infeksi nosokomial fix orto
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana di
maksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Rumah sakit atau tempat
pelayanan kesehatan lain adalah tempat dimana orang sakit mencari pertolongan
untuk mengatasi penyakitnya. Penderita yang datang ke tempat pelayanan kesehatan,
khususnya di Indonesia, sebagian besar adalah penderita penyakit infeksi, sehingga
tidak mengherankan bila tempat pelayanan kesehatan pada umumnya dan rumah sakit
pada khususnya adalah lingkungan yang sangat berpotensi bahaya dalam hal
penularan penyakit infeksi. Sebagian besar pengidap penyakit akut berhasil
memperoleh perbaikan. Namun, adakalanya terutama pada pengidap penyakit kronis
atau yang keadaan umumnya buruk justru acapkali terkena infeksi yang baru. Infeksi
yang didapatkan di rumah sakit tersebut dikenal sebagai infeksi rumah sakit atau
infeksi nosokomial.1-2
Infeksi yang didapatkan di rumah sakit ini merupakan masalah yang pelik yang
makin sering terjadi, serta tidak mudah mengatasinya tidak hanya di Negara-negara
maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat tetapi juga Negara-negara
1
berkembang. Di Amerika Serikat tiap tahun hampir 40 juta orang masuk rumah sakit.
Lima sampai sepuluh persen di antaranya atau 2-4 juta orang berpeluang menderita
infeksi nosokomial. Pusat pengawasan penyakit dan survey infeksi nosokomial
Amerika serikat melaporkan bahwa tahun 1995, infeksi nosokomial berperan dalam
kematian sekitar 88.000 orang selama setahun atau 1 orang tiap menit dan
menyebabkan penghabisan dana sekitar 4,5 miliar dolar Amerika Serikat. Pada
penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS) dan Center Disease
Control and Prevention didapatkan 5 sampai 6 kasus infeksi nosokomial dari setiap
100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2 juta kasus infeksi nosokomial terjadi
setiap tahun di Amerika Serikat dengan menghabiskan dana sebesar 2 milyar dolar.
Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi nosokomial meningkatkan angka
kematian menjadi 2 kali lipat. 1-4
Di Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang cukup
serius. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang pada tahun 1989
mendapatkan hasil observasi infeksi nosokomial insidensi infeksi nosokomial 18,46%
pada pasien yang di rawat penyakit dala RSUP M. Jamil, Padang. Apad penelitian
lain pada tahun yang sama di RS Hasan Sadikin Bandung, didapatkan insidensi
infeksi nosokomial 17,24% sedangkan di RSUD dr. Sutomo adalah sebesar 9,85%
(Ginting Y.2001).4
” The Journals of Infections Control Nursing “ sebagaimana yang ditulis oleh
Nancy Roper (1996) mengadakan survey prevalensi pada 43 rumah sakit di Inggris
yang menunjukkan bahwa kira-kira 20% pasien rumah sakit terkena infeksi dan dari
2
jumlah tersebut kurang lebih 10% adalah dari infeksi komunitas, yang sudah ada pada
saat pasien masuk rumah sakit, serta 10% lagi adalah infeksi nosokomial. Lokasi dan
presentasi infeksi yaitu : (1) saluran kemih (30%), (2) luka operasi (20%), (3) saluran
pernafasan (20%), (4) luka lain (30%).4
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang
terjadi melalui kode transmisi kuman tertentu. Di rumah sakit atau dan sarana
kesehatan lainnya, infeksi dapat terjadi antara pasien, dari pasien ke petugas, dari
petugas ke petugas, dan dari petugas ke pasien. Infeksi sering terjadi pada pasien
beresiko tinggi yaitu pasien dengan karakteristik luka bakar, pada usia tua, berbaring
lama, penggunaan obat imunosupresan dan steroid, daya tahan tubuh turun pada
pasien yang dilakukan prosedur invasif, infus lama atau pemasangan kateter urin
yang lama dan infeksi nosokomial pada luka operasi. Sebagai sumber penularan dan
cara penularan terutama melalui tangan, jarum suntik, kateter IV, kateter urin, kain
kasa atau verban. Cara keliru menangani luka, peralatan operasi yang terkontaminasi,
dan lain-lain.1-5
Infeksi nosokomial di rumah sakit yang sering terjadi pada penderita
memberikan dampak kerugian yang besar. Infeksi rumah sakit yang terjadi pada
penderita umumnya akan menyebabkan penyakit yang parah dan membutuhkan
waktu yang lama untuk sembuh. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan
status gizi penderita yang jelek, disamping kenyataan bahwa sebgaian besar penyebab
adalah bakteri komensal yang sudah kebal terhadap antibiotik. Ini akan menyebabkan
waktu perawatan yang lama atau kematian penderita, sehingga morbiditas dan
3
mortilitas di rumah sakit meningkat dan ini akan menurunkan mutu rumah sakit yang
bersangkutan. Rumah sakit juga akan merugi karena masa perawatan penderita
menjadi lebih panjang sehingga hunian rumah sakit rendah. Perusahaan atau orang
yang menanggung biaya perawatan penderita merugi karena kehilangan waktunya
yang produktif selama di rawat di rumah sakit.1
Mengingat hal-hal tersebut di atas, sudah saatnya untuk melakukan tindakan-
tindakan pengendalian infeksi nosokomial di tempat-tempat pelayanan kesehatan
pada umumnya dan di rumah sakit pada khususnya. Kewaspadaan universal
merupakan salah satu pengendalian infeksi rumah sakit yang oleh Departemen
Kesehatan telah dikembangkan sejak tahun 1980-an melalui program di
Sub.Direktorat isolasi di bawah direktorat epidemiologi dan imunisasi Ditjen P3M
saat itu. Maka untuk hal tersebut dibutuhkan gambaran atau karakteristik dari infeksi
nosokomial itu sendiri. 2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari berbagai persoalan yang dikemukakan maka dalam penelitian ini di
rumuskan dan dibatasi masalah seputar :
1 Bagaiamana gambaran insidensi infeksi nosokomial di bangsal ortopedi RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010?
2 Bagaimana gambaran infeksi nosokomial di bangsal ortopedi RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010 menurut manifestasi
penyakit?
4
3 Bagaimana gambaran infeksi nosokomial berhubungan dengan faktor-faktor
yang mempengaruhi, seperti lama perawatan sebelum operasi, durasi operasi,
dan lama perawatan setelah operasi di bangsal ortopedi RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum
Menggambarkan infeksi nosokomial pada penderita di bangsal ortopedi RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menggambarkan insidensi infeksi nosokomial di bangsal ortopedi RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010
2. Menggambarkan infeksi nosokomial menurut manifestasi penyakit di
bangsal ortopedi RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-
Desember 2010
3. Menggambarkan hubungan infeksi nosokomial denagn faktor-faktor
yang mempengauhi, seperti lama perawatan sebelum operasi, durasi
operasi, dan lama perawatan setelah operasi di bangsal ortopedi RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010
5
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Memperoleh gambaran infeksi nosokomial pada penderita rawat inap di
bangsal ortopedi RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo periode Oktober -
Desember 2010
2. Sebagai tambahan ilmu dan pengalaman, sekaligus penerapan dari ilmu
dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh peneliti
3. Sebagai informasi bagi semua rumah sakit, terutama RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo dalam upaya memberantas infeksi nosokomial
4. Sebagai sumbangan ilmiah yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembaca atau peneliti
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit pada seseorang
baik saat dia sakit atau sedang berobat karena sesuatu penyakit sedangkan pada saat
ke rumah sakit tersebut penderita tidak dalam masa inkubasi penyakit itu. Gejala yang
sering dijumpai adalah demam yang disebut demam rumah sakit (hospital fever)
padahal sebelumnya tidak menderita demam. Pada bangsal selain demam sering pula
dijumpai gejala batuk. Menurut CDC (Center for Disease Control and Prevention)
infeksi nosokomial adalah Infeksi yang didapatkan di rumah sakit dan terjadi setelah
48 jam perawatan di rumah sakit, atas dasar gejala klinis maupun laboraturium dan
pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda infeksi atau masa inkubasi dari penyakit
yang bersangkutan, pada saat penderita mulai dirawat.1,6
Di negara maju kejadian infeksi ini diperkirakan 5 % dan angka ini makin tinggi
di negara-negara berkembang. Menurut Ibrahim Abdul Samad angka infeksi
nosokomial ditiap rumah sakit atau negara bisa berbeda, tapi ia menyebutkan bahwa
infeksi nosokomial di bagian bedah merupakan yang tertinggi dan di bagian anak
merupakan yang terendah. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal
dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya
7
infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%. Walaupun ilmu
pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade
terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin
meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang
resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih
menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus
setiap tahunnya2,9
Pada penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS) dan
Center Disease Control and Prevention didapatkan 5 sampai 6 kasus infeksi
nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2 juta kasus
infeksi nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dengan menghabiskan
dana sebesar 2 milyar dolar. Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi nosokomial
meningkatkan angka kematian menjadi 2 kali lipat. 1-4
Di Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang cukup
serius. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang pada tahun 1989
mendapatkan hasil observasi infeksi nosokomial insidensi infeksi nosokomial 18,46%
pada pasien yang di rawat penyakit dala RSUP M. Jamil, Padang. Pada penelitian lain
pada tahun yang sama di RS Hasan Sadikin Bandung, didapatkan insidensi infeksi
nosokomial 17,24% sedangkan di RSUD dr. Sutomo adalah sebesar 9,85% (Ginting
Y.2001).4
” The Journals of Infections Control Nursing “ sebagaimana yang ditulis oleh
Nancy Roper (1996) mengadakan survei prevalensi pada 43 rumah sakit di Inggris
8
yang menunjukkan bahwa kira-kira 20% pasien rumah sakit terkena infeksi dan dari
jumlah tersebut kurang lebih 10% adalah dari infeksi komunitas, yang sudah ada pada
saat pasien masuk rumah sakit, serta 10% lagi adalah infeksi nosokomial. Lokasi dan
presentasi infeksi yaitu : (1) saluran kemih (30%), (2) luka operasi (20%), (3) saluran
pernafasan (20%), (4) luka lain (30%).4
Infeksi nosokomial yang paling sering melibatkan saluran kencing dan pada
umumnya menyertai manipulasi urologis, termasuk penggunaan kateter tetap saluran
kencing. Beberapa infeksi nosokomial saluran kencing mengakibatkan bakteriemia
kecuali pada adanya obstruksi. Walaupun wanita lebih sering terinfeksi, tetapi pada
laki-laki tua lebih sering terjadi bakteriemia.1,4-5,7-9
Pneumonia menggambarkan terutama suatu bentuk infeksi nosokomial yang
menyulitkan dan orang tua atau penderita amat mudah berisiko tinggi. Determin lain
dari kecenderungan infeksi termasuk status mental yang tertekan menyebabkan
aspirasi flora faring dan intubasi endotrakea. Selama masa pasca bedah penderita
sangat mudah terkena infeksi paru. Penderita sering tidak bergerak (yang
memudahkan aspirasi); tidak terventilasi penuh dan mendapat pengobatan untuk
nyeni yang mengganggu batuk, refleks batuk dan penelanan. Insisi thoraks atau
abdomen atas, mendahului infeksi pernafasan dan obesitas juga menambah risiko.
Akhirnya, pengurangan asiditas gaster terapeutik menambah resiko pneumonia
nosokomial.1,6,8-9
Infeksi kulit dan jaringan lemak terjadi di rumah sakit sebagai akibat dan
imobilisasi dan terjadinya luka tekanan (ulkus dekubitus) atau tindakan invasif yang
9
mengganggu keutuhan kulit (infeksi luka). Beberapa ulkus dekubitus atau luka infeksi
berhubungan dengan bakterimia. Risiko tertinggi untuk kemungkinan komplikasi
yang mematikan ini adalah penderita lama yang tidak bergerak dan penderita yang
baru saja mengalami pembedahan usus besar, rektum atau urologi.6
Infeksi luka operasi merupakan komplikasi paling serius yang terjadi pada
penderita pasca bedah. Morbiditas dan mobilitas penderita infeksi pasca bedah dan
penderita akibat kecelakaan sangat ditentukan oleh ada tidaknya sepsis. Infeksi juga
dapat mempengaruhi penyembuhan jika dan dapat menyebabkan terjadinya parut luka
yang secara kosmetik sangat mengganggu. Pemberian antibiotik untuk profilaktik
sebenarnya tidak menurunkan kejadian infeksi luka operasi, malah dapat menambah
jumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotika di rumah sakit.1,4-6
Infeksi nosokomial saluran pencemaan yang sering terjadi di rumah sakit yang
tersering dijumpai ialah dalam bentuk diare dan gastroenteritis. Cara penularan utama
infeksi nosokomial saluran pencemaan mi pada umumnya melalui makanan
(keracunan kontaminasi makanan).
Infeksi nosokimial sistem saraf pusat adalah infeksi yang terjadi pada
intrakranial antara lain abses otak, infeksi subdural atau epidural, dan ensefalitis.
Beberapa gejala infeksi intrakranial adalah terdapat kultur positif dari jaringan otak
atau dura, ditemukannya abses atau infeksi intrakranial lain selama operasi, sakit
kepala, kejang, demam, defisit neurologis, dan penurunan kesadaran.6
Kontaminasi bisa terjadi pada setiap titik dan sistem intra-venous. Misalnya,
risiko terjadinya kontaminasi bisa bertambah pada penambahan obat ke dalam botol
10
intra-venous, suntikan ke dalain selang. Pemasangan manometer dan alat-alat lain,
saat penggantian botol, dan pengambilan spesimen dan sistem intravenous. Cairan
intravenous juga bisa terkontaminasi dengan masuknya udara yang tidak difilter
kedalam botol infus. Hal ini bila vakum dan botol pecah waktu set dipasang dan
udara masuk kedalam botol selama infus berjalan.10
2.2 ETIOLOGI
Infeksi nosokomial dapat berupa epidemik maupun endemik walaupun kuman-
kuman penyebabnya mungkin sama ialah Staphylococcus aureus, Enterococcus, E.
coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, Serratia, Salmonella, dan
Streptococcus pyogenes. Berdasarkan penelitian, kuman penyebab infeksi nosokomial
dan waktu kewaktu selalu berubah. Sebelum perang dunia ke II, pada tahun 1940-an
penyebab utama infeksi nosokomial adalah golongan Streptococcus, setelah perang
dunia ke II pada tahun 1950-an setelah digunakannya antibiotik pinisillin secara luas
penyebab utama infeksi nosokomial adalah golongan Staphylococcus.1,4-5,8-9
1. Bakteri9
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat.
Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya
bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia
tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya
Escherichia coli paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih.
11
Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik
maupun endemik. Contohnya :
Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangrene
Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan
hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, tulang, jantung dan infeksi
pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.
Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus,
Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan
penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien
yang dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari
semua infeksi di rumah sakit
Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan,
paru, dan peritoneum.
2. Virus9
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus,
termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis,
suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enterovirus
yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis
dan HIV ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute
penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal,
infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering
12
menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus,
herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.
3. Parasit dan Jamur9
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang
dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian
obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida
albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.
2.3 SUMBER INFEKSI
Sumber infeksi dapat dibagi menjadi : benda mati dan benda hidup terutama
manusia.8-10
1. Benda mati
a. Ditularkan melalui kontak dengan alat-alat kedokteran seperti spoit, jarum
suntik, jarum biopsi, jarum punksi, termometer, alat-alat kebersihan (handuk,
kain lap, pakaian, seprei terutama yang basah), alat-alat intubasi (lambung,
duodenum), kapsul biopsi, spatel lidah, endoskop, colonoskop,
rektosigmoidoskop, alat-alat anestesi, kateter, dan sebagainya. Dari suatu
penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan infeksi dari kateter
urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka
operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak
diganti-ganti. Diruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien
13
memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa
gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa
Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat
dideteksi adanya gangguan lain. Flebitis : Terdapat pembengkakan,
kemerahan dan nyeri sepanjang vena . Trombosis : Terdapat pembengkakan di
sepanjang pembuluh vena yang menghambat aliran infus. Kolonisasi kanul :
Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada
dalam pembuluh darah. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari
kanul. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
b. Ditularkan melalui makanan, minuman, dan air yang sudah terkontaminasi
dengan kuman. Makanan di dapur rumah sakit dapat terkontaminasi oleh
kuman-kuman, baik sebelum, selaina maupun setelah diolah. Sebelum diolah,
misalnya daging dan ikan yang mengandung kuman Salmonella spp,
Clostridium spp, dan Vibrio spp. Selama diolah, misalnya pemotongan daging
dan ikan yang tidak sempurna (terlalu besar sehingga tidak dapat matang
semua), pencucian bahan-bahan makanan sebelum dimasak yang tidak
higienis dan tukang masak yang merupakan karier dan suatu penyakit menular
(typhus, salmonellosis, amubiasis, hepatitis, kolera dan sebagainya). Sesudah
diolah, misalnya penyimpanan makanan yang tidak baik, mudah
terkontaminasi oleh kuman, tercampur dengan bahan-bahan makanan mentah,
mudah dimasuki binatang (kecoa, lalat, semut, cecak, dan sebagainya) tempat
14
makanan yang kotor, makanan yang sudah basi dan pegawai dapur yang
mengedarkan makanan yang mengandung karier atau kurang higienis.
2. Benda hidup terutama manusia
a. Manusia sehat, seperti pengunjung rumah sakit yang sehat, tenaga kesehatan,
seperti dokter, mahasiswa kedokteran, paramedis, analisis, teknisi,
fisioterapis, dan pegawai dapur merupakan sumber infeksi yang sudah tak
asing lagi.
b. Manusia sakit, seperti pengunjung rumah sakit dan tenaga kesehatan yang
sedang sakit dan terutama penderita sendiri merupakan sumber infeksi yang
sangat potensial
Binatang hidup dapat merupakan sumber infeksi terutama dapat berperan sebagai
vektor yang terkenal antaranya golongan serangga (kecoa, lalat, nyamuk dan
sebagainya).
2.4 MODEL TRANSMISI
Berdasarkan kajian terhadap cara transmisi mikroba, maka mayoritas infeksi
nosokomial ini adalah tipe infeksi endogenous (autoinfeksi) yang merupakan
translokasi mikroba mukokutan ke tempat predileksi infeksi, dengan frekuensi 80 %
dan kejadian infeksi nosokomial. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap model
transmisi ini diantaranya faktor umur (neonatus, geriatri), penyakit dasar yang berat
atau kegagalan organ (diabetes, gagal ginjal, sirosis), status imun yang tidak adekuat
15
(malnutrisi, terapi imunosupresi, AIDS) defek barier mukokutan (trauma, endoskopi),
serta mendapatkan terapi invasif (operasi, ventilasi mekanik, protesa). 8
Model transmisi kedua adalah infeksi eksogenous (20%) yang berarti infeksi
berasal dari luar tubuh pasien. Reservoar dapat dari tenaga kesehatan yang melayani
pasien (healt care worker), pasien lain, lingkungan rumah sakit, atau dari alat
kesehatan yang terkontaminasi. Dan tenaga kesehatan ke pasien atau sebaliknya
(infeksi silang) paling sering terjadi (10-20%) yang disebabkan karena budaya kerja
yang tidak memenuhi syarat aseptik dan sterilitas.2,8
2.5 DIAGNOSIS INFEKSI NOSOKOMIAL
Menegakan diagnosis infeksi nosokomial tidaklah mudah. Diagnostik pada
umumnya hanya berdasar pada gejala klinik, sedangkan diagnosis etiologi lebih sukar
ditetapkan karena terbatasnya sarana dalam dana untuk menegakan diagnosis infeksi
nosokomial tersebut. Diagnosis klinik pada umumnya diduga ditegakkan bila: 1, 6,8-11
1. Sebelumnya penderita tidak sedang dalam masa inkubasi penyakit tersebut.
2. Sebelumnya tidak pernah kontak dengan penyakit tersebut.
3. Masa inkubasi penyakit tersebut lebih pendek dad masa rawat penderita di runah
sakit.
Kriteria diagnosis infeksi nosokomial6
1. Infeksi saluran kemih : manifestasinya demam (> 38 o C), nyeri suprapubik,
urgensi, frekuensi, dan kultur urin positif dengan jumlah kuman ≥ 105 per cm3
atau jenis kuman pada urin tidak lebih dari dua.
16
2. Infeksi bekas luka operasi : manifestasinya berupa pus pada luka insisi. Infeksi
dialami jika terjadi 30 hari setelah operasi
3. Infeski saluran napas : manifestasinya berupa batuk, nyeri dada, dan sputum
menjadi purulen, foto thorax berubah
4. Infeksi sistemik: manifestasinya berupa gejala sepsis seperti demam (> 38 o C
atau < 36,5o C), hipotensi, bradikardi, oligouri, hasil kultur darah tidak
menunjukkan kuman yang spesifik.
5. Infeksi sistem saraf pusat : manifestasinya berupa nyeri kepala, kejang, demam
(> 38 o C), defisit neurologis, dan penurunan kesadaran. Hasil kultur dari jaringan
otak atau dura positif, pemeriksaan antigen pada darah atau urin positif,
didapatkan hasil terdapat infeksi dari pemeriksaan radiologi (CT-Scan, dan
MRI).
6. Infeksi saluran cerna : Manifestasinya berupa diare akut (feses cair lebih dari 12
jam) denagn atau tanpa muntah atau demam (> 38 o C), dan kultur kuman positif.
7. Infeksi Hepar : manifestasinya berupa demam (> 38 o C), mual, muntah, nyeri
abdomen, ikterus, riwayat transfusi 3 bulan yang lalu. Kriterianya harus memiliki
minimal 2 gejala di atas. Hasil lab antigen atau antibodi hepatitis A,B,C, atau D
positif , peningkatan fungsi hati.
8. Infeksi kulit : manifestasinya berupa adanya pus, vesikel, atau bulla pada kulit,
yang dengan atau tanpa disertai nyeri, udem, merah, dan panas. Dapat juga
berupa ulkus dekubitus. Hasil lab dapat menunjukkan kultur darah positif,
17
antigen dari kultur jaringan atau darah seperti herpes simpleks, varicella zooster
positif.
9. Infeksi luka infus : terdapat flebitis
2.6 FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI INFEKSI NOSOKOMIAL
Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
infeksi nosokomial pada penderita. Faktor-faktor predisposisi terjadinya infeksi
nosokomial antara lain terdiri atas beberapa faktor, yaitu faktor endogen, faktor
rumah sakit, faktor penderita, dan faktor antibiotika.
Faktor Endogen
Tubuh manusia dalam keadaan normal dihuni oleh mikroba komensal yang
tidak berbahaya bagi yang bersangkutan, malah membantu misalnya dalam mencegah
infeksi dan bakteri patogen karena dihasilkannya zat-zat tertentu oleh bakteri
komensal yang berbahaya bagi mikroba lain.8-9,11
Namun bila dilakukan tindakan invasif, misalnya pada pemasangan pipa
endotrakeal, infus, kateter, dan lain-lain, maka bisa terjadi kerusakan pertahanan
tubuh setempat pada mukosa, sehingga memungkinkan invasi mikroorganisme ke
dalam jaringan. Dengan menggunakan alat yang tidak steril, maka mikroba komensal
bisa dipindahkan ke lokasi yang bukan habitat normal mikroba tersebut (translokasi),
sehingga mikroba yang bersangkutan bisa berubah menjadi patogen. Mikroba yang
demikian dikenal sebagai mikroba yang opportunistik patogen.11
18
Faktor Rumah Sakit
Rumah sakit adalah tempat yang banyak dihuni oleh banyak mikroba patogen,
yang dapat dipindahkan dan seorang penderita ke penderita yang lain oleh tindakan
petugas di rumah sakit. Di rumah sakit banyak dilakukan tindakan medis yang
menggunakan alat yang dapat merupakan vechile bagi mikroba untuk memasuki
tubuh manusia.1,11
Manajemen rumah sakit merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap kejadian infeksi nosokomial. Persediaan peralatan medis, keterampilan
dokter dan perawat. dan asuhan keperawatan adalah sebagian faktor pencetus
terjadinya infeksi nosokomial. Karena itu angka kejadian infeksi nosokomial di satu
rumah sakit dapat dijadikan salah satu tolak ukur untuk melihat pelayanan di rumah
sakit tersebut.1,11
Faktor Penderita
Penderita yang masuk ke rumah sakit adalah orang-orang yang umumnya sudah
lama sakit, sehingga mempunyai daya tahan tubuh yang rendah, gizi yang jelek dan
dengan usia tua, yang semuanya merupakan faktor yang dapat lebih mempermudah
terjadinva infeksi. Pengobatan steroid atau terapi imunologis, juga merupakan faktor
yang dapat mempermudah infeksi.2
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh
terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis
seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS.
Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman
19
yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat
menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan
penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan
pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.9
Faktor Antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun
1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan
disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan
berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini
menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka
mortalitas terutama terhadap pasien yang immunocompromise. Resistensi dari bakteri
di transmisikan antar pasien dan faktor resistensinya di pindahkan antara bakteri.
Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru meningkatkan multipikasi dan
penyebaran strain yang resistan. Penyebab utamanya karena :Penggunaan antibiotika
yang tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan
pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat, Kesalahan diagnosa.
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang
resisten terhadap antibiotika, mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman
terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk
terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strains dari
pneumococci, staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap
banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan Peudomonas aeruginosa juga telah
20
bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara
berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau tidak tersedia. Infeksi
nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit,
dan menjadi sangat penting karena : meningkatnya jumlah penderita yang dirawat,
seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur,
mikororganisme yang baru (mutasi) dan meningkatnya resistensi bakteri terhadap
antibiotika
2.7 PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL
Untuk meniadakan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat
di rumah sakit perlu diperhatikan beberapa hal yang pokok. Pokok-pokok dan
penanganan infeksi nosokomial dapat dikelompokkan dalam beberapa butir sebagai
benikut:
A. Kewaspadaan universal
Kewaspadaan universal adalah suatu konsep penanggulangan infeksi dimana
strategi pelaksanaannya menitikberatkan pada pengendalian penyeberangan infeksi
yang terjadi melalui darah dan cairan tubuh secara universal tanpa memandang status
infeksi dan pasien. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh
sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan. Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Universal kesehatan adalah menjaga
hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga
pninsip tersebut dijabarkan menjadi 5 kegiatan pokok yaitu: 6-7,10
21
1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
Tiga cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yaitu:
Cuci tangan higienik atau rutin : dilakukan dengan air mengalir dan sabun
antiseptik. Cuci tangan mtin mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan.
Cuci tangan rutin sebelum bekerja dimaksudkan untuk melindungi penderita,
sedangkan cuci tangan setelah bekerja disamping untuk melindungi penderita
lain, juga untuk melindungi din petugas sendiri dan infeksi.
Cuci tangan aseptik: sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggunakan antiseptik atau setelah tangan kontak dengan darah atau duh
tubuh penderita. Dilakukan dengan air mengalir dan sabun antiseptik,
kemudian larutan savlon, dan alkohol 70 %, atau antiseptik yang lain.
Cuci tangan bedah : disamping tangan dicuci dengan sabun, antiseptik dan
air, maka harus dilakukan penyikatan kulit tangan minimal 15 menit untuk
menghilangkan sebanyak mungkin bakteri penghuni pori-pori kulit Cuci
tangan ini dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah.
2. Pemakalan alat pelindung.
Pada waktu bekerja harus selalu dijaga agar bagian tubuh petugas tidak kontak
dengan darah atau duh tubuh penderita. Hal ini bisa dilakukan dengan memakai
alat pelindung pada waktu melakukan pelayanan atau tidakan medis yang
memungkinkan terjadinya kontak antara tubuh petugas dengan darah atau duh
tubuh lain. Alat pelindung yang digunakan berupa : sarung tangan, pelindung
22
wajah atau masker atau kaca mata penutup kepala, gaun pelindung (baju kerja atau
celemek), sepatu pelindung.6-7,10
Baju kerja, gaun operasi, jas praktiukum atau celemek, yang dipakai
sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pada keadaan dimana ada
kemungkinan darah atau duh tubuh bisa mencemari kaki, maka harus
digunakan sepatu yang tertutup
Sarung tangan dipakai untuk melindungi tangan dan pencemaran darah atau
duh tubuh. Jenis sarung tangan yang dipakai pun harus sesuai dengan
pekerjaan. misalnya sarung tangan operasi yang steril di pakai untuk
pekerjaan medis dan sarung tangan domestik dipakai pada pekerjaan non-
medis, misal pada saat perawat memandikan penderita atau pada saat
melakukan pekerjaan pembersthan Iingkungan.
Masker, penutup kepala, dan kaca mata, dipakai sesuai dengan pekerjaan
yang dilakukan. Masker dan kaca mata dipakai bila ada kemungkinan adanya
percikan darah atau duh tubuh, misalnya pada operasi atau pencabutan gigi.
Penutup kepala dipakai bersama masker untuk menghindari penderita dan
pencemaran bakteri yang berasal dan tubuh petugas. Disamping itu masker
juga dipakai untuk melindungi petugas dari penularan bakteri lewat udara,
misalnya bila bekerja path bangsal atau poliklinik penyakit paru-paru, atau
bekerja di laboratorium mikrobiologi.
3. Pengelolaan alat kesehatan
23
Pengelolaan alat bertujuan meneegah penyebaran infeksi melalui alat
kesehatan, atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi stenil dan siap pakai.
Penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahapan yaitu: dekontaminasi,
pencucian, sterilisasi atau DTT dan penyimpanan.6-7,10
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mematikan semua virus
dan sebagian besar untuk vegetatif bakteri. Semua barang dan alat yang
terkontaminasi dengan darah dan duh tubuh penderita, sebelum dicuci harus
didekontaminasi dulu dengan merendamnya dalam cairan sunclin (chlorin)
0,5-5 % selama 5-30 menit. Dengan merendam dalam cairan sunclin 5 %,
maka semua virus sudah dimatikan dalam 5 menit. Dekontaminasi ini
terutama bertujuan untuk melindungi petugas dan kemungkinan tertular
infeksi.
Pencucian alat, setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang
merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang
memadai maka pada umumnya proses disinfeksi atau sterilisasi selanjutnya
menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengamhi fungsinya
atau menyebabkan reaksi pirogen bila masuk kedalam tubuh pasien. Pada
pencucian digunakan deterjen dan air. Pencucian harus dilakukan dengan
teliti sebingga darah atau cairan tubuh lain, janingan, bahan organik dan
kotoran betul-betul hilang dafi permukaan alat tersebut, Peralatan yang sudah
bersih dibilas dan dikeringkan dahulu sebelum diproses lebih lanjut.
24
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mematikan semua bentuk
mikroorganisme. Cara sterilisasi yang balk untuk alat medis dan logam adalah
dengan panas basah diatas 100°C (autoclave), dan yang dan karet atau plastik
sebaiknya disterilkan dengan sinar ultraviolet.
Penyimpanan alat kesehatan, penyimpanan yang baik sama pentingnya
dengan proses sterilisasi atau disinfeksi itu sendini. Ada dua macam alat
dilihat dan cara penyimpanannya, yakni alat yang dibungkus dan yang tidak
dibungkus. Alat yang dibungkus, umur steril (shelf life)-selama peralatan
masih terbungkus, semua alat steril dianggap tetap steril tergantung ada atau
tidaknya kontaminasi. Alat yang tidak dibungkus harus digunakan segera
setelah dikeluarkan. Alat yang tersimpan pada wadah steril dan tertutup
apabila yakin tetap steril paling lama untuk 1 minggu, tetapi kalau ragu-ragu
harus disterilkan kembali.
4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
Benda tajam sangat beresiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga
meriingkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Untuk
menghindari perlukaan atau kecelakaan keija maka semua benda tajam harus
digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas tidak boleh
digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan lain yang menembus
kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika
alat-alat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf. Tidak dianjurkan untuk
melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17 % kecelakaan
25
kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70 % terjadi
sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13 % sesudah pembuangan.
Hampir 40 % kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan kecelakaan kerja
akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunanya.6-7
Seperti prosedur pengelolaan alat kesehatan lainnya maka petugas harus
selalu mengenakan sarung tangan tebal, misalnya, saat mencuci alat dan alat
tajam. Risiko kecelakaan sering teijadi pada saat memindahkan alat tajam dan
satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajam
secara langsung, melainkan menggunakan teknik tanpa sentuh (hands free) yaitu
menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil
sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat
ditekan dengan mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan
mendapatkan pandangan bebas tanpa halangan, dengan cara meletakkan pasien
pada posisi yang mudah dilihat dan mengatur sumber pencahayaan yang baik.
Pada dasarnya adalah menjalankan prosedur kerja yang legeartis, seperti pada
penggunaan forset atau pinset saat mengerjakan penjahitan.6-7,11
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada
saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam
tutupnya. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum
suntik tersebut melainkan langsung saja dibuang ketempat penampungan
sementaranya, tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian tajamnya seperti
dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum terpaksa ditutup
26
kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu tangan
(single handed recapping methode) untuk mencegah jari tertusuk jarum.6
Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan,
maka diperlukan satu wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan
tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampungan janim suntik bekas
pakai harus dapat dipergunakan dengan satu tangan, agar pada waktu
memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah
tersebut ditutup dan di ganti setelah % bagian terisi dengan limbah, dan setelah
ditutup tidak dapat dibuka kembali sehingga isi tidak tumpah. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menghindari perlukaan pada pengelolaan sampah selanjutnya.
Limbah tajam ditangani bersama limbah medis. Wadah benda tajam merupakan
limbah medis dan harus dimasukkan kedalam kantong medis sebelum insinerasi.
Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat
dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lain. Apapun metode yang akan
digunakan haruslah tidak memberikan kemungkinan perlukaan benda tajam.6
5. Pengelolaan limbah dan sanitasi lingkungan.
1. Limbah Umum Atau Sampah Rumah Tangga
Semua limbah yang tidak kontak dengan tubuh pasien umumnya dikenal
sebagai sampah non-medik, yakni sampah-sampah yang dihasilkan dan
kegiatan di ruang tunggu pasien atau pengunjung, ruang administrasi dan
kebun. Sampah jenis ini meliputi sisa makanan, sisa pembungkus makanan,
27
plastik dan sisa pembungkus obat. Sampah jenis ini dapat langsung dibuang
melalui pelayanan pengelolaan sampah kota.11
2. Limbah Klinis
Limbah klinis merupakan tanggung jawab rumah sakit, sarana kesehatan
lain dan memerlukan perlakuan khusus. Karena dapat memiliki potensi
menularkan penyakit maka di kategorikan sebagai limbah berisiko tinggi.6-7
Limbah Klinis antara lain:
Darah atau cairan tubuh lainnya, material yang mengandung darah kering
seperti verban, kassa dan benda-benda dan kamar bedah
Sampah organik, misalnya jaringan, potongan tubuh dan plasenta
Benda-benda tajam bekas pakai, misalnya jarum suntik, jarum jahit, pisau
bedah, tabung darah, pipet atau jenis gelas lainnya yang bersifat infeksius
(contoh, sediaan apus darah).
Cara penanganan Limbah kilnis:
Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir atau pembakaran (insinerator)
semua jenis limbah klinis ditampung dalam kantong kedap air, biasanya
berwama kuning
Ikat secara rapat kantong yang sudah berisi 2atau 3 penuh
3. Limbah Laboratorium
Setiap jenis limbah yang berasal dan laboratonium dikelompokkan sebagai
limbah berisiko tinggi.
28
Cara penanganan limbah laboratorium:
Sebelum keluar dan ruang laboratorium dilakukan sterilisasi dengan
otoklaf selanjutnya ditangani secara prosedur pembuangan limbah klinis
Cara penanganan terbaik untuk limbah medis adalah dengan insinerasi
Satu-satunya can lain adalah menguburnya dengan metode kaponisasi.
B. Pengawasan atau surveilans infeksi nosokomial di rumah sakit.
Pengawasan kejadian infeksi nosokomial dilakukan dengan mengumpulkan data
kejadian infeksi nosokomial. Sumber data yang dipakai pada pengawasan ini adalah
dari semua unit pelayanan, berupa data klinis penderita rawat inap dan data dan
laboratorium utamanya dan laboratorium mikrobiologi klinik. Atau informasi dan
dokter atau perawat yang bertugas. Pengumpulan data bisa dilakukan secara
sistematik dan berkesinambungan. Data dari laboratonium mikrobiologi klinik bisa
dipakai sebagai peningatan dini adanya infeksi nosokomial.6
Manfaat surveilans antara lain:
Diperoleh data dasar frekuensi dan jenis infeksi nosokomial yang terjadi di rumah
sakit
Bisa dilihat perubahan-perubahan pola infeksi pada periode tertentu sehingga
dapat menilai efikasi tindakan pencegahan dan teknik pelaksanaan asuhan
keperawatan.
Dapat dideteksi dini adanya letupan infeksi (out-break) di rumah sakit
Dapat dideteksi tingkat resistensi bakteri yang diisolasi di rumah sakit tersebut
terhadap antibiotik.
29
C. Pengobatan yang rasional terhadap penyakit infeksi
Rumah sakit harus melakukan pengawasan penggunaan antibiotik dengan ketat
dan melakukan monitoring kepekaan bakteri yang diisolasi di rumah sakit terhadap
antibiotik. Pengobatan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan perubahan
kepekaan bakteri misalnya karena mutasi. Walaupun, semakin banyak dibuktikan
bahwa penggunaan proflaksis antibiotik pada tindakan bedah spesifik dapat
mengurangi prevalensi infeksi pasca bedah.7
D. Program sosialisasi dan pelatihan pengendalian infeksi nosokomial
Untuk dapat melaksanakan semua strategi pengendalian infeksi dengan baik
maka harus dilakukan sosialisasi dan pelatihan.6
Sosialisasi dilakukan terhadap semua staf rumah sakit, mulai dari staf
administrasi sampai para professional serta sosialisasi untuk masyarakat umum.
Sosialisasi untuk staf rumah sakit dilakukan dengan pertemuan-pertemuan dan
marka-marka peringatan dan lain-lain. Sosialisasi untuk masyarakat pengguna rumah
sakit bisa dilakukan melalui marka-marka peringatan, selebaran-selebaran, ceramah,
mass-media tulisan dan elektronik, dan media komunikasi iainnya.2
Pelatihan dilakukan terhadap staf rumah sakit utamanya yang bekerja pada
daerah -daerah rawan infeksi. Pelatihan dilaksanakan dengan kurikulum pelatihan
orang dewasa, yang bertujuan agar semua staf rumah sakit dapat melaksanakan
program pengendalian dengan benar, sehingga mutu pelayanan akan meningkat yang
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan pegawai.2
30
2..8 UNIT RUMAH SAKIT YANG RENTAN TERHADAP INFEKSI
NOSOKOMIAL
Pada dasarnya semua unit pelayanan, satuan pelayanan dan instalasi pelayanan
yang berhubungan dengan penderita atau dengan darah dan duh tubuh penderita
merupakan daerah yang rentan terhadap infeksi nosokomial. Juga pada pelayanan
dimana dirawat penderita dengan pertahanan tubuh yang tidak normal atau kurang,
Misalnya pada unit pelayanan rawat intensif, ruang perawatan bayi, ruang perawatan
geriatri, atau ruang perawatan penderita yang mendapat pengobatan khemoterapi dan
lain-lain obat yang menekan sistem petahanan tubuh.1,2,5
Bagi penderita risiko terkena infeksi nosokomial tentu lebih besar pada unit-unit
pelayanan dimana banyak dilakukan tindakan medis, misalnya di Unit Pelayanan
Intensif, Unit Pelayanan Hemodialisa, Unit Pelayanan Bedah, dan Unit Pelayanan
Gigi dan Mulut. Tingginya risiko infeksi nosokomial pada penderita-penderita yang
dirawat pada unit rawat intensif, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :2,8-9
Kebanyakan penderita yang dirawat pada unit mi, menderita penyakit bent yang
menyebabkan turunnya daya tahan tubuh.
Pada penderita penyakit yang serius biasanya terjadi perubahan flora normal dan
usus. Penggunaan antibiotika menyebabkan perubahan flora normal, sehingga
usus lebih banyak dihuni oleh mikroba-mikroba yang resisten terhadap lebih dan
satu antibiotika (bakteri-multiresisten)
Pada unit mi biasanya penderita menjalani bermacam-macam prosedur invasif,
baik untuk terapi maupun untuk monitoring, yang semuanya dapat menjadi
31
vehicle yang potensial untuk penyebaran infeksi, atau memindahkan mikroba dafi
habitat normalnya ke tempat lain.
Biasanya prosedur untuk penyelamatan hidup penderita lebih diperhatikan, bila
dibanding prosedur untuk pencegahan infeksi.
Penempatan penderita dalam jarak yang dekat memudahkan penularan penyakit
infeksi.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 DASAR PEMIKIRAN DAN VARIABEL YANG DITELITI
Penderita dengan penyebab apapun yang dirawat di suatu rumah sakit akan
mempunyai kesempatan terkena infeksi nosokomial. Beberapa faktor yang berperan
dalam terjadinya infeksi nosokomial adalah daya tahan tubuh, sumber infeksi (pasien
32
lain, tenaga medis, pengunjung), dan faktor-faktor lain yang bias mempengaruhi
(lama perawatan, durasi operasi, ruang perawatan).
Pada penelitian ini yang akan diteliti meliputi variabel orang (manifestasi
penyakit), variabel waktu (lama perawatn sebelum operasi, durasi operasi, lama
perawatan setelah operasi).
1. Insidensi Infeksi Nosokomial : Pada penelitian ini akan diketahui jumlah infeksi
nosokomial di Bangsal Ortopedi RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo periode
Oktober -Desember 2010
2. Manifestasi penyakit : Pada penelitian ini akan diketahui jenis infeksi nosokomial
yang terdapat di Bangsal Ortopedi RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo periode
Oktober -Desember 2010
3. Lama perawatan sebelum operasi : Pada penelitian ini akan diketahui lama
perawatan sebelum operasi yang mempunyai kasus infeksi nosokomial terbanyak
4. Durasi operasi : Pada penelitian ini akan diketahui durasi operasi yang
mempunyai kasus infekasi nosokomial terbanyak
5. Lama perawatan setelah operasi : Pada penelitian ini akan diketahui lama
perawatan sebelum operasi yang mempunyai kasus infeksi nosokomial terbanyak
33
Diagram Kerangka Konsep
`
34
Infeksi Nosokomial
Insidensi Infeksi
nosokomial
Manifestasi penyakit
Lama perawatan sebelum operasi
Keterangan : Variabel yang tidak diteliti
Variabel yang diteliti
3.2 DEFINISI OPERASIONAL
a. Infeksi Nosokomial
Infeksi yang didapatkan di rumah sakit dan terjadi setelah 48 jam perawatan di
rumah sakit, atas dasar gejala klinis maupun laboraturium dan pada penderita
tidak ditemukan tanda-tanda infeksi atau masa inkubasi dari penyakit yang
bersangkutan, pada saat penderita mulai dirawat.
b. Insidensi Infeksi Nosokomial
Angka kejadian infeksi nosokomial yang terjadi di bangsal ortopedi RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo periode Oktober-Desember 2010
35
Pasien lain dalam rumah sakit Tenaga medis atau para medis Lingkungan rumah sakit Instrumentasi Pengunjung
Durasi operasi
Lama perawatan setelah operasi
c. Manifestasi Penyakit
Manifestasi penyakit infeksi nosokomial berdasarkan gejala klinik dan atau
penunjang (laboraturium dan foto thorax). Gejala yang sering dijumpai adalah
demam, sedangkan sebelumnya tidak menderita demam. Gejala lainnya sesuai
dengan bagian tubuh yang terinfeksi
1. Infeksi saluran kemih : manifestasinya demam (> 38 o C), nyeri suprapubik,
urgensi, frekuensi, dan kultur urin positif dengan jumlah kuman ≥ 105 per cm3
atau jenis kuman pada urin tidak lebih dari dua.
2. Infeksi bekas luka operasi : manifestasinya berupa pus pada luka insisi. Infeksi
dialami jika terjadi 30 hari setelah operasi
3. Infeski saluran napas : manifestasinya berupa batuk, nyeri dada, dan sputum
menjadi purulen, foto thorax berubah
4. Infeksi sistemik: manifestasinya berupa gejala sepsis seperti demam (> 38 o C
atau < 36,5o C), hipotensi, bradikardi, oligouri, hasil kultur darah tidak
menunjukkan kuman yang spesifik.
5. Infeksi sistem saraf pusat : manifestasinya berupa nyeri kepala, kejang, demam
(> 38 o C), defisit neurologis, dan penurunan kesadaran. Hasil kultur dari
jaringan otak atau dura positif, pemeriksaan antigen pada darah atau urin positif,
didapatkan hasil terdapat infeksi dari pemeriksaan radiologi (CT-Scan, dan
MRI).
36
6. Infeksi saluran cerna : Manifestasinya berupa diare akut (feses cair lebih dari
12 jam) denagn atau tanpa muntah atau demam (> 38 o C), dan kultur kuman
positif.
7. Infeksi Hepar : manifestasinya berupa demam (> 38 o C), mual, muntah, nyeri
abdomen, ikterus, riwayat transfusi 3 bulan yang lalu. Kriterianya harus
memiliki minimal 2 gejala di atas. Hasil lab antigen atau antibodi hepatitis
A,B,C, atau D positif , peningkatan fungsi hati.
8. Infeksi kulit : manifestasinya berupa adanya pus, vesikel, atau bulla pada kulit,
yang dengan atau tanpa disertai nyeri, udem, merah, dan panas. Dapat juga
berupa ulkus dekubitus. Hasil lab dapat menunjukkan kultur darah positif,
antigen dari kultur jaringan atau darah seperti herpes simpleks, varicella zoster
positif.
9. Infeksi luka infus : terdapat flebitis
d. Lama Perawatan Sebelum Operasi
Lama perawatan di rumah sakit sebelum operasi adalah jangka waktu penderita
mulai dirawat sampai sesaat sebelum dilakukan operasi, dihitung dalam hari.
0-1 hari
2-3 hari
4-7 hari
> 7 hari
e. Durasi Operasi
37
Durasi operasi adalah jangka waktu pelaksanaan operasi, dari dimulainya
operasi sampai selesai operasi, dihitung dalam jam.
0-½ jam
½-2 jam
2-4 jam
>4 jam
f. Lama Perawatan Setelah Operasi
Lama perawatan setelah operasi adalah jangka waktu penderita dirawat setelah
dilakukan operasi sampai penderita pulang, dinyatakan dalam hari.
< 5 hari
5-10 hari
11-15 hari
> 15 hari
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan memberikan
gambaran umum tentang insidensi infeksi nosokomial, infeksi nosokomial menurut
manifestasi penyakit, lama perawatan sebelum operasi, durasi operasi, dan lama
perawatan setelah operasi.
38
4.2 LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Bangsal Ortopedi RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo,
Makassar
4.3 WAKTU PENELITIAN
Waktu penelitian di mulai dari tanggal 28 Maret sampai 4 Juni 2011.
4.4 POPULASI DAN SAMPEL
1. Populasi adalah semua penderita yang pernah di rawat inap di Bangsal Ortopedi
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, periode Oktober- Desember 2010
yang tercatat di bagian rekam medik.
2. Sampel adalah semua populasi yang memenuhi kriteria pemilihan sampel.
3. Kriteria pemilihan sampel terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi
a. Kriteria Inklusi
- Lama perawatan > 48 jam
- Di rawat di Bangsal Ortopedi Lontara 2 RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo
- Pasien yang dirawat oleh Bagian Ortopedi
- Diagnosis masuk jelas
- Penderita pasca operasi
b. Kriteria Ekslusi
39
- Perjalanan penyakit tidak tertulis
- Dirawat di luar Bangsal Ortopedi Lontara 2 RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo
- Berkas rekam medik hilang
4. Cara pengambilan sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling
5. Besar sampel
Sampel penelitian ini diambil dari populasi terjangkau dan telah diseleksi
berdasarkan kriterian pemilihan sampel. Jumlah sampel yang memenuhi
persayaratan minimal untuk dapat dianalisis statistik sesuai dengan tujuan,
rancangan penelitian dan tingkat penelitian yang dikehendaki.
4.5 CARA PENGUMPULAN DATA
Data penelitian yang diambil berupa data sekunder yang diperoleh dari rekam
medik. Data dikumpulkan dengan cara memeriksa buku register pasien yang dirawat
inap di Bangsal Ortopedi Lontara 2 RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo selama bulan Oktober-Desember 2010. Hal ini dilakukan
mulai tanggal 25 April sampai 6 Mei 2011. Dalam pencatatan ini sekaligus dilakukan
seleksi terhadap pasien yang akan diteliti. Dimana pasien yang tidak memenuhi
kriteria pemilihan sampel tidak dimasukkan. Jadi di Bagian Rekam Medik, hanya
diteliti pasien-pasien yang memenuhi kriteria pemilihan sampel.
40
4.6 PENGELOLAAN DAN PENYAJIAN DATA
Semua data yang telah dikumpulkan dianalisa secara tabulasi dengan
menggunakan Microsoft Exel dan SPSS 17 kemudian hasil analisis yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan penjelasan.
BAB V
HASIL PENELITIAN
41
Setelah dilakukan pencatatan dan penelitian tentang infeksi nosokomial pada
penderita rawat inap di bangsal bedah saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Oktober-Desember 2010 diperoleh data populasi 210 orang. Setelah
dilakukan seleksi, yang memenuhi kriteria sampel sebanyak 71 orang. Dari 71 orang
ditemukan penderita infeksi nosokomial sebanyak 35 orang atau sekitar 49, 23 %
dengan jumlah kasus sebanyak 51 kasus.
Hasil pengolahan data yang dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian, maka
dapat disajikan sebagai berikut:
5.1 Jumlah Insidensi Infeksi Nosokomial
Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan data jumlah insidensi infeksi
nosokomial sebagai berikut:
Tabel 1
Insidensi Infeksi Nosokomial di Bangsal Bedah Saraf RS dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-Desember 2010
Jumlah Penderita Total Jumlah penderita dengan
infeksi nosokomial
Presentase (%)
71 35 49,23
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
42
50.77%49.23%
Grafik 1Insidensi Infeksi Nosokomial di Bangsal Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-
Desember 2010
Jumlah penderita yang tidak terinfeksi nosokomialJumlah penderita dengan infeksi nosokomial
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Berdasarkan tabel dan grafik di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial adalah 35 orang (49,23 %) dari total keseluruhan penderita 71 orang.
5.2 Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial Menurut Umur
Berdasarkan hasil penelitian jumlah penderita infeksi nosokomial menurut umur
terbagi dalam kelompok anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Maka diperoleh
data yang digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik sebagai berikut :
43
Tabel 2Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut umur di Bangsal Bedah
Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-Desember 2010
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid < 15 TAHUN 9 25.7 25.7 25.7
15-19 TAHUN 5 14.3 14.3 40.0
20-60 TAHUN 21 60.0 60.0 100.0
Total 35 100.0 100.0
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Grafik 2
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut umur di Bangsal Bedah Saraf
RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-Desember 2010
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
44
Berdasarkan tabel dan grafik 2 di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial terbanyak pada kelompok umur dewasa sebanyak 21 orang (60%),
kemudian diikuti oleh anak-anak sebanyak 9 orang (25,7%), dan paling sedikit adalah
remaja sebanyak 5 orang (14,3%).
5.3 Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial Menurut Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian jumlah penderita infeksi nosokomial menurut jenis
kelamin diperoleh data yang digambarkan dalam bentuk data dan grafik sebagai
berikut :
Tabel 3
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Jenis Kelamin di Bangsal
Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-
Desember 2010
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid LAKI-LAKI 25 71.4 71.4 71.4
PEREMPUAN 10 28.6 28.6 100.0
Total 35 100.0 100.0
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Grafik 3
45
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut umur di Bangsal Bedah Saraf
RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-Desember 2010
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Berdasarkan tabel dan grafik 3 di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 25 orang (71,4%),
sementara perempuan sebanyak 10 orang (28,6%).
5.4 Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Manifestasi Penyakit
Berdasarkan hasil penelitian jumlah penderita infeksi nosokomial menurut
manifestasi penyakit diperoleh data infeksi nosokomial dalam bentuk infeksi saluran
kemih, infeksi bekas luka operasi, infeksi saluran napas, infeksi sistemik, infeksi
sistem saraf pusat, infeksi saluran cerna, infeksi hepar, infeksi kulit, infeksi luka
infus, yang digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik berikut :
Tabel 4
46
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Manifestasi Penyakit di Bangsal
Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-
Desember 2010
MANIFESTASI INK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid INFEKSI SALURAN KEMIH 7 13.7 13.7 13.7
INFEKSI BEKAS LUKA
OPERASI
2 3.9 3.9 17.6
INFEKSI SALURAN NAPAS 5 9.8 9.8 27.5
INFEKSI SISTEMIK 1 2.0 2.0 29.4
INFEKSI SISTEM SARAF
PUSAT
3 5.9 5.9 35.3
INFEKSI SALURAN CERNA 5 9.8 9.8 45.1
INFEKSI HEPAR 3 5.9 5.9 51.0
INFEKSI KULIT 3 5.9 5.9 56.9
INFEKSI LUKA INFUS 22 43.1 43.1 100.0
Total 51 100.0 100.0
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Grafik 4
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Manifestasi Penyakit di Bangsal
Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-
Desember 2010
47
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Keterangan:
1 : Infeksi Saluran Kemih
2: Infeksi Bekas Luka Operasi
3: Infeksi Saluran Napas
4: Infeksi Sistemik
5: Infeksi Sistem Saraf Pusat
6: Infeksi Saluran Cerna
7: Infeksi Kulit
8: Infeksi Hepar
9: Infeksi Luka Infus
Berdasarkan tabel dan grafik 4 di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial terbanyak pada infeksi luka infus sebanyak 22 orang (43,1%), diikuti
48
oleh infeksi saluran kemih sebanyak 7 orang (13,7%), infeksi saluran napas sebanyak
5 orang (9,8%), infeksi saluran cerna sebanyak 5 orang (9,8%), infeksi sistem saraf
pusat sebanyak 3 orang (5,9%), infeksi hepar sebanyak 3 orang (5,9%), infeksi kulit
sebanyak 3 orang (5,9%), infeksi bekas luka operasi sebanyak 2 orang (3,9%), dan
yang paling sedikit infeksi sistemik sebanyak 1 orang (2%).
5.5 Jumlah Infeksi Nosokomial menurut Lama Perawatan Sebelum Operasi
Berdasarkan hasil penelitian jumlah penderita infeksi nosokomial menurut
lama perawatan sebelum operasi diperoleh data yang digambarkan dalam bentuk data
dan grafik sebagai berikut :
Tabel 5
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Lama Perawatan Sebelum
Operasi di Bangsal Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Oktober-Desember 2010
PREOP1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0-1 HARI 22 62.9 62.9 62.9
2-3 HARI 5 14.3 14.3 77.1
4-7 HARI 5 14.3 14.3 91.4
> 7 HARI 3 8.6 8.6 100.0
Total 35 100.0 100.0
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Grafik 5
49
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Lama Perawatan Sebelum
Operasi di Bangsal Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Oktober-Desember 2010
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Berdasarkan tabel dan grafik 5 di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial terbanyak menurut lama perawatan sebelum operasi terbanyak adalah
pada perawatan 0-1 hari sebanyak 22 orang (62,9%), kemudian diikuti pada
perawatan 2-3 hari sebanyak 5 orang (14,3%), hari perawatan 4-7 hari (14,3%), dan
yang paling sedikt adalah pada perawatan > 7 hari sebanyak 3 orang (8,6%).
5.6 Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Durasi Operasi
Berdasarkan hasil penelitian jumlah penderita infeksi nosokomial menurut lama
perawatan sebelum operasi diperoleh data yang digambarkan dalam bentuk data dan
grafik sebagai berikut :
50
Tabel 6
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Durasi Operasi di Bangsal
Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-
Desember 2010
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0-0.5 JAM 2 5.7 5.7 5.7
0.5-2 JAM 28 80.0 80.0 85.7
2-4 JAM 4 11.4 11.4 97.1
> 4 JAM 1 2.9 2.9 100.0
Total 35 100.0 100.0
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Grafik 6
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Durasi Operasi di Bangsal
Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Oktober-
Desember 2010
51
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Berdasarkan tabel dan grafik 6 di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial terbanyak menurut durasi operasi terbanyak adalah pada durasi operasi
0,5-2 jam sebanyak 28 orang (80%), diikuti pada durasi operasi 2-4 jam sebanyak 4
orang (11%), durasi operasi 0-0,5 jam sebanyak 2 orang (5,7%), dan durasi operasi >
4 jam sebanyak 1 orang (2,9%).
5.7 Jumlah Infeksi Nosokomial menurut Lama perawatan Setelah Operasi
Berdasarkan hasil penelitian jumlah penderita infeksi nosokomial menurut lama
perawatan setelah operasi diperoleh data yang digambarkan dalam bentuk data dan
grafik sebagai berikut :
Tabel 7
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Lama Perawatan Sebelum
Operasi di Bangsal Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Oktober-Desember 2010
52
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid < 5 HARI 6 17.1 17.1 17.1
5-10 HARI 12 34.3 34.3 51.4
11-15 HARI 5 14.3 14.3 65.7
> 15 HARI 12 34.3 34.3 100.0
Total 35 100.0 100.0
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Grafik 7
Jumlah Penderita Infeksi Nosokomial menurut Lama Perawatan Sebelum
Operasi di Bangsal Bedah Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Oktober-Desember 2010
53
(sumber : Rekam Medik RS dr. Wahidin Sudirohuasodo, Makassar)
Berdasarkan tabel dan grafik 5 di atas terlihat bahwa jumlah penderita infeksi
nosokomial terbanyak menurut lama perawatan setelah operasi terbanyak adalah
pada perawatan lebih dari 15 hari sebanyak 12 orang (34,3%), diikuti dengan
perawatan 5-10 hari sebanyak 12 orang (34,3%), perawatan < 5 hari sebanyak 6 hari
(17,1%), dan perawatan 11-15 hari sebanyak 5 orang (14,3%).
54