dengan pertumbuhkembangan. Anak dengan bentuk skelet ektomorfik mencapai kematangan lebih lambat daripada anank dengan tipe endomorfik maupun mesomorfik.

6. Ciri keluarga

Ciri keluarga adalah adanya pola-pola tertentu yang selalu ada pada keluarga tersebut. Contoh klasik dibidang ortodontik adalah adanya kelainan skelet yang berupa prognati mandibula pada dinasti Habsburg di Eropa.

7. Penyakit anak

Meskipun biasanya anak dapat pernah menderita berbagai penyakit akan tetapi dalam hal ini yang perlu diketahui adalah penyakit anak yang dapat mengganggu pertumbuhkembangan normal seorang anak. Menurut Moyers (1988), penyakit dengan panas badan yang tinggi dapat menyebabkan gangguan jadwal waktu pertumbuhkembangan gigi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit sistemik lebih berpengaruh pada kualitas gigi daripada kuantitas pertumbuhkembangan gigi. Suatu maloklusi merupakan akibat sekunder kelainan otot dan beberapa kelainan neuropati atau merupakan sekuel dari perawatan skoliosis yang berlangsung lama untuk imobilisasi tulang belakang.

8. Alergi

Alergi terhadap bahan perlu diketahui oleh operator dengan menanyakan pada pasien atau orang tua pasien. Pada pemeriksaan pasien perlu ditanyakan apakah ada alergi terhadap obat-obatan, produk kesehatan, atau lingkungan.9. Kelainan endokrin

Kelainan endokrin yang terjadi pralahir dapat mewujud pada hipoplasia gigi. Kelainan endokrin pascalahir dapat menyebabkan percepatan atau hambatan pertumbuhan muka, mempengaruhi derajat pematangan tulang, penutupan sutura, resorpsi akar sulung dan erupsi gigi permanen.

10. Tonsil

Bila tonsil dalam keadaan radang, dorsum lidah dapat menekan tonsil tersebut. Untuk menghindari keadaan ini mandibula secara reflex diturunkan, gigi tidak kontak sehingga terdapat ruangan yang lebih luas untuk lidah dan biasanya terjadi perdorongan lidah ke depan saat menelan. Tonsil yang besar apalagi bengkak dapat mempengaruhi posisi lidah. Kadang-kadang lidah terletak ke anterior sehingga mengganggu fungsi menelan.

11. Kebiasaan bernafas

Seseorang disebut sebagai penapas mulut apabila dalam keadaan istirahat maupun pada saat melakukan kegiatan selalu bernafas melalui mulut. Seorang penapas hidung kadang-kadang bernafas lewat mulut juga pada keadaan tertentu misalnya pada keadaan saluran pernafasan terganggu oleh karena pilek.

Pasien yang biasa bernafas melalui mulut akan mengalami kesukaran pada saat dilakukan pencetakan untuk membuat model studi maupun model kerja.

2.1.2 Analisis Lokal

1. Pemeriksaan ekstraoral

A. Bentuk kepala Bentuk kepala perlu dipelajari karena bentuk kepala ada hubungannya dengan bentuk muka, palatum, maupun bentuk lengkung gigi. Bentuk kepala ada 3, yaitu :

a. Dolikosefalik (panjang dan sempit)Bentuk kepala ini akan membentuk muka yang sempit, panjang, dan protrusive. Muka seperti ini disebut leptoprosop / sempit. Fossa krania anterior yang panjang dan sempit akan menghasilkan lengkung maksila dan palatum yang sempit, panjang dan dalam.b. Mesosefalik (bentuk rata-rata) c. Brakisefalik (lebar dan pendek)Bentuk kepala ini akan membentuk muka yang lebih besar, kurang protrusive dan disebut euriprosop / lebar. Fossa krania anterior yang lebar dan pendek akan menghasilkan lengkung maksila dan palatum yang lebar, pendek, dan lebih dangkal.

Untuk menentukan tipe kepala sebaiknya tidak hanya mengandalkan pengamatan tetapi melakukan pengukuran yang dapat dilakukan dengan melihat kepala pasien dari arah atas kepala dengan posisi operator di belakang pasien. Dalam mengukur lebar kepala adalah jarak bizigomatik supra mastoideus sedangkan untuk panjang kepala merupakan Jarak Glabella sampai Os. Occipital. Untuk menetapkan indeks sefalik bisa dihitung dengan rumus :

Indeks kepala =Lebar kepala (B) x 100

Panjang kepala (A)

Klasifikasi indeks kepala :

- Dolikosepali (kepala panjang sempit) : 70,0 74,9

- Mesosepali (kepala sedang ) : 75,0 79,9

- Brahisepali (kepala lebar persegi) : 80,0 84,9

Jika indeks : < 70,0 : Hipo Dolikosepali

> 84,9 : Hiper Brakisepali

Gambar. Indeks Kepala

Keterangan : kepala yang brakisefalik

Keterangan : kepala yang dolikosefalik

B. Tipe profil

Tipe profil dibagi dalam 3 bentuk, yaitu : cekung, lurus, dan cembung. Profil yang cembung mengarah ke maloklusi kelas II yang dapat disebabkan rahang atas yang lebih anterior atau mandibula yang lebih posterior. Muka yang cekung mengarah ke maloklusi kelas III yang dapat disebabkan rahang atas lebih posterior atau rahang bawah lebih anterior.

Keterangan : Tipe profil A. cekung, B. lurus, C. cembung

Profil muka : Menurut Graber (1972) dikenal tiga tipe profil muka yaitu :

Cembung (convex)

bila titik petemuan Lip contour bawah Lip contour atas berada didepan garis Glabella Pogonion

Lurus (straight )

bila titik petemuan Lip contour bawah Lip contour atas berada tepat pada garis Glabella Pogonion

Cekung (concave)

bila titik petemuan Lip contour bawah Lip contour atas berada dibelakang garis Glabella Pogonion

Untuk menentukan profil muka digunakan 4 titik anatomis Gabella, Lip Contour atas, Lip Contour bawah dan Pogonion serta garis referensi Glabella - Pogonion sebagaia acuan :

- Glabella (Gl) : Titik terendah dari dahi terletak pada tengah-tengah diantara alis mata kanan dan kiri.

- Lip contour atas (Lca) : Titik terdepan bibir atas.

- Lip contour bawah (Lcb) : Tiik terdepan bibir bawah

- Pogonoin (Pog) : Titik terdepan dari dagu didaerah symphisis mandibula.

Gambar. Tipe profil

Tujuan utama dari pemeriksaan profil muka secara seksama, adalah :

Menentukan posisi rahang dalam jurusan sagital

Evaluasi bibir dan letak insisiv

Evaluasi proporsi wajah dalam arah vertical dan sudut mandibula

C. Tipe Muka

Melihat tipe muka pasien dapat dilakukan dengan melihat dari arah depan pasien.Tipe muka menurut Martin (Graber 1972) dikenal 3 tipe muka yaitu :

- Brahisepali : lebar, persegi

- Mesosepali : lonjong / oval

- Oligisepali : panjang / sempit

Gambar. Hubungan Tipe muka dan lengkung rahang

Indeks muka =Tinggi muka ( A) (Jarak N Gn) x 100

Lebar muka (B) (Jarak bizigomatik)

Klasifikasi indeks muka :

- Euriprosop ( muka pendek, lebar) : 80,0 84,9

- Mesoprosop (muka sedang ) : 85,0 89,9

- Leptoprosop (muka tinggi, sempit) : 90,0 94,9

Jika indeks :< 80,0 : Hipo Euriprosop

> 94,9 : Hiper Leptoprosop

Gambar. Indeks Muka

Menurut Ricket (Graber 1972) lebih tepat untuk bentuk kepala yaitu proyeksi kepala terhadap bidang sagital sedangkan untuk tipe muka lebih tepat menggunakan istilah fasial :

Brakifasial

Mesofasial

Dolikofasial.

Umumnya tipe muka berkaitan erat dengan bentuk lengkung gigi pasien.

D. Bentuk Muka

Bentuk muka : simetris / asimetris

Pada dasarnya setiap orang tidak ada yang memiliki kesimetrisan yang bilateral namun dalam hal ini dilihat pada wajah pasien asimetris yang fisiologis atau patologis.

E. Tonus Otot

Serabut otot bersifat elastis , mempunyai dua macam ketegangan (tonus), aktif dan pasif. Pada waktu kontraksi terdapat ketegangan yang aktif dan apabila dalam keadaan dilatasi terdapat ketegangan pasif. Dengan demikian pada waktu istirahat otot-otot mastikasi dan bibir mempunyai tonus yang dalam keadaan normal terdapat keseimbangan yang harmonis, bila tidak normal tonus otot sangat kuat (hypertonus) atau sangat lemah (hipotonus) dapat menimbulkan anomali pada lengkung gigi akibat adanya ketidakseimbangan atara tekanan otot di luar dan di dalam mulut.

Keadaan bibir pada waktu istirahat (rest position) : terbuka / menutup. Bibir terbuka pada waktu rest posisi bisa disebabkan karena bibir terlalu pendek (incompetent) atau hypotonus otot bibir sering dijumpai pada pada pasien yang gigi depannya protrusif.

F. Fonetik

Dapat diperiksa dengan mengintruksikan pasien mengucapkan huruf tertentu seperti F,S, R, dan Z.

G. Kebiasaan Jelek

Dapat diperiksa dengan menanyakan pada pasien atau juga bisa dilakukan dengan memeriksa wajah atau anggota tubuh lain seperi jari tangan. Anak yang memiliki kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari biasanya ibu jari anak tersebut tampak lebih bersih dan kulitnya mengkerut akibat dari seringnya pasien menghisap ibu jarinya.

2. Pemeriksaan intraoral

Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan mengamati :a. Kebersihan mulutKebersihan mulut (oral hygiene / OH) : baik / cukup / jelek Ini dapat ditetapkan dengan Indeks OHIS, pasien yang kebersihan mulutnya jelek kemungkinan besar kebersihan mulutnya akan lebih jelek lagi selama perawatan dilakukan, oleh karena itu motivasi kebersihan mulut perlu diberikan sebelum perawatan ortodontik dilakukan.

b. Keadaan lidahKeadaan lidah : normal / macroglossia / microglossiaPasien yang mempunyai lidah besar ditandai oleh : Ukuran lidah tampak besar dibandingkan ukuran lengkung giginya

Dalam keadaan relax membuka mulut, lidah tampak luber menutupi permukaan oklusal gigi-gigi bawah.

Pada tepi lidah tampak bercak-bercak akibat tekanan permukaan lingual mahkota gigi (tongue of identation)

Gigi-gigi tampak renggang-renggang (general diastema)

c. Pemeriksaan PalatumPalatum : normal / tinggi / rendah serta normal / lebar / sempitPalatum harus diperiksa untuk menemukan hal-hal berikut :

Variasi kedalaman palatum terjadi pada hubungan dengan variasi bentuk facial. Kebanyakan pasien dolicofacial memiliki palatum yang dalam.

Adanya swelling ( lekukan ) pada palatum dapat mengindikasi suatu keadaan gigi impaksi, adanya kista atau patologis tulang lainnya.

Ulcerasi mukosa dan indentation adalah suatu gambaran dari deep bite traumatic.

Adanya celah palatum diasosiasikan dengan diskontinuitas palatum.

The third rugae biasanya pada garis dengan caninus. Hal ini berguna dalam perkiraan proklinasi anterior maksilla.

Pasien dengan pertumbuhan rahang rahang atas kelateral kurang (kontraksi) biasanya palatumnya tinggi sempit, sedangkan yang pertumbuhan berlebihan (distraksi) biasanya mempunyai palatum rendah lebar. Jika ada kelainan lainnya seperti adanya peradangan, tumor, torus, palatoschisis, dll. dicatat.

d. Pemeriksaan Gingiva

Gingiva : Normal / hypertophy / hypotropy

Gingiva diperiksa untuk mengetahui ada atau tidaknya inflamasi, resesi dan lesi mucogingival lainnya.Biasanya temuan gingivitis marginal pada region anterior disebabkan oleh postur open lip. Adanya oklusi traumatic diindikasikan dengan resesi gingival terlokalisir.

e. Pemeriksaan Mucosa

Mucosa : normal / inflamasi / kelainan lainnya

Pasien dengan oral hygiene yang jelek biasanya mempunyai gingiva dan mucosa yang inflamasi dan hypertropy.

f. Pemeriksaan Perlekatan Frenulum

Perlekatan frenulum abnormal didiagnosis dengan suatu tes pemutihan dimana bibir atas upward dan outward beberapa lama.Adanya pemutihan pada region papilla unter-dental mendiagnosis suatu frenulum abnormal.Frenulum labii superior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis

Frenulum labii inferior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis

Frenulum lingualis : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis Pemeriksaan frenulum dilakukan untuk mengetahui posisi perlekatannya (insersio) pada marginal gingiva serta ketebalannya, apakah akan mengganggu pengucapan kata-kata tertentu dan apakah akan mengganggu pemakaian plat ortodontik yang akan dipasang.

g. Pemeriksaan Tonsil Tonsila palatina : normal / inflamasi / hypertrophy

Tonsila lingualis : normal / inflamasi / hypertrophy

Tonsila pharingea : normal / inflamasi / hypertrophy Untuk mengetahui ada tidaknya pembengkakan pada amandel dilakukan pemeriksaan dengan menekan lidah pasien dengan kaca mulut, jika dicurigai adanya kelaianan yang serius pasien dikonsulkan ke dokter ahli THT sebelum dipasangi alat ortodontik.h. Bentuk lengkung gigi rahang atas dan rahang bawahBentuk lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah : Parabola / Setengah elips / Trapeziod / U-form / V-form / Setengah lingkaran. Ciri-ciri : Parabola : Kaki lengkung (dari P1 sampai M2 kanan dan kiri) beberbentuk garis lurus devergen ke posterior dengan posisi gigi M2 merupakan terusan kaki lengkung, sedangkan puncak lengkung (C C) berbentuk garis lengkung (curved). Setengah elips : Kaki lengkung berbentuk garis lengkung konvergen ke posterior ditandai oleh posisi gigi M2 mulai berbelok kearah median line, sedangkan puncak lengkung juga merupakan garis lengkung (curved). . Trapezoid : Kaki lengkung merupakan garis lurus devergen ke posterior dan puncak lengkung merupakan garis datar di anterior dari gigi C C. U-form : Kaki lengkung merupakan garis lurus sejajar ke posterior, sedangkan puncak lengkung merupakan garis lengkung.

V-form : Puncak lengkung merupakan garis lurus devergen ke posterior, tetapi puncak lengkung merupakan garis menyudut ke anterior ditandai dengan posisi gigi I2 masih merupakan terusan kaki lengkung lurus konvergen ke anterior. Setengah lingkaran : Kaki lengkung dan puncak lengkung merupakan garis lengkung merupakan bagian dari setengah lingkaran. Ini biasanya dijumpai pada akhir periode gigi desidui sampai awal periode gigi campuran (mixed dentision) i. Perkembangan sistem geligi

1) Periode perkembangan geligi

A. Periode Pradental

Periode ini dimulai dari masa bayi hingga usia dimana gigi sulung yang pertama erupsi.

B. Periode geligi sulung

Periode ini dimulai saat gigi sulung mulai erupsi. Usia erupsi gigi sangat bervariasi dan ditentukan oleh faktor genetik, akan tetapi dapat dipengaruhi juga oleh faktor lokal dan sistemik. Meskipun banyak terdapat variasi urutan erupsi gigi sulung yang umum adalah:

1) insisif pertama rahang bawah

2) insisif pertama rahang atas

3) insisif kedua rahang atas

4) insisif kedua rahang bawah

5) molar pertama rahang atas dan bawah

6) kaninus rahang atas dan bawah

7) molar kedua rahang bawah

8) molar kedua rahang atas

Perkembangan oklusi pada geligi sulung diatas merupakan pola rata-rata, dimana umumnya gigi-gigi sulung mulai erupsi pada usia 6bulan dan pada usia 2,5 sampai 3 tahun umumnya semua gigi sulung telah erupsi.Perkembangan oklusi pada geligi sulung dipengaruhi oleh sistem neuromuskuler dan sendi. Bentuk lengkung pada geligi sulung umumnya ovoid dan tidak banyak ditemukan variasi seperti pada geligi permanen.C. Periode geligi pergantian

Periode ini berawal dari erupsinya gigi molar permanen pertama di sebelah distal gigi molar gigi sulung kedua. Pada usia 6 tahun dan pada umumnya hingga 12 tahun, gigi-gigi sulung akan mulai digantikan oleh gigi-gigi permanen. Gigi permanen yang menggantikan tempat gigi sulung pada fase ini disebut dengan successional teeth. Ditambah dengan gigi molar permanen yang tumbuh di bagian posterior lengkung geligi sulung sebagai gigi-gigi tambahan dan dinamakan accesional teeth. Pada masa pergantian ini nantinya premolar akan menggantikan molar sulung, sehingga akan di dapatkan selisih jarak. Selisih jarak antara gigi kaninus dan molar sulung yang akan digantikan oleh kaninus dan premolar permanen dinamakan leeway space.

D. Geligi permanen

Menurut Yustisia, perkembangan oklusi gigi geligi permanen dapat dibagi menjadi tiga tahap perkembangan:

Tahap I

Pada usia 6-8 tahun, dimana terjadi pergantian antara gigi-gigi insisive sulung dan penambahan keempat molar pertama permanen pada susunan gigi-geligi.

Tahap II

Tahap ini berlangsung pada usia 10-13 tahun. Terjadinya erupsi gigi-gigi premolar dan kaninus permanen.

Tahap III

Pertumbuhan dari molar ketiga pada awal kehidupan dewasa melengkapi perkembangan oklusi gigi geligi permanen. Usia erupsi gigi molar ketiga, berkisar antara 18-25 tahun.Letak gigi mulai sebelum erupsi sampai mencapai bidang oklusi dipengaruhi oleh:a. Faktor genetik

b. Pada tahap alveoli, posisi gigi dipengaruhi oleh:

Ada tidaknya gigi sebelah menyebelah

Kecepatan erupsi

Kehilangan prematur gigi sulung

Hal-hal yang merubah pertumbuhan prosessus alveolaris

c. Pada tahap intraoral praoklusi, gigi dapat bergerak oleh karena kekuatan dari bibir, lidah dan benda asing yang dimasukkan ke dalam mulut

d. Bila sudah mencapai bidang oklusi, terdapat kekuatan yang kompleks yang bekerja pada gigi, antara lain: kekuatan otot pengunyahan.

Dalam perkembangan yang normal, sistem gigi geligi berkembang dalam suatu pola yang memiliki variasi individual. Perubahan oklusi yang dapat terjadi adalah:

a. Relasi molar sulung flush terminal plane yang nantinya akan berkembang menjadi relasi neutroklusi pada geligi tetap

b. Relasi molar sulung distal step yang berkembang menjadi distoklusi

c. Relasi molar sulung mesial step yang berkembang menjadi mesioklusi

Faktor skeletal dan dental memegang peranan penting dalam perkembangan sistem gigi geligi, selain faktor genetik dan sistem neuromuskular yang kompleks.

b. Oklusi Normal

Pengertian oklusi ialah berkontaknya permukaan oklusi gigi geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi di rahang bawah pada saat rahang atas dan bawah menutup.

Oklusi normal menurut angel adalah apabila tonjol mesiobukal gigi molar pertama permanen rahang atas kontak dengan lekuk bukal (bukal groove) gigi molar petama permanen rahang bawah. Dan apabila disertai lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan baik, maka didapatkan oklusi ideal. Selanjutnya angel mendefinisikan oklusi normal sebagai hubungan dari bidang-bidang inklinasi tonjol gigi pada saat kedua rahang dalam keadaan tertutup, disertai kontak proksimal dan posisi aksial semua gigi benar, dan keadaan pertumbuhan , perkembangan posisi serta relasi antara berbagai macam jaringan penyanggah gigi yang normal pula.

Posisi gigi geligi pada rahang dan proses oklusi ditentukan oleh proses perkembangan gigi dan struktur jaringan di sekitarnya yang terjadi selama masa pembentukan, pertumbuhan, dan perubahan postnatal. Oklusi pada setiap orang berbeda menurut besar dan bentuk gigi, posisi gigi di rahang, waktu erupsi dan urutan erupsi, serta pola perkembangan kraniofasial.

Definisi oklusi normal sebaiknya tidak statis dan tidak hanya merupakan penjelasan tentang hubungan gigigeligi saja. Dalam menyusun konsep oklusi modern, tidak hanya gigi tersebut yang diperhatikan tetapi juga jaringan pendukungnya, otot-otot pengunyahan, kurva spee, interocclusal clearence, serta morfologi dan aktivitas sendi temporomandibula.

c. Taksiran Pertumbuhan Gigi

Hal-hal yang perlu dicatat:

Gigi geligi yang terdapat / yang ada di dalam rongga mulut.

Gigi-gigi yang belum erupsi.

Gigi-gigi hilang.

Status gigi ( gigi yang erupsi dan tidak erupsi).

Adanya karies, restorasi, malformasi, hipoplasia, atrisi dan diskolorasi.

Menentukan relasi molar

Overjet dan overbite, variasi seperti peningkatan overjet, deep bite, open bite dan cross bite

Malrelasi transfersal seperti crossbite dan pergeseran pada midline atas dan bawah.

Ketidakteraturan gigi individual seperti rotasi, displacement, intruksi dan ekstruksi

Lengkung atas dan bawah harus diperiksa secara individual untuk mempelajari bentuk lengkungnya dan kesemetrisannya. Bentuk lengkung bisa normal, sempit ( V shaped ) atau square.

2.1.3 Analisis Fungsional

1. Free way space (interocclusal clearance)

Free way space merupakan selisih jarak selisih jarak antara posisi mandibula saat berada dalam keadaan istirahat dengan oklusi sentris. Nilai normal freeway space menurut Houston (1989) adalah 2-4 mm. Tujuan dilakukannya pengkuran free way space adalah untuk menentukan apakah perlu dibuatkan peninggian gigit pada posterior apabila terdapat crossbite di anterior. Pemeriksaan free way space dapat dilihat dengan cara pasien duduk dengan tegak, kemudian diukur penghitungan jarak dari ujung hidung ke ujung dagu. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka dan penggaris. Apabila free way space lebih kecil dari tumpang gigit, atau tumpang gigit lebih besar dari free way space, maka perlu dibuatkan peninggian gigit posterior. Apabila free way space lebih besar daripada tumpang gigit maka tidak perlu dibuatkan peninggian gigit di posterior.2. Path of closure

Path of closure merupakan gerakan mandibula dari posisi istirahat menuju oklusi sentris. Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi maksimum berupa gerakan engsel sederhana melewati freeway space yang besarnya 2-3 mm, arahnya ke atas dan ke depan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat deviasi mandibula atau displacement mandibula. Path of closure dilihat dari garis median, apakah ada perubahan garis median. Apabila posisi garis median pada saat posisi istirahat menuju oklusi sentris tidak terdapat pergeseran berarti tidak ada gangguan path of closure, tetapi apabila posisi garis median terdapat pergeseran karena cenderung mencari posisi yang tepat dan sesuai untuk menuju oklusi sentris berarti terdapat gangguan path of closure. Sebelum memeriksa path of closure sebagai dokter gigi kita harus mengetahui gerakan mandibula yang normal. Path of closure dikatakan normal apabila gerakan mandibula ke atas, ke muka dan belakang.

Ada 2 macam perkecualian path of closure yang bisa dilihat adalah deviasi mandibula dan displacement mandibula.

Path of closure yang berawal dari posisi kebiasaan mandibula akan tetapi gigi mencapai oklusi maksimum mandibula dalam posisi relasi sentrik. Ini disebut deviasi mandibula.

Path of closure yang berawal dari posisi istirahat, akan tetapi oleh karena adanya halangan oklusal maka didapatkan displacement mandibula.

3. TMJ ( Temporo Mandibular Joint )

TMJ merupakan sendi yang berada diantara processus condoloideus dan fossa glenoidea. Sendi ini memiliki peran vital dalam setiap pergerakan mandibula meliputi membuka dan menutup mulut. Lebar pembukaan maksimal pada keadaan normal dari TMJ antara 35-40 mm, 7 mm gerakan ke lateral, dan 6 mm ke depan. Tanda-tanda adanya masalah pada TMJ adalah adanya rasa sakit pada sendi, suara, dan keterbatasan pembukaan.

Pemeriksaan pada regio TMJ dilakukan dengan meletakkan kedua ujung jari operator di bagian luar meatus acusticus eksternus bagian kiri dan kanan penderita. Kemudian penderita diinstruksikan membuka dan menutup mulut. Apabila ditemukan ke abnormalan pada TMJ maka pemeriksa akan merasakan bunyi Kliking, krepitasi ataupun Popping.

Berikut ini beberapa klasifikasi bunyi TMJ :

1. Klik halus : bunyi ini dihasilkan dari pembukaan pada lebar-sedang ( lebih besar dari 10 cm ) sering disebut dengan popping click (bunyi letusan klik ) oleh orang yang mengalaminya dan seringkali juga didengar oleh individu yang tidak menderita kelainan TMJ tetapi karena inkoordinasi otot (otot yang tidak terkooordinassi). Bunyi-bunyi ini biasanya berupa ledakan pendek pada frekuensi rendah dan amplitudo rendah.

2. Gemerisik halus : di sini bunyi dihasilkan dari posisi pembukaan mulut yang lebar ( lebih dari 2cm) bunyi seperti ruas tulang saling bergeser satu sama lain. Bunyi ini ditemukan dominan pada waqnita muda saat munculnya molar ketiga.

3. Klik keras : bunyi TMJ ini terjadi pada bagian dekat-tengah pada siklus membuka (sekitar 1-2 cm) dapat dijelaskan sebagai klik retakan atau bergeretak. Munculnya bunyi tersebut adalah kelainan spesifik dari permukaan sendi. Bunyi yang terdeteksi adalah tajam dan mengandung sejumlah puncak amplitudo tinggi, yang berarti bahwa permukaan TMJ mengalami abrasi.

4. Gemerisik keras ; dihasilkan pada pembukaan dekat (kurang dari 1 cm) bagian/penampang penutupan dari siklus bunyi ini menyerupai seperti melangkah di atas kerikil. Timbulnya bunyi ini menunjukkan dengan kuat adanya perubahan arthritis pada TMJ.4. Pola Atrisi

Pola atrisi dikatakan tidak normal apabila terjadi pengikisan dataran oklusal gigi permanen pada usia fase geligi pergantian.

2.1.4 Analisis Model

1. Jumlah lebar 4 Insisivus Rahang Atas

Diukur masing-masing lebar mesio distal pda lengkung terbesar dari ke-4 insisiv rahang atas kemudian dijumlahkan. Jumlah normalnya adalah 28-36 mm. Tujuan dilakukan pengukuran ini adalah mengetahui ukuran apakah gigi pasien normal atau tidak. Apabila ukuran kurang dari 28 mm dapat diperkirakan gigi pasien mengalami mikrodonsia dan apabila lebih dari 36 mm dapat diperkirakan gigi pasien mengalami makrodonsia

2. Diskrepansi modelAdalah selisih antara tempat yang tersedia dengan tempat yang dibutuhkan. Tempat yang tersedia diukur berdasarkan model studi dari mesial M1 kiri sampai pada mesial M1 kanan dengan menggunakan metode nance dan tempat yang dibutuhkan dilakukan dengan metode moyers. Tujuan pengukuran ini adalah untuk menentukan adanya kekurangan atau kelebihan tempat dari gigi geligi berdasarkan model studi yang akhirnya untuk menentukan macam perawatan yang dilakukan pada maloklusi yang ada.

3. Kurve of speeAdalah kurva dengan pusat pada titik di tulang lakrimal dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini berkontak di 4 lokasi, yaitu permukaan anterior kondili, daerah kontak distoklusal molar ketiga, daerah kontak mesioklusal molar pertama, dan tepi insisal. Lengkung yang menghubungkan insisal insisiv dengan bidang oklusal molar terakhir pada rahang bawah. Pada keadaan normal kedalamannya tidak melebihi 1,5 mm. Pada kurve spee yang positif (bentuk kurvanya jelas dan dalam) biasanya didapatkan gigi insisiv yang supra posisi atau gigi posterior yang infra posisi atau mungkin gabungan kedua keadaan tadi.4. DiastemaRuang antara dua gigi yang berdekatan, gingiva diantara gigi-gigi kelihatan. Adanya diastema pada fase geligi pergantian masih merupakan keadaan normal, tetapi adanya diastema pada fase geligi permanen perlu diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui apakah keaadaan tersebut suatu keadaan yang tidak normal.

5. Gigi-gigi yang terletak salah

Menurut Angle (1907) dengan diketahuinya kelainan letak gigi secara individu dapat direncanakan perawatan untuk meletakkan gigi-gigi tersebut pada letaknya yang benar. Penyebutan letak gigi yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :

Versi : mahkota gigi miring ke arah tertentu tetapi akar gigi tidak (misalnya mesioversi, distoversi, labioversi, linguoversi).

Infra oklusi : gigi yang tidak mencapai garis oklusal dibandingkan dengan gigi lain dalam lengkung geligi.

Supra oklusi : gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan dengan gigi lain dalam lengkung geligi.

Rotasi : gigi berputar pada sumbu panjang gigi, bisa sentris atau eksentris.

Transposisi : dua gigi yang bertukar tempat, misalnya kaninus menempati tempat insisiv lateral dan insisiv lateral menempati tempat kaninus.

Ektostema : gigi yang terletak di luar lengkung geligi (misalnya kaninus atas).

Cara penyebutan lain seperti yang dianjurkan Lischer untuk gigi secara individual adalah sebagai berikut :

Mesioversi : mesial terhadap posisi normal gigi.

Distoversi : distal terhadap posisi normal gigi.

Linguoversi : lingual terhadap posisi normal gigi.

Labioversi : labial terhadap posisi normal gigi.

Infraversi : inferior terhadap garis oklusi.

Supraversi : superior terhadap garis oklusi.

Aksiversi : inklinasi aksial yang salah (tipped).

Torsiversi : berputar menurut sumbu panjang gigi.

Transversi : perubahan urutan posisi gigi.

Kelainan letak gigi dapat juga merupakan kelainan sekelompok gigi :

Protrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya terhadap garis maksila > 110 untuk rahang bawah sudutnya > 90 terhadap garis mandibula.

Retrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya terhadap garis maksila < 110 untuk rahang bawah sudutnya < 90 terhadap garis mandibula.

Berdesakan : gigi yang tumpang tindih.

Diastema : terdapat ruangan diantara dua gigi yang berdekatan.

6.Pergeseran garis median

Pada palatum terdapat beberapa struktur anatomi yang penting untuk menentukan garis median di palatum. Di anterior terdapat papilla insisiva, di posterior terdapat rugae yang jumlahnya 3 pasang tiap sisi dan rafe palatine di tengah palatum dalam arah anteroposterior. Titik pertemuan rugae palatina kiri dan kanan dianggap paling stabil untuk dipakai acuan din anterior sedangkan posterior yang dipakai adalah titik pada rafe palatine. Bila dua titik ini dihubungkan didapat garis median rahang atas. Pada keadaan normal garis ini melewati titik kontak insisivi sentral atas. Penentuan garis median rahang bawah lebih sukar. Cara menentukan adalah dengan membuat titik pada perlekatan frenulum labial dan lingual. Titik ini biasanya melewati titik kontak insisivi sentral bawah. Pada keadaan normal garis median muka / rahang dan garis median lengkung geligi terletak pada satu garis (berimpit). Pada keadaan tidak normal karena sesuatu sebab maka garis median muka dipakai sebagai acuan.

Untuk menilai apakah terdapat pergeseran garis median lengkung geligi terhadap median muka dilihat letak insisivi sentral kiri dan kanan. Bila titik kontak insisivi sentral terletak di sebelah kiri garis median muka maka keadaan ini disebut terjadi pergeseran ke kiri, demikian pula sebaliknya.

Cara melihat pergeseran garis median adalah dengan melihat apakah garis median muka melewati titik kontak insisivi sentral masing-masing rahang. Bila titik kontak terletak pada garis median berarti tidak terdapat pergeseran akan tetapi bila titik kontak terletak di sebelah kiri atau kanan garis median muka maka terdapat pergeseran ke kiri atau ke kanan.

7. Relasi gigi posterior

Relasi gigi adalah hubungan gigi atas dan bawah dalam keadaan oklusi. Gigi yang diperiksa adalah molar pertama permanen, dan kaninus pertama permanen. Pemeriksaan dalam jurusan sagital, transversal, dan vertical.

Relasi jurusan sagital

Kemungkinan relasi molar yang dapat terjadi adalah :

a. Neutroklusi : tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas terletak pada lekukan bukal molar pertama permanen bawah.

b. Distoklusi : tonjol distobukal molar pertama permanen atas terletak pada lekukan bukal molar pertama permanen bawah.

c. Mesioklusi : tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas terletak pada tonjol distal molar pertama permanen bawah.

d. Gigitan tonjol : tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas beroklusi dengan tonjol mesiobukal molar pertama permanen bawah.

e. Tidak ada relasi : bila salah satu molar pertama permanen tidak ada misalnya oleh karena telah dicabut, atau bila kaninus permanen belum erupsi.

Keterangan : Relasi molar pertama permanen jurusan sagital, A. neutroklusi, B. distoklusi, C. mesioklusi, D. gigitan tonjol Relasi jurusan transversal

Pada keadaan normal relasi transversal gigi posterior adalah gigitan fisura luar rahang atas, oleh karena rahang atas lebih lebar daripada rahang bawah. Apabila rahang atas terlalu sempit atau terlalu lebar dapat menyebabkan terjadinya perubahan relasi gigi posterior dalam jurusan transversal. Perubahan yang dapat terjadi adalah : gigitan tonjol, gigitan fisura dalam atas, dan gigitan fisura luar atas.

Keterangan : A. gigitan fisura luar rahang atas, B. gigitan silang total luar rahang atas, C. gigitan fisura dalam rahang atas, D. gigitan silang total dalam rahang atas

Relasi dalam jurusan vertical

Kelainan dalan jurusan vertical dapat berupa gigitan terbuka yang berarti tidak ada kontak antara gigi atas dan bawah pada saat oklusi.

8. Relasi gigi anterior rahang atas dan rahang bawah

Relasi gigi anterior diperiksa dalam jurusan sagital dan vertical. Relasi yang normal dalam jurusan sagital adalah adanya jarak jarak gigit / overjet. Pada keadaan normal gigi insisivi akan berkontak, insisivi atas di depan insisivi bawah dengan jarak selebar ketebalan tepi insisal insisivi atas, kurang lebih 2-3 mm dianggap normal. Bila insisivi bawah lebih anterior daripada atas disebut jarak gigit terbalik atau gigitan silang anterior atau gigitan terbalik.

Keterangan :

Jarak gigit dan tumpang gigit normal

Untuk mendapatkan pengukuran yang sama maka di klinik digunakan pengertian jarak gigit adalah jarak horizontal antara insisal atas dengan bidang labial insisivi bawah. Jarak gigit pada gigitan silang anterior diberi tanda negative, misalnya -3 mm. Pada relasi gigitan edge to edge jarak gigitnya 0 mm.

Keterangan :

A. Gigitan terbalik

B. Edge to edge

Pada jurusan vertical dikenal adanya tumpang gigit/over bite yang merupakan vertical overlap of the incisors. Di klinik tumpang gigit diukur dari jarak vertical insisal insisivi atas dengan insisal insisivi bawah, yang normal ukurannya 2 mm. Tumpang gigit yang bertambah menunjukkan adanya gigitan dalam. Pada gigitan terbuka tidak ada overlap dalam jurusan vertical, tumpang gigit ditulis dengan tanda negative, misalnya -5 mm. Pada relasi edge to edge tumpang gigitnya 0 mm.

Keterangan :

A. Gigitan dalam

B. Edge to edge

C. Gigitan terbuka

Bentuk Lengkung Geligi

Menurut Barber, lengkung gigi merupakan suatu garis lengkung imaginer yang menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan bawah. Moorrees dan Reed menyatakan bahwa lengkung gigi adalah lengkung yang dibentuk oleh susunan mahkota gigi. Menurut Moyers lengkung gigi dibedakan atas lengkung alveolar dan lengkung basal. Lengkung alveolar atau lengkung prosessus alveolar adalah tempat gigi tertanam di dalam tulang basal. Lengkung alveolar menghubungkan ukuran dan bentuk lengkung basal dengan lengkung gigi. Lengkung basal adalah lengkung korpus mandibula dan merupakan bagian terbesar rahang bawah. Bentuk dan ukuran lengkung basal tidak berubah meskipun gigi telah hilang atau prosessus alveolaris mengalami resorpsi .

Menurut Moyers, pada waktu dilahirkan lengkung alveolar cukup lebar untuk ruangan gigi desidui. Pada waktu berlangsungnya peralihan antara gigi sulung ke gigi permanen terjadi perubahan ukuran lengkung gigi dan perubahan oklusi. Penelitian menunjukkan bahwa lengkung gigi selama periode gigi geligi bercampur menjadi bertambah lebar tetapi panjang lengkung bertambah pendek. Menurut Fisk, pada umur 9-16 tahun panjang lengkung gigi rahang bawah berkurang 5,0 milimeter, sedangkan menurut Knot sebesar 3,0 mm. Menurut Sillman, pada umur 3-17 tahun lengkung gigi rahang bawah berkurang 2,0 mm, sedangkan Barrow sebesar 0,67 mm pada umur 12-13,5 tahun.

Awalnya bentuk lengkung gigi didasari oleh bentuk tulang, dan setelah gigi erupsi bentuk lengkung gigi berubah karena dipengaruhi oleh jaringan otot rongga mulut. Genetik dan lingkungan yang berbeda juga mempengaruhi perubahan lengkung gigi. Gen ibu lebih banyak diturunkan pada anak perempuan daripada anak laki-laki sehingga perbedaan jenis kelamin menyebabkan perbedaan ukuran dan bentuk lengkung gigi yang sedikit bermakna.

Sassouni dan Ricketts berpendapat bahwa kelompok ras yang berbeda akan menampilkan pola kraniofasial yang berbeda pula. Sebagian besar penduduk Indonesia didominasi ras Paleomongoloid atau lebih dikenal sebagai ras Melayu yang kemudian dibedakan atas Proto-Melayu dan Deutro-Melayu. Yang termasuk Deutro-Melayu adalah suku Aceh(kecuali Gayo), Melayu Minangkabau, Melayu Pesisir Sumatera, Renjang-Lebong, Lampung, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Manado, Minahasa, dan Maluku, sedangkan suku Batak, Aceh Gayo, Sasak dan Toraja termasuk Proto-Melayu.Ciri fisik kedua kelompok ras ini berbeda dilihat dari bentuk kepala yaitu dolicocephalis pada Proto-Melayu dan brachycephalis pada Deutro-Melayu. Bentuk dan ukuran rahang pada kedua ras ini juga berbeda karena dipengaruhi ras dan bentuk kepala yang berbeda.

Menurut Hrdlicka (1916) dan Moorees (1957) dikenal empat macam bentuk lengkung gigi yaitu hiperbolik, parabolik, ovoid, dan trapesoid. Menurut Raberin (1993) ada lima bentuk lengkung gigi rahang bawah yang ideal pada ras Kaukasoid yaitu narrow, wide, mid, pointed,dan flat.2.2.5 Analalisis Sefalometri

Untuk memudahkan penampakan hendaknya dilakukan pada ruangan yang tidak terlalu terang, sefalogram diletakkan pada tracing box dengan iluminasi baik, kertas penapakan asetat yang bagus yang terfiksasi dengan pita adhesif transparan serta menggunakan pensil yang keras (Rahardjo, 2011). Pembacaan biasanya pada besar sudut untuk menentukan apakah struktur anatomi normal atau menyimpang (Rahardjo,2011).

Titik yang harus diketahui adalah:

- S (sella): terletak di tengah sela tursika, ditentukan secara visual (diperkirakan)

- N (nasion): terletak pada perpotongan bidang sagital dengan sutura frontonasalis

- SNA (spina nasalis anterior): ujung spina nasalis anterior

- SNP (spina nasalis posterior): ujung spina nasalis posterior

- A (subspinale): titik paling dalam pada kurvatura alveolaris rahang atas, secara teoritis merupakan batas tulang basal mandibula dan tulang alveolaris

- B (supramentale): titik paling dalam pada kurvatura alveolaris rahang bawah,

secara teori merupakan batas tulang basal mandibula dan tulang alveolaris

- Go (gonion): titik tengah pada lengkungan sudut mandibula di antara ramus dan korpus

- Me (menton): titik terendah pada dagu

Garis yang digunakan untuk menghubungkan dua titik tertentu:

- S N: garis yang menghubungkan Sela tursika (S) dan Nasion (N),

merupakan garis perpanjangan dari basis kranial anterior

- N A

- N B

- SNA SNP (garis palatal / garis maksila)

- Me garis singgung tepi bawah mandibula (garis mandibula)

- Nasion-Pogonion (N-Pg) : garis yang menghubungkan Nasion (N) dan

Pogonion (Pg), merupakan garis fasial

- Y-Axis: garis yang menghubungkan sela tursika (S) dan gnathion (Gn),

digunakan untuk mengetahui arah/jurusan pertumbuhan mandibula.

Pemeriksaan radiografi juga digunakan untuk melihat benih dari gigi geligi. Dilihat apakah ada benih gigi yang impaksi, agenisi, gigi kelebihan. Selain itu juga dilihat apakah benih dari gigi geligi permanen lengkap atau tidak (untuk gigi geligi yang yang belum erupsi).2.2 Etiologi Maloklusi

Keadaan ini terjadi pada awal pertumbuhan atau saat proses pematangan selanjutnya. Menurut Graber, menentukan klasifikasi faktor-faktor etiologi maloklusi yang meliputi :

A. Faktor Umum

1. Herediter

Lundstorm, meneliti pada anak kembar dan menemukan ciri-ciri yang sama berhubungan dengan keturunan, yaitu:

a. ukuran gigi

b. panjang dan lebar lengkung

c. gigi berdesakan dan diastema

d. overjet

Faktor keturunan juga berperan pada keadaan-keadaan sebagai berikut ini:

a. kelainan kongenital

b. asimetri muka

c. macrognatia dan micrognatia

d. oligodonti dan anodonti

e. variasi ukuran gigi

f. cleft palate dan harelip

g. frenulum

h. deep overbite

i. gigi berdesakan dan rotasi

j. retrusi mandibula

k. prognansi mandibula

Pada ras yang berbeda memiliki bentuk kepala yang berbeda. Pada individu dengan bentuk muka yang lebar memiliki bentuk lengkung rahang yang lebar pula, demikian juga pada bentuk muka sempit terdapat lengkung rahang yang sempit pula.

2. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital sangat berhubungan dengan keturunan. Contoh kelainan kongenital: celah palatum dan celah bibir. Pada unilateral celah gigi-gigi ada daerah/sisi celah ters tetapi biasanya terdapat cross bite, gigi rahang atas malposisi, gigi insisiv lateral mungkin missing tau bentuknya tidak normal. Contoh lain: cerebral palsy, torticollis, cleidocranial dysostosis, dan syphilis congenital.

3. Lingkungan

a. Lingkungan prenatal

Posisi abnormal pada fetus dapat menyebabkan cacat cranial atau simetri muka. Diet dan metabolism ibu dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan. Obat-obatan, trauma dan German Measles, menyebabkan kelainan kongenital dan maloklusi.

b. Lingkungan postnatal

Proses kelahiran dengan forceps, kecelakaan, jatuh yang mengakibatkan fraktur pada kondil dapat menyebabkan asimetri muka. Luka bakar juga dapat menyebabkan maloklusi.4. Disharmoni Dento Maxilar ( DDM )Disharmoni dentomaksiler merupakan disproporsi besar gigi dengan lengkung geligi. Faktor utama penyebab DDM adalah faktor herediter atau keturunan, misalnya seorang anak mewarisi ukuran gigi ibunya yang cenderung berukuran kecil dan anak tersebut mewarisi ukuran lengkung geligi ayahnya yang berukuran relatif besar. Sehingga terjadi diastema menyeluruh dikarenakan disproporsi ukuran gigi dan lengkung geligi. Selain itu ada beberapa faktor lain yang juga mendukung timbulnya kelainan ini, yaitu faktor lokal seperti gaya hidup, misalnya anak tersebut kurang mengkonsumsi makanan keras sehingga pertumbuhan rahang kurang maksimal, dan ukuran rahang menjadi lebih kecil dari ukuran yang seharusnya. Hal ini menyebabkan DDM tipe transitoir. Pada DDM tidak harus terjadi pada kedua rahang ataupun pada kedua sisi, DDM bisa terjadi hanya pada salah satu sisi ataupun pada salah satu rahang. Namun pada umumnya DDM lebih sering terlihat pada rahang atas, karena lengkung rahang untuk tempat erupsi gigi permanen pada rahang atas hanya terbatas pada tuberositas maksila saja, sedangkan pada rahang bawah sampai pada ramus ascenden. DDM dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:

a. Tipe berdesakan, merupakan keadaan yang sering dijumpai yaitu ukuran gigi-gigi yang berukuran besar pada lengkung geligi yang normal, atau ukuran gigi normal pada lengkung geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan.

b. Diastema menyeluruh, tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi yaitu ukuran gigi kecil dengan lengkung geligi normal ataupun ukuran gigi normal dengan lengkung geligi yang besar.

c. Tipe transitoir, ketidakharmonisan erupsi gigi dengan pertumbuhan tulang, yang menyebabkan gigi berdesakan. DDM tipe transitoir ini bias terkoreksi seiring bertambahnya usia karena pertumbuhan tulang rahang dan ukuran gigi tetap, sehingga keterlambatan pertumbuhan, maka tidak dianjurkan melakukan pencabutan karena dapat menyebabkan diastema. Untuk mendiagnosa DDM tipe transitoir bias dilakukan perbandingan antara gambaran normal gigi geligi saat itu dengan gambaran dari gigi pasien.

5. Gangguan metabolisme

Exanthematous fevers, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan gigi, yaitu dapat mempengaruhi waktu erupsi, resorbsi dan tanggal premature. Penyakit-penyakit dengan gangguan fungsi otot seperti dystrophy otot dan serebral palsy, dapat menyebabkan efek pada lengkung gigi. Penyakit dengan efek paralysis seperti poliomyelitis juga dapat menyebabkan maloklusi, yaitu dapat menyebabkan anteroposterior discrepancy.

6. Problema diet

Gangguan seperti penyakit rickets, scurvy dan beri-beri dapat menyebabkan maloklusi ringan. Problema utamanya adalah terjadi gangguan waktu pertumbuhan gigi, yaitu akan terjadi tanggal premature, erupsi gigi permanen yang lama, kesehatan jaringan yang buruk dan pola erupsi yang abnormal yang dapat menimbulkan maloklusi. Cronic alcoholism dan gangguan metabolisme yang menyebabkan penggunaan zat-zat esensial oleh tubuh terganggu, yang menyebabkan terjadi malnutrisi.

7. Kebiasaan jelek (abnormal pressure habits)

Tulang merupakan jaringan yang responsive terhadap tekanan. Peranan otot sangat menentukan. Bila terjadi malrelasi RA dan RB fungsi normal otot terganggu, akan terjadi aktivitas adaptasi dari otot-otot. Gangguan kseimbangan tekanan intra dan ekstra oral akan menyebabkan maloklusi. Penelanan abnormal dapat menyebabkan gigi anterior terbuka dan gigi anterior terdorong ke labial.

8. Posisi tubuh

Posisi tubuh yang kurang baik dapat menimbulkan maloklusi. Posisi dimana kepala menggantung dengan dagu menempel di dada, menyebabkan mandibula retrusi. Kepala diletakkan pada tangan, tidur pada lengan dan guling dapat menyebabkan maoloklusi.

9. Trauma dan kecelakaan

Gigi sulung non vital akibat trauma memiliki pola resorbsi abnormal dan dapat mempengaruhi gigi penggantinya. Gigi non vital harus diperiksa secara radiografi pada interval waktu tertentu untuk mengetahui resorbsi akar dan kemungkinan terjadinya infeksi apical.

B. Faktor local

1. Anomali jumlah gigi

Kelainan jumlah gigi merupakan salah satu penyebab terjadinya maloklusi gigi, dibandingkan dengan faktor etiologi yang faktor ini relatif lebih jarang ditemukan karena etiologi dari adanya kelainan jumlah gigi sangat terpaut dengan adanya faktor herediter atau keturunan. Kelainan jumlah gigi secara garis besar terdiri dari:

a. Kelebihan jumlah gigi

Kelebihan jumlah gigi pada lengkung rahang biasanya dapat menyebabkan suatu keadaan yang crowded atau berdesakan. Frekuensi terbesar dari kelainan ini adalah adanya kelebihan jumlah gigi yang terdapat diantara kedua insisvus sentral yang biasanya disebut dengan mesiodens, gigi ini bila erupsi tepat pada sutura palatine maka akan menyebabkan terjadinya diastema sentral yang cukup besar, namun bila mesiodens erupsinya dibagian palatinal maka akan menyebabkan crowded.

Terkadang ditemukan pula mesiodens yang tidak erupsi, jika terjadi hal yang demikian maka biasanya disebut dengan dentigerous cyst, apabila keberadaannya tidak mengganggu dan tidak terjadi keluhan oleh penderita maka keadaan ini dibiarkan saja. Mesiodens yang mampu erupsi terkadang memiliki bentuk dan ukuran yang tidak normal (konus).

Selain mesiodens gigi syang sering mengalami kelainan kelebihan jumlah gigi dalah latordens (terdapat diantara insisivus sentral dan insisivus lateral), para premolar (terdapat diantara gigi premolar) dan para molar (terdapat diantara gigi-gigi molar).

b. Kekurangan jumlah gigi

Kekurangan jumlah gigi atau hipodonsia adalah tidak tumbuhnya satu atau lebih elemen gigi yang secara normal dijumpai pada gigi geligi akibat agenesis yaitu tidak terbentuknya benih gigi. Agenesis dapat terjadi pada satu atau lebih elemen dimana bila terjadi pada beberapa gigi disebut dengan agenesis soliter (satu atau dua gigi) dan dikatakan oligodonsia bila agenesis terjadi pada multi elemen. Namun kekurangan jumlah gigi yang disebabkan oleh karena retensi (tidak dapat erupsi), ekstraksi atau trauma tidak dikategorikan dalam hipodonsia.

Umumnya kelainan ini disebut dengan aginisi. Aginisi yang paling sering terjadi secara berurutan adalah molar ketiga pada rahang atas dan rahang bawah, insisivus lateral rahang atas, premolar kedua rahang bawah, insisivus lateral rahang bawah, dan terakhir premolar kedua rahang atas, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya aginisi pada gigi-gigi yang lain mengingat etiologi dari kelainan ini adalah faktor keturunan.

Kekurangan jumlah gigi selain aginisi dapat juga disebabkan oleh faktor trauma sehingga gigi permanen tanggal pada usia muda, biasanya sering terjadi pada insisivus sentral rahang atas. 2. Anomali ukuran gigiSama dengan kelainan jumlah gigi, kelainan ukuran gigi juga disebabkan oleh faktor keturunan. Kelainan ini dapat mempengaruhi perkembangan oklusi gigi geligi karena terdapat ketidakharmonisan antara ukuran gigi dengan ukuran rahang. Secara garis besar kelainan dapat dikelompokkan menjadi:

a. Makrodonsi

Istilah makrodonsi dapat diartikan gigi yang ukurannya melebihi ukuran gigi normal. Kelainan ini menyebabkan kekurangan tempat pada lengkung rahang sehingga elemen-elemen pengganti terakhir tidak dapat tumbuh pada tempat yang salah. Maloklusi yang ditimbulkan oleh kelainan ini adalah gigi geligi akan tumbuh saling berdesakan.

b. Mikrodonsi

Merupakan kebalikan dari makrodonsi, gigi-gigi yang mengalami mikrodonsi adalah gigi-gigi yang ukurannya lebih kecil dari normal, biasanya kelainan mikrodonsi ini diikuti oleh kelainan bentuk gigi. Maloklusi yang diakibatkan adalah diastema patologis pada daerah gigi yang mengalami mikrodonsi, bahkan apabila terjadi lebih satu gigi maka akan menyebabkan diastema multiple.

3. Anomali bentuk gigi

Kelainan ini sangat erat hubungannya dengan kelainan ukuran gigi. Frekuensi paling sering terjadi adalah insisivus sentral rahang atas dan premolar kedua rahang bawah biasanya terdapatnya extra lingual cusp. Etiologi dari kelainan ini adalah faktor keturunan dan faktor-faktor kelainan pertumbuhan misalnya delelopmental defect, amelogenesis imperfect, hipoplasia, germination dan Hutchinsons.

4. Frenulum labial yang tinggi

Frenulum labial yang tinggi pada rahang atas terkadang dapat menyebabkan malposisi dari gigi, terutama pada kedua gigi insisivus sentral. Frenulum labial pada masa bayi, normalnya mempunyai daerah perlekatan yang rendah di dekat puncak prosesus alveolaris diatas garis tengah. Pada fase geligi sulung frenulum labial sering terlihat melekat pada prosesus alveolaris diantara gigi-gigi insisisvus sentral rahang atas.

5. Tanggal premature gigi sulung

Salah satu fungsi dari gigi sulung adalah menyediakan tempat bagi gigi permanen penggantinya dan secara tidak langsung juga mempertahankan panjang lengkung geligi. Penyebab kelainan ini adalah karies dan trauma.6. Letak salah benih

Pada umumnya letak salah benih menyababkan erupsi gigi yang bersangkutan tidak pada lengkung yang benar. Secara klinis letak salah benih biasanya ditandai dengan adanya rotasi atau versi, dimana rotasi merupakan sumbu gigi pada arah vertical sedangkan versi adalah perputaran sumbu gigi dalam arah horizontal. 7. Persistensi

Persistensi dapat didefinisikan sebagai gigi sulung yang tidak tanggal dimana gigi permanen penggantinya sudah mulai erupsi, jadi jelas kelainan ini haya terjadi pada gigi sulung saja.

8. Karies proksimal

Karies pada daerah proksimal merupakan etiologi local dari terjadinya maloklusi karena apabila daerah proksimal mengalami karies dan tidak dirawat maka akan terjadi pergeseran gigi-gigi sebelahnya menuju daerah yang kosong dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya pemendekan lengkung rahang sehingga apabila gigi permanen pengganti telah erupsi semua akan terjadi kekurangan tempat.

9. Pengaruh jaringan lunak

Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi. Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial. Dengan demikian patut dipertanyakan apakah tekanan lidah dapat mempengaruhi letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang selain tekanannya yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal.

10. Faktor iatrogenic

Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan profesional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan, resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.2.2 Klasifikasi Maloklusi

Klasifikasi dari maloklusi dirumuskan oleh Dr. E. H Angle. Seorang perintis orthodonthi yang terkenal, pada tahun 1898. Beliau menentukan klasifikasi dari maloklusi berdasarkan hubungan antar gigi molar pertama tetap di rahang atas dan gigi molar pertama tetap dirahang bawah. Gigi M1 itu dipakai sebagai fixed point = land mark sebab menurut anggapannya kedudukan dari M1 ini adalah yang paling stabil, jarang berubah kedudukannya dari yang lain, karena M1 ini ditunjang/ ditanam didalam tulang zygomaticus yang kuat sekali.

Suatu tulang yang kuat seakan menurun dari zygomaticus, menuju ke processus alveolaris, melingkupi akar-akar dari M1 atas, ridge ini terletak langsung diatas akar mesio-buccal dari M1 atas. Hal ini oleh Dr. Atkinson dinamakan Key Ridge.

Dr. Angle membagi maloklusi atas 3 kelas, yakni :

1. Maloklusi kelas I

2. Maloklusi kelas II

3. Maloklusi kelas III

Oleh Dr. Lischer klasifikasi Dr. Angle diubah sebagai berikut :

1. Kelas I Angle disebut neutroklusi. Kelas I Angle adalah lengkungan gigi atas dan bawah mempunyai hubungan mesio-distal yang normal. Dimana mesio-buccal cusp dari M1 atas terletak di buccal groove M1 bawah, dan mesio-palatal cusp dari M1 atas terletak disentral fossa M1 bawah, disto-buccal cusp dari M1 atas terletak diantara embrassure M1 bawah dan M2 bawah. Letaknya C atas interlock antara C bawah dan P1 bawah.

Oleh Dr. Martin Dewey, maka kelas I maloklusi dari Angle dibagi menjadi atas beberapa tipe yakni :

Type 1: gigi-gigi insisiv berjejal-jejal dan gigi caninus sering terletak di labial.

Type 2: protrusi atau labioversi dari insisiv atas.

Type 3: satu atau lebih dari satu gigi insisiv atas adalah lebih ke arah lingual terhadap gigi insisiv bawah (crossbite anterior).

Type 4: crossbite pada gigi-gigi molar atau premolar (posterior crossbite).

Type 5: mesial drifting dari molar yang disebabkan karena tanggalnya gigi depannya.

Type 6: spacing, openbite.

2. Kelas II Angle disebut distoklusi. Kelas II Angle adalah gigi rahang bawah letaknya lebih distal daripada keadaan normal dalam hubungannya dengan gigi-gigi dan lengkungan gigi dirahang atas. Mesio-buccal cusp dari M1 atas letaknya lebih ke mesial dari buccal groove M1 bawah.

Kelas II maloklusi Angle ada 2 divisi yaitu :

Divisi I: bilateral distal (insisiv atas protrusi)

Subdivisi: unilateral distal (hanya menggunakan atas sisi saja)

Divisi II: bilateral distal (insisiv atau retrusi / steep bite)

Subdivisi: unilateral distal

Gejala-gejala dari kelas II divisi I :

Gigi-gigi insisiv atasnya protrusi

Lengkung gigi atas yang sempit, dan bentuk palatum yang tinggi

Perkembangan dari mandibula yang kurang

Deep overbite/overjet

Tekanan daro otot-otot yang abnormal

Bibir atas pendek dan naik keatas

Sering bernafas melalui mulut

Pertumbuhan ke jurusan transversal kurang

Mento labial sulcus dalam

Mencacat muka

Bone stabilitnya baik

Gejala-gejala dari kelas II divisi 2 :

Lengkung gigi bawah adalah dalam relasi distal deperti pada divisi I

Lengkung gigi atas adalah tidak begitu sempit

Berjejal-jejal, dari gigi insisiv atas dan inklinasinya lebih kelingual (steep bite)

Setengah dari bagian mesial gigi insisiv lateral, menutupi setengah bagian distal dari insisiv sentral

Deep overbite

Perkembangan dari mandibula hampir normal

Tidak ada kebiasaan bernafas melalui mulut

Pertumbuhan dalam jurusan transversal boleh dikatakan normal

Bone stability tidak baik

Tidak begitu mencacat muka

Pertumbuhan kearah vertikal kurang

3. Kelas III Angle disebut mesioklusi. Kelas III Angle adalah gigi-gigi rahang bawah letaknya lebih mesial daripada normal dalam hubungannya dengan gigi-gigi rahang atas. Mesio-buccal cusp M1 atas letaknya lebih kedistal daripada di buccal groove M1 bawah.

Kelas III Angle (mesioklusi) dapat dibagi beberapa type :

Type 1: hubungan incisornya adalah edge to edge

Type 2: insisiv atas menumpang pada insisiv bawah, seperti hubungan yang normal dan insisiv bawah agak berjejal-jejal.

Insisiv atasnya adalah linguoversi crossbite dan hal ini merupakan progeny.

Maloklusi kelas III dapat disebabkan karena pertumbuhan yang berlebihan dari mandibula. Pertumbuhan yang berlebihan dari mandibula janganlah dikelirukan dengan anterversion. Hal ini tidaklah suatu posisi mesial dari condyl di dalam glenoid fossa, tapi ini adalah seluruhnya merupakan pertumbuhan yang berlebihan dari mandibula. Lengkungan gigi bawah adalah lebih ke mesial dibandingkan yang keatas. Mesiobuccal cusp dari M1 atas terletak pada buccal embrassure yang terletak antara M1 dan M2 bawah. Maloklusi kelas III dapat pula oleh karena perkembangan dari lengkungan gigi atas yang kurang dan perkembangan lengkungan gigi bawah yang berlebihan. Maloklusi kelas II dan kelas III, sifatnya sangat progresif, apabila tidak cepat-cepat dirawat sewaktu usianya masih muda, maka makin memburuk dan akan berkembang dentofacial deformity (cacat muka dan gigi).

Modifikasi klasifikasi maloklusi Angle oleh Lischer

Lischer memodifikasi klasifikasi Ange dengan member isstilah-istilah lain untuk masing-masing klasifikasi dari angle. Modifikasi itu antara lain: neutroklusi, distoklusi, dan mesioklusi untuk klasifikasi Angle kelas 1, kelas II, dan kelas III Angle. Selain itu Lischer juga memberikan istilah-istilah lain untuk maloklusi, diantaranya:

a. Neutrocclusion : sama dengan maloklusi Klas I Angle.

b. Distocclusion : sama dengan maloklusi Klas II Angle.

c. Mesiocclusion : sama dengan maloklusi Klas III Angle.

d. Buccocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke buccal.

e. Linguocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke lingual.

f. Supraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi diatas batas normal.

g. Infraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi dibawah batas normal.

h. Mesioversion : lebih ke mesial daripada posisi normal.

i. Distoversion : lebih ke distal daripada posisi normal.

j. Transversion : transposisi dari dua gigi.

k. Axiversion : inklinasi aksial yang abnormal dari sebuah gigi.

l. Torsiversion : rotasi gigi pada sumbu panjang.

Klasifikasi Banner:

Banner mengklasifikasikan maloklusinya menurut etiologi yang menyebabkan maloklusinya, klasifikasi tersebut dibagi menjadi tiga seperti klasifikasi Angle.

Klas I

: posisi abnormal satu gigi atau lebih dikarenakan faktor lokal.

Klas II :formasi abnormal baik satu maupun kedua rahang dikarenakan defek perkembangan pada tulang.

Klas III : hubungan abnormal antara lengkung rahang atas dan bawah, dan antar kedua rahang dengan kontur facial dan berhubungan dengan formasi abnormal dari kedua rahang.BAB IIIPEMBAHASANSkenario Ortodonsia

Skenario 1

Pasien wanita usia 9 tahun datang dengan keluhan gigi depan atas yang tumbuh miring dan gigi depan bawah yang tumbuhnya di belakang. Dari pemeriksaan klinis menunjukkan terdapat berdesakan pada anterior. Relasi molar kanan dan kiri gigitan tonjol. Guna pemeriksaan dokter melakukan pencetaan model studi, pemeriksaan intra, ekstra oral, dan fungsional. Untuk membantu menegakkan diagnosa dan rencana perawatan penderita dirujuk untuk melakukan foto panoramik dan sefalometri. Selanjutnya dokter melakukan analisa untuk menentukan diagnose dan rencana perawatan.

Hasil Pemeriksaan dalam Bidang Orthodonsia Analisis umum

A. Identitas Pasien :

Nama

: Lisa Kusumawati/Lisa

Tanggal lahir/Umur

: 2006/ 10 thn

Pekerjaan/Sekolah

: MIL Man 2 Jember

Jenis Kelmin

: Perempuan

Alamat/Telp

: Jl. Mangga IX/ 50

Status perkawinan

: Belum Kawin

Nama orang tua/ Wali

: Andi Utomo/ Sriyani

Kebangsaan/Suku Bangsa: Indonesia / Jawa

Pasien berumur 9 tahun dimana pada umur tersebut pertumbuhan gigi pada fase gigi geligi campuran. Pasien berjenis kelamin perempuan, biasanya proses pertumbuhan dentofasial lebih cepat selesai pada wanita dari pada laki-laki, seperti pendewasaan, proses penulangan, erupsi gigi terjadi lebih awal pada wanita dari pada laki-laki. Pasien berasal dari suku Jawa sehingga muka sedikit cembung masih dianggap normal karena merupakan kelompok mongoloid.B. Analisa Umum

1. Hasil anamnesa : Pasien mengeluhkan gigi terasa tidak enak pada saat digunakan untuk makan dan kurang nyaman serta sisa makan sering tersangkut pada gigi. Pasien tidak pernah mengalami riwayat jatuh yang mngakibatkan gigi patah atau lepas. Perawatan yang pernah pasien lakukan sebelumnya ialah pencabutan pada gigi susu di bagian depan. Pasien mengatakan bahwa ibunya juga memiliki gigi yang tidak rapi namun gigi ayahnya rapi. Pasien tdak memiliki penyakit sistemik, alergi maupun kebiasaan buruk

2. Kondisi fisik

: Baik

3. Berat badan

: 23,5 kg

4. Tinggi badan

: 127 cm

BMI = = 14,57

Keluhan utama pasien ialah penguyahan terasa kurang nyaman dan sisa makanan sering tersangkut pada gigi, hal ini disebabkan gigi anterior pasien yang crowded. Pasien mengatakan bahwa ibunya memiliki gigi yang berjejal juga. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa ada keterlibatan etiologi fakor keturunan . Pasien tidak memiliki penyakit sistemik ,alergi dan kebiasaan buruk sehingga prognosis pasien lebih baik.

Pasien datang dengan kondisi fisik baik. Namun pasien memiliki tubuh yang kurus dengan nilai Body Mass Indeks =14,57 , dimana menurut WHO pasien dikategorikan sangat kurus atau dapat dikatakan berat badannya kurang. Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai untuk memeriksa kesehatan anak pada setiap kelompok umur. Berat badan merupakan indikator tunggal yang terbaik pada waktu ini untuk keadaan gizi, keadaan tumbuh kembang. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang.

Pasien memiliki status gizi yang kurang baik, hal ini dapat mempengaruhi erupsi gigi . Menurut Steggerda dan Hill (1942) mengemukakan bahwa tidak hanya tekanan biologi yang ada, tetapi juga faktor-faktor lokal, seperti gizi dan lingkungan yang mempengaruhi waktu erupsi dari masing-masing gigi. Faktor-faktor biologi dapat berperan pada pertumbuhan keseluruhan dari gigi termasuk faktor-faktor genetik dan reaksi endokrin. Tambahan pula, jenis kelamin dan keturunan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi erupsi gigi.

Pemeriksaan Khusus / Lokal :

a. Luar mulut / Ekstra Oral :

Bentuk muka : simetris / asimetris

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan bentuk muka dan ditemukan bahwa bentuk muka pasien simetris tidak ditemukan adanya pembengkakan pada bagian wajah.

Tipe muka : Menurut Martin (Graber 1972) dikenal 3 tipe muka yaitu :

- Brahisepali : lebar, persegi

- Mesosepali : lonjong / oval

- Oligisepali : panjang / sempit

Gambar : Hubungan atara bentuk muka dengan bentuk lengkung gigi

Menurut Ricket (Graber 1972) lebih tepat untuk bentuk kepala yaitu proyeksi

kepala terhadap bidang sagital sedangkan untuk tipe muka lebih tepat

menggunakan istilah fasial :

- Brakifasial

- Mesofasial

- Dolikofasial.

Umumnya tipe muka berkaitan erat dengan bentuk lengkung gigi pasien.

Klasifikasi bentuk muka dan kepala menurut Sukadana (1976) berdasarkan:

Indeks muka = Tinggi muka ( A) (Jarak N Gn) x 100

Lebar muka (B) (Jarak bizigomatik)

Klasifikasi indeks muka :

- Euriprosop ( muka pendek, lebar) : 80,0 84,9

- Mesoprosop (muka sedang ) : 85,0 89,9

- Leptoprosop (muka tinggi, sempit) : 90,0 94,9

Jika indeks : < 80,0 : Hipo Euriprosop

> 94,9 : Hiper Leptoprosop

Gambar : Indeks bentuk muka

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan indeks muka (tanpa menggunakan alat dan indeks) ditemukan bahwa bentuk kepala pasien adalah mesoprosop.

Indeks kepala = Lebar kepala (B) (jarak bizigomatik supra mastoideus) x 100

Panjang kepala (A) (Jarak Gl Oc)

Klasifikasi indeks kepala :

- Dolikosepali (kepala panjang sempit) : 70,0 74,9

- Mesosepali (kepala sedang ) : 75,0 79,9

- Brahisepali (kepala lebar persegi) : 80,0 84,9

Jika indeks : < 70,0 : Hipo Dolikosepali

12

> 84,9 : Hiper Brahisepali

Gambar : Indeks bentuk kepala

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan bentuk kepala (tanpa menggunakan alat dan indeks) ditemukan bahwa bentuk kepala pasien adalah mesochepalik. Dan dilakukan pula pemeriksaantipe kepala dimana ditemukan bahwa tipe kepala pasien adalah mesobrachial.

Profil muka : Menurut Graber (1972) dikenal tiga tipe profil muka yaitu :

- Cembung (convex), bila titik petemuan Lcb-Lca berada didepan garis Gl-Pog

- Lurus (straight ), bila titik petemuan Lcb-Lca berada tepat pada garis Gl-Pog

- Cekung (concave), bila titik petemuan Lcb-Lca berada dibelakang garis Gl-Pog

Untuk menentukan profil muka digunakan 4 titik anatomis Gabella (Gl), Lip

Contour atas (Lca), Lip Contour bawah (Lcb) dan Pogonion (pog) serta garis

referensi Gl-Pog sebagaia acuan :

- Glabella (Gl) : Titik terendah dari dahi terletak pada tengah-tengah diantara alis mata kanan dan kiri.

- Lip contour atas (Lca) : Titik terdepan bibir atas.

- Lip contour bawah (Lcb) : Tiik terdepan bibir bawah

- Pogonoin (Pog) : Titik terdepan dari dagu didaerah symphisis mandibula.

Gambar : Tipe profil menurut Graber :A. Cekung, B. Lurus, C. Cembung

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan tipe profil dan ditemukan bahwa tipe profil wajah pasien sedikit cembung dimana upper lip contour lebih anterior dari pada symphysis.

b. Dalam mulut /Intra oral :

Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan mengamati :

Kebersihan mulut (oral hygiene / OH) : baik / cukup / jelek

Ini dapat ditetapkan dengan Indeks OHI, pasien yang kebersihan mulutnya jelek kemungkinan besar kebersihan mulutnya akan lebih jelek lagi selama perawatan dilakukan, oleh karena itu motivasi kebersihan mulut perlu diberikan sebelum perawatan ortodontik dilakukan.

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan kebersihan mulut diketahui bahwa kebersihan rongga mulut pasien baik hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya penumpukan debris maupun plakserta tidak adanya karies yang multiple.

Keadaan lidah : normal / macroglossia / microglossia

Pasien yang mempunyai lidah besar ditandai oleh :

- Ukuran lidah tampak besar dibandingkan ukuran lengkung giginya

- Dalam keadaan relax membuka mulut, lidah tampak luber menutupi permukaan

oklusal gigi-gigi bawah.

- Pada tepi lidah tampak bercak-bercak akibat tekanan permukaan lingual

mahkota gigi (tongue of identation)

- Gigi-gigi tampak renggang-renggang (general diastema)

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan keadaan lidah ditemukan bahwa lidah pasien normal tidak mengalami makroglosia maupun mikroglosia.

Palatum : normal / tinggi / rendah serta normal / lebar / sempit

Pasien dengan pertumbuhan rahang rahang atas kelateral kurang

(kontraksi) biasanya palatumnya tinggi sempit, sedangkan yang pertumbuhan

berlebihan (distraksi) biasanya mempunyai palatum rendah lebar.

Jika ada kelainan lainnya seperti adanya peradangan, tumor, torus, palatoschisis,

dll.

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan keadaan palatum ditemukan bahwa palatum pasien normal, tidak terdapat pertumbuhan yang abnormal, peradangan tumor, maupun torus.

Gingiva : Normal / hypertophy / hypotropy

Adanya peradangan pada gingiva bisa ditetentukan dengan gingival indeks (GI)

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan keadaan gingival ditemukan bahwa gingival normal dengan warna coral pink, tidak terdapat peradangan, pembengkakan, maupun resesi gingiva.

Mucosa : normal / inflamasi / kelainan lainnya

Pasien dengan oral hygiene yang jelek biasanya mempunyai gingiva dan mucosa

yang inflamasi dan hypertropy.

Frenulum labii superior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis

Frenulum labii inferior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis

Frenulum lingualis : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis

Pemeriksaan frenulum dilakukan untuk mengetahui posisi perlekatannya (insersio) pada marginal gingiva serta ketebalannya.

Pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan keadaan mukosa rongga mulut diantaranya adalah mukosa bukal, mukosa labial, dan gingival dimana mukosa rongga mulut pasien normal, tidak ditemukan adanya lesi, indurasi, mapun peradangan. Dilakukan juga pemeriksaan frenulum dan ditemukan bahwa frenulum normal tidak terdapat kelainan pada perlekatan maupun ketebalannya. Analisa fungsional

1. Free Way Space

Merupakan jarak inter-oklusal pada saat mandibula dalam posisi istirahat.

Cara pengukuran:

1. Penderita didudukkan dalam posisi istirahat, kemudian digambarkan suatu titik pada kertas kemudian ditempelkan dengan selotip pada ujung hidung dan ujung dagu (paling anterior) sebagain tanda dan dihitung berapa jarak dari titik ke titiknya.

2. Penderita dalam oklusi sentris, kemudian ditarik garis dari titik ujung hidung ke titik ujung dagu (paling anterior) dan dihitung jaraknya

3. Nilai FWS = jarak pada saat posisi istirahat dikurangi jarak pada saat oklusi sentris

Nilai normal menurut Houston (1989) = 2 - 3 mm

Hasil:

Jarak posisi istirahat= 6,2 cm

Jarak oklusi sentris = 5,9 cm

Free Way Space = 6,2cm - 5,9 cm = 0,3 cm = 3 mm(normal)2. Path of Closure

Merupakan gerakan mandibula dari posisi istirahat menuju oklusi sentris.

Cara pemeriksaan:

1. Penderita didudukkan dalam posisi istirahat, dilihat posisi garis mediannya

2. Penderita dari posisi istirahat diinstruksikan untuk membuka mulut dengan memajukan rahang ke depan kemudian oklusi sentris, apabila rahang kembali dengan mulus tanpa pergeseran (deviasi) maka tidak ada gangguan path of closure

3. Penderita dari posisi istirahat diinstruksikan untuk membuka mulut dengan menggerakkan rahang ke lateral kemudian oklusi sentris, apabila rahang kembali dengan mulus tanpa ada pergeseran/ gerakan tambahan maka tidak ada path of closure

Hasil:

Tidak ada pergeseran/ sliding saat membuka dan menutup mulut (path of closure normal)

3. Sendi Temporo Mandibular

Adalah gerakan mandibula saat membuka dan menutup mulut.

Cara pemeriksaan:

1. Penderita didudukkan dalam posisi istirahat

2. Diletakkan kedua jari telunjuk operator di bagian luar meatus acusticus externa kiri dan kanan penderita

3. Penderita diinstruksikan untuk membuka dan menutup mulutnya, operator mendekatkan telinga pada sendi temporomandibular agar bila terjadi clicking bisa terdengar

Apabila tidak terasa krepitasi saat palpasi di bagian luar meatus acusticus externa atau bunyi clicking pada saat membuka dan menutup mulut berarti pola pergerakan TMJ normal.Hasil:

Tidak ada krepitasi dan bunyi clicking saat membuka dan menutup mulut (TMJ normal)

Analisa Model

1. Bentuk Lengkung Geligi

Setelah dilakukan analisa model pasien bentuk lengkung rahang atas dan rahang bawah normal , yaitu berbentuk Parabola.

2. Jumlah lebar 4 insisif Rahang Atas

Pengukuran lebar mesial distal insisif permanen Rahang atas diukur diameter paling lebar dari masing-masing gigi insisivus dengan alat jangka sorong. Pasien untuk gigi 22 10mm,gigi 21 10mm, gigi 11 9mm , dan gigi 12 10mm dengan jumlah total 39 mm yang berarti tidak normal. Karena pada gigi insisif lateral (22 dan 12) lebar mesial distal 10mm ,untuk gigi insisif lateral normal sekitar 6-8 mm.

3. Diskrepansi (model discrepancy)

Diskrepansi ruang adalah ketidakseimbangan antara ruang yang dibutuhkan dengan ruang yang tersedia pada lengkung gigi pada masa gigi bercampur. Ruang yang dibutuhkan adalah jumlah lebar mesiodistal gigi kaninus, premolar satu dan premolar kedua yang belum erupsi serta keempat gigi insisivus. Ruang yang tersedia adalah ruang di sebelah mesial molar pertama permanen kiri sampai mesial molar pertama permanen kanan yang akan ditempati oleh gigi-gigi permanen pada kedudukan yang benar yang dapat diukur pada model studi.

Analisis Moyers

Analisis Moyers menggunakan jumlah lebar mesiodistal insisivus mandibula dalam memprediksi jumlah lebar kaninus dan premolar maksila dan mandibula pada berbagai tingkat kepercayaan yaitu 5% - 95% dan membentuk tabel probabilitas menggunakan perhitungan regresi. Pada awalnya tabel prediksi tersebut digunakan untuk laki-laki dan perempuan secara bersamaan (1973). Namun kemudian tabel tersebut disempurnakan dengan membedakan antara laki-laki dan perempuan (1988). Tingkat kepercayaan 50% adalah tingkat kepercayaan untuk perhitungan yang lebih akurat. Namun, Moyers merekomendasikan tingkat kepercayaan 75% digunakan untuk kebutuhan klinis karena pada level ini ada kecenderungan nilai lebar mesiodistal yang diprediksi setara atau lebih kecil dari lebar mesiodistal yang sebenarnya. Format tabel ini sebenarnya berfungsi untuk mencegah para klinisi memperoleh nilai yang tidak sesuai dengan nilai lebar mesiodistal yang sebenarnya.

Cara menggunakan analisis moyers adalah sebagai berikut :

1. Lebar mesiodistal keempat gigi insisivus permanen mandibula diukur dan dijumlahkan.

2. Jika terdapat gigi insisivus yang berjejal, tandai jarak antar insisivus dalam lengkung gigi tiap kuadran dimulai dari titik kontak gigi insisivus sentralis mandibula.

3. Ukur jarak tanda di bagian anterior (bagian distal gigi insisivus lateralis permanen) ke tanda di permukaan mesial dari gigi molar pertama permanen (space available). Dapat dilakukan menggunakan kawat atau dengan kaliper.

4. Jumlah lebar mesiodistal keempat gigi insisivus mandibula dibandingkan dengan nilai pada tabel proporsional dengan tingkat kepercayaan 75% untuk memprediksi lebar gigi kaninus dan premolar maksila dan mandibula yang akan erupsi pada satu kuadran.

5. Bandingkan jumlah ruang yang tersedia dengan ruang yang diprediksi (dari tabel) pada kedua rahang. Jika diperoleh nilai negatif, maka dapat disimpulkan adanya kekurangan ruang.

Analisis Sitepu

Rahardjo (2011) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan analisa ruang ini ada cara lain yang digunakan yaitu dengan menghitung memakai rumus tertentuuntuk mengetahui lebar benih gigi. Prosedur cara ini adalah dengan menjumlahkan keempat lebar mesiodistal gigi insisius rahang bawah kemudian dimasukkan ke rumus dan hasil perhitungan akan menunjukkan lebar mesiodistal gigi kaninus (C), premolar pertama (P1), dan premolar kedua (P2). Ruang yang dibutuhkan dapat diperoleh dari jumlah lebar mesiodistal gigi insisiv atas ataupun bawah ditambah dua kali lebar mesiodistal kaninus permanen dan premolar yang didapat dari rumus. Rumus yang ada biasanya ditentukan untuk suatu ras tertentu dimana Sitepu (1983) dalam tesisnya menemukan rumus yang sesuia dengan ras Deutero-Melayu. Penelitian yang ia lakukan mencakup 215 anak dengan presentasi keberhasilan rumus sebesar

99%. Rumus tersebut adalah lebar mesiodistal gigi kaninus (C), premolar pertama (P1), dan premolar kedua (P2) pada satu sisi (Y) berdasar jumlah lebar mesiodistal gigi insisivus rahang bawah (X) dengan persamaan :

Y rahang atas = 0,484263X + 11,7181

Y rahang bawah = 0,460037X + 10,9117

Perbedaan antara analisis Moyers dengan analisis Sitepu ini terletak pada ras yang diteliti dimana pada Moyers adalah anak kulit putih Amerika sementara pada Sitepu pada anak ras Deutero-Melayu selain itu tampak pada nilai perbandingan prediksi lebar region kaninus-premolar pada rahang atasnya prediksi Sitepu lebih besar dibanding prediksi Moyers dengan lebar insisivus rahang bawah yang sama namun hal tersebut berbanding terbalik pada lebar regio kaninus-premolar rahang bawah dimana prediksi Moyers lebih besar angkanya dibanding prediksi Sitepu yang menunjukkan perkembangan rahang pada anak Amerika berkulit putih lebih besar dibanding pada anak ras Deutro-Melayu mengingat adanya pengaruh jenis dan pola konsumsi makanannya. Prediksi Moyers menjelaskan bahwa ketika kita menggunakannya harus memperhatikan pula overjet yang terjadi.

Cara Mengukur Kebutuhan Ruang pada gigi permanen

(Metode Nance) :

Diskrepansi = tempat yang ditersedia tempat yang di butuhkan

Cara mengukur tempat yang tersedia (available space ) :

Rahang Atas :

1. Sediakan kawat dari tembaga (brass wire) untuk membuat lengkungan berbentuk busur.

2. Letakkan brasswire dimulai dari mesial M1 permanen kiri, menyusuri fisura gigi posterior yang ada didepannya, kemudian melewati insisal incisive yang letaknya benar / ideal (yang

inklinasinya membentuk sudut 110 terhadap bidang maksila), kemudian menyusuri fisura gigi posterior kanan dan berakhir sampai mesial M1 permanen kanan

3. Beri tanda pada brasswire menggunakan spidol sebagai tanda akhir pengukuran.

4. Rentangkan kembali brasswire membentuk garis lurus kemudian ukur mulai ujung kawat sampai pangkal (tanda yang sudah dibuat dengan spidol).

5. Catat hasil pengukuran yang didapat sebagai available space (tempat yang tersedia) untuk rahang atas

Rahang Bawah :

Tahapan sama dengan cara mengukur tempat tersedia pada rahang atas, hanya saja brasswire diletakkan pada oklusal gigi dimulai dari mesial M1 permanen kiri, menyusuri cusp bukal gigi posterior yang ada didepannya, kemudian melewati insisal incisive yg letaknya benar

/ ideal (yang inklinasinya 90 / tegak lurus terhadap bidang mandibula), kemudian melewati cusp gigi potrerior kanan dan berakhir sampai mesial M1 permanen kanan.

Cara mengukur tempat yang dibutuhkan (required space):

Rahang atas dan rahang bawah :

1. Sediakan jangka berujung runcing atau jangka sorong

2. Ukur lebar mesiodistal masing-masing gigi (yaitu lengkung terbesar gigi) dimulai dari gigi yang terletak disebelah mesial M1 permanen kiri sampai gigi yang terletak di mesial M1 permanen kanan.

3. Buatlah sebuah garis lurus pada kertas.

4. Hasil pengukuran lebar M-D tiap gigi dipindahkan pada garis yang telah dibuat pada kertas tadi.

5. Hitunglah total pengukuran lebar M-D tiap gigi, catat hasil pengukuran yang didapat sebagai required space (tempat yang dibutuhkan) untuk rahang atas dan rahang bawah.

Menurut Profitt, 2007, jika dari hasil perhitungan kebutuhan ruang

didapatkan :

- Kekurangan tempat : s.d. 4 mm tidak diperlukan pencabutan gigi permanen

- Kekurangan tempat : 5 - 9 mm kadang masih tanpa pencabutan gigi permanen, tetapi seringkali dengan pencabutan gigi permanen

- Kekurangan tempat : > 10 mm selalu dengan pencabutan gigi permanen

Cara Mengukur Kebutuhan Ruang pada gigi campuran:

A. Perkiraan Ukuran Gigi Menggunakan Radiografi

Dalam analisis ruangan akan lebih mudah bagi kita untuk menganalisinya pada foto periapikal daripada foto panoramik. Apabila gigi yang belum erupsi mengalami rotasi, maka digunakan foto oklusal untuk mengukur lebar gigi tersebut. Namun walaupun begitu, apapun

jenis foto roentgen yang dipakai, kita harus tetap ingat bahwa lebar mesiodistal gigi yang terlihat pada roentgen sudah mengalami perbesaran. Untuk itu kita membutuhkan bantuan model studi untuk mengatasinya. Kita dapat mengukur lebar gigi permanen yang belum erupsi dengan menggunakan foto roentgen, dibantu dengan model studi.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai cara dan tumus pengukuran tersebut.

1. Ukur lebar mesiodistal gigi susu pada roentgen (Y) dan lebar gigi permanen penggantinya juga pada roentgen (X).

2. Ukur lebar gigi susu langsung pada model studi (Y), maka lebar gigi permanen penggantinya (X) akan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

X = X . Y

Y

Keterangan :

X = Lebar gigi permanen penggantinya

Y = Lebar gigi sulung pada model studi

X = Lebar gigi permanen pada foto roentgen

Y = Lebar gigi sulung yang terlihat pada foto roentgen

Cara mengukur tempat yang dibutuhkan (required space):

1. Sediakan jangka berujung runcing atau jangka sorong

2. Ukur lebar mesiodistal gigi permanen yang telah erupsi sempurna pada model studi dengan jangka sorong

3. Ukur lebar mesiodistal gigi permanen yang belum erupsi atau erupsi sebagian dengan menggunakan rumus perbandingan seperti di atas.

4. Hitunglah total pengukuran lebar M-D tiap gigi permanen P2-P2 (baik yang dihitung pada model studi maupun yang dihitung dengan rumus perbandingan), catat hasil pengukuran yang

didapat sebagai required space (tempat yang dibutuhkan) untuk rahang atas dan rahang bawah.

B. Perkiraan Ukuran Gigi dengan Tabel Probabilitas (Moyers) Cara menggunakan analisis moyers adalah sebagai berikut :

1. Ukur Lebar M-D keempat gigi I permanen mandibula dan dijumlahkan.

2. Jika terdapat gigi I yang berjejal, tandai jarak antar I dalam lengkung gigi tiap kuadran dimulai dari titik kontak gigi I sentral mandibula.

3. Ukur jarak tanda di bagian anterior (bagian distal gigi I lateral permanen) ke tanda di permukaan mesial dari gigi M1 permanen (space available untuk C,P1 dan P2 dalam 1 kuadran). Dapat dilakukan menggunakan kawat atau dengan kaliper.

4. Jumlah lebar M-D keempat gigi I mandibula dibandingkan dengan nilai pada tabel proporsional dengan tingkat kepercayaan 75% untuk memprediksi lebar gigi C dan P maksila

dan mandibula yang akan erupsi pada satu kuadran.

5. Bandingkan jumlah ruang yang tersedia dengan ruang yang diprediksi (dari tabel) pada kedua rahang. Jika diperoleh nilai negatif, maka dapat disimpulkan adanya kekurangan ruang.

2. Pengukuran dengan cara segmental, yaitu sbb:

- Bagi lengkung rahang menjadi 4 segmen yaitu segmen I1-I2 kanan, segmen I1-I2 kiri, segmen distal I2-mesial M1 kanan dan segmen distal I2-mesial M1 kiri.

- Hitung masing-masing segmen dengan menggunakan kawat atau kaliper.

- Jumlahkan hasil pengukuran lebar segmen I1-I2 kanan+lebar segmen I1-I2 kiri+ lebar segmen distal I2-mesial M1 kanan+ segmen distal I2-mesial M1 kiri.

- Catat hasil pengukuran yang didapat sebagai sebagai required space (tempat yang dibutuhkan) untuk rahang atas dan rahang bawah.

Cara mengukur tempat yang tersedia (available space ) :

Ada 2 cara pengukuran:

1. Pengukuran dengan menggunakan brasswire (lihat metode Nance)

2. Pengukuran dengan cara segmental, yaitu sbb:

- Bagi lengkung rahang menjadi 4 segmen yaitu segmen I1-I2 kanan, segmen I1-I2 kiri, segmen distal I2-mesial M1 kanan dan segmen distal I2-mesial M1 kiri.

- Hitung masing-masing segmen dengan menggunakan kawat atau kaliper.

- Jumlahkan hasil pengukuran lebar segmen I1-I2 kanan+lebar segmen I1-I2 kiri+ lebar segmen distal I2-mesial M1 kanan+ segmen distal I2-mesial M1 kiri.

- Catat hasil pengukuran yang didapat sebagai sebagai required space (tempat yang dibutuhkan) untuk rahang atas dan rahang bawah.

Cara mengukur tempat yang dibutuhkan (required space):

1. Hitung lebar M-D keempat gigi I rahang bawah

2. Jumlah lebar M-D keempat I rahang bawah dibandingkan dengan nilai pada tabel proporsional (tabel Moyers) untuk memprediksi lebar gigi C dan P rahang atas dan rahang bawah yang akan erupsi pada satu kuadran.

3. Required space= jumlah lebar M-D keempat I +( 2 x (nilai pada tabel prediksi))

C. Perkiraan Ukuran Gigi dengan Tabel Sitepu

Cara pengukuran diskrepansi pada fase geligi campuran dengan menggunakan Tabel Sitepu sama dengan cara pengukuran diskrepansi me