bab 2 revisi dr.yunita

25
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Malaria 2.1.1. Definisi dan Etiologi Malaria adalah penyakit akibat parasit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk (Dale, et al., 2005). Malaria yang menyerang manusia diakibatkan oleh protozoa dengan genus Plasmodium, ordo Cocidiidaae, subordo Haemosporodiidaemasuk ke dalam sistem sirkulasi manusia. Plasmodiumtidak hanya menginfeksi manusia, tetapi menginfeksi juga binatang seperti burung, reptil, dan mamalia (Gandahusada, 2004). Spesies Plasmodiumpada manusia terdapat empat spesies, Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae (Sutanto and Pribadi, 2008). Transmisi malaria membutuhkan vektor malariadan Anopheles merupakan vektor nyamuk penyebab malaria. Anopheles memiliki 80 spesies dan 24 diataranya potensial sebagai vektor malaria (Dale et al., 2005). Protozoa penyebab malaria hidup di tubuh Anophelesbetina sebagai tempat perkembangbiakan seksual bagi Plasmodium. Plasmodium yang banyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (Sutanto and Pribadi, 2008). 2.1.2. Epidemiologi Malaria ditemukan 64 0 lintang utara sampai 32 0 lintang selatan, dari daerah rendah 400 m dibawah permukaan laut sampai 2600 m di atas permukaan laut. Di Indonesia penyebab malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur Indonesia (Sutanto and Pribadi, 2008). Di Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai keutara, Irian Jaya, dari

Upload: nahl-firdausi

Post on 25-Jul-2015

128 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 Revisi Dr.yunita

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Malaria

1.1.1. Definisi dan Etiologi

Malaria adalah penyakit akibat parasit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk (Dale, et

al., 2005). Malaria yang menyerang manusia diakibatkan oleh protozoa dengan genus

Plasmodium, ordo Cocidiidaae, subordo Haemosporodiidaemasuk ke dalam sistem sirkulasi

manusia. Plasmodiumtidak hanya menginfeksi manusia, tetapi menginfeksi juga binatang

seperti burung, reptil, dan mamalia (Gandahusada, 2004). Spesies Plasmodiumpada manusia

terdapat empat spesies, Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,

Plasmodium malariae (Sutanto and Pribadi, 2008).

Transmisi malaria membutuhkan vektor malariadan Anopheles merupakan vektor

nyamuk penyebab malaria. Anopheles memiliki 80 spesies dan 24 diataranya potensial

sebagai vektor malaria (Dale et al., 2005). Protozoa penyebab malaria hidup di tubuh

Anophelesbetina sebagai tempat perkembangbiakan seksual bagi Plasmodium. Plasmodium

yang banyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (Sutanto and

Pribadi, 2008).

1.1.2. Epidemiologi

Malaria ditemukan 640 lintang utara sampai 320 lintang selatan, dari daerah rendah

400 m dibawah permukaan laut sampai 2600 m di atas permukaan laut. Di Indonesia

penyebab malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur

Indonesia (Sutanto and Pribadi, 2008). Di Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai keutara,

Irian Jaya, dari Lombok samapai NTT, serta Timor Timur merupakan wilayah endemis

malaria Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (Harijanto, 2007).

Situasi malaria di suatu daerah bisa ditentukan melalui kegiatan – kegiatan surveilans

epidemiologi. Pengamatan rutin malaria menggunakan parameter antara lain Annual Parasite

Insidence, Annual Blood examination Rate, Slide Positive Rate, Parasite Formula dan Survey

Malariometrik (Harijanto, 2009)

1.1.3. Siklus Hidup

Daur hidup keempat spesies Plasmodium pada manusia umumnya sama. Proses

tersebut terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles betina

Page 2: BAB 2 Revisi Dr.yunita

6

dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata (Sutanto and Pribadi, 2008;

Harijanto, 2007). Fase aseksual dibagi menjadi dua daur yaitu daur eritrosit dalam darah

(skizon eritrositik) dan dalam sel parenkim hepar (skizon eksoeritrositik) (Sutanto and

Pribadi, 2008).

Fase aseksual diawali bila nyamuk Anopheles menusukkan probosisnya pada manusia

dan mengeluarkan air liurnya ke hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk

melalui probosis yang ditusukkan ke kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah

dan setelah 0,5 – 1 jam akan masuk dalam sel hepar menjadi trozoit dan berkembang biak.

Proses ini disebut skizogoni preeritrositik. Inti parasit membelah berulang – ulang

membentuk skizon jaringan. Fase aseksual jaringan ini berlangsung beberapa waktu

bergantung pada spesies malaria (Sutanto and Pribadi, 2008).

Fase aseksual dalam darah merupakan fase lanjutan setelah fase aseksual jaringan.

Pada fase akhir pra eritrosit, skizon pecah menjadi merozoit dan masuk ke pembuluh darah.

Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hepar tetapi sebagian difagosit.

Invasi merozoit ini bergantung pada interaksi reseptor di eritrosit, glikoforin, dan merozoit

sendiri. Perkembangan parasit dalam eritrosit menyebabkan perubahan pada eritrosit.

Perubahan ini khas pada setiap spesies parasit. Merozoit yang berhasil masuk ke eritrosit

akan berkembang menjadi fase trozoit yang mencerna hemoglobin. Setelah masa

pertumbuhan, parasit berkembang biak secara aseksual melalui proses pembelahan secara

skizogoni. Inti parasit membelah secara berulang – ulang membentuk scizont. Scizont matang

mengandung bentukan bulat kecil terdiri atas inti dan sitoplasma yang disebut merozoit.

Periodisitas skizogoni berbeda – beda antar spesies, Plasmodium vivax dan Plasmodium

ovale berlangsung selama 48 jam, Plasmodiumfalciparum kurang dari 48 jam, dan

Plasmodium malariaeberlangsung 72 jam. Setelah proses scizogon selesai, eritrosit pecah dan

melepaskan merozoit dalam aliran darah kemudian memasuki eritrosit yang baru. Pada daur

eritrosit, skizogoni berlangsung berulang – ulang selama infeksi dan menimbulkan

parasitemia yang meningkat dengan cepat sampai proses dihambat oleh respon imun hospes

(Sutanto and Pribadi, 2008).

Fase seksual parasit yang terjadi di tubuh nyamuk Anopheles betina bermula ketika

Anopheles menghisap darah hospes manusia yang mengandung parasit malaria. Parasit

malaria mampu bertahan dan berkembang di tubuh nyamuk merupakan fase gametogoni.

Gametosit berasal dari merozoit. Setelah 2 – 3 generasi merozoit terbentuk, sebagian

merozoit akan berubah menjadi gametosit. Setiap spesies memiliki ciri yang berbeda. Setelah

Page 3: BAB 2 Revisi Dr.yunita

7

dihisap, inti gametosit jantan (mikrogametosit) akan membelah menjadi 4-8 yang masing –

masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel). Flagel yang berukuran 20 – 25

mikron bergerak – gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Proses ini disebut eksflagelasi

yag terjadi dalam beberapa menit pada suhu sesuai dan dapat dilihat melalui mikroskop.

Flagel dan gamet jantan disebut mikrogamet sedangkan makrogametosit mengalami matursi

menjadi makrogamet. Di dalam lambung nyamuk mikrogamet tertarik pada makrogamet

hingga terbentuk zigot. Zigot yang terbentuk pada awalnya bulat dan tidak bergerak, tetapi

dalam waktu 18 – 24 jam menjadi bentuk panang dan dapat bergerakyang disebut ookinet.

Ookinet kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar dan

membentuk ookista. Ookista akan berkembang terus hingga berupa bulatan semi-transparan

mengadung pigmen. Bila pigmen semakin membesar hingga diameternya mencapai 500

mikron dan intinya membelah, ookista pecah dan melepaskan sporozoit yang bias bergerak

ke dalam rongga badan nyamuk sampai mencapai kelenjar saliva. Bila nyamuk menghisap

darah, maka fase aseksual awal akan bermula kembali (Sutanto and Pribadi, 2008).

Gambar 2.1. Siklus hidup parasit malaria (sumber : www.cdc.org)

1.1.4. Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Fase aseksual malaria di tubuh hospes intermediet, parasit fase preeritrositik yang

menyerang sel hati biasanya tidak menimbulkan gejala ( Sutanto and Pribadi, 2008). Setelah

Page 4: BAB 2 Revisi Dr.yunita

8

sporozoit berkembang menjadi merozoit dan menginvasi eritrosit kemudian beredar

sepanjang pembuluh darah. Merozoit ini akan masuk ke dalam lien dan akan mengalami

filtrasi serta fagosit. Semakin banyak eritrosit yang terinfeksi, maka tugas lien yang bertugas

untuk memfagosit akan mengalami peningkatan kerja dan pada akhirnya akan mengalami

splenomegali (Sutanto and Pribadi, 2008).

Pada proses selanjutnya, sebagian merozoit akan lolos dari fagositosis dan kembali

menyerang eritrosit sehingga berlanjut pada perkembangbiakan aseksual. Perusakan eritrosit

oleh parasit, penghambatan pengeluaran retikulosit, hemolisis karena komplek imun, dan

eritrofagositosis akan menyebabkan munculnya manifestasi klinis anemia pada penderita

malaria (Harijanto, 2007; Fauci et al., 2008). Eritrosit yang mengandung Plasmodium akan

mengalami merogoni, pada fase ini akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI

(Glikosilphosphatidininositol) yang akan merangsang sitokin – sitokin seperti TNF-α, IL-1,

IL-3, IL-6, Lymphotoin, dan INF-γ. Sitokin ini yang menyebabkan munculnya manifestasi

demam pada penderita malaria (Harijanto, 2000; RSUD Dr, Soetomo, 2008). Pola demam

pada penderita malaria merupakan demam intermitten yaitu demam pada satu waktu

meninggi hingga 400 c satu waktu berikutnya akan turun hingga mencapai suhu normal

(Sutanto and Pribadi, 2008).

Plasmodium falciparum menimbulkan manifestasi yang lebih berat dibandingkan

jenis Plasmodium yang lain. Demam yang ditimbulkan Plasmodium falciparum terjadi setiap

hari dengan lama proses scizogoni 36 – 48 jam dibandingkan dengan Plasmodium vivax

yang memiliki lama proses scizogoni 48 jam dengan demam terjadi selang satu hari. Anemia

yang ditimbulkan pada Plasmodium falciparum diakibatkan semua fase eritrosit terinfeksi,

sehingga manifestasi anemia bisa dijumpai pada infeksi akut maupun kronis. Sedangkan

anemia yang disebabkan Plasmodium vivax hanya menginfeksi eritrosit yang masih muda

saja sehingga infeksi terjadi saat penyakit malaria fase kronis. Manifestasi klinis diatas pada

Plasmodium falciparum merupakan manifestasi malaria berat dengan menemukan tanda –

tanda eritrosit yang mengalami sekuestrasi, ditemukannya knop pada eritrosit, dan

ditemukannya rosette yaitu eritrosit yang berparasit saling bergerombol (Sutanto and Pribadi,

2008).

Penderita malaria falciparum berat biasanya datang dalam keadaan kebingungan atau

mengantuk dan keadaanya sangat lemah. Pada pemeriksaan ditemukan Plasmodium

falciparum stadium aseksual dan ditemukan satu atau lebih dari gejala : malaria otak dengan

koma, anemia normositik berat, gagal ginjal akut, asidosis metabolik dengan gangguan

pernapasan, hipoglikemia, edema akut paru, syok dan sepsis, perdarahan abnormal, kejang

Page 5: BAB 2 Revisi Dr.yunita

9

umum yang berulang, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, ikterus,

haemoglobinuria, dan hyperparasitemia (Sutanto et al., 2008).

Gambar 2.2. Demam intermitten pada malaria (sumber: Maclean, 2011)

1.1.5. Respon Imunologis Manusia Terhadap Gigitan Nyamuk

Manusia memiliki tiga sistem yang efisien untuk meyulitkan hewan hematofagus.

Sistem ini meliputi proses hemotasis, inflamasi, dan imunitas. Hemostasis adalah respon

manusia yang mengontrol kehilangan darah akibat suatu jejas di pembuluh darah yang

meliputi agregasi platelet, koagulasi darah, dan vasokonstriksi. Inflamasi merupakan respon

Page 6: BAB 2 Revisi Dr.yunita

10

yang muncul akibat kerusakan jaringan dengan triple Lewis respon yaitu merah, panas, dan

nyeri. Nyeri yang dihasilkan membuat manusia sadar akan keberadaan penghisap darah.

Sedangkan respon imun manusia terhadap gigitan nyamuk telah dijelaskan oleh Mellanby

sebagai suatu progresifitas yang berawal dari tidak ada reaksi menjadi delayed-type

hypersensitivity (DTH) hingga menjadi immediate-type hypersensitivity dan pada akhirnya

mengalami desensitisasi (Ribiero and Francischetti, 2003).

Rangkaian progresifitas respon imun manusia terhadap gigtan nyamuk melibatkan

beberapa molekul dan reaksi – reaksi. Gigitan nyamuk yang pertama pada manusi akan

dikenali sebagai antigen pada kulit oleh sel dendritik. Sel dendritik yang telah mengenali

antigen ini mengaktifkan dan memperbanyak sel T-DTH. Sel T yang telah mengalami

ekspansi akan menuju ke kumpulan endapan antigen yang baru di kulit. Sirkulasi sel T ini

akan berkumpul mengelilingi endapan antigen yang baru di kulit dan menginisiasi produksi

berbagai macam sitokin yang meliputi interferon-γ. Interferon-γ akan mengaktifkan makrofag

lokal untuk memproduksi TNF-α dan IL-1 yng merupakan mediator nyeri pada inflamasi.

Karena sel – sel tersebut tidak berada di kulit dan harus berakumulasi di pembuluh darah,

TNF-α dan IL-1 membutuhkan puncak 24 jam untuk filtrasi ke endapan antigen dikulit. Oleh

karenya disebut DTH ( Ribiero and Francischetti, 2003).

Paparan terhadap antigen berlanjut dengn adanya aktifasi beberapa sel limfosit baru

untuk memproduksi IgE oleh sel B. Sel Mast merupakan reseptor dari IgE yangberada di

jaringan seperti dermis. Ketika IgE yang beredar dalam sirkulasi darah berikatan reseptor

yang berada di sel Mast, sel Mast akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan zat

vasoaktif. Selai itu, sel mast juga mengeluarkan asam arakidonat dan IL-4 yang menstimulasi

progresifitas respon imun ke dalam respon yang dimediasi oleh sel Th2. Vasoaktif yang

dihasilkan adalah respon cepat dalam waktu beberapa menit, tetapi zat ini mudah dimetabolis

kembali oleh hepar. Setelah 20 -30 menit reaksi yang melibatkan komponen tersebut

berakhir. Untuk manusia, rangkaian respon ini bisa menunjukkan suatu respon terhadap

kehadiran hewan penghisap darah sehingga muncul respon untuk memindahkannya atau

membunuhnya ( Ribiero and Francischetti, 2003).

Manusia memiliki sistem efisien untuk bisa menghambat hewan hemato[hagus seperti

nyamuk, namun pada kenyataannya manusia tekadang terlambat menyadari adanya gigitan

nyamuk. Nyamuk betina memasukkan probosisnya ke dalam kulit dan menembus kapiler

yang ada di sana. Ketika probosis masuk ke dalam kapiler, nyamuk akan mensekresikan

saliva yang berasal dari kelenjar saliva (Sutanto and Pribadi, 2008). Saliva nyamuk

mengandung suatu protein yang dapat menghambat adanya sistem hemostasis dan imun

Page 7: BAB 2 Revisi Dr.yunita

11

manusia (James, 2003). Hal ini yang menyebabkan manusia baru menyadari gigitan nyamuk

stelah nyamuk melepaskan prbosisnya. Reaksi saliva ini yang memberikan kontribusi

terhadap transmisi Plasmodium dari nyamuk masuk ke dalam tubuh manusia pada kasus

malaria (Sutanto and Pribadi, 2008).

1.1.6. Diagosis dan Konsep Penatalaksanaan

Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah.

Parasit dalam darah diperiksa secara laboratoris di bawah mikroskop. Diagnosis dengan

menggunakan mikroskop cahaya memerlukan sediaan hapusan darah tepi dan pewarnaan

Giemsa. Sedian hapusan darah tepi dibagi lagi menjadi hapusan darah tebal dan hapusan

darah tipis. Pada hapusan darah tebal, pemeriksaan parasit dilakukan secara kuantitatif untuk

mengetahui jumlah parasit dalam lapang pandang yang ditentukan. Pada hapusan darah tipis

untk mendapatkan derajat parasitemia, pemeriksaan diawali dengan penghitungan jumlah

eritrosit per lapangan pandang (Sutanto and Pribadi, 2008). Kemudian jumlah parasit stadium

aseksual dihitung paling sedikit 25 lapang pandang mikroskop dan total parasit di hitung

dengan rumus:

Beberapa metode lain telah dikembangkan untuk medeteksi malaria tanpa

menggunakan mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein parasit atau asam nukleat

yang berasal dari parasit yaitu Rapid antigent Detecting Test (RDT) dan hibridisasi RNA atau

DNA. Dasar pemeriksaan RDT adalah immunocromathography pada kertas microsellulose.

Dengan cara ini, berbagai protein parasit yang spesifik dapat dideteksi dari darah di ujung jari

penderita. Sedangkan hibridisasi RNA atau DNA menggunakan pendekatan PCR (Sutanto

and Pribadi, 2008)

Secara garis besar konsep penatalaksanaan malaria menggunakan obat – obat

antimalaria. Klasifikasi obat antimalaria berdasarkan suseptibilitas berbagai stadium

parasitnya, maka obat antimalaria dibagi menjadi 5 golongan yaitu skizontosida primer,

skizontosida jaringan sekunder, skizontosida darah, gametosida, dan sporonosida.

Skizontosida jaringan primer digunakan sebagai profilaksis kausal misalnya proguamil dan

pirimetamin. Skizontosida jaringan sekunder sebagai pengobatan radikal antirelapse antara

Parasit/ = jumlah parasit yang dihitung x jumlah erotrosit /µl darah

µl darah jumlah eritrosit dalam 25 lap. pandang

Page 8: BAB 2 Revisi Dr.yunita

12

lain primakuin. Skizontosida darah membasmi parasit stadium eritrosit dan mengeliminasi

stadium seksual di eritrosit tetapi tidak efektif terhadap gametosit Plasmodium falciparumyang

matang misalnya kina, amodiakuin, golongan artemisin, proguanil, dan pirimetamin. Gametosida

mengeliminasi semua stadium seksual semua spesies misalnya primakuin. Sedangkan golongan

sporontosida bekerja untuk menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan

sporozoit dalam nyamuk Anophelesmisalnya primakuin dan proguanil (Inge and Pribadi, 2008)

Penatalaksanaan malaria di Indonesia saat ini menggunakan pendekatan berbasis terapi

kombinasi (DEPKES RI, 2008). Kombinasi obat malaria adalah pemebrian secara bersamaan dua atau

lebih obat skizontosida darah yang mempunyai cara kerja atau target biokimia yang berbeda.

Kombinasi yang digunakan saat ini di Indonesia adalah berbasis artemisin yang menggunakan derivat

artemisin sebagai salah satu komponen obat kombinasi. Terapi kombinasi berupa fixed combination

dimana semua komponen diformulasikan dalam satu tablet atau kapsul yang sama. Tujuan

penggunaan terapi kombinasi adalah untuk meningkatkan efikasi dan memperlambat terjadinya

resistensi setiap komponen obat tersebut (Inge and Pribadi, 2008).

1.1. Anopheles aconitus Sebagai Vektor Malaria

Nyamuk Anopheles berperan sebagai vektor malaria. Plasmodium sebagai parasit

malaria mengalami siklus hidup seksual di dalam tubuh nyamuk Anopheles. Di dalam tubuh

nyamuk dewasa terdapat perkawinan antara makogametosis dan mikrogamtosis (Harijanto,

2007).

1.1.1. Taksonomi

Malaraia pada manusia hanya dapat ditrasmisikan oleh nyamuk Anopheles (Reid,

J.A., 1968; Bruce-Chwatt, 1980).

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Sub ordo : Nematocera

Famili : Culicidae

Subfamili : Anophellinae

Genus : Anophelles

Spesies : Anopheles aconitus (Reid, J.A., 1968; Bruce-Chwatt, 1980; Prianto et

al., 2006).

Page 9: BAB 2 Revisi Dr.yunita

13

1.1.2. Morfologi

Morfologi telur, larva, pupa, dan nyamuk Anopheles berbeda jika dibandingkan

dengan nyamuk dari golongan Culicines. Telur Anopheles berbentuk oval panjang ,

berukuran 0,5 mm, kedua ujung runcing, dan pada sekeliling bagian tengah terdapat alat

pelampung (Prianto L. A., 2006; Ideham,2009). Telur Anopheles aconitus memiliki panjang

sekitar 0,44 mm dengan sepasang sayap pengapung yang melekat sepanjang kira-kira 0,8 mm

di sisi panjangnya (Nugroho, 2011). Setiap ekor nyamuk betina dapat menghasilkan telur

yang bervariasi yaitu 2-168 butir telur dengan rata-rata 91 butir (Barodji et al., 1985).

Larva Anopheles ysng di tempat perindukanya mengapung sejajar dengan permukaan

air, tidak memiliki sifon, memiliki palamate hair yang berbentuk kipas pada ruas abdomen,

mempunyai dua spirakel berbentuk bulat pada ujung abdomen, dan pada ruas abdomen

terdapat tergalpalate. Kebanyakan Larva memerlukan makanan berupa alga, bakteri, dan

mikroorganisme lainnya di permukaan air. Mereka hanya menyelam di bawah permukaan

jika mereka terganggu. Larva berenang setiap tersentak pada seluruh badan atau bergerak

terus dengan mulut. Habitat Larva ditemukan di daerah yang luas tetapi kebanyakan spesies

lebih suka di air bersih. Larva nyamuk Anopheles ditemukan di air bersih atau air payau yang

memiliki kadar garam rawa bakau, pinggir sungai dan kali, dan genangan air hujanbanyak

spesies lebih suka hidup di habitat dengan tumbuhan. Habitat lainnya lebih suka di alam

terbuka, genangan air yang terkena sinar matahari (Prianto L. A., 2006; Ideham,2009;

Harmendo, 2008). Larva Anopheles aconitus memiliki keunikan yaitu tidak memiliki sifon

sehingga posisinya pararel terhadap permukaan (Nugraha, 2011)

Gambar 3. Telur dan pupa Anopheles aconitus (Sumber: Nugroho, 2011)

Pupa Anopheles terdiri dari delapan segmen tubuh yang mudah digerakkan,

mempunyai paddles pada ujung tubuhnya, dan memiliki respiratory trumpet. Pupa terdapat

di dalam air dan tidak memerlukan makanan namun memerlukan udara. Pupa menetas dalam

Page 10: BAB 2 Revisi Dr.yunita

14

waktu 1 – 2 hari menjadi nyamuk, dan pada umumnya nyamuk jantan menetas lebih dahulu

daripada betina. Lamanya dari proses pertumbuhan dari siklus telur hingga menjadi nyamuk

bergantung pada spesies dan suhu yang mempengaruhi. Nyamuk bisa tubuh dari telur hingga

menjadi nyamuk dewasa paling sedikit membutuhkan waktu sepuluh hari (Prianto L. A.,

2006; Ideham,2009). Pupa Anopheles aconitus dilihat dari samping berbentuk seperti koma.

Kepala dan torak menyatu  menjadi cephalothorax dengan abdomen melengkung. Seperti

halnya larva, pupa seringkali naik ke permukaan air untuk bernafas.Pupa bernafas

menggunakan sepasang alat respirasi berbentuk terompet yang ada di dorsal cephalothorax.

Seteleh beberapa hari, bagian dorsal dari cephalothorax akan sobek dan nyamuk dewasa akan

muncul. Umur pupa pada suhu 23-320C dan  kelembaban  58-85%  rata- rata dua hari

(Barodji et al.. 1985).

Tubuh Anopheles dewasa terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, torak, dan perut. Kepala

nyamuk berfungsi untuk memperoleh informasi dan makan. Informasi didapat oleh nyamuk

melalui antenna yang terdapat pada kepala terutama untuk mendeteksi bau host dari tempat

Gambar 4. Pupa dan kepala nyamuk dewasa Anopheles aconitus (Sumber : Nugroho,

2011)

perindukan dimana nyamuk betina meletakkan telurnya. Torak nyamuk terdapat tiga pasang

kaki dan sepasang kakinya menyatu dengan sayap. Perut merupakan bagian yang berfungsi

untuk mencerna makanan dan mengembangkan telur. Saat menghisap darah, perut nyamuk

betina akan mengembang. Darah tersebut akan dicerna tiap waktu untuk membantu

memberikan sumber protein pada produksi telurnya (Gandahusada, 2004; Harmendo, 2008).

Nyamuk dewasa Anopheles memiliki dua kelenjar saliva yang terletak di bagian

depan thorax di atas kaki depannya dan setiap kelenjar saliva memiliki tiga lobus, yaitu dua

lobus lateral dan satu lobus medial. Lobus medial memiliki ductus yang akan menuju ke

Page 11: BAB 2 Revisi Dr.yunita

15

salivary pump yang berada di dekat hypopharynx. Pada nyamuk Anopheles betina, lobus

lateral dibagi lagi menjadi region proksimal, intermediate, dan distal (Dhar and Khumar,

2003; Gandahusada, 2004).

Perbedaan nyamuk Anopheles jantan dan betina terletak pada bentuk antena, palpus,

dan probosisnya. Pada nyamuk jantan memiliki konstruksi bulu yang lebat dan panjang,

palpus yang juga sama panjang dengan probosis, dan probosis yang membentuk gada pada

ujungnya. Kepala Anopheles betina memiliki antenna dengan bulu yang jarang, panjang

palpus sama dengan probosis, dan probosisnya tidak mengalami pembesaran seperti jantan

(Prianto L. A., 2006; Ideham,2009; Reid, J.A, 968; Bruce-Chwatt, 1980).

Nyamuk Anopheles bisa dibedakan dari nyamuk yang lain dengan melihat posisi

beristirahatnya yang khas, yaitu lebih suka beristirahat dengan posisi peruta berada di udara

daripada sejajar dengan permukaan (Harmendo, 2008). Selain itu sayap Anopheles di bagian

tepinya ditumbuhi sisik yang berkelompok membentuk gambaran belang hitam putih dan

bagian ujung sisik sayap membentuk lengkung. Pada bagian ujung perut Anopheles tidak

seruncing nyamuk Aedes dan tidak setumpul nyamuk Mansonia (Gandahusada, 2004).

Anopheles aconitus pada fase larva memiliki cabang di bagian apeks segment kedua

bagian perut. Pada nyamuk dewasa Anopheles aconitus memiliki proboscis dengan

keseluruhan berwarna hitam.

Gambar 3. Nyamuk dewasa Anopheles aconitus (Sumber : Nugroho, 2011)

1.1.3. Siklus Hidup dan Perilaku

Nyamuk Anopheles mengalami metamorphosis sempurna. Telur yang diletakkan oleh

nyamuk betina, menetas menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit

sebanyak empat kali, lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa jantan

dan betina. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai dewasa

bervariasi antara dua sampai lima minggu bergantung pada spesies, makanan yang tersedia,

dan suhu ruangan (Gandahusada, 2004).

Page 12: BAB 2 Revisi Dr.yunita

16

Pada umumnya Anopheles lebih menyukai darah binatang dan aktif menghisap darah

hosps pada malam hari atau sejak senja samapai dini hari, yaitu antara pukul 23.00 hingga

03.00 pagi (Gandahusada, 2004; Idris-Idram, 2002; Harmendo, 2008). Nyamuk ini

menghisap darah unttuk mempertahankan hidup, nutrisi, dan perkmbangan zygote (Andrade

et al., 2005). Jarak terbang Anopheles biasanya 0,5 – 3 km, dapat dipengaruhi transportasi

dan kencangnya angin. Umur nyamuk dewasa Anopheles di alam bebas belum banyak

diketahui, tetapi di laboratorium dapat mencapai tiga sampai lima minggu (Gandahusada,

2004). Pada musim kemarau, biasanya kepadatan tinggi, namun musim penghujan menurun

karena tempat perkembangbiakan terkena aliran sungai deras akibat air hujan (Harmendo,

2008).

1.2. Transmission Blocking Vaccine (TBV) Malaria

Perkembangan dunia kedokteran terhadap pencegahan malaria saat ini adalah vaksin.

Transmission Blocking Vaccine merupakan salah satu vaksin yang banyak dikembangkan dan

digunakan untuk mengontrol arthropode borne disease(Careter et al, 2000; WHO,2008).

1.2.1. Perkembangan Vaksin Malaria

Malaria sebagai penyakit infeksi dengan angka kematian mencapai 1-2 miliar

penduduk dunia (CDC, 2007). Angka kematian yang tinggi merupakan penyebab WHO

berupaya menurunkan angka tersebut. The WHO Roll Back Malariae Programe adalah salah

satu upaya WHO dalam menangani kasus malaria. Program ini mengoordinasikan

peningkatan penanganan malaria, pencegahan melaluiinsektisida dan kelambu, dan tindakan

kontrol yang lain untuk menurunkan angka mortalitas. Pengembangan obat-obat malaria

merupakan peneltian yang diprioritaskan. Sedangkan pengembangan vaksin malaria hanyalah

sebuah aspek lain dari upaya untuk mengontrol malaria, namun bila vaksin yang efektif telah

ditemukan merupakan prospek yang baik untuk menurunkan angka kematian akibat malaria.

Terdapat tiga tujuan dalam penelitian vaksin malaria ini yaitu, respon imun yang bisa

bertahan lama, mengidentifikasi antigen spesifik terhadap imunitas yang spesisik, dan

keberhasilan dalam mengkombinasi kandidat imunogen (Moorthy et al., 2004).

Pengembangan vaksin malaia harus dapat melindungi dari infeksi malaria dan dapat

menurunkan transmisi malaria (Carter et al., 2000). Kompleksitas dari siklus hidup

Plasmodium sebagai parasit malaria melatarbelakangi munculnya kendala – kendala dalam

pembuatan vaksin. Polimorfisme antigen, antigen – antigen yang kurang kuat sifat

Page 13: BAB 2 Revisi Dr.yunita

17

imunogeniknya, dan keadaan imunosupresi yang diinduks oleh parasit ini menjadi kendala

pada pengembangan vaksin malaria (Donovan et al, 2007).

Pengembangan vaksin hingga saat ini meliputi vaksin malaria fase pre-eritrositik,

vaksin fase darah, dan TBV (Carter et al, 2000). Vaksin fasepre-eritrositik idealnya bisa

menginduksi tingginya titer antibodi yang fungsional sehingga akan melawan sprozoite untuk

mencegah seluruh parasit masuk ke dalam hepar dan menginduksi imunogensitas T-limfosit

sitotoksik yang melawan parasit di hepar (Moorthy et al, 2004). Pengembangan vaksin fase

pre-eritrositik awalnya menggunakan basis pelemahan sprozoit dengan menggunakan radiasi

sinar UV, X-ray, dan sinar gamma. Pengembangan vasin dengan basis ini mengalami banyak

hambatan, diantaranya adalah hambatan untuk mempertahankan agar sporozoit target tetap

hidup, kebutuhan dosis yang tinggi terhadap vaksin uji klinis, peralatan yang dibutuhkan

untuk pembuatan vaksin, dan resiko kontaminasi terhadap sisa sporozoit (Chattopadhyay and

Kumar, 2009).

Vaksin malaria fase darah dikembangkan dalam dua kelas, yaitu antiinvasi dan

antikomplikasi. Vaksin ini dikembangkan untuk mencegah invasi merozoit ke sel darah

merah dan pada akhirnya akan mencegah malaria terjadi. Dalam pengembangannya juga

mengalami rintangan diantaranya, ketersedian manusia sebagai model, limitasi hewan coba,

dan ketidakjelasan korelasi imunologis dalam protekso merozoit. Vaksin malaria fase darah

yang telah dikembangkan adalah berbasis Merozoite Surface Proteine-1 (MSP-1) merupakan

cirikhas antigen dalam invasi. Namun, dalam pengembangannya juga menemui beberapa

kerumitan (Moorthy et al, 2004). Selain kedua vaksin di atas yang dikembangkan, TBV yang

bertujuan untuk mencegah transmisi patogen dari vektor (Moorthy et al, 2004; Carter et al,

2000; WHO,2000; Titus et al, 2005).

Page 14: BAB 2 Revisi Dr.yunita

18

Gambar 5. Vaksin malaria (sumber : Carter dkk.,2000)

1.1.1. Pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV)

Transmission Blocking Vaccine (TBV) adalah vaksin anti-nyamuk yang menjadikan

antigens pada gamet sebagai target (Sharma dan Pathak, 2005). TBV merupakan suatu

strategi yang dirancang untuk mencegah transmisi patogen dari gigitan vector alami yang

terinfeksi. Transmission Blocking Vaccine sering digunakan untuk membangkitkan antibodi

guna melawan molekul vector yang terlibat dalam perkembangan patogen (Chattopadhyay

dan Kumar, 2009).

Pengembangan TBV mengalami perbaikan dari yang berbasis parasit menjadi

berbasis vektor. Transmission Blocking Vaccine yang dikembangkan berbasis parasit

dikembangkan dari antigen permukaan fase seksual Plasmodium falciparum yaitu Pfs25,

Pfs28,Pfs48/45, dan Pfs230 (Sharma dan Pathak, 2005; Targett, 2008; Chattopadhyay dan

Kumar, 2009). Hambatan dari pengembangan TBV malaria berbasis parasit ini adalah

rendahnya respon antibodi terhadap protein permukaan plasmodium dan sulitny mendapatkan

plasmodium sebagai target pembuatan (Kubler-Kielb dkk., 2007; saul dkk., 2007; Wu dkk.,

2008).

Page 15: BAB 2 Revisi Dr.yunita

19

Pengembangan TBV berbasis vektor memiliki fokus penelitian untuk menemukan

kandidat protein dari vektor yang dapat mencegah perkembangan patogen dan berpengaruh

terhadap kehidupan vector. Beberapa penelitian mengatakan bahwa vector yang menghisap

darah dari orang yang telah diimunisasi dengan salah satu molekul dari tubuh vector

menunjukkan terjadinya penurunan kemampuan hidup vector tersebut (Coutinho-Abreu dan

Ramalho-Ortigo, 2010). Transmission Blocking Vaccine saat ini yang sedang

dikembangakan adalah berbasis nyamuk dan memiliki target kelenjar saliva (Chattopadhyay

dan Kumar, 2009; Brennan dkk., 2000; Titus dkk., 2006). Saliva vektor dikembangkan

menjadi TBV karena didalam saliva terdapat protein imunomodulator yang berfungsi sebagai

penghambat aktivasi sel T dan B, factor kemotaktik neutrofil, penghambat inflamasi, sitokin

modulator, antikoagulan, dan penghambat aktivasi kontak plasma sistem (Titus dkk., 2006).

Protein imunomodulator dalam saliva vector terbukti dapat memberikan suatu

rangsangan imun terhadap host sehingga host lebih tahan terhadap patogen yang diinfeksikan

melalui saliva vector. Pernyataan ini didasarkan pada penelitian Cornelie dkk,2007 mengenai

sifat imunogeni protein saliva An. gambieae pada anak Afrika. Pada penelitian tersebut

didapatkan hasil bahwa anak yang telah digigit oleh An. gambieae akan menunjukkan

peningkatan antibodi antisaliva. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Donovan et al., 2007 mengenai paparan gigitan nyamuk Anopheles yang tidak terinfeksi

secara berulang akan memberikan perlindungan terhadap parasit malaria. Pajanan berulang

oleh gigitan nyamuk Anopheles tersebut mengakibatkan peningkatan respon imun yang

diperantarai oleh T-helper 1(TH1). Peningkatan respon imun Th1 akan menyebabkan

perusakan parasit yang berada di dalam saliva. Penelitian – penelitian ini membuktikan

bahwa saliva Anopheles mengandung komponen efektif yang berpotensi dalam pembuatan

vaksin.

1.1.2. Transmission Blocking Vaccine Berbasis Kelenjar Saliva Arthropoda

Pada saat Anopheles menusuk tubuh manusia dan menghisap darah, Anopheles

mengeluarkan saliva dan mentransmisikan sporozoit Plasmodium ke dalam tubuh manusia.

Saliva arthropoda mengandung vasodilator dan imunomodulator yang digunakan untuk

memudahkan arthropoda dalam menghisap darah. Saliva vektor mengandung sejumlah besar

substansi yang mempunyai kemampuan menghambat hemostasis, menghambat

vasokonstriksi, dan imunosupresan (Peng dan Simons, 2004; Andrade dkk., 2005; Titus dkk.,

2006).

Page 16: BAB 2 Revisi Dr.yunita

20

Pembuatan TBV untuk melawan malaria dapat memanfaatkan protein

imunomodulator yang terkandung dalam kelenjar saliva Arthropoda dalam hal ini Anopheles

sebagai target (Brennan dkk., 2000; Chattopadhyay dan Kumar, 2009) karena saliva dalam

transmisi parasit berfungsi sebagai fasilitator melalui efek antikoagulan dan penghambatan

vasokonstriksi. Saliva arthropoda juga memiliki peran menghasilkan antibodi yang spesifik

oleh manusia untuk melawanan komponen dari saliva tersebut dan sebaliknya imunitas host

ini bisa menurunkan infeksi pathogen. Respon ini bisa digunakan sebagai marker adanya

paparan vektor dan juga mendukung adanya kemungkinan untuk pengembangan vaksin anti-

arthropoda (Andrade dkk., 2005).

Page 17: BAB 2 Revisi Dr.yunita

21

1.2. Kerangka Konseptual

Plasmodium

Host

Malaria

Vektor malariaAnopheles aconitus

Kelenjar saliva

Respon imun

Derajat parasitemia

Transmission Blocking Vaccine (TBV)