bab 2 acc (finish)

32
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Hakekat Persepsi Masyarakat a. Pengertian Persepsi Masyarakat Sejak individu dilahirkan, saat itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung menerima stimulus atau rangsangan dari luar di samping dari dalam dirinya sendiri. Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya. Persepsi merupakan suatu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Stimulus yang di indera itu oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang di indera itu (Bimo Walgito, 1977: 53). Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, dan penilaian. Persepsi selalu melibatkan aktivitas manusia terhadap obyek tertentu, sehingga persepsi selalu menggambarkan pengalaman manusia tentang obyek dan peristiwa yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang obyek tersebut. Persepsi itu tidak akan lepas dari peristiwa, obyek, dan lingkungan di sekitarnya, 11

Upload: kastoto

Post on 11-Jun-2015

627 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Hakekat Persepsi Masyarakat

a. Pengertian Persepsi Masyarakat

Sejak individu dilahirkan, saat itu pula individu secara langsung

berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung

menerima stimulus atau rangsangan dari luar di samping dari dalam dirinya

sendiri. Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya.

Persepsi merupakan suatu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh

individu melalui alat reseptornya. Stimulus yang di indera itu oleh individu

diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan

mengerti tentang apa yang di indera itu (Bimo Walgito, 1977: 53).

Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, dan penilaian.

Persepsi selalu melibatkan aktivitas manusia terhadap obyek tertentu, sehingga

persepsi selalu menggambarkan pengalaman manusia tentang obyek dan peristiwa

yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan

tentang obyek tersebut. Persepsi itu tidak akan lepas dari peristiwa, obyek, dan

lingkungan di sekitarnya, sehingga tercapai komunikasi antara manusia dengan

lingkungannya. Persepsi merupakan proses internal yang dilakukan untuk

memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan

eksternal. Dengan kata lain persepsi adalah cara seseorang untuk mengubah

energi–energi fisik lingkungan menjadi pengalaman yang bermakna (Deddy

Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2002: 25-26).

Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda–beda dalam

menanggapi suatu obyek. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman

atau lingkungan, maka persepsi dapat berubah–ubah sesuai dengan suasana hati,

cara belajar, dan keadaan jiwa (Jalaluddin Rakhmat, 2002: 56). Jadi persepsi itu

tergantung pada proses berpikir atau kognitif seseorang, sehingga persepsi akan

selalu berubah setiap saat. Perubahan itu tergantung pada kemampuan selektivitas

11

informasi yang diterima setelah diolah ternyata bermakna positif maka seseorang

mendukung informasi yang diterima, tetapi bila negatif maka yang terjadi

sebaliknya.

Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut Society, asal katanya Socius

yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek,

artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk–bentuk

akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan

oleh unsur–unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan

kesatuan. (Ahmadi, 2003: 200)

Bagaimanakah kata masyarakat didefinisikan dalam sosiologi? Marion

Levy (Inkeles, 1965) mengemukakan empat kriteria yang perlu dipenuhi agar

suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan

melebihi masa hidup seorang individu, (2) rekruitmen seluruh atau sebagian

anggota melalui reproduksi, (3) kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama

bersama”, (4) adanya sistem tindakan utama yang bersifat “swasembada”. Inkeles

mengemukakan bahwa suatu kelompok dinamakan masyarakat bila kelompok

tersebut memenuhi keempat kriteria tersebut, atau bila kelompok tersebut dapat

bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun sama sekali tidak ada orang

atau kelompok lain di luar kelompok tersebut.

Seorang tokoh sosiologi modern, Talcott Parsons (1968), merumuskan

kriteria bagi adanya masyarakat. Menurutnya masyarakat ialah suatu sistem sosial

yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan

merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap

generasi berikutnya.

Seorang tokoh sosiologi modern lain, Erdward Shils, juga menekankan

pada aspek pemenuhan keperluan sendiri (self-sufficiency) yang dibaginya dalam

tiga komponen : pengaturan diri (self-regulation), reproduksi sendiri (self-

reproduction), dan penciptaan diri (self-generation). Dari berbagai perumusan ini

dapat dilihat bahwa konsep masyarakat mempunyai makna khusus, dan berbeda

dengan penggunaan kata masyarakat dalam bahasa sehari–hari, dalam sosiologi

12

tidak semua kelompok dapat disebut masyarakat (Prof Dr Kamanto Sunarto,

2004: 54).

Menurut Niniek Sri Wahyuni dalam bukunya Manusia dan Masyarakat

(2005: 23), objek sosiologi adalah masyarakat (society) yang dilihat dari sudut

hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di

dalam masyarakat. Untuk memahami konsep ini biasanya orang akan mengaitkan

dengan tempat tinggal, misalnya masyarakat di desa atau masyarakat di kota.

Unsur–unsur dalam masyarakat mencakup hal–hal berikut ini :

1) Manusia bukan hidup sendiri–sendiri tetapi hidup bersama

2) Setiap individu sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan

3) Masyarakat hidup bersama

4) Bercampur untuk jangka hidup waktu yang lama

Dilihat dari unsur–unsur di atas dapat diberikan sebuah contoh. Keluarga

merupakan masyarakat yang paling kecil yang terdiri dari suami dan istri, di mana

ada sistem interaksi yang mengatur hubungan di antara mereka dan ada

pembagian kerja yang biasanya disesuaikan dengan adat setempat.

Masyarakat tidak hanya dipandang sebagai kumpulan individu atau

penjumlahan dari individu–individu akan tetapi masyarakat merupakan suatu

pergaulan hidup karena manusia itu hidup secara bersama. Setiap manusia dalam

masyarakat tersebut masing–masing mempunyai persepsi yang berbeda – beda

dalam menanggapi suatu obyek. Namun tidak menutup kemungkinan ada

sejumlah individu yang mempunyai persepsi yang sama terhadap suatu obyek,

keseluruhan persepsi tersebut termasuk ke dalam persepsi masyarakat.

Jadi persepsi masyarakat adalah keseluruhan atau rata–rata persepsi

individu terhadap suatu obyek yang kurang lebih mempunyai persepsi yang sama.

Kesamaan–kesamaan tersebut biasanya diwujudkan ke dalam pengakuan bersama

terhadap suatu obyek, misalnya memakai simbol, tanda–tanda, dan bahasa–bahasa

verbal dan non verbal yang sama (Alo Liliweri, 2001: 113).

Persepsi masyarakat terhadap suatu obyek merupakan landasan pokok bagi

timbulnya perilaku dari masing–masing individu dalam setiap kegiatan. Makna

positif dan negatif sebagai hasil persepsi masyarakat terhadap suatu obyek sangat

13

tergantung dari bentuk dan proses interaksinya. Masing–masing individu

mempunyai persepsi yang berbeda dalam menanggapi suatu obyek. Kemudian

masing–masing individu akan melakukan proses pertukaran persepsi di antara

masing–masing individu. Proses pertukaran persepsi tersebut dapat berlangsung

antara individu yang tergabung dalam komunitas tertentu.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi

masyarakat timbul karena adanya persepsi dari masing–masing individu di mana

persepsi dari masing–masing individu tersebut terhadap suatu obyek dikumpulkan

menjadi satu sehingga timbullah suatu persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat

merupakan proses mengamati obyek melalui indera kemudian diorganisasikan dan

diinterpretasikan melalui bentuk–bentuk rangsangan suatu obyek atau peristiwa

berdasarkan latar belakang masing–masing individu sehingga tercapai komunikasi

antara manusia dengan obyek.

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi masyarakat, yaitu pengalaman, proses belajar, dan

pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar memberikan bentuk dan

struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuan manusia memberikan

inti terhadap obyek psikologi tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul

ide-ide dan konsep mengenai apa yang dilihat.

Persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik sangat

beranekaragam, dimana setiap individu di Surakarta mempunyai persepsi atau

pandangan yang berbeda-beda mengenai seni batik klasik tersebut. Persepsi dari

masing-masing individu di Surakarta kemudian dikumpulkan menjadi satu

sehingga muncullah suatu persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik

klasik, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan jika suatu saat persepsi dari

masyarakat Surakarta tersebut mengalami perubahan.

14

2. Kebudayaan

a. Pengertian kebudayaan

Secara sosiologis lingkungan budaya merupakan lingkungan sosial. Hal ini

disebabkan karena kebudayaan merupakan hasil karya, hasil cipta dan hasil rasa

yang didasarkan pada karsa. Dengan demikian maka lingkungan budaya terdiri

dari aspek materiil dan spiritual. Aspek spiritual dari lingkungan budaya pada

dasarnya berintikan pada nilai–nilai. Suatu nilai merupakan pandangan yang baik

atau buruk mengenai sesuatu. Biasanya nilai–nilai itu timbul dari pengalaman

interaksi. Dari proses interaksi dengan pihak–pihak lain itu, manusia akan

mendapatkan pandangan tertentu mengenai interaksi tersebut.

Yang dimaksud dengan kebudayaan itu sendiri dalam arti yang sempit

adalah sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia karena kebudayaan itu muncul

dari kebiasaan dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat pada

suatu lingkungan.

Apabila ditinjau dari segi bahasa (etimologis) kebudayaan berasal dari

bahasa Sansekerta “budhaya” yang berarti akal, hal ini sesuai dengan apa yang

dikemukakan Koentjaraningrat (1981 : 181) yang mengatakan bahwa “budaya

berasal dari bahasa Sansekerta ‘budhaya’, kata ini adalah bentuk jamak dari

“budhi” yang berarti “budi atau akal”. Kata “budi” sering dirangkaikan dengan

“akal” sehingga menjadi akal budi yang mempunyai arti kepandaian. Dari

pengertian di atas maka kebudayaan selalu berkaitan dengan tingkah laku manusia

karena hanya manusia yang berkebudayaan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang

paling sempurna, yang mempunyai akal budi sejak dilahirkan. Akal budi dan jiwa

inilah yang membedakan manusia dari ciptaan Tuhan yang lainnya, misalnya

manusia mempunyai jiwa mempunyai pula kebudayaan, sedangkan yang lainnya

tidak mempunyai jiwa ataupun kebudayaan. Dengan demikian yang membedakan

manusia dengan makhluk Tuhan yang lain adalah jiwa dan perbedaan konkritnya

adalah kebudayaan.

Kebudayaan menurut Sidi Gazalba (1980 : 12) adalah sebagai cara berfikir

(cipta) dan merasa (karsa) yang menyatukan dari dalam sebuah segi kehidupan

sekelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam suatu ruang dan suatu

15

waktu. Selo Sumarjan (1980: 50) mengartikan kebudayaan sebagai hasil cipta,

rasa, karya masyarakat yang dipimpin dan diarahkan oleh karsa. Yang dimaksud

dengan cipta adalah proses yang memakai daya pikir, rasa yaitu kemampuan

untuk menggerakkan indera dan hati, dan karya adalah keterampilan alat–alat

tubuh. Sedangkan batasan–batasan lain tentang kebudayaan juga dikemukakan

oleh S. Budi Santoso (1985 : 45) yang mendefinisikan kebudayaan sebagai

berikut:

Kebudayaan sebagai suatu pengetahuan, pilihan hidup dan suatu praktek komunikasi dari perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, perasaan dan kemauan yang bersumber pada budi (luhur) manusia dalam mengelola cipta, rasa dan karsa serta mengungkapkan identitas kemanusiaannya dalam rangka memilih dan merencanakan tanggapan untuk pelaksanaan kegiatan yang mengarah pada tujuan hidup.

Kebudayaan menurut C. Kluckhohn yang dikutip oleh Clifford Geertz

(1992 : 4-5) adalah sebagai :

(1) Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, (3) Suatu cara berpikir, merasa dan percaya, (4) Suatu abstraksi dari tingkah laku, (5) Suatu teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya bertingkah laku, (6) Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar, (7) seperangkat orientasi–orientasi standar pada masalah–masalah yang sedang berlangsung, (8) Tingkah laku yang dipelajari, (9) Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif, (10) Seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar maupun dengan orang–orang lain.

R. Soekmono (1983 : 17) mengartikan kebudayaan sebagai dimensi

manusia dari manusia itu sendiri, artinya kebudayaan manusia terwujud dari

perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan sebagai

ciptaan manusia dibedakan menjadi dua segi, yaitu : (1) Segi kebudayaan yang

meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasilnya

dapat diraba oleh tangan manusia, (2) Segi kerohanian tidak dapat diraba hanya

dapat dipahami lewat dengan keagamaan, kesenian dan kemasyarakatan.

Sedangkan Koentjaraningrat (1981: 186-187), berpendapat bahwa apabila

ditinjau dari wujudnya, maka kebudayaan paling sedikit memiliki tiga wujud

yaitu:

16

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide–ide, gagasan, nilai–

nilai, norma–norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini

adalah wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak, tidak dapat

dirasa dan diphoto.

2) Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta berpola dari

manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini disebut sistem

sosial mengenai tindakan yang berpola dari manusia itu sendiri.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda–benda hasil karya manusia. Wujud

kebudayaan ini disebut juga kebudayaan fisik, aktivitas, perbuatan dan

karya manusia dalam masyarakat. Maka sifatnya paling konkrit dan

berupa benda–benda yang dapat diraba, dilihat dan diphoto.

Selain memiliki wujud sebagai suatu kompleks ide, kompleks aktivitas dan

benda–benda, kebudayaan menurut Koentjaraningrat yang dikutip M. Suprihadi

(1982) juga mempunyai unsur–unsur universal. Suatu unsur universal artinya

bahwa unsur–unsur yang terkandung dalam kebudayaan tersebut dapat ditemukan

dimanapun di dunia, baik yang kecil maupun yang besar dan kompleks dengan

suatu jaringan yang cukup luas. Unsur–unsur universal tersebut sekaligus

merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini yaitu ; (1) Sistem

religi, (2) Sistem organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa,

(5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian, (7) Sistem teknologi dan peralatan.

Dari ketujuh unsur di atas, ada yang mudah berubah dan ada yang sulit

untuk mengadakan perubahan. Unsur religi merupakan salah satu unsur

kebudayaan yang sulit sekali untuk mengadakan perubahan sebab religi

merupakan unsur yang hakiki dalam diri manusia. Manusia dengan

kebudayaannya selalu berkembang, berproses atau menyejarah. Demikian pula

cabang–cabang budayanya terus berkembang dan mengalami perubahan–

perubahan baik lambat ataupun cepat. Perubahan kebudayaan menurut R.

Soekmono (1983) disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam dan dari

luar. Yang dimaksud dengan faktor dari dalam adalah merupakan faktor–faktor

yang berasal dari manusia itu sendiri sebagai pendukung kebudayaan, sedangkan

faktor–faktor dari luar yaitu merupakan faktor–faktor yang berasal dari alam, yang

17

bisa berupa gunung meletus dan lain–lain. Kedua faktor tersebut menyebabkan

perubahan kebudayaan, baik akan mengakibatkan semakin berkembangnya

kebudayaan atau bahkan akan menjadikan kebudayaan itu runtuh.

M. Suprihadi (1982), membagi ciri–ciri kebudayaan menjadi tiga yaitu :

(1) Kebudayaan itu bersifat menyejarah dan kebudayaan manusia berkembang dan

senantiasa berjalan terus, (2) Kebudayaan itu berada dan berkembang dalam ruang

geografis tertentu. Dalam hal ini ada kebudayaan Jawa, Batak dan lain–lain, (3)

Kebudayaan itu berpusat pada perwujudan nilai–nilai tertentu.

Kebudayaan nasional dalam penjelasan UUD 1945 pasal 32 adalah

kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya termasuk

kebudayaan lama dan asli sebagai puncak kebudayaan daerah–daerah seluruh

Indonesia terhitung sebagai kebudayaan harus merupakan budaya yang menuju ke

arah kemajuan, adab, budaya, persatuan dengan tidak menolak bahan–bahan baru

dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan

bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia. Kebudayaan

daerah berpuncak pada budaya yang mempunyai nilai–nilai budaya yang bermutu

tinggi dan berasal dari kehidupan masyarakat di Indonesia. Kebudayaan

tradisional seharusnya mempunyai tujuan memperdalam identitas karena dengan

adanya identitas, kebudayaan dapat berkembang dan melahirkan kebudayaan

baru.

b. Kebudayaan Jawa

Lahir dan berkembangnya kesenian tradisional Jawa tidak dapat

dilepaskan dari proses perkembangan kebudayaan Jawa. Sebenarnya tidak saja

berlangsung secara harmoni tetapi penuh pula dengan berbagai konflik. Secara

historis akar konflik kebudayaan Jawa berupa pertentangan budaya antara :

1) Budaya pedalaman dengan budaya pesisiran.

2) Budaya Karaton Mataram dengan budaya rakyat.

3) Budaya santri dengan budaya abangan.

Ketiga konflik ini terjadi bersama-sama, saling terkait, dan saling

mempengaruhi. Namun dalam hal ini penulis akan lebih menjelaskan tentang

18

pertentangan budaya yang ke dua, yakni Pertentangan antara budaya Karaton

dengan budaya rakyat.

Perbenturan budaya pesisir dan pedalaman melahirkan konflik budaya

baru, yakni budaya tradisional/rakyat dengan budaya karaton. Ini terjadi ketika

budaya pedalaman semakin kokoh dan kekuasaan Mataram membuat benteng

budaya baru berupa keraton dan pembagian daerah keraton.

Karaton merupakan sentrum dan daerah yang lain misalnya mancanegari,

brang wetan, pesisiran, dan lain-lain dianggap sebagai kesenian 'resmi' dan

adiluhung, sedangkan kesenian lain di luar wilayah karaton dianggap sebagai seni

pinggiran yang secara estetis dan etik di bawah kesenian karaton.

Kesenian dalam kosmologis karaton merupakan kesenian yang mengalami

sofistikasi, perumitan, pecanggihan, sekaligus pensakralisasian. Kesenian karaton

menjadi kesenian yang mengambil jarak sedemikian rupa dengan varian

kebudayaan dan masyarakat di luar karaton. Masyarakat di luar karaton dianggap

tabu untuk menyelenggarakan atau melakukan kesenian produk karaton. Tari

bedhaya misalnya, merupakan tarian sakral yang hanya boleh dilakukan,

dipentaskan, dan ditonton oleh pihak karaton, yang merupakan penguasa.

Tari bedhaya sebagai kreasi kesenian karaton memformulasikan diri

sebagai sesuatu yang serba halus, hati-hati, selaras, dan teratur. Karena itu, sangat

menutup kemungkinan adanya improvisasi. Kesenian di luar wilayah karaton

menemukan tandingannya dengan munculnya kesenian-kesenian baru yang

terutama sekali menemukan lahan subur di wilayah pengaruh budaya pesisiran.

Muncul kesenian-kesenian rakyat yang merupakan produk dari sistem

masyarakat grass-root yang menafikan keteraturan, kecanggihan, dan kerumitan

yang menjadi ciri kebudayaan karaton. Timbul kesenian-kesenian seperti tayub,

ledek, janger, tandak, ronggeng, dan sejenisnya. Kehalusan, kerumitan, dan

keteraturan yang menjadi standar estetika budaya karaton dilawan dengan

kebebasan, keekspresifan, dan kebebasan improvisasi.

Kesenian karaton yang bersikap tertutup dan mensyaratkan suasana yang

19

khusus, maka kebalikannya kesenian rakyat atau pesisiran berlangsung dengan

suasana pesta dan hiruk-pikuk yang kemudian menghadirkan suasana yang serba

permisif. Dengan demikian estetika kesenian rakyat atau pesisiran secara sadar

mendudukkan dirinya sebagai kesenian atau kebudayaan massa.

Kebudayaan karaton juga memunculkan fenomena baru di mana pihak

penguasa dapat mensahkan kehadiran seorang kreator seni sebagai abdi atau

pegawai karaton (penguasa). Hal ini dapat dilihat dengan munculnya pujangga

karaton yang digaji untuk berkarya. Produk-produk sastra kapujanggan seperti

misalnya Wedhatama, Tripama, dan serat-serat Ronggowarsito merupakan produk

karaton yang isinya hampir semuanya menceritakan dan mengatur perilaku rakyat

terhadap penguasa atau perilaku penguasa terhadap rakyat. Pada titik ini kesenian

karaton lebih menekankan kesenian atau estetika dalam bingkai politis dan

filosofis, sedangkan kesenian rakyat (pesisiran) lebih menekankan pada fungsi

ekonomis (www.karatonsurakarta.com/kebudayaanjawa)

1) Kebudayaan Karaton Mataram

Kerajaan Mataram didirikan pada abad ke-8 oleh Sanjaya. Selama kurang

lebih dua abad lamanya, kerajaan ini mengalami kejayaan dan menguasai seluruh

wilayah Jawa Tengah, sebagian Sumatera, dan Bali. Sekitar abad ke-10 kekuasaan

Mataram semakin menyusut dan tenggelam di antara kerajaan lain, seperti

Majapahit, Demak, dan Pajang. Baru sekitar abad ke-15 kerajaan ini bangkit lagi,

dan sempat mengalami kejayaan kembali di bawah pemerintahan Sultan Agung.

Sejak berdiri pada abad ke-8, kerajaan Mataram sudah dipengaruhi oleh

kebudayaan Hindu karena Sanjaya sebagai raja pertama menganut agama Hindu.

Baru setelah Mataram bangkit kembali di abad ke-15, Senopati sebagai raja

pertama ketika itu menganut Islam. Akulturasi antara kebudayaan Jawa, Hindu,

dan Islam mendominasi kehidupan tradisi Mataram seperti yang masih dapat kita

lihat sampai sekarang.

Pada pertengahan abad ke-18, Mataram kembali mengalami kemunduran

akibat perpecahan di antara kerabat raja sendiri. Soekmono (1983: 69-70) menulis

tentang hal itu, yakni sebagai berikut :

20

“Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan tahta, yang akhirnya mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sempit itu (sejak tahun 1743 hanya tinggal daerah Bagelen, Kedu, Surakarta, dan Yogyakarta saja) menjadi kerajaan Surakarta dengan Paku Buwono III dan Yogyakarta dengan Hamengku Buwono I, yaitu menurut perjanjian Gianti dalam tahun 1754. Dua tahun kemudian daerah Surakarta malahan dibagi lagi antara Paku Buwono III dan Mangkunegoro I. ...tahun 1812 daerah Yogyakarta dibagi antara Hamengku Buwono I dengan Paku Alam I, sehingga pada masa itu Mataram memiliki 4 buah Karaton yang terpisah.”

Karaton Paku Buwono III menempati desa Sala yang terletak di tepi

sungai Bengawan Sala, sedangkan Karaton Mangkunegoro I terletak di sebelah

barat laut Karaton Paku Buwono III, yaitu di tepi sungai Pepe. Daerah Karaton

Paku Buwono, atau lebih dikenal sebagai Kasunanan dan sekitarnya, yang

digabung dengan daerah Karaton Mangkunegoro dan sekitarnya, seluruhnya

disebut Hing Soera Karta Adiningrat atau sekarang kota Surakarta. Di tempat

itulah Karaton Kasunanan dan Mangkunegara kemudian didirikan, sebagian

penduduk aslinya bekerja sebagai abdi dalem, dari pengurus karaton, pelayan raja

dan keluarganya, pengawal dan prajurit, sampai pembatik karaton. Para pembatik

ini membuat batik hanya untuk keperluan lingkungan karaton. Pada masa itulah,

yakni sekitar abad ke-18 batik mengalami penyempurnaan dalam teknik

pembuatan karena mulai dikerjakan dengan canting yang dapat menghasilkan

motif rumit dan halus. Sebelumnya, batik dikerjakan dengan sepotong bambu

yang dihaluskan pada bagian ujungnya untuk memindahkan malam panas ke

permukaan kain (Darsiti Soeratman, 1989).

Setiap karaton memiliki pembatik yang memberikan ciri khas pada

batiknya. Mengenai pembuatan motif batik pada masa kejayaan Mataram itu,

Hardjonagoro dalam bukunya Batik Tradisional Selayang Pandang mengatakan :

“Di zaman Mataram berjaya, tidak sembarang orang boleh menciptakan motif batik. Penciptaan motif harus atas perintah raja atau pejabat tinggi kerajaan yang diberi wewenang untuk itu. Si pencipta, yaitu pembatik Karaton yang ditugaskan untuk menciptakan motif, mencari ilham dengan melalui beberapa tahap membersihkan diri, seperti semedi, doa dan puasa, mutih.”

21

Karena proses penciptaan motif yang tidak sembarang itulah, kalangan

karaton pada khususnya, dan masyarakat yang mengerti adat istiadat karaton pada

umumnya, sungguh-sungguh mematuhi aturan pemakaian batik tradisi.

Ciri khas yang terdapat pada batik karaton, seperti di Karaton Kasunanan

pada umumnya adalah penggunaan motif tumbuhan pola ceplok dan warna soga,

dan di Karaton Mangkunegara umumnya penggunaan motif tumbuhan pola semen

dan warna kekuningan. Batik tersebut kemudian banyak ditiru oleh pembatik di

luar karaton, khususnya para pengusaha.

2) Kebudayaan Rakyat.

Setelah Mataram tidak lagi mempunyai kekuasaan politik di sekitar tahun

1930-an, sebagian besar kegiatannya, termasuk membatik, berubah menjadi

kegiatan berdagang. Hubungan dagang antara wilayah Surakarta dan sekitarnya,

terutama wilayah pesisir, banyak berpengaruh terhadap perkembangan usaha batik

di Surakarta.

Setelah pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, yang

menyebabkan kegiatan batik berhenti sesaat, memunculkan ide untuk

menggiatkan kembali usaha batik melalui berbagai upaya yang antara lain,

menggabungkan motif tradisi Surakarta dengan warna batik pesisir. Upaya ini

dipelopori oleh Hardjonagoro, dan hasilnya dikenal sebagai ‘batik Indonesia’

sekitar tahun 1950-an.

Upaya yang dilakukan Hardjonagoro banyak ditiru oleh pengusaha batik

Surakarta, di samping muncul pula batik buketan khas Pekalongan, yang

umumnya dibuat oleh pengusaha batik Surakarta keturunan Cina. Penggabungan

motif tradisi Surakarta dengan warna batik pesisir ini terutama memberikan

pengaruh terhadap batik modern Surakarta.

Menurut Hardjonagoro dalam bukunya Batik Tradisional Selayang

Pandang, ada tiga jenis batik Surakarta yang mendapat pengaruh batik pesisir,

yaitu:

a) Batik dengan gabungan motif tradisi dan motif baru, menggunakan

warna-warni pesisir, serta masih memiliki arti perlambangan.

22

b) Batik yang sama dengan di atas, tetapi tidak lagi memiliki arti

perlambangan apapun.

c) Batik dengan motif yang meniru batik buatan petani, menggunakan

warna gabungan tradisi dan pesisir.

Ketiga jenis batik di atas dikerjakan dengan teknik tulis dan dalam jumlah

terbatas. Motif baku batik pesisir yang mendapat pengaruh kebudayaan asing,

seperti Cina, Belanda, Arab, juga digunakan pada beberapa batik Surakarta.

Contohnya batik naga raja dan batik sapanti nata yang dibuat oleh R.A Partini

Partaningrat pada tahun 1964. Kedua batik tersebut menggunakan motif baku

yang diambil dari mitos Cina, yang juga banyak digunakan pada batik pesisir.

(Hardjonagoro, 1991)

3. Batik

Menurut sejarahnya batik merupakan barang seni yang memiliki nilai –

nilai kultural yang unik. Semula batik hanya digunakan sebagai pakaian eksklusif

keluarga Keraton (Edward Soaloon Simanjuntak, 1982: 73). Pada awal

perkembangannya batik hanya dimonopoli oleh kerabat keraton baik dalam

pembuatannya ataupun dalam hal pemakaian. Batik merupakan salah satu seni

budaya keraton dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang

budaya dan agama yang berkembang di keraton. Batik di keraton Surakarta sangat

dipengaruhi oleh berbagai latar belakang budaya Hindu dan Jawa. Hal ini

tercermin pada seni batik di daerah ini baik ragam hias dan warna, serta aturan

atau tata cara pemakaiannya (Nian S. Djoemena, 1990: 10). Keberadaan batik

selain terpengaruh oleh latar belakang budaya keraton ternyata tidak lepas dari

pengaruh budaya asing.

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa batik adalah suatu cara

untuk melukis di atas kain (mori, katun, teteron, ada kalanya kain sutera dan lain –

lain) dengan cara melapisi bagian – bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang

disebut malam (bahasa Jawa : lilin) yang sering dicampur dengan parafin, damar

atau colophonium (Sri Hastuti, 2003: 12).

23

Menurut Achmad Sanusi dalam bukunya Batik (2000), kata batik semula

dari kata “tik” yang artinya titik. Membuat titik sebagai kata kerja dapat

menggunakan kata “matik” (“ma” sebagai kata awal yang artinya mengerjakan

sesuatu). Kata “mataik” berkembang menjadi mbatik...........batik. Jadi pekerjaan

membuat titik – titik dengan cara meneteskan cairan lilin pada kain (mori) disebut

membatik (mbatik, bahasa Jawa).

Menurut Soedardjo (1990 : 1) dapat pula diartikan sebagai suatu cara

pembuatan ragam hias permukaan kain yang berprinsip penolakan atau riset,

dimana bagian yang dikehendaki tidak terkena tinta atau warna ditutup dengan

lilin dengan memakai alat canting atau cap.

Sedangkan Clifford Geerzt (1983 : 385) mendefinisikan batik sebagai

berikut : “Batik adalah lukisan kain yang kebanyakan bersifat abstrak, dengan

menggunakan canting serta warna biru tinta atau coklat, kadang kuning atau

coklat kemerah – merahan”.

Batik secara etimologi dihubungkan dengan suku kata “tik” yang diartikan

sebagai akhiran kata yang bersifat kecil. Salah satu contoh misalnya bagian yang

terkecil dari jari disebut “jentik”. Bila dilihat dalam Kamus Bahasa Jawa Kawi

yang terdapat kata “tikan” yang berarti huruf atau lebih tepatnya sebagai “serat”

berarti menulis. Sedangkan “baya” yang mempunyai arti suatu kain atau pola. Bila

digabung menjadi satu terjadilah kata “bayantikan” yang mempunyai arti sebagai

kain atau pola yang ditulis, bermakna sebagai seratan. Dalam perkembangannya

kain tersebut menjadi “batikan” yang merupakan kata seperti istilah sekarang.

Pengertian batik juga dikenal di lingkungan keraton di Jawa sebagai

“mbatik” atau seratan yang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh

subur. Dalam kesusastraan Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan kain batik dengan

proses tulis tangan ini semula dibahasakan sebagai “serat nitik”. Baru kemudian

setelah pindahnya Keraton Kartasura ke Surakarta muncul istilah “mbatik” yaitu

gabungan dua kata Jawa Ngoko (Jawa Kasar) “mbat” yang artinya memainkan

dan “tik” dari kata “nitik” yang artinya memberi titik (Sofwandi, 1980: 3 dalam

Sri Hastuti, 2003: 13).

24

Perkataan batik merupakan penegasan kata mbatik yang berlaku di Jawa,

adalah suatu proses pembuatan ragam hias permukaan kain dengan teknik

pengalaman yang semula sebagai meditasi dan konsentrasi oleh putri – putri

keraton.

Pengertian batik juga dijelaskan oleh Hamzuri dalam bukunya yang

berjudul Batik Klasik sebagai berikut :

........pengertian batik adalah lukisan atau gambaran pada mori dengan menggunakan alat bernama canting. Orang melukis atau menggambar pada kain mori memakai canting inilah yang disebut membatik (bahasa Jawa : mbatik). Membatik menghasilkan batik atau batikan berupa macam –macam motif dan mempunyai sifat–sifat khusus yang dimiliki batik itu sendiri (Hamzuri, 1981: 6).

Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara

tradisional, yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam

atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra

dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok : teknik celup rintang yang

menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas

batik (Doellah, 2002: 10).

Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

batik merupakan suatu lukisan di atas kain mori dengan rangkaian titik hingga

membentuk suatu pola atau ornamen tertentu dan proses tertentu pula serta

canting sebagai alat lukisannya. Meskipun pada perkembangan sekarang batik

dapat juga dilakukan dengan alat selain canting, misalnya cap maupun alat – alat

lainnya.

Batik telah lama sekali dikenal di Indonesia, khususnya di Jawa dan

Sumatra. Batik mengalami perkembangan yang pesat, hal itu dilihat dari pola-pola

batik yang masih ada dan bermunculan motif-motif baru walaupun belum bisa

dikategorikan klasik karena motif-motif tersebut sangat variatif, maka perlu

adanya pendekatan, yaitu melalui pendekatan jenis-jenis motifnya, antara lain

sebagai berikut :

25

a. Batik Klasik

Arti klasik adalah merupakan suatu karya (umumnya dari masa lampau)

yang bernilai seni serta ilmiah tinggi berkadar keindahan dan tidak luntur

sepanjang masa (Shadily, 1991: 1793). Berdasarkan pengertian di atas maka batik

klasik merupakan suatu karya seni yang bersifat kuno atau tradisi yang memiliki

kadar keindahan tinggi. Berkembang pesat dan mencapai puncaknya serta tidak

luntur sepanjang masa, karena bermakna filosofis, yaitu mengandung unsur-unsur

ajaran hidup yang banyak digunakan, khususnya oleh masyarakat Jawa.

Keindahan batik klasik ada 2 macam, yaitu :

1) Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan

yang harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan

panca indera.

2) Keindahan jiwa atau filosofi, yaitu rasa indah yang diperoleh karena

susunan arti atau lambang yang membuat gambar sesuai dengan

paham yang dimengerti (Susanto, 1980: 179).

Keindahan batik klasik terletak pada susunan motif, warna, pola dan

teknik pembuatannya yang sangat sempurna, motifnya banyak yang menerapkan

motif gubahan (slitiran) baik bentuk binatang, batu-batuan, awan, air, tumbuhan,

gunung api dan sebagainya (Hamzuri, 1981: 36). Pada batik klasik susunan

motifnya selalu terikat oleh suatu ikatan tertentu dan isen-isen tertentu, apabila

menyimpang dari ikatan yang sudah menjadi tradisi itu dikatakan menyimpang

dari ikatan tradisi dari batik klasik (Susanto, 1980: 15).

Batik di Indonesia telah mengalami perkembangan desain sebagai akibat

dari perpaduan dengan berbagai budaya yang pernah masuk ke Nusantara. Daerah

penghasil kain batik yang paling menonjol adalah pulau Jawa yang berpusat,

antara lain di Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya dan

Garut. Berdasarkan sejarah batik berkembang dengan pesatnya kira-kira tahun

1755, yaitu zaman Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Pada waktu itu masing-

masing Keraton mengembangkan gayanya sehingga kaya akan motif, corak

maupun pewarnaannya. Keraton bukan hanya sekedar kediaman raja, namun juga

26

merupakan pusat pemerintahan, agama dan kebudayaan. Keadaan ini

mempengaruhi ragam hias warna serta aturan (tatacara) pemakainya.

b. Batik Kontemporer (Modern)

Menurut Bambang Utoro dan Kuwat, dalam bukunya yang berjudul “Pola-

Pola Batik dan Pewarnaan” arti kata kontemporer adalah dewasa ini atau masa

kini. Maka motif-motif batik kontemporer yaitu motif-motif batik dewasa ini.

Batik kontemporer sebagian besar dibuat oleh para seniman, juga para desainer

batik.

Batik kontemporer dibuat bukan untuk dipakai, tetapi untuk keperluan

dekorasi atau hiasan dinding. Motif yang dibuat dalam batik kontemporer sangat

bebas tergantung seniman atau desainernya. Memang pada batik ini dibuat dengan

teknik seperti melukis, dan terikat pada alat yang biasa dipakai, yaitu canting.

Pelaksanaannya persis seperti melukis, hanya teknik dan proses pewarnaannya

sama dengan proses batik (Utoro, Kuwat, 1979: 101).

Menurut Sewan Susanto dalam bukunya Teknik Membuat Batik

Tradisional dan Batik Modern, yang dimaksud dengan “Batik Kontemporer” ialah

semua jenis batik yang motif dan gayanya tidak seperti batik klasik. Pada batik

klasik susunan motifnya terikat oleh suatu aturan tertentu dan dengan isen – isen

tertentu. Bila menyimpang dari ikatan atau aturan yang sudah menjadi tradisi itu,

dikatakan menyimpang dari batik, maksudnya menyimpang dari batik klasik.

Mulai tahun 1967 mulailah ada usaha perubahan dan pembaruan dalam

motif batik dan gaya motif batik, dan ternyata pada tahun 1970 perubahan ini

mendapat sambutan dari beberapa seniman dan dapat diterima oleh masyarakat.

Pada tahun-tahun berikutnya, para tokoh batik yang dinamis dan beberapa

seniman turut serta mengambil bagian dalam pengembangan batik bukan klasik

atau batik kontemporer ini. Maka timbullah beberapa jenis batik dalam batik

kontemporer ini antara lain :

1) Gaya abstrak dinamis, misalnya menggambarkan burung terbang,

ayam tarung atau beradu, garuda melayang, ledakan senjata, loncatan

panah, rangkaian bunga dan sebagainya.

27

2) Gaya gabungan, yaitu pengolahan dan penggabungan motif-motif dari

berbagai daerah menjadi suatu rangkaian yang indah.

3) Gaya lukisan, jenis ini menggambarkan yang serupa lukisan, seperti

pemandangan, bentuk bangunan dan sebagainya, diisi dengan isen

yang diatur rapi sehingga menghasilkan suatu hasil seni yang indah.

4) Gaya khusus dari ceritera lama, misalnya diambil dari Ramayana, atau

Maha Bharata. Gaya ini kadang-kadang seperti campuran antara riil

dan abstrak. (Susanto, 1975: 19)

Dengan pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa batik kontemporer

merupakan variasi dalam perkembangan batik, dengan motif-motif yang masih

dapat dibedakan menjadi unsur-unsurnya, tetapi ornamen di dalamnya tidak lagi

berupa ornamen-ornamen tradisional melainkan sudah diadakan modifikasi atau

perubahan. Begitu pula dengan pewarnaannya, yaitu dengan cara

mengkombinasikan warna-warna batik tradisional.

B. Kerangka Berpikir

28

Kebudayaan

Kesenian

Seni Batik

Kontemporer

Klasik

Bentuk kesenian lain

Pengembangan Batik Klasik

Persepsi Masyarakat

Keterangan :

Kebudayaan itu memiliki unsur–unsur universal yang dapat menunjang

perkembangannya, yakni diantaranya ; (1) Sistem religi dan upacara keagamaan,

(2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa,

(5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian, (7) Sistem teknologi dan peralatan

(Koentjaraningrat, 2004: 2).

Unsur–unsur di atas, dapat dilihat bahwa unsur kesenian atau seni

mempunyai fungsi yang penting yakni sebagai cermin masyarakat Indonesia,

yaitu sebagai suatu bentuk kesenian yang diekspresikan untuk menopang identitas

dan pola perilaku pada masyarakat. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan

yang merupakan perintis dari perkembangan manusia baik sosial maupun

individual. Setiap kebudayaan mengembangkan suatu jenis seni.

Dalam hal ini, salah satu bentuk atau hasil seni adalah batik klasik. Batik

merupakan karya adiluhung yang unik karena di dalam prosesnya membutuhkan

waktu yang panjang, perlu kesabaran, ketelitian, serta ketekunan. Sebagai suatu

hasil seni, batik mengutamakan seni keindahan dari sudut lain, dimana batik

berkembang sebagai suatu kebutuhan sandang sehingga dalam perkembangannya

mencari cara yang lebih praktis.

Batik itu sendiri secara umum dibedakan menjadi dua jenis yaitu batik

klasik dan batik multi warna atau batik kontemporer. Perbedaannya adalah dalam

pembuatan batik klasik terdapat empat aspek yang harus diperhatikan, yakni :

motif, warna, teknik pembuatan, dan fungsinya. Batik klasik memiliki keindahan

visual karena semua ornamen, isian dalam pola atau “carik” tersusun dengan rapi

dan harmonis. Pola batik klasik merupakan suatu pola yang sudah pakem, seperti

pola : truntun, sido mukti, dan wahyu tumurun. Batik yang diproduksi atau yang

dibuat merupakan suatu kesatuan yang runut karena sudah ada pakemnya, aturan–

aturannya serta mempunyai maksud tersendiri. Sedang batik kontemporer

pembuatannya sesuai dengan kreatifitas atau sesuka pembatik yakni dengan cara

penggabungan motif-motif yang sudah ada atau murni kreasi sendiri.

Pertimbangan dibuatnya batik kontemporer dari segi kebebasan ekspresi dan

disesuaikan dengan pangsa pasar.

29

Pada masa sekarang, batik dapat dipakai oleh semua jenis golongan

masyarakat, bangsawan, ningrat maupun rakyat biasa. Batik digunakan tidak

hanya dalam upacara ataupun kegiatan–kegiatan resmi, namun sering juga

digunakan dalam kegiatan harian. Masalah yang kemudian timbul adalah telah

terjadi pergeseran makna dari batik itu sendiri. Dahulu, batik itu memiliki nilai,

makna dan fungsi yang sakral, namun sekarang ini masyarakat umumnya hanya

menilai batik hanya sebagai busana atau pakaian dalam acara–acara resepsi

belaka. Salah satu penyebab dari pergeseran makna ini menurut penulis adalah

disebabkan oleh era zaman yang telah berganti. Sehingga mengakibatkan pada

masa sekarang ini semakin minim pengetahuan dan pengenalan masyarakat

tentang makna dan fungsi batik itu sendiri. Hal ini semakin diperparah dengan

munculnya batik printing atau cap yang menguasai pasar perbatikan. Sehingga

menyebabkan semakin berkurangnya apresiasi atau penghargaan masyarakat yang

masih awam terhadap batik klasik yang merupakan aset dan warisan budaya yang

wajib dikaji dan dilestarikan.

Dari latar belakang di atas mendorong penulis untuk mengadakan

penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Surakarta Terhadap Seni Batik Klasik”.

Penulis ingin mengetahui persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik

sebagai upaya melestarikan kebudayaan bangsa dan mendukung pengembangan

budaya klasik yang ada di Surakarta.

30