referat orto 33

71
REFERAT INFEKSI TULANG Preseptor: dr. M. Bayu Sahadewa, Sp. OT Oleh: Asih Sulistyani 1118011014 Dea Lita Barozha 1118011027 Rizky Bayu Ajie 1118011112 KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK 1

Upload: rizky-bayu-ajie

Post on 09-Apr-2016

57 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

nmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Orto 33

REFERAT

INFEKSI TULANG

Preseptor:

dr. M. Bayu Sahadewa, Sp. OT

Oleh:

Asih Sulistyani 1118011014

Dea Lita Barozha 1118011027

Rizky Bayu Ajie 1118011112

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2015

1

Page 2: Referat Orto 33

I. OSTEOMYELITIS

A. DEFINISI

Osteomyelitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum) yang berarti

infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa osteomyelitis merupakan

proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas medullaris) yang kemudian dapat menyebar

sampai ke cortex dan periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di cavita medullaris

inilah yang kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan obstruksi

pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme osteomyelitis

(Baltensperger, 2009).

B. EPIDEMIOLOGI

Osteomyelitis akut dengan penyebaran hematogen lebih sering menyerang anak-anak

karena daerah metafisis (daerah pusat pertumbuhan tulang pada anak) memiliki

vaskularisasi yang banyak dan rentan terhadap trauma. Lebih dari 50% kejadian

osteomyelitis pada anak terjadi pada pasien kurang dari 5 tahun. Pasien biasanya

menunjukkan gejala-gejala sistemik meliputi demam, iritabilitas selama 2 minggu. Selain

itu, didapatkan gejala lokalis seperti eritem, bengkak, dan kekakuan (tenderness) pada

tulang yang mengalami infeksi. Osteomyelitis kronis jarang terjadi pada anak.

Osteomyelitis kronis dapat terjadi akibat fraktur terbuka, bakterimia, atau infeksi

perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang. Pada operasi elektif post fraktur

tertutup, osteomyelitis kronis terjadi pada 1 – 5% pasien, dan 3 – 50% pada pasien-pasien

dengan fraktur terbuka. Sebanyak 10 – 30% pasien osteomyelitis akut berlanjut menjadi

kronis. Osteomyelitis melalui penyebaran hematogen (balterimia) dapat terjadi di

vertebrae, tulang panjang, pelvis, maupun klavikula dan risikonya meningkat apabila

terdapat underlying disease seperti diabetes mellitus, keganasan atau gagal ginjal. Angka

kejadian osteomyelitis kronis akibat infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar

tulang meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi ulkus diabetikum (neuropati

dan vaskulopati diabetikum). Manifestasi klinis osteomyelitis kronis dapat meliputi nyeri

kronis, luka persisten, buruknya penyembuhan luka, malaise, dan demam.

2

Page 3: Referat Orto 33

C. ETIOLOGI

Bakteri piogenik penyebab osteomyelitis bergantung pada usia pasien. Staphylococcus

aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi penyebab osteomyelitis

(akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada dewasa. Streptococcus β

hemolithicus grup A dan Streptococcus pneumonia merupakan bakteri patogen tersering

yang menyebabkan osteomyelitis pada anak, Streptococcus β hemolithicus grup A

merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir. Staphylococcus epidermidis,

Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia coli juga bisa menyebabkan osteomyelitis

namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan mikobakterium biasanya dapat

menyebabkan osteomyelitis pada individu dengan defisiensi sistem imun.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab osteomyelitis.

Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel endotel secara in vitro

dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh maupun antibiotik. Selain itu,

Staphylococcus aureus merupakan bakteri dengan laju metabolism yang rendah sehingga

mudah resisten terhadapt antibiotik.

D. KLASIFIKASI

Pembagian osteomyelitis akut dan kronis ialah berdasar pada gambaran histopatologi

dibandingkan dengan durasi perjalanan penyakit. Osteomyelitis akut menunjukkan adanya

inflamasi tulang yang disebabkan oleh bakteri patogen dan gejalanya muncul 4 minggu

setelah infeksi. Osteomyelitis kronis ditandai dengan adanya nekrosis tulang. Terdapat sub

klasifikasi pada osteomyelitis kronis, yakni osteomyelitis kronis primer dan sekunder

(Gambar 1.).

Gambar 1. Subklasifikasi osteomyelitis kronik primer dan sekunder.

Osteomielitis kronik sekunder dapat timbul sebagai penyakit osteomyelitis yang

rekuren/timbul berulang dengan durasi yang berbeda-beda setiap kali kambuh (Gambar

2.). Terminologi osteomyelitis kronik primer menunjukkan sebuah penyakit inflamasi

yang jarag dan ditandai oleh adanya inflamasi kronik non-supuratif (ketiadaan pus, fistula

3

Page 4: Referat Orto 33

maupun sejuester). Keadaan ini menunjukkan bahwa pasien tidak pernah menunjukkan

fase akut dan belum mendapatkan terapi.

Kronifikasi dari osteomyelitis kronik sekunder menunjukkan ketidakmampuan dari host

untuk mengeradikasi bakteri patogen akibat dari inadekuatnya terapi. Elevasi periosteum

akibat proses inflamasi masih mengandung sel-sel vital di dalamnya. Setelah melewati

fase akut, sel-sel ini membentuk sel-sel tulang yang baru (involukrum) yang menyelebungi

sekuester. Namun involukrum ini dapat dipenetrasi oleh sinus (cloacae), sehingga

membentuk fistula dapat dapat dimasuki oleh bakteri patogen ataupun pus. Kejadian ini

dapat terjadi berulang dan menyebabkan osteomyelistis kronis.

Gambar 2. Proses perjalanan ostemyelitis akut menjadi osteomyelitis kronik sekunder.

Adapun etiologi sumber infeksi, diklasifikasikan menjadi etiologi endogen (penyebaran

hematogen) yang biasanya hanya disebabkan oleh 1 agen patogen dan biasanya diterapi

secara konsevatif, serta etiologi eksogen (dari paparan luar akibat trauma terbuka atau

intervensi) yang seringnya disebabkan oleh polimikrobial dengan first line terapinya

berupa pembedahan.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis osteomyelitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan

fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan adanya riwayat trauma,

riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun riwayat infeksi di tempat lain yang tidak

spesifik, serta adanya gejala infeksi sistemik seperti demam dan malaise maupun gejala

infeksi lokal seperti bengkak, rasa panas, kemerahan, penurunan kemampuan gerak,

kekakuan tulang, dan rasa sakit pada lokasi infeksi. Pemeriksaan fisik pun meunjukkan

hal-hal seperti yang ada dalam anamnesis yakni berupa tanda-tanda infeksi sistemik dan

infeksi lokal. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan

laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis, pemeriksaan kultur darah/tulang,

4

Page 5: Referat Orto 33

serta pemeriksaan histopatologi tulang yang mengalami infeksi. Pemeriksaan radiologi

pada daerah yang diduga infeksi pun dapat dilakukan. Kata akut pada ostemyelitis akut

menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang muncul memiliki onset yang cepat, yakni

kurang dari 4 minggu.

Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang didapat dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratoium dan pemeriksaan radiologi

(Tabel 1.). Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk osteomyelitis, tetapi

kadar C reactive protein (CRP) yang normal dapat menyingkirkan diagnosis osteomyelitis

kronis. Pemeriksaan paling meyakinkan untuk mendiagnosis osteomyelitis kronis adalah

kultur tulang dan pemeriksaan histopatologi. Kultur terhadap jaringan superfisial luka

tidak dapat mendeteksi bakteri penyebab osteomyelitis secara akurat karena biasanya

osteomyelitis disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu, anamnesis yang mendalam

menyenai manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada tulang, demam) dan faktor

predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, dan riwayat trauma) juga

penting dalam menunjang proses penegakkan diagnosis.

Tabel 1. Kriteria diagnosis osteomyelitis kronik.

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen maupun MRI. Foto

rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2 minggu pasca infeksi karena

50% mineral tulang telah hilang (Gambar 3. Dan 4.). Sedangkan MRI dapat mendeteksi

5

Page 6: Referat Orto 33

osteomyelitis setelah 3-5 hari pasca infeksi dengan sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90%

(Gambar 5. Dan 6.). CT scan jarang digunakan karena kurangnya kemampuan CT scan

untuk mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis osteomyelitis (seperti leukocyte or bone scintigraphy, positron emission

tomography) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%, namun modalitas-

modalitas tersebut tidak rutin digunakan di Indonesia karena harga yang mahal dan

ketersediaan alat.

Gambar 3. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan distal phalanges 3 dan 4 menunjukkan adanya osteomyelitis.

Gambar 4. Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat osteomyelitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis sumsum tulang.

6

Page 7: Referat Orto 33

Gambar 5. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur dan gambaran inhomogenisitas tulang.

Gambar 6. Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya osteomyelitis pada os. Calcaneus.

F. PATOMEKANISME

Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas medullaris dan cortex

tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan equilibrium (seimbang) tidak

akan menimbulkan infeksi. Namun apabila equilinrium ini terganggu karena minimal 1

faktor, maka infeksi tulang yang dalam dapat terjadi. Keempat faktor tersebut ialah :

7

Page 8: Referat Orto 33

a. Jumlah bakteri patogen

Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar pula

kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi pada tulang.

b. Virulensi bakteri patogen

Pada osteomyelitis, focus infeksi dibatasi oleh mebran piogenik atau dinding abses

yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen patogen memiliki jumlah dan

virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak dan menyebabkan invasi sampai ke

tulang. Invasi ini kemudian mengaktivasi respon inflamasi dan menyebabkan

hiperemis, peningkatan permeabilitas capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik.

Enzim proteolitik ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi dari

agen-agen patogen sehingga membentuk pus. Destruksi tulang juga diperparah oleh

proses osteolisis yang disebabkan oleh aktivitas osteoklas akibat stimulasi dari

endotoksin bakteri, protein permukaan bakteri, dan beberapa sitokin inflamasi (IL-1

dan TNF).

Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan nekrosis, dan bakteri-

bakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan peningkatan tekanan intra

medullaris. Keadaan ini menyebabkan kolaps vascular, stasis vena, thrombosis, dan

lokal iskemi. Pus mengalir melalui kanalis sistem haver dan kanalis nutrisi yang

kemudian terakumulasi di ruang subperosteum dan menyebabkan elevasi periosteom,

terpisah dari cortex tulang. Elevasi ini lebih sering terjadi pada anak karena pelekatan

yang belum begitu kuat. Ketika akumulasi pus terus terjadi, dapat timbul perforasi dan

menyebabkan abses mukosa atau kutan.

8

Page 9: Referat Orto 33

Gambar 7. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.

Gambar 8. Patomekanisme osteomyelitis.

9

Page 10: Referat Orto 33

c. Imunitas lokal dan sistemik host

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas (Tabel 2.)

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

d. Perfusi lokal jaringan

Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan oksigen mencapai

area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran bakteri patogen

terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang mengganggu

perfusi lokal jaringan (Tabel 3.)

Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi lokal jaringan.

10

Page 11: Referat Orto 33

Gambar 9. Ilustrasi patogenesis osteomyelitis akut dan kronis.

G. TERAPI

Terapi pada osteomyelitis akut melalui penyebaran hematogen dapat dilakukan dengan

pemberian antibiotik parenteral (Tabel 4.) selama 4 hari dan dilanjutkan dengan antibiotik

oral sampai 4 minggu tebukti mencegah rekurensi. Pada pasien-pasien

immunocompromised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan lama terapi ditambah

menjadi 6 minggu.

Tabel 4. Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomyelitis.

11

Page 12: Referat Orto 33

Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan (Gambar 10)..

Pilihan antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, namun jika tidak ada informasi hasil

kultur, antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral selama

2 – 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai total waktu terapi

4-8 minggu (table 4.). Adapun indikasi dilakukannya terapi pembedahan ialah terapi

antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang terpasang pada tulang

dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan nekrosis tulang dan jaringan

lunak.

Indikasi dilakukan pembedahan adalah :

Adanya sequester

Adanya abses

Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh :

a. Pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan mikroorganisme penyebab

b. Dosis yang tidak adekuat

c. Lama pemberian tidak cukup

d. Timbulnya resistensi

e. Kesalahan hasil biakan

f. Antibiotika antagonis

g. Pemberian pengobatan suportif yang buruk

h. Kesalahan diagnostic

12

Page 13: Referat Orto 33

Komplikasi

Komplikasi dari osteomielitis antara lain :

a. Abses tulang

b. Bakteremia

c. Fraktur

d. Selulitis

e. Fistel

Prognosis dan Pencegahan

Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa destruksi sendi,

gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis dan osteomielitik kronik.

Prognosis untuk orang orang dengan osteomielitik biasanya baik dengan awal dan

pengobatan yang tepat. Namun kadang kadang osteomielitik kronik mengembangkan,

dan abses tulang dapat kambuh minggu hingga berbulan bulan atau bahkan bertahun

tahun kemudian. Pasien tertentu yang memiliki sendi buatan atau komponen logam

yang melekat pada tulang harus mengkonsumsi antibiotic pencegahan sebelum

operasi.Termasuk operasi gigi,karena pasien memiliki peningkatan resiko terinfeksi

oleh bakteri yang ada di mulut dan bagian lain dari tubuh. Pasien dapat meminta

praktisi kesehatan untuk merekomendasi secara rinci mengenai pencegahan dengan

antibiotic. Pasien yang menjalani pembedahan atau prosedur gigi harus memberitau

ahli bedah,ortopedi, atau dokter gigi bahwa mereka memiliki sendi buatan, atau

komponen logam yang melekat pada tulang sehingga antibiotic pencehagan dapat

disediakan.

13

Page 14: Referat Orto 33

Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan osteomyelitis kronik.

BAB II

SPONDILITIS

I. SPONDILITIS TUBERKULOSA

A. Definisi

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama

Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan

suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta

kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.

Spondilitis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah

dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru. Sir

Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang

klasik. Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang

karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius.

Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda.

Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis

memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut

78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto rontgen paru

yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.

14

Page 15: Referat Orto 33

B. Epidemiologi

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan

sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia

dibawah usia 20 tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada

usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama,

namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.

Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial

ekonomi rendah.

Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering

terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh

tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan

dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah

(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering

terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai

maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.

C. Etiologi

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di

tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik

(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh Mycobacterium

tuberculosa atipik.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat

acid fastnon-motile atau disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).

Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh

secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi

niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu

untuk membedakannnya dengan spesies lain. Kuman TB cepat mati dengan sinar

matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap

dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama

beberapa tahun.

D. Patologi

15

Page 16: Referat Orto 33

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen

atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik

ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang

belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat

tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner

dan genitourinarius.

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang

memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian

bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui

pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan

banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih

70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,

sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang

terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan

akhirnya vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. focus yang pertama

dapat terletak pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama

kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya corpus

vertebrae tidak lagi kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur

sehingga dengan demikian columna vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi

16

Page 17: Referat Orto 33

pada bagian thorax, maka akan terdapat pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal

sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat menimbulkan gejala-gejala lain,

diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin banyak, nanah ini

dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat berupa :

1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-

kanan columna vertebralis.

2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasia dan

kulit di sebelah belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu

abscess akan tetapi tidak panas. Umumnya abscess ini dinamakan abscess

dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.

3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan

senkung’s abscess yang terlihat di bagian dada penderita.

4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.

5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga

merupakan retropharyngeal abscess.

6. Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.

7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang

kemudian menurun sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam

dari paha.

Semua abses tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel

yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae

dapat pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s

Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis.

Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat

berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis

spinalis ada proses tuberculose yang terletak pada corpus bagian belakang yang

merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan

nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun

nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada

Medulla Spinalis. (2,4)

17

Page 18: Referat Orto 33

Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi :

(1)Early onset paresis

Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit

(2)Late onset paresis

Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit

Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe

yaitu :

(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut

Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan

dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).

(2) Type II

Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen

bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.

(3) Type III / yang berjalan kronis

Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat

membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural,

fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada

corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit

atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda

spinalis).

Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson

menjadi:

Penyebab ekstrinsik:

(1) Pada penyakit yang aktif

18

Page 19: Referat Orto 33

a. Abses (cairan atau perkijuan)

b. Jaringan granulasi

c. Sekuester tulang dan diskus

d. Subluksasi patologis

e. Dislokasi vertebra

(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan

a. Transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis

b. Fibrosis duramater

Penyebab intrinsik:

Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen

dan corda spinalis.

Penyebab yang jarang:

(1) Trombosis corda spinalis yang infektif

(2) Spinal tumor syndrome

Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis

membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan

paraplegia. Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling

canalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian

banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga

menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi menjadi

early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari proses

spondylitis tuberculose. Type kedua adalah paraplegia late onset, paraplegia ini

terjadi setelah penyakit spondilitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya

kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk

spondilitis :

(1)Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di

bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan

19

Page 20: Referat Orto 33

pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis

diskus. Terbanyak ditemukan diregio lumbal.

(2)Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga

disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering

menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain

sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi

kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di

regio torakal.

(3) Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas

dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena

erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga

disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses

prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya

perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

(4) Bentuk atipikal

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak

dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal

dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di

canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel,

lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada

di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan

elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-

10%.

Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang

lambat, bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian

superior atau inferior anterior dari corpus vertebra. Proses infeksi

Myocobacterium tuberkulosis akan mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan

stimulator poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi korpus

vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses

20

Page 21: Referat Orto 33

pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi

relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi progresif

di anterior akan mengakibatkan kolapsnya corpus vertebra yang terinfeksi dan

terbentuklah kifosis ( angulasi posterior ) tulang belakang. Proses terjadinya

kifosis dapat terus berlangsung walaupun telah terjadi resolusi dari proses infeksi.

Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi dan paraplegi.

Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan

menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.

Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral.

Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung

dibawah ligamentum longitudinal anterior. Apabila telah terbentuk abses

paravertebral, lesi dapat turun mengikuti alur fascia muskulus psoas yang dapat

mencapai trigonum femoralis.

Pada usia dewasa , discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten

terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada

anak–anak karena discus intervertebralis masih bersifat avaskular, infeksi discus

dapat terjadi primer. Gejala utama adalah nyeri tulang belakang, nyeri biasanya

bersifat kronis dapat lokal maupun radikular. Pasien dengan keterlibatan vertebra

segmen cervical dan thorakal cenderung menderita defisit neurologis yang lebih

akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri

radikular. Selain nyeri terdapat gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat

malam, peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan. Tulang

belakang terasa nyeri dan kaku pada pergerakan.

E. Gambaran Klinis

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak

faktor (7). Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi

lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti

bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya

dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain : :

Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun.

21

Page 22: Referat Orto 33

Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada

anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.

Pada awal dapat dijumpai nyeri intercostal yaitu nyeri yang menjalar dari

tulang belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal

ini karena tertekannya radiks dorsalis ditingkat thoracal

Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.

Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut

berupa :

Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan

medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan

nyeri,

Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya

batas deficit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal

Pemeriksaan fisik

Adanya gibus dan nyeri setempat

Spastisitas

Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah

sisi

Batas defisit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang

dijumpai

Spondilitis corpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :

1. Pada bentuk sentral.

Detruksi awal terletak di sentral corpus vertebra, bentuk ini sering

ditemukan pada anak.Bentuk paradikus.

2. Bentuk paradikus.

Terletak di bagian corpus vertebra yang bersebelahan dengan discus

intervertebral, bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.

3. Bentuk anterior.

Dengan lokus awal di corpus vertebra bagian anterior, merupakan

penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

F. Diagnosis

Anamnesis dan inspeksi

22

Page 23: Referat Orto 33

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,

demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari

serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya

keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang

cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam

(terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu

makan akan terlihat dengan jelas.

2. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang

menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di

daerah telingan atnyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan

menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian

torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa

nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri

pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.

3. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki

pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

4. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan

kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam

posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di

oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan

timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa

nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan

di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong

trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan

adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang

dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi

atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu

penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal

ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di

regio servikal.

5. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.

Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi

panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya

sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test) Jika

23

Page 24: Referat Orto 33

terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan

mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding

dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat

menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.

6. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang

terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui

fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.

Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan

menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha.

Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi

panggul.

7. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang

belakang)

8. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).

Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis

lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul

paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks

tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan

motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih

dan anorektal.

9. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri

akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang

ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

Palpasi

1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit

diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan

dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat

paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot

sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di

sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran

lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena.

24

Page 25: Referat Orto 33

Perkusi

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae

yang terkena, sering tampak tenderness.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

1) Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.

2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative

(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu

maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini

dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³

10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan.

3) Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum

dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)

4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat

relatif.

5) Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

kemungkinan infeksi Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan

memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:

Radiologis

Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8

minggu onset penyakit.

Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior

corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak

penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae

25

Page 26: Referat Orto 33

anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area

subligamentous

Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau

prosesus spinosus.

Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya

deformita scoliosis (jarang)

Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang

sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar

dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap

tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra,

terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus

sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus

tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat

terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.

Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.

Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan

kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang

mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat

penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh

karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

Gambar 11:   Tuberculous spondylitis. Lateral

radiograph demonstrates obliteration of the disk

space (straight arrow) with destruction of the

adjacent end plates (curved arrow) and anterior

wedging

Gambar 12.  Subligamentous spread of spinal

tuberculosis. Lateral radiograph demonstrates

erosion of the anterior margin of the vertebral body

(arrow) caused by an adjacent soft-tissue abscess.

26

Page 27: Referat Orto 33

Computed Tomography – Scan (CT)

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang

sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel

tampak lebih baik dengan CT Scan.

Gambar 13.  Tuberculous spondylitis. Axial CT

scan demonstrates lytic destruction of the vertebral

body (black arrow) with an adjoining soft-tissue

abscess (white arrow).

Gambar 14.  Calcified psoas abscess. Axial CT

scan demonstrates bilateral tuberculous psoas

abscesses with peripheral calcification (arrows).

.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif

dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat

untuk :

Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau

operatif.

Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen

tulang kecil dan kalsifikasi di abses.Gambar 13.  Tuberculous spondylitis. Sagittal

T2-weighted MR image demonstrates areas of

increased signal intensity due to edema in

vertebral bodies. Accompanying disk

narrowing (white arrow) and extension of the

disease into the spinal canal (black arrow) are

also seen.

27

Page 28: Referat Orto 33

Neddle biopsi / operasi eksplorasi ( costotransversectomi ) dari lesi spinal

Mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman

dan pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang

absolut)(berhasil pada 50% kasus).

Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus

Paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil

tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea

babi.

Diagnosis dari penyakit ini dapat kita ambil melalui bebertapa tanda khas

dibawah ini, Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat

berupa :

o Nyeri punggung yang terlokalisir

o Bengkak pada daerah paravertebral

o Tanda dan gejala sistemik dari TB

o Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi,

memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau

memperbaiki kifosis. Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada

tercapainya favourable status yang didefenisikan sebagai pasien dapat

beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan bedah

lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat , focus infeksi yang

tenang secara klinis maupun secara radiologis.

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan

sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta

mencegah paraplegia.

28

Page 29: Referat Orto 33

Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :

1. Pemberian obat antituberkulosis

2. Dekompresi medulla spinalis

3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi

4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :

1. Terapi konservatif berupa:

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak

vertebra

c. Memperbaiki keadaan umum penderita

d. Pengobatan antituberkulosa

2. Terapi operatif

Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan

penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang

spongiosa/kortiko – spongiosa.

Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu

tindakan operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon

mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:

a. Indikasi absolut

Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak

dilakukan bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis,

tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.

Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun

diberikan terapi konservatif

Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan

walaupun telah diberi terapi konservatif

29

Page 30: Referat Orto 33

Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol

sehingga tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak

memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis karena

tekanan pada kulit.

Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan

tekanan yang besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau

kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis

vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi,

hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan

motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa

percobaan pemberikan terapi konservatif)

b. Indikasi relatif

Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan

sebelumnya

Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat

karena kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi

Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena

spasme atau kompresi syaraf

Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

c. Indikasi yang jarang

Posterior spinal disease

Spinal tumor syndrome

Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal

Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

Abses Dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat

terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang

30

Page 31: Referat Orto 33

besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi

tuberkulosa, yaitu:

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikal

e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat, Kifosis

mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak.

Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

H. Diagnosis Banding

1. Osteitis Piogen : khasnya demam lebih cepat timbul

2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis

3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis

4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit

5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma

prostat

6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka

I. Komplikasi

31

Page 32: Referat Orto 33

Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya

tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,

sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia –

prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis

oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa

buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi

paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan

paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke

dalam pleura.

J. PROGNOSIS

Prognosa dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan

ada tidaknya komplikasi neurologic, unutk paraplegia awal, prognosis

untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan

paraplegia akhir, prognosisnya biasanya kurang baik. Bila paraplegia

disebabkan oleh mielitis tuberkulosa proggnosisnya ad functionam juga

buruk.

32

Page 33: Referat Orto 33

II. SPONDILITIS ANKILOSIS

A. DEFINISI

Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifat

sistemik, ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama menyerang

sendi tulang belakang (vertebra) dengan penyebab yang tidak diketahui.

Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovia, dan rawan

sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan mengakibatkan

fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka merupakan

tanda khas penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada stadium

lanjut dan jarang terjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama lain

SA adalah Marie Strumpell disease atau Bechterew's disease

B. ETIOLOGI

Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA merupakan

penyakit yang diperantari oleh sistem imun, dibuktikan dengan adnya

peningkatan IgA dan berhubungan erat dengan HLA B27.3 Secara

imunologi terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27 dan

Limfosit T. Tumor necrosis factor (TNF-α) teridentifikasi sebagai

pengatur sitokin.

Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang

diturunkan secara genetik, dan mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir

dengan suatu gen yang disebut dengan HLA B27. Pada pemeriksaan darah

dapat ditemukan adanya HLA B27 gene marker yang dapat menjelaskan

adanya hubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen HLA B27 ini hanya

menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat terhadap terjadinya

SA ini meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti lingkungan.

Akhir-akhir ini, dua gen lain telah teridentifikasi berhubungan dengan SA,

33

Page 34: Referat Orto 33

yaitu ARTS1 dan Il23R yang mempunyai peran dalam mempengaruhi

fungsi imunitas.

C. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, prevalensi spondilitis ankilosis sebesar 100-200 per

100.000 penduduk, yang merupakan penyakit spondiloartitis terbanyak.

Namun, prevalensi spondilitis ankilosis di Jerman mencapai 1% hingga

5% sedangkan di Prancis 0,49%.

Spondilitis ankilosis biasanya mulai sejak dekade kedua hingga ketiga

kehidupan dengan median usia 23 tahun. Pada 5% pasien, gejala timbul

pada usia lebih dari 40 tahun. Usia yang rinci sulit ditentukan karena

diagnosis seringkali tidak dikenali selama bertahun-tahun.

Prevalensi spondilitis ankilosis antara pria dan wanita berbanding 2:1

hingga 3:1. Spondilitis ankilosis pada wanita seringkali timbul lebih

ringan gejalanya.

D. FAKTOR RESIKO

Penyakit ini sering dimulai pada usia antara 20-40 tahun, tapi dapat pula

dimulai sebelum usia 10 tahun. Pada umumnya pria lebih banyak

menderita Pada umumnya pria lebih banyak menderita dari pada wanita

dengan perbandingan laki-laki : wanita kurang lebih 5:1, bahkan ada yang

menyebutkan 2-10:1. Faktor-faktor risiko ini meliputi riwayat keluarga

dengan spondilitis ankilosa dan jenis kelamin laki-laki.

E. PATOFISIOLOGI

Proses patofisiologi yang terjadi pada spondilitis ankilosa ditandai dengan

adanya inflamasi dan terjadinya fusi. Hal tersebut dapat diilustrasikan

dalam gambar dibawah ini:

34

Page 35: Referat Orto 33

Gambar 14. Tulang Belakang Normal dan Tulang Belakang dengan

Spondilitis Ankilosa8

Sedangkan manifestasi terjadinya spondilitis ankilosa ditunjukkan dalam

skema sebagai berikut:

35

Page 36: Referat Orto 33

Gambar 15. Mekanisme Spondilitis ankilosis

F. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinik Spondilosis Ankilosa (SA) dapat dibagi dalam manifestasi

skeletal dan ekstraskeletal. Manifestasi skeletal berupa artritis aksis,

artritis sendi panggul dan bahu, artritis perifer, entensopati, osteoporosis,

dan fraktur vertebra. Manifestasi ekstraskeletal berupa iritis akut, fibrosis

paru, dan, amiloidosis.

Gejala utama SA adalah sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual

dengan nyeri hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah

pada daerah paha. Keluhan konstitusional biasanya sangat ringan seperti

anoreksia, kelemahan, penurunan berat badan, dan panas ringan yang

biasanya terjadi pada awal penyakit.

36

Page 37: Referat Orto 33

Manifestasi pada Tulang

Keluhan yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri pinggang

dan sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3 bulan,

diserati kaku pinggang pada pagi hari, dan membaik dengan aktivitas fisik

atau bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya tumpul dan sukar

ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral. Nyeri bilateral

biasanya menetap, beberapa bulan kemudiandaerah pinggang bawah

menjadi kaku dan nyeri. Neri ini lebih terasa di daerah bokong dan

bertambah hebat bila batuk, bersin, atau pinggang mendadak terpuntir.

Inaktivitas lama akan menambah nyeri dan kaku. Keluhan nyeri dan kaku

pinggang merupakan keluhan dari 75% kasus di klinik.

Nyeri tulang juksa artikular dapat menjadi keluhan utama, misalnya

entesis yang dapat menyebabkan nyeri di sambungan kostosternal,

prosesus spinosus, krista iliaka, trokanter mayor, tuberositas tibia, atau

tumit. Keluhan lain dapat berasal dari sendi kostovertebra dan manubrium

sternal yang menyebabkan keluhan nyeri dada, sering disaladiagnosiskan

sebagai angina.

Manifestasi di Luar Tulang

Manisfestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan sindroma

kauda ekuina. Manifestasi di luar tulang yang paling sering adalah uveitis

anterior akut, biasanya unilateral, dan ditemukan 25-30% pada pasien SA

dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan kabur.

Manifestasi pada jantung dapat berupa insufisiensi aorta, dilatasi pangkal

aorta,, jantung membesar, gangguan konduksi. Pada paru dapat terjadi

fibrosis, umumnya setelah 20 tahun menderita SA, dengan lokasi pada

bagian atas, biasanya bilateral, dan tampak bercak-bercak linier pada

pemeriksaan radiologis, menyerupai tuberkulosis.

37

Page 38: Referat Orto 33

G. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik spondilitis ankilosis dapat ditemukan:

Sikap/postur tubuh

Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang.

Lordosis lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal.

Apabila vertebra cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas

serta menimbulkan rasa nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke

depan dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara : penderita diminta berdiri

tegak, apabila terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada

dinding.

Mobilitas tulang belakang

Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak.

Biasanya ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra

lumbal, yang dapat dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke

depan, ke samping dan ekstensi.

Tes Schober atau modifikasinya, berguna untuk mendeteksi keterbatasan

gerak fleksi badan ke depan. Caranya : penderita diminta untuk berdiri

tegak, pada prosesus spinosus lumbal V diberi tanda (titik), kemudian 10

cm lurus di atasnya diberi tanda ke dua. Kemudian penderita diminta

melakukan gerakan membungkuk (lutut tidak boleh dibengkokkan). Pada

orang normal jarak kedua titik tersebut akan bertambah jauh; bila jarak

kedua titik tersebut tidak mencapai 15 cm, hal ini menandakan bahwa

mobilitas tulang vertebra lumbal telah menurun (pergerakan vertebra

lumbal mulai terbatas). Di samping itu fleksi lateral juga akan menurun dan

gerak putar pada tulang belakang akan menimbulkan rasa sakit.

38

Page 39: Referat Orto 33

Ekspansi dada

Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai

pada kasus ankylosing spondylitis stadium dini dan jangan dianggap

sebagai stadium lanjut. Pada pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai

normalnya sangat bervariasi dan tergantung pada umur dan jenis kelamin.

Sebagai pedoman yang dipakai adalah : ekspansi dada kurang dari 5 cm

pada penderita muda disertai dengan nyeri pinggang yang dimulai secara

perlahan-lahan, harus dicurigai mengarah ke adanya ankylosing

spondylitis. Pengukuran ekspansi dada ini diukur dari inspirasi maksimal

sesudah melakukan ekspirasi maksimal.

Enthesitis

Adanya enthesitis dapat dilihat dengan cara menekan pada tempat-tempat

tertentu antara lain : ischial tuberositas, troc-hanter mayor, processus

spinosus, costochondral dan manu-briosternal junctions serta pada iliac

fasciitis plantaris juga merupakan manifestasi dari enthesitis.

Sacroilitis

Pada sacroiliitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan

tetapi hal ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium

lanjut sering kali tanda-tanda ini tidak ditemukan. Pada stadium lanjut tidak

ditemukan nyeri tekan pada sendi sacroiliaca oleh karena telah terjadi

fibrosis atau, bony Ankylosis

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada spondilitis ankilosis meliputi:

Pemeriksaan Laboraturium

39

Page 40: Referat Orto 33

Tidak ada uji diagnostik yang patognomonik. Peninggian laju endap darah

ditemukan pada 75% kasus, tetapi hubungannya dengan keaktifan penyakit

kurang kuat. Serum C reactive protein (CRP) lebih baik digunakan sebagai

petanda keaktifan penyakit. Kadang-kadang, ditemukan peninggian IgA.

Faktor rematoid dan ANA selalu negatif. Cairan sendi memberikan

gambaran sama pada inflamasi. Anemia normositik-normositer ringan

ditemukan pada 15% kasus. Pemeriksaan HLA B27 dapat digunakan

sebagai pembantu diagnosis.

Pemeriksaan Radiologi

Kelainan radiologis yang khas pada SA dapat dilihat pada sendi aksial,

terutama pada sendi sakroiliaka, diskovertebral, apofisial, kostovertebral,

dan kostotransversal. Perubahan pada sendi S2 bersifat bilateral dan

simetrik, dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkonral, diikuti

erosi yang memberi gambaran mirip pinggir perangko pos. Kemudian,

terjadi penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan

osilikasi. Setelah beberapa tahun, terjadi ankilosis yang komplit.

Beratnya proses sakroilitis terdiri dari 5 tingkatan berdasarkan radiologis,

yaitu tingkat 0 (normal), tingkat 1 (tepi sendi menjadi kabur), tingkat 2

(tingkat 1 ditambah adanya sclerosis periartikuler, jembatan sebagian

tulang atau pseudo widening, tingkat 3 (tingkat 2 ditambah adanya erosi

dan jembatan tulang), serta tingkat 4 (ankilosa yang lengkap).

Akan terlihat gambaran squaring (segi empat sama sisi) pada kolumna

vertebra dan osifikasi bertahap lapisan superfisial anulus fibrosus yang

akan mengakibatkan timbulnya jembatan di antara badan vertebra yang

disebut sindesmofit. Apabila jembatan ini sampai pada vertebra servikal,

akan membentuk bamboo spine. Keterlibatan sendi panggul

40

Page 41: Referat Orto 33

memperlihatkan adanya penyempitan celah sendi yang konsentris,

ketidakteraturan subkhondral, serta formasi osteofit pada tepi luar

permukaan sendi, baik pada asetabulum maupun femoral. Akhirnya, terjadi

ankilosis tulang dan pada sendi bahu memperlihatkan penyempitan celah

sendi dengan erosi.

I. PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA

Pengobatan dengan Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) untuk mengurangi

nyeri, mengurangi inflamasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien.

Indometasin 75-150 mg perhari memegang rekor terbaik. Apabila pasien

tidak mampu mentolerir efek samping seperti gangguan lambung atau

gangguan SSP berupa sakit kepala dan pusing, maka AINS yang lain

dapat dicoba.

Pasien yang tidak responsif dengan indometasin atau AINS yang baru

lainnya dapat dicoba dengan fenilbutazon 100-300 mg per hari. Tingginya

insiden agranulositosis atau anemia aplastik akibat efek samping obat ini

dibandingkan dengan AINS yang lain perlu disampaikan pada pasien

dengan jumlah eritrosit dan leukosit harus selalu dimonitor.

Preparat emas dan penisilamin telah digunakan pada pasien dengan

poliartritis perifer. Publikasi studi klinik terakhir dari Sulfasalazin 2-3

gram perhari, baik nyeri maupun kelainan spinal.

Bila keluhan sangat mengganggu dalam kegiatan sehari-hari dapat

dipertimbangkan untuk dilakukan artroplasti atau koreksi deformitas

spinal. Tindakan ini sangat berguna untuk mengurangi keluhan akibat

deformitas tersebut.

Pengobatan lain dapat digunakan Biologic Response Modifiers

(Remicade® = Infliximab; Enbrel® = Etanercept; Kineret® = Anakinra;

41

Page 42: Referat Orto 33

Humira® = Adalimumab; Mabtera® = Rituximab). AS yang tidak responsif

dengan AINS dapat digunakan protokol “Step-down Bridge”

menggunakan kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral (SBP-6-

IMNs). AS yang refrakter terhadap AINS adalah AS yang laju endap

darah (LED), C-Reactive Protein (CRP) dan Skor BASDAI-nya tidak

membaik atau memburuk secara bermakna meskipun telah diterapi dengan

paling sedikit 2 AINS yang berbeda dalam kurun waktu sedikitnya 2

bulan. Pada AS dengan LED, CRP, dan BASDAI skor tinggi (> 4),

inflamasi autoimun harus ditekan seluruhnya sesegera mungkin.

Metode terapi standar protokol “Step-down Bridge” menggunakan

kombinasi 6 imunosupresan intravena dan oral harian intravena 5 kali per

minggu yang terdiri dari:11

Siklofofamid + Metilprednisolon + 5 Fluro Urasil harian +

Metrotreksat mingguan + tanpa kortikosteroid oral (metilprednisolon,

prednison, atau prednisolon), atau

Siklofofamid + 5 Fluro Urasil + Metrotreksat mingguan tanpa

Metilprednisolon dan kortikosteroid oral.

Jumlah maksimum sesi intravena harian adalah 5 kali per minggu untuk

mencegah dosis kumulatif mingguan yang tinggi dan efek samping. Pada

AS refrakter siklofosfamid, Ifosfamid adalah suatu analog yang

menggantikan siklofosfamid. Pada kasus-kasus resisten, pasien tidak lagi

imuno-naif terhadap Siklofosfamid + Metilprednison + Metrotreksat

mingguan. Walau demikian, pasien-pasien ini masih imuno-naif terhadap

kombinasi baru Ifosfamide + 5 flourourasil intravena. Ini dapat kembali

menimbulkan remisi pada AS yang refrakter terhadap Siklofofamid +

Metilprednisolon + Metrotreksat mingguan (komunikasi pribadi).

Dosis intravena

1. Siklofosfamid 25 – 100 mg per sesi +

42

Page 43: Referat Orto 33

2. Metilprednison 0 – 125 mg per sesi +

2. Metrotreksat 5 – 15 mg per sesi sekali seminggu +

3. 5 Flurourasil 25 – 100 mg per sesi) +

Dosis minimum perlu digunakan pada pasien yang sensitif atau pada

mereka dengan berat badan yang sangat rendah (< 35 Kg). Pasien yang

sensitif mungkin menderita efek samping dengan dosis 100 mg

siklofosfamid dan 5 flurourasil, 15 mg metrotreksat, dan 125 mg

metilprednison, tapi tidak pada dosis 75, 50 atau 25 mg siklofosfamid, 5

flurourasil atau dosis 5 mg metrotreksat. 11

Sebenarnya metilprednisolon tidak mutlak dibutuhkan untuk mencapai

DiC dan RworalDs pada Nr-AS, tetapi secara relatif dibutuhkan untuk

tapering-off dan mencapai DiC pada pasien yang masih menggunakan

kortikosteroid oral saat datang. Akan tetapi kombinasi CyC + 5FU + MPS

+ MTX mingguan (SBP-6-IMNs) memberikan: efikasi yang lebih cepat,

mengurangi jumlah total frekuensi sesi intravena; mengurangi

ketergantungan pada kortikosteroid yang masih diminum pasien saat

datang.

Penurunan kadar terapi IV secara bertahap (Tapering Off)

Jika LED turun menjadi < 40, < 30 dan < 25 mm/1 jam (pria < 30, < 20,

dan < 15 mm/1 jam), sesi IV diturunkan masing-masing menjadi 3, 2 dan

1 kali per minggu. Setelah CRP < 3 mg%, BASDAI < 1, dan LED < 25

(wanita) atau < 15 mm (pria) Nr-AS dikatakan telah mencapai DiC.

Kemudian sesi IV diturunkan menjadi 1 kali tiap dua minggu, 1 kali tiap 4

minggu, 1 kali tiap 8 minggu dan dihentikan. Pada beberapa pasien

dengan AS yang telah lama diderita, dosis final pada minggu ke-12

mungkin dibutuhkan.

43

Page 44: Referat Orto 33

J. PENATALAKSANAAN NON-MEDIKAMENTOSA

Fisioterapi

Tujuan utama fisioterapi pada SA adalah untuk memperbaiki mobiltas dan

kekuatan serta mencegah atau menurunkan terjadinya abnormalitas kurva

tulang belakang. Fisioterapi mempunyai peranan terhadap manajemen SA

namun tidak dapat menggantikan pengobatan medikamentosa.

Pengobatan dan fisioterapi adalah bersifat koplementer satusama lain.

Prinsip pengobatan utama pada SA adalah dengan menghilangkan nyeri,

mengurangi inflamasi, latihan fisik untuk perbaikan kekuatan otot, dan

memelihara postur tubuh. Penderita dianjurkan tidur terlentang

menggunakan kasur yang agak keras dengan sebuah bantal tipis.

Menggunakan bantal yang tebal atau beberapa bantal sebaiknya dihindari.

Pada pagi hari, mandi air hangat, diikuti latihan fisik untuk penguatan

otot-otot belakang (sesuai dengan petunjuk dokter atau dokter fisioterapi).

Hal ini sebaiknya dilakukan di rumah secara teratur. Tidur tengkurap

selama beberapa menit dilakukan beberapa kali dalam sehari merupakan

tindakan yang bermanfaat dalam menjaga pergerakan ekstensi spinal.

Latihan fisik penting dilakukan karena penyakit ini cenderung terjadi

kelainan berupa fleksi spinal yang progresif. Oleh karena itu, otot-otot

ekstensor spinal harus diperkuat. Manuver lain yang perlu dilakukan

adalah bernapas dalam dan gerakan fleksi lumbal yang isometrik. Posisi

postur tubuh harus diperhatikan setiap saat. Kursi dengan sandaran yang

keras dianjurkan, tetapi diutamakan lebih banyak berjalan dari pada

duduk.

44

Page 45: Referat Orto 33

Berenang merupakan latihan fisik yang terbaik selama otot-otot masih

boleh menahan dalam keadaan ekstensi. Fusi spinal merupakan

komplikasi dari spondilitis. Karena itu, postur harus dipertahankan dan

menghindari terjadinya kontraktur dalam posisi fleksi dari bahu dan lutut.

Penderita dianjurkan setiap saat tegak, seolah-olah tumit, bokong, pundak,

bahu, dan belakang kepala selalu bersandar pada dinding.

Pembedahan

Pembedahan mungkin dibutuhkan dalam beberapa kasus SA. Mekanisme

yang menyebabkan terjadinya osifikasi ligamen dan sendi sehingga terjadi

fusi pada columna vertebrae belum dijelaskan secara rinci. Sebagai

dampak dari fusi columna vertebrae ini terjadi keterbatasan dalam

gerakan dan elatisitas. Munurunnya fleksibilitas dapat berakibat akan

terjadinya berbagai kelainan pada tulang belakang seperti fraktur dan

dislokasi, atlanto-axial dan atlanto-occipital subluxiation, deformitas

tulang belakang, stenosis tilang belakang, dan kelainan pinggul. Ketika

komplikasi ini terjadi. Tindakan pembedahan mungkin dapat dibutuhkan.

K. PROGNOSIS

Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara umum,

penderita lebih cenderung dengan pergerakan yang normal daripada

timbulnya restriksi berat. Keterlibatan ekstraspinal yang progresif

merupakan determinan penting dalam menentukan prognosis. Beberapa

survei epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan,

berkurangnya pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10

tahun pertama maka perkembangan penyakitnya tidak akan memberat.

Keterlibatan sendi-sendi perifer yang berat menunjukkan prognosis buruk.

Sebagian besar penderita dengan SA memperlihatkan keluhan serta

45

Page 46: Referat Orto 33

perlangsungan yang ringan dan dapat dikontrol sehingga dapat

menjalankan tugas dan kehidupan sosial dengan baik.

Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak

memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo

spine lebih sering terlihat pada pria2-5,12-15. Terdapat dua gambaran

yang secara langsung berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas, dan

prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat dari trauma, baik yang tidak

disadari maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada salah

satu diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa dilokalisir,

dan ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang

mendadak. Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan,

baik elemen anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan

diperpanjang dapat memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus.

Komplikasi kedua yang menyusul trauma berat maupun yang ringan

berupa fraktur yang dapat menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.

DAFTAR PUSTAKA

Chairuddin, M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan kronik. CV.Wiyasana. Makasar.

46

Page 47: Referat Orto 33

Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-3-540-28764-3 (Baltensperger, 2009)

Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial osteomyelits. Postgrad Med J, 76: 479-483 (Ciampolini, 2000)

Walter, G., M. Kemmere, C., Kappler, R. Hoffmann. 2012. Treatment Algorithms for Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International; 109(14): 257-64 (Walter et al., 2012)

Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8 (Roy et al., 2012)

Simpson, A. H. R., M. Deakin, J. M. Latham. 2001. The Effect of The Extent of Surgical Resection on Infection-Free Survival. Journal of Bone and Joint Surgery; 83(8): 403-407 (Simpson et al., 2001)

Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-1229

Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :Musculoskeletal Imaging: A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-36.

Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, in Lazuardi S, Hok TS, Sudibjo AI, at all eds, Neurologi Klinik dalam Praktek Umum,Dian Rakyat, Jakarta 1999:341Dewi LK, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, in Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapius Jakarta 2000 : 58

47

Page 48: Referat Orto 33

48