bab 1 obygn
DESCRIPTION
unjaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai gangguan atau penyakit endokrin dapat mempersulit atau
menghambat kehamilan dan sebaliknya, kehamilan dapat mempengaruhi penyakit
endokrin. Penyakit endokrin pada kehamilan paling umum dijumpai adalah
diabetes melitus dan tiroid. Kehamilan akan menyebabkan perubahan struktur
dan fungsi kelenjar tiroid ibu, sehingga kadang-kadang menyulitkan diagnosis
penegakan penyakit atau menentukan adanya kelainan tiroid. Proses hiperplasia
glandular dan bertambahnya volume kelenjar tiroid akan menyebabkan kelenjar
tiroid membesar , sehingga penggunaan iodid (Iodide uptake) kelenjar tiroid ibu
juga akan meningkat. Akibatnya, sekresi hormon toksin juga akan meningkat.
Pada awal kehamilan hormon tiroksin ibu akan berpindah ke janin sehingga
terjadi hipotiroidisme janin. Proses ini akan terjadi selama kehamilan.1
Hormon tiroid diperlukan untuk perkembangan otak dan fungsi mental
normal. Selain kadar hormon total ataupun terikat, konsentrasi thyroid- binding
globulin (TBG) dalam serum darah ibu juga akan meningkat. Akibat rangsangan
tiroid, karena adanya aktivitas silang dari hormon chorionic gonadotropin yang
lemah, maka pada awal kehamilan aktivitas tirotropin akan menurun, sehingga
tidak dapat melalui sawar plasenta. Pada kehamilan 12 minggu pertama kadar
hormon chorionic gonadotropin akan mencapai puncaknya dan kadar tiroksin
bebas akan meningkat dan akan menekan kadar tirotropin, sehingga thyotropin
releasing hormone (TRH) tidak dapat terdeteksi dalam serum darah ibu. Berbeda
dengan trimester pertama, pada pertengahan kehamilan, walaupun serum TRH
janin meningkat, tetap dapat terdeteksi. Hal ini karena ada transfer plasenta yang
minimal.1
Gangguan kelenjar tiroid pada umumnya didapatkan pada perempuan
muda. Insidensce hipertiroidism, hipotiridisme dan tiroiditis diperkirakan sekitar 1
%. Terdapat hubungan yang erat antar fungsi kelenjar tiroid ibu dan janin yang
dikandungnya. Janin bergantung pada hormon tiroksin ibu. Obat – obat yang
diminum ibu akan mempengaruhi kelenjar tiroid ibu dan kelenjar tiroid janin.
Sebagin besar gangguan kelenjar tiroid dapat diketahui dengan terdeteksinya
otoantibodi pada berbagai komponen sel. Antibodi selain dapat merangsang
fungsi kelenjar tiroid juga dapat menghambat atau bahkan menyebabkan
terjadinya peradangan kelenjar tiroid sehingga tiroid akan menjadi hancur. Tyroid
Stimulating Immunoglobulin yang menempel dan mengaktifkan reseptor tirotropin
menyebabkan hiperfungsi dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Antibodi ini dapat
diidentifikasi pada sebagian besar penderita dengan gambaran klasik penyakit
Graves.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertiroidisme
2.1.1 Defenisi
Merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi hormon
tiroid didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triiodotironin (T3) atau kedua –
duanya. Kausa sebagian besar tirotoksikosis pada kehamilan penyakit Graves,
suatu proses autoimun spesifik. Tirotoksikosis atau hipertiroidisme merupakan
penyulit pada sekitar 1 sampai 2000 kehamilan, seperti dapat diduga,
tirotoksikosis ringan sulit didiagnosa selama kehamilan. Beberapa tanda yang
membantu mendiagnosa dengan manifestasi sebagai berikut ;
1. Takikardi yang melebihi peningkatan yang biasa terjadi pada
kehamilan
2. Kecepatan nadi saat tidur yang meningkat abnormal
3. Tiromegali
4. Eksoftalmus
5. Kegagalan pada wanita yang tidak gemuk untuk menambah berat
badan walaupun, asupan makanan normal atau meningkat.1
2.1.2 Etiologi
Penyebab paling umum terjadinya tirotoksikosis dalam kehamilan adalah
penyakit Graves. Proses autoimun pada organ spesifik ini biasanya berhubungan
dengan antibodi yang merangsang kelenjar tiroid. Antibodi yang merangsang
kelenjar tiroid ini (thyroid stimulating antibody) selama kehamilan akan menurun
dan pada sebagian besar perempuan akan menyebabkan terjadinya remisi kimia.1
Pada suatu studi klasik, Amino dkk (1982) melaporkan bahwa aktivitas antibodi
perangsang tiroid selama kehamilan berkurang pada 41 wanita dengan penyakit
Graves. Hal ini disertai olehh remisi kimiawi selama hampir sepanjang kehamilan.
Antara 1 dan 4 bulan pasca partum, banyak wanita mengalami rekurensi anti bodi
antitiroid disertai hipertiroksinemia.
2.1.3 Patofisiologi
Pada masa kehamilan, tiroid mengalami pembesaran sedang yang
disebabkan oleh hiperplasia jaringan kelenjar dan meningkatnya vaskularisasi
Glinoer dkk. (1990) mengkaji volume kelenjar tiroid dari 552 pemeriksaan
USG. Volume total kelenjar dari 12,1 ml pada trimester pertama meningkat
menjadi 15,0 ml pada saat melahirkan. Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik
dimana proses otoimun dapat menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan
hipotiroidisme (pada tiroiditis Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan
hipertiroidisme (pada penyakit Grave).
Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu :
1. Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar
tiroid) karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas
humoral.
2. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang
menimbulkan imunitas seluler.
Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating
Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang
telah dikenal beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya
penyakit Grave, antara lain :
1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)
2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)
3. Human Thyroid Stimulator (HTS)
4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)
5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)
Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada
membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan
biosintesis hormon tiroid. Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada
penyakit Grave berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979),
yang menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit
Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada penyakit
Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui bahwa
dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam proses
produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam
menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang
paling dominan, maka produksi antibodi spesifik oleh sel B dapat mengalami
stimulasi atau supresi. Kecenderungan penyakit tiroid otoimun terjadi pada
satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil
studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu
terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-kawan (1974) telah berhasil
mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita penyakit Grave.
Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave diperkuat
pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir menyebutkan bahwa peranan
haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave berbeda-beda diantara berbagai ras.
Gray dan kawan-kawan (1985) menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan
seperti trauma fisik, emosi, struktur keluarga, kepribadian, dan kebiasaan
hidup sehari-hari tidak terbukti berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih
berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi
hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan
trimester pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai
kecenderungan untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode
postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis
tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan.
Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga,
respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam
keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu
selama kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu
yang diduga disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang
mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini melewati
sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah plasenta terlepas,
faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini dapat menerangkan
mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum. Setelah
melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3
sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus.
Suatu survai yang dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980)
menunjukkan bahwa 5,5% wanita Jepang menderita tiroiditis postpartum.
Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas dan sulit dideteksi.
Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah melahirkan dengan
manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien diikuti hipotiroidisme dan
kemudian kesembuhan spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi
peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang
sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat
tinggi. Fase ini biasanya berlangsung selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti
oleh fase hipotiroidisme dan kesembuhan, namun cenderung berulang pada
kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis postpartum diduga
merupakan “rebound phenomenon” dari proses otoimun yang terjadi setelah
melahirkan.
2.1.4 Manifestasi Klinis
1) Berkeringat lebih banyak
2) Takikardi ,Dada berdebar-debar
3) Mudah lelah namun sulit untuk tidur
4) Gangguan saluran pencernaan
5) Berat badan menurun meskipun asupan makan cukup
6) Mudah tersingguing, merasa cemas dan gelisah
7) Selain itu timbul juga tanda-tanda penyakit graves seperti perubahan
mata, tremor pada tangan, pembesaran kelenjar tiroid
8) Kelebihan tiroksin dapat menyebabkan terjadinya keguguran spontan
9) Pada wanita yang tidak mendapatkan pengobatan atau pada mereka yang
terapi telah diberikan akan meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia,
kegagalan jantung dan keadaan perianal yang buruk
2.1.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama ; dada berdebar-debar, susah tidur, nafsu makan berkurang,
dan terjadi penurunan berat badan
Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : terdapat benjolan dileher
Palpasi : benjolan teraba keras dan mobile sulit untuk digerakkan, nyeri
saat di tekan
3. Pemeriksaan Penunjang
T3, T4 meningkat, dan TSH menurun
2.1.6 Pengaruh hipertiroidisme terhadap kehamilan
Hipertiroidisme akan menimbulkan berbagai komplikasi baik terhadap ibu
maupun janin dan bayi yang akan dilahirkan.
Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :
I. Komplikasi terhadap ibu :
A. Payah Jantung
Keadaan hipertiroidisme dalam kehamilan dapat meningkatkan morbiditas
ibu yang serius, terutama payah jantung. Mekanisme yang pasti tentang
terjadinya perubahan hemodinamika pada hipertiroidisme masih simpang
siur.Terdapat banyak bukti bahwa pengaruh jangka panjang dari peningkatan
kadar hormon tiroid dapat menimbulkan kerusakan miokard, kardiomegali dan
disfungsi ventrikel. Hormon tiroid dapat mempengaruhi miokard baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh langsung :
Hormon tiroid dapat mengakibatkan efek inotropik positif dan kronotropik
positif pada miokard melalui beberapa cara :
1. Komponen metabolisme :
a. Meningkatkan jumlah mitokondria
b. Meningkatkan sintesis protein terutama sintesis miosin yang menyebabkan
aktifitas ATPase miosin meningkat
c. Meningkatkan aktifitas pompa natrium pada sel-sel miokard
d. Meningkatkan ion kalsium miokard yang akan mempengaruhi interaksi
aktin-miosin dan menghasilkan eksitasi kontraksi miokard
e. Menyebabkan perubahan aktifitas adenilsiklase sehingga meningkatkan
kepekaan miokard terhadap katekolamin.
2. Komponen simpul sinoatrial :
Terjadi pemendekan waktu repolarisasi dan waktu refrakter jaringan
atrium, sehingga depolarisasi menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan
takikardia sinus dan fibrilasi atrium.
3. Komponen adrenoreseptor :
Pada hipertiroidisme, densitas adrenoreseptor pada jantung bertambah. Hal
ini dikarenakan pengaruh hormon tiroid terhadap interkonversi reseptor alfa
dan beta. Hipertiroidisme menyebabkan penambahan reseptor beta dan
pengurangan reseptor alfa.
Pengaruh tidak langsung :
1. Peningkatan metabolisme tubuh :
Hormon tiroid menyebabkan metabolisme tubuh meningkat dimana terjadi
vasodilatasi perifer, aliran darah yang cepat (hiperdinamik), denyut
jantung meningkat sehingga curah jantung bertambah.
2. Sistem simpato-adrenal :
Kelebihan hormon tiroid dapat menyebabkan peningkatan aktifitas sistem
simpato-adrenal melalui cara :
a) Peningkatan kadar katekolamin
b) Meningkatnya kepekaan miokard terhadap katekolamin
Secara klinis akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi pada waktu
istirahat, dimana hal ini dapat pula disebabkan oleh kehamilan itu sendiri.
Disfungsi ventrikel akan bertambah berat bila disertai dengan anemia,
preeklamsia atau infeksi. Faktor-faktor risiko ini sering terjadi bersamaan
pada wanita hamil. Davis,LE dan kawan-kawan menyebutkan bahwa
payah jantung lebih sering terjadi pada wanita hamil hipertiroidisme yang
tidak terkontrol terutama pada trimester terakhir.
2. Krisis tiroid
Salah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita hamil
dengan hipertiroidisme adalah krisis tiroid. Hal ini dapat terjadi karena
adanya faktor-faktor pencetus antara lain persalinan, tindakan operatif
termasuk bedah Caesar, trauma dan infeksi. Selain itu krisis tiroid dapat
pula terjadi pada pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak
terdiagnosis atau mendapat pengobatan yang tidak adekuat. Menurut
laporan Davis LE dan kawan-kawan, dari 342 penderita hipertiroidisme
hamil, krisis tiroid terjadi pada 5 pasien yang telah mendapat pengobatan
anti tiroid, 1 pasien yang mendapat terapi operatif , 7 pasien yang tidak
terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan. Krisis tiroid ditandai dengan
manifestasi hipertiroidisme yang berat dan hiperpireksia. Suhu tubuh dapat
meningkat sampai 41oC disertai dengan kegelisahan, agitasi, takikardia,
payah jantung, mual muntah, diare, delirium, psikosis, ikterus dan
dehidrasi.
II. Komplikasi terhadap janin dan neonatus :
Untuk memahami patogenesis terjadinya komplikasi hipertiroidisme
pada kehamilan terhadap janin dan neonatus, perlu kita ketahui mekanisme
hubungan ibu janin pada hipertiroidisme. Sejak awal kehamilan terjadi
perubahan-perubahan faal kelenjar tiroid sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, sedangkan kelenjar tiroid janin baru mulai berfungsi pada
umur kehamilan minggu ke 12-16. Hubungan ibu janin dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu maupun
TSH janin tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4
hanya dalam jumlah sedikit yang dapat melewati plasenta. TSI atau TSAb
dapat melewati plasenta dengan mudah. Oleh karena itu bila kadar TSI
pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi hipertiroidisme pada janin
dan neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo Mercazole, zat-
zat yodium radioaktif dan yodida, juga propranolol dapat dengan mudah
melewati plasenta. Pemakaian obat-obat ini dapat mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan janin. Pemakaian zat yodium radioaktif
merupakan kontra indikasi pada wanita hamil karena dapat menyebabkan
hipotiroidisme permanen pada janin.
Hipertiroidisme janin dan neonatus :
Hipertiroidisme janin dapat terjadi karena transfer TSH receptor
antibody (TSI) melalui plasenta terutama bila ibu hamil hipertiroidisme
tidak mendapat pengobatan anti tiroid. Hipertiroidisme janin dapat pula
terjadi pada ibu hamil yang mendapat pengobatan hormon tiroid setelah
mengalami operasi tiroidektomi, sedangkan didalam serumnya kadar TSI
masih tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan kadar TSI
ibu dan bunyi jantung janin yang tetap diatas 160 x per menit. Kurang
lebih 1% wanita hamil dengan riwayat penyakit Grave akan melahirkan
bayi dengan hipertiroidisme. Hipertiroidisme neonatus kadang-kadang
tersembunyi, biasanya berlangsung selama 2 sampai 3 bulan.
Hipertiroidisme neonatus disertai dengan mortalitas yang tinggi.
Komplikasi jangka panjang pada bayi yang bertahan hidup akan
mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis prematur yang menimbulkan
gangguan perkembangan otak. Kematian biasanya terjadi akibat kelahiran
prematur, berat badan lahir rendah dan penyakit jantung kongestif.
Hipertiroid pada kehamilan dapat menyebabkan IUGR dan meningkatkan
morbiditas serta mortalitas janin dikarenakan menurunnya perfusi
uteroplasenta, hal ini juga yang dapat mengakibatkan terjadinya
preeclampsia pada ibu dan komplikasinya terhadap janin. Diagnosis
hipertiroidisme neonatus ditegakkan atas dasar gambaran klinis dan
laboratorium. Adanya struma, eksoftalmos dan takikardia pada bayi yang
hiperaktif dengan kadar tiroksin serum yang meningkat sudah cukup untuk
dipakai sebagai pegangan diagnosis. Namun dapat pula terjadi gambaran
klinis yang lain seperti payah jantung, hepatosplenomegali, ikterus dan
trombositopenia.
Gambaran klinis yang mungkin dapat ditemukan pada bayi baru
lahir dari ibu yang terpapar tiroksin secara berlebihan adalah sebagai
berikut ;
a. Terlihatnya gambaran goiter tirotoksikosis pada janin atau bayi
baru lahir akibat adanya
2.1.7 Penatalaksanaan
Tirotoksikosis yang terjadi selama kehamilan hampir selalu dapat
dikontrol dengan obat-obatan jenis thiomide. Beberapa klinis memilih
propylthiouracil (PTU) karena obat ini sebagian menghambat perubahan
T4 menjadi T3 dan lebih sedikit melewati sawar plasenta bila
dibandingkan dengan metimazole, penggunaan metimazole harus lebih
berhati-hati karena pemberian pada awal kehamilan diduga ada
hubungannya dengan terjadinya atresia esofagus, khoana, dan aplasia
cutis. Obat – obatan yang digunakan untuk mengobati penyakit tiroid ibu
dapat menyebabkan penghancuran jaringan kelenjar tiroid pada janin,
sehingga dapat dipertimbangkan untuk melakukan terminasi kehamilan.
Bila terapi dengan obat-obatan tidak berhasil, atau bila terjadi efek
toksis dari obat-obatan tersebut, maka dipertimbangkan Tiroidektomi
dapat dilakukan setelah tiroroksikosis telah terkontrol secara medis.
Karena meningkatnya vaskularisasi kelenjar tiroid selama kehamilan,
pembedahan ini sulit dibandingkan pada keadaan tidak hamil. Miccoli dkk
(1996) angka insiden 2% terjadi kelumpuhan pita suara, dan 3% terjadi
hipoparatiroid.
2.2 Hipotiroidisme
2.2.1 Defenisi
Hipotiroid adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan
menghasilkan sedikit hormon tiroid. Hipotiroid yang sangat berat disebut
miksedema.
2.2.2 Etiologi
Sebagian besar penyakit hipotiroid pada orang dewasa disebabkan oleh
proses dirusaknya kelenjar tiroid oleh autoantibodi, khususnya antibodi
antithyroid peroxidase. Oleh karena itu, gangguan hipotiroid juga
berhubungan dengan tirotoksikosis Graves. Kedua kelainan ini mungkin
berhubungan akibat terjadinya tranfer timbal balik sel-sel janin pada
kehamilan sebelumnya. Keadaan hipotiroid dihubungkan dengan
meningkatnya kejadian infertilitas atau keguguran, dan tidak umum ditemukan
hipotiroid yang sangat berat dalam kehamilan.
2.2.3 Epidemiologi
Insidensi kejadian hipotiroid adalah sekitar 2,5% . Defisiensi kelenjar
tiroid klinik ditemukan pada 1,3 per 1000 dan subklinis 23 per 1.000 orang.
Insidensi keadaan hipotiroid subklinis pada perempuan berusia antara 18-45
tahun adalah sekitar 5%. Dari semua ini, 2-5 % per tahunnya keadaan mereka
memburuk dan berkembang menjadi kegagalan tiroid secara klinis. Faktor–
faktor risiko lainnya untuk terjadinya kegagalan kelenjar tiroid adalah
penyakit diabetes tipe 1.
2.2.4 Gejala klinis
1. Penurunan frekuensi denyut jantung
2. Pembesaran jantung ( jantung miksedema), penurunan curah jantung
3. Edema kulit
4. Penurunan nafsu makan
5. Kulit kering dan bersisik
2.2.5 Hipotiroidisme janin dan neonatus
Penggunaan obat-obat anti tiroid selama kehamilan dapat
menimbulkan struma dan hipotiroidisme pada janin, karena dapat
melewati sawar plasenta dan memblokir faal tiroid janin. Penurunan kadar
hormon tiroid janin akan mempengaruhi sekresi TSH dan menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid. Menurut Cooper DS, frekuensi struma pada
neonatus akibat pengobatan anti tiroid pada wanita hamil diperkirakan
10%. Davis LE dan kawan-kawan melaporkan bahwa dari 36 ibu hamil
hipertiroidisme yang diobati dengan anti tiroid, terdapat 1 kasus neonatus
yang mengalami struma dan hipotiroidisme. Cheron dan kawan-kawan
dalam penelitiannya melaporkan bahwa hanya 1 dari 11 neonatus
mengalami struma dan hipotiroidisme setelah ibunya mendapat terapi PTU
400 mg perhari. Namun walaupun 10 neonatus lainnya berada dalam
keadaan eutiroid, terjadi pula penurunan kadar tiroksin dan peningkatan
kadar TSH yang ringan. Hal ini menunjukkan telah terjadi hipotiroidisme
transien pada 10 neonatus tersebut. Penyebab hipotiroidisme janin yang
lain adalah pemberian preparat yodida selama kehamilan. Dosis yodida
sebesar 12 mg perhari sudah dapat menimbulkan hipotiroidisme pada
janin. Hipotiroidisme akibat pemakaian yodida ini akan menimbulkan
struma yang besar dan dapat menyumbat saluran nafas janin. Untuk
mendiagnosis hipotiroidisme pada janin, Perelman dan kawan-kawan
melakukannya dengan pemeriksaan contoh darah janin perkutan melalui
bantuan USG, yang menunjukkan kadar TSH yang tinggi dan kadar
tiroksin yang rendah.