bab 2 revisi dr.yunita
TRANSCRIPT
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Malaria
1.1.1. Definisi dan Etiologi
Malaria adalah penyakit akibat parasit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk (Dale, et
al., 2005). Malaria yang menyerang manusia diakibatkan oleh protozoa dengan genus
Plasmodium, ordo Cocidiidaae, subordo Haemosporodiidaemasuk ke dalam sistem sirkulasi
manusia. Plasmodiumtidak hanya menginfeksi manusia, tetapi menginfeksi juga binatang
seperti burung, reptil, dan mamalia (Gandahusada, 2004). Spesies Plasmodiumpada manusia
terdapat empat spesies, Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,
Plasmodium malariae (Sutanto and Pribadi, 2008).
Transmisi malaria membutuhkan vektor malariadan Anopheles merupakan vektor
nyamuk penyebab malaria. Anopheles memiliki 80 spesies dan 24 diataranya potensial
sebagai vektor malaria (Dale et al., 2005). Protozoa penyebab malaria hidup di tubuh
Anophelesbetina sebagai tempat perkembangbiakan seksual bagi Plasmodium. Plasmodium
yang banyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (Sutanto and
Pribadi, 2008).
1.1.2. Epidemiologi
Malaria ditemukan 640 lintang utara sampai 320 lintang selatan, dari daerah rendah
400 m dibawah permukaan laut sampai 2600 m di atas permukaan laut. Di Indonesia
penyebab malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur
Indonesia (Sutanto and Pribadi, 2008). Di Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai keutara,
Irian Jaya, dari Lombok samapai NTT, serta Timor Timur merupakan wilayah endemis
malaria Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (Harijanto, 2007).
Situasi malaria di suatu daerah bisa ditentukan melalui kegiatan – kegiatan surveilans
epidemiologi. Pengamatan rutin malaria menggunakan parameter antara lain Annual Parasite
Insidence, Annual Blood examination Rate, Slide Positive Rate, Parasite Formula dan Survey
Malariometrik (Harijanto, 2009)
1.1.3. Siklus Hidup
Daur hidup keempat spesies Plasmodium pada manusia umumnya sama. Proses
tersebut terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles betina
6
dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata (Sutanto and Pribadi, 2008;
Harijanto, 2007). Fase aseksual dibagi menjadi dua daur yaitu daur eritrosit dalam darah
(skizon eritrositik) dan dalam sel parenkim hepar (skizon eksoeritrositik) (Sutanto and
Pribadi, 2008).
Fase aseksual diawali bila nyamuk Anopheles menusukkan probosisnya pada manusia
dan mengeluarkan air liurnya ke hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk
melalui probosis yang ditusukkan ke kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah
dan setelah 0,5 – 1 jam akan masuk dalam sel hepar menjadi trozoit dan berkembang biak.
Proses ini disebut skizogoni preeritrositik. Inti parasit membelah berulang – ulang
membentuk skizon jaringan. Fase aseksual jaringan ini berlangsung beberapa waktu
bergantung pada spesies malaria (Sutanto and Pribadi, 2008).
Fase aseksual dalam darah merupakan fase lanjutan setelah fase aseksual jaringan.
Pada fase akhir pra eritrosit, skizon pecah menjadi merozoit dan masuk ke pembuluh darah.
Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hepar tetapi sebagian difagosit.
Invasi merozoit ini bergantung pada interaksi reseptor di eritrosit, glikoforin, dan merozoit
sendiri. Perkembangan parasit dalam eritrosit menyebabkan perubahan pada eritrosit.
Perubahan ini khas pada setiap spesies parasit. Merozoit yang berhasil masuk ke eritrosit
akan berkembang menjadi fase trozoit yang mencerna hemoglobin. Setelah masa
pertumbuhan, parasit berkembang biak secara aseksual melalui proses pembelahan secara
skizogoni. Inti parasit membelah secara berulang – ulang membentuk scizont. Scizont matang
mengandung bentukan bulat kecil terdiri atas inti dan sitoplasma yang disebut merozoit.
Periodisitas skizogoni berbeda – beda antar spesies, Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale berlangsung selama 48 jam, Plasmodiumfalciparum kurang dari 48 jam, dan
Plasmodium malariaeberlangsung 72 jam. Setelah proses scizogon selesai, eritrosit pecah dan
melepaskan merozoit dalam aliran darah kemudian memasuki eritrosit yang baru. Pada daur
eritrosit, skizogoni berlangsung berulang – ulang selama infeksi dan menimbulkan
parasitemia yang meningkat dengan cepat sampai proses dihambat oleh respon imun hospes
(Sutanto and Pribadi, 2008).
Fase seksual parasit yang terjadi di tubuh nyamuk Anopheles betina bermula ketika
Anopheles menghisap darah hospes manusia yang mengandung parasit malaria. Parasit
malaria mampu bertahan dan berkembang di tubuh nyamuk merupakan fase gametogoni.
Gametosit berasal dari merozoit. Setelah 2 – 3 generasi merozoit terbentuk, sebagian
merozoit akan berubah menjadi gametosit. Setiap spesies memiliki ciri yang berbeda. Setelah
7
dihisap, inti gametosit jantan (mikrogametosit) akan membelah menjadi 4-8 yang masing –
masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel). Flagel yang berukuran 20 – 25
mikron bergerak – gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Proses ini disebut eksflagelasi
yag terjadi dalam beberapa menit pada suhu sesuai dan dapat dilihat melalui mikroskop.
Flagel dan gamet jantan disebut mikrogamet sedangkan makrogametosit mengalami matursi
menjadi makrogamet. Di dalam lambung nyamuk mikrogamet tertarik pada makrogamet
hingga terbentuk zigot. Zigot yang terbentuk pada awalnya bulat dan tidak bergerak, tetapi
dalam waktu 18 – 24 jam menjadi bentuk panang dan dapat bergerakyang disebut ookinet.
Ookinet kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar dan
membentuk ookista. Ookista akan berkembang terus hingga berupa bulatan semi-transparan
mengadung pigmen. Bila pigmen semakin membesar hingga diameternya mencapai 500
mikron dan intinya membelah, ookista pecah dan melepaskan sporozoit yang bias bergerak
ke dalam rongga badan nyamuk sampai mencapai kelenjar saliva. Bila nyamuk menghisap
darah, maka fase aseksual awal akan bermula kembali (Sutanto and Pribadi, 2008).
Gambar 2.1. Siklus hidup parasit malaria (sumber : www.cdc.org)
1.1.4. Patogenesis dan Manifestasi Klinis
Fase aseksual malaria di tubuh hospes intermediet, parasit fase preeritrositik yang
menyerang sel hati biasanya tidak menimbulkan gejala ( Sutanto and Pribadi, 2008). Setelah
8
sporozoit berkembang menjadi merozoit dan menginvasi eritrosit kemudian beredar
sepanjang pembuluh darah. Merozoit ini akan masuk ke dalam lien dan akan mengalami
filtrasi serta fagosit. Semakin banyak eritrosit yang terinfeksi, maka tugas lien yang bertugas
untuk memfagosit akan mengalami peningkatan kerja dan pada akhirnya akan mengalami
splenomegali (Sutanto and Pribadi, 2008).
Pada proses selanjutnya, sebagian merozoit akan lolos dari fagositosis dan kembali
menyerang eritrosit sehingga berlanjut pada perkembangbiakan aseksual. Perusakan eritrosit
oleh parasit, penghambatan pengeluaran retikulosit, hemolisis karena komplek imun, dan
eritrofagositosis akan menyebabkan munculnya manifestasi klinis anemia pada penderita
malaria (Harijanto, 2007; Fauci et al., 2008). Eritrosit yang mengandung Plasmodium akan
mengalami merogoni, pada fase ini akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI
(Glikosilphosphatidininositol) yang akan merangsang sitokin – sitokin seperti TNF-α, IL-1,
IL-3, IL-6, Lymphotoin, dan INF-γ. Sitokin ini yang menyebabkan munculnya manifestasi
demam pada penderita malaria (Harijanto, 2000; RSUD Dr, Soetomo, 2008). Pola demam
pada penderita malaria merupakan demam intermitten yaitu demam pada satu waktu
meninggi hingga 400 c satu waktu berikutnya akan turun hingga mencapai suhu normal
(Sutanto and Pribadi, 2008).
Plasmodium falciparum menimbulkan manifestasi yang lebih berat dibandingkan
jenis Plasmodium yang lain. Demam yang ditimbulkan Plasmodium falciparum terjadi setiap
hari dengan lama proses scizogoni 36 – 48 jam dibandingkan dengan Plasmodium vivax
yang memiliki lama proses scizogoni 48 jam dengan demam terjadi selang satu hari. Anemia
yang ditimbulkan pada Plasmodium falciparum diakibatkan semua fase eritrosit terinfeksi,
sehingga manifestasi anemia bisa dijumpai pada infeksi akut maupun kronis. Sedangkan
anemia yang disebabkan Plasmodium vivax hanya menginfeksi eritrosit yang masih muda
saja sehingga infeksi terjadi saat penyakit malaria fase kronis. Manifestasi klinis diatas pada
Plasmodium falciparum merupakan manifestasi malaria berat dengan menemukan tanda –
tanda eritrosit yang mengalami sekuestrasi, ditemukannya knop pada eritrosit, dan
ditemukannya rosette yaitu eritrosit yang berparasit saling bergerombol (Sutanto and Pribadi,
2008).
Penderita malaria falciparum berat biasanya datang dalam keadaan kebingungan atau
mengantuk dan keadaanya sangat lemah. Pada pemeriksaan ditemukan Plasmodium
falciparum stadium aseksual dan ditemukan satu atau lebih dari gejala : malaria otak dengan
koma, anemia normositik berat, gagal ginjal akut, asidosis metabolik dengan gangguan
pernapasan, hipoglikemia, edema akut paru, syok dan sepsis, perdarahan abnormal, kejang
9
umum yang berulang, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, ikterus,
haemoglobinuria, dan hyperparasitemia (Sutanto et al., 2008).
Gambar 2.2. Demam intermitten pada malaria (sumber: Maclean, 2011)
1.1.5. Respon Imunologis Manusia Terhadap Gigitan Nyamuk
Manusia memiliki tiga sistem yang efisien untuk meyulitkan hewan hematofagus.
Sistem ini meliputi proses hemotasis, inflamasi, dan imunitas. Hemostasis adalah respon
manusia yang mengontrol kehilangan darah akibat suatu jejas di pembuluh darah yang
meliputi agregasi platelet, koagulasi darah, dan vasokonstriksi. Inflamasi merupakan respon
10
yang muncul akibat kerusakan jaringan dengan triple Lewis respon yaitu merah, panas, dan
nyeri. Nyeri yang dihasilkan membuat manusia sadar akan keberadaan penghisap darah.
Sedangkan respon imun manusia terhadap gigitan nyamuk telah dijelaskan oleh Mellanby
sebagai suatu progresifitas yang berawal dari tidak ada reaksi menjadi delayed-type
hypersensitivity (DTH) hingga menjadi immediate-type hypersensitivity dan pada akhirnya
mengalami desensitisasi (Ribiero and Francischetti, 2003).
Rangkaian progresifitas respon imun manusia terhadap gigtan nyamuk melibatkan
beberapa molekul dan reaksi – reaksi. Gigitan nyamuk yang pertama pada manusi akan
dikenali sebagai antigen pada kulit oleh sel dendritik. Sel dendritik yang telah mengenali
antigen ini mengaktifkan dan memperbanyak sel T-DTH. Sel T yang telah mengalami
ekspansi akan menuju ke kumpulan endapan antigen yang baru di kulit. Sirkulasi sel T ini
akan berkumpul mengelilingi endapan antigen yang baru di kulit dan menginisiasi produksi
berbagai macam sitokin yang meliputi interferon-γ. Interferon-γ akan mengaktifkan makrofag
lokal untuk memproduksi TNF-α dan IL-1 yng merupakan mediator nyeri pada inflamasi.
Karena sel – sel tersebut tidak berada di kulit dan harus berakumulasi di pembuluh darah,
TNF-α dan IL-1 membutuhkan puncak 24 jam untuk filtrasi ke endapan antigen dikulit. Oleh
karenya disebut DTH ( Ribiero and Francischetti, 2003).
Paparan terhadap antigen berlanjut dengn adanya aktifasi beberapa sel limfosit baru
untuk memproduksi IgE oleh sel B. Sel Mast merupakan reseptor dari IgE yangberada di
jaringan seperti dermis. Ketika IgE yang beredar dalam sirkulasi darah berikatan reseptor
yang berada di sel Mast, sel Mast akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan zat
vasoaktif. Selai itu, sel mast juga mengeluarkan asam arakidonat dan IL-4 yang menstimulasi
progresifitas respon imun ke dalam respon yang dimediasi oleh sel Th2. Vasoaktif yang
dihasilkan adalah respon cepat dalam waktu beberapa menit, tetapi zat ini mudah dimetabolis
kembali oleh hepar. Setelah 20 -30 menit reaksi yang melibatkan komponen tersebut
berakhir. Untuk manusia, rangkaian respon ini bisa menunjukkan suatu respon terhadap
kehadiran hewan penghisap darah sehingga muncul respon untuk memindahkannya atau
membunuhnya ( Ribiero and Francischetti, 2003).
Manusia memiliki sistem efisien untuk bisa menghambat hewan hemato[hagus seperti
nyamuk, namun pada kenyataannya manusia tekadang terlambat menyadari adanya gigitan
nyamuk. Nyamuk betina memasukkan probosisnya ke dalam kulit dan menembus kapiler
yang ada di sana. Ketika probosis masuk ke dalam kapiler, nyamuk akan mensekresikan
saliva yang berasal dari kelenjar saliva (Sutanto and Pribadi, 2008). Saliva nyamuk
mengandung suatu protein yang dapat menghambat adanya sistem hemostasis dan imun
11
manusia (James, 2003). Hal ini yang menyebabkan manusia baru menyadari gigitan nyamuk
stelah nyamuk melepaskan prbosisnya. Reaksi saliva ini yang memberikan kontribusi
terhadap transmisi Plasmodium dari nyamuk masuk ke dalam tubuh manusia pada kasus
malaria (Sutanto and Pribadi, 2008).
1.1.6. Diagosis dan Konsep Penatalaksanaan
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah.
Parasit dalam darah diperiksa secara laboratoris di bawah mikroskop. Diagnosis dengan
menggunakan mikroskop cahaya memerlukan sediaan hapusan darah tepi dan pewarnaan
Giemsa. Sedian hapusan darah tepi dibagi lagi menjadi hapusan darah tebal dan hapusan
darah tipis. Pada hapusan darah tebal, pemeriksaan parasit dilakukan secara kuantitatif untuk
mengetahui jumlah parasit dalam lapang pandang yang ditentukan. Pada hapusan darah tipis
untk mendapatkan derajat parasitemia, pemeriksaan diawali dengan penghitungan jumlah
eritrosit per lapangan pandang (Sutanto and Pribadi, 2008). Kemudian jumlah parasit stadium
aseksual dihitung paling sedikit 25 lapang pandang mikroskop dan total parasit di hitung
dengan rumus:
Beberapa metode lain telah dikembangkan untuk medeteksi malaria tanpa
menggunakan mikroskop cahaya. Metode ini mendeteksi protein parasit atau asam nukleat
yang berasal dari parasit yaitu Rapid antigent Detecting Test (RDT) dan hibridisasi RNA atau
DNA. Dasar pemeriksaan RDT adalah immunocromathography pada kertas microsellulose.
Dengan cara ini, berbagai protein parasit yang spesifik dapat dideteksi dari darah di ujung jari
penderita. Sedangkan hibridisasi RNA atau DNA menggunakan pendekatan PCR (Sutanto
and Pribadi, 2008)
Secara garis besar konsep penatalaksanaan malaria menggunakan obat – obat
antimalaria. Klasifikasi obat antimalaria berdasarkan suseptibilitas berbagai stadium
parasitnya, maka obat antimalaria dibagi menjadi 5 golongan yaitu skizontosida primer,
skizontosida jaringan sekunder, skizontosida darah, gametosida, dan sporonosida.
Skizontosida jaringan primer digunakan sebagai profilaksis kausal misalnya proguamil dan
pirimetamin. Skizontosida jaringan sekunder sebagai pengobatan radikal antirelapse antara
Parasit/ = jumlah parasit yang dihitung x jumlah erotrosit /µl darah
µl darah jumlah eritrosit dalam 25 lap. pandang
12
lain primakuin. Skizontosida darah membasmi parasit stadium eritrosit dan mengeliminasi
stadium seksual di eritrosit tetapi tidak efektif terhadap gametosit Plasmodium falciparumyang
matang misalnya kina, amodiakuin, golongan artemisin, proguanil, dan pirimetamin. Gametosida
mengeliminasi semua stadium seksual semua spesies misalnya primakuin. Sedangkan golongan
sporontosida bekerja untuk menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan
sporozoit dalam nyamuk Anophelesmisalnya primakuin dan proguanil (Inge and Pribadi, 2008)
Penatalaksanaan malaria di Indonesia saat ini menggunakan pendekatan berbasis terapi
kombinasi (DEPKES RI, 2008). Kombinasi obat malaria adalah pemebrian secara bersamaan dua atau
lebih obat skizontosida darah yang mempunyai cara kerja atau target biokimia yang berbeda.
Kombinasi yang digunakan saat ini di Indonesia adalah berbasis artemisin yang menggunakan derivat
artemisin sebagai salah satu komponen obat kombinasi. Terapi kombinasi berupa fixed combination
dimana semua komponen diformulasikan dalam satu tablet atau kapsul yang sama. Tujuan
penggunaan terapi kombinasi adalah untuk meningkatkan efikasi dan memperlambat terjadinya
resistensi setiap komponen obat tersebut (Inge and Pribadi, 2008).
1.1. Anopheles aconitus Sebagai Vektor Malaria
Nyamuk Anopheles berperan sebagai vektor malaria. Plasmodium sebagai parasit
malaria mengalami siklus hidup seksual di dalam tubuh nyamuk Anopheles. Di dalam tubuh
nyamuk dewasa terdapat perkawinan antara makogametosis dan mikrogamtosis (Harijanto,
2007).
1.1.1. Taksonomi
Malaraia pada manusia hanya dapat ditrasmisikan oleh nyamuk Anopheles (Reid,
J.A., 1968; Bruce-Chwatt, 1980).
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub ordo : Nematocera
Famili : Culicidae
Subfamili : Anophellinae
Genus : Anophelles
Spesies : Anopheles aconitus (Reid, J.A., 1968; Bruce-Chwatt, 1980; Prianto et
al., 2006).
13
1.1.2. Morfologi
Morfologi telur, larva, pupa, dan nyamuk Anopheles berbeda jika dibandingkan
dengan nyamuk dari golongan Culicines. Telur Anopheles berbentuk oval panjang ,
berukuran 0,5 mm, kedua ujung runcing, dan pada sekeliling bagian tengah terdapat alat
pelampung (Prianto L. A., 2006; Ideham,2009). Telur Anopheles aconitus memiliki panjang
sekitar 0,44 mm dengan sepasang sayap pengapung yang melekat sepanjang kira-kira 0,8 mm
di sisi panjangnya (Nugroho, 2011). Setiap ekor nyamuk betina dapat menghasilkan telur
yang bervariasi yaitu 2-168 butir telur dengan rata-rata 91 butir (Barodji et al., 1985).
Larva Anopheles ysng di tempat perindukanya mengapung sejajar dengan permukaan
air, tidak memiliki sifon, memiliki palamate hair yang berbentuk kipas pada ruas abdomen,
mempunyai dua spirakel berbentuk bulat pada ujung abdomen, dan pada ruas abdomen
terdapat tergalpalate. Kebanyakan Larva memerlukan makanan berupa alga, bakteri, dan
mikroorganisme lainnya di permukaan air. Mereka hanya menyelam di bawah permukaan
jika mereka terganggu. Larva berenang setiap tersentak pada seluruh badan atau bergerak
terus dengan mulut. Habitat Larva ditemukan di daerah yang luas tetapi kebanyakan spesies
lebih suka di air bersih. Larva nyamuk Anopheles ditemukan di air bersih atau air payau yang
memiliki kadar garam rawa bakau, pinggir sungai dan kali, dan genangan air hujanbanyak
spesies lebih suka hidup di habitat dengan tumbuhan. Habitat lainnya lebih suka di alam
terbuka, genangan air yang terkena sinar matahari (Prianto L. A., 2006; Ideham,2009;
Harmendo, 2008). Larva Anopheles aconitus memiliki keunikan yaitu tidak memiliki sifon
sehingga posisinya pararel terhadap permukaan (Nugraha, 2011)
Gambar 3. Telur dan pupa Anopheles aconitus (Sumber: Nugroho, 2011)
Pupa Anopheles terdiri dari delapan segmen tubuh yang mudah digerakkan,
mempunyai paddles pada ujung tubuhnya, dan memiliki respiratory trumpet. Pupa terdapat
di dalam air dan tidak memerlukan makanan namun memerlukan udara. Pupa menetas dalam
14
waktu 1 – 2 hari menjadi nyamuk, dan pada umumnya nyamuk jantan menetas lebih dahulu
daripada betina. Lamanya dari proses pertumbuhan dari siklus telur hingga menjadi nyamuk
bergantung pada spesies dan suhu yang mempengaruhi. Nyamuk bisa tubuh dari telur hingga
menjadi nyamuk dewasa paling sedikit membutuhkan waktu sepuluh hari (Prianto L. A.,
2006; Ideham,2009). Pupa Anopheles aconitus dilihat dari samping berbentuk seperti koma.
Kepala dan torak menyatu menjadi cephalothorax dengan abdomen melengkung. Seperti
halnya larva, pupa seringkali naik ke permukaan air untuk bernafas.Pupa bernafas
menggunakan sepasang alat respirasi berbentuk terompet yang ada di dorsal cephalothorax.
Seteleh beberapa hari, bagian dorsal dari cephalothorax akan sobek dan nyamuk dewasa akan
muncul. Umur pupa pada suhu 23-320C dan kelembaban 58-85% rata- rata dua hari
(Barodji et al.. 1985).
Tubuh Anopheles dewasa terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, torak, dan perut. Kepala
nyamuk berfungsi untuk memperoleh informasi dan makan. Informasi didapat oleh nyamuk
melalui antenna yang terdapat pada kepala terutama untuk mendeteksi bau host dari tempat
Gambar 4. Pupa dan kepala nyamuk dewasa Anopheles aconitus (Sumber : Nugroho,
2011)
perindukan dimana nyamuk betina meletakkan telurnya. Torak nyamuk terdapat tiga pasang
kaki dan sepasang kakinya menyatu dengan sayap. Perut merupakan bagian yang berfungsi
untuk mencerna makanan dan mengembangkan telur. Saat menghisap darah, perut nyamuk
betina akan mengembang. Darah tersebut akan dicerna tiap waktu untuk membantu
memberikan sumber protein pada produksi telurnya (Gandahusada, 2004; Harmendo, 2008).
Nyamuk dewasa Anopheles memiliki dua kelenjar saliva yang terletak di bagian
depan thorax di atas kaki depannya dan setiap kelenjar saliva memiliki tiga lobus, yaitu dua
lobus lateral dan satu lobus medial. Lobus medial memiliki ductus yang akan menuju ke
15
salivary pump yang berada di dekat hypopharynx. Pada nyamuk Anopheles betina, lobus
lateral dibagi lagi menjadi region proksimal, intermediate, dan distal (Dhar and Khumar,
2003; Gandahusada, 2004).
Perbedaan nyamuk Anopheles jantan dan betina terletak pada bentuk antena, palpus,
dan probosisnya. Pada nyamuk jantan memiliki konstruksi bulu yang lebat dan panjang,
palpus yang juga sama panjang dengan probosis, dan probosis yang membentuk gada pada
ujungnya. Kepala Anopheles betina memiliki antenna dengan bulu yang jarang, panjang
palpus sama dengan probosis, dan probosisnya tidak mengalami pembesaran seperti jantan
(Prianto L. A., 2006; Ideham,2009; Reid, J.A, 968; Bruce-Chwatt, 1980).
Nyamuk Anopheles bisa dibedakan dari nyamuk yang lain dengan melihat posisi
beristirahatnya yang khas, yaitu lebih suka beristirahat dengan posisi peruta berada di udara
daripada sejajar dengan permukaan (Harmendo, 2008). Selain itu sayap Anopheles di bagian
tepinya ditumbuhi sisik yang berkelompok membentuk gambaran belang hitam putih dan
bagian ujung sisik sayap membentuk lengkung. Pada bagian ujung perut Anopheles tidak
seruncing nyamuk Aedes dan tidak setumpul nyamuk Mansonia (Gandahusada, 2004).
Anopheles aconitus pada fase larva memiliki cabang di bagian apeks segment kedua
bagian perut. Pada nyamuk dewasa Anopheles aconitus memiliki proboscis dengan
keseluruhan berwarna hitam.
Gambar 3. Nyamuk dewasa Anopheles aconitus (Sumber : Nugroho, 2011)
1.1.3. Siklus Hidup dan Perilaku
Nyamuk Anopheles mengalami metamorphosis sempurna. Telur yang diletakkan oleh
nyamuk betina, menetas menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit
sebanyak empat kali, lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa jantan
dan betina. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai dewasa
bervariasi antara dua sampai lima minggu bergantung pada spesies, makanan yang tersedia,
dan suhu ruangan (Gandahusada, 2004).
16
Pada umumnya Anopheles lebih menyukai darah binatang dan aktif menghisap darah
hosps pada malam hari atau sejak senja samapai dini hari, yaitu antara pukul 23.00 hingga
03.00 pagi (Gandahusada, 2004; Idris-Idram, 2002; Harmendo, 2008). Nyamuk ini
menghisap darah unttuk mempertahankan hidup, nutrisi, dan perkmbangan zygote (Andrade
et al., 2005). Jarak terbang Anopheles biasanya 0,5 – 3 km, dapat dipengaruhi transportasi
dan kencangnya angin. Umur nyamuk dewasa Anopheles di alam bebas belum banyak
diketahui, tetapi di laboratorium dapat mencapai tiga sampai lima minggu (Gandahusada,
2004). Pada musim kemarau, biasanya kepadatan tinggi, namun musim penghujan menurun
karena tempat perkembangbiakan terkena aliran sungai deras akibat air hujan (Harmendo,
2008).
1.2. Transmission Blocking Vaccine (TBV) Malaria
Perkembangan dunia kedokteran terhadap pencegahan malaria saat ini adalah vaksin.
Transmission Blocking Vaccine merupakan salah satu vaksin yang banyak dikembangkan dan
digunakan untuk mengontrol arthropode borne disease(Careter et al, 2000; WHO,2008).
1.2.1. Perkembangan Vaksin Malaria
Malaria sebagai penyakit infeksi dengan angka kematian mencapai 1-2 miliar
penduduk dunia (CDC, 2007). Angka kematian yang tinggi merupakan penyebab WHO
berupaya menurunkan angka tersebut. The WHO Roll Back Malariae Programe adalah salah
satu upaya WHO dalam menangani kasus malaria. Program ini mengoordinasikan
peningkatan penanganan malaria, pencegahan melaluiinsektisida dan kelambu, dan tindakan
kontrol yang lain untuk menurunkan angka mortalitas. Pengembangan obat-obat malaria
merupakan peneltian yang diprioritaskan. Sedangkan pengembangan vaksin malaria hanyalah
sebuah aspek lain dari upaya untuk mengontrol malaria, namun bila vaksin yang efektif telah
ditemukan merupakan prospek yang baik untuk menurunkan angka kematian akibat malaria.
Terdapat tiga tujuan dalam penelitian vaksin malaria ini yaitu, respon imun yang bisa
bertahan lama, mengidentifikasi antigen spesifik terhadap imunitas yang spesisik, dan
keberhasilan dalam mengkombinasi kandidat imunogen (Moorthy et al., 2004).
Pengembangan vaksin malaia harus dapat melindungi dari infeksi malaria dan dapat
menurunkan transmisi malaria (Carter et al., 2000). Kompleksitas dari siklus hidup
Plasmodium sebagai parasit malaria melatarbelakangi munculnya kendala – kendala dalam
pembuatan vaksin. Polimorfisme antigen, antigen – antigen yang kurang kuat sifat
17
imunogeniknya, dan keadaan imunosupresi yang diinduks oleh parasit ini menjadi kendala
pada pengembangan vaksin malaria (Donovan et al, 2007).
Pengembangan vaksin hingga saat ini meliputi vaksin malaria fase pre-eritrositik,
vaksin fase darah, dan TBV (Carter et al, 2000). Vaksin fasepre-eritrositik idealnya bisa
menginduksi tingginya titer antibodi yang fungsional sehingga akan melawan sprozoite untuk
mencegah seluruh parasit masuk ke dalam hepar dan menginduksi imunogensitas T-limfosit
sitotoksik yang melawan parasit di hepar (Moorthy et al, 2004). Pengembangan vaksin fase
pre-eritrositik awalnya menggunakan basis pelemahan sprozoit dengan menggunakan radiasi
sinar UV, X-ray, dan sinar gamma. Pengembangan vasin dengan basis ini mengalami banyak
hambatan, diantaranya adalah hambatan untuk mempertahankan agar sporozoit target tetap
hidup, kebutuhan dosis yang tinggi terhadap vaksin uji klinis, peralatan yang dibutuhkan
untuk pembuatan vaksin, dan resiko kontaminasi terhadap sisa sporozoit (Chattopadhyay and
Kumar, 2009).
Vaksin malaria fase darah dikembangkan dalam dua kelas, yaitu antiinvasi dan
antikomplikasi. Vaksin ini dikembangkan untuk mencegah invasi merozoit ke sel darah
merah dan pada akhirnya akan mencegah malaria terjadi. Dalam pengembangannya juga
mengalami rintangan diantaranya, ketersedian manusia sebagai model, limitasi hewan coba,
dan ketidakjelasan korelasi imunologis dalam protekso merozoit. Vaksin malaria fase darah
yang telah dikembangkan adalah berbasis Merozoite Surface Proteine-1 (MSP-1) merupakan
cirikhas antigen dalam invasi. Namun, dalam pengembangannya juga menemui beberapa
kerumitan (Moorthy et al, 2004). Selain kedua vaksin di atas yang dikembangkan, TBV yang
bertujuan untuk mencegah transmisi patogen dari vektor (Moorthy et al, 2004; Carter et al,
2000; WHO,2000; Titus et al, 2005).
18
Gambar 5. Vaksin malaria (sumber : Carter dkk.,2000)
1.1.1. Pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV)
Transmission Blocking Vaccine (TBV) adalah vaksin anti-nyamuk yang menjadikan
antigens pada gamet sebagai target (Sharma dan Pathak, 2005). TBV merupakan suatu
strategi yang dirancang untuk mencegah transmisi patogen dari gigitan vector alami yang
terinfeksi. Transmission Blocking Vaccine sering digunakan untuk membangkitkan antibodi
guna melawan molekul vector yang terlibat dalam perkembangan patogen (Chattopadhyay
dan Kumar, 2009).
Pengembangan TBV mengalami perbaikan dari yang berbasis parasit menjadi
berbasis vektor. Transmission Blocking Vaccine yang dikembangkan berbasis parasit
dikembangkan dari antigen permukaan fase seksual Plasmodium falciparum yaitu Pfs25,
Pfs28,Pfs48/45, dan Pfs230 (Sharma dan Pathak, 2005; Targett, 2008; Chattopadhyay dan
Kumar, 2009). Hambatan dari pengembangan TBV malaria berbasis parasit ini adalah
rendahnya respon antibodi terhadap protein permukaan plasmodium dan sulitny mendapatkan
plasmodium sebagai target pembuatan (Kubler-Kielb dkk., 2007; saul dkk., 2007; Wu dkk.,
2008).
19
Pengembangan TBV berbasis vektor memiliki fokus penelitian untuk menemukan
kandidat protein dari vektor yang dapat mencegah perkembangan patogen dan berpengaruh
terhadap kehidupan vector. Beberapa penelitian mengatakan bahwa vector yang menghisap
darah dari orang yang telah diimunisasi dengan salah satu molekul dari tubuh vector
menunjukkan terjadinya penurunan kemampuan hidup vector tersebut (Coutinho-Abreu dan
Ramalho-Ortigo, 2010). Transmission Blocking Vaccine saat ini yang sedang
dikembangakan adalah berbasis nyamuk dan memiliki target kelenjar saliva (Chattopadhyay
dan Kumar, 2009; Brennan dkk., 2000; Titus dkk., 2006). Saliva vektor dikembangkan
menjadi TBV karena didalam saliva terdapat protein imunomodulator yang berfungsi sebagai
penghambat aktivasi sel T dan B, factor kemotaktik neutrofil, penghambat inflamasi, sitokin
modulator, antikoagulan, dan penghambat aktivasi kontak plasma sistem (Titus dkk., 2006).
Protein imunomodulator dalam saliva vector terbukti dapat memberikan suatu
rangsangan imun terhadap host sehingga host lebih tahan terhadap patogen yang diinfeksikan
melalui saliva vector. Pernyataan ini didasarkan pada penelitian Cornelie dkk,2007 mengenai
sifat imunogeni protein saliva An. gambieae pada anak Afrika. Pada penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa anak yang telah digigit oleh An. gambieae akan menunjukkan
peningkatan antibodi antisaliva. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Donovan et al., 2007 mengenai paparan gigitan nyamuk Anopheles yang tidak terinfeksi
secara berulang akan memberikan perlindungan terhadap parasit malaria. Pajanan berulang
oleh gigitan nyamuk Anopheles tersebut mengakibatkan peningkatan respon imun yang
diperantarai oleh T-helper 1(TH1). Peningkatan respon imun Th1 akan menyebabkan
perusakan parasit yang berada di dalam saliva. Penelitian – penelitian ini membuktikan
bahwa saliva Anopheles mengandung komponen efektif yang berpotensi dalam pembuatan
vaksin.
1.1.2. Transmission Blocking Vaccine Berbasis Kelenjar Saliva Arthropoda
Pada saat Anopheles menusuk tubuh manusia dan menghisap darah, Anopheles
mengeluarkan saliva dan mentransmisikan sporozoit Plasmodium ke dalam tubuh manusia.
Saliva arthropoda mengandung vasodilator dan imunomodulator yang digunakan untuk
memudahkan arthropoda dalam menghisap darah. Saliva vektor mengandung sejumlah besar
substansi yang mempunyai kemampuan menghambat hemostasis, menghambat
vasokonstriksi, dan imunosupresan (Peng dan Simons, 2004; Andrade dkk., 2005; Titus dkk.,
2006).
20
Pembuatan TBV untuk melawan malaria dapat memanfaatkan protein
imunomodulator yang terkandung dalam kelenjar saliva Arthropoda dalam hal ini Anopheles
sebagai target (Brennan dkk., 2000; Chattopadhyay dan Kumar, 2009) karena saliva dalam
transmisi parasit berfungsi sebagai fasilitator melalui efek antikoagulan dan penghambatan
vasokonstriksi. Saliva arthropoda juga memiliki peran menghasilkan antibodi yang spesifik
oleh manusia untuk melawanan komponen dari saliva tersebut dan sebaliknya imunitas host
ini bisa menurunkan infeksi pathogen. Respon ini bisa digunakan sebagai marker adanya
paparan vektor dan juga mendukung adanya kemungkinan untuk pengembangan vaksin anti-
arthropoda (Andrade dkk., 2005).
21
1.2. Kerangka Konseptual
Plasmodium
Host
Malaria
Vektor malariaAnopheles aconitus
Kelenjar saliva
Respon imun
Derajat parasitemia
Transmission Blocking Vaccine (TBV)